oyeckpunkerz
Semprot Addict
- Daftar
- 6 Dec 2010
- Post
- 426
- Like diterima
- 2.383
BAGIAN 29
Satu sosok binatang berkaki empat dengan sepasang mata kecil dan ekor belakang yang kecil pula berdiri garang. Mata kecilnya terlihat beringas dengan napas sedikit mendengus. Kulit hitam terlipat dan kasar menunjukkan ketebalannya. Badannya cukup besar untuk ukuran binatang aslinya dimana memiliki ukuran mendekati dua kali dari sosok asli binatang berkaki empat. Dengan melihat cula putih besar di atas hidungnya, bisa dipastikan dia adalah binatang langka yang disebut orang sebagai ... badak!
“Badak?” desis Tua Raja Tabir Mentari yang tertarik melihat kepulan asap membungkus tubuh Jagal Dua. Saat dirinya sampai dekat Bramageni, barulah sosok badak ini tercipta sempurna.
“Rupanya kau tahu tentang binatang jelek ini, Adi Barka Satya!?”
“Tentu saja, Kakang Bramageni.” potong Barka Satya. “Untung saja dia berubah jadi badak, coba kalau jadi tikus sawah. Kutampar moncongnya ... pasti langsung celeng.”
“Hahahahah!”
“Silakan kalian tertawa sepuasnya, toh sebentar lagi nyawa kalian akan berpindah tempat,” terdengar satu suara menggema.
“Ternyata ini badak ajaib. Buktinya bisa ngomong!”
“Baru kali ini aku ngomong sama binatang,” ucap Bramageni sambil tetap tertawa tanpa suara.
“Kakang, apa kau sesuatu tentang hewan sial ini!”
“Jeleknya, maksudmu!?”
“Bukan! Apa Kakang Bramageni masih ingat dengan Sepuluh Ilmu Terlarang Rimba Persilatan?” tanya Barka Satya alias Tua Raja Tabir Mentari.
“Ya. Aku ingat. Manusia sinting ini telah bersekutu dengan Setan Badak untuk mendapatkan Ilmu ’Raga Badak’ yang konon katanya kebal dari senjata apa pun. Pukulan sakti juga tidak bisa membunuhnya,” tutur Bramageni sambil mengamati sosok badak ajaib di depannya.
Belum lagi ia melanjutkan ucapannya, terdengar seruan tertahan.
Terlihat Dewa Periang, Nyai Gugur Gunung, Ratu Kuburan dan Galah Mayat berloncatan menghindari lawan.
Saat itu, ajang tarung hampir mencapai puncak dengan terdesaknya Jagal Tiga dan Jagal Lima oleh lawan masing-masing. Dan di saat kritis, keduanya tiba-tiba diselimuti asap tebal dan begitu asap buyar, terlihat dua sosok binatang yang luar biasa besarnya.
Seekor gajah dan seekor kerbau!
Dua binatang jelmaan ini mendengus keras hampir bersamaan sambil berjalan mendekati si badak dan bergabung dengannya.
Rriiieeeeng ... !
Nggoooekkk ... !
Dewa Periang dan kawan-kawannya berloncatan mendekati Tua Raja Tabir Mentari dan Tua Raja Pedang Bintang.
“Waduh, bagaimana ini?” kata khawatir Nyai Gugur Gunung.
“Apanya yang bagaimana?” tukas Gayam Dompo yang berjalan beriringan dengan Contreng Nyawa yang keadaannya sudah lebih baik. “Tinggal kemplang satu-satu, ’kan beres?”
“Kemplang kepalamu!” kata Dewa Periang sambil jari telunjuknya mendorong jidat Gayam Dompo. “Apa kau tidak tahu ilmu apa yang dipakai oleh mereka!?”
“Tidak,” kata Kakek Kocak dari Gunung Tugel dengan wajah bego. ”Paling juga ilmu sihir.”
“Celaka! Tiga dari Sepuluh Ilmu Terlarang Rimba Persilatan ada di depan mata kita!” desis Tua Raja Pedang Bintang. “Entah cobaan apa yang diberikan Yang Kuasa pada wilayah Tanah Bambu ini.”
“Tua Raja Pedang Bintang! Cobaan atau bukan, kita tetap harus menghadapinya,” kata sopan Dewi Kecapi Hitam.
“Benar.”
“Kita hadapi bersama-sama!” kata tegas Dewa Periang.
“Andaikata Adi Dahana Lungit ada disini ... “
“Aku sudah datang dari tadi.”
Satu sosok suara terdengar jelas, namun tidak kelihatan batang hidungnya.
Selain Dua Tua Raja, semua orang celingak-celinguk kesana-kemari tapi orang yang dicari tidak kelihatan.
“Sudahlah ... kalian tidak perlu mencari,” ujar Tua Raja Pedang Bintang. “Dia sudah ada di belakang tiga makhluk jelek itu.”
Benar saja!
Satu sosok tubuh tinggi tegap melesat keluar dari dalam tanah dan sebentar kemudian, sosok tinggi besar yang tinggi tubuhnya di atas manusia normal ini telah berdiri kokoh. Baju balutan rompi dari kulit beruang putih tidak kotor sama sekali meski ia baru saja keluar dari dalam tanah. Tanpa banyak kata, sepasang tangan yang mengepal memancarkan cahaya merah terang dan langsung dihantamkan ke arah tiga binatang jelmaan itu.
Bukk! Bukk! Bugh!
Hantaman Tua Raja Bedah Bumi bukan sembarang hantaman biasa, tapi sanggup membuat kubangan besar untuk mengubur empat gajah sekaligus. Namun luar biasanya, tiga binatang itu hanya bergetar saja, tidak terluka parah sedikit pun.
Benar-benar aneh!
Begitu selesai menghantam, sosok Tua Raja Bedah Bumi langsung amblas bumi begitu saja dan belum sampai satu kedip, sudah muncul begitu saja di samping Tua Raja Pedang Bintang.
“Guru!” sapa Ratu Kuburan dan Galah Mayat hampir bersamaan.
Weit, apa lagi ini!?
Usia Ratu Kuburan dan Galah Mayat bisa dikatakan dua puluh tahun lebih tua dari Tua Raja Bedah Bumi, tapi mereka berdua menyebut Guru pada laki-laki tinggi besar ini.
Kok bisa!?
Masalahnya cuma satu!
Mereka berdua pernah kalah bertarung dengan Tua Raja Bedah Bumi dan jurus ’Alam Gaib Di Tengah Bumi’ milik Galah Mayat dan mendiang Bandar Mayat adalah ilmu yang diajarkan Tua Raja Bedah Bumi. Meski tidak mau mengakui ke dua orang itu menjadi murid, tapi untuk melegakan hati keduanya (habisnya waktu itu ngancem bunuh diri, sih ... ), laki-laki dengan baju kulit beruang ini hanya ikut saja bahkan dengan senang hati mengajarkan jurus ’Alam Gaib Di Tengah Bumi’.
Tua Raja Bedah Bumi hanya mengangguk sekilas dan itu lebih dari cukup untuk sekedar sapaan.
“Kalian bisa lihat, bukan!? Aku hantam dengan Ilmu ’Tinju Bumi’ saja mereka cuma bergoyang saja. Terluka saja tidak,” tutur Tua Raja Bedah Bumi.
“Hahaha! Kalian semua tidak akan bisa mengalahkan kami!” seru Jagal Dua yang menjelma menjadi badak.
“Betul! Kami bertiga menguasai tiga ilmu sesat paling hebat dan paling sesat yang ada di muka bumi ini!” sambung Jagal Tiga yang menjelma menjadi seekor gajah. “Cuma mimpi saja kalian bisa membunuh kami bertiga.”
“Mana bisa kalian membunuh kami?” bentak si kerbau jelmaan Jagal Lima.
“Ilmu sesat ’Raga Badak’, Ilmu ’Sukma Gajah’ dan Ilmu ’Setan Kerbau’ kembali muncul di rimba persilatan,” tutur Tua Raja Bedah Bumi. “Jika benar dugaanku, pastilah tujuh ilmu sesat yang lain telah memiliki penerusnya.”
“Jika benar seperti yang Kakang Dahana katakan, maka rimba persilatan akan dilanda prahara besar,” sambung Tua Raja Tabir Mentari.
“Benar.”
“Kakang Dahana! Jika mereka kubakar hidup-hidup, apa mereka bisa mati!?”
“Tidak.”
“Jika menggunakan Pedang Raja Tujuh Langit?”
“Juga percuma.”
“Dengan ... Gelang Hitam Belenggu Hawa?” usul Gayam Dompo.
“Apa gelang pusakamu sanggup menahan gempuran Ilmu ’Tinju Bumi’?”
“Jelas tidak.”
“Kalau begitu ... bagaimana cara mengatasinya, Guru?” sela Galah Mayat.
“Aku tidak yakin dengan pemikiranku ini ... tapi ini patut dicoba.”
“Katakan saja, siapa tahu kami bisa melakukannya.”
“Kalian tidak akan bisa ... cuma Galah Mayat dan aku yang bisa.”
Semua yang ada di tempat itu tahu seberapa tinggi kesaktian Galah Mayat. Hanya lebih tinggi empat tingkat dari murid Gayam Dompo.
“Guru ... tidak main-main!?”
“Tidak.”
Galah Mayat semakin bingung.
“Di antara kita semua yang ada di sini, hanya saya dan Kaswari yang rendah ilmunya, kenapa ... “
Tua Raja Bedah Bumi membisikkan sesuatu ke telinga Galah Mayat.
“Benarkah!?”
“Bukankah itu patut dicoba!?”
“Betul.”
“Kalau begitu ... lakukan!” lalu bisiknya pada yang lain. “Tolong kalian rapatkan tubuh untuk menutupi Galah Mayat.”
Meski bingung dengan perkataan Dahana Lungit, namun toh melakukan apa diperintahkan oleh laki-laki berbaju kulit beruang putih itu. Galah Mayat segera berpindah tempat ke belakang, lalu tubuh mendadak lenyap amblas bumi.
Sementara itu ...
“Jagal Lima, bagaimana sekarang?” bisik Jagal Tiga.
“Kita serang mereka. Mumpung mereka belum siap.”
“Lihat, mereka membentuk barisan,” ujar Jagal Dua pada dua kawannya. “Mungkinkah mereka hendak menyatukan ilmu kesaktian untuk menggempur kita bertiga?”
“Sesakti apapun mereka, tidak akan sanggup membunuh kita. Pokoknya kalian tenang saja,” tandas Jagal Lima. “Lagi pula, dengan mereka saling menghimpun kesaktian, justru memudahkan kita untuk membantainya.”
“Kalau begitu ... serang!” perintah Jagal Dua.
Dua belas kaki melangkah berdebam menggetarkan bumi.
Badak menerjang cepat dengan cula besar.
Kepala gajah sedikit merunduk, mengedepankan sepasang gading besar berkilau.
Sedangkan kerbau?
Tentu saja setelah menguak panjang dengan kepala digelengkan kanan-kiri, mengikuti langkah gajah dan badak menerjang ke arah tokoh silat dari Perguruan Tanah Bambu. Posisi penyerangan yang dilakukan ketiga binatang jelmaan ini bisa dikatakan teratur. Badak di posisi paling depan sebagai ujung tombak, akan halnya gajah dan kerbau berlari sejajar sejarak tiga jengkal. Jelas bahwa ketiga tokoh sesat ini telah cukup lama berlatih formasi penyerangan seperti ini.
Namun, belum lagi ketiganya mendekati sasaran, tiba-tiba saja ... tanah yang diinjak kerbau mendadak bergelombang seperti air.
Dan akibatnya ...
Blass ... ! Blasss ... !
Dalam sedetik saja, sepasang kaki belakang binatang jelmaan ini telah masuk sebatas paha, dan pelan namun pasti semakin terhisap ke dalam tanah. Sontak, kerbau jelmaan Jagal Lima meronta-ronta, berusaha keluar dari lubang tanah yang tiba-tiba saja ada begitu saja.
“Kawan-kawan! Tolong!” teriaknya disertai dengusan kuat.
Gajah dan badak yang baru sebentar lagi menerjang ke arah para tokoh-tokoh silat tingkat atas Perguruan Tanah Bambu langsung balik badan. Keduanya kaget melihat keadaan si kerbau.
“Keparat! Kenapa bisa seperti ini?” terdengar suara gema dari mulut badak.
Gajah dengan sigap menggunakan belalainya, melilit badan kerbau dan berusaha menarik keluar. Namun tubuh kerbau justru sedikit demi sedikit semakin tenggelam, bahkan kini dua pertiga tubuh hitamnya sudah masuk ke dalam tanah. Gajah dan badak sedikit demi sedikit juga terseret.
Di bawah tanah, Galah Mayat menarik kaki kerbau dengan tenaga luar-dalam hingga mukanya sampai pucat kehijauan.
“Edan! Kerbau sial ini kuat sekali!” pikir Galah Mayat. “Tapi jika kulepas, nasib Guru dan kawan-kawan jadi taruhan. Aku tidak boleh menyerah. Harus bisa! Harus bisa!”
Kata-kata semangat itulah yang membuat Galah Mayat semakin kesetanan hingga kekuatan yang melebihi batas kemampuannya tercurah hingga urat-urat kehijauan di tangan bersembulan keluar.
Di permukaan tanah ...
“Galah Mayat sudah beraksi!” ucap Dewa Periang. ”Tua Raja Bedah Bumi, tampaknya Galah Mayat sedikit kesulitan.”
“Aku tahu! Baiknya kalian coba serang pada titik-titik lemah yang barusan kuberikan! Kemungkinan salah satunya bisa berhasil,” bisik Tua Raja Bedah Bumi. Belum lagi suaranya lenyap, tubuhnya sudah amblas di telan bumi.
“Hem, enak juga jadi dia,” cetus Gayam Dompo tanpa sadar.
“Emangnya apa enaknya?” tanya Dewa Periang.
“Ya enak dong! Coba kalau pas jalan-jalan sore di bawah tanah lalu ketemu janda cantik lagi mandi. Khan rejeki tuh!” Kata Gayam Dompo sambil terkekeh. “Bisa dilihat dari bawah, komplit lagi!”
“Dasar tua bangka berotak mesum!” bentak Dewi Kecapi Hitam, “Sudah bau tanah, otakmu masih ngeres saja.”
Sambil mengendus-endus tubuhnya, Gayam Dompo berkata, “Hidung pesek! Aku tidak mencium bau tanah, tapi kalau bau kecut ... i-ya!” lalu katanya dengan nada menggoda, “Tapi kau suka, ’kan!?”
“Cih! Emang gue pikirin!”
“Kalian kalau sudah pentang bacot, bisa seharian penuh!” bentak Tua Raja Pedang Bintang. “Kita selesaikan dulu dua siluman keparat ini, setelah itu ... Kalian adu mulut berhari-hari pun tidak ada yang bakal ngurus!”
Tubuh Tua Raja Pedang Bintang segera berkelebat cepat ke arah badak. Lalu sepasang tapak tangannya tepat menghajar ke arah batok kepala si badak.
Bugh! Bugh! Plakk!
Derr!
Justru tubuh Tua Raja Pedang Bintang terpental.
“Gila! Delapan bagian hawa saktiku tidak bisa menembusnya!” desis Tua Raja Pedang Bintang sambil mengibas-ngibaskan tangannnya yang ngilu sesaat. “Jurus ’Tapak Bintang Menggusur Awan’ kandas begitu saja? Tampaknya saran Tua Raja Bedah Bumi ada benarnya juga.”
Lainnya, dengan serta merta menerjang ke gajah dan juga badak yang baru saja menerima terjangan dari Tua Raja Pedang Bintang.
Bugh! Bugh!
Criing! Criing!
Pukulan bertenaga dalam tinggi, hantaman tongkat dan sabetan pedang tidak sanggup menerobos tebalnya hawa pelindung gajah dan badak yang sedari awal cuma cuek bebek sambil sesekali merem-melek meski dihantam begitu rupa. Keduanya masih asyik membantu kerbau untuk keluar dari jebakan tanah yang dibuat Galah Mayat. Sekarang ini, tubuh kerbau tinggal sebatas leher dan dua kaki depan di luar, sisanya sudah ‘dimakan’ tanah.
“Bagaimana ini?” ucap Jagal Tiga khawatir.
“Brengsek! Siapa keparat yang berbuat seperti ini?” sentak Jagal Dua. “Kita tarik terus!”
Di bawah tanah ...
Begitu Tua Raja Bedah Bumi datang membantu, Galah Mayat bisa bernapas lega.
“Kita tarik sama-sama!”
“Siap!”
“Dalam hitungan ketiga!”
Galah Mayat tidak menjawab tapi justru mempererat pegangan pada dua kaki belakang, sedang Tua Raja Bedang Bumi memegang kencang ekor kerbau.
“Satu ... dua ... tigaaa ... !”
Pada hitungan ketiga, kerbau merasakan sentakan kuat dari bawah. Karuan saja libatan belalai gajah dan kaitan cula badak tidak sanggup menahan hentakan keras dari bawah tanah dan akibatnya ...
Bluuub!
PERINGATAN ... !!!
DILARANG MENGKOMERSILKAN NASKAH INI TANPA IJIN TERTULIS DARI SAYA -- GILANG SATRIA (PENULIS ASLI SI PEMANAH GADIS DAN PENDEKAR ELANG SALJU) -- ATAU HIDUP ANDA MENGALAMI KESIALAN DAN KETIDAKBERUNTUNGAN SEUMUR HIDUP!