BAGIAN 26
Di waktu yang bersamaan ...
Di Perguruan Tanah Bambu terjadi kegemparan!
Kegemparan apakah?
“Wah, suara apa tuh, kayak bayi nangis aja dech … “ gerutu kesal seorang pedagang buah. Maklum, dari tadi cuma laku lima dua buah semangka, dua biji nanas dan satu renteng salak hutan.
“Suara bayi, mbahmu!” cetus pedagang sayur, “ … itu kan suara orang berteriak-teriak.”
“Lho, suara teriak kok mirip suara bayi nangis,” tukas pedagang buah tak mau kalah. “Ga mungkin-laaahhh ... “
“Lha emang jatah suara dari sononya dah cempreng macam kaleng rombeng, mau diapakan lagi?”
“Wuuuh ... mbok dulu itu milih suara yang bagusan dikit ... “ gerutu pedagang buah sambil celingak-celinguk. Entah apa yang dicarinya.
Saat melintas di depannya seorang laki-laki baju hitam, ia bertanya, “Kang, memangnya ada apa, to? Pagi-pagi kok dah pada ribut!?”
Laki-laki baju hitam tanpa berhenti langsung saja menjawab, “Ada yang mati.”
“Di mana?”
“Di pintu selatan agak ke utara sedikit.”
“Memangnya yang mati siapa?”
“Orang,” jawab pendek laki-laki baju hitam sambil terus berjalan tergesa.
“Lho ... memangnya orang mati bisa teriak, to?” kejar pedagang buah dengan muka kebodoh-bodohan. “Aneh juga!?”
Si laki-laki baju hitam yang dikuntit terus, sontak menghentikan langkahnya.
Brugh!
Si pedagang buah langsung menabrak punggung orang di depannya.
“Hei, tolol!” bentak si laki-laki baju hitam sambil tangan kanan mencengkeram kerah baju si pedagang buah. “Denger, ya! Dimana-mana orang mati tidak bisa teriak, yang bisa teriak itu cuma yang hidup! Otakmu itu dimana, hah!?”
“E-e-e-e ... kang! Damai, kang ... damai ... “ ucap si pedagang buah ketakutan. “Jangan melotot begitu, lah!”
Tanpa menggubris sama sekali kata-kata pedagang buah, tangan kiri laki-laki baju hitam njulekin jidat makhluk bodoh yang masih dicengkeramnya dengan seenaknya hingga kepala si pedagang buah berulang kali terdorong ke belakang.
Ga’ sakit sih, tapi malunya ... minta amplop, eh ... ampun!
“Makanya punya otak dipake!” bentak si baju hitam, “Jika tidak, kepalamu yang soak ini bakal aku ganti dengan buah semangka tanpa biji! Jelas!?”
“Jelas, Kang! Jelas! Pokoknya jelas, dech! Suwer!” sahutnya dengan dua jari kanan membentuk huruf ’V’.
“Bagus!” sahut si laki-laki baju hitam sambil melepas kerah baju pedagang buah, lalu ngeloyor pergi begitu saja.
Namun, baru saja lima langkah ...
“Kang, emangnya yang mati … “
Belum lagi suaranya lenyap, laki-laki baju hitam langsung menyambar buah semangka di dekatnya.
Wutt!
Lalu dengan ’gaya manis’ seperti orang memasukkan bola ke dalam keranjang (inget gaya Michael Jordan waktu mau dunk!), ia mengayunkan semangka besar di tangan ke bawah.
Bluss!
Buah semangka yang ternyata benar-benar tanpa biji langsung melesak masuk ke kepala pedagang buah dengan sukses.
Tentu saja pedagang buah langsung kaget karena tiba-tiba kepalanya berubah bentuk!
“Emmm ... emmhhh ... “ (maksudnya : tolong ... tolong ... )
Beberapa pedagang --terutama pedagang sayur-- tertawa geli melihat kejadian sebabak tadi. Bukannya kasihan, tapi malah ngetawain temannya yang sedang sial!
“Makanya, kalau tanya-tanya lihat-liat orang dong!” serunya sambil tetap ketawa keras.
“Tapi, lama-lama kasihan juga si Karjo,” ujar pedagang kain. “Cepat, bantuin. Ntar kehabisan napas, tuh.”
Si pedagang sayur berjalan mendekat, lalu dengan seenaknya ia kemplang si Kepala Semangka dengan keras.
Prakk!
Tentu saja buah semangka yang lunak itu, langsung pecah berantakan.
Terlihat roman muka Karjo yang pucat pasi belepotan daging semangka.
“Apa yang terjadi?” katanya heran.
“Ga terjadi apa-apa, cuma tadi ada semangka jatuh dari langit dan tepat menimpa kepalamu,” jawab pedagang sayur sambil senyum-senyum geli campur kasihan. “Tapi ... besok lagi hati-hati, ya.”
“Hati-hati kenapa?” tanya Karjo, heran sambil mulutnya pulang-balik masukin buah semangka ke dalam mulut. Mungkin saking kagetnya sampai ia lupa dengan kejadian yang barusan terjadi menimpa dirinya.
“Ya ... hati-hati aja!” sahut si pedagang sayur sambil membalikkan badan.
“Lha, iya ... hati-hati kenapa?” kejar Karjo.
“Ya ... hati-hati supaya tidak kejatuhan semangka lagi. Untung semangkanya cuma kecil,” sahut pedagang sayur sambil membenahi barang dagangannya, sambung. “ ... coba kalau sebesar rumah, tubuhmu langsung hilang di telan bumi.”
“Wah, kalau begitu aku jadi orang sakti, dong!” celoteh Karjo makin ngelantur.
Mungkin otaknya terbuat dari kuaci ’kali ya!?
Masa’ kejatuhan semangka segedhe rumah dianggap sakti?
“Maksudku, kau langsung ... modar!” ucap pedagang sayur, kemudian tertawa terbahak-bahak.
Bahkan beberapa orang yang ada di tempat itu, sontak tersenyum melihat roman muka pucat bin bego si pedagang buah.
Huh ... dasar kepala semangka!
Sementara itu ...
Seorang perempuan usia sekitar enam puluhan tahun berjalan mendekat. Meski terlihat ringkih dengan usia yang terus menanjak, tapi roman mukanya terlihat muda belia seperti gadis usia dua puluh tahun. Jarang-jarang ditemui nenek muka segar kayak gitu.
Terhitung barang langka, tuh!?
Meski tidak terlalu cantik, tapi raut mukanya cukup sedap di pandang, apalagi dengan roman terlihat santun. Orang-orang Kepulauan Tanah Bambu mengenalnya dengan nama Nyai Gugur Gunung. Julukannya Dewi Kecapi Hitam.
Dewi Kecapi Hitam bertanya dengan lembut, “Ada apa?”
Beberapa orang berseragam hitam yang mengerumuni sesuatu, terkuak membuka jalan saat mengenali sosok perempuan ini.
“Oh, Nyai Gugur Gunung!” kata salah seorang baju hitam mengenali siapa sosok perempuan baju hitam garis-garis putih yang menyandang kecapi di punggungnya. Ternyata laki-laki yang tadi mengerjai Karjo di pasar. “Ada yang tewas. Tepatnya ... terbunuh.”
Nyai Gugur Gunung sekilas memandang sosok mayat tanpa kepala yang tergeletak di pinggir jalan. Belum lagi ia mengatakan sesuatu, terdengar lagi teriakan.
“Ada mayat! Ada mayat!”
Namun belum lagi suara pertama hilang, kembali terdengar teriakan dimana-mana.
“Ada lagi ... !”
“Di sini juga ada ... !”
Kadar teriakan bukannya surut, justru sekarang malah tambah banyak.
Orang-orang saling berlarian ke arah suara yang saling sahut menyahut.
Namun, intinya cuma satu. Ditemukan sesosok mayat!
“Wah, disini juga ada. Tapi lumayan kecil,” seru orang yang berada di paling timur. “Cuma ... “
Orang-orang kembali berlarian mendekat sambil berteriak keras, “Mana? Mana!?”
Dengan muka tak bersalah, orang tadi menunjuk sesosok mahkluk kecil di depannya dengan sebatang ranting.
“Ini.”
Saat melihat sosok yang ditunjuk, sontak orang langsung jengkel bukan main!
Ternyata cuma ... bangkai kucing!
“Brengsek kau!” sentak salah seorang temannya. “Bangkai kucing aja pakai acara teriak-teriak segala!”
“Dasar kurang kerjaan!” seru beberapa orang dengan kesal.
Nyai Gugur Gunung dengan sigap memberikan perintah.
“Kau! Cepat lapor ke Penguasa Tapal Batas Selatan!” katanya dengan nada cepat namun masih menunjukkan kesantunan seorang perempuan lanjut usia.
“Dan kau! Panggil Bandar Mayat kemari,” kembali Nyai Gugur Gunung memberi perintah. “Dan lainnya, cari mayat-mayat yang kemungkinan masih ada di sekitar tempat ini dan kumpulkan mayat-mayat menjadi satu.”
“Siap, Nyi!”
Tanpa diperintah dua kali, satu orang langsung melesat pergi ke tempat kediaman Dewa Periang karena dialah penguasa wilayah Tapal Batas Selatan. Satunya lagi segera menghubungi si Bandar Mayat. Sedang sisanya mengumpulkan mayat-mayat yang bertebaran dimana-mana.
“Hemm ... “ gumam Nyai Gugur Gunung dengan mata mengedar ke sekitar. Terlihat beberapa orang menggotong sosok-sosok tanpa nyawa dari tempat yang berbeda.
“Lumayan banyak ... “ gumamnya lagi setelah melihat sejumlah mayat yang terjajar rapi di depannya.
Sesaat Nyai Gugur Gunung memeriksa mayat satu per satu. Tidak ada luka dalam atau pun luka luar selain sebuah luka lebar pada leher yang menyebabkan kepala bisa terlepas dari tempatnya bertugas sehari-hari.
Kesamaan semua mayat cuma satu : selain kehilangan nyawa, semuanya tanpa batok kepala!
“Penggalan yang rapi ... “ gumam Dewi Kecapi Hitam. “ ... atau jurus serangannya yang terlalu cepat?”
Total mayat yang berhasil dikumpulkan oleh orang-orang baju hitam ternyata cukup banyak. Jumlahnya mencapai puluhan, tepatnya dua puluh sembilan mayat telah terkumpul menjadi satu. Jadi tiga puluh jika di tambah dengan bangkai kucing.
Beberapa saat kemudian, orang yang diminta memanggil Bandar Mayat telah kembali. Mukanya pucat pasi plus napas terengah-engah.
Dewi Kecapi Hitam mengkerutkan keningnya.
“Mana si Bandar Mayat?”
Sambil mengatur napas yang masih memburu, ia menjawab, “Maaf ... Nyi ... si Ban ... dar Mayat ... telah jadi ... mayat ... “
“Apa?” terdengar suara Nyai Gugur Gunung agak meninggi.
“Kepalanya hi ... lang ... “
Untuk kedua kalinya, Nyai Gugur Gunung terkaget-kaget.
“Kepalanya juga hilang,” desisnya sambil memandangi mayat-mayat tanpa kepala yang berjajar rapi. Gumamnya lagi. “Bandar Mayat juga telah pensiun jadi orang.”
Sekelebat bayangan datang mendekat dari arah selatan. Kecepatannya laksana angin puyuh, karena setiap ia tempat yang dilewatinya pasti dibelakangnya terlihat debu mengepul tebal. Jelas tenaga peringan tubuhnya tidak bisa dianggap enteng.
Wutt! Jleegg ... !
Roman muka yang kemerah-merahan seperti bayi baru lahir sedikit terkejut, namun cuma sesaat saja sudah berganti dengan roman riang tanpa beban. Sosok kakek rambut putih yang baru datang adalah Dewa Periang adanya.
“Dewi Kecapi Hitam! Siapa yang punya pekerjaan seperti ini!?” Dewa Periang bertanya. “Weleeh-weleeh-weleeh! Ni kepala pada kemana?”
Mata-matanya berputar-putar lucu memelototi sosok-sosok terbujur kaku dekat kakinya.
“Mana aku tahu?” jawab Dewi Kecapi Hitam.
“Kepalanya dimana?” tanya kembali Dewa Periang.
“Aku juga tidak tahu, masih di cari orang-orang disana,” kata Dewi Kecapi Hitam.
“Kenapa kau tidak memanggil si Bandar Mayat?” kejar Dewa Periang. “Dia ’kan paling ahli dalam urusan kayak gini.”
“Heh, si Bandar Mayat tidak bisa datang.”
“Lho, kok bisa?” sentak Dewa Periang kaget. “ ... ini ’kan sudah jadi bagian dari tugasnya.”
“Karena si Bandar Mayat sudah malas jadi orang.”
“Malas?”
“Dia juga ikut-ikutan mati tanpa kepala,” jawab Dewi Kecapi Hitam, enteng.
Dewa Periang tersenyum manyun.
Lalu ia memanggil salah seorang yang ada di dekatnya.
“Kau! Ke sini sebentar,” katanya.
“Saya, Tuan?”
“Iya, kau kesini.”
Yang dipanggil tergopoh-gopoh mendekat.
“Ada apa, Tuan.”
“Aku mau minta tolong. Bisa?”
“Bisa, Tuan. Bisa!”
“Tolong kau hubungi Galah Mayat dan Ratu Kuburan. Suruh mereka kemari. Ada pekerjaan buat mereka. Jelas!?”
“Jelas sekali, Tuan.”
“Sip, kalau gitu,” ucap Dewa Periang sambil menepuk-nepuk pundak tebal si gemuk.
Si gemuk langsung putar badan.
“Eh, tunggu dulu! Siapa namamu?”
Si gemuk membalik badan.
“Jenggrik. Tapi orang-orang disini sering memanggil saya ... Mata Maling, Tuan.” terang orang berbadan bongsor bermata bundar kecil yang bernama Jenggrik ini.
Selebar muka Dewa Periang sontak langsung menahan tawa. Pikirnya, “Pantes aja di panggil Mata Maling. Matanya bundar kecil kayak gitu, mirip mata maling jemuran.”
“Baiklah, Ki Jenggrik. Kami tunggu disini,” kali ini yang bersuara Dewi Kecapi Hitam karena melihat dari tadi Dewa Periang mukanya merah-padam menahan tawa.
Mata Maling langsung bergegas pergi. Jangan dilihat postur tubuhnya yang besar macam gajah beranak lima, tapi ilmu lari cepatnya bisa dibilang luar biasa.
Blasssh ... !
Dalam empat helaan napas, sosok bundarnya sudah lenyap di tikungan jalan.
“Kenapa kau ini? Telat buang hajat?” ucap Dewi Kecapi Hitam.
Akhirnya ...
“Huahahahahaha ... hahahahaha ... !”
Meledaklah tawa keras Dewa Periang yang membuat semua orang yang berkumpul di tempat ini jadi terlonjak kaget. Bahkan laki-laki bermuka kemerahan ini sampai terbatuk-batuk saking keras dan panjangnya ia tertawa.
“Huahahah ... uhukk ... uuhukkk ... “
“Kau ini kenapa? Kesambet!?”
“Huahha ... dia .... huhuh ... matanya ... hahah ... lucu ... sekali ... “
Dewa Periang tertawa terus, hingga akhirnya ia jatuh kelelahan.
Saat itulah, dari kejauhan terlihat dua sosok tubuh beda tinggi beda jenis.
Yang sebelah kiri terlalu tinggi untuk ukuran laki-laki pada umumnya. Mengenakan rompi buntung hitam kusam yang dikancingkan sehingga kulit pucatnya terlihat jelas. Wajahnya biasa-biasa saja, tidak ganteng-ganteng amat juga tidak jelek-jelek amat. Sedang-sedang sajalah. Kalau urusan tua, jelas. Karena warna rambut sudah dua warna pastilah berusia lima puluh tahun ke atas.
Di pinggangnya terdapat galah bambu sepanjang dua tombak sebesar jari kelingking. Fungsi galah bambu ini selain sebagai alat ukur panjang mayat juga sebagai senjata yang memiliki daya bunuh hebat. Konon kabarnya benda antik ini di dapat dari mendiang kakaknya yang tewas terbunuh oleh lawan.
Selain tinggi tubuh menjulai laksana bambu kering tanpa daun, ada yang lebih luar biasa di bagian wajah.
Tepatnya ... di hidung!
Hidungnya terlalu besar untuk ukuran hidung manusia, mirip-mirip paruh burung betet gitulah, warnanya kuning kecoklatan.
PERINGATAN ... !!!
DILARANG MENGKOMERSILKAN NASKAH INI TANPA IJIN TERTULIS DARI SAYA -- GILANG SATRIA (PENULIS ASLI SI PEMANAH GADIS DAN PENDEKAR ELANG SALJU) -- ATAU HIDUP ANDA MENGALAMI KESIALAN DAN KETIDAK BERUNTUNGAN SEUMUR HIDUP!