BAGIAN 34
”Uuhh ... ”
Terdengar keluhan dari mulut sosok pemuda yang tergeletak di pembaringan. Saat terbuka, terlihat sepasang mata putih di sana. Sesaat matanya berkunang-kunang. Dipejamkan sebentar, lalu di buka lagi sambil mengerjap-ngerjap beberapa saat.
”Dimana aku?”
Pemuda yang tak lain Jalu Samudra beringsut bangun, sontak ia merasa seluruh tulangnya sakit semua. Sesaat meringis menahan sakit. Lalu dalam posisi tiduran, ia mengerahkan jurus pertama dari Ilmu ‘Tapak Sembilan’ yang bernama ‘Sambung Nyawa’ untuk mengobati luka dalamnya. Sesaat kemudian, tubuhnya memancarkan sinar ungu transparan yang segera meredup dan akhirnya hilang sama sekali.
”Hemm ... beres sudah,” gumamnya.
Matanya mengedar ke sekitar. Dalam pikirnya, ia berada di sebuah kamar yang luas, karena ia berada di atas kasur yang empuk berselimut tebal. Namun kenyataan sungguh bertolak belakang.
Murid Dewa Pengemis ini berada dalam sebuah taman!
”Wuuuhh ... orang gila mana yang meletakkan tempat tidur di taman seperti ini?” kata hati si pemuda sambil menyingkap selimut.
”Weiitt!”
Buru-buru selimut ditutup kembali.
“Busyet! Celanaku pergi kemana, nih?” pikirnya sambil mata memandang berkeliling. Bukan celana hitamnya yang ketemu, tapi justru tongkat kayu hitam, Medali Tiga Dewa dan Pasir Kujang Duta Nirwana tergeletak di samping tempat tidur.
”Heran ... perasaan Medali Tiga Dewa dan Pasir Kujang Duta Nirwana sudah kusimpan rapi di telapak tangan kiri dan kanan dengan ilmu khusus, kok bisa keluar sendiri. Aneh ... ” gumamnya. ”Jangan-jangan yang tinggal disini orang aneh semua, nih.”
Jalu Samudra bangkit sambil melilitkan selimut seperti orang pakai sarung.
“Lumayan … dari pada bugil,” desisnya lirih. Saat melirik ke bawah, ia sedikit nyengir, “Hihi, kayak kuda ekornya didepan tapi pake sarung aneh.”
Diraihnya tongkat kayu hitam, lalu berjalan seperti orang buta --dengan mengetuk-ngetukkan tongkat ke tanah--, padahal ia bisa melihat segala sesuatu dengan nyata.
Benar-benar kebiasaan yang sulit dihilangkan!
Jalu Samudra menyaksikan sebuah taman yang sangat indah, dengan taman yang asri, pepohonan rindang dan kawanan rusa berlari-lari diiringi burung-burung beterbangan. Ia celingukan ke kiri ke kanan tapi tidak mendapati seorang pun disana. Di kejauhan, terlihat sebentuk gerbang, ia pun berjalan perlahan ke sana sembari menghirup aroma wewangian yang begitu melenakan.
Sebentar saja, ia sudah sampai di depan gerbang besar berwarna hijau teduh.
“Pasti tidak ada orang, nih … “ gumamnya. ”Sepi begini ... ”
Krieett ... !
Ketika membuka gerbang itu, ia melihat beberapa gadis cantik --tepatnya sepuluh orang setelah di hitung Jalu-- sedang berkumpul pada satu bangsal besar. Mereka bercakap-cakap, membaca, bermain musik, menulis, pokoknya segala kegiatan yang terpikir olehnya.
Yang membuat Jalu semakin ternganga adalah ... semua gadis cantik itu mengenakan gaun tipis tembus pandang!
Semua bagian tubuh dari ujung kaki sampai ujung kepala terlihat jelas. Mereka mengenakan penutup dada untuk menutupi gumpalan padat-kencang yang tampak tersembul dan tidak mengintip malu-malu. Belum lagi dengan cawat yang cuma sekelumit seolah hanya menutupi bagian-bagian yang penting saja. Yang jelas, tubuh berbaju minim itu semuanya sekal, padat dan tampak berisi! (pokok’e mantap, ciing ...!)
Jalu lumayan sulit membedakan antara yang satu dengan yang lain, karena semua cantik-cantik dan montok-montok. Hanya warna gaun tembus pandang, penutup dada dan cawat mungil saja bisa membedakan mereka. Tanpa sadar, Jalu berjalan mendekat sambil menikmati ’pemandangan indah’ yang jarang-jarang ia jumpai (maksudnya ... jarang sebegitu banyak, lho).
Tiba-tiba salah seorang gadis yang bergaun putih tipis itu tersadar lalu terdiam sambil memandangi si pemuda yang cuma melilitkan selimut sebagai pengganti celana dan berjalan menggunakan tongkat mengetuk-ngetuk tanah didepannya.
Seketika, Jalu Samudra berhenti berjalan dan balas memandang.
”Maaf, aku salah masuk ... ” kata Jalu beranjak pergi (masa’ sudah jalan sejauh itu, baru ngomong kalau kesasar, hehehe ... !). Bagaimana tidak beranjak pergi, karena pilar tunggal penyangga langitnya sudah menggeliat bangun karena melihat pemandangan yang memang sanggup membuatnya pilar tunggal penyangga langitnya bangun tanpa dipaksa. Kalau pake sarung antik kayak gitu,khan jadi keliatan, bro!?
”Malu-maluin aja ni otong,” pikir Jalu sambil balik badan. ”Liat gadis sedikit licin saja, maunya nyodok melulu.”
Gadis bergaun putih berjalan mendekat lalu tersenyum manis sambil mengulurkan tangannya.
”Kau sudah bangun?” katanya lembut sambil menyentuh tangan kiri murid Dewa Pengemis.
Jalu Samudra kembali memutar tubuh. Jarak keduanya cuma setengah jangkauan saja.
”Diamput! Mantap bener ni cewek,” pikir Jalu Samudra rada jorok sambil mengamati gadis di depannya. Katanya kemudian, lalu katanya dengan sedikit nyengir kuda. ”Apakah ... kalian semua ini para bidadari swargaloka yang menghuni tempat ini?”
Gadis bergaun tipis itu tertawa renyah. Terlihat sepasang lesung pipit dikala ia tertawa.
Kulit putih bersih, mata jernih dan indah dengan bulu mata lentik dan alis tipis namun indah. Rambut panjang diikat rapi dan ia mengenakan gaun putih tipis yang memamerkan keelokan tubuh seorang gadis muda. Di belakangnya, beberapa gadis lain dengan antusias mengikuti dan mendekatinya. Seorang tampak berjingkat-jingkat lincah dengan tubuh kecil namun padat dan kencang, betisnya yang indah tampak tersibak, memamerkan bagian bawah kakinya yang jenjang.
Jalu Samudra ternganga dan mulai memandang ke sekeliling mencari ’pemandangan indah’ lainnya, namun gadis bergaun putih tadi mengelus dagunya dan menghadapkan muka Jalu Samudra agar menatapnya.
“Kamu dari negeri luar?” tanya si gaun putih.
”Ceritakan apa saja yang ada di negeri luar?” terabas si gaun merah.
”Apakah para pemudanya begitu tampan dan gagah sepertimu?” ucap si gadis mungil.
”Negeri luar?” tanya Jalu, heran. ”Negeri ... apa?”
”Maksudku ... wilayah di luar kepulauan kami.”
”Kep-kepulauan ... apa?”
”Kepulauan Tanah Bambu, tentunya.” desis gadis bergaun hijau di dekat telinga Jalu Samudra.
Jalu Samudra tersentak kaget!
Tak disangkanya sekarang ini ia berada di tempat yang menjadi tujuannya. Meski begitu, pemuda bermata putih ini sedikit bingung dengan keadaan dirinya. Seingatnya, ia dikerumuni oleh batu-batu besar saat mengejar Nagagini, sehingga tanpa sadar kepalanya terbentur batu besar, lalu antara sadar dan tidak, ia terseret pusaran arus laut hingga ke kedalaman laut yang gelap. Kemudian memasuki lorong-lorong panjang berliku-liku dan akhirnya ia kehilangan kesadaran penuh.
”Benar. Lorong itulah salah satu jalan masuk ke tempat kami,” kata dara cantik bergaun keemasan.
Kaget sekali itu lumrah, tapi kalau berkali-kali malah bisa bikin jantungan!
”Kau ini seperti cacing di perutku saja,” seloroh Jalu Samudra sambil menoleh ke dara bergaun keemasan. Diantara semua yang ada disitu, cuma gadis itu yang duduk manis sambil memetik harpa.
”Selama kau berada di wilayah kami, semua isi kepalamu bisa terbaca oleh kami bersepuluh,” tutur gadis bergaun biru, lembut.
”Walaaahh ... ” seru Jalu Samudra, kaget.
”Beruntung kau terperosok ke lorong kanan, jika masuk ke lorong kiri, kemungkinan besar nyawamu sulit terselamatkan,” kata dara cantik bergaun hitam.
”Memangnya kenapa kalau masuk ke lorong kiri?” tanya Jalu dengan nada menyelidik.
”Tidak ada apa-apa. Cuma di ujung lorong, ada suatu tempat yang bernama Lembah Selaksa Kobra.”
”Lembah Selaksa Kobra?” desis Jalu Samudra.
”Semoga saja teman gadismu tidak terperosok kesana,” lanjut dara bergaun hitam menerawang.
”Memangnya disana ada apa? Paling juga ular doang!?”
”Betul. Cuma ular kobra saja yang jumlahnya hanya sekitar enam belas ekor saja ... ”
”Tuh, kan. Cuma belasan saja. Aku yakin Nagagini pasti bisa selamat dari sana ... ” kata Jalu Samudra.
”Tapi ular kobranya sebesar pohon kepala, tuh ... ” sahut dara cantik bergaun jingga. Postur tubuhnya sih cukup mungil, tapi ’masa depannya’ itu lho ... justru besar-menantang untuk diremas!
”Hah!?” kembali murid Dewa Pengemis dan Dewi Binal Bertangan Naga kaget. ”Kalian beneran nih ngomongnya!?”
”Betul,” kata para gadis hampir serempak.
”Waduh, celaka tujuh belas setengah! Nagagini bisa jadi tusuk gigi kalau benar-benar tersesat kesana,” gumam Jalu sambil membayangkan tubuh seksi Nagagini dimakan ular kobra raksasa.
”Tapi jangan khawatir, ular-ular kobra itu tidak akan memangsa gadismu, kok.”
”Kok bisa? Apa ularnya tidak punya gigi semua alias ompong, begitu?” tanya si Pemanah Gadis, heran.
”Ooo ... tidak! Semua bergigi tajam dan kuat-kuat, kok.” kata dara berbaju hijau tembus pandang. ”Yang perlu khawatirkan cuma majikan para ular itu saja. Dia suka sekali dengan gadis-gadis muda dan cantik molek. Kadangkala ia naik ke darat, nyulik anak gadis orang, lalu diperkosa di Lembah Selaksa Kobra, dan setelah puas, baru berikan pada hewan peliharaannya ... ” terang si gaun hijau panjang lebar.
”Julukannya si Dewa Kobra Cabul … “ tukas si gadis gaun coklat.
Mendengar perkataan para gadis berbodi aduhai yang sekarang mengerubungnya membuat Jalu Samudra semakin khawatir tentang keselamatan Nagagini. Tapi bayangan buruk segera ditepisnya mengingat kemampuan ilmu kesaktian yang dimiliki murid Ratu Cambuk Api Lengan Tunggal itu sudah meningkat jauh.
Masih jelas dalam ingatannya, ketika keduanya mencapai puncak asmara tertinggi, tiba-tiba saja seluruh tubuh Nagagini diselimuti pendaran cahaya biru tipis mendekat putih meski untuk beberapa kejap lamanya. Dan keesokan harinya, tatkala ia berlatih 19 jurus ’Cambuk Cacat’ justru menemukan kekagetan luar biasa. Sebab hawa tenaga dalamnya justru mengalir lancar tanpa halangan seperti sebelumnya. Begitu selesai mengerahkan total 19 jurus, tidak terjadi gerakan patah seperti sebelumnya.
Waktu itu, Nagagini sedikit heran sambil bergumam, ”Aneh! Setahuku, jurus cambuk hanya bisa dilatih orang cacat, tapi kenapa aku yang memiliki raga sempurna justru bisa menguasainya dengan baik!?”
”Mungkin ... karena sebelumnya kakimu pernah putus, jadi jurus itu bisa kau lakukan dengan sempurna,” ucap Jalu Samudra memberi tanggapan.
”Mungkin juga bisa,” kata Nagagini dalam nada gumam.
”Atau barangkali ... ”
”Barangkali apa?” potong Nagagini, cepat.
Sambil membetulkan posisi duduknya yang kurang nyaman, Jalu berkata, ”Begini. Ini cuma pemikiran kakang lho, ya. Tapi sopo ngerti wae bener (tapi, siapa tahu saja benar)! Keperawanan adalah simbol sakral seorang gadis yang masih suci. Apapun alasannya, gadis perawan selama belum disentuh laki-laki dianggap sebagai gadis murni, gadis sempurna. Nah, karena semalam ... ”
” ... kita berhubungan intim, maka dianggap sebagai bentuk kecacatan?”
”Eemmm ... bisa jadi begitu,” kata Jalu sambil nyengir-meringis.
Nagagini sedikit heran melihat raur muka pemuda didepannya, lalu berkata, ”Kakang ini kenapa, sih? Sakit ... ?”
”Ehh ... engga ... cuma ... ”
”Cuma apa ... ?”
”Hehehe, ini bangun lagi ... ” kata Jalu cengengesan sambil menunjuk ke bawah.
Lamunan si pemuda --yang menjurus jorok-- terpenggal karena sebuah suara berbisik mesra di telinganya, ”Sudahlah, Jalu. Lebih baik sementara ini kau tinggal disini.”
Seorang gadis cantik dengan postur menggiurkan mendekat lalu menggeserkan tubuhnya dengan manja ke dada Jalu Samudra. Ia menatap dengan tajam dan lekat ke arah mata putih Jalu Samudra yang seperti orang bingung. Lalu dengan halus ia mengelus dada bidang Jalu Samudra dan memasukkan tangannya ke dalam ’celana antik’ Jalu Samudra. Yang lain mengikuti mengelus kaki Jalu Samudra, ada yang menciumi rambut dan memainkan ujung ’celana antik’nya. Pokoknya apa saja yang bisa dipegang tangan.
“Ssse ... bb ... bentar ... ” desis Jalu.
“Sst ... jangan banyak kata, tak sering lho ... kami menemui pria segagahmu, mari kita bersenang-senang sejenak ... ”
“Tt ... tapi a-aku ... ”
Jalu Samudra dikerubuti para gadis itu lalu dibimbing ke ranjang besar yang terletak di tengah ruangan itu, ia lalu dibaringkan disana tak berdaya. Jalu Samudra dengan senang melayani ’permintaan para nona cantik’ itu, tapi kalau sebanyak itu dan mainnya keroyokan, ya bingung juga mau ngapain!?
Maksudnya ... siapa dulu yang ’diapa-apain’!?
“Wah, gila nih … masa’ mau diperkosa gadis-gadis!? Yang bener saja,” pikir Jalu, sambil sesekali tangannya bergerilya kemana-mana. “Wah kalau begini caranya, aku bisa kewalahan sendiri.”
“Tunggu sebentar!” kata si Pemanah Gadis dengan sedikit terengah-engah.
“Ada apa?” tanya seorang gadis berambut panjang menggiurkan sambil mengelus bahunya. Gaun coklatnya sudah hilang entah kemana.
Jalu Samudra belum sempat menjawab sebelum gadis yang lain menempelkan tubuhnya erat-erat ke punggung Jalu Samudra sambil mendesah, ”Jangan tinggalkan kami.”
“Kami sangat kesepian,” desah yang lain.
Jalu Samudra tak kuasa menolak.
Masih terhembus aroma tubuh gadis itu dan kehangatannya yang tak pernah terbayangkan. Ia memandang seorang lagi yang dengan lekat membalas tatapannya, seorang gadis dengan bola mata hitam begitu cantik dan menarik lalu bibir kecilnya membuka perlahan lalu membisik, “Ceritakan petualanganmu di luar sana.”
Gadis yang lain menimpalinya lalu berlomba mengelus dan menarik Jalu Samudra untuk mendekatkan diri dengan mereka. Semua gadis yang ada di tempat itu berlaku seperti belum pernah menyentuh laki-laki, kecuali satu orang.
Yaitu ... dara bergaun keemasan!
Plok! Plok! Plok!
Tiga kali tepukan sudah lebih dari cukup menghentikan tingkah-polah sembilan gadis yang sibuk mengerumuni si Pemanah Gadis.
Sembilan gadis itu dengan muka cemberut mundur teratur.
”Haaahh!?”
Terdengar seruan kaget!
Bukan dari mulut si pemuda tapi justru dari mulut merah merekah sepuluh dara cantik itu.
Sepuluh pasang mata terpaku pada sosok benda bulat panjang berotot di bawah perut Jalu Samudra.
Sebentuk pilar tunggal yang jarang ada!
--o0o--
”Uuugh ... ”
Terdengar suara keluhan dari sosok tubuh yang tergeletak di tepi sungai berair jernih. Sosok gadis dengan baju morat-marit tidak karuan sehingga memperlihatkan segala bentuk keindahan seorang gadis muda.
Sudah basah, morat-marit, dah gitu jumlahnya cuma sedikit pula!
Sesaat ia mengerjap-ngerjapnya sepasang mata indahnya karena silau terkena sinar matahari.
”Di mana aku ... ” gumamnya lirih. Setelah rasa pusing sedikit berkurang, matanya mengedar berkeliling.
”Hemmm ... sepi sekali ... ” kembali ia bergumam.
Saat angin bertiup, gadis itu merasa dingin di sekujur tubuhnya.
“Hemm, pantesan dingin ... lha baju sobek-sobek semua gini,” katanya lirih sambil matanya berputaran. “ ... disana ada cerukan cukup dalam, lebih baik aku ke sana saja.”
Wutt!
Dengan kecepatan tinggi, gadis yang tak lain Nagagini berkelebat cepat. Maklum aja, dengan baju yang alakadarnya seperti itu sudah cukup membuatnya malu.
Beberapa saat kemudian, terdengar suara kain dirobek-robek (hehehe, pasti pada mikir jorok. Boleh dech, tapi jangan pake ngupil, ya!?)
Brett, brett, brett ... !
Sebentar kemudian, murid tunggal Ratu Cambuk Api Lengan Tunggal telah keluar dari dalam cerukan. Sosok tubuhnya yang ramping padat kini sedikit lebih rapi. Baju biru laut yang sudah compang-camping di robek jadi tiga bagian. Dua bagian di ikat menjadi satu, lalu dibalutkan sebagai penutup dada dengan ikatan di depan. Sedang bagian ketiga, masih dijadikan dua lagi berbentuk segitiga dan dipakai sebagai cawat dengan ikatan di samping kiri kanan (kalau istilah jaman sekarang : bikini two pieces).
Terus tali tambang gimana?
Gampang saja.
Cukup dililitkan di pinggang, beres!
”Yah, lumayanlah bisa menutup bagian yang penting-penting saja, dari pada kayak tadi,” gumamnya sambil mematut-matut diri di dekat kolam. ”Wah, kalau Kakang Jalu tahu aku pakai barang kayak ginian, bisa habis aku semalam suntuk ... ”
”Wah, wah, wah! Rupanya ada bidadari turun dari langit rupanya!” Satu suara serak terdengar menggelegar. “Rejeki hari ini benar-benar besar, ha-ha-ha-ha!”
Kontan, Nagagini membalikkan tubuh.
PERINGATAN ... !!!
DILARANG MENGKOMERSILKAN NASKAH INI TANPA IJIN TERTULIS DARI SAYA -- GILANG SATRIA (PENULIS ASLI SI PEMANAH GADIS DAN PENDEKAR ELANG SALJU) -- ATAU HIDUP ANDA MENGALAMI KESIALAN DAN KETIDAKBERUNTUNGAN SEUMUR HIDUP!