Jaya Suporno
Guru Besar Semprot
“Mmhhh h.. h… h.” Indira mengeram, nafasnya mulai memburu.
“Oooh… pelan.. pelan..” Indira menahan nafas, wajahnya tampak menegang. Dress putih yang dikenakan sudah terangkat sampai ke perut, menampakkan
lekuk tubuhnya yang putih mulus. G-string yang tadi dikenakannya sudah tercampak di lantai, meninggalkan indah tubuh bawah yang telanjang.
Perut, pinggulnya yang ranum tampak demikian menggoda, dan jangan lupa: bukit kecil di bawah perutnya yang tanpa bulu, mulus halus seperti seorang bayi, membuat siapapun yang melihat pasti meneteskan air liur.
“Oooh! Sakit.. ooh! Oo.. huk..huk.” Setetes air melintas di pipinya yang merona merah, mengiringi Indira yang mulai merintih. Namun yang diajak bicara seperti tidak peduli, ia terus menghujam, membuat Indira meregang- regang di atas kursi sambil terus mengerang. Nafasnya sudah begitu memburu, dan Keringat membasahi wajahnya yang bersemu merah, sehingga membuatnya bertambah seksi.
“Mmmmh.. oooh…” matanya memejam sambil menggigit bibir bawahnya. Pinggulnya bergerak-gerak liar.
“Oooooh! Ooooh!” Indira melolong panjang ke udara.
“Ya ampun, kalau gerak-gerak gini, kapan selesai tatoonya? Ditahan dikit sakitnya napa?” Omel si seniman tatoo.
==================================
Fragmen 6
The Pain Carver
==================================
-Sheena-
40 Menit yang lalu.
Seorang wanita muda duduk santai sambil menaikkan kakinya ke atas meja. Ia menghisap sebatang rokok sambil memandangi tatoo yang baru saja diguratnya di punggung tangannya sendiri: “Paradiso10”, melengkapi dua kata yang ditulis terlebih dulu “Inferno” dan “Purgatorio” dalam rangkaian gambar yang membentuk naga dari pundak - memenuhi lengan kirinya.
Tubuh wanita itu dibalut oleh tank-top putih ketat dan skinny jeans belel. Rambutnya dipotong pendek seperti Demi Moore dulu, dan sepasang kacamata hitam bundar besar-model retro- yang bertengger di wajahnya melengkapi sebentuk kecantikan dan keseksian yang demikian liar.
Namanya: Sheena.
Di dalam, speaker butut di pojokan mendentamkan suara si Heru, vokalis Shaggy Dog ke ruangan yang penuh asap rokok.
“Bukanlah kejahatan bila kamu punya tato. aku dan kawan kawan juga punya tato. kami tak ganggu orang walau punya tato. jarumnya menari nari ala meksiko. sakit tapi ingin... ingin tambah lagi...”
_________________________________________
10 Inferno, Purgatorio, dan Paradiso diambil dari puisi karya Dante Alighieri yang berjudul Divine Comedy (1308-1321).
________________________________________
Di luar, skuter matic yang dikendarai Indira melambat ketika memasuki Jl. Poppies II yang sempit –lebih mirip gang- dengan toko yang menjual kartu post, dan pub yang belum buka di kiri-kanannya. Indira menepikan motornya di depan sebuah Tatoo Parlor, bertuliskan “Angel With the Dragoon Tatoo” dengan foto-foto klien yang dipajang di depan. Dari dalam terdengar irama lagu Shaggy Dog.
Bel kecil di atas pintu berdenting, tanda pelanggan datang. Ia segera mematikan rokoknya. Seorang gadis remaja memasuki studionya, Gadis itu sangat cantik, blasteran indo-bule. “Indira.” Katanya memperkenalkan diri.
"Mau buat tato?" tanya Sheena.
Indira mengangguk. Siang ini Indira sangat kesal. Betapa tidak, ayahnya sudah menerima murid orang yang demikian dibencinya. Mengapa ayah selalu melakukan sesuatu sesuka hatinya? Huh! Namun biarlah, karena saat ini pun akan melakukan hal sesukanya. Indira berpikir inilah saatnya menunjukkan pada mereka bahwa dirinyapun bisa melakukan tindakan serupa.
"Mau buat tatoo di mana?"
"Mmm..." Indira menggigit bibirnya sambil berpikir. Awalnya Indira hanya berniat membuat tatoo kecil di lengannya, namun melihat si tukang tatoo adalah sesama perempuan, membuat hasrat penjelajahannya yang senantiasa penasaran bergolak. Indira menanyakan apakah bisa membuat tatoo di tempat yang “aneh”. Tentu saja bisa! Sekujur tubuhpun bisa di tatoo kalau mau. Indira tersipu mendengarnya, wajahnya memerah saat menunjuk bagian yang ingin ditatoo.
Indira duduk di atas kursi panjang, Ia mencopot cardigans-nya, sehingga menampakkan pundaknya yang membulat indah. Dinaikkannya ujung dress putih itu sampai di atas perut, menyibak pemandangan menakjubkan berupa paha, pinggul, dan perut yang berlekuk Indah. Tak lupa, sebentuk bukit kecil di antara dua paha yag ditutup segitiga hitam kecil yang ditali.
Sheena tak berkedip melihatnya. Tahu dirinya diperhatikan, membuat darah Indira berdesir. Ia memang suka diperhatikan, hal itu membuatnya merasa istimewa, membuatnya merasa seperti ratu. Indira menaikkan sepasang pahanya pelan, dan dibuatnya seanggun mungkin. Tangannya bergerak ke bawah, meloloskan g-string itu dalam gerakan perlahan, membiarkan Sheena menikmati setiap gerak lambatnya.
Indira tersenyum malu-malu (tepatnya pura-pura malu), sambil menutupi vaginanya dengan tangan. Sheena terseyum dan melepas kacamata hitamnya, Indira melihat sebentuk wajah manis yang ditempa keras hidup dibaliknya.
Sheena mengenakan sepasang sarung tangan karet, dan membasahi kapas dengan alkohol. Sheena memberi isyarat agar Indira menyibakkan tangannya.
Sheena menelan nafas, dadanya berdegup kencang, wajahnya memanas. Seharusnya ia sering menangani klien seperti ini. Namun melihat kemaluan Indira yang belia dan bersih tanpa bulu, dan belahan sempit di bawahnya, membuat hasrat tersembunyi di dalam diri Sheena menggelegak.
“Baru pertama nato?” Sheena mencoba mencairkan suasana. Indira mengangguk malu.
“Sakit ga?”
“Sakit, tentu saja sakit” kata Sheena.
Indira menunjuk lengan Sheena yang penuh tatoo “ ditato sebanyak ini gak sakit?”
“Sakit, tapi menjerit tidak akan menghilangkan sakit kan?”
Indira terdiam.
“Lagipula ada yang lebih sakit dari ini.” Kata Sheena lagi.
“Apa kak?” tanya Indira.
“Masa Lalu.” Jawab Sheena.
Dada Indira tercekat. “Masa lalu memang menyakitkan..” jawab Indira pelan. Untuk sesaat mereka berpandangan mata, seolah berkata: aku menemukan orang yang senasib.
“Aku benci mereka, kak.”
“Siapa?”
“Teroris! dan.. orang bernama Mustava Ibrahim!” Indira memproklamirkan kebenciannya kepada Ava.
Nafas Sheena tercekat mendengar kata „teroris‟.
“Siapa Mustava Ibrahim? Teroris?” Sheena tampak bingung, ia belum pernah mendengar pentolan JI, JAT, ataupun Al Qaeda yang bernama itu, setahunya nama itu adalah salah satu judul lagu Queen.
“Bukan… tapi… namanya.. brewoknya..”
Tentu saja Ava bukan teroris, Indira juga tahu itu, namun ego di dalam dirinya memaksanya berkata demikian.
“Kamu benci dia karena namanya? Karena brewoknya?”
Indira tersenyum kecut, ia ingin mengakui betapa dirinya tidak dewasa, namun sekali lagi egonya demikian sulit dikalahkan.
Untuk beberapa menit, bisu menyelinap di antara mereka. Cukup lama untuk membuat kapas yang tadi dibasahi Sheena menjadi kering.
“Boleh kumulai?” Kata Sheena memecah bisu.
Sheena membasahi lagi kapas yang sudah mengering dengan alkohol, kemudian ia mengusap kemaluan Indira dan daerah sekitarnya dengan kapas itu.
Seketika itu seberkas rasa geli yang teramat meremang dan menyebar dari kemaluan Indira ke seluruh tubuhnya. Rasa galau yang ia rasakan berganti dengan gelinjang yang tiba-tiba membara. Ia meremas ujung kursi, hanya agar tidak menggelinjang dan melompat menerkam Sheena. Sungguh, meskipun ia pernah telanjang di hadapan orang lain sebelumnya, baru pertama ini ada orang yang baru dikenalnya mengusap kemaluannya, dan lagi Indira tahu Sheena nampak takjub memandangi telanjangnya.
Lihatlah aku! Pujalah lekuk ku!
Cumbui aku dengan tatapanmu!
Indira mengangkat dress-nya lebih jauh lagi, sehingga sepasang payudaranya yang membulat mengintip malu-malu dari bawah.
Sheena mencoba berkonsentrasi, menempelkan pola tatoo dari kertas di atas telanjang Indira, namun Indira sengaja merintih kecil, membuat Sheena menelan nafas, dadanya kini berdegup kencang, wajahnya memanas.
Terlebih lagi saat Sheena mencoba melukis motif duri di atas gundukan kecil halus tanpa bulu yang tadinya tertutup G-String. Indira mulai merintih rintih, rintihannya itu bukan rintihan biasa, lebih mirip rintihan orang yang sedang disetubuhi
“Ah! Ah! Ooh..” suara Indira bersahut-sahutan dengan lagu Punk Rock yang diputar di pojokan. Matanya memejam dan bibir tipisnya mendesis-desis. Terkadang Indira menggigit tipis ujung jarinya, seolah sedang ada tubuh tidak terlihat sedang menyetubuhinya.
“Mmmh.. Oh! Oh!” perpaduan rasa sakit, dan geli karena tangan Sheenamenyenggol belahannya, benar-benar menimbulkan sensasi yang bahkan tidak bisa dijelaskan oleh semua pujangga di muka bumi.
“Dari mana?” Sheena mencoba mencairkan suasana lagi. Jantungnya berdegup kencang, seperti derap double pedal Paul Cock, drummer Sex Pistols.
“Ubud… aah.. aah… kak Sheena dari mana?”
“Bali juga, tapi aku lama di Jakarta, kuliah.” Kata Sheena sambil mengguratkan jarum tinta.
“Oh yaaa? Di mana? Mmm hoooh…” Indira melolong sambil meremas ujung dressnya, membuat payudaranya semakin terekspos.
“Di Institut kesenian… yang di Cikini.” Jantung Sheena semakin berdegup.
Keringat nampak menderas dari wajahnya yang mulai memerah.
“H.. h… haah… kenal kak Sari dong?”
“Yang… White Shoes?”
Hanya memastikan Sari mana yang dimaksud. Tanpa sadar, Sheena meletakkan ibu jarinya yang dibungkus sarung tangan plastik di bibir vagina Indira.
Ya..
Di sana..
Jangan lepaskan..
“Mmmh… Iya.. h.. yang vokalis tu.” Indira menahan geli, tapi ia tidak memberontak. Indira tidak tahu apakah Sheena sengaja atau tidak melakukan itu, namun ia berharap Sheena tidak memindahkan tangannya, Indira benar-benar menikmati ini.
“Kakak kelas satu jurusan, tapi gak kenal baik.” Sheena semakin asyik
menebalkan garis yang digambarnya, tanpa sadar ibu jarinya bergerak menggesek bibir tembem di selangkangan Indira.
“Ooooh.. h.. h..” Indira melolong perlahan.
Terus..
Belai belahanku
Masuki relungku
Cumbui aku dengan usapanmu
Sebentuk rasa yang purba menyebar-nyebar ke seluruh pembuluh darah Indira. Nafsu yang merebak dari liang sampai ujung dadanya, membuat sepasang putingnya menegak dan meradang. Nafsu itu menggerakkan detak jantungnya menderap-derap, dan nafasnya memburu-buru. Membuat dadanya yang membusung naik turun dengan cepat. Sungguh, ia tidak ingin Sheena berhenti.
“Aaaah!” Seberkas cairan menyeruak. Celaka, Sheena baru menyadari ia meletakkan tangannya di tempat yang salah. Sheena mencoba profesional, segera ditariknya tangannya. Namun tangan Indira menahannya. Sheena melirik ke arah Indira, wajahnya sudah merona merah, bibirnya terbuka setengah.
Jangan berhenti.
Tebarkan hasrat ke sekujurku!
Pujalah Yoni-ku!
Bawa aku sampai nikmat yang berlangit-langit!
Indira menahan tangan Sheena agar tidak meninggalkan nikmat yang baru saja mencuat itu. Ia tahu, tidak seharusnya ia melakukan ini dan tidak sepantasnya. Namun Sang Nafsu Purba: Birahi membuatnya semakin jauh melangkah ke dalam jurang kesesatan. Dibenamkannya telapak Sheena ke dalam belahannya.
Sheena terpaku, nafasnya tercekat di tenggorokan. Ia pun tahu, seharusnya ia segera menarik tangannya. Dirinya adalah seorang seniman tatoo profesional. Namun sedari tadi birahi pun sudah memenuhi dadanya, meriap- riap ke antara selangkangannya dan membuat semburat lendir membasahi boxer-nya.
Dan semua terjadi begitu cepat. Setiap belaian Sheena seperti memercikkan riak ke tubuh Indira. Riak itu segera menjadi gelombang yang berguruh- guruh menyebabkan pinggul Indira terangkat dan terhempas, memancarkan seberkas kenikmatan yang membasahi jemari Sheena.
Kemudian yang tersisa hanya lemas yang terenggah di atas kursi panjang itu. Sheena mengganti sarung tangan yang penuh dengan lendir. Ia menyeka lendir yang sedikit melunturkan tinta hasil karyanya itu. Ah, ia harus mengulangi beberapa garis.
Sheena bersaha mengendalikan dirinya. Ia adalah seniman, seniman harus profesional! Ia harus menyelesaikan karya seni ini.
Indira terenggah mengatur nafas, ia tidak sanggup menahan nyeri dan geli yang kembali mendera tubuh setengah telanjangnya. Ia memejamkan mata, menahan nyeri yang kembali mendera. Suara erangannya bercampur dengan lagu Punk rock yang di putar di sudut ruangan.
“Hey ho, let's go!
Hey ho, let's go!
They're forming in a straight line They're going through a tight wind The kids are losing their minds
The Blitzkrieg Bop”
“Umh.. kak.. suka Ramones?”
“Suka.. dengar dari ayahku, kamu kira kenapa aku dikasih nama Sheena?” “Hehe.. aku juga..”
Ah, boleh juga Selera musik Indira untuk orang se-imut dirinya.
“Ah, di pub di depan nanti malam ada acara.”
“Pub apa?”
“Crossing Fate.”
“Oh..”
“Aku nyanyi, kamu boleh datang kalau mau... ajak teman-temanmu juga” Kata Sheena, jantungnya berdegup menunggu jawaban dari Indira.
“Hihihi..”
“kenapa?”
“Kakak gak keliahatan bisa nyanyi..”
Sheena masih belum menemukan jawaban dari pernyataan itu, tapi tak apa. Sheena menghela nafas, berusaha menyelesaikan karya seni ini sebaik- baiknya. Sungguh klien-nya hari ini benar-benar membuatnya tersiksa.
“Done..” kata Sheena.
“Mana? Ah! Bagusnyaa” mata Indira tampak berbinar.
Ia segera bangkit dan mematut-matut diri di depan cermin besar di Studio tato itu. Diangkatnya dress putihnya sampai setinggi dada. Sesosok tubuh yang berlekuk indah memantul segar di depan cermin. Dari belahan vaginanya kini terdapat tatoo mawar berduri, dahannya menyebar sampai pinggul.
“Hihihi..” Indira tersenyum-senyum sendiri di depan cermin, melupakan
Sheena yang tak bernafas memandangi dua bongkahan pantat yang montok.
“Hey! Kok bengong?” kata Indira sambil menyerahkan uang.
“Oh.” Lamunan Sheena buyar.
“Udah ya.. sampai ketemu ntar malem Kak Sheena!”
Indira tersenyum cerah sebelum menghambur ke arah pintu.
“Hey! CD-nya dipakai dulu!” teriak Sheena.
Indira berlalu, meninggalkan Sheena yang terpaku. Tanpa sadar, jemari Sheena menyelinap ke balik reitsliting celana skiny jeans itu. Sheena merasakan kewanitaannya meremang, dan ia membelai remang itu.
“Oooh… pelan.. pelan..” Indira menahan nafas, wajahnya tampak menegang. Dress putih yang dikenakan sudah terangkat sampai ke perut, menampakkan
lekuk tubuhnya yang putih mulus. G-string yang tadi dikenakannya sudah tercampak di lantai, meninggalkan indah tubuh bawah yang telanjang.
Perut, pinggulnya yang ranum tampak demikian menggoda, dan jangan lupa: bukit kecil di bawah perutnya yang tanpa bulu, mulus halus seperti seorang bayi, membuat siapapun yang melihat pasti meneteskan air liur.
“Oooh! Sakit.. ooh! Oo.. huk..huk.” Setetes air melintas di pipinya yang merona merah, mengiringi Indira yang mulai merintih. Namun yang diajak bicara seperti tidak peduli, ia terus menghujam, membuat Indira meregang- regang di atas kursi sambil terus mengerang. Nafasnya sudah begitu memburu, dan Keringat membasahi wajahnya yang bersemu merah, sehingga membuatnya bertambah seksi.
“Mmmmh.. oooh…” matanya memejam sambil menggigit bibir bawahnya. Pinggulnya bergerak-gerak liar.
“Oooooh! Ooooh!” Indira melolong panjang ke udara.
“Ya ampun, kalau gerak-gerak gini, kapan selesai tatoonya? Ditahan dikit sakitnya napa?” Omel si seniman tatoo.
==================================
Fragmen 6
The Pain Carver
==================================
-Sheena-
40 Menit yang lalu.
Seorang wanita muda duduk santai sambil menaikkan kakinya ke atas meja. Ia menghisap sebatang rokok sambil memandangi tatoo yang baru saja diguratnya di punggung tangannya sendiri: “Paradiso10”, melengkapi dua kata yang ditulis terlebih dulu “Inferno” dan “Purgatorio” dalam rangkaian gambar yang membentuk naga dari pundak - memenuhi lengan kirinya.
Tubuh wanita itu dibalut oleh tank-top putih ketat dan skinny jeans belel. Rambutnya dipotong pendek seperti Demi Moore dulu, dan sepasang kacamata hitam bundar besar-model retro- yang bertengger di wajahnya melengkapi sebentuk kecantikan dan keseksian yang demikian liar.
Namanya: Sheena.
Di dalam, speaker butut di pojokan mendentamkan suara si Heru, vokalis Shaggy Dog ke ruangan yang penuh asap rokok.
“Bukanlah kejahatan bila kamu punya tato. aku dan kawan kawan juga punya tato. kami tak ganggu orang walau punya tato. jarumnya menari nari ala meksiko. sakit tapi ingin... ingin tambah lagi...”
_________________________________________
10 Inferno, Purgatorio, dan Paradiso diambil dari puisi karya Dante Alighieri yang berjudul Divine Comedy (1308-1321).
________________________________________
Di luar, skuter matic yang dikendarai Indira melambat ketika memasuki Jl. Poppies II yang sempit –lebih mirip gang- dengan toko yang menjual kartu post, dan pub yang belum buka di kiri-kanannya. Indira menepikan motornya di depan sebuah Tatoo Parlor, bertuliskan “Angel With the Dragoon Tatoo” dengan foto-foto klien yang dipajang di depan. Dari dalam terdengar irama lagu Shaggy Dog.
Bel kecil di atas pintu berdenting, tanda pelanggan datang. Ia segera mematikan rokoknya. Seorang gadis remaja memasuki studionya, Gadis itu sangat cantik, blasteran indo-bule. “Indira.” Katanya memperkenalkan diri.
"Mau buat tato?" tanya Sheena.
Indira mengangguk. Siang ini Indira sangat kesal. Betapa tidak, ayahnya sudah menerima murid orang yang demikian dibencinya. Mengapa ayah selalu melakukan sesuatu sesuka hatinya? Huh! Namun biarlah, karena saat ini pun akan melakukan hal sesukanya. Indira berpikir inilah saatnya menunjukkan pada mereka bahwa dirinyapun bisa melakukan tindakan serupa.
"Mau buat tatoo di mana?"
"Mmm..." Indira menggigit bibirnya sambil berpikir. Awalnya Indira hanya berniat membuat tatoo kecil di lengannya, namun melihat si tukang tatoo adalah sesama perempuan, membuat hasrat penjelajahannya yang senantiasa penasaran bergolak. Indira menanyakan apakah bisa membuat tatoo di tempat yang “aneh”. Tentu saja bisa! Sekujur tubuhpun bisa di tatoo kalau mau. Indira tersipu mendengarnya, wajahnya memerah saat menunjuk bagian yang ingin ditatoo.
Indira duduk di atas kursi panjang, Ia mencopot cardigans-nya, sehingga menampakkan pundaknya yang membulat indah. Dinaikkannya ujung dress putih itu sampai di atas perut, menyibak pemandangan menakjubkan berupa paha, pinggul, dan perut yang berlekuk Indah. Tak lupa, sebentuk bukit kecil di antara dua paha yag ditutup segitiga hitam kecil yang ditali.
Sheena tak berkedip melihatnya. Tahu dirinya diperhatikan, membuat darah Indira berdesir. Ia memang suka diperhatikan, hal itu membuatnya merasa istimewa, membuatnya merasa seperti ratu. Indira menaikkan sepasang pahanya pelan, dan dibuatnya seanggun mungkin. Tangannya bergerak ke bawah, meloloskan g-string itu dalam gerakan perlahan, membiarkan Sheena menikmati setiap gerak lambatnya.
Indira tersenyum malu-malu (tepatnya pura-pura malu), sambil menutupi vaginanya dengan tangan. Sheena terseyum dan melepas kacamata hitamnya, Indira melihat sebentuk wajah manis yang ditempa keras hidup dibaliknya.
Sheena mengenakan sepasang sarung tangan karet, dan membasahi kapas dengan alkohol. Sheena memberi isyarat agar Indira menyibakkan tangannya.
Sheena menelan nafas, dadanya berdegup kencang, wajahnya memanas. Seharusnya ia sering menangani klien seperti ini. Namun melihat kemaluan Indira yang belia dan bersih tanpa bulu, dan belahan sempit di bawahnya, membuat hasrat tersembunyi di dalam diri Sheena menggelegak.
“Baru pertama nato?” Sheena mencoba mencairkan suasana. Indira mengangguk malu.
“Sakit ga?”
“Sakit, tentu saja sakit” kata Sheena.
Indira menunjuk lengan Sheena yang penuh tatoo “ ditato sebanyak ini gak sakit?”
“Sakit, tapi menjerit tidak akan menghilangkan sakit kan?”
Indira terdiam.
“Lagipula ada yang lebih sakit dari ini.” Kata Sheena lagi.
“Apa kak?” tanya Indira.
“Masa Lalu.” Jawab Sheena.
Dada Indira tercekat. “Masa lalu memang menyakitkan..” jawab Indira pelan. Untuk sesaat mereka berpandangan mata, seolah berkata: aku menemukan orang yang senasib.
“Aku benci mereka, kak.”
“Siapa?”
“Teroris! dan.. orang bernama Mustava Ibrahim!” Indira memproklamirkan kebenciannya kepada Ava.
Nafas Sheena tercekat mendengar kata „teroris‟.
“Siapa Mustava Ibrahim? Teroris?” Sheena tampak bingung, ia belum pernah mendengar pentolan JI, JAT, ataupun Al Qaeda yang bernama itu, setahunya nama itu adalah salah satu judul lagu Queen.
“Bukan… tapi… namanya.. brewoknya..”
Tentu saja Ava bukan teroris, Indira juga tahu itu, namun ego di dalam dirinya memaksanya berkata demikian.
“Kamu benci dia karena namanya? Karena brewoknya?”
Indira tersenyum kecut, ia ingin mengakui betapa dirinya tidak dewasa, namun sekali lagi egonya demikian sulit dikalahkan.
Untuk beberapa menit, bisu menyelinap di antara mereka. Cukup lama untuk membuat kapas yang tadi dibasahi Sheena menjadi kering.
“Boleh kumulai?” Kata Sheena memecah bisu.
Sheena membasahi lagi kapas yang sudah mengering dengan alkohol, kemudian ia mengusap kemaluan Indira dan daerah sekitarnya dengan kapas itu.
Seketika itu seberkas rasa geli yang teramat meremang dan menyebar dari kemaluan Indira ke seluruh tubuhnya. Rasa galau yang ia rasakan berganti dengan gelinjang yang tiba-tiba membara. Ia meremas ujung kursi, hanya agar tidak menggelinjang dan melompat menerkam Sheena. Sungguh, meskipun ia pernah telanjang di hadapan orang lain sebelumnya, baru pertama ini ada orang yang baru dikenalnya mengusap kemaluannya, dan lagi Indira tahu Sheena nampak takjub memandangi telanjangnya.
Lihatlah aku! Pujalah lekuk ku!
Cumbui aku dengan tatapanmu!
Indira mengangkat dress-nya lebih jauh lagi, sehingga sepasang payudaranya yang membulat mengintip malu-malu dari bawah.
Sheena mencoba berkonsentrasi, menempelkan pola tatoo dari kertas di atas telanjang Indira, namun Indira sengaja merintih kecil, membuat Sheena menelan nafas, dadanya kini berdegup kencang, wajahnya memanas.
Terlebih lagi saat Sheena mencoba melukis motif duri di atas gundukan kecil halus tanpa bulu yang tadinya tertutup G-String. Indira mulai merintih rintih, rintihannya itu bukan rintihan biasa, lebih mirip rintihan orang yang sedang disetubuhi
“Ah! Ah! Ooh..” suara Indira bersahut-sahutan dengan lagu Punk Rock yang diputar di pojokan. Matanya memejam dan bibir tipisnya mendesis-desis. Terkadang Indira menggigit tipis ujung jarinya, seolah sedang ada tubuh tidak terlihat sedang menyetubuhinya.
“Mmmh.. Oh! Oh!” perpaduan rasa sakit, dan geli karena tangan Sheenamenyenggol belahannya, benar-benar menimbulkan sensasi yang bahkan tidak bisa dijelaskan oleh semua pujangga di muka bumi.
“Dari mana?” Sheena mencoba mencairkan suasana lagi. Jantungnya berdegup kencang, seperti derap double pedal Paul Cock, drummer Sex Pistols.
“Ubud… aah.. aah… kak Sheena dari mana?”
“Bali juga, tapi aku lama di Jakarta, kuliah.” Kata Sheena sambil mengguratkan jarum tinta.
“Oh yaaa? Di mana? Mmm hoooh…” Indira melolong sambil meremas ujung dressnya, membuat payudaranya semakin terekspos.
“Di Institut kesenian… yang di Cikini.” Jantung Sheena semakin berdegup.
Keringat nampak menderas dari wajahnya yang mulai memerah.
“H.. h… haah… kenal kak Sari dong?”
“Yang… White Shoes?”
Hanya memastikan Sari mana yang dimaksud. Tanpa sadar, Sheena meletakkan ibu jarinya yang dibungkus sarung tangan plastik di bibir vagina Indira.
Ya..
Di sana..
Jangan lepaskan..
“Mmmh… Iya.. h.. yang vokalis tu.” Indira menahan geli, tapi ia tidak memberontak. Indira tidak tahu apakah Sheena sengaja atau tidak melakukan itu, namun ia berharap Sheena tidak memindahkan tangannya, Indira benar-benar menikmati ini.
“Kakak kelas satu jurusan, tapi gak kenal baik.” Sheena semakin asyik
menebalkan garis yang digambarnya, tanpa sadar ibu jarinya bergerak menggesek bibir tembem di selangkangan Indira.
“Ooooh.. h.. h..” Indira melolong perlahan.
Terus..
Belai belahanku
Masuki relungku
Cumbui aku dengan usapanmu
Sebentuk rasa yang purba menyebar-nyebar ke seluruh pembuluh darah Indira. Nafsu yang merebak dari liang sampai ujung dadanya, membuat sepasang putingnya menegak dan meradang. Nafsu itu menggerakkan detak jantungnya menderap-derap, dan nafasnya memburu-buru. Membuat dadanya yang membusung naik turun dengan cepat. Sungguh, ia tidak ingin Sheena berhenti.
“Aaaah!” Seberkas cairan menyeruak. Celaka, Sheena baru menyadari ia meletakkan tangannya di tempat yang salah. Sheena mencoba profesional, segera ditariknya tangannya. Namun tangan Indira menahannya. Sheena melirik ke arah Indira, wajahnya sudah merona merah, bibirnya terbuka setengah.
Jangan berhenti.
Tebarkan hasrat ke sekujurku!
Pujalah Yoni-ku!
Bawa aku sampai nikmat yang berlangit-langit!
Indira menahan tangan Sheena agar tidak meninggalkan nikmat yang baru saja mencuat itu. Ia tahu, tidak seharusnya ia melakukan ini dan tidak sepantasnya. Namun Sang Nafsu Purba: Birahi membuatnya semakin jauh melangkah ke dalam jurang kesesatan. Dibenamkannya telapak Sheena ke dalam belahannya.
Sheena terpaku, nafasnya tercekat di tenggorokan. Ia pun tahu, seharusnya ia segera menarik tangannya. Dirinya adalah seorang seniman tatoo profesional. Namun sedari tadi birahi pun sudah memenuhi dadanya, meriap- riap ke antara selangkangannya dan membuat semburat lendir membasahi boxer-nya.
Dan semua terjadi begitu cepat. Setiap belaian Sheena seperti memercikkan riak ke tubuh Indira. Riak itu segera menjadi gelombang yang berguruh- guruh menyebabkan pinggul Indira terangkat dan terhempas, memancarkan seberkas kenikmatan yang membasahi jemari Sheena.
Kemudian yang tersisa hanya lemas yang terenggah di atas kursi panjang itu. Sheena mengganti sarung tangan yang penuh dengan lendir. Ia menyeka lendir yang sedikit melunturkan tinta hasil karyanya itu. Ah, ia harus mengulangi beberapa garis.
Sheena bersaha mengendalikan dirinya. Ia adalah seniman, seniman harus profesional! Ia harus menyelesaikan karya seni ini.
Indira terenggah mengatur nafas, ia tidak sanggup menahan nyeri dan geli yang kembali mendera tubuh setengah telanjangnya. Ia memejamkan mata, menahan nyeri yang kembali mendera. Suara erangannya bercampur dengan lagu Punk rock yang di putar di sudut ruangan.
“Hey ho, let's go!
Hey ho, let's go!
They're forming in a straight line They're going through a tight wind The kids are losing their minds
The Blitzkrieg Bop”
“Umh.. kak.. suka Ramones?”
“Suka.. dengar dari ayahku, kamu kira kenapa aku dikasih nama Sheena?” “Hehe.. aku juga..”
Ah, boleh juga Selera musik Indira untuk orang se-imut dirinya.
“Ah, di pub di depan nanti malam ada acara.”
“Pub apa?”
“Crossing Fate.”
“Oh..”
“Aku nyanyi, kamu boleh datang kalau mau... ajak teman-temanmu juga” Kata Sheena, jantungnya berdegup menunggu jawaban dari Indira.
“Hihihi..”
“kenapa?”
“Kakak gak keliahatan bisa nyanyi..”
Sheena masih belum menemukan jawaban dari pernyataan itu, tapi tak apa. Sheena menghela nafas, berusaha menyelesaikan karya seni ini sebaik- baiknya. Sungguh klien-nya hari ini benar-benar membuatnya tersiksa.
“Done..” kata Sheena.
“Mana? Ah! Bagusnyaa” mata Indira tampak berbinar.
Ia segera bangkit dan mematut-matut diri di depan cermin besar di Studio tato itu. Diangkatnya dress putihnya sampai setinggi dada. Sesosok tubuh yang berlekuk indah memantul segar di depan cermin. Dari belahan vaginanya kini terdapat tatoo mawar berduri, dahannya menyebar sampai pinggul.
“Hihihi..” Indira tersenyum-senyum sendiri di depan cermin, melupakan
Sheena yang tak bernafas memandangi dua bongkahan pantat yang montok.
“Hey! Kok bengong?” kata Indira sambil menyerahkan uang.
“Oh.” Lamunan Sheena buyar.
“Udah ya.. sampai ketemu ntar malem Kak Sheena!”
Indira tersenyum cerah sebelum menghambur ke arah pintu.
“Hey! CD-nya dipakai dulu!” teriak Sheena.
Indira berlalu, meninggalkan Sheena yang terpaku. Tanpa sadar, jemari Sheena menyelinap ke balik reitsliting celana skiny jeans itu. Sheena merasakan kewanitaannya meremang, dan ia membelai remang itu.