Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA Pensiun Itu Cuma Mitos

Kelanjutan cerita ini baiknya bagaimana...

  • ++

  • ala Drama Korea

  • ala FTV


Hasil hanya dapat dilihat setelah memilih.
Sabar menanti kentang berbiji lagi
 
Part 3


mwaHqtTW_o.jpg


Tidak seperti yang kurencanakan, malam itu aku terjaga lama di tempat tidur. Telentang, menghadap langit-langit berjarak sekitar satu meter di dalam salah satu kapsul pod Hostel tempatku menginap. Pikiranku terus berputar, dan hatiku rasanya teraduk-aduk. Aku tak mengerti, bisa-bisanya aku mengalami hal seperti itu bersama Ikha di pesawat. Aku sempat khawatir ada yang melihat. Tapi untungnya, orang terdekat yang duduk di kabin saat itu berjarak setidaknya tiga baris kursi, sehingga jika ditambah dengan suara mesin pesawat dan keadaan cuaca, kecil kemungkinan ada yang menyadari apa yang kami lakukan.


“Apakah yang kami lakukan itu salah?” Pertanyaan itu terus berputar dalam kepalaku.


Aku pun terduduk tegak. Kuambil smartphone dan kubuka twit**ter untuk melihat kembali profil Ikha setelah sekian lama. Tidak ada twit terbaru darinya. Sekelebat mata kulihat tombol “Following” telah berganti menjadi “Follow”, yang artinya ia memang sudah lama tidak kuikuti lagi.


Sempat terlintas dalam pikiranku untuk kembali mengikutinya. Tapi untuk apa? Mengharapkan yang lain? Yang telah terjadi di pesawat pun pasti hanya sebuah kebetulan. Aku tahu persis bahwa saat itu ia sedang ketakukan oleh suara petir yang datang tiba-tiba. Jelas sekali hal itu membuatnya tidak dapat berpikir secara jernih.


Tak puas hanya dengan membuka media sosial, aku lantas membuka laptop. Kubuka kembali folder-folder lama dalam harddisk yang sebenarnya sangat berantakan. Namun entah kenapa, hanya folder berisi kenangan akan dirinya yang masih dapat kutemukan dengan mudah, tersimpan rapi dalam lokasi yang kusamarkan.


Foto, surat penggemar, hingga screenshot catatan percakapan kami dulu masih dapat kutelusuri dengan begitu mudahnya. Aku memang sengaja menyimpan screenshot tersebut karena kami pernah sepakat untuk rutin menghapus rekam jejak percakapan kami, demi menghindari kegiatan yang sebenarnya tidak diperbolehkan itu diketahui publik, khususnya J O T.


Kubuka satu demi satu berkas tersebut. Dimulai dari awal perkenalan kami yang tak disengaja, keseharian yang tidak penting, hingga saat terakhir ketika percakapan itu berubah menjadi Empty Room ketika ia menghapus akunnya.


Hampir tidak ada percakapan yang mengindikasikan secara jelas bahwa ia tertarik secara personal kepadaku. Bila dibaca sekarang, rasanya seperti menegaskan kalau yang terjadi di pesawat memang tidaklah disengaja.


Mungkin sebaiknya kulupakan saja apa yang sudah terjadi itu. Toh memang sudah kubuang jauh-jauh semua kenangan itu.


Tapi, kenapa rasa gundah ini tidak mau hilang juga?


Ah, sebaiknya kuabaikan saja. Aku bahkan tidak memiliki keberanian untuk meminta kontaknya ketika kami bertemu seperti itu.


Aku pun berbaring dan memejamkan mata, mencoba memasuki dunia mimpi untuk mencari pelarian sesaat dari semua ini.





=====================================================================================





Sebuah suara bising membangunkanku.


Perlahan aku membuka mata, merasa kepalaku sedikit pusing. Kukumpulkan kesadaran dan mencoba terduduk tegak sambil mengintip ke luar kapsul pod, mencari tahu sumber suara tersebut.


Kulihat penjaga Hostel tempatku menginap sedang menyedot debu di salah satu sudut ruangan.


Good morning! Sorry for bothering you.” (Selamat pagi! Maaf telah mengganggu anda). Ia menyapaku ramah sambil sedikit menundukkan kepalanya ketika menyadari kegiatannya telah membangunkanku dari tidur.


Nah, never mind. Do you have the time? I think I overslept.” (Tidak usah dipikirkan. Pukul berapa sekarang? Aku pikir aku ketiduran). Aku menjawab sambil mengucek mataku.


Ia melirik jam tangannya, “It’s a quarter to ten. You still can have a breakfast. I’ll refill the bread.” (Sekarang pukul 9.45. Anda masih dapat sarapan. Saya akan mengisi ulang rotinya).


Thank you, I’ll be there in a minute.” (Terima kasih, aku akan kesana sebentar lagi).


Penjaga Hostel itu pun berlalu untuk memenuhi janjinya barusan.


Aku pun bangkit dan melenturkan badanku yang agak kaku. Kuambil perlengkapan mandi dan bergegas ke toilet untuk mencuci muka dan menyikat gigi. Rasanya pikiran semalam masih tidak mau pergi dari ingatanku.


Setibanya di ruang makan, hanya ada seorang penjaga dekat meja resepsionis yang sedang mengisi ulang roti tawar. Tidak jauh di sudut ruangan, tertata wastafel dan beberapa piring serta gelas bersih yang sebagian masih basah. Tidak tampak seorang pengunjung hostel pun yang sedang sarapan. Tampaknya orang-orang telah selesai sarapan dan pergi lebih pagi.


7EhXfKd7_o.jpg


Pada umumnya, Hostel di Singapura menyediakan sarapan berupa sereal, susu, roti, kopi, dan teh. Disertai dengan kulkas, pemanggang roti, dan teko pemanas air. Kita diharuskan menyiapkan, membersihkan, dan merapikan sendiri peralatan makan kita. Meja dan kursi yang disediakan pun terbatas, membuat orang-orang yang menginap akan duduk bersebelahan atau pada satu meja yang sama, tidak peduli mereka datang bersama-sama atau tidak. Suasana seperti ini akan memancing satu sama lain untuk bercengkerama dengan lebih akrab. Seringkali setelah sarapan bersama aku mendapat teman baru dari negara lain, baik sebagai teman ngobrol hingga berjalan-jalan. Tak sedikit yang tetap menjaga komunikasi sampai sekarang.


Namun tampaknya pagi ini aku melewatkan kesempatan itu.


Di sela sarapan, terdengar alunan piano yang tidak asing di telingaku.




“Yiruma, right?” Sahutku sambil tersenyum kepada penjaga Hostel.


Ia tersenyum, senang karena musik yang ia putar disukai oleh pengunjung Hostel.


Aku pun sejenak memandang ke luar jendela yang disinari mentari pagi.


Di balik senyum yang kulemparkan, sebenarnya tersembunyi perasaan gusar. Ini memang salah satu melodi favoritku. Namun, ini mengingatkanku akan mendiang Ibuku yang selalu memutar lagu ini setiap pagi, juga di setiap perjalanan kami ketika menggunakan mobil.


Selain itu, Lagu ini sering kuputar setiap kali aku melakukan percakapan secara pribadi dengan Ikha. Bahkan, pernah kuceritakan kepadanya bahwa lagu inilah yang menemaniku menulis surat dan reviu untuknya, yang hanya dibalasnya dengan stiker dan emote senyum menggoda.


Ah, semesta pasti berkonspirasi untuk membuatku mengingat semua ini.


Kunikmati lagu itu hingga selesai sebelum kembali ke kamar dan bersiap-siap menikmati liburan hari pertama.


67XbwpDy_o.jpg


Hostel tempatku menginap berada tidak jauh dengan Patung Merlion, ikon Singapura. Dapat dengan mudah dicapai setelah berjalan kaki selama sekitar sepuluh menit. Walaupun sudah berkali-kali Merlion kukunjungi, rasanya tidak lengkap bila tidak pergi ke tempat ini.


Sang raja siang hari yang bersinar dengan teriknya tak mengurangi antusiasme para pengunjung untuk berfoto dan menikmati suasana di sekitar Patung Merlion. Senyum kebahagiaan terukir manis di wajah mereka. Canda tawa saat berfoto bersama, serta teriakan anak-anak yang berlari-lari dengan riang seakan tak mau kalah berisik oleh derasnya semburan air dari ikon negara maju ini.


Aku tersenyum kecil. Rasanya aku iri dengan mereka yang tertawa bahagia bersama pasangan atau keluarganya. Sedangkan saat ini aku sendirian, tidak dapat membagi momen ini dengan siapapun selain di media sosial. Ck, sepertinya musik yang diputar tadi pagi masih mempengaruhi suasana hatiku.


Karena belum ada keinginan melakukan swafoto seperti yang lain, maka hanya kuabadikan momen kebahagiaan orang-orang serta suasana sekitar melalui kamera smartphone. Beberapa kali kuarahkan kameraku untuk mendapatkan momen yang dirasa pantas untuk dikenang, atau untuk dibagikan belakangan di media sosial.


Pada pengambilan gambar yang kesekian kalinya, kameraku menangkap sosok yang tidak asing. Apakah ini yang namanya penampakan? Bukan. Kakinya menapak bumi. Sosok itu pun tidak mengenakan pakaian putih panjang, namun mengenakan kemeja putih kebesaran, celana jeans warna biru tua dan sepasang sneakers. Rambutnya juga tidak panjang terurai, melainkan pendek sebahu. Ia sedang menatap kosong ke arah kejauhan.


ZQTLsDGI_o.jpg


Tunggu dulu… Itu Ikha? Kenapa dia ada disini juga?


Seketika muncul keraguan di hatiku saat melihatnya, aku pun mundur perlahan. Walau ingatan tentangnya membuatku terjaga lama tadi malam, tidak secepat ini juga aku ingin bertemu kembali dengannya.


Mungkin karena merasa ada yang memperhatikan, ia pun menengok ke arahku. Damn! kenapa ia peka sekali di saat-saat seperti ini. Apabila Ikha menyadari aku ada disini, apa yang harus kulakukan? Menyapanya seakan tidak terjadi suatu apapun? Pura-pura tidak melihat? Menabrakkan diri ke tiang terdekat lalu berpura-pura mati?


Tepat saat ia hampir melihatku, ternyata aku masih beruntung. Sekumpulan wisatawan asing yang akan berfoto lewat persis di antara kami, menutupiku yang hampir tidak bisa bergerak. Aku menghela napas. Sadar ini hanya sementara, aku pun bergegas pergi dari tempat itu.


Saat merasa sudah cukup jauh, dari tempat yang lebih tinggi aku pun melihat ke arah Ikha tadi. Terlihat ia masih menengok ke arah yang sama, seperti mencari sesuatu. Sekumpulan wisatawan yang menutupi tadi sudah beranjak pergi dari situ. Untung saja aku sudah tidak berada di sana.


Tiba-tiba smartphone-ku berdering. Tertulis nomor tidak diketahui (unknown number). Ragu-ragu kujawab panggilan tersebut.


“Halo.”


“Selamat siang. Apakah benar ini Pak Minho?” Terdengar suara pria yang tegas di ujung telepon, menggunakan Bahasa indonesia.


“Iya benar. Ini siapa ya?” Aku masih mencoba menerka siapa yang meneleponku ini.


Ada beberapa detik kosong hingga akhirnya terdengar suara lagi. “Anda tidak perlu tahu siapa saya. Yang jelas saya tahu siapa anda dan dimana anda berada. Anda sekarang sedang berdiri di atas jembatan pada Merlion Park, mengenakan kaos putih dan sling bag.”


Aku mengernyitkan dahi. Ia dengan tepatnya menyebutkan lokasi dan pakaian yang kukenakan. Aku pun melirik sekitarku, menduga bahwa si penelepon sedang berada di sini. Setidaknya, di tempat dimana ia bisa mengawasiku sambil tetap menyembunyikan keberadaannya.


Aku pun berusaha tenang. “Benar. Ada urusan apa dengan saya?”


“Saya tidak ada urusan dengan anda. Saya hanya memiliki urusan dengan orang yang sedari tadi anda perhatikan.” Ia kembali menjawab dengan tegas.


“Ikha?!” Aku terkejut hingga menyebutkan nama itu. Ia bahkan tahu bahwa sedari tadi aku memperhatikan Ikha dari kejauhan.


“Benar. Saya hanya ada sedikit urusan dengan dia.” Ia masih menjawab dengan suara yang tegas.


Aku semakin bingung karena merasa tidak memiliki sangkutan apapun dengan Ikha. Sejenak berpikir, aku langsung mengingat kejadian di pesawat tadi malam. Apakah si penelepon ini melihat apa yang kami lakukan? Apakah ia adalah salah satu wota yang secara sengaja atau tidak sengaja berada dalam satu pesawat dengan kami? Tapi darimana ia mengetahui nomor ponselku?


Namun, dewasa ini perkembangan teknologi memang sudah maju pesat sehingga hal seperti ini tentu tidak mustahil. Terlebih aku tidak tahu latar belakang si penelepon. Aku tidak bisa berpikir jernih. Yang saat ini kupikirkan hanya melindungi Ikha. Setidaknya, biarlah aku saja yang berurusan dengan orang ini.


“Apa yang anda inginkan dari dia?” Aku mencoba menggali informasi sambil tetap sesekali melirik sekitar.


“Sudah saya bilang bahwa saya tidak ada urusan dengan anda. Anda tidak perlu tahu apa yang saya inginkan. Namun apabila anda ingin melihat ia selamat, anda harus ikuti perintah saya.” Nadanya sedikit naik dibandingkan sebelumnya.


Aku menjadi sedikit panik. Ini sih sudah seperti ancaman. Aku melirik ke arah Ikha di kejauhan. Ia memainkan smartphone, masih berada tidak jauh dari tempat sebelumnya.


“Anda jangan macam-macam. Kita berada di tengah keramaian. Sekali saja ia berteriak, orang-orang di sekitarnya akan menyadari dan mencari tahu apa yang terjadi. Ia dapat dengan mudah meminta bantuan siapa pun di sekitarnya.” Aku berbalik mengancamnya.


Ia dengan cepat menjawab, “Oh, anda pikir anda bisa mengancam saya? Anda pikir saya sendirian? Tidak sulit bagi saya untuk membuatnya pingsan lalu dengan sedikit sandiwara membawanya pergi dari sini.”


Ia benar. Aku tidak memikirkan kemungkinan itu. Aku bahkan sama sekali tidak mengetahui apapun tentang identitas si penelepon yang bisa jadi sudah merencanakan ini bersama beberapa orang lainnya.


“Baik, apa yang harus saya lakukan agar ia selamat?” Aku menghela napas, menyerah. Hanya ini yang bisa kulakukan saat ini.


“Anda lihat kedai es krim di depan anda? Belilah dua buah, lalu berjalanlah ke bawah jembatan, setelah tiang penyangga kedua. Itu sudut yang tidak tertangkap oleh CCTV. Sampai disana, tunggu instruksi dari saya lagi. Ingat, jika anda berbuat sesuatu yang mencurigakan, saya tidak akan segan-segan...” Ia berbicara dengan nada yang tanggung, seakan memancing dan membuat imajinasiku liar membayangkan apa yang akan ia lakukan seandainya aku menolak.


Merasa tidak punya pilihan, aku memilih untuk mengikuti kemauannya. “Baik, tolong tunggu sebentar. Akan segera saya lakukan.”


Terdengar suara tawa sinis sebelum telepon ditutup.


Aku pun melakukan persis seperti apa yang ia perintahkan. Saat membeli es krim, seandainya bisa, ingin rasanya kucampurkan racun sianida atau semacamnya. Tapi bagaimana jika ia menyuruhku memakan es krim tersebut, atau bahkan yang terburuk, menyuruh Ikha memakannya?


Hal itu pun urung kulakukan.


Aku berjalan dengan tidak terburu-buru, sambil berupaya merencanakan hal-hal yang mungkin bisa kulakukan ketika mencapai tempat yang dijanjikan. Setibanya disana, aku memperhatikan keadaan sekitar. Sejauh penglihatanku, tempat ini memang tidak terjangkau oleh CCTV. Bahkan cukup jarang dilalui orang. Ada sebuah kios makanan, namun berjarak setidaknya dua puluh meter dari tempatku berdiri.


Smartphone-ku kembali berdering dengan tulisan nomor tidak diketahui.


“Bagus. Sekarang, setelah telepon ditutup anda harus berbalik, menghadap ke arah tembok, menutup kedua mata sambil memegang es krim pada kedua tangan anda. Ingat, anda dilarang berkata sepatah kata pun sampai saya perbolehkan.” Ia berbicara dengan nada yang terdengar mengancam.


Aku pasrah. Setelah ia menutup telepon aku pun melakukan hal tersebut. Yang bisa kurencanakan hanya secara tiba-tiba memukul siapa pun yang nanti berdiri di belakangku, dan berharap dapat langsung mengunci gerakannya untuk melihat siapa sebenarnya orang di balik semua ini.


Aku pun menutup mata, berdiri sambil memegang es krim pada kedua tanganku dan menunggu dengan penuh rasa gelisah. Aku bisa merasakan jantungku berdetak semakin cepat, terlebih ketika kudengar ada suara langkah kaki perlahan mendekatiku. Aku menelan ludah tatkala suara langkah kaki itu berhenti tepat di belakangku.


Ini saatnya! aku harus memukulnya sekarang sebelum ia bergerak lebih dulu. Tentunya aku tidak dapat melakukan apa pun jika ia terlebih dahulu membius atau menyekapku begitu saja. Aku menghela napas, bersiap untuk mengayunkan siku kananku ke belakang.


“Jangan melakukan gerakan yang tidak perlu.” Aku merasakan sesuatu ditodongkan ke arah pinggul belakangku ketika ia mengatakan itu. Pistol? Pisau? Oh sh*t, aku semakin bingung harus melakukan apa. Keringat dingin mulai keluar dari tubuhku.


“Hahahahaha! duh nggak tahan gue mau ketawa.” Orang itu tiba-tiba tertawa. Warna suaranya berubah, tidak lagi tegas.


Tunggu, rasanya suara tadi terdengar familiar.


Aku membuka mata dan langsung berbalik. Jangan-jangan kecurigaanku benar. Pemilik suara ini adalah…


“Daniel?! Bangke lo ya!” Aku bersiap melemparkan es krim yang kupegang setelah kupastikan bahwa itu memang dia.


Ia buru-buru menahan tanganku sambil tetap menahan tawa. “Eits, bentar dulu. Jangan marah gitu lah. Sorry sorry, gue cuma bercanda kali.”


Ingin rasanya ia kupukul hingga membuatnya meminta maaf. Namun aku lega, setelah mengetahui ini bukan hal serius seperti yang kutakutkan sebelumnya.


Ia merebut salah satu es krim dari tanganku, mulai memakannya. “Sayang nih nanti keburu cair. Lagian lo juga sih dari semalem gue chat nggak dibales. Waktu kebetulan gue lagi di sini, eh gue ngeliat lo agak gelisah gitu sambil ngeliatin orang. Sekalian aja gue kerjain. Tapi ya, lo harus lihat muka lo barusan hahahaha.”


Aku masih tetap kesal mendengar alasannya.


Daniel adalah sahabatku. Ia keturunan Hokkian, Tionghoa berkewarganegaraan Malaysia. Ayahnya adalah seorang pengusaha yang cukup sukses di Singapura, oleh sebab itu ia lebih memilih tinggal di Singapura. Sembari sesekali membantu pekerjaan ayahnya. Maklum, calon direktur. Kami sudah bersahabat selama bertahun-tahun. Dimulai dari sebuah ketidaksengajaan saat kami bertemu dalam salah satu liburanku di Jepang. Sejak saat itu, kami menjadi sangat dekat. Ia bahkan sudah sangat lancar berbahasa Indonesia, khususnya Bahasa pergaulan sehari-hari. Sehingga ia tidak canggung lagi dalam berbicara dengan orang asli indonesia.


Malem ini jadi nginep di apartemen kan? Daripada lo di hostel mending bareng gue deh. Di apartemen lo bisa ngapain aja. Lo tahu kan maksud gue hehe.” Ia tertawa mesum. Nih anak memang kalau sudah cabul nggak bisa ditutupin. Sepertinya bawaan lahir.


“Iya gue nginep disana. Tapi gue nggak mau kalo lo ngajak temen-temen lo yang itu. B*thcy banget. Nggak suka gue sama mereka.” Aku pun menimpali sambil memakan es krim yang satunya.


“Jadi mau cewek panggilan aja nih? Kalo lo mau nanti gue pesenin. Come on, masa lo nolak terus soal begituan. Kita ini udah dewasa. Sebelum lo menikah, sesekali lo harus coba. Ingat umur lo udah berapa. Udah bukan anak kecil lagi.” Logat mandarinnya sedikit muncul saat mengatakan itu. Rasanya seperti sedang bercakap-cakap di Glodok.


“Nggak, makasih. Sebisa mungkin gue mau menjaga keperjakaan ini. Kalo lo mau ya gapapa, nanti gue nonton aja.” Aku melengos, memasang wajah sok acuh.


“Terus lo pake tangan aja gitu?” Ia mengangkat alis beberapa kali sambil melirikku.


Aku memasang wajah songong. “Lihat nanti.”


Daniel pun memukul bahuku sambil tertawa, “Bangsat lo ya hahaha. Mendingan lo ikut sekalian deh daripada kayak begitu. Tapi sorry nih, nanti malem lo sendirian di apartemen. Bokap mendadak minta gue untuk ketemu salah satu kliennya di Hongkong. Gue harus berangkat sore ini juga. Nanti secepatnya gue balik biar bisa nemenin lo. Gapapa kan?”


“Santai. Yang penting jangan tiba-tiba malem ini ada PSK dateng ke apartemen karena lo pesenin aja.” Aku mengancam karena aku tahu betapa usilnya Daniel ini. Lihat saja apa yang baru saja ia lakukan.


Hahaha selow. Udah cukup puas gue ngeliat lo berkeringet dingin tadi. Ngomong-ngomong lo tadi ngeliatin siapa? Serius banget.” Ia menaikkan alis sambil menengok sekitar, mencari tempat sampah untuk membuang sisa sampah es krimnya.


“Masa lalu. Nanti gue ceritain.” Aku membuang muka ketika tiba-tiba diingatkan kembali soal Ikha.


“Dari muka lo kayaknya kelam banget nih. Pokoknya nanti lo harus cerita soal dia. Ngomong-ngomong adik gue nanyain lo tuh.” Ia berujar sambil tersenyum. Matanya yang sipit seakan menghilang saat ia melakukan itu.


Tanpa menengok, aku pun menjawab. “Iya ya. Udah lama nggak ketemu dia. Dia sehat? Harusnya sekarang dia udah masuk SMA kan.”


Raut wajah Daniel seakan menyembunyikan sesuatu. “Iya, sehat kok. Tapi dia udah nggak di rumah. Udah pindah dari Johor.”


Aku menengok, sedikit terkejut mengetahui berita itu. “Loh pindah? Pindah kemana dia? KL?”


Lo pasti kaget kalau tahu. Dia pindah ke Jakarta. Tapi sorry bro, gue nggak bisa bilang alasannya. Soalnya dia yang minta untuk rahasiain ini dari lo.” Raut wajahnya kembali menandakan ada sesuatu yang disembunyikan.


Aku terdiam beberapa saat. Dulu, adiknya Daniel pernah menyatakan perasaan kepadaku, yang kutolak dengan alasan ia masih terlalu kecil. Aku pun menganggap perasaannya itu hanya “cinta monyet”, yang dengan berjalannya waktu akan pudar dengan sendirinya. Namun ia sempat bilang bahwa ia akan tetap menunggu, meyakinkanku bahwa di masa depan ia akan menjadi cantik dan membuatku menyukainya. Well, sungguh dewasa dan naif sekali pemikirannya.


“Harusnya waktu itu lo terima aja, tinggal tunggu beberapa tahun. Adik gue sekarang cantik loh. Kan enak tuh kalo lo jadi adik ipar gue, kita bisa seru-seruan tiap saat.” Daniel menepuk pundakku sambil tersenyum.


Lo nggak ngajarin dia yang aneh-aneh kan?” Aku mengernyitkan dahi sambil melirik ke arah Daniel.


Hahaha nggak lah! Kakaknya boleh cabul. Adiknya jangan. Makanya, cuma lo yang bisa gue percaya untuk jagain dia.” Ia mengepalkan tangan lalu memukulkannya pelan ke arah dadaku.


Aku tersenyum. Daniel memang cabul dan suka usil. Namun ia sangat protektif terhadap keluarganya. Tipikal bad boys yang patuh pada kedua orang tua. Kisah hidupnya jika diangkat menjadi sinetron dan diberi tulisan “based on true story” pasti menjadi favorit ibu-ibu komplek.


“Gue sih nggak maksa. Itu pilihan lo mau dengan siapa. Tapi yang jelas kalo lo mau sama dia, gue setuju banget.” Daniel menyodorkan tangan mengajak high five.


Tanganku tidak kuarahkan ke tangannya, namun kuarahkan ke wajahnya yang sedang tersenyum. “Buat balesan yang tadi.”


Sianying, masih inget aja.”


Kami pun sama-sama tertawa.


Daniel mengeluarkan smartphone, memeriksa kembali jadwal penerbangannya. “Kayaknya gue harus pergi sekarang. Kalau sampai telat bisa dicoret gue dari daftar ahli waris. Lo perlu mobil juga nggak? Nanti biar gue yang urus.”


“Nggak deh, lebih nyaman pakai MRT aja. Lo mau gue anter ke bandara?” Aku melihat jam tangan, sekadar menerka jadwal penerbangan yang akan digunakannya.


“Nggak usah, lo jalan-jalan lagi aja. Nih kunci apartemen. Satpam dan lain-lainnya juga udah kenal sama lo kan, jadi nggak masalah kalau gue nggak ada.” Ia menyodorkan selembar kartu.


Lo mau dibawain sesuatu nggak? Kalau sempat nanti gue bawain.” Ia kembali berujar.


Aku berpikir sejenak. “Kayaknya nggak ada deh. Terserah, apa aja boleh.”


“Gue bawain calon istri ya.” Ia tertawa setelah mengatakan itu.


Yee nanti adik lo yang dibawa, lo-nya yang kesenengan.” Aku menjitak kepalanya.


Ia mengelus kepalanya, berpura-pura kesakitan. “Yaudah, gue cabut dulu. Selamat berlibur ya. Datengin tuh cewek! Ngeliatin dari jauh kayak lampu lalu lintas aja lo.”


Ah bawel lo ganjelan meja sevel!” Aku mendorongnya sedikit. “Buruan pergi gih, daripada gagal dapet warisan.”


Daniel pun akhirnya pergi sambil melambaikan tangannya. Aku tersenyum melihatnya berlalu seperti itu. Suasana hatiku sekarang menjadi lebih baik. Aura positif serta sikap seenaknya dari sahabatku berhasil mengusir rasa gelisah yang sedari tadi melanda.


Yah, setidaknya untuk sementara.


Bersambung...

Karena terlalu panjang, maka dilanjutkan pada part selanjutnya :)

 
Ah gila

Tulisan sebagus ini hanya bisa tercipta jika si penulis punya pengetahuan yang luas .
Mantab mabro :jempol:
Woh terima kasih hu :hore:
Tapi ane masih belajar, memjembatani jalan cerita biar karakternya nggak lari
 
Kebetulan adalah skenario yang telah disiapkan.

Ketemu Ikha di Merlion, sendirian. Menyepi karena melepas kepenatan atau melupakan akan sebuah kegagalan yang berlandaskan perasaan. We will see.

Seperti komen” sebelumnya, susah untuk tidak menebak bahwa Adik Daniel adalah Celine.

Masalah kepantasan atau tidak, rasanya ditentukan kemana dan eksekusi peran apa yang di tunjukkan ke sang objek oleh Penulis. Rasanya kalau hanya bumbum cerita biasa tidak ada adegan dewasa tidak masalah. Unsur kepantasan disini. Tidak tahu perihal peraturan.

Anw, Tks atas update. Ditunggu part drama puncaknya.
 
Kebetulan adalah skenario yang telah disiapkan.

Ketemu Ikha di Merlion, sendirian. Menyepi karena melepas kepenatan atau melupakan akan sebuah kegagalan yang berlandaskan perasaan. We will see.

Seperti komen” sebelumnya, susah untuk tidak menebak bahwa Adik Daniel adalah Celine.

Masalah kepantasan atau tidak, rasanya ditentukan kemana dan eksekusi peran apa yang di tunjukkan ke sang objek oleh Penulis. Rasanya kalau hanya bumbum cerita biasa tidak ada adegan dewasa tidak masalah. Unsur kepantasan disini. Tidak tahu perihal peraturan.

Anw, Tks atas update. Ditunggu part drama puncaknya.
Hahaha
Maklum hu bukan penulis profesional :sendirian:

Udah terpikir kok. Kalo misal nggak bisa, udah dipikirkan tanpa yang aneh2nya. Kalo diperbolehkan kan cakupan yang ane tulis bisa lebih luas

Emang disengaja kok petunjuknya begitu haha
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd