Agen Terpercaya   Advertise
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA Pensiun Itu Cuma Mitos

Kelanjutan cerita ini baiknya bagaimana...

  • ++

  • ala Drama Korea

  • ala FTV


Hasil hanya dapat dilihat setelah memilih.
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Kirain dah ada update baru hu

Gak papa post aja ceritanya, SS bisa nyusul lah
 
Part 4


Semilir angin berembus perlahan, melewati setiap celah gedung dan pepohonan, membawa kesejukan di tengah teriknya sang surya yang masih tetap gagah bersinar. Angin itu seakan menari-nari, mengiringiku berjalan menuju Stasiun MRT Esplanade untuk pergi ke destinasi selanjutnya. Saat ini aku berencana pergi ke Museum Nasional Singapura, sekadar menikmati wisata sejarah sekaligus meningkatkan pengetahuanku tentang negara ini. Tempat itu juga dapat menjadi referensi bagiku dalam mengerjakan salah satu tugas kantor yang harus kuselesaikan nanti.


Setibanya di stasiun, aku menuruni eskalator, menuju pintu masuk sambil mempersiapkan kartu ez-link (sejenis kartu multi trip KRL) sebagai syarat untuk dapat memasuki peron. Ketika merogoh dompet untuk mengambil kartu, baru kusadari bahwa aku memiliki dua lembar kartu. Salah satunya diberikan oleh Daniel saat perjalananku ke Singapura dulu, waktu kami terburu-buru hingga dompetku tertinggal di apartemen.


Situasi stasiun dan sekitarnya di Singapura tidak tampak begitu berbeda dengan Jakarta. Bukan pada tempat, namun pada apa yang dilakukan oleh orang-orang. Kita dapat dengan mudah menemukan orang yang berjalan begitu cepat, layaknya ninja yang tidak ingin pergerakannya diketahui musuh. Bedanya, mereka sangat patuh pada aturan. Hampir tidak ada orang yang memaksakan masuk kendaraan umum atau lift sebelum terlebih dahulu mempersilakan orang yang ada di dalam untuk keluar. Mereka mengantre dengan sabar dan tertib. Sedangkan di Jakarta, menggunakan KRL saat jam berangkat atau pulang kerja adalah battle royale. Tidak ada yang namanya hidup tenang sampai kita berada di rumah, belum lagi bau badan dan ketiak saat berdesakan dalam KRL dari orang-orang yang telah seharian bekerja dengan semangat. Rasanya membuat beban hidup kian bertambah. Untungnya, di sini tidak seperti itu.


Sesampainya di depan pintu masuk peron, kulihat ada seorang wanita berdiri. Ia terlihat gusar, mencari sesuatu di dalam tas selempangnya. Ketika kuperhatikan lebih dekat, orang itu ternyata adalah … Ikha, lagi dan lagi. Kenapa ia harus selalu berada di tempat yang sama denganku? Ingin rasanya kuabaikan saja dan berlalu memasuki peron. Namun apa daya, wajah gusarnya itu membuatku urung pergi meninggalkannya begitu saja. Apakah ia kehilangan sesuatu? Akan sangat merepotkan apabila yang hilang adalah paspornya.


Ada beberapa detik kosong hingga kuputuskan untuk menghampirinya, aku takut ia terlebih dahulu dihampiri oleh petugas keamanan karena bertindak mencurigakan. Walau masih dilanda sedikit keraguan, aku memberanikan diri menegurnya. “Lagi ngapain kha? Kok kayak panik gitu.”


Ia kaget saat mengetahui ada yang tiba-tiba menegurnya. Ia pun menengok ke arahku sambil tetap menunjukkan wajah panik. “Kak Minho?”


Ia terdiam beberapa saat. Entah apa yang ada dalam pikirannya. Apakah karena tiba-tiba bertemu kembali denganku? Atau otaknya belum selesai memberi perintah untuk menanggapi rangsangan yang baru saja diterima (baca: lemot)?


Setelah terdiam cukup lama, ia melanjutkan perkataannya. “Ini … Tadi seinget Ikha kartu MRTnya udah dibawa deh, tapi kok nggak ada ya. Waktu berangkat padahal ada.”


Ikha kembali sibuk mengacak-acak isi tasnya. Diam-diam aku tersenyum kecil. Anak ini kok senang sekali membuat orang panik. Untung saja yang hilang bukan paspor atau benda penting lainnya.


Melihatnya panik seperti ini seakan menghilangkan segala keraguan yang tadi melanda.


Nih, pake ini aja. Kebetulan aku punya satu kartu lagi, dikasih Daniel.” Aku menyodorkan kartu lain yang kumiliki.


Ikha terlihat ragu mengambilnya. “Gapapa nih kak?”


Yaudah kalo nggak mau. Aku duluan ya.” Aku memasukkan kembali kartu tersebut ke kantong sambil bersiap melangkah memasuki peron.


Ikha buru-buru menarik tanganku. “Iiih ngambek. Mau loh, kan tadi belum dijawab.”


Aku tersenyum dan kembali menyodorkan kartu tersebut. “Bercanda loh. Nih kartunya. Dicoba dulu, nggak tahu saldonya sisa berapa.”


Setelah berterima kasih, Ikha menerima kartu tersebut dan langsung mencoba memasuki peron. Voila! Ia tersenyum sumringah tatkala saldo mencukupi dan palang pintu pembatas terbuka, mengizinkan si pemegang kartu untuk masuk. Raut wajahnya seperti anak kecil yang baru pertama kali memasuki Disneyland.


Yeiy bisa! Ayo kak buruan. Kok malah diem di situ.” Ia memanggilku dengan riang seakan lupa kepanikannya barusan.


Aku tersenyum kecil sambil berjalan memasuki peron.


“Ngomong-ngomong Daniel itu siapa ya kak?” Ikha tiba-tiba bertanya ketika aku sedang menyimpan kartu.


“Oh Daniel. Temen deket, dia orang sini.” Aku menjawab tanpa menengok sambil menutup ritsleting tas tempatku menyimpan kartu.


“Nanti kalo ketemu Ikha mau ngucapin makasih ah.” Ia tersenyum.


Aku mengernyitkan dahi. “Emangnya kenal?”


“Ya kan temen kak Minho, kalo nanti ketemu juga kenal.” Ia terlihat salah tingkah ketika kutembak dengan pertanyaan tadi.


“Oh.” Aku menanggapi jawabannya dengan malas.


Ia melengos. “Ish jawabnya gitu banget sih.”


“Wah, benar juga! Ikha cerdas sekali.” Aku memasang senyum yang dipaksakan sambil menjawab sekenanya.


Ia makin kesal.


Ya Tuhan. Tidak bisakah aku dan dia tidak bertengkar setiap kali kami bertemu.


aAEWbxiS_o.jpeg



Setelah menuruni tangga, akhirnya kami tiba di peron. Tangga? Iya. Ketika dihadapkan pada dua pilihan antara tangga dan eskalator, aku lebih memilih menggunakan tangga, khususnya untuk jarak yang tidak begitu jauh. Kecuali saat membawa barang bawaan yang banyak atau saat menemani seseorang. Hal itu akan melatihku untuk tidak manja sekaligus sebagai olahraga ringan.


“Kebiasaan ya pake tangga.” Ujar Ikha yang terlebih dahulu tiba di peron karena menggunakan eskalator.


Aku tersenyum kecil. “Kan udah tahu dari dulu emang begitu.”


Iyain aja deh.” Ia berkata begitu sambil berlalu, kemudian berhenti tepat di depan papan MRT System Map.


Aku akhirnya berdiri di sampingnya, tepat ketika ia bergumam kecil sambil menunjuk peta tersebut dengan jarinya.


Kuperhatikan sejenak jalur MRT yang akan kunaiki, terlihat bahwa kereta selanjutnya tiba satu menit dari sekarang. Aku pun bertanya pada Ikha. “Kamu mau ke mana?”


Ia tak menengok, matanya masih fokus pada peta tersebut. “Mau ke museum, ini lagi nyari jalur paling cepet. Soalnya belum pernah ke sana.”


Aku sedikit terkejut dengan jawabannya. “National Museum of Singapore?”


“Iya kak. Ada tugas kampus buat bahan skripsi gitu. Kemarin kan banyak kegiatan, jarang masuk kampus. Jadi disuruh dosen ngerjain tugas ini kalo mau lulus mata kuliahnya.” Ia akhirnya menengok sambil menjawab.


“Kamu ikut-ikut aja deh kesana.” Ujarku.


Loh kak Minho mau ke sana juga? Tahu jalan kan kak? Temenin ya.” Raut wajahnya berubah cerah.


“Tapi nggak boleh lelet. Kalo lama ditinggal. MRTnya baru nyampe tuh. Yuk buruan.” Aku menjawab sambil melihat ke arah MRT yang baru saja tiba.


“Siap bos!” Ia tersenyum sambil bersiap mengikutiku dari belakang.


Tanpa sadar aku tersenyum. Mungkin memang aku lebih senang jika bisa bersamanya seperti ini.


Tiba-tiba Ikha berhenti sejenak, terlihat ia memperhatikan sesuatu di kejauhan.


Penasaran, aku pun bertanya kepadanya, “ada apaan? Kok bengong gitu.”


Ada beberapa detik kosong hingga akhirnya ia menengok ke arahku sambil menjawab, “gapapa, tadi ngeliat orang kayaknya kenal. Mungkin perasaan Ikha aja. Yaudah yuk berangkat.”


Aku sempat melihat sejenak ke arah tersebut, namun tidak menemukan seseorang yang dimaksud.


Perjalanan berlalu dengan cepat. Karena hanya berjarak satu stasiun, kami langsung turun pada pemberhentian berikutnya, Stasiun Bras Basah. Setelah melewati basement Singapore Management University (SMU) dan berjalan beberapa waktu, kami akhirnya tiba di Stamford Road, tempat museum berdiri. Dari luar, museum ini mirip seperti White House (Gedung Putih) di Washington D.C. Aku pun menyempatkan diri mengabadikan beberapa gambar melalui smartphone.


J6bKl9gE_o.jpg


Ikha memperhatikan apa yang kulakukan. Sorot matanya seakan meminta untuk ditanya.


Melihat itu, aku pun bertanya kepadanya, “kenapa kha? Mau difotoin?”


Ia tersenyum dan langsung menyodorkan smartphone-nya. “Duh, peka banget ya kakak jadi cowok.”


“Ini hape dinas apa punya sendiri?” Aku membolak-balikkan smartphone yang ia berikan.


“Punya sendiri. Hape dinas sengaja dimatiin dulu. Ntar update kalo perlu aja.” Ia merapikan rambut sambil melihat sekitar, mencari tempat terbaik untuk berfoto.


Pantas saja tadi malam aku tidak menemukan update terbaru dari twit**ter-nya. Ternyata ia memang sengaja tidak mengaktifkan “hape dinas” miliknya. Kemungkinan besar, ia hanya mengunggah foto atau status terbaru pada private/alternate account miliknya, dan tidak harus di twit**ter.


Setelah melihat ia menemukan tempat yang dirasa cocok dan mulai berpose, aku pun bertanya. “Mau di mana? Di situ aja?”


“Iya kak, di sini aja deh.” Ia memasang berbagai macam pose. Padahal kameranya sendiri belum siap.


“Coba tangannya ke depan, terus taruh depan muka kamu sampe nggak kelihatan. Pasti bagus.” Aku mencontohkan apa yang baru saja kukatakan.


Ia memasang wajah songong. Nuansa Resting B*tch Face (RBF) pun kembali terlihat.


Ngambeeek. Bercanda loh. Yak satu, dua, tiga.” Aku mulai mengambil beberapa foto, mengikuti sang foto model yang sepertinya mulai bertingkah. Setelah pengambilan gambar yang kesekian, akhirnya ia merasa cukup. Aku pun melihat hasil foto tersebut.


G1g0hh0a_o.jpg
9DmiPMJn_o.jpg
bgqMvmu0_o.jpg


“Serius amat kak ngeliatinnya. Cantik ya?” Ia mendekat sambil merapikan rambut.


Aku memperbesar gambar pada smartphone. “Nggak, nyari tulisan ‘Shot on M* A* M* Dual Camera’nya kok nggak ada.”


Yeee itu mah hape dinas. Coba sini Ikha liat kak.” Ia mengulurkan tangan untuk mengambil kembali smartphone-nya.


“Bagus kok, modelnya cantik sih.” Ia dengan bangga memuji diri sendiri sambil terus bolak-balik melihat hasil fotonya.


Aku pura-pura tidak mendengar.


Aku pun membuka smartphone, melihat jam yang tertera di layar. “Sebelum masuk, mau makan dulu nggak? Udah mau jam makan siang nih. Nanti di dalem lama loh.”


“Boleh deh, tahu aja Ikha udah laper. Mau makan di mana kak?” Ia tersenyum lebar, sok imut. Matanya pun semakin sipit hingga seakan menghilang.


Deket sini ada beberapa food court sih. Gimana kalo kita makan di salah satunya aja?” Aku menunjuk secara asal berdasarkan apa yang kulihat di layar smartphone.


Yaudah yuk. Pokoknya kemana pun Ikha ikut kak.” Ikha berkata sambil sibuk merapikan tas selempang yang ia kenakan.


“Termasuk ke KUA?” Ujarku.


Eh, gimana kak?” Ia menengok sambil sedikit memiringkan kepalanya, wajahnya menyiratkan bahwa ia menunggu tanggapan dariku.


“Nggak itu kirain tulisannya Koua, ternyata Koufu.” Aku menunjuk salah satu papan reklame di kejauhan yang kebetulan bertuliskan seperti itu.


Oh, kirain tadi ngomong apa. Ke sana ya? Yaudah yuk langsung berangkat.” Ikha berjalan lebih dulu tanpa tahu apakah benar arah tersebut yang menjadi tujuan kami.


Aku menghela napas. Yang barusan itu nyaris saja. Aku terlalu santai hingga tanpa sadar bercanda modus dengannya seperti yang baru saja kulakukan.


Berhubung sudah ditunjuk, akhirnya kami benar-benar pergi ke arah papan reklame tersebut. Setibanya di sana, tepatnya Koufu Food Court, Ikha langsung melihat-lihat pilihan makanan yang tersedia. Tampaknya ia memang kelaparan. Setelah melihat beberapa waktu, pilihannya berakhir pada sepiring Nasi Goreng ditambah dengan semangkuk Sup Kimchi dan segelas Lemon Tea, sedangkan aku lebih memilih Satu Set Roti Kaya Panggang. Buset dah, makannya banyak banget. Pantas saja badannya berisi. Terutama di … ah lupakan.


Selesai memesan makanan, kami duduk pada salah satu meja untuk dua orang. Sambil menunggu makanan disajikan, Ikha mencuci tangannya, lalu ia kembali duduk di hadapanku.


Ia memperhatikanku sejenak lalu tersenyum kecil.


Aku pun memberanikan diri bertanya. “Kok kamu senyam-senyum sendiri?”


Hm? Nggak kok gapapa. Itu adek kecil yang di sana lucuk.” Ia menunjuk asal ke arah lain, namun tetap saja bagiku ia terlihat menyembunyikan sesuatu.


Hmm, kirain ada apa. Kalo kata dokter sih bahaya juga senyum sendiri nggak ada sebab.” Aku sedikit mengangguk tanda mengerti.


“Dikira Ikha orang gila apa.” Ia melengos.


Setelah itu, beberapa menit pun berlalu begitu saja.


*Beberapa menit kemudian* (suara narator Spongebob).


Saat itu suasana menjadi canggung. Aku dan Ikha seperti sama-sama ingin mengatakan sesuatu namun enggan untuk melakukannya. Aku bolak-balik membuka smartphone, mencari inspirasi untuk membuka percakapan dengannya. Hingga akhirnya seorang pelayan mengakhiri kecanggungan itu tatkala ia mengantarkan pesanan kami. Setelah berterima kasih, Ikha langsung menyiapkan alat makannya. Kulihat matanya berbinar-binar mengetahui makanannya siap untuk disantap.


“Doa dulu sebelum makan.” Kata-kataku memecah konsentrasinya terhadap makanan. Ia langsung memejamkan mata sejenak, menggumamkan sesuatu secara cepat. Dugaanku, itu adalah doa makan. Tidak lama, ia kembali membuka matanya.


“Sendirinya udah belum? Jangan-jangan nyuruh orang tapi kakak sendiri belum.” Ikha menatap tajam ke arahku.


“Alhamdulillah tadi udah kok tuan putri.” Aku menjawab sambil tersenyum manis.


Ia seakan tidak menghiraukan jawabanku dan langsung menyendok nasi goreng yang masih mengepul ke dalam mulutnya. Seketika itu juga ia langsung belingsatan mencari lemon tea miliknya karena lidahnya terbakar oleh panasnya nasi goreng tersebut.


Aku tak kuasa menahan tawa. Tetapi itu tidak berlangsung lama dan segera kuhentikan saat melihat ia melirikku tajam. Aku khawatir akan ada segelas air lemon tea yang melayang dengan arah tujuan yang pasti.


Akan tetapi, melihatnya makan dengan lahap seperti itu membuat nafsu makanku ikut meningkat. Setelah diperhatikan lebih lekat, ia memang benar-benar makan dengan cepat, terlebih untuk ukurang seorang wanita. Sebelum aku menghabiskan roti kaya panggang, ia sudah selesai memakan nasi goreng miliknya dan langsung mengalihkan target ke sup kimchi yang masih hangat. Gesit, lugas, dan tanpa pandang bulu. Ini baru yang namanya idaman.


Tanpa kusadari, ternyata sedari tadi ia sesekali melirik makanan milikku yang tersisa di atas meja. “Kak, yang itu kayaknya enak deh.”


Aku menunjuk makanan di atas meja dengan sumpit yang kupegang. “Yang mana? Masih ada Fried Pink Glutinous Rice sama Chinese Snack nih, kalo Bahasa lokalnya, bakpao.”


“Kayaknya enak semua. Suapin pake sumpit ya.” Ia sedikit mendekatkan wajahnya sambil tersenyum, manja.


Buset, semuanya dipilih. Laper apa doyan.


“Nggak mau pake sendok semen aja? Dapet banyak loh.” Aku melirik sekitar, mencari tukang bangunan yang mungkin secara kebetulan sedang lewat.


“Belum pernah kelilipan sendal ya kak?” ia menjulurkan tangannya ke bawah, seakan meraih sesuatu. Padahal saat itu ia tidak mengenakan sandal, melainkan sepasang sneakers.


“Jadi mau disuapin apa nggak nih?” Aku buru-buru menyodorkan sesumpit penuh Chinese Snack yang langsung disambutnya dengan senyuman. Senyumnya murah banget, untung manis.


Ia membuka mulutnya, lalu menerima suapan dariku seperti anak kecil yang sedang disuapi makanan favorit oleh ibunya. Setelah itu ia kembali tersenyum sambil mengunyah bakpao tersebut.


“Senyum mulu, awas tersedak neng.” Batinku, melihatnya seperti itu.


Setelah seluruh makanan habis, kami pun duduk sebentar, membiarkan tubuh kami memproses makanan tersebut. Tiba-tiba Ikha membuka percakapan, “Kak, Ikha mau ngomong sesuatu.”


Sesuatu yang diawali dengan kata-kata seperti itu, biasanya berarti dua hal. Yang pertama, ia akan menembakku, sedangkan yang kedua, ia akan memberitahu jika ia hamil. Tunggu dulu, kami kan belum ngapa-ngapain.


“Apa tuh?” Aku menjawabnya singkat.


Ia terdiam sejenak, menghembuskan napas sambil sesekali melirik ke bawah. Kemudian matanya menatap lekat ke arahku.
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Bimabet
Yaudah yuk. Pokoknya kemana pun Ikha ikut kak.” Ikha berkata sambil sibuk merapikan tas selempang yang ia kenakan.


“Termasuk ke KUA?” Ujarku.


Eh, gimana kak?” Ia menengok sambil sedikit memiringkan kepalanya
Hahaha bera' mank :hua:

Kan, aku suka bener caramu bercerita..
Ngalirnya enak gitu duhhh.
Gak perlu pake SS pun it's ok i think.
Keep up the good work, dude!:hore:
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd