Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT PERJUMPAAN (racebannon)

PERJUMPAAN – 22

--------------------
--------------------

15112510.jpg

Aku duduk di balkon kamar Stephanie sambil menghisap rokokku dalam-dalam.

Aku menatap ke arah lampu malam Bangkok yang begitu menyilaukan. Kuperiksa handphoneku yang sepi itu. Ada satu atau dua pesan masuk. Aku membacanya dengan enggan. Sudah kuduga. Ketikan-ketikan membosankan khas Listya yang selalu saja sibuk dengan pembicaraan terkait pekerjaannya.

Selama ini aku berusaha dengan melarikan topik pembicaraan kesana dan kemari, tapi ternyata tidak berhasil sama sekali. Topik ditarik dan ditarik lagi ke semua tetek bengek super membosankan khas Badan Usaha Milik Negara. Perusahaan-perusahaan plat merah yang kalau aku dengar ceritanya setiap hari, mirip dengan drama-drama kolosal di televisi nasional yang semuanya penuh kepalsuan dan kepura-puraan bodoh.

Mungkin tidak seperti itu, aslinya. Tapi setidaknya, itu kesan yang kudapat dari penjelasan Listya setiap hari. Kenapa dia begitu? Aku tidak tahu. Tapi aku tidak pernah membawa kepusingan yang berlebih dari kantor ke rumah.

Aku bersihkan dulu di luar. Aku tuntaskan terlebih dahulu di luar rumah.

“Maaf lama”
“Eh? Kenapa bawa itu?”

Stephanie keluar dari dalam dengan membawa dua gelas kertas berlogo duyung berwarna hijau.

“Kamu selalu ngopi kalo kita papasan di work café dan starbucks di lantai bawah”

“Terus, kapan beli starbucksnya?”
“Tadi aku mintain orang WnG sini yang jadi LO kita untuk pesenin lewat UberEats” jawabnya singkat, padat, jelas dan menggemaskan.

“Phad?” tanyaku pelan, sambil menerima gelas kopi itu dari Stephanie dan menyimpannya di meja balkon.

“Alias Phassakorn Na Sunthornthep” jawab Stephanie, memberitahuku nama lengkap Phad.
“Ha? Phad nya dari mana?” bingungku. Nama orang Thailand memang super aneh. Maksudnya, seringkali korelasi antara panggilan dan nama asli itu tidak ada.

“Entah” jawab Stephanie pelan, sambil menarik rokok dari kotak yang ada di meja. Dia membakarnya dan dia duduk di kursi yang ada di sebelahku. Dia mengenakan baju yang tadi. Masih hoodie dan celana pendek. Rambutnya ia biarkan tergerai. Tapi dia sudah melepas soft lens nya, jadi dia memakai kacamata yang terlihat cantik.

Aku lebih menyukai bentuk mukanya saat ia memakai kacamata. Entah mengapa rasanya lebih tenang dan lebih syahdu. Jika memakai soft lens, aura mukanya berubah jadi fierce dan begitu cool.

“Besok kita pulang ya” lanjutku, sambil menghisap rokok dan meminum kopi pahit pelan-pelan.

“Gak berasa banget”
“Kembali ke dunia nyata” balasku.
“Yep….” Aku bisa melihat asap rokok keluar perlahan dari mulut Stephanie.

“Kamu sejak kapan ngerokok?” tanyaku dengan agak penasaran.
“Haha… Harus dijawab gak nih?” tanyanya balik.
“Wah, ya terserah sih…. Tapi itu aku rasa pertanyaan standard buat sesama perokok”
“Kenapa kamu nanya pertanyaan yang agak trivial kayak gitu sih Bas?” tawanya. Pelan.

“Just curious”
“Curiousity kills the cat” balasnya.
“Dan kamu bikin aku makin penasaran”
“Setelah kamu denger ceritanya, mungkin kamu gak pengen penasaran lagi sama aku” dia tersenyum kecut. “Ini gak gampang ceritanya lho…. Mungkin kamu pikir aku sama kayak kebanyakan orang yang ngerokoknya Cuma karena ikut-ikutan temen atau kenapa gitu…. Tapi buat aku, pertanyaan itu bikin aku inget sama hal-hal yang gak pengen aku inget”

“Oh…” aku menarik nafas panjang. “Bisa kita puter waktu ke lima menit kebelakang?” aku berusaha untuk mengalihkan topik pembicaraan.

“Bisa… Harusnya” Stephanie tampak berusaha menutupi hal yang tidak ia sukai, tapi dia berusaha berkolaborasi denganku malam ini dengan menjawab hal yang perlu dan berusaha untuk mengalirkan percakapan kembali.

“Aku ganti pertanyaannya”

Stephanie mengangguk. Aku mematikan rokokku.

“Kamu sejak kapan….” Aku menarik nafas panjang, lagi.
“Sejak kapan apa?”
“Sejak kapan bisa bikin aku jadi kayak gini?” sambungku.
“Kayak apa?”

Aku beranjak dari kursiku, dan berlutut di depan Stephanie yang kaget. Dia tidak mengantisipasi adegan selanjutnya. Kepalaku mendekatinya dan perlahan, aku raih wajahnya dan menciumnya pelan di hidungnya.

Stephanie yang tampak kaget hanya tersenyum kecil sambil membuang muka.

“Silly” mukanya tampak memerah dan dia mematikan rokoknya. “Kamu jangan bikin aku ngerasa kayak gini Bas… Besok kita udah pulang”

“Kita bikin besok gak ada, bisa kan?”
“Gimana maksud kamu?”

Stephanie tampak bingung.

“Jangan berhenti kayak gini” aku menciumnya lagi, kali ini mengenai keningnya. Tanpa sadar ia mengalungkan tangannya di kepalaku, dan dia lalu mencium bibirku dengan pelan.

“Besok kita harus balik ke diri kita yang dulu, Bas… Menurut aku” sambung dirinya dengan wajah sedih.
“Jangan ngomong apa-apa” balasku. “Rasain aja apa yang pengen kamu rasain sekarang”

Mendadak, kami berdua berciuman kembali. Bibir dan lidah kami bermain-main di balkon itu, sambil berpelukan. Stephanie duduk di kursi dan aku berlutut di hadapannya. Badan kami berdua saling menempel, seperti tidak ingin dilepaskan.

Dan ya, kami tidak mengulang kesalahan kami lagi di malam terakhir ini. Kami akan melindungi diri kami sendiri nanti.

Nafas kami saling beradu, membuat kami berdua lupa akan waktu. Bibir kami saling melumat, saling beradu lidah dan beradu keintiman, melupakan hal-hal yang lainnya sedikit demi sedikit selain waktu.

Tak ada rasa yang lebih nikmat dari ini. Tidak ada rasa yang lebih memabukkan dari ini. Selain waktu yang terasa berhenti, ruang yang ada di dalam sana seperti menarik kami berdua untuk saling melumat lebih ganas lagi.

Aku bisa merasakan nafas Stephanie yang memberat, dan tatapannya yang makin terlihat sayu dibalik kacamatanya itu. Bahasa badannya tidak bisa bohong lagi. Kami menginginkannya malam ini dan kami ingin untuk bersatu malam ini.

“Bas….” Dia berbisik sambil memelukku erat. Rokok yang tadi ia hisap sudah terletak di asbak, tergeletak tak berdaya begitu saja.

“Sini” Aku memeluk dirinya, dan mengangkat pelan tubuhnya. Kami berdua beranjak ke arah kasur dan rasanya, kami tidak ingin berhenti berciuman.

Tak sadar, kami telah bergumul di kasur. Kami berpelukan dan kembali saling berciuman, benar-benar tenggelam di detik itu dan di tempat itu. Kalau bisa, besok tidak harus datang, dan kalau bisa, kami ingin mengulang hari-hari kemarin. Kami tidak bisa bohong lagi, bahwa kami berdua benar-benar hanyut dalam perasaan yang sama ini.

Bibirnya yang lembut, dengan rasanya yang seperti rokok kontras dengan wangi tubuhnya yang begitu manis. Entah dia memakai parfum apa. Di sisi lain, tanganku dan tangannya sudah saling berusaha melucuti pakaian masing-masing.

Stephanie membuka kacamatanya, dan dia membiarkan aku menarik hoodienya sampai terlepas dari badannya. Dia lantar mengizinkanku untuk menciumi lehernya, menggigitnya pelan dalam beberapa gerakan yang membuatnya terangsang. Nafasnya terasa menggairahkan dan semua gerak tubuhnya tampak cair, menyelimutiku dan menenggelamkanku.

“Nnn…” Dia mengerang perlahan saat aku mulai meremas pantatnya, berusaha dengan konsentrasi yang kacau balau untuk melepas celana pendeknya. Masih ada beberapa layer pertahanan lagi di tubuhnya. Sedangkan aku, t-shirtku sudah terbuka, atas bantuan Stephanie.

Kami menggila.

Bibir kami kembali bertemu, dan aku hanya tinggal memakai celana saja. Stephanie sudah tampak begitu menarik dalam balutan pakaian dalamnya yang menurutku begitu berwarna. Celana dalamnya hitam dan bra-nya berwarna merah. Tidak sama tapi cocok. Tidak harus sama untuk bisa kompatibel, bukan?

Entah posisinya sekarang seperti apa. Kami saling memagut, tampak lupa ruang dan waktu. Bibir kami berciuman tanpa henti, dan tanpa jeda. Tangan kami berdua entah kemana. Dan pergumulan kami menuju hanya pada satu titik. Yakni memuaskan nafsu kami berdua.

Aku berbaring di bawah Stephanie. Dia melepaskan ciumanku, dan dia merayap menuju area kejantananku. Dia lantas membuka celanaku dengan gerakan yang cepat, menurunkannya ke bawah dan membiarkan dirinya menciumi pangkal pahaku, berusaha memberikan rangsangan sebelum ia mulai ke langkah selanjutnya.

Stephanie Lantas menarik celana dalamku sambil menjilati perutku dengan gerakan yang pelan.

Itu dia. Dia berdiri tegak di samping kepala Stephanie. Tanpa diminta, dia langsung menggenggamnya, dan mengocoknya perlahan, sambil tetap menciumi perutku, lantas dengan pelan berpindah ke bawah, mulai mencium ujung alat kelaminku.

“Mnnn…” Dia mengerang pelan, dengan tatapan nakal yang tampak ingin langsung melumat penisku.

“Ah..”

Aku mengerang tertahan, saat ia memasukkan penisku dengan gerakan cepat ke dalam mulutnya. Dia lantas mengulum penisku dengan gerakan-gerakan binal yang tampak natural. Stephanie memainkan lidahnya di dalam sana. Tangannya meraba-raba diriku dan aku Cuma bisa meringis, menahan ledakan supaya tidak terlalu cepat selesai.

Ada apa dengan mulutnya? Kenapa Stephanie begitu menyukai oral seks? Aku lantas membandingkannya dengan masa laluku dan masa sekarangku. Pasanganku tidak ada yang menjadikan oral seks sebagai favoritnya.

Tapi Stephanie berbeda. Dia berulang kali mengulum penisku dengan antusias, sambil menciumi seluruh permukaannya. Tak jarang ia menjilatinya ataupun bermain-main dengan menjilati testisku dengan gerakan yang begitu nakal.

“Steph…”
“Mmnn?”
“Aku…”
“Mnn?”
“Gak kuat….”

Aku tidak bisa menahannya lagi. Stephanie lantas mencabut penisku dari mulutnya. Dia tersenyum kecil lalu ia mencium pelan kepala kejantananku.

Aku meraih kondom di meja kecil yang berada di sebelah kasurku. Dengan buru-buru dan tak karuan, aku memakainya dengan cepat. Tanpa diminta, lagi-lagi tanpa diminta, dia lalu duduk di atas penisku sambil membuka celana dalamnya dengan gerakan yang tak terlihat mata.

Kami saling bertatapan. Dengat erat.

“Nnn…”

Dia meringis kecil saat penisku masuk ke dalam area kewanitaannya dengan perlahan. Badannya yang masih dihiasi bra menggelinjang pelan di atas tubuhku. Dia bergerak naik turun, mengirimkan rasa yang sepertinya sudah lama tidak kurasakan dari area kelaminku ke seluruh tubuhku.

Badannya bergerak dengan irama pelan, dan tangan kami berdua bertaut. Erangannya terdengar begitu merdu di telingaku, dan rasanya, waktu seakan terhenti.

“Nnnhh…. Ahh…” Aku bisa melihat Stephanie meringis, sambil terus menari di atas badanku. Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi, selain menyuarakan rasa rinduku pada hal-hal seperti ini. Hal yang sudah lama tidak aku rasakan. Hal yang sudah lama tidak aku dapatkan dari pernikahanku.

Heat. Passion. Kemesraan. Semuanya hambar, tidak seperti sekarang.

Aku memeluk badan Stephanie mendadak, dan membantingnya di atas kasur. Kakinya melingkari badanku dan kami saling menatap dalam jarak dekat. Tangannya langsung memeluk leherku, dan tanganku menahan badanku yang menimpa dirinya.

Tanpa aba-aba lagi, aku langsung bergerak maju mundur. Seakan tak peduli akan apapun.

“Aaah… Aaah…. Nnnn…”

Suara erangan Stephanie bergema di telingaku, dan aku hanya terus fokus pada area kejantananku. Aku menggagahi Stephanie tanpa ampun. Ritme tubuhku sudah tidak karuan. Kami sudah terjebak dalam permainan gila ini. Kami sudah terjebak pada hal-hal yang sepertinya terlarang ini. Dan kami benar-benar tidak bisa bergerak mundur lagi.

“Aaahhh…. Bas…. Nnn… Aaaahh…”

Suaranya benar-benar terdengar tak karu-karuan.

“Bas…. Aku…”

Aku hanya bisa membisikkan kata-kata yang tak jelas dari nafas terburu-buruku di telinganya. Pikiranku sudah melantur kemana-mana. Tidak ada yang bisa menahan diriku lagi. Sebentar lagi.

“Steph…”
“Nnnn…”
“Aku…”
“Aku juga….”

Aku bisa merasakan badannya menegang.

“Ah… Aah… Ah!”

Stephanie tak bisa menahannya lagi.

Aku tidak bisa menahannya lagi.

Ada sepersekian detik dimana rasanya semua begitu nikmat. Semua pikiranku hilang dan semua keraguanku lenyap.

Dan sepersekian detik itu berlanjut ke sebuah ciuman terindah yang pernah kurasakan.

Dunia, sekarang sudah berhenti sejenak.

--------------------

BERSAMBUNG
 
PERJUMPAAN – 22

--------------------
--------------------

15112510.jpg

Aku duduk di balkon kamar Stephanie sambil menghisap rokokku dalam-dalam.

Aku menatap ke arah lampu malam Bangkok yang begitu menyilaukan. Kuperiksa handphoneku yang sepi itu. Ada satu atau dua pesan masuk. Aku membacanya dengan enggan. Sudah kuduga. Ketikan-ketikan membosankan khas Listya yang selalu saja sibuk dengan pembicaraan terkait pekerjaannya.

Selama ini aku berusaha dengan melarikan topik pembicaraan kesana dan kemari, tapi ternyata tidak berhasil sama sekali. Topik ditarik dan ditarik lagi ke semua tetek bengek super membosankan khas Badan Usaha Milik Negara. Perusahaan-perusahaan plat merah yang kalau aku dengar ceritanya setiap hari, mirip dengan drama-drama kolosal di televisi nasional yang semuanya penuh kepalsuan dan kepura-puraan bodoh.

Mungkin tidak seperti itu, aslinya. Tapi setidaknya, itu kesan yang kudapat dari penjelasan Listya setiap hari. Kenapa dia begitu? Aku tidak tahu. Tapi aku tidak pernah membawa kepusingan yang berlebih dari kantor ke rumah.

Aku bersihkan dulu di luar. Aku tuntaskan terlebih dahulu di luar rumah.

“Maaf lama”
“Eh? Kenapa bawa itu?”

Stephanie keluar dari dalam dengan membawa dua gelas kertas berlogo duyung berwarna hijau.

“Kamu selalu ngopi kalo kita papasan di work café dan starbucks di lantai bawah”

“Terus, kapan beli starbucksnya?”
“Tadi aku mintain orang WnG sini yang jadi LO kita untuk pesenin lewat UberEats” jawabnya singkat, padat, jelas dan menggemaskan.

“Phad?” tanyaku pelan, sambil menerima gelas kopi itu dari Stephanie dan menyimpannya di meja balkon.

“Alias Phassakorn Na Sunthornthep” jawab Stephanie, memberitahuku nama lengkap Phad.
“Ha? Phad nya dari mana?” bingungku. Nama orang Thailand memang super aneh. Maksudnya, seringkali korelasi antara panggilan dan nama asli itu tidak ada.

“Entah” jawab Stephanie pelan, sambil menarik rokok dari kotak yang ada di meja. Dia membakarnya dan dia duduk di kursi yang ada di sebelahku. Dia mengenakan baju yang tadi. Masih hoodie dan celana pendek. Rambutnya ia biarkan tergerai. Tapi dia sudah melepas soft lens nya, jadi dia memakai kacamata yang terlihat cantik.

Aku lebih menyukai bentuk mukanya saat ia memakai kacamata. Entah mengapa rasanya lebih tenang dan lebih syahdu. Jika memakai soft lens, aura mukanya berubah jadi fierce dan begitu cool.

“Besok kita pulang ya” lanjutku, sambil menghisap rokok dan meminum kopi pahit pelan-pelan.

“Gak berasa banget”
“Kembali ke dunia nyata” balasku.
“Yep….” Aku bisa melihat asap rokok keluar perlahan dari mulut Stephanie.

“Kamu sejak kapan ngerokok?” tanyaku dengan agak penasaran.
“Haha… Harus dijawab gak nih?” tanyanya balik.
“Wah, ya terserah sih…. Tapi itu aku rasa pertanyaan standard buat sesama perokok”
“Kenapa kamu nanya pertanyaan yang agak trivial kayak gitu sih Bas?” tawanya. Pelan.

“Just curious”
“Curiousity kills the cat” balasnya.
“Dan kamu bikin aku makin penasaran”
“Setelah kamu denger ceritanya, mungkin kamu gak pengen penasaran lagi sama aku” dia tersenyum kecut. “Ini gak gampang ceritanya lho…. Mungkin kamu pikir aku sama kayak kebanyakan orang yang ngerokoknya Cuma karena ikut-ikutan temen atau kenapa gitu…. Tapi buat aku, pertanyaan itu bikin aku inget sama hal-hal yang gak pengen aku inget”

“Oh…” aku menarik nafas panjang. “Bisa kita puter waktu ke lima menit kebelakang?” aku berusaha untuk mengalihkan topik pembicaraan.

“Bisa… Harusnya” Stephanie tampak berusaha menutupi hal yang tidak ia sukai, tapi dia berusaha berkolaborasi denganku malam ini dengan menjawab hal yang perlu dan berusaha untuk mengalirkan percakapan kembali.

“Aku ganti pertanyaannya”

Stephanie mengangguk. Aku mematikan rokokku.

“Kamu sejak kapan….” Aku menarik nafas panjang, lagi.
“Sejak kapan apa?”
“Sejak kapan bisa bikin aku jadi kayak gini?” sambungku.
“Kayak apa?”

Aku beranjak dari kursiku, dan berlutut di depan Stephanie yang kaget. Dia tidak mengantisipasi adegan selanjutnya. Kepalaku mendekatinya dan perlahan, aku raih wajahnya dan menciumnya pelan di hidungnya.

Stephanie yang tampak kaget hanya tersenyum kecil sambil membuang muka.

“Silly” mukanya tampak memerah dan dia mematikan rokoknya. “Kamu jangan bikin aku ngerasa kayak gini Bas… Besok kita udah pulang”

“Kita bikin besok gak ada, bisa kan?”
“Gimana maksud kamu?”

Stephanie tampak bingung.

“Jangan berhenti kayak gini” aku menciumnya lagi, kali ini mengenai keningnya. Tanpa sadar ia mengalungkan tangannya di kepalaku, dan dia lalu mencium bibirku dengan pelan.

“Besok kita harus balik ke diri kita yang dulu, Bas… Menurut aku” sambung dirinya dengan wajah sedih.
“Jangan ngomong apa-apa” balasku. “Rasain aja apa yang pengen kamu rasain sekarang”

Mendadak, kami berdua berciuman kembali. Bibir dan lidah kami bermain-main di balkon itu, sambil berpelukan. Stephanie duduk di kursi dan aku berlutut di hadapannya. Badan kami berdua saling menempel, seperti tidak ingin dilepaskan.

Dan ya, kami tidak mengulang kesalahan kami lagi di malam terakhir ini. Kami akan melindungi diri kami sendiri nanti.

Nafas kami saling beradu, membuat kami berdua lupa akan waktu. Bibir kami saling melumat, saling beradu lidah dan beradu keintiman, melupakan hal-hal yang lainnya sedikit demi sedikit selain waktu.

Tak ada rasa yang lebih nikmat dari ini. Tidak ada rasa yang lebih memabukkan dari ini. Selain waktu yang terasa berhenti, ruang yang ada di dalam sana seperti menarik kami berdua untuk saling melumat lebih ganas lagi.

Aku bisa merasakan nafas Stephanie yang memberat, dan tatapannya yang makin terlihat sayu dibalik kacamatanya itu. Bahasa badannya tidak bisa bohong lagi. Kami menginginkannya malam ini dan kami ingin untuk bersatu malam ini.

“Bas….” Dia berbisik sambil memelukku erat. Rokok yang tadi ia hisap sudah terletak di asbak, tergeletak tak berdaya begitu saja.

“Sini” Aku memeluk dirinya, dan mengangkat pelan tubuhnya. Kami berdua beranjak ke arah kasur dan rasanya, kami tidak ingin berhenti berciuman.

Tak sadar, kami telah bergumul di kasur. Kami berpelukan dan kembali saling berciuman, benar-benar tenggelam di detik itu dan di tempat itu. Kalau bisa, besok tidak harus datang, dan kalau bisa, kami ingin mengulang hari-hari kemarin. Kami tidak bisa bohong lagi, bahwa kami berdua benar-benar hanyut dalam perasaan yang sama ini.

Bibirnya yang lembut, dengan rasanya yang seperti rokok kontras dengan wangi tubuhnya yang begitu manis. Entah dia memakai parfum apa. Di sisi lain, tanganku dan tangannya sudah saling berusaha melucuti pakaian masing-masing.

Stephanie membuka kacamatanya, dan dia membiarkan aku menarik hoodienya sampai terlepas dari badannya. Dia lantar mengizinkanku untuk menciumi lehernya, menggigitnya pelan dalam beberapa gerakan yang membuatnya terangsang. Nafasnya terasa menggairahkan dan semua gerak tubuhnya tampak cair, menyelimutiku dan menenggelamkanku.

“Nnn…” Dia mengerang perlahan saat aku mulai meremas pantatnya, berusaha dengan konsentrasi yang kacau balau untuk melepas celana pendeknya. Masih ada beberapa layer pertahanan lagi di tubuhnya. Sedangkan aku, t-shirtku sudah terbuka, atas bantuan Stephanie.

Kami menggila.

Bibir kami kembali bertemu, dan aku hanya tinggal memakai celana saja. Stephanie sudah tampak begitu menarik dalam balutan pakaian dalamnya yang menurutku begitu berwarna. Celana dalamnya hitam dan bra-nya berwarna merah. Tidak sama tapi cocok. Tidak harus sama untuk bisa kompatibel, bukan?

Entah posisinya sekarang seperti apa. Kami saling memagut, tampak lupa ruang dan waktu. Bibir kami berciuman tanpa henti, dan tanpa jeda. Tangan kami berdua entah kemana. Dan pergumulan kami menuju hanya pada satu titik. Yakni memuaskan nafsu kami berdua.

Aku berbaring di bawah Stephanie. Dia melepaskan ciumanku, dan dia merayap menuju area kejantananku. Dia lantas membuka celanaku dengan gerakan yang cepat, menurunkannya ke bawah dan membiarkan dirinya menciumi pangkal pahaku, berusaha memberikan rangsangan sebelum ia mulai ke langkah selanjutnya.

Stephanie Lantas menarik celana dalamku sambil menjilati perutku dengan gerakan yang pelan.

Itu dia. Dia berdiri tegak di samping kepala Stephanie. Tanpa diminta, dia langsung menggenggamnya, dan mengocoknya perlahan, sambil tetap menciumi perutku, lantas dengan pelan berpindah ke bawah, mulai mencium ujung alat kelaminku.

“Mnnn…” Dia mengerang pelan, dengan tatapan nakal yang tampak ingin langsung melumat penisku.

“Ah..”

Aku mengerang tertahan, saat ia memasukkan penisku dengan gerakan cepat ke dalam mulutnya. Dia lantas mengulum penisku dengan gerakan-gerakan binal yang tampak natural. Stephanie memainkan lidahnya di dalam sana. Tangannya meraba-raba diriku dan aku Cuma bisa meringis, menahan ledakan supaya tidak terlalu cepat selesai.

Ada apa dengan mulutnya? Kenapa Stephanie begitu menyukai oral seks? Aku lantas membandingkannya dengan masa laluku dan masa sekarangku. Pasanganku tidak ada yang menjadikan oral seks sebagai favoritnya.

Tapi Stephanie berbeda. Dia berulang kali mengulum penisku dengan antusias, sambil menciumi seluruh permukaannya. Tak jarang ia menjilatinya ataupun bermain-main dengan menjilati testisku dengan gerakan yang begitu nakal.

“Steph…”
“Mmnn?”
“Aku…”
“Mnn?”
“Gak kuat….”

Aku tidak bisa menahannya lagi. Stephanie lantas mencabut penisku dari mulutnya. Dia tersenyum kecil lalu ia mencium pelan kepala kejantananku.

Aku meraih kondom di meja kecil yang berada di sebelah kasurku. Dengan buru-buru dan tak karuan, aku memakainya dengan cepat. Tanpa diminta, lagi-lagi tanpa diminta, dia lalu duduk di atas penisku sambil membuka celana dalamnya dengan gerakan yang tak terlihat mata.

Kami saling bertatapan. Dengat erat.

“Nnn…”

Dia meringis kecil saat penisku masuk ke dalam area kewanitaannya dengan perlahan. Badannya yang masih dihiasi bra menggelinjang pelan di atas tubuhku. Dia bergerak naik turun, mengirimkan rasa yang sepertinya sudah lama tidak kurasakan dari area kelaminku ke seluruh tubuhku.

Badannya bergerak dengan irama pelan, dan tangan kami berdua bertaut. Erangannya terdengar begitu merdu di telingaku, dan rasanya, waktu seakan terhenti.

“Nnnhh…. Ahh…” Aku bisa melihat Stephanie meringis, sambil terus menari di atas badanku. Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi, selain menyuarakan rasa rinduku pada hal-hal seperti ini. Hal yang sudah lama tidak aku rasakan. Hal yang sudah lama tidak aku dapatkan dari pernikahanku.

Heat. Passion. Kemesraan. Semuanya hambar, tidak seperti sekarang.

Aku memeluk badan Stephanie mendadak, dan membantingnya di atas kasur. Kakinya melingkari badanku dan kami saling menatap dalam jarak dekat. Tangannya langsung memeluk leherku, dan tanganku menahan badanku yang menimpa dirinya.

Tanpa aba-aba lagi, aku langsung bergerak maju mundur. Seakan tak peduli akan apapun.

“Aaah… Aaah…. Nnnn…”

Suara erangan Stephanie bergema di telingaku, dan aku hanya terus fokus pada area kejantananku. Aku menggagahi Stephanie tanpa ampun. Ritme tubuhku sudah tidak karuan. Kami sudah terjebak dalam permainan gila ini. Kami sudah terjebak pada hal-hal yang sepertinya terlarang ini. Dan kami benar-benar tidak bisa bergerak mundur lagi.

“Aaahhh…. Bas…. Nnn… Aaaahh…”

Suaranya benar-benar terdengar tak karu-karuan.

“Bas…. Aku…”

Aku hanya bisa membisikkan kata-kata yang tak jelas dari nafas terburu-buruku di telinganya. Pikiranku sudah melantur kemana-mana. Tidak ada yang bisa menahan diriku lagi. Sebentar lagi.

“Steph…”
“Nnnn…”
“Aku…”
“Aku juga….”

Aku bisa merasakan badannya menegang.

“Ah… Aah… Ah!”

Stephanie tak bisa menahannya lagi.

Aku tidak bisa menahannya lagi.

Ada sepersekian detik dimana rasanya semua begitu nikmat. Semua pikiranku hilang dan semua keraguanku lenyap.

Dan sepersekian detik itu berlanjut ke sebuah ciuman terindah yang pernah kurasakan.

Dunia, sekarang sudah berhenti sejenak.

--------------------

BERSAMBUNG
Pujangga ciamik yang menggambarkan indahnya "percintaan" Anak manusia aktor dan artis dari Perjumpaan
 
Keajaiban wanita, pertanyaan receh (karena ga ditanyain juga gapapa, toh kondisinya udah bisa kita terima) pun bisa melukai hatinya.. Hekekek
Dari perbincangan ringan berujung pergumulan berat
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd