Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Paradiso!

Bimabet
“Mmhhh h.. h… h.” Indira mengeram, nafasnya mulai memburu.

“Oooh… pelan.. pelan..” Indira menahan nafas, wajahnya tampak menegang. Dress putih yang dikenakan sudah terangkat sampai ke perut, menampakkan

lekuk tubuhnya yang putih mulus. G-string yang tadi dikenakannya sudah tercampak di lantai, meninggalkan indah tubuh bawah yang telanjang.

Perut, pinggulnya yang ranum tampak demikian menggoda, dan jangan lupa: bukit kecil di bawah perutnya yang tanpa bulu, mulus halus seperti seorang bayi, membuat siapapun yang melihat pasti meneteskan air liur.

“Oooh! Sakit.. ooh! Oo.. huk..huk.” Setetes air melintas di pipinya yang merona merah, mengiringi Indira yang mulai merintih. Namun yang diajak bicara seperti tidak peduli, ia terus menghujam, membuat Indira meregang- regang di atas kursi sambil terus mengerang. Nafasnya sudah begitu memburu, dan Keringat membasahi wajahnya yang bersemu merah, sehingga membuatnya bertambah seksi.

“Mmmmh.. oooh…” matanya memejam sambil menggigit bibir bawahnya. Pinggulnya bergerak-gerak liar.

“Oooooh! Ooooh!” Indira melolong panjang ke udara.

“Ya ampun, kalau gerak-gerak gini, kapan selesai tatoonya? Ditahan dikit sakitnya napa?” Omel si seniman tatoo.

==================================

Fragmen 6

The Pain Carver

==================================

-Sheena-

40 Menit yang lalu.

Seorang wanita muda duduk santai sambil menaikkan kakinya ke atas meja. Ia menghisap sebatang rokok sambil memandangi tatoo yang baru saja diguratnya di punggung tangannya sendiri: “Paradiso10”, melengkapi dua kata yang ditulis terlebih dulu “Inferno” dan “Purgatorio” dalam rangkaian gambar yang membentuk naga dari pundak - memenuhi lengan kirinya.

Tubuh wanita itu dibalut oleh tank-top putih ketat dan skinny jeans belel. Rambutnya dipotong pendek seperti Demi Moore dulu, dan sepasang kacamata hitam bundar besar-model retro- yang bertengger di wajahnya melengkapi sebentuk kecantikan dan keseksian yang demikian liar.

Namanya: Sheena.

Di dalam, speaker butut di pojokan mendentamkan suara si Heru, vokalis Shaggy Dog ke ruangan yang penuh asap rokok.

“Bukanlah kejahatan bila kamu punya tato. aku dan kawan kawan juga punya tato. kami tak ganggu orang walau punya tato. jarumnya menari nari ala meksiko. sakit tapi ingin... ingin tambah lagi...”

_________________________________________

10 Inferno, Purgatorio, dan Paradiso diambil dari puisi karya Dante Alighieri yang berjudul Divine Comedy (1308-1321).

________________________________________

Di luar, skuter matic yang dikendarai Indira melambat ketika memasuki Jl. Poppies II yang sempit –lebih mirip gang- dengan toko yang menjual kartu post, dan pub yang belum buka di kiri-kanannya. Indira menepikan motornya di depan sebuah Tatoo Parlor, bertuliskan “Angel With the Dragoon Tatoo” dengan foto-foto klien yang dipajang di depan. Dari dalam terdengar irama lagu Shaggy Dog.

Bel kecil di atas pintu berdenting, tanda pelanggan datang. Ia segera mematikan rokoknya. Seorang gadis remaja memasuki studionya, Gadis itu sangat cantik, blasteran indo-bule. “Indira.” Katanya memperkenalkan diri.

"Mau buat tato?" tanya Sheena.

Indira mengangguk. Siang ini Indira sangat kesal. Betapa tidak, ayahnya sudah menerima murid orang yang demikian dibencinya. Mengapa ayah selalu melakukan sesuatu sesuka hatinya? Huh! Namun biarlah, karena saat ini pun akan melakukan hal sesukanya. Indira berpikir inilah saatnya menunjukkan pada mereka bahwa dirinyapun bisa melakukan tindakan serupa.

"Mau buat tatoo di mana?"

"Mmm..." Indira menggigit bibirnya sambil berpikir. Awalnya Indira hanya berniat membuat tatoo kecil di lengannya, namun melihat si tukang tatoo adalah sesama perempuan, membuat hasrat penjelajahannya yang senantiasa penasaran bergolak. Indira menanyakan apakah bisa membuat tatoo di tempat yang “aneh”. Tentu saja bisa! Sekujur tubuhpun bisa di tatoo kalau mau. Indira tersipu mendengarnya, wajahnya memerah saat menunjuk bagian yang ingin ditatoo.

Indira duduk di atas kursi panjang, Ia mencopot cardigans-nya, sehingga menampakkan pundaknya yang membulat indah. Dinaikkannya ujung dress putih itu sampai di atas perut, menyibak pemandangan menakjubkan berupa paha, pinggul, dan perut yang berlekuk Indah. Tak lupa, sebentuk bukit kecil di antara dua paha yag ditutup segitiga hitam kecil yang ditali.

Sheena tak berkedip melihatnya. Tahu dirinya diperhatikan, membuat darah Indira berdesir. Ia memang suka diperhatikan, hal itu membuatnya merasa istimewa, membuatnya merasa seperti ratu. Indira menaikkan sepasang pahanya pelan, dan dibuatnya seanggun mungkin. Tangannya bergerak ke bawah, meloloskan g-string itu dalam gerakan perlahan, membiarkan Sheena menikmati setiap gerak lambatnya.

Indira tersenyum malu-malu (tepatnya pura-pura malu), sambil menutupi vaginanya dengan tangan. Sheena terseyum dan melepas kacamata hitamnya, Indira melihat sebentuk wajah manis yang ditempa keras hidup dibaliknya.

Sheena mengenakan sepasang sarung tangan karet, dan membasahi kapas dengan alkohol. Sheena memberi isyarat agar Indira menyibakkan tangannya.

Sheena menelan nafas, dadanya berdegup kencang, wajahnya memanas. Seharusnya ia sering menangani klien seperti ini. Namun melihat kemaluan Indira yang belia dan bersih tanpa bulu, dan belahan sempit di bawahnya, membuat hasrat tersembunyi di dalam diri Sheena menggelegak.

“Baru pertama nato?” Sheena mencoba mencairkan suasana. Indira mengangguk malu.

“Sakit ga?”

“Sakit, tentu saja sakit” kata Sheena.

Indira menunjuk lengan Sheena yang penuh tatoo “ ditato sebanyak ini gak sakit?”

“Sakit, tapi menjerit tidak akan menghilangkan sakit kan?”

Indira terdiam.

“Lagipula ada yang lebih sakit dari ini.” Kata Sheena lagi.

“Apa kak?” tanya Indira.

“Masa Lalu.” Jawab Sheena.

Dada Indira tercekat. “Masa lalu memang menyakitkan..” jawab Indira pelan. Untuk sesaat mereka berpandangan mata, seolah berkata: aku menemukan orang yang senasib.

“Aku benci mereka, kak.”

“Siapa?”

“Teroris! dan.. orang bernama Mustava Ibrahim!” Indira memproklamirkan kebenciannya kepada Ava.

Nafas Sheena tercekat mendengar kata „teroris‟.

“Siapa Mustava Ibrahim? Teroris?” Sheena tampak bingung, ia belum pernah mendengar pentolan JI, JAT, ataupun Al Qaeda yang bernama itu, setahunya nama itu adalah salah satu judul lagu Queen.

“Bukan… tapi… namanya.. brewoknya..”

Tentu saja Ava bukan teroris, Indira juga tahu itu, namun ego di dalam dirinya memaksanya berkata demikian.

“Kamu benci dia karena namanya? Karena brewoknya?”

Indira tersenyum kecut, ia ingin mengakui betapa dirinya tidak dewasa, namun sekali lagi egonya demikian sulit dikalahkan.

Untuk beberapa menit, bisu menyelinap di antara mereka. Cukup lama untuk membuat kapas yang tadi dibasahi Sheena menjadi kering.

“Boleh kumulai?” Kata Sheena memecah bisu.

Sheena membasahi lagi kapas yang sudah mengering dengan alkohol, kemudian ia mengusap kemaluan Indira dan daerah sekitarnya dengan kapas itu.

Seketika itu seberkas rasa geli yang teramat meremang dan menyebar dari kemaluan Indira ke seluruh tubuhnya. Rasa galau yang ia rasakan berganti dengan gelinjang yang tiba-tiba membara. Ia meremas ujung kursi, hanya agar tidak menggelinjang dan melompat menerkam Sheena. Sungguh, meskipun ia pernah telanjang di hadapan orang lain sebelumnya, baru pertama ini ada orang yang baru dikenalnya mengusap kemaluannya, dan lagi Indira tahu Sheena nampak takjub memandangi telanjangnya.

Lihatlah aku! Pujalah lekuk ku!

Cumbui aku dengan tatapanmu!

Indira mengangkat dress-nya lebih jauh lagi, sehingga sepasang payudaranya yang membulat mengintip malu-malu dari bawah.

Sheena mencoba berkonsentrasi, menempelkan pola tatoo dari kertas di atas telanjang Indira, namun Indira sengaja merintih kecil, membuat Sheena menelan nafas, dadanya kini berdegup kencang, wajahnya memanas.

Terlebih lagi saat Sheena mencoba melukis motif duri di atas gundukan kecil halus tanpa bulu yang tadinya tertutup G-String. Indira mulai merintih rintih, rintihannya itu bukan rintihan biasa, lebih mirip rintihan orang yang sedang disetubuhi

“Ah! Ah! Ooh..” suara Indira bersahut-sahutan dengan lagu Punk Rock yang diputar di pojokan. Matanya memejam dan bibir tipisnya mendesis-desis. Terkadang Indira menggigit tipis ujung jarinya, seolah sedang ada tubuh tidak terlihat sedang menyetubuhinya.

“Mmmh.. Oh! Oh!” perpaduan rasa sakit, dan geli karena tangan Sheenamenyenggol belahannya, benar-benar menimbulkan sensasi yang bahkan tidak bisa dijelaskan oleh semua pujangga di muka bumi.





“Dari mana?” Sheena mencoba mencairkan suasana lagi. Jantungnya berdegup kencang, seperti derap double pedal Paul Cock, drummer Sex Pistols.

“Ubud… aah.. aah… kak Sheena dari mana?”

“Bali juga, tapi aku lama di Jakarta, kuliah.” Kata Sheena sambil mengguratkan jarum tinta.

“Oh yaaa? Di mana? Mmm hoooh…” Indira melolong sambil meremas ujung dressnya, membuat payudaranya semakin terekspos.

“Di Institut kesenian… yang di Cikini.” Jantung Sheena semakin berdegup.

Keringat nampak menderas dari wajahnya yang mulai memerah.

“H.. h… haah… kenal kak Sari dong?”

“Yang… White Shoes?”

Hanya memastikan Sari mana yang dimaksud. Tanpa sadar, Sheena meletakkan ibu jarinya yang dibungkus sarung tangan plastik di bibir vagina Indira.

Ya..

Di sana..

Jangan lepaskan..

“Mmmh… Iya.. h.. yang vokalis tu.” Indira menahan geli, tapi ia tidak memberontak. Indira tidak tahu apakah Sheena sengaja atau tidak melakukan itu, namun ia berharap Sheena tidak memindahkan tangannya, Indira benar-benar menikmati ini.

“Kakak kelas satu jurusan, tapi gak kenal baik.” Sheena semakin asyik

menebalkan garis yang digambarnya, tanpa sadar ibu jarinya bergerak menggesek bibir tembem di selangkangan Indira.

“Ooooh.. h.. h..” Indira melolong perlahan.

Terus..

Belai belahanku

Masuki relungku

Cumbui aku dengan usapanmu

Sebentuk rasa yang purba menyebar-nyebar ke seluruh pembuluh darah Indira. Nafsu yang merebak dari liang sampai ujung dadanya, membuat sepasang putingnya menegak dan meradang. Nafsu itu menggerakkan detak jantungnya menderap-derap, dan nafasnya memburu-buru. Membuat dadanya yang membusung naik turun dengan cepat. Sungguh, ia tidak ingin Sheena berhenti.

“Aaaah!” Seberkas cairan menyeruak. Celaka, Sheena baru menyadari ia meletakkan tangannya di tempat yang salah. Sheena mencoba profesional, segera ditariknya tangannya. Namun tangan Indira menahannya. Sheena melirik ke arah Indira, wajahnya sudah merona merah, bibirnya terbuka setengah.

Jangan berhenti.

Tebarkan hasrat ke sekujurku!

Pujalah Yoni-ku!

Bawa aku sampai nikmat yang berlangit-langit!

Indira menahan tangan Sheena agar tidak meninggalkan nikmat yang baru saja mencuat itu. Ia tahu, tidak seharusnya ia melakukan ini dan tidak sepantasnya. Namun Sang Nafsu Purba: Birahi membuatnya semakin jauh melangkah ke dalam jurang kesesatan. Dibenamkannya telapak Sheena ke dalam belahannya.

Sheena terpaku, nafasnya tercekat di tenggorokan. Ia pun tahu, seharusnya ia segera menarik tangannya. Dirinya adalah seorang seniman tatoo profesional. Namun sedari tadi birahi pun sudah memenuhi dadanya, meriap- riap ke antara selangkangannya dan membuat semburat lendir membasahi boxer-nya.

Dan semua terjadi begitu cepat. Setiap belaian Sheena seperti memercikkan riak ke tubuh Indira. Riak itu segera menjadi gelombang yang berguruh- guruh menyebabkan pinggul Indira terangkat dan terhempas, memancarkan seberkas kenikmatan yang membasahi jemari Sheena.

Kemudian yang tersisa hanya lemas yang terenggah di atas kursi panjang itu. Sheena mengganti sarung tangan yang penuh dengan lendir. Ia menyeka lendir yang sedikit melunturkan tinta hasil karyanya itu. Ah, ia harus mengulangi beberapa garis.

Sheena bersaha mengendalikan dirinya. Ia adalah seniman, seniman harus profesional! Ia harus menyelesaikan karya seni ini.

Indira terenggah mengatur nafas, ia tidak sanggup menahan nyeri dan geli yang kembali mendera tubuh setengah telanjangnya. Ia memejamkan mata, menahan nyeri yang kembali mendera. Suara erangannya bercampur dengan lagu Punk rock yang di putar di sudut ruangan.

“Hey ho, let's go!

Hey ho, let's go!

They're forming in a straight line They're going through a tight wind The kids are losing their minds

The Blitzkrieg Bop”

“Umh.. kak.. suka Ramones?”

“Suka.. dengar dari ayahku, kamu kira kenapa aku dikasih nama Sheena?” “Hehe.. aku juga..”

Ah, boleh juga Selera musik Indira untuk orang se-imut dirinya.

“Ah, di pub di depan nanti malam ada acara.”

“Pub apa?”

“Crossing Fate.”

“Oh..”

“Aku nyanyi, kamu boleh datang kalau mau... ajak teman-temanmu juga” Kata Sheena, jantungnya berdegup menunggu jawaban dari Indira.

“Hihihi..”

“kenapa?”

“Kakak gak keliahatan bisa nyanyi..”

Sheena masih belum menemukan jawaban dari pernyataan itu, tapi tak apa. Sheena menghela nafas, berusaha menyelesaikan karya seni ini sebaik- baiknya. Sungguh klien-nya hari ini benar-benar membuatnya tersiksa.

“Done..” kata Sheena.

“Mana? Ah! Bagusnyaa” mata Indira tampak berbinar.

Ia segera bangkit dan mematut-matut diri di depan cermin besar di Studio tato itu. Diangkatnya dress putihnya sampai setinggi dada. Sesosok tubuh yang berlekuk indah memantul segar di depan cermin. Dari belahan vaginanya kini terdapat tatoo mawar berduri, dahannya menyebar sampai pinggul.

“Hihihi..” Indira tersenyum-senyum sendiri di depan cermin, melupakan

Sheena yang tak bernafas memandangi dua bongkahan pantat yang montok.

“Hey! Kok bengong?” kata Indira sambil menyerahkan uang.

“Oh.” Lamunan Sheena buyar.

“Udah ya.. sampai ketemu ntar malem Kak Sheena!”

Indira tersenyum cerah sebelum menghambur ke arah pintu.

“Hey! CD-nya dipakai dulu!” teriak Sheena.

Indira berlalu, meninggalkan Sheena yang terpaku. Tanpa sadar, jemari Sheena menyelinap ke balik reitsliting celana skiny jeans itu. Sheena merasakan kewanitaannya meremang, dan ia membelai remang itu.
 
=================================

Fragmen 7

Street Without a Sign

=================================

Sore telah datang, menjelang di Kuta yang semakin remang. Sheena pulang, shift nya berakhir sore itu.

Sheena merasakan lengket yang teramat pada kulitnya. Siang tadi memang berasa panas, terlebih lagi dengan kehadiran seorang klien bernama Indira, membuat hari itu semakin panas! Sheena memelorotkan celana jeans ketatnya, mengambil handuk dan melenggang santai di lorong kost-kostan, hanya dengan tank top putih dan celana boxer pendek. Tank top itu sudah membasah oleh keringat sehingga menapakan lekuk tubunya dan BH-nya yang berwarna hitam

Beberapa Beach Boys yang ngekost di sana bersuit. Sheena mengacungkan jari tengahnya dengan cuek.

Sebutkan nama hotel dan klub besar di bilangan kuta dan sekitarnya, Hard Rock, Double Six, Kama Sutra, yang semuanya memancarkan kemilau sinar dan gempita suara yang memekakkan. Dan juga outlet-outlet brand surfing yang berlomba-lomba memajang banner potongan harga.

Siapa sangka, di balik deretan pub dan artshop tersembunyi sebuah labirin, jalan-jalan kecil yang tak diberi tanda, karena memang tak ada gunanya menamai gang-gang kecil seperti itu. Di sana berjejal kontrakan-kontrakan, dan kost-kostan sempit bagi insan penggerak segala gempita di atasnya. Termasuk Sheena, dan para Beach Boys itu.

Sebuah kontradiksi.

Di dalam sebuah kamar mandi berlumut, Sheena melucuti bajunya. Ia memandangi tubuhnya yang terpantul di atas cermin berkerak. Sebuah tubuh yang penuh kontradiksi.

Sheena memandangi tubuhnya lagi. Sepasang payudara bundar berdiri kokoh di bawah bahunya yang bidang. Lengannya yang terlatih ditutupi tatoo bergambar naga, dari punggung tangan sampai pundak. Sheena tersenyum puas melihat tatoo yang dilukisnya sendiri. Ada 3 tulisan yang tampak mencolok.

Inferno Purgatorio Paradiso

Sinar matahari masuk dari ventilasi, menyinari lekuk tubuh Sheena. Ia menyalakan keran dan mulai mengguyur tubuh telanjangnya. Air membasahi dada dan pantatnya, membuatnya berkilat-kilat.

Shena mengambil sabun, dan mulai membersihkan setiap relung dan lekuk tubuhnya. Pemandangan di tatoo parlor tadi tiba-tiba berkilas di benak sheena, aroma kewanitaan Indira seolah kembali tercium.

Sheena tersenyum sendiri, sungguh gila! Pengalaman yang benar-benar gila! Sheena tiba-tiba mengernyit, saat ujung jarinya daerah sensitifnya.

Sheena kembali menyabuni kulitnya hingga penuh oleh buih sabun yang keputihan. Seberkas rasa nikmat menjalar-jalar saat jemari Sheena mengusap sepasang bongkahan di dadanya. Geli menyebar ke puncak bongkahan itu, membuat sepasang puting yang berwarna coklat muda menegang. Nafas Sheena semakin memburu, ia memburu muasal geli itu – di ujung putingnya. Sheena membelainya.

“Ummh..” Lengguh geli Sheena tenggelam dalam deru air yang menderas. Semakin ia membelai, semakin pula jantungnya berdebar-debar. Dadanya yang busung perlahan mulai naik turun seiring nafasnya yang memburu. Air di dalam bak bergolak, seperti Dadanya yang bergejolak, Sheena meremas gejolak itu.

“Ooooh…”

Selangkangannya meremang, Sheena membelai remang itu. Shena memejamkan matanya, bayangan vagina Indira yang lembut tanpa bulu demikian nyata di depan matanya.

“Indira…” desisnya.

Ada suatu sensasi merinding di celah di antara dua paha Sheena, ia memijat bibir kewanitaannya mencari muasal sensasi itu. Telunjuk dan ibu jarinya mulai bergerak sirkular memijit-mijit sepasang bibir yang sudah membasah sedari tadi.

“Mmmmh…” Sheena menggigit lidahnya sendiri.

Tangannya menyibak bibir bawahnya, mencoba memasuki liang yang membasah. “Ooooh…” Sekujur tubuh Sheena merinding saat ia menyusuri dinding yang licin. Kedua kakinya melemas, ia mendudukkan pantat telanjangnya ke tepian bak mandi.

Air menderu deras, bak hampir penuh. Mengiringi nafas Shena yang memberat. Seluruh tubuhnya bergidik, saat ujung jarinya mengenai tonjolan yang mengeras di selangkangannya. “Ooooh…” suatu sensasi menyebar, ke sekujur tubuhnya, ke arah puting susunya yang mengeras, Sheena meremasnya.

Sheena merasakan seluruh tubuhnya penuh dengan gejolak yang menggelora. Nafasnya memburu, seiring gerakan jarinya yang menyetubuhi kewanitaannya sendiri.

Sheena memejamkan matanya, ia membayangkan Indira yang ada di dalam kamar mandi itu. Sheena membayangkan Indira yang juga telanjang sedang eremas payudaranya, memainkan klitorisnya, dan mencumbunya dengan ganas.

“Indira.. Indira… oooh…” Sheena meracap pada sesuatu yang tiada. Indira menghisap leher Sheena, “Kak Sheena, I love you..” Suara Indira terdengar begitu nyata di telinga Sheena.

“Indira.. oooh!” Sheena melolong sendiri, ia meronta seolah Indira mendorongnya ke arah bak mandi. Tangannya mengenai tempat sabun di pojokan, membuatnya tumpah berantakan ke lantai. “Aaaah!” Sheena menghempaskan punggung telanjangnya ke arah tembok tegel warna oranye yang berlumut, sebelum merosot terduduk di lantai kamar mandi yang dibanjiri air.

“Ooooh… ohhhh..” kocokan dan remasan Shena makin kencang, membuatnya menggelinjang ke sana ke mari. Tubuh telanjang Sheena bergelung di lantai, bercinta dengan dirinya sendiri. Sheena meracau, dan merintih, sambil terus mencumbui kewanitaannya.

Air menderu deras, tumpah ke atas tubuh Sheena yang panas oleh birahi. Suara percikannya menutupi erangan dan rintihan Sheena.

“Hah.. aaa.. oooh” Wajah Sheena sudah merona, birahi sudah memenuhi ubun- ubunnya.

“Ooooo…” Sheena menutup mulutnya sendiri dengan telapak tangan hanyaagar teriakannya tidak di dengar oleh Beach Boys di luar.

Sesaat kemudian Sheena, merasakan suatu puncak gelombang kenikmatan yang datang bergulung-gulung. Gelombang yang membuat sekujur otot di tubuhnya bergerak di luar kendali. Pinggul Sheena terangkat ke atas, sebelum terhempas ke lantai kamar mandi yang dingin. Terangkat, kemudian terhempas lagi, sehingga sulit membedakan Shena dengan orang yang kesurupan. Hempasan terakhir membuatnya bergelung-gelung, meninggalkan sekujur tubuh telanjang bertato yang tergolek lemas sambil terenggah.

Sheena meringkuk seperti seorang bayi, ia membiarkan air yang tumpah dari tepian bak membasahi payudaranya, Sheena membelainya. Ia membelai sepasang payudara yang seharusnya untuk menyusui anaknya. Sementarayoni-nya kini penuh lendir, sebuah liang suci yang seharusnya menjadi awal lahirnya kehidupan.

Birahinya terpuaskan, namun tidak keresahannya.

Sheena merasa dirinya seperti jalan-jalan yang tak diberi tanda, suatu entitas yang tak memiliki identitas, suatu kontradiksi!

Sheena memejamkan matanya, namun yang terkilas hanya warna merah menyala dan api yang berkobar-kobar.

Inferno Purgatorio Paradiso

Dari ketiganya itu, entah di mana ia berada sekarang. Pelan-pelan sesuatu dari masa lalu merasuk dari rerajahan di tangan kirinya, dan pelan-pelan memenuhi dadanya yang kian sesak.

Air mengucur deras, mengiringi Sheena yang terisak. Ia tahu, seberapa jauh pun ia berlari, masa lalu selalu membuntuti, seperti hantu. Sheena semakin terisak, ia menutup bibirnya dengan tangan, menahan tangisnya yang semakin meledak-ledak.

*******

Butuh beberapa waktu bagi Sheena untuk menenangkan diri. Hingga habis semua sesak di dadanya tersapu air yang menderas keluar. Shena bangkit,

dan meraupkan air ke wajahnya, membilas air mata yang masih tersisa.

Sheena mengeringkan rambut dan tubuhnya dengan handuk. Ia membalutkan handuk itu ala kadarnya ke tubuhnya dan melenggang keluar dengan gontai. Beberapa Beach Boys yang nongkrong sedari tadi melongo melihat tubuh Sheena yang tersingkap kemana-mana. Mereka bersuit- lagi. Sheena mengacungkan jari tengah –lagi. Biarlah, toh mereka pernah melihat lebih dari ini.

*******

Sementara matahari telah terbenam. Sandyakala menggantikan lembayung senja dengan hitam malam yang kelam. Sebentuk kehidupan yang gemerlap telah dimulai. Kehidupan malam Pulau Dewata.

“Siap berangkat?” kata Kadek kepada Ava.

“Siap dong!” Ava mengenakan helm butut milik Kadek. “Lets go!”
 
=============================

Fragmen 8

Lost In Translation

==============================



Malam itu minggu malam. Seperti janji di pagi harinya, Kadek mengajak Ava berjalan-jalan. Setelah puas “Jajan” di Jl. Danau Tempe, Ava dan Kadek mengisi perut dengan makan Nasi Jenggo di pinggiran jl. By Pass, yaitu sejenis nasi bungkus porsi kecil yang dibungkus daun pisang, berisi lauk telur

½ butir, suwiran ayam, oseng kacang, dan sambal yang pedas. Yah, kalau di Jogja sejenis nasi kucing-lah. Ava sedang lahap makan ketika Kadek mengajarinya kosakata bahasa Bali.

“Memek artinya ibu..” kata Kadek sambil mengunyah nasi.

“Ah, serius ah.”

“Serius!”

Sebab Ava tahu, memek di tempat asalnya berarti lain.

“Pipis artinya duit”

“Kadek, jangan becanda ah..”

“Bener!”

Ava juga tahu, di tempat asalnya pipis berarti apa. Ava segeramengkonfirmasi hal ini kepada dagang nasi Jinggo. Kadek tertawa melihatnya.

Dalam hatinya, Ava pun bersorak, sebabdia bisa melakukan hal yang selama ini ingin dilakukan.

“Memek!!!” Ava berteriak keras-keras.

Orang-orang yang makan di samping Ava menoleh, namun mereka tidak berpikiran Ava orang mesum yang menyebut nama alat kelamin wanita, mereka berpikir Ava orang stress yang kangen ibunya.

“MEMEK keluar PIPIS!” Ava berteriak lagi lalu tertawa terbahak-bahak.

Mereka mengira Ava mengatakan “Ibu keluar Uang”. Mantap!

“Celak, artinya kemaluan laki-laki.” Kata Kadek santai sambil merokok. Ava sibuk mencatat vocabulary bahasa bali itu di handphone. “Kenyang, artinya ereksi.”

“Nyonyo, artinya payudara wanita.”

“Melalung, artinya telanjang.”

“Mekatuk, artinya berhubungan sex.”

“Pepek, artinya kemaluan wanita.”

“Oh, yang ini sama.. eh Dek, kok daritadi yang kamu ajari kata-kata mesum semua?”

“Hahaha.. soalnya mukamu mirip teli!”

Ava menimpuk kadek dengan sandal, setelah tahu teli ini artinya klitoris.

********

Setelah makan, Ava dan Kadek memutuskan jalan-jalan ke Kuta. “Mau lihat Bule Sexy!” alasan Ava. Segera skuter si Kadek menyelinap di antara belantara kemacetan Pulau Dewata. Suara knalpotnya yang nyaring seolah bersaing dengan dentum house music pub di sepanjang jalan.

“Dek, arah jam 10 bule seksi.”

“Mana? Oh iya!”

Ada seorang bule seksi, mengenakan hot pants dan tank-top ketat. Bening,putingnya mencuat tanpa BH.

“Mantaaaap!”

“Va! Arah jam 1 buruan!”

“Wih Miyabi itu!” “Beneran?”

“Iya!”

Seorang wanita jepang, mengenakan dress mini, sehingga pahanya yang putih kemana-mana. Mukanya mirip sekali dengan pemain film porno itu. Ia menoleh, ada tahi lalat di pipinya.

“Weh Miyabi KW!

“Haha..”

“Eh, arah jam 12 ada yang pakai hotpants dan baju ketat!” kata Kadek

Kadek berhenti karena ada dua orang menyeberang sambil bergandengan, mereka mengenakan hotpants ketat, dan kaus ketat couple. Bulu dada dan bulu paha mereka menyembul kemana-mana.

“Teli kamu, Dek!” Ava menjitak helm Kadek.

Skuter mereka terjebak kemacetan.

“Va, Minum yuk!” kata Kadek tiba-tiba

“Weh mantep! Di mana?”

“Di Pub Crossing Fate! Di Gang Poppies II”

==============================

Fragmen 9

The Crossing Fate

==============================

Di sebuah jalan sempit bernama Poppies II, Kuta. Suatu jalan sempit yang dipenuhi oleh pub, bar, motel, penjual souvenir, dan wisatawan yang lalu lalang menikmati gemerlap dunia malam pulau dewata. Suatu jalan yang diabadikan menjadi judul lagu oleh Slank dan Superman Is Dead.

Di salah satu sudutnya, terdapat Pub dengan tulisan “Crossing Fate” dari neon yang berpendar temaram, seperti enggan hidup. Dari dalamnya menghentak irama musik yang rancak. Seorang bule yang mengenakan singlet bir bintang dan kacamata oakley palsu memasukinya, telinganya agak pengang mendengar Suara distorsi yang menghentak ke seluruh penjuru ruangan yang remang-remang. Asap rokok dan aroma alkohol memenuhi pengap udara. Sementara lantai kotak-kotak hitam putih seperti papan catur,dipenuhi bule- bule lain yang berjoget dan moshing mengikuti alunan musik Punk-Rockabilly yang dimainkan.

Lagu Cover version The Ramones memantul ke dinding yang berwarna merah- hitam, dan atap beton yang tidak di plester.

Seorang Pemain Bass penuh tatoo, mengenakan celana ketat dan singlet ketat, dengan jambul seperti Elvis asyik memainkan bas betot putih berukuran besar, yang ditempeli stiker heart-spade-clover-diamond, seperti kartu remi . Kadang ia beratraksi dengan berdiri menaiki bass betotnya itu, sehingga memancing riuh tepuk tangan para hadirin.

Di belakang, sang drummer yang mengenakan topi koboi, memandu ritme sambil berdiri memainkan set drum, yang hanya terdiri dari bas drum, hi-hat, dan snare, tanpa tom-tom, tanpa symbal.

Sementara sang Vokalis- Sheena mengenakan Skinny Jeans, dan T-Shirt hitam ketat bertuliskan “ElectroHell” dibalut jaket kulit hitam. Ia asyikbernyanyi sambil memainkan gitar Grestch White Falcon yang berwarnaputih (jelas dong, namanya saja White Falcon). Kakinya bergerak-gerak asyik ke sana kemari. Suaranya merdu tapi melengking parau sekilas mirip suara Karen-O vokalis Yeah Yeah Yeahs.

“Well the kids are all hopped up and ready to go

They're ready to go now

They've got their surfboards

And they're going to the discotheque a go go!!!”

Sheena bernyanyi, namun sepasang matanya yang tersembunyi di balik kacamata retro warna hitam sibuk mencari-cari bidadari yang ditemuinya siang tadi.

“But she just couldn't stay She had to break away Oh yeah… oh yeaah!!! Yeah! Yeah! Yeah!”

Pencariannya berhenti ketika seorang bidadari yang menyelinap di antara keramaian. Malam ini bidadari itu mengenakan Jins dan tank top hitam, lengkap dengan bracelet blink-blink bak seorang punk rocker. Indira tersenyum dan melambaikan tangan ke arah panggung. Sheena terbakar semangatnya, ia terbawa suasana dan bernyanyi dengan penuh gairah.

“Sheena is a punk rocker! Sheena is a punk rocker! Sheena is a punk rocker now!"

“Temanmu?” tanya seorang lelaki muda di samping Indira berteriak agak keras agar tidak tertelan suara musik. Ia berusia 20-an awal, wajahnya ganteng-setengah bule juga, berpakaian rapi dan mengenakan kaca mata kotak, menunjukkan dia sangat intelek.

Indira hanya tersenyum dan menggandeng tangan laki-laki itu, “Ih, Dewa mau tahu aja!”. Dewa namanya, pacar indira. Malam ini mereka datang bersama teman-teman kuliah Dewa, 2 orang laki-laki dan 2 orang wanita. Merekaduduk di pojokan dan mulai memesan minuman.

Indira menghambur ke arah panggung dan mulai menggerakkan anggota tubuhnya mengikuti irama lagu yang rancak, ia nampak seperti bidadari di tengah para penghuni neraka yang asyik moshing dan crowd surfing.

"Punk punk, a punk rocker! Punk punk, a punk rocker ! Punk punk, a punk rocker ! Yeaaaaaah!!!!"

Lagu selesai dimainkan, Sheena melompat, dan mendekatkan pick-up gitarnya pada ampli sehingga menimbulkan bunyi berdenging. Indira bersorak histeris dan menaiki panggung. Sebuah kecupan mendarat di bibir Sheena, membuat sorakan penonton membahana melihat sesama jenis itu berciuman bibir.

“Gila! Kamu!” protes Dewa yang disambut derai tawa indira seolah tidak peduli. Indira melambaikan tangan ke arah bartender, sesaat kemudian ia sudah menenggak segelas segelas Tequilla langsung tandas, dua sloki Tequilla datang lagi, Indira meneggaknya habis. Ia puas sekali hari ini, ia merasa bisa melampiaskan kekesalan kepada orang-orang yang sudah berbuat seenaknya pada dirinya.

Dewa duduk disamping Indira, ia merangkul tubuh mungil itu, harum parfum Indira yang bercampur dengan aroma alkohol tercium begitu seksi di hidung Dewa, ia membaui rambut Indira. Indira bergidik merasakan nafas Dewa menari di telinganya. Dewa memandangi wajah kekasihnya itu, perpaduan antara darah bali dan Australia membuatnya begitu eksotis sekligus anggun. Dewa menelan ludah melihat sepasang dada Indira yang ranum dan membusung, ditutupi sehelai tank top ketat warna hitam. Sekilas nampak dua tonjolan kecil mencuat. Ah, rupanya Indira tidak mengenakan bra malam ini.

Dewa tambah tergerak untuk menciumi leher Indira. Indira melengguh pelan, membuat Dewa semakin berhasrat menjilati leher gadis itu.

“Apa sih!” Indira berusaha menolak, mendorong tubuh Dewa.

“Hehe..” Dewa nyengir sambil menenggak se-sloki Vodka, sebelum nekat meraba payudara Indira yang tak ber-BH.

Sebuah tamparan melayang, namun segera ditangkap Dewa, sambil tertawa. Direngkuhnya tubuh mungil Indira ke dalam cumbuanmya. Indira meronta, namun tentu tenaga Dewa lebih kuat. Pelan tapi pasti setiap lumatan dan remasan Dewa membangkitkan hasrat tak terlihat dalam dada Indira, hasrat yang seolah memberi celah bagi jari demi jari Dewa untuk menjelajah lekuk tubuhnya. Jauh... lebih jauh lagi...

Semua orang di tempat itu seakan larut dalam pengaruh musik dan alkohol, tak ada yang peduli dengan pasangan muda yang sedang dimabuk asmara. Tapi tidak Sheena, dari kejauhan ia melihat bidadari-nya jatuh ke rayuan seorang pemuda. Perih menyelinap di hati Sheena. Sheena menghela nafas, ia tidak bisa melakukan apapun. Sheena bukan siapa-siapa Indira, ia hanyalah sesama wanita yang jatuh dalam kecantikan si bidadari. Sheena cuma seorang pengukir nyeri, pengukir nyeri tak mungkin mencintai bidadari.

Sheena menenggak sebotol Jack Daniels yang diletakkan di atas amplifier Gallien-Krueger untuk menghilangkan perih di hatinya. Namun alkohol itu malah menyebarkan perih yang berlapis-lapis.

Terdengar bunyi feedback yang berdenging saat Sheena mulai bicara, “The next song is cover version from Superman Is Dead! King, Queen, and Poison!” Sheena mulai memainkan intro, jemarinya bergerak lincah di atas fret gitar. Suaranya melengking melalui mic yang digantungi hiasan dadu besar, dan disambut diuh sorakan para hadirin yang mulai berjoget.

“When the sky is dark

and my passion seems to strong

guess the queen has left this thorned heart alone tomorrow's broken dream is harder than i thought i fought the devil, find emptiness in me””

Sementara di pojokan, dada Indira bergolak, terjadi pertentangan batin di dadanya. Ia sungguh tak ingin digerayangi di depan umum, namun setiap usapan dan belaian Dewa seperti membelai permukaan birahinya, membuatnya beriak-riak. Indira menenggak segelas tequilla lagi, alkohol mengalir di dalam aliran darahnya, membuatnya semakin lupa diri.

“So that's the story i've made

and all the consequences it claims

oh no my lady, this song made of gold”

Sheena tak bisa berbuat apa, ia hanya bisa terus bernyanyi, hanya bisa melihat dada bidadarinya dijamahi oleh tangan manusia itu. Tangan Dewa menyusup ke balik kaus Indira, meremas payudaranya yang tak ber-BH, Indira meregang. Ia mendekap Dewa erat, membiarkan pemuda itu melakukan lebih jauh lagi. Riak itu kini membesar menjadi gelombang, gelombang yang menggerakkan pinggulnya ke atas dan ke bawah.

Mata Indira terpejam, bibirnya membuka setengah. Sungguh ia menikmati setiap remasan dan belaian Dewa pada payudaranya. Indira menikmati sensasi mendebarkan itu, apakah si bartender memperhatikannya? Apakah bule di depan melihat dadanya yang ranum di remas dengan kasar? Aaaaah.. membayangkan ini membuat sekujur tubuh Indira merinding, selangkangannya sudah gatal dan basah oleh lendir.

Indira memejam, ia memasrahkan tubuhnya kepada Dewa. Namun dada Sheena sedemikian perih melihatnya, seperti ada duri-duri mawar yang mengalir di jantungnya. Ia merasa benar-benar gila!

“When the flowers bloom

and the thorns stick into my veins

push my blood into the edge of insanity”

Dewa menarik Indira ke pojokan, ke balik bayangan tiang beton yang samar. Di sana ia mencumbui Indira lebih jauh lagi. Indira membiarkan Dewa menciumi lehernya yang jenjang mulus. Indira mendekap kepala Dewa erat, membenamkannya ke lehernya, seolah berkata: hisap aku! Mangsa aku! Dewa menggigit tipis leher putih indira, membuat gadis itu merintih pelan, rintih yang dengan mudah tertelan suara bising.

Bibir Dewa bergerak ke atas menyusuri tulang rahang Indira, naik ke atas dan mulai melumati bibir lembut Indira. Indara melengguh pelan, dan mulai membalas lumatan Dewa. Dihisapnya lidah Dewa yang mencoba memasuki bibirnya, dibelainya lidah itu sehingga menimbulkan sensasi geli yang menakjubkan. “Mmmmmh” Mereka berpagutan di tengah deru sayatan gitar Sheena yang semakin resah.

“Everything is a blur, a picture of your kiss,

tasted so sweet

and poison, here i come!”

Indira mengerang-erang pelan dalam cumbuan Dewa. Dibiarkannya tangan Dewa menyusup ke balik reitsliting jeansnya, membelai belahannya yang sudah membasah semenjak tadi. Sementara nyanyian Sheena semakin resah, semakin gelisah.

“Inject myself with angels wings, lay me down here in a burning ring oh no my lady, the memory remains.”

Indira sudah tidak peduli lagi, meskipun beberapa orang di sekitarnya mulai

memperhatikan mereka. Indira melirik ke arah bartender, ia tersenyum sambil memperhatikan pasangan muda yang penuh nafsu itu. Ooooh! Indira semakin bernafsu. Ia mendekap Dewa erat, dan mulai menciumi leher pemuda itu, membuat Dewa semakin bernafsu menjelajah lebih jauh lagi. Jarinya disusupkan kebalik celana dalam Indira, mencari belahannya yang sudah licin. Setiap belaian pada klitoris Indira membuatnya semakin meregang-regang dan meracau di telinga Dewa.

“Jangan… jangan… ohhh..”

Namun penjelajahan jari Dewa yang menyusuri dinding vagina Indira, membuat racau-nya berubah menjadi jerit tertahan. Sungguh jari itu menimbulkan sensasi geli yang teramat sangat disekujur tubuh Indira. Apalagi di tengah keramaian seperti ini, membuat birahinya berlipat-lipat! Indira mengejang, meregang, menggelinjang dalam keramaian. Di peluknya Dewa erat-erat dan dilumatnya bibir pemuda itu.

“Mmmmh!! Mmmh!!!”

Indira mencapai orgasmenya! Tubuhnya bergetar-getar seperti getaran ampifier. Cairan memancar deras dari selangkangan Indira, sebelum ia tergolek lemas dalam pelukan Dewa, namun Dewa tidak peduli, ia tetap mencumbui Indira.

Sementara hati Sheena semakin perih melihatnya, ia hanya bisa bernyanyi, bernyanyi dengan gundah.

“cos i fought the war inside

my pain explains the true meaning of life inject myself with angels wings,

lay me down here in a burning ring..”

*********

Suara nyanyian yang meraung-raung terdengar dari luar saat Ava dan Kadek tiba. Malam ini Ava berlagak seperti orang kampung yang pertama ke kota. Matanya jelalatan melihat cewek-cewek cantik yang bertebaran. Sungguh pemandangan yang tidak bisa disaksikannya di Jogja.

Ava memperhatikan seorang wanita tomboi namun seksi yang sedang asyik bernyanyi sambil bermain gitar di atas panggung, benar-benar keseksian yang liar! Mata Ava kemudian bergerak liar ke seantero ruangan, mengagumi para bule yang berpakaian tak kalah seksi.

“Dek! Ini baru mantap!” Ava harus agak berteriak agar suaranya tidak tenggelam dalam nyanyian Sheena.

“Hahaha!” Kadek hanya tertawa.

“Dek, aku mau kenalan sama bule! Sapa tahu dapat ngentot gratis!” “Jangan ngimpi!”

“Yaudah aku kenalan sama yang lokal aja!”

Mata Ava mencari TO.

“Dek, arah jam 1, lokal dek!” “Mana? Iya ! jegeg nok!” “Wah, lagi digrepe tuh..”

“Eh, kok kayaknya pernah lihat?” kata Kadek. “Weh, Indira tu!”

Kadek segera menghampiri Indira. Ava tak tahu yang mereka bicarakan, namun sepertinya Kadek terlibat adu mulut dengan Dewa dan 2 orang temannya. Mereka tampak saling tuding dan saling dorong. Ava hendak memisahkan mereka, namun tiba-tiba satu orang tampak tidak terima dan memukul Kadek.

Astaga!

Kadek tentu membalas ,namun ia kalah jumlah dan segera terjerembab di lantai, dipukuli beramai-ramai. Indira berusaha melerai, namun sebuah bogem nyasar mendarat di wajah cantiknya, membuatnya jatuh terhuyung.

Sheena tidak bisa diam lagi. Ava tidak bisa tinggal diam.

Bidadarinya telah disakiti – bidadarinya telah disakiti.

Ava segera mengambil bangku kayu, dan melompat. Ava menghantamkan bangku itu dengan sekuat tenaga ke tengkuk seseorang yang dianggapnya paling kekar. Ia tersungkur dan tak bergerak. (stun kalau istilah di game)

Ava mengalihkan sasaran ke orang yang satu lagi, Dewa. Dewa menangkis serangan Ava, namun Ava mengayunkan senjatanya secara membabi buta. Kacamatanya pecah terhantam bangku. Pecahannya masuk ke mata, ia memegangi matanya kesakitan .

Seorang lagi tidak terima dan memecahkan sebotol bir untuk dijadikan senjata. Namun sebuah hantaman keras dari gitar Grescth membuatnya kejang-kejang di lantai bersama body gitar yang patah jadi dua.

Dewa memegangi matanya sambil mengacung-acungkan pisau lipat. Keadaan hampir bertambah gawat. Indira menangis histeris, memegangi Kadek yang nampak kesakitan. Begitu juga dua orang cewek rombongan Dewa menangis histeris. Malam itu betul-betul chaos, sampai keamanan Pub melerai mereka. Lama mereka terlibat adu mulut, sampai Dewa dan teman-temannya pergi dengan menaiki mobil sambil memaki.

“Mau ikut aku atau mereka!” Bentak Dewa.

Indira tak menjawab, hanya menangis tersedu.

Dewa meninggalkan Indira yang menangis tersedu di lantai kotak-kotak itu.

“Huk.. huk… Jangan bilangin Ajik, ya dek..”

Tapi Kadek terus mengomeli Indira.

“Udah lah Dek, udah malem nie.. besok aja diomongin lagi..” Ava mencoba melerai.

Sheena memeluk Indira yang menangis.

“Mbak.. makasih ya” kata Ava kepada Sheena.

“Gak papa..” Sheena melirik ke arah Ava. Saat mata mereka bertatapan, sontak terkilas suatu imaji di ingatan Sheena. “Dengan mbak..” suara Ava membuyarkan imaji itu.

“Sheena.”

“Saya Ava.”

Akhirnya Kadek mengambil keputusan: Ava dan Indira pulang naik taksi, sementara ia mengikuti dari belakang dengan skuter. Good point.

Ava menyetop taksi berwarna biru. “Ubud pak” kata Ava. “Yakin bli? Jauh itu.” kata pak sopir.

Ava melirik pada Indira dan Kadek.

“Gak papa.. “ kata Indira.

Taksi berlalu, meninggalkan Sheena yang membatu seperti patung.

********




=========================================

Fragmen 10

My Name Is Mustava

==========================================

Taksi yang ditumpangi Ava dan Indira melaju di sepanjang Jl. By Pass, jalan besar yang mengingatkan Ava pada Ringroad di Jogja. Cahaya lampu jalan yang berwarna jingga berpendar di wajah Indira yang duduk di sampingnya.

Indira masih membeku, diam seribu bahasa.

“Mas Ava.” Ia memecah kebisuan. “Ya?”

Ia memandangi pipi Ava yang membiru terkena bogem.

“Aku ga nyangka jadi kaya gini… Maaf ya..”

“Yang ini? gak papa kali..” ya, lebam itu memang tidak apa-apanya daripada menyaksikan bidadarinya disakiti, tapi tentu ini tidak dikatakan Ava.

“Yang tadi pagi juga..” Indira menyebut peristiwa di Air terjun tadi pagi.

Bisu menyelinap lagi di antara jarak yang memisahkan tempat duduk mereka. Ava menarik nafas panjang.

“Kenapa sih, kamu?” tanya Ava. “Gak tahu” jawab Indira pelan.

“Tenang aja, aku gak pernah gabung sama organisasi teroris kok..” kata Ava.

“Aku.. gak tahu” jawab Indira lagi, sungguh ia pun tidak tahu kenapa ia membenci Ava.

Ava mendengus, nafasnya mengembun pada kaca mobil yang dingin.

“Pasti gara-gara namaku, kan?”

Indira tidak menjawab, tapi hatinya mengatakan: iya.

Ava mencoba menanyakan pertanyaan retorik. “Namamu Indira kan?”

“Kenapa tanya?”

“Namaku Mustava Ibrahim.”

“Terus?”

“Aku gak pernah minta diberi nama ini.”

Indira terdiam. Ia menyandarkan kepalanya ke kaca jendela yang berembun.

“Aku gak pernah minta dilahirkan dari keluarga mana, di belahan bumi mana, dan dengan agama apa.”

Indira masih terdiam.

“My name is Mustava, and I‟m not a terrorist” Ava mengutip kata-kata Shahrukh Khan.

“Of course you‟re not…” Indira menjawab lirih.

Sayup-sayup Ava mendengarnya terisak. Ava iba melihat bidadari yang ternyata demikian rapuh ini, ia membelai rambut Indira.

Belaian Ava seketika itu juga membangkitkan kenangan akan belaian yang dulu pernah dirasakan Indira.

“Huk.. huk…” Tahu-tahu Indira sudah memeluk Ava, dan menangis di dadanya. Ava bingung, serba salah dengan keadaan ini. Ia membelai Indira, lembut sangat lembut. Belaian yang malah membuat tangis Indira semakin menjadi- jadi.

“Ava.. maafin.. aku.. huk.. huk.. bukan salah kamu… kalau.. huk…kalau kak Raka dan mama…”

Tangis indira pecah, tubuhnya berguncang-guncang dalam pelukan Ava.

Taksi itu melaju di jalan yang telah lenggang. Melewati Patung Bayi Raksasa di perempatan. Cahaya lampu jalan yang berwarna jingga bependar resah, seperti resah Indira.

***********

Sementara itu, Sheena diomeli habis-habisan oleh manajer Pub karena ikut membuat kerusuhan. Namun ia tidak peduli. Ia lebih peduli dengan raut wajah brewok yang ditemuinya barusan. Sheena merasa pernah mengenalnya, entah di mana. Namun, semakin ia mengingat, semakin kepalanya terasa sakit. Ia berusaha mengingat lebih jauh lagi, namun ruangan di sekitarnya seperti memendar. Tatoo naga di lengan kirinya seakan bergerak-gerak, berubah menjadi ratusan tangan berdarah yang meraba-raba tubuhnya. Sheena berteriak histeris. Tubuhnya jatuh ke lantai. Sesaat kemudian ia sudah tidak ingat apa-apa lagi.




==========================================

Fragmen 11

The Aftermath

==========================================

-Dewa-

Ruangan UGD RSUP Sanglah dini hari itu nampak lengang, koass bagian bedah yang kebagian shift jaga malam menguap dengan malas. Malam itu benar- benar sepi, hanya ada satu-dua pasien yang datang, itu pun karena permasalahan yang tidak seberapa parah: demam dan diare. Hanya satu orang di pojokan datang dengan pelipis yang berdarah-darah, korban perkelahian.

“Anjrit! Sakit woi!”

“Ya elah, cemen! Tahan dikit napa!”

Wajah ganteng Dewa nampak berkerut-kerut hingga gantengnya tinggal sedikit saja. Pelipis kirinya tampak berwarna merah kebiruan sisa darah yang membeku. Di depannya seorang cewek cantik mengenakan jas putih sibuk mengusap luka itu dengan kapas dibasahi iod, sesaat kemudian tangannya kembali sibuk menggerakkan jarum berbentuk lengkung ke dalam kulitnya, yang dijawabnya dengan erangan seperti cewek.

“Aw.. aw.. aw..”

“Dah, beres… dasar ye tampang aja macho, tapi teriakan kaya cewek..” Kata si cewek sambil menutup bekas jahitan itu dengan perban. Dewa meringis.

“Pacaran sama anak SMA sih.. gini deh jadinya” kata si cewek.

Dewa tersenyum kecut.

“Ikut campur aja lu, Vi”

Cewek yang dipanggil Vi menjawab, “mending selesain dulu kuliah lu, jangan pacaran aja, gue aja sudah koass, kapan lu koass, nyet?”

Senyum Dewa bertambah-tambah-tambah-tambah kecut.

“Lu beneran sayang sama… siapa namanya?”

“Indira.”

“Ya, Indira..”

“Sayang kok..” kata Dewa.

“Sayang toket-nya… sayang meki-nya”

“Anjrit! Gila lu!” Dewa protes yang ditimpali derai tawa Vi.

“Lu serius sama dia?”

“Serius! Memang lu kira gue cowok apaan?”

“Maho! Haha”

Dewa menimpuk Vi dengan bantal pasien.

“Lu tahu kan, Indira itu anak cewek satu-satunya di keluarganya.”

Dewa terdiam, tentu saja ia tahu hal ini.

“Tahu, gue tahu kok..”

“Lu tahu kan, konsekuensinya?”

Dewa terdiam lama, sangat lama. Ia tahu ada konsekuensi adat yang berat apabila seorang laki-laki menjalin hubungan dengan seorang perempuan, yang tidak memiliki saudara laki-laki dalam keluarganya.

********

-Indira-

Sementara di Villa Pak De, Indira sedang menangis tersedu mendengar omelan Pak De yang gusar, dan bertambah gusar ketika mengetahui Indira membuat tatoo di tempat yang aneh.

“Mau jadi apa kamu, hah?!” Pak De tampak murka, wajahnya memerah menahan marah.

“Maaf, jik.. maaf. Huk...”

“Sekarang kamu mabuk! Badan di tato! Besok kamu mau apa! Hamil!? Pulang jadi mayat?!!”

“Huk.. huk.. Ajik.. Maaf Jik.. maafin dira..”

“Gak malu kamu sama ibu-mu? Sama kak Raka?!” Pak De menghempaskan pantatnya di sofa dengan gusar.

Mendengar nama ibu dan kakaKnya disebut-sebut tangis Indira pecah. Ia memeluk lutut Pak De sambil tersedu-sedu. “Maaf. Jik… huk.huk…” Indira menangis meraung-raung.

Pak De luluh hatinya, ia mengusap rambut Indira.

“Ajik sayang sama kamu… tinggal kamu yang Ajik punya…” Suara Pak De sedemikian bergetar menahan tangis.

Indira tidak menjawab, ia terus menangis yang lambat laun ditimpali isak Pak De. Ava mendengar tangis itu dari luar, sambil mengompres muka Kadek yang biru-biru.

“Besok aku ceritain.” kata Kadek tanpa ditanya.

********

-Sheena-

Untuk sesaat Sheena tidak bisa mendengar apa-apa, hanya suara berdenging yang ada di gendang telinganya. Berapa saat kemudian terdengar sayup-sayup suara.

“Sheena… Sheena… bangun woi!”

Pandangan mata Sheena masih mengabur, segalanya terlihat membundar seperti Lensa Fish Eye. Seorang lelaki berjambul elvis –si bassist- menepuk- nepuk pipi Sheena.

“Gue… di mana… Jek?” Sheena mendapati dirinya terbaring di sofa.

Si bassist berjambul elvis, yang dipanggil Jek menyahut “masih di Pub-lah, lu kenapa? Tiba-tiba jatoh gitu? Lu make ya?”

“Enggak..” Sheena memegangi kepalanya.

“Lu sakit? Gue anter pulang ya.” kata Jek.

“Gak usah..”

Beberapa detik kemudian, bayangan masa lalu kembali berkilas, memenuhibenak dan dada Sheena. Ia menutup wajahnya, agar isaknya tidak terlihat Jek.

“Sheen, lu kenapa?”

“Huk.. pergi sana..” ia benar-benar tidak ingin terlihat seperti ini di depan Jek.

“Sheen?” Jek membelai rambut Sheena, namun ditepisnya kasar. “Gue bilang pergi! Lu budek ya!!”

Sheena berteriak, namun teriaknya lebih terdengar seperti isak.

Dari persilangan takdir, muncul sekian pertanyaan. Potongan-potongan teka- teki yang menanti untuk dirakit menjadi satu kesatuan utuh, menjadi sebuah perjalanan menuju: Paradiso.
 
===========================

Fragmen 12 KATARSIS

===========================

Bumi berputar menggantikan malam muram di Crossing Fate menjadi benderang pagi yang mulai mewarnai hitam langit dalam gradasi yang menawan. Hamparan persawahan di sekitar rumah Pak De masih tertutup halimun tipis, namun beberapa petani sudah berjalan menyusuri pematang bersiap untuk mengatur pembagian air irigasi.

Nasib mempertemukan Ava, Indira, dan Sheena dalam takdir yang saling bersilangan. Namun, itu semua hanyalah mula, hanya awal dari sekian teka- teki, dari sebuah perjalanan panjang menuju akhir bahagia.

Pagi itu Pak De sedang duduk di teras rumah menikmati segelas kopi hitam hangat dan pisang goreng dengan asap yang masih mengepul. Indira duduk di sampingnya, bidadari itu kini sudah mengenakan seragam putih-abu yang rapi, rambut kecoklatannya diikat kebelakang, menampakkan keanggunan yang demikian terpelajar. Indira meletakkan tangannya di atas punggung tangan Pak De.

Pak De tersenyum tipis, sebelum membelai rambut Indira lembut. Indira menyandarkan kepalanya di pundak Pak De, membiarkan ayahnya mendekapnya. Sebuah dekapan yang lama tidak Indira rasakan.

Mereka mencoba menemukan kembali kehangatan yang lama hilang.

Kehangatan yang memudar sejak peristiwa 10 tahun yang lalu yang merenggut orang-orang yang mereka cintai.

11 Katarsis bisa diartikan suatu "kelegaan". Bisa jadi kelegaan pembaca setelah menyelesaikan suatu bacaan.Kelegaan penulis setelah selesai menumpahkan perasaan dalam tulisannya. Dalam ranah skenario film, katarsis merupakan suatu penjernihan atas konflik yang timbul, seperti halnya kelegaan Indira dan Pak De yang akhirnya saling terbuka satu sama lain

“Dira berangkat dulu, Jik” kata Indira sambil mencium tangan Ayahnya.

“Oh Iya, sekalian kamu antar si Ava sampai galeri, Kadek mau Ajik suruh beli cat di Denpasar.”

Indira terdiam.

“Kenapa? Dira masih ada masalah sama Ava? Harusnya Dira yang minta maaf…” kata Pak De.

“Iya, Dira tahu… Gak papa kok.. Mas Ava mana?”

Sementara yang dicari sedang asyik merokok di pinggir sawah. Pagi ini ia mengenakan boots kulit, celana jeans lubang-lubang, dan kaus kumal hitam bergambar Che Guevara. Wajah Tokoh Revolusi Kuba itu sungguh mirip dengan Ava, terutama dengan brewok tebalnya itu. Ava menghembuskan rokoknya ke dingin udara sambil menikmati pemandangan indah yang tidak ia temukan di Kampung Halamannya.

“Iih.. dicariin dari tadi, yuk buruan! Aku disuruh nganter kamu sampe galeri.”

Indira sudah ada di samping Ava sambil menyodorkan sebuah helm.

Ava salah tingkah, ia tidak menyangka yang akan mengantarnya ke galeri adalah si Bidadari. Buru-buru ia mematikan rokoknya, dan berjalan menuju Mio putih yang sedang dipanaskan.

“Kamu depan!” kata Indira sambil duduk di jok belakang.

Galeri lukisan Pak De terletak terpisah dengan Villa-nya, yakni di Jalan Campuhan dekat Monkey Forest, Ubud. Motor yang merekan tumpangi bergerak pelan di sepanjang jalan kecil, membelah dingin udara pagi yang menyelimuti desa itu. Indira memepetkan tubuhnya ke punggung Ava, menebarkan seberkas perasaan hangat yang menyelinap di dada pemuda itu.

10 menit jarak antara rumah Pak De dan galeri-nya. 10 menit yang cukup bagi mereka untuk berbincang-bincang. Sebuah jarak yang cukup panjang untuk menghapus jurang antara Ava dan Indira yang tercipta dari kejadian di Air Terjun tempo hari.

Sampai di tujuan, Ava melambaikan tangan pada Indira yang tersenyum.

“Hati-hati!” teriak Ava, yang dibalas Indira dengan juluran lidahnya, sungguhimut sekali.

********

Dari sini Ava baru menyadari bahwa kegiatannya bakal membosankan: merapikan barisan lukisan yang dilukis oleh Pak De, melayani turis yang hendak menawar lukisan Pak De. Sebenarnya ia berharap bisa sedikit belajar teknik melukis dari Pak De, namun sepertinya beliau terlalu sibuk untuk mengajari Ava.

Hari ini sudah berganti minggu kembali. Sudah satu minggu Ava berada di Bali.

Ava merasa kehidupannya semakin rutin dan monoton. Hanya senyum Indira yang membuat Ava, betah tinggal di sana. Sehingga pagi ini Ava berpikir untuk melakukan hal benar-benar nekat. Sungguh butuh waktu semalam suntuk bagi Ava untuk mengatakan ini: “Indira, jogging yuk..”

Yang disambut senyum di bibir Indira.

Tak lama kemudian, Ava dan Indira sudah saling berkejaran di antara sawah yang menguning. Indira tertawa-tawa tak mau disusul Ava, sementara padi di sekeliling mereka merekah seperti hamparan beludru yang membentang. Sampai di ujung mereka terenggah, sinar matahari yang mengintip dari balik cakrawala membiaskan kilap nan indah di wajah indira yang penuh peluh. Indira tersenyum, senyum itu meruah-ruah dari pipinya yang merekah dan memerah, belum pernah Ava melihat senyum secantik itu.

“Dari tadi bengong mulu.” Indira menyenggol Ava.

“Hehe.. bengong lihatin bidadari” tentu saja yang dicetak miring ini tidak diucapkan Ava.

Pagi ini tubuh Indira dibalut leggings ketat dan jumper,membuatnya sangat menawan di bawah remang pagi. Leggings ketat itu membasah oleh keringat, menampakkan bentuk celana dalamnya yang menapak di antara sepasang bongkahan bundar yang bergetar-getar seiring langkah Indira.

Mereka berjalan beriringan, berpapasan dengan beberapa petani yang menyapa ramah.

“Minggu lalu.. aku udah keterlaluan.. maaf ya..” “Hehe.. nyante ja lagi.. aku ja dah lupa..” kata Ava. “Hehe..” Indira tersenyum, digandengnya tangan Ava.

Sebentuk tangan mulus itu menimbulkan debar di jantung Ava, apalagi di tengah pemandangan indah seperti ini. Terbit matahari memendarkan sinar indah di wajah Indira yang tersenyum-senyum bahagia. Udara masih dingin, namun dingin itu seperti sirna oleh seberkas perasaan hangat yang menjalar dari telapak tangan Ava yang digenggam Indira, sampai meriap-riap di dadanya.

Mereka bergandengan tangan disaksikan embun pagi di rimbun padi. Ava melirik Indira, namun Indira pun menoleh ke arahnya, pandangan Ava bertumbukan dengan indah senyum Indira.

“Duh, grogi nie..” kata Indira sambil memalingkan wajahnya.

“Sama.. hehehe..” sahut Ava.

“Ih, emang kamu grogi apa, Ava?”

“Lho, emang kamu grogi apa?”

Mereka bertatapan dengan pandangan aneh, Indira paham apa yang dipikirkan Ava.

“Idiiih Ava ge-eeerrrr!”

“Hehehe..” Ava menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal. “Emang kamu grogi kenapa?”

“Grogi yang buat besooook tauuuk!”

“Lho, mang besok ada apa?”

“Ajik belum bilang?”

Ava menggeleng.

“Huh, nyesel ngomong!” Indira cemberut.

“Apa memangnya?” Ava jadi penasaran.

“Gak usah, gak jadi deh…”

“Ye.. ngomong gak jadi..” “Biar!”

“Hu.u.” Ava meyenggol-nyenggol badan Indira sambil bergandengan, dan

dibalas Indira. Akhirnya mereka saling bersenggolan, sampai mereka tertawa-tawa berdua.

“Besok itu…” Indira berbisik di telinga Ava.

Dan yang dikatakan berikutnya sungguh membuat jantung Ava seperti berhenti. Ava bisa membayangkan apa yang akan disaksikannya besok, ia tidak bisa menyembunyikan senyum di sudut bibirnya.

“Aku tahu apa yang kamu bayangin…” kata Indira , “…tapi besok bakal lebih dari yang ada di pikiranmu.” Katanya sambil tersenyum penuh misteri, dan berlari meninggalkan Ava.

Ava pun tidak sabar menunggu kelanjutan kisah hidupnya esok hari.




=======================================

Fragmen 13

On The Night Like This

=======================================

On the night like this

There‟s so many things I want to tell you

On the night like this

There‟s so many things I want to show you

Cause when you‟re around I feel safe and warm When you‟re around

I can fall in love every day

Malam itu, Lampu tidur berbentuk Hello Kitty di kamar Indira memendarkan cahaya merah jambu ke seantero kamarnya. Indira terbaring di kamarnya sambil tersenyum-senyum sendiri. Kadang ia berguling ke kiri, kadang berguling ke kanan.

Indira benar-benar tidak bisa tidur menanti apa yang akan terjadi esok hari. Ia pun heran, mengapa baru kali ini hatinya gulana seperti ini. Indira bertanya pada dirinya sendiri, apa istimewanya seorang mas-mas brewokan bernama Mustava Ibrahim? Dewa dan mantan-mantannya yang lain jauh lebih tampan dari-nya.

Indira mencoba memahami teka-teki di hatinya sendiri, pun demikian hati wanita memang sulit dimengerti. Tidak hanya bagi laki-laki, tapi juga si wanita itu sendiri. Indira tersenyum geli dan berteriak-teriak dengan wajah yang ditutupi bantal.

Indira tersenyum, Kehadiran Ava dalam hidupnya benar-benar mengubah tone hidup-nya menjadi lebih berwarna. Berwarna seperti pelangi! Berwarna seperti lukisan! Marah, sedih, benci, bahagia, membaur seperti palet-palet warna cat minyak yang dibaurkan ke sanubarinya.

Indira tertawa mengingat bagaimana ia pertama berjumpa Ava di Air terjun, bagaimana Ava salah tingkah melihatnya telanjang. “Hihihi…” Indira tersipu sendiri, pipinya tampak memerah. Tunggu, hanya sebatas itukah makna kehadiran Ava? Bagaimana saat Ava membelanya minggu lalu? Bagaimana saat Ava menampung isaknya di taksi? Bagai mana hangat punggung Ava? Bagaimana saat ia berkejaran dan bergandengan tangan di sawah dengan Ava?

Semuanya begitu sederhana, namun dari kesederhanaan itu, semua jadi begitu...

Indah?

In the case like this

There are a thousand good reasons

I want you to stay…



Tunggu...

Namun bukankah ia dan Ava demikian berbeda? Bagaimana dengan Dewa?

Segala pertanyaan itu berkecamuk seperti badai di benak Indira sampai dering telepon menyentak lamunannya. Indira mengangkat telepon itu, sebuah suara yang menyadarkan kembali ke alam nyata, suara yang seperti mampu membiusnya.

“Maafin Indira ya.. Indira sayang Dewa…” katanya lagi.

Sungguh suara itu menaklukkan mimpi-mimpi si Bidadari.









"On The Night Like This" yang dinyanyikan oleh Mocca, dalam album Friends




================================================

Fragmen 14

Angel and The Dream Painter

================================================

Hari yang dinanti tiba. Hari itu, hari senin sore. Matahari sudah condong ke barat. Cahaya putihnya dipendarkan oleh atmosfer menjadi spektrum berwarna jingga-kekuningan.

Angin berhembus sepoi-sepoi dari arah sawah yang bertingkat-tingkat itu, membawa bunyi rindik 12 yang mengalun dari Bale Banjar13 di kejauhan, sekaligus membaurkan aroma cat minyak ke seantero studio yang tampak berantakan.

Sinar matahari menelusup dari jendela kayu, membentuk garis-garis tipis di udara. Indira melintas di antaranya, di sela-sela garis cahaya. Sekilas

pandang matanya menyapu mata Ava yang resah menunggu. Angin berhembus, membuat rambut dan kimono batik coklat yang dikenakannya berkibar, dan sepersekian detik kemudian kimono tipis itu tejuntai, jatuh ke lantai, meninggalkan telanjang tubuh yang tak tertutup sehelai benangpun. Tubuhitu begitu mulus dan putih. Tatoo mawar yang dilukis di perut bawahnya membuat memberi suatu kesan yang kontradiktif: bidadari yang liar.

Ava memandang tak berkedip ke sosok yang duduk di depannya. Rambut Indira yang coklat dan bergelombang tergerai indah menutup payudaranya yang ranum, menyisakan sepasang benda merah muda misterius yang mengintip dari ribuan helainya. Tangan mungilnya bersilangan di atas tatoo mawar itu, menutupi bagian terpenting tubuhnya.

Indira duduk di sofa panjang di depan Ava, menyilangkan pahanya. Bidadari itu menyibakkan rambutnya ke belakang, sementara tangan kirinya mendekap dadanya yang bulat, mewariskan misteri yang tak juga terkuak.

________________________________________________

12 Rindik: sejenis gamelan yang terbuat dari batang bambu

13 Bale Banjar: Balai Desa, tempat berkumpul masyarakat di Bali

______________________________________________



“Indira cantik kan?” kata Pak De sambil mengaduk beberapa warna cat minyak menjadi satu dalam palet.

“Gak cantik, Pakde..”

Indira yang mendengarnya cemberut.

“Enggak cantik, tapi jegeg”

Tawa Pak De dan Indira pecah mendengarnya, dua kata itu memang berarti sama.

“Ih! Ava sok-sokan bisa bahasa Bali! Pasti diajarin kadek!” Cemberutnya bercampur tawa.. Payudara Indira yang ranum berguncang-guncang seperti derai tawanya.

“Ini adalah model saya yang terbaik kedua…”

“Oh.. ah… maaf…” Ava sungguh tidak bisa berkonsentrasi, karena sibuk memperhatikan tatoo mawar berduri di sekitar kemaluan Indira. “yang pertama siapa kalau boleh tahu…?”

“Almarhumah istri saya…”

“Oh, maaf.. bukan maksud saya..” Ava jadi tidak enak.

“Haha.. santai saja… mudah-mudahan dia bereinkarnasi jadi cucu saya… Ah, ngomong-ngomong soal cucu. Indira! Kapan kamu nikah?” Pak De berkata kepada Indira.

Pertanyaan itu hanya dijawab dengan juluran lidah.

Bidadari itu kini asyik tidur-tiduran di sofa panjang sambil memain-mainkan sepasang tungkainya,, sehingga Ava bisa melihat belahan mungil nan tembem dan basah di bawah pahanya.

“Ajik serius ni.. si Dewa itu mau nyentana kan?” kata Pak De lagi. “Mau! Sapa lagi yang mau kalau bukan dia!”

Ava tidak mengerti yang mereka bicarakan. Tapi dia berharap Pak De berkata “Ava, kamu mau jadi menantu saya?” Ah, tentu saja hal itu tidak akan pernah terjadi.

Semua lukisan Pak De menampilkan satu ciri khas: potret kecantikan wanita yang telanjang. Ya telanjang dalam artian sebenarnya. Di galeri pak de dipenuhi dengan lukisan telanjang wanita dari berbagai umur dan bentuk tubuh, dan Ava mengakui tak semuanya bertubuh bagus, entah mengapa di tangah Pak De semuanya tampak begitu menawan.

Ava tahu, lambat laun Ava akan menyaksikan pemandangan ini, namun Ava tak menyangka kalau yang jadi model kali ini adalah Indira, apa lagi…

“Ava, kamu juga buka baju… ambil posisi.” perintah Pak De.

Astaga.

Hidup ini penuh ketidakpastian. Ava tidak pernah menyangka bahwa “sesuatu” yang dimaksud Indira kemarin. Adalah menjadi model lukisan telanjang bersama Indira untuk pameran tunggal Pak De di Louvre, Perancis.

“Pak.. De.… ya… kin…? Badan saya biasa aja… udah Kadek aja…” Ava benar- benar ingin mengelak di saat-saat terakhir ini. “Sa.. ya.. gak enak sama Pak De….” Suara Ava bergetar melihat bagian-bagian penting tubuh Indira yang mulai berterbangan kemana-mana, sungguh. Dari dalam lubuk hatinya ia benar-benar ingin melakukannya, tapi yang jadi pasangannya adalah Indira, putri semata wayang pelukis yang dikaguminya, dan beliau sekarang sedang berdiri di hadapan mereka.

“Yakin! saya mau mencari model cowok yang berwajah liar! Liar! Benar-benar liar! Seperti Raaaawwr!!” kata Pak Der berapi-api seperti kesurupan setan harimau.

Tentu Pak De merujuk pada Brewok Ava. Entah ia harus merasa tersinggung atau malah senang dengan hal Ini.

“Tapi…”

“Santai, profesional aja, nanti ada honornya” kata Pak De, sambil menepuk Pundak Ava.

“Udah.. buruan ah! Dingin nie” Indira mulai ngambek sambil tidur-tiduran di sofa panjang. Kali ini ia tidak menutupi bagian-bagian pentingnya, sehingga payudaranya yang bulat dan kemaluannya yang tanpa bulu terekspos dengan jelas.

Tentu saja, hal ini seharusnya membuat sesuatu „hal‟ hendak mencuat dari Balik kimono batik yang dikenakan Ava.

Ava menarik nafas panjang, dirinya harus siap dengan ini! Barusan Ava sudah membuat persiapan matang agar ia tampak seperti model profesional, (model pro tidak boleh ereksi saat dilukis).

Malu-malu Ava melepas kimononya, sehingga memperlihatkan tubuhnya yang telanjang. Ava menutupi kemaluannya dengan telapak tangan dan berjalan rikuh ke arah Indira. Ia pernah telanjang di depan orang lain sebelumnya, namun untuk menjadi model nude painting? Tidak- dirinya belum siap.

Saat mengambil posisi, tampaklah kemaluan Ava yang lunglai. Pak De tertawa melihat kemaluan Ava yang lunglai.

“Wah, hebat juga kamu bisa mengendalikan diri, saya aja kadang-kadang ngaceng lihat anak saya telanjang hahaha..”

Perkataan ini memicu sebuah kuas melayang ke arah Pak De yang mengelak sambil terbahak-bahak.

Pak De menepuk pantat telanjang Ava, membuatnya tersenyum kecut.

Indira menelan ludah melihat kemaluan Ava yang berbulu lebat, ia membayangkan sebentar lagi kemaluan itu akan menggesek-gesek tubuhnya. Ah, hanya membayangkan saja sudah membuat selangkangannya meremang.

Pak De mulai mengatur posisi mereka. Ava disuruhnya tidur telentang di atas sofa panjang, bersandar pada beberapa bantal warna krem yang ditumpuk. Indira di arahkannya berbaring menghadap tubuh Ava. Kepalanya di senderkan ke pundak Ava, sementara tangan Indira memeluk leher Ava. Kakinya Indira yang mulus dan jenjang dikatkan pada sepasang paha Ava, membuat posisi mereka seperti orang yang kelelahan setelah berhubungan intim.

Dalam posisi ini, jelas sekali bahwa payudara Indira yang bundar kenyal terhimpit di antara tubuhnya dan tubuh Ava. Hangatnya, kenyalnya demikian terasa di dada Ava, sehingga membuat jantung Ava berdebar kencang, sangat kencang. Debaran itu memicu berliter-liter darah dipompakan ke bagian bawah tubuhnya. Saat ini Ava tidak bisa mengelabui lagi birahinya, pelan tapi pasti ia merasakan kejantanannya membesar.

Indira tersenyum menyadari ada sesuatu yang membesar di sana. Ia mengangkat pinggulnya sedikit, memposisikan kejantanan Ava yang semakin menegang di antara sepasang pahanya.

Sekarang kejantanan Ava yang sudah menegang terhimpit paha Indira, bergesekan dengan selangkangan Indira. Indira menarik nafas panjang, menahan riak birahi yang mulai bergejolak.

Pak De menangkupkan sehelai kain batik sutra tipis di atas pinggul mereka berdua, hanya agar lukisan itu tidak terlalu vulgar.

“Ini baru artistik.. ck.. ck… maestro… bakal jadi masterpiece…” Pak De bicara sendiri sambil mengukur-ngukur frame dengan jari-jarinya yang dibentuk seperti kotak. Memang batas antara pornografi dan seni itu sungguh tipis.

Merasakan kejantanan Ava terjepit di antara selangkangannya sungguh membuat Indira menahan diri sekuat tenaga agar tidak mendesis dan menggelinjang di depan ayahnya, terlebih lagi kemaluan Ava mulai menggesek-gesek bibir vaginanya saat Ava disuruh Pak De memperbaiki posisi. Indira menahan nafasnya yang mulai memburu, sambil memejamkan mata.

“Ck.. ck.. Dira.. Dira… kok tumben kamu grogi gini? bukannya kamu dah sering jadi model Ajik.. kemaren yang sama Bli Hendra kan lebih dari ini..”

Astaga, adakah ayah yang menjadikan putrinya yang masih SMA sebagai model lukisan telanjang bersama laki-laki lain? Ada, orang itu adalah Pak De, pelukis terkenal yang karyanya melanglang buana sampai ke Louvre.

“Yak ditahan begitu ya..”

Ditahan, ditahan gundulmu! Begitu batin Ava, karena saat ini Indira mendekapnya dalam posisi yang mesra, sangat mesra. Ava bisa merasakan sekujur tubuh telanjang Indira yang melekat di kulitnya, begitu lembut, begitu kenyal, begitu hangat, begitu… basah… hah?

Ah, kemaluan Indira sudah membasah sedari tadi, cairannya mulai melumeri kajantanan Ava hingga buah zakarnya. Nafas Indira sudah sedemikian memburu sehingga Ava bisa membaui nafas si Bidadari yang harum. Jantung mereka yang berhimpitan semakin berdegup kencang saling bersahutan,seperti irama “Cak! Cak! Cak!!” pada tarian kecak.

Sementara Pak De terus asyik melukis mereka. Sesekali keningnya berkerut- kerut sebelum mengaduk cat minyak pada palet. Bibirnya berguman-guman tidak jelas, saat berkonsentrasi menggoreskan kehangatan sepasang insan Itu di atas kanvas.

Ava melirik ke arah Indira, wajah gadis itu sungguh merona merah dipenuhi birahi yang mewarnai wajah cantik setengah bule-nya.

pak De masih berkonsentrasi pada Kanvasnya.

Indira melirik Ava, sesaat pandangan mereka bertemu. Indira tersenyum pada Ava – Cantik- senyuman itu cantik sekali.

Birahi itu seperti gombak, yang bermula riak dan pelan-pelan membesar menjadi badai. Indira tidak dapat lagi menahan badai yang berkecamuk. Entah setan apa yang membisiki Indira, hingga ia mulai menggerakkan pinggulnya, sengaja menggesek kemaluan Ava dengan bibir kewanitaannya,. “Mmmh.. hh.. h..” Indira melengguh tertahan sambil terenggah.

Pak De melihat lagi ke arah mereka, ia hendak membuat lekuk pinggul Indira. Indira berhenti, pura-pura berkonsentrasi menjadi model. Pak De kembali bergumam-gumam tidak jelas sambil melukis. Indira kembali menggerak- gerakkan pingulnya, sehingga kejantanan Ava seperti bermain perosotan di lembah yang licin di antara pangkal paha Indira.

Gila! Apa yang dilakukan Indira! Pikir Ava! Bagaimana kalau Pak De tahu?!

“Dira.. jangan!” bisik Ava.

“Gak papa… Ajik gak lihat..” sahut Indira dalam bisik yang sama.

“Eh! Model jangan ngomong-ngomong..” tegur Pak De, sesaat sebelum beliau mulai berkonsentrasi pada kanvas sambil bergumam-gumam sendiri.

Indira mulai beraksi –lagi-. Sepasang bibir kemaluannya yang sudah licin mulai membelai kejantanan Ava di balik tabir kain sutra batik. Menimbulkan sensasi geli yang amat-sangat-nikmat bagi keduanya. Indira menahan nafas, saat ujung kejantanan Ava membelai klitorisnya, lembut sangat lembut, menimbulkan suatu sensasi yang membuat matanya menutup, dan bibirnya setengah terbuka. “Hah.. h.. h…” Nafas Indira semakin memburu. Wajah cantik setengah bule-nya semakin sayu, dan semakin bertambah seksi karena rona merah yang mulai membasah. Indira semakin larut dalam orkestrasi birahi. Pinggulnya terus bergerak mengikuti irama Sang Dirijen Nafsu. Desahnafasnya mengalun sedemikian rupa seperti alunan Fantaisie-Impromptu-nya Frederic Chopin.

“Nah, begitu… eskpresinya dihayati begitu… bagus… bagus…. Aah! Ini bakal jadi masterpice! Saya memang maestro!” Jerit Pak De.

Sudut mata Ava menatap tajam ke arah Pak De, kalau-kalau beliau memperhatikan tindakan itu. Jantung Ava berdebar tidak karuan, ia sangat khawatir Pak De murka bila mengetahui perbuatan ini. Namun sepasang bibir yang yang hangat, lunak, dan becek demikian bergerinjal-gerinjal di selangkangannya. Membuat semburat nafsu menyeruak mematikan akal sehat Ava.

Indira pun merasakan debaran yang serupa, namun debaran ini memberikan sensasi tersendiri baginya. Sungguh, perasaan takut-takut dipergoki dan geli ini, memberikan rangsangan seksual yang berlipat-lipat-lipat-lipat sampai ubun-ubunnya.

Pak De berdehem, mengukur-ukur pencahayaan dengan tangannya. Indira berhenti. Pak De kembali melukis, indira kembali beraksi. Demikian berulang- ulang, sehingga birahi Ava seolah dipermainkan oleh Indira. Ava benar-benar ingin memasukkan kejantanannya ke dalam tubuh Indira, namun akal sehatnya masih tersisa sedikit untuk tidak melakukan hal itu. Ava melirik ke arah Indira, bidadarinya itu menatap dengan tatapan yang nanar, wajah sayunya seolah berkata: “masukin aja Va… Gak papa… oooh…”

“Tulilulilut..” HP Pak De berbunyi. Beliau mengangkatnya.

“Bonjour, monsieur…” Pak De berbicara dengan bahasa Perancis Ava tidak paham. Pak De beranjak, mungkin sinyal di ruang itu jelek untuk menerima panggilan luar negeri. “Halo.. haloo?” Pak De berbalik ke arah luar studio.

Dalam nafasnya yang memburu, Indira meraih kejantanan Ava, dan di arahkannya ke belahan kewanitaannya yang sudah melicin.

“Eh, Dira.. Kamu mau apa?”

“Udah tenang aja.. h.. h..” Wajah Indira sudah memerah dipenuhi birahi yang membuncah.

“Jangan, nanti kamu..” Ava panik ketika pelan-pelan ujung kejantanannya mulai memasuki kewanitaaan Indira.

“Sante aja.. aku udah… gak.. per- ooooh..” Indira mendesis kecil ketika kejantanan Ava melesak memenuhi tubuhnya. Suatu sensasi yang sudah diidam-idamkannya sedari tadi. Sensasi berupa geli dan kenyal yang meyeruak di dinding-dinding vaginanya yang basah dan berkontraksi. “Iiiih! Oh.. gilak.. besar.. banget ooh.. hah.. h… h…” Indira meracau tidak karuan saat kejantanan Ava mentok sampai ujung rahimnya.

“Mmmh..” Ava tidak menjawab, hanya mengeram tertahan sambil memejamkan mata. Sungguh lorong Indira begitu sempit dan legit, jauh berbeda dari lorong-lorong yang pernah dijelajahinya selama ini.

“Oh.. maaf.. maaf… ini ada telepon dari Mr. Piere.. oh.. sampai mana kita? Oh iya…” Pak De bicara pada dirinya lagi. “Oh.. iya.. eng.. kenapa kalian tegang gitu? Capek? Mau istirahat dulu?” kata Pak De sambil duduk di atas kursinya.

“Biar.. gak.. usah… Jik…” sahut Indira parau, menahan nikmat dari kejantanan Ava yang menancap dan berkedut-kedut di tubuhnya. Sebuah kenyataan yang hanya terhalang pandang oleh secarik kain batik tipis dari mata ayahnya.

“Ah.. sebentar.. sebentar… kok ada yang aneh?” Pak De beranjak mendekati mereka. deg! Deg! DEG! DEG!

DEG!!!

Jantung Ava sudah serasa copot seiring Pak De yang mendekat.

Ah, ternyata beliau memperbaiki letak kain batik itu. Jantung indira pun berdebar tidak karuan, namun sensasi ini, sensasi berdebar-takut ketahuan- ini benar-benar membuatnya terangsang dan meradang. Birahi yang ditahannya sekuat tenaga membuat perutnya bergetar-getar tak karuan.

Pakde memperbaiki letak rambut indira yang menutupi dadanya, tangan Pak De menyenggol-nenggol payudara Indira membuatnya tidak bisa lagi menahan desisnya.

“Ooh!” Indira mendesis sambil menggigit bibirnya “geli.. jik..”

“Ck.. ck… ck… biasa aja kali…” jawab Pak De enteng. “Beres.. gini baru estetis.. masterpice.. saya memang maestro… hahaha..”

Pak De kembali ke tempat duduknya dan mulai melukis sepasang Insan –yang ia tidak tahu- sedang bersetubuh itu. Tubuh telanjang mereka menyatu, berhimpitan, dan melekat erat. Sebuah persenggamaan yang hanya dihalangi sehelai kain tipis dari mata Pak De.

Kejantanan Ava yang tenggelam dalam lorong gelap itu mulai berkedut-kedut menahan sensasi geli dan hangat yang menjalar berlapis-lapis sampai otaknya.

Wajah Indira sudah merona merah. Tatapannya sayu, menatap nanar ke wajah Ava. Nafas Indira sudah mulai tidak karuan, ia sudah tidak bisa berpikir jernih lagi. Indira mulai mengontraksikan otot-otot dinding vaginanya, membuat kejantanan Ava seperti tersedot-sedot dalam ruang hampa. Lorong yang sempit dan becek itu semakin sempit dan sempit, seperti memijat-mijat kejantanannya, bukan.. lorong sempit itu seperti hidup! Seolah sedang mengunyah kejantanan Ava!

Mata Ava terpejam, ia menahan suatu gejolak yang hendak meledak.

“Ooooh! Dira… jangan.. nanti aku keluar… di dalam… oh..” Ava berbisik, pelan… sangat pelan.

“Gak.. papa… ah… keluarin aja… ha.. ha.. h.. h…” bisik Indira tak kalah pelan. “Ea.. ea.. ea.. Model jangan bisik-bisik!” kata Pak De, tanpa mengalihkan matanya dari kanvas.

Indira semakin mempercepat kontraksinya, dengan irama 3 kali kontraksi cepat, dan 1 kali kontraksi lambat yang kuat dan lambat, menyedot-nyedot kejantanan Ava sedemikian rupa sehingga seperti nyaris copot.

Nafas keduanya sudah demikian memburu, peluh sudah mulai membasah di antara tubuh telanjang yang berhimpitan itu. Mereka bisa meledak sewaktu- waktu! Entah apa yang terjadi kalau mereka mencapai puncak di depan Pak De.

“Tulilulilut..” HP Pak De berbunyi. “Ah! Dasar! Orang Perancis ini!” omel Pak De sambil mengangkat telepon dan berlalu agak jauh hingga mereka tidak mendengar suaranya lagi.

“Mmmmmh!” Indira langsung melumat bibir Ava. Pemuda itu membalasnya dengan memasukkan lidahnya ke dalam mulut Indira. Indira menyambutnya, sepasang lidah mereka saling membelai dan membelit.

“Mmmmh!” “Mmmmh…”

Kepergian Pak De seperti sumbat yang dibuka. Sumbat yang dari tadi menahan ledakan nafsu sepasang insan ini. Nafsu yang serupa magma yang ditahannya di bawah perutnya, kini menggelegak seperti kawah Merapi. Indira menggerakkan pinggulnya liar, sedemikian liar dan kencang hingga Ava merasa dirinya tersedot ke dalam tubuh Indira. Tubuh mereka berguncang-guncang liar di atas sofa, sehingga kain yang menutup pinggul mereka jatuh di lantai, menampakkan pantat dan pinggul Indira yang putih ranum, Ava merengkuh pantat itu, meremas-remasnya.

“Ava.. ava.. ooh… Mmmmh”

“Indira,,!

“Aaah! Aaah!”

“Oooh!”

Jeritan, dan rintihan mereka antara berteriak dan berbisik. Antara hendak memprokamirkan kepuasan seksual dan takut ketahuan.

“Aah! Aah! Aah!” wajah blasteran Indira seperti orang kesakitan, namun saatini sungguh bias antara rasa sakit dan rasa nikmat yang datang bertubi-tubi.

Indira terus memompa, menggenjot tubuh Ava, seperti tidak ada hari esok. Ya, sebab ayahnya bisa kembali sewaktu-waktu.

Indira mendekap Ava erat. Ava pun memeluk Indira, erat-sangat erat sehingga tubuh mereka seperti menempel, tubuh yang sudah penuh peluh dan birahi yang demikian menggelora. Sepasang tubuh telanjang itu saling bergelut, saling lumat, dan saling hisap, memasrahkan semuanya kepada birahi yang bergolak-golak.

Suara Pak De yang berbicara di telepon semakin mendekat.

“Dira.. Ajik… datang… oh.. ”

“Biar.. bentar… aku udah mau… ah.. ah.. oh..”

Indira semakin kencang menggoyangkan pinggulnya, diputar-putar, dihentak hentak sedemikian rupa! kencang, sangat kencang sehingga tak ada pujangga di dunia pun bisa melukiskannya. Otot-otot kegelnya dikontraksikan dengan brutal seolah melumat dan mengunyah-nguyah kejantanan Ava dalam badai kenikmatan yang tiada terperi.

Suara Pak De semakin dekat. semakin dekat.

"Sssh. oooh ava..."

semakin dekat.

"Dira... Aku,,, hampir.. oooh.."

semakin dekat.

"Aaah! aaaa!"

Gerakan Indira semakin liar! Semakin ganas! Semakin buas! Semakin… “Aaaaaah! Dira… Aku mau…” oooh…”

“Aku juga! Aku juga! oooh!”

“Ooh.. ooh!”

“Aaaaaah!!!”

“Mmmmh… mmmmh”

Mereka menyambut puncak kenikmatan dengan saling melumat. Puncak kenikmatan yang meledak dalam rahim Indira! Puncak kenikmatan yang datang bagai ledakan gunung berapi! Bagai guguran awan panas yang bergerak mendekat dengan cepat! Seiring cepat dan dekat langkah pak de!

“Hah.. hah.. ha.. h.. h..”

Indira langsung bangkit dan lari menuju ke pojokan, sisa sperma Ava dibiarkannya meleleh-leleh keluar dari belahan kewanitaannya sampai pahanya. Ia mengambil poci minum berisi air teh, ia pura-pura minum sambil menenangkan nafasnya. Sementara Ava bangkit dan mengusap kejantanannya yang penuh dengan cairan kenikmatannya dan Indira dengan kimono batiknya.

“Lho kok bubar?” kata Pak De.

Ava menahan nafas, agar tak tampak terenggah oleh Pak De, kimono itu menutupi kejantanannya yang mulai menciut.

“A.. Jik.. sih lama… kami.. kan pegel nunggunya” suara Indira agak bergetar, seperti sepasang tungkainya yang bergetar hebat.

“Haha.. maaf.. maaf.. tadi Mr. Piere itu memang… aaah…” Pak De mengacak- acak rambutnya sendiri dengan kesal sebelum menghempaskan pantatnya di sofa panjang di samping Ava, membuat hati pemuda itu cenat-cenut tidak karuan.

“Gimana anak saya?” kata Pak De.

“Enak pak de.. mekinya peret.. saya sampe gak tahan…” tentu tulisan yang di cetak miring ini tidak dikatakan Ava, “cantik pak de.. saya sampe gak tahan..”

“Hahaha.. gak tahan buat apa?”

Hehehe.. gak tahan buan ngent*tin Indira, Pak De” Ava cuma cengar-cengir. Sekali lagi, tentu tulisan yang di cetak miring ini tidak dikatakan.

“Gak tahan buat ngent*tin Indira?” kata Pak De.

“Uhuk! Uhuk!” Ava terbatuk-batuk mendengarnya, Teh yang diminum Indira pun muncrat. Sungguh mereka tidak menyangka bahwa Pak De akan berkata se-vulgar itu.

“Hahahah! Jangan shock gitu! Saya cuma bercanda.” kata Pak de sambil menepuk-nepuk pundak Ava.

“Oh iya, Dira, Ava, Ajik ada urusan, rapat di museum Le Meyeur di sanur, besok saja kita lanjutkan lukisannya.”

“Oh.. beres… jik.” sahut Indira yang sudah mulai lega dari sisa gelombang orgasmenya.

“Saya percaya sama kamu kok Va.” kata Pak De sambil beranjak.

“M-makasih Pak De.” dalam hatinya Ava merasa bersalah telah menyalahgunakan kepercayaan Pak De.

“Saya percaya kamu gak suka cewek haha..” kata Pak De sebelum berlalu, keluar menuju bangunan utama Villa. Sesaat kemudian mesin VW Safari Pak De sudah berbunyi tanda ia sudah pergi.

“Gila kamu, Indira!” protes Ava.

“Duuuh! Maaf Va.. aku juga kebawa suasana..”

Ava sadar, dirinyapun terbawa suasana hingga terlarut dalam persetubuhan yang beresiko itu.

“Tapi bukan itu tujuanku ke sini tahu?! Kalau ketahuan Pak De gimana?! kalau kamu hamil?” Ava masih belum bisa menerima kegilaan itu.

“Sante aja.”

“Sante aja gundulmu!” Ava ngomel tidak jelas.

“Aku suruh pacarku tanggung jawab.”

Angin berhembus masuk ke dalam studio, menghembuskan suatu perasaan yang aneh di dada Ava. Seharusnya ia merasa lega, namun perkataan Indira yang terakhir itu seperti seserpih perih yang menari pelan di permukaan hatinya.

“Va..”

“Iya?”

“Maaf ya, jadi kayak tadi.”

“Aku juga salah kok.. Maaf ya, DIra.”

Tentu tidak ada yang bisa saling menyalahkan dalam situasi seperti tadi.

“Hehe.. terus… Uumm..” ia terdiam, seperti tak jadi melanjutkan kata- katanya

“Terus apa?”

“Yang tadi jangan kamu masukin ke hati, ya…” Kata Indira sambil memainkan ujung rambutnya.

“Maksudmu?”

“Yaaah.. yang barusan itu..”

Indira menyebut persetubuhan mereka barusan. Sambil menuju ke arah sofa yang diduduki Ava.

Indira berkata lagi, “Maksudku, yang tadi gak kamu „masukin ke hati‟ kan?”

sambil duduk di samping Ava, menyenderkan kepalanya di pundak pemuda itu.

“Iya.. gak kumasukin ke hati kok… tapi ke meki…”

“Iiiih… Ava porno! Aku serius na…” rajuk Indira sambil mencubit Ava.

“Hehehe..” Ava cuma nyengir.

“Well..” Indira memegang wajah Ava, membelai brewoknya. “Kamu... cukup menarik.. kok.. dalam arti tertentu..”

Sungguh, hati Ava seperti diombang-ambingkan oleh perasaan yang tidak menentu.

“Tapi.. duuh.. gimana ya? Aku jadi gak enak sama kamu…” kata Indira sambil memainkan ujung rambutnya yang bergelombang. “Tolong dibedain yah, Va.. masalah nafsu dan… uum… cinta?” Indira menggigit bibir bawahnya.

Ava tahu, seharusnya ia tidak membawa-bawa perasaan dalam hal ini. Segala yang terjadi barusan, ataupun minggu lalu di air terjun hanyalah suatu gejolak yang siapapun tidak bisa menahannya.

“Kamu tahu kan… kita… beda?” Kata Indira lagi.

“Tahu… dari awal aku tahu, kok.”

Ava juga tahu, tidak mungkin ia mencintai Indira, tidak dengan segala perbedaan yang ada.

Sementara perih semakin dekat, semakit pekat memenuhi dada Ava.

“Hehe.. bagus deh.. aku.. takut kamu.. berharap terlalu banyak…”



Aku ingin mencintaimu dengan sederhana

Dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api

Yang menjadikannya abu



Aku ingin mencintaimu dengan sederhana

Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan

Yang menjadikannya tiada14


(Aku ingin, Sapardi Joko Damono)

“Aku… masih sayang sama… Dewa...” Indira mulai menggigit ujung jarinya,seperti hendak menghilangkan resah yang juga memenuhi dadanya.

“Meskipun dia… ass-hole” Ava tidak mengucapkan kata yang dicetak miring. “Meski bagaimanapun, Va.. Aku tetap sayang dia… aku tetap cinta dia… cuma

Dewa yang mau nerima kondisiku..” Suara Indira semakin lirih, seperti

menahan dilema yang meraung-raung di dadanya. Lalu Indira mulai bercerita.

********

Sementara itu, HP yang sedang di charge di kamar Indira bergetar-getar “Dewa Ajus” begitu tulisannya. HP berhenti bergetar, berganti tulisan “25 panggilan tak terjawab”.

Di tempat lain, Dewa mendengus kesal. Wajah gantengnya tampak berkerut- kerut menahan emosi karena sore itu pacarnya tidak bisa dihubungi. Jahitan di pelipisnya sudah dilepas, menyisakan bekas luka berwarna coklat yang dipulas Iodine.

Dewa menelpon sekali lagi, geram mendengar RBT yang bernyanyi-nyanyi seolah mengejeknya.
 
==============================

Fragmen 15

Pudar Mimpi

==============================

Sore ini Ava gemas, ini ia benar-benar gemas. Betapa tidak, saat ini ia dari jauh hanya bisa menyaksikan Indira seperti orang bodoh berbicara di telepon. Kadang gadis itu mengigit-gigit jarinya, kadang ia menutup bibirnya dengan telapak tangan seperti menahan tangis.

Seganteng apakah Dewa? Hingga bisa membuat bidadari seperti Indira demikian gulana-nya.

Telepon ditutup, Indira menggigit-gigit bibirnya.

“Kenapa?” Ava bertanya, saat Indira melewatinya.

“Eng.. engak.. gak kenapa-kenapa..” Indira berlalu seolah tidak melihat Ava.

Ava membatu, mendengar pintu yang ditutup keras. Seperti pintu hati Indira.

********

Sang Surya terbenam di kegelapan, memunculkan Sang Chandra yang bersinar temaram. Cahayanya tertutup beberapa awan yang berarak seperti iring-iringan peziarah menuju pekuburan.

Areal persawahan di depan Villa Pak De demikian gelapnya, tak tersisa sedikitpun keindahan yang memukau saat pagi atau senja.

Sudah jam 10 malam, Ava merokok di pinggir pematang sawah. Tubuhnya ditelan gulita malam, hanya ada cahaya rokok berwarna merah dan suram LCD Hand Phone yang temaram.

“Baik..” Ava sedang berbicara di telepon.

“Sehat, ibu sehat? Rematiknya gak kambuh? Farah sehat?” ia terlihat seperti bicara sendiri.

“Sudah…” Ava menjawab pertanyaan di seberang telepon.

Ava terdiam lama, menghisap asap rokoknya dan menghembuskannya dengan gundah.

“Nanti karya Ava juga dijual di sini.” Ava meremas-remas bungkus rokoknya tidak jelas.

“Iya, lukisan Ava bagus deh pokoknya, Bu!” Ia terdiam dan menghela nafas panjang

“iya… percaya deh…”

“Bener! Nanti Lukisan Ava sampai ke Perancis, kok!” “Beneeer... masa Ava bohong?”

“Sholat lah! Ava sholat kok!” Dibiarkannya abu rokoknya memanjang hampir jatuh.

“Nanti deket-deket lebaran Ava pulang.”

“Jaga kesehatan ya bu, salam buat Farah.” Ia terdiam sebentar.

“Wa‟alaikum salam..”

Ava menutup telepon sebelum kembali menghisap sebatang Sampoerna Mild- nya. Di ketuknya ujung rokok untuk menjatuhkan abu, sebelum dihisap dan dihembuskannya kembali asap rokok ke dalam kegelapan malam. Tatapannya kosong, memandangi bintang yang berkelip lemah sebelum tersapu awan gelap.

Waktu pertama ia ke sini, sungguh benaknya dipenuhi dengan ribuan mimpi, Mimpi menjadi Affandi? Mimpi mencintai bidadari? Sungguh manusia itu penuh dengan mimpi-mimpi, Alexander bermimpi menguasai dunia, Icarus bermimpi terbang ke angkasa, Nemo bermimpi menyelam 20,000 kaki sampai dasar samudra. Namun saat ini Ava merasa setinggi apapun manusia bermimpi, tetap suatu saat ia akan terbangun juga. “Kemarin aku kira masa depanku gak jelas, tapi hari ini aku merasa masa depanku semakin blur.”Katanya kepada angin malam.

“Ngomong apa sih? Kamu gak jelas banget sih jadi orang?” Omel Indira yang sedari tadi memang sudah jongkok di samping Ava, menunggunya selesai menelpon. Gadis itu juga menghisap sebatang rokok, dan meniup asapnya ke wajah Ava.

“Galau nie…” kata Indira.

“Aku tahu kok, kelihatan kali aura-aura galau… gelap… gelap… benar-benar gelap…” Kata Ava sambil menatap kosong ke arah masa depannya yang semakin gelap.

Indira tersenyum kecut sebelum menghembuskan asap rokoknya tinggi- tinggi, memandangi langit yang semakin hitam tertutup awan.

Ava membuka suara, “Eh, tahu gak? Kalau galau malem-malem namanya apa? Galau in The Dark!”

“Jayus ah! Lelucon plagiat!” “Hahaha..”

“Haha..!” Indira menonjok lengan Ava. “Mang galau napa? berantem sama Dewa?”

Indira menghisap rokok dalam-dalam. “Huu.. mau tahu aja..”

“Ya udah, mari kita bergalau ria menikmati gelap malam. Yaaah… Galau in The Dark… Dark... dark… dark...” Ava menatap kosong, suara-nya sengaja diberat- beratkan seolah yang dikatakannya itu suatu yang benar-benar gelap.

Lama mereka bergalau bersama dalam gelap.

Indira menghela nafas sebelum berkata, “ Av nanya dong..”

“Nanya apa? Nomor togel?”

“Haha.. serius ni! kamu pernah sayang sama orang sebelumnya?”

“Pernah, Sayang ayah.. sayang ibu… Sayang adik.. sayang semuanya!”

“Bukan… „sayang‟ sama cewek… atau… sama „cowok‟.. barangkali..?”

“Per… nah… memang kenapa.. tapi sama cewek! emang kamu kira aku cowok apaan?”

Indira terkikik, merasa berhasil mengerjai Ava, “Kalo kamu Va, apa alasan kamu sayang sama orang?”

Ava menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal “Umm.. karena cantik? Baik? Seperti bidadari?”

“Cantik? Karena itu aja? Terus apa bedanya cinta sama nafsu?”

Untuk sesaat, Ava merasa gadis itu lebih bijak darinya. Sungguhkah ia mencintai Indira? Ava tidak bisa menjawab tanya Indira dan tanya benaknya sendiri, maka ia balik mengajukan pertanyaan: “terus, alasan kamu cinta sama Dewa apa?”

Kali ini Indira yang terdiam, “Aku… gak tahu…” Indira menghisap rokok lagi, abunya jatuh di tanah “aku sayang sama dia… sayang begitu aja.. aku merasa nyaman sama Dewa.”

Ava menyalakan batang rokok kedua, dihisapnya racun nikotin dalam-dalam itu hingga memenuhi paru-parunya yang semakin sesak oleh perkataan Indira terakhir.

Indira berkata lirih, “boleh aku cerita?”

“Kalau kamu mau berbagi.”

Indira tersenyum, dimepetkan tubuhnya ke hangat tubuh pemuda itu. Sebuah cerita bergulir.

====================================

Fragmen 16

Smaradhana

====================================

-Verse 01-

dua tahun yang lalu. Waktu itu Pura Jagatnatha di depan Alun-alun Puputan dipenuhi ribuan peziarah yang bersembahyang dalam rangka peringatan Hari Raya Sarawati - pemujaan terhadap Dewi Ilmu Pengetahuan. Tak heran kebanyakan yang datang hari ini adalah pemuda-pemudi.

Para pemuda dibalut kain, dengan beskap putih yang rapi, dan tak lupa ikat kepala yang indah melingkar gagah bagai mahkota. Sementara para pemudi melenggang dibalut kebaya cantik berwarna-warni, serasi dengan kain indah yang membalut pinggul mereka.

Terdengar suara mantra dan doa yang khidmat diiringi gemerincing lonceng. Harum dupa tercium demikian semerbak menyeruak diantara para peziarah yang bersila sambil menangkupkan tangannya ke atas kepala, menunggu percikan air suci dari Pendeta.

Indira melangkah keluar, di dahi-nya menempel beras putih, tanda ia sudah selesai berdoa. Waktu itu Indira baru kelas 1 SMA, namun dengan kulit dan wajah bulenya menjadikan Indira demikian mencolok dibandingkan gadis- gadis lain. Tubuh Indira yang baru saja merekah terbalut kebaya warna jingga membungkus ketat lekuk tubuhnya yang menawan. Kebaya dari kain brokat yang berlubang-lubang tembus pandang itu menampakkan punggung dan bahu yang putih mulus, membundar sebagai dasar leher jenjang yang tak kalah mulusnya. Sementara dadanya dibalut kemben dengan stagen yang terikat di bawahnya, menumpahkan sebentuk ranum dada yang menyembul indah.

Sudah banyak cowok-cowok yang mendekatinya, Sebut saja Ngurah si Ketua Osis, Putra si Center Klub Basket, sampai Oka si Gitaris semuanya dikenal sebagai cowok-cowok yang pernah jalan bareng dengan Indira.

Namun hanya sebatas itu. Indira membiarkan mereka mendekat, namun selalu menolak bila cowok-cowok itu menyatakan cinta. Hanya satu orang saja -yang saat ini berjalan di samping Indira- yang berhasil memenangkan hati Sang Bidadari.

“Indira, jangan buru-buru na..”

“Hihi… maaf… maaf…” Indira memamerkan giginya yang putih dan rapi, “Huuu..” yang di sampingnya menyenggol Indira, kemudian mereka besenggolan sambil tertawa-tawa.

Mereka bergandengan tangan dengan riang di sepanjang trotoar di tepi Lapangan Puputan, layaknya banyak pasangan lain yang pulang dari persembahyangan. Mereka tersenyum berseri-seri seperti sepasang peri kecil yang serasi.

Sungguh baru orang itu yang bisa membuat Indira merasa nyaman, seseorang yang membuat Indira merasa bahagia, Seseorang yang membuatnya menyerahkan bibir mungilnya untuk dilumat, dadanya yang ranum untuk diremas, dan bagian bawah sana untuk dibelai. Tapi hanya itu, Indira tidak mengizinkan pacarnya untuk melakukan lebih jauh lagi.

Sayang sekali hubungan mereka harus berakhir ketika pacarnya harus pindah ke luar negeri. “Good bye Ratih.” kata Indira sambil mengecup bibir kekasihnya.

Ratih Dewi, citra khayalku prana dalam hidupku

yang haus akan asmara hmm, nikmatnya bercinta.

-Verse 02-

Indira memang sedih sepeninggal Ratih, namun sedihnya itu hanya sementara. Karena hadirlah Dewa, pemuda yang dikenalnya saat menonton pertandingan basket yang diadakan Universitas Negeri Ternama di Bali.

Dewa memang tampan dengan darah setengah bule seperti Indira. Apalagi pemuda itu tercatat sebagai mahasiswa kedokteran tahun kedua. Sebuah alasan mutlak yang bisa membuat gadis manapun tergila-gila padanya.

Namun bukan itu yang membuat Indira jatuh cinta pada Dewa. Putra si Center Klub basket jauh lebih tampan dan lebih macho dari Dewa - yang menurutnya cenderung metroseksual.

Permasalahannya, ada yang unik dari diri Dewa. Dewa sungguh sulit ditebak, ia seperti segelas minuman yang lezat, tapi Dewa tidak membiarkan Indira menenggak habis. Ia biarkan bibir gadis itu mencicip sedikit, sebelum menjauhkan gelasnya. Hingga si bidadari itu yang penasaran setengah mati.

Hari ini ia memuji potongan rambut Indira yang baru; besoknya ia mencela sifat manja Indira. Di dalam Mall ia menolak membawakan barang belanjaan Indira; namun di parkiran Ia memayungi Indira dari hujan dengan jaketnya. Di hari jadian Dewa tidak membawa bunga hingga Indira menangis; namun ketika hendak pulang baru nampak seekor boneka beruang raksasa yang membuat tangis Indira tambah menjadi.

Dewa tidak pernah terlalu memuji, tetapi menantang Indira untuk lebih baik. Dewa tidak mengejar-ngejarnya seperti cowok-cowok lain, tapi mebiarkan Indira yang mengejar-ngejarnya. Dewa tidak melakukan apapun yang diminta Indira, Dewa dapat menolaknya dengan tegas terlebih bila permintaan itu tidak masuk akal.

“Kamu nggak punya pengertian!” jerit Indira.

“Biarin! kalo aku gak mau kamu mau apa? Nangis?” kata Dewa dengan tak kalah sengit.

“Dewa jahat!”

“Jahat! Tapi sayang sama kamu! Dan yang kamu minta itu…”

“Biar!” Indira menepis tangan Dewa yang hendak memegang pundaknya.

Indira berlari meninggalkan Dewa, dan berharap Dewa menyusulnya. Namun sia-sia, sampai ujung jalan tak ada satupun langkah yang datang untuk mengejarnya.

Indira jongkok dan menangis tersedu sambil duduk di trotoar, sampai datang sebentuk peluk mendekap tangisnya.

“Dewa jahat! Dewa jahat!” Indira mencoba meronta, namun peluk itu semakin erat memeluknya. Begitu hangat, sebuah kehangatan yang tak mungkin diberikan oleh seorang tidak mencintainya. Rontanya berubah menjadi sebuah pasrah, dan tangisnya tumpah di dada Pemuda itu.

“Maafin Dewa ya.. tapi Dewa beneran sayang Indira… makanya Dewa gak mau…”

Sekuntum kalimat yang sungguh mampu meluluhkan ego si bidadari.

Andika Dewa

sirna duli Sang Smara merasuk sukma

menyita heningya cipta

Oh.. resah ku jadinya.


-Verse 03-

“Dewa… apaan sih gelap na..”

“Udah, tenang aja”

Dewa menuntun Indira yang matanya ditutup kain. Indira yang terbalut gaunpanjang warna putih tentu kesulitan untuk berjalan. Dalam tutup itu, sanubari Indira dipenuhi ratusan debaran yang demikian penasaran. Bibirnya dipenuhi sekian gerangan, mencoba menerka kejutan apakah yang akan diberikan Sang Pangeran? Tabir dibuka.

Indira terhenyak, menutup bibirnya dengan tangan, pelupuk matanya sudah penuh dengan haru yang membuncah. Seumur hidup belum pernah ada yang melakukan hal seperti ini untuk dirinya.

Rimbun pepohonan itu demikian indah dihiasi ribuan lampu yang berkelap kelip seperti gugus-gugus bintang. Sementara di ujung membentang kain tetoron raksasa, disorot dengan proyektor LCD bertuliskan “Happy Birthday Indira” yang kemudian berganti dengan montase video dari Dewa dan teman- teman Indira diiringi lagu “If You‟re not The One”-nya Daniel Bedingfield yang mengalun dari sepasang Amplfier di pojokan.

“Dewa.. hk.. hk.. ngapain kamu buat kaya ginian..”

Bidadari itu sesengukan dalam pelukan Pangerannya.

“Because.. you are the one in a million…” Sambil mengalungkan sebentuk kalung berbentuk cinta di hati Indira. Seuntai kata yang membuat semburat tangis bahagia pecah dalam pelukannya.

“If you’re not the one

then why does my soul feel glad today?

If you’re not the one

then why does my hand fit yours this way?

If you are not mine

then why does your heart return my call

If you are not mine

would I have the strength to stand at all”

***********

Kemudian Sepasang insan itu duduk berhadapan di meja bundar dengan lilin

yang memendarkan warna jingga ke wajah Indira yang belum larut dari rasa haru. Bibir mungil yang dipulas lipstik warna natural itu tak bisa menyembunyikan bahagia yang meriap di hatinya. Pipinya yang bundar merekah, merona merah oleh sesosok Pangeran yang memandangnya dengan tatapan hangat, sehangat nyala api yang menari-nari di pelupuk matanya yang berwarna kelabu.

“Dewa, Makasih ya…” kata Indira.

Sebuah pernyataan yang hanya dijawab Dewa dengan senyuman, yang seolah berkata “Indira, kamu lebih dari semua ini!”

Mata Indira kembali berkaca, ia menyuap sepotong Lobster Thermidor ke dalam bibir mungilnya. Sementara debur ombak yang menghantam tebing di bawah mereka seperti mengalunkan orkestrasi samudra mengiringi bahagia Indira. Langit pun seperti merestui kebahagiaan itu dengan menyingkirkan awan dan menampakkan milyaran bintang yang bertaburan seperti tepung di tengah samudera semesta.

“Belum pernah, ada yang melakukan ini buatku, Dewa.”

“Ayahmu?”

Indira meletakkan garpunya hingga berdenting di atas piring “orang itu, selalu sibuk dengan lukisannya! Mungkin.. kalau Mama dan Kak Raka masih ada pasti…” Suara Indira makin lirih, namun tangan halus yang membelai punggung tangannya membuat Sang Bidadari merasa ia tidak sendirian lagi.

***********

“Ajik.. gak pernah peduli sama aku, Dewa.”

“Peduli.. ia sayang sama kamu, kok” Dewa mendekap tangan Indira sambil berdansa berputar-putar setelah menyelesaikan makan malam romantis itu. Mereka berdansa di halaman Villa Dewa di Jimbaran, Villa yang terletak tepat di gigir tebing di mana Samudra Hindia bergolak ganas dibawah. Mereka terus berdansa di halaman yang dihias seperti Taman Langit dengan ratusan lampu. Sementara lagu dari The Carpenters mengiringi langkah mereka. Dansa itu seperti menyirnakan gulana Indira. Ia tersenyum-senyum melihat kekasihnya melangkahkan kakinya dengan kikuk.

“Why do stars fall down from the sky

Every time you walk by? Just like me, they long to be Close to you”

“You-are-the-one, Dewa”

“So-do-you, Indira”

Mereka cekikikan berdua. Indira melingkarkan tangannya di leher dan bahu Dewa, sementara pemuda itu mendekap pinggang Indira lembut. Tubuh mereka berdekapan erat, membagi hangat yang memenuhi dada mereka.

Indira menoleh ke arah Dewa dan tersenyum, sungguh senyum itu sangat indah. Seberkas senyum yang seolah berkata “aku sangat bahagia”. Dewa memandangi Indira dengan hangat, di hatinya pun terbit seberkas rasa bahagia: bahagia karena bisa membuat Indira bahagia.

Dewa mendekatkan wajahnya, Indira tersenyum dan memejamkan mata.

Dewa mengecup senyum di bibir Indira. Lembut, bibir itu sungguh harum dan

lembut. Indira membalas kecupan kekasihnya, di belainya bibir Indira dengan bibirnya, dibiarnkannya cinta mereka mengalir seiring desah nafas yang saling mengisi.

“On the day that you were born the angels got together

And decided to create a dream come true

So they sprinkled moon dust in your hair

Of golden starlight in your eyes of blue”

Blackberry Indira berdering dari tas kecil yang ditaruh di atas meja,

“Telepon tuh” kata Dewa sambil tetap memeluk Indira. “Hehe.. maaf yah, merusak suasana… bentar yah..”

“Gak papa..”

Indira mengangkat telepon itu, raut wajahnya tampak berubah saat melihat nama si penelpon.

“Apa?” Sahutnya ketus.

“Kenapa baru sekarang?” suaranya bergetar.

“Blah… blah… blah… Always like that.. yeah, I know that… ”

“Ajik memang gak pernah peduli sama Indira...” Indira mulai meremas-remas gaunnya.Nafasnya mulai memburu

“Bohong!” pundaknya naik turun semakin cepat. Wajah Indira sudahsedemikian memerah menahan emosi yang membuncah. "Jangan sekarang..."

"Indira bilang jangan sekarang! jangan.. rusak.. kebahagian Dira..." Dewa hanya bisa memandangi bidadarinya dengan gemas.

"Dewa...." ikata Indira kepada Ayahnya, kemudian ia terdiam "memang kenapa?"

"Biar!" sebuah tanda pemberontakan.

"Dia lebih peduli sama Dira daripada Ajik.."

Indira terdiam lama, ia mulai sesengukan sambil berjongkok. Dewa memeluknya dari samping, sambil membelai rambut Indira.

"Huk.. huk.. Please... Huk.. Jangan rusak kebahagiaan Dira malam ini Jik.." Makin lama isaknya berubah meninggi, “Ajik gak pernah ada buat Dira! Ajik selalu sibuk! Selalu sibuk!" Selalu! SELALU! SELALU! AJIK GAK PERNAH SAYANG DIRA! AJIK GAK PERNAH PEDULI! AJIK GAK PERNAH!!! KALAU AJA MAMA MASIH.... AAAAARHHH!!!!” Indira berteriak histeris “AKU SUDAH GAK PUNYA SIAPA-SIAPAAAA!!! AAAAAAH!!!!!! “ Indira meraung- raung histeris sambil bersimpuh di atas rumput.

Dewa segera memeluk bidadarinya.

“Mama… mama… huk.. huk…” Indira menangis sesengukan di pelukan Dewa.

Dewa mendekap Indira erat sangat erat.

“Dewa… aku sudah gak punya siapa-siapa lagi… huk.. huk… mama… mama..”

Dewa seperti tidak mampu berkata sepatah katapun, Ia hanya memeluk Indira erat, sangat erat sambil membelai rambut gadis itu. Setiap dekap dan belainya seolah berkata “kamu gak sendirian, sayang”

“Mama… mama… I miss you… huk… huk…” tangis kekasihnya itu sungguh menyayat hatinya.

-Ava-

Ava menepuk-nepuk pundak Indira, “sabar ya…” Sebuah tepukan yang tidak bisa dibandingkan dengan erat dekapan Dewa waktu itu.

Kali ini Indira nyengir, “iya, dah lama kali… semenjak kejadian di Crossing Fate, aku jadi… lebih deket sama Ajik..” “Iya..”

“Makasih ya Ava..” kali ini Indira yang menepuk punggungnya. “Sekarang cuma Ajik yang aku punya” Indira menyenderkan kepalanya di pundak Ava. “Mama dan kak Raka.. sudah…”

“Semua orang pernah kehilangan.” Kata Ava lirih, dan menggenggam tangan Indira.

Indira tersenyum, “gak papa…” dan ia mulai bertutur.

Ava menghela nafas, sepertinya yang akan ia dengar benar-benar perih.




===========================================

Fragmen 17

Night In White Satin15

===========================================

-Dewa-

Gemuruh ombak Samudera Hindia menghantam tebing batu yang menjulang. Suaranya menggema ke udara malam yang semakin larut. Awan tipis datang, seperti ranah tabir yang menutup indah ribuan bintang.

Villa itu berdiri angkuh di gigir tebing batu, seperti menantang gerak Baruna yang menggelegak di bawahnya. Cahaya temaram memendar dari dalam bangunan bergaya Avant Garde itu, memantul di kolam yang mengelilinginya.

“Kamarnya sudah saya siapkan.” kata seorang lelaki paruh baya pada Dewa yang sedang duduk di sofa sambil memandangi layar LCD yang menayangkan film “No Country for Old Men”. Ruang tengah itu sangat rapi dan minimalis, dengan sofa panjang TV LCD dan mini bar di pojokan, sementara bagian belakangnya dibiarkan terbuka tak berdinding menampakkan laut dan langit malam yang menghitam.

“Oh, makasih Pak Wayan” kata Dewa, “Yang di luar…”

“Oh iya, Pak Wayan bereskan piring kotornya saja dulu, besok pagi saya bantu membereskan yang lain”

“Beres bli, sama satu lagi.. tadi Ajik nelepon, bulan depan baru dia datang dari Munich, katanya salam buat Bli Dewa.”

Dewa tertawa sinis, “kenapa gak telepon saya langsung? Ternyata dia masih ingat punya anak di sini.”

“Jangan begitu bli, begitu-begitu dia bapak bli Dewa juga.” Kata Pak Wayan sebelum mohon diri.

Indira muncul dari sudut lain, berjingkat dan berputar-putar dengan lucu

“Hihihi.. kedodoran gini…” Indira berjalan mendekati Dewa. Ia mengangkat ujung kaus berukuran XXL yang menenggelamkan tubuh mungilnya sampai atas lutut. Lampu bawah air di dalam kolam renang yang mengelilingi bangunan utama memendarkan cahaya kekuningan yang bergerak-gerak di atas tubuh Indira.

“Sekarang dah bisa ketawa-ketawa ya..” goda Dewa.

Indira menjulurkan lidahnya ke arah Dewa, membuatnya semakin lucu dan menggemaskan.

Saat ini Indira sudah bisa tenang, butuh waktu satu jam bagi Dewa untuk bisa menenangkan hati kekasihnya itu.

“Yakin gak pulang?”

Indira menghempaskan pantatnya di sofa di samping Dewa, “buat apa pulang?” sambil menggelendot manja di dada Dewa.

“Nanti dicariin sama…” Dewa terdiam.

“Ajik? Biar!”

Dewa membelai rambut kekasihnya.

Indira merajuk. “aku jadi nginep nih ya…”

“Hmm..”

“Pliss…”

“Hmm…”

“Pliiiiich Dewa Ganteeeng….”

Sungguh Indira seperti anak kucing yang merengek-rengek saat ini.Dewa hanya tersenyum lembut dan mengecup kening Indira.

**********

Kamar itu menghadap tepat ke lautan, dengan kolam yang berkilauan tepat di luarnya dan berakhir di gigir karang, seolah-olah kolam itu melayang di udara saja. Lampu utama dimatikan, menyisakan pendar jingga dari lampu tidur yang menyala malu-malu, serta sinar yang beriak-riak dari bawah permukaan Air.

Pintu kaca yang menuju ke luar sengaja dibuka lebar-lebar. Hingga angin laut menyerbu masuk dan menerbangkan kordyn warna putih. Aroma laut melambung memasuki sepasang kekasih yang saling bermesraan di atas tempat tidur dengan sprei satin putih. Mereka tidak bercakap, hanya saling membelai. Saat ini yang ada hanyalah hening ditimpali sahutan suara laut yang seperti mendesah.

Breath deep

The gathering gloom

Watch lights fade

From every room

Indira menyandarkan kepalanya di dada Dewa, membiarkan kekasihnya itu membelai halus pipi dan rambutnya. Nyaman, sungguh nyaman diperlakukan seperti ini. Indira menarik nafas panjang dan menggengam punggung tangan Dewa, seolah berkata “jangan tinggalin aku, sayang”, yang dijawab dengan sebuah kecupan manis mendarat di keningnya.

Indira tersenyum, manis-cantik sekali. Pipinya merekah dan memerah seperti memproklamirkan kebahagiaannya malam ini. Bahagia itu dikecup oleh Dewa, dan membuatnya semakin tersenyum merona. Sementara cahaya yang bergerak seiring riak dipermukaan air membelai wajah cantik itu.

Dewa membatin, “betapa cantiknya gadisku ini”. Ia sudah pernah menemukan perempuan yang lebih cantik dan lebih seksi dari Indira. Namun, ia merasa bidadari yang ada di pelukannya ini demikian rapuh, mengingatkannya pada dirinya sendiri. Senyum indira membuat sanubarinya berkata “ia harus melindungi Sang Bidadari, ia harus membahagiakannya, mencintainya dengan seluruh hidupnya”. Sebuah kata yang tak akan pernah mampu diucapkan, melainkan hanya kecupan hangat di pipi Indira.

Kali ini lebih lama dari sebelumnya, Dewa membiarkan Indira meresapi setiap perasaan yang ia kira bisa tersampaikan melalui setiap belai bibirnya di pipi gadis itu. Indira pun merasakan kehangatan membelai kulitnya. Ia memeluk kepala Dewa, mengarahkan cium itu ke bibirnya yang berbisik, “ I love you, Dewa”

Suara ombak terdengar bersahut-sahutan seolah mengamini perkataan Indira.

Dewa tersenyum, dikecupnya bibir mungil itu, dibiarkannya cintanya mengalir hangat seiring alun nafas yang serona seirama. Indira memejamkan mata, setiap belai lembut bibir itu membuatnya seperti melambung dalam dunia tanpa daya berat. Di dekapnya erat, sangat erat tubuh kekasihnya. Indira sudah pernah kehilangan, kali ini ia tak mau kehilangan lagi

'Cos I love you, yes I love you,

Oh how I love you, oh how I love you.

Sebentuk perasaan hangat memenuhi dada Indira, penuh-sangat penuh hingga dada itu terasa sesak dan hendak meledak! Sebentuk hangat yang demikian pekatnya, hingga membuat dada Indira membusung-busung dan nafasnya mulai memburu. Indira menghirup nafas dalam-dalam aroma laki- laki yang bercampur dengan bau laut menyerbu ke paru-parunya, menimbulkan gejolak yang tidak bisa ia jelaskan.

Lamat-lamat ciuman itu berubah menjadi gejolak yang menggerakkan sepasang bibir yang awalnya saling membelai lembut menjadi saling melumat. Indira menikmati bagaimana bibir kekasihnya memagut dan melumat bibir mungilnya. Indira melenguh, dan mengerang dalam pelukan Dewa, membuat dada pemuda itu semakin bergolak. Di sapukannya lidahnya ke bibir Indira, seperti hendak bertamu. Dan Indira membuka pintu, membiarkan lidah Dewa memasuki rongga mulutnya.

“Mmmmh…” Disambutnya lidah dewa dengan ujung lidahnya, dan dibiarkannya masuk saling membelit dan membelai di dalam sana. Sementara obak besar memecah karang menimbulkan suara keras yang mengiringi desah nafas mereka.

“Mmmmmh…” Sungguh aroma parfum indira membius pemuda itu. Dewa membelai wajah Indira lembut, dan belai itu turun di sepanjang tubuh Indira, membuatnya merinding menahan geli yang menyebar seperti wabah yang membuatnya bergetar-getar. Seruak geli yang teramat sangat di selangkangan dan di ujung dadanya, yang membuatnya semakin terlarut. Indira menerka-nerka kemana gerangan tangan Dewa akan menuju, dan “Mmmmh…” tangan itu mulai membelai payudaranya yang ranum dan membusung. Indira menahan tangan itu, mendorongnya ke dalam seperti hendak memberikan jantungnya. Menghenyak tangan Dewa jauh ke dalam kenyal payudaranya, dan Dewa tahu apa artinya.

“Tonight, I‟m yours…”

Ombak semakin berguruh di luar Villa Dewa, seperti birahi sepasang kekasih yang semakin membara.

Belaian kemudian menuju remasan lembut, sebuah remasan yang membuatnya merintih, dan mendesah dalam kuluman bibir Dewa.

“Mmmmh…. H… h…h…” Nafasnya sudah mulai memburu, nafas harum yang memenuhi dada Dewa dengan perasan… “Oooh..” Ciuman Dewa kini menuruni tulang rahangnya, bergerak turun di lehernya yang jenjang. Pemuda itu menciumi kulit mulus Indira. Dihisap-dijilat-digigit-nya pelan leher Indira hingga Gadis itu menggelinjang, mengerang, mendesis sejadi-jadinya.

“Aaah..” Kaus Indira semakin tersingkap sampai paha, tangan Dewa menyusurnya. Menyibak kaos Indira, sampai atas paha, dan pemuda ini tahu kemana ia menuju.

Dibelainya celana dalam nylon Indira, tepat di belahannya yang sudah sangat basah, membuat Indira didera rasa merinding yang membuatnya menggelinjang tidak karuan. Sungguh cepat sekali tangan indira menyusup kebalik celana dalamnya, menyibak sepasang labia dan… “Aaaaaaahhhh” jemari itu kini sibuk membelai-belai dinding kewanitaannya yang sudah licin.

Indira mangap-mangap, belaian itu seperti bermain-main dengan birahinya. Sebuah nafsu paling purba yang dimiliki oleh manusia. Didekapnya kepala Dewa, dibenamkannya ke lehernya, agar pemuda itu bisa leluasa menghisapnya. Dijambaknya rambut Dewa, sambil merintih-rintih seiring belai jemari Dewa yang semakin cepat di bawah sana. Dan suatu sentakan keras membuat tubuh Indira mengejang, nafasnya sudah seperti pelari maraton.

“Aaaaaah!!!!” Indira berteriak. Apa yang harus dilakukan untuk menahan gejolak yang meledak ini? Dihisapnya bibir Dewa, dilumat dan digigitnya, hingga pemuda itu merintih perih. Lidah Indira menyerbu masuk. Sementara tangan Indira bergerak cepat membuka kancing demi kancing kemeja Dewa, sambil terus melumat bibir pemuda itu.

“Mmmmh…” Dewa melengguh, namun sepasang tangannya masih sempat meremas-remas bibir kewanitaan Indira.

“Mmmh” Indira melengguh, mereka bergulingan di atas sprei satin. Sekarang

indira yang ada di atas, menindih tubuh Dewa. Seluruh kancing baju Dewa terlepas. Indira menyingkap kemeja itu, hingga menampakkan bahu dan dada Dewa yang bidang. Indira tersenyum, namun senyum itu nampak demikian binal, apalagi dengan rambut bergelombangnya yang berurai turun

Gemas, Indira sangat gemas melihat dada yang bidang itu, hingga ia tidak bisa menahan lagi hasrat untuk menciumi dada kekasihnya, “mmmh…” Indira seperti kucing yang menjilati puting Dewa, harum tubuh pemuda itu “mmmh” sangat lelaki! Hingga membangkitkan gairah Indira meletup-letup. Dada Indira bergolak, ia ingin segera… “oooh” Dewa melolong karena Indira menggigitnya.

Tangan Indira bergerak cepat, membuka sabuk dan reitsliting Dewa. Dewa membantu Indira, tak lama Indira sudah berusaha meloloskan Celana panjang Dewa. Dewa mengangkat pinggulnya, celana itu kini turun sampai lutut, meninggalkan tegang kejantanannya yang beradu dengan selangkangan Indira.

Indira tersenyum, dan menggerakkan pinggulnya, “mmmh” sedapnya kejantanan Dewa yang menggesek itu. “Oooooh” Indira tak tahan lagi, di lepaskannya kemeja Dewa, dan Dewa meloloskan celana panjangnya dari ujung kakinya.

Indira mengangkat tangannya, melepas kaus kedodorannya, tak lama Bra-nya menyusul tercampak ke lantai. Sepasang payudara ang ranum menggantung Indah. Bulat dan padat dengan sepasang puting mungil yang sudah tegak berdiri. Temaram lampu jatuh di atas kulit putihnya menimbulkan estetika yang demikian erotik.

Indira menahan nafas, karena payudaranya kini membukit indah di depan mata orang yang dicintainya. Wajah Indira sudah memerah, sungguh ia tidak tahu lagi kemana ini akan menuju.

Dewa mengecup puting Indira, lembut sangat lembut seolah itu adalah dirinya. Indira mendesis, terlena oleh kelembutan sang kekasih memperlakukannya. Indira membelai rambut dewa, mengarahkan kepala pemuda itu untuk mereguk lebih jauh lagi.

Dibekapnya Kepala dewa hingga pemuda itu terhenyak ke dalam kenyal payudara Indira, membuatnya mereguk nikmat yang lebih-lebih-lebih dan lebih lagi. "Ummmh..." Indira melenguh nikmat, saat lidah Dewa mulai bergetar, bagai menari flamenco di atas putingnya.

“Aaaaah…” Indira mulai mengerang-ngerang. Bibirnya mulai melolong ke udara..” Dewa… dewa… aaa! Aaah!” Sungguh kenikmatan yang membangkitan gejolak yang tak terbendung lagi, dilingkarkannya kakinya ke tubuh Dewa, dan tubuhnya mulai menggesek tubuh dewa. Karena setiap gesek itu mendatangkan nikmat yang teramat! Dan nikmat itu seperti mendorongnya untuk meraih nikmat yang lebih-lebih-lebih-lebih dan lebih lagi.

Diciuminya lembut sepasang kenyal Itu, dihirupnya harum tubuh Indira yang membangkitkan gejolak hormon testosteron di dalam tubuhnya.

“Aaah! Aaah! Aaah!” Indira mulai menggelinjang tak karuan, dinikmatinya setiap cumbuan dewa, setiap gesekan dan lumatan, sehingga tubuh mereka bergulung-gulungan di atas sprei satin putih. Kini Dewa menindih tubuh Indira.

“Mmmmh.. mereka saling lumat dengan ganas, tangan Dewa meremas-remas payudara Indira yang telanjang, sambil memuntir-muntir putingnya, membuat gadis itu merintih tidak jelas. Mereka bergelut, berguling, bergulung di atas kasur, sambil terus mencumbu. Sepasang tubuh setengah telanjang itu semakin larut bergelut dengan birahi.

“Mmmh…” “”Mmmmh”

Lidah mereka masih saling membelit, bibir mereka saling hisap. Sedang tubuh telanjang itu saling tindih, dan saling gesek. Kadang Indira di atas, kadang Dewa di atas. Kacau sekali, chaos! Semuanya terjadi begitu saja, mengikuti jejak gejolak nafsu yang demikian menggelora hingga akhirnya sepasang celana dalam merekapun akhirnya terlepas, menyisakan sepasang tubuh telanjang yang saling gesek dengan beringas.

Impassioned lovers

Wrestle as one

Lenguhan mereka bercampur dengan suara kecipak bibir yang saling mendecap-decap. Dewa melumat bibir Indira, sungguh betapa lembut dan harumnya bibir itu.

Dada Indira yang ranum sudah tergencet di bawah dada Dewa yang menindihnya. Tubuh mereka yang sudah tak tertutup apapun itu saling himpit dan saling gesek, menimbulkan sensasi geli dan nikmat yang mencuat-cuat di selangkangan Indira. Naluri Indira berbisik, menyuruhnya menggesek- gesekkan selangkangannya di paha Dewa, membuatnya semakin terjebak dalam adiksi birahi.

“Aaaah…” Indira mendesah lemah, Dewa menciumi lehernya sambil dijilatinya. Sesekali digigit dan dijilatinya kuping Indira, sehingga membuat gadis itu menggelinjang kegelian “Geliiiiii” protesnya.

Dewa tersenyum melihat tingkah Indira, sebelum kembali mencumbu leher Indira sambil meremas-remas payudaranya.

“Buat cupang…” Indira berbisik, yang dijawab Dewa dengan gigitan dan hisapan lemah di kulit putih itu. “Oooooh….” Indira mendekap kepala Dewa membenamkannya ke lehernya, membayangkan dirinya sedang dihisap oleh Edward Cullen –meski Edward Cullen tak lebih ganteng dari Dewa-

“Hhh.. h… “yang membuat sebuah bentuk memerah di leher putihnya.

Dewa menciumi dada Indira dengan lembut, mengecup puncak-puncaknya di mana di situ juga terdapat puncak-puncak gelombang birahi Indira. Gelombang yang mengankat punggung Indira ke atas, setiap bibir dewa mengulum putingnya yang berwarna merah muda.

“Ooooh…” Indira melolong,sedap sekali dihisap seperti Ini.

Sekujur tubunya mulai bergejolak, pinggulnya mulai bergerak liar. Menggesek selangkangannya yang membasah di tubuh Dewa, hingga paha pemuda itu pun ikut basah oleh cairan cinta Indira yang meleleh-leleh. Pun demikian halnya Dewa, Alamak sensasi kejantannya yang menggesek perut Indira itu sangatlah nikmat rasanya, ia tidak tahu bagaimana bila kejantanannya masuk ke dalam ke dalam kewanitaan Indira.

“Dewa.. masukin…” bisik Indira.

“Jangan..” Suara Dewa bergetar.

Namun Indira membuka pahanya lebar-lebar, menampakkan kewanitaannya di antara sepasang tungkainya. Sebentuk yoni yang sempit dan basah dengan bulu-bulu halus yang dicukur rapi.

Indira terbaring pasrah, matanya menatap nanar ke arah dewa, dan bibir basahnya setengah membuka dan terengah,”hah… hah… h… h…”

“I‟m yours…

What are you waiting for?”

Dada Dewa kembang kempis melihat sebentuk belahan yang demikian indah itu. Belahan sempit yang diapit oleh sepasang bibir tembem nan putih mulus.

Dewa berlutut di antara paha Indira. Indira menggigit bibirnya, dirinya berdebar-debar tentang apa yang akan dilakukan kekasihnya. Sungguh, ia ingin Dewa memasukkan kejantanannya itu, namun ia ingat apa yang dikatakan teman-temannya tentang „pertama kali‟: perih, hatinya menjadi gentar juga. Indira menahan nafas, kejantanan yang membelai bibir kewanitaannya itu sungguh hangat, „mmhhh” Indira mulai melengguh pelan.

Dewa masih berlutut, menggesekkan kejantanannya di belahan Indira yang sudah sangat banjir. Sebuah gesekan yang membuat Indira merintih, sambil menggigit-gigit jarinya.

“Masukin… ajah.. aah! Aaah! Aah!”

Dewa semakin kencang menggerakkan kejantanannya hingga menyodok- nyodok klitoris Indira yang menegang.

“Ooooh” Indira melolong sambil meremas-remas bantal. Bibirnya yang basah itu sungguh seksi, Dewa tidak bisa menahan diri lagi, segera dilumatnya bibir Indira.

“Mmmmh…”

Dewa bertumpu pada kedua sikunya, sambil menindih dan melumat bibir manis itu.

“Sudah pas?”

Indira mengangguk,

Pinggul Dewa bergerak-gerak sesuai naluri , menggesekkan kejantanannya di selangkangan Indira.

“Ooooh!” mata Indira memejam saat ujung kejantanan Dewa menyenggol klitorisnya.

“Uugh…” Dewa-pun melengguh, lepitan yang sudah basah itu bergerinjal memijat batangnya, begitu hangat, begitu becek, begitu “ooh! Oooh!”

Dewa menggenjot tubuh telanjang Indira kuat-kuat, sementara Indira memeluk punggung Dewa yang mulai berkeringat, di dekapnya erat seolah ingin segera Dewa memasuki tubuhnya.

“Oooh!”

“Oooh! Oooh! Masukin aja..aaaaa!”

Tubuh mereka saling tindih dan saling gesek, seperti orang berhubungan sex saja, padahal kejantanan Dewa hanya meluncur-luncur di antara bibir kemaluan Indira yang sangat basah. Namun itu pun cukup untuk membuat Mereka saling mendesah dan mengerang.

Nafas Indira semakin memburu, dibiarkan kekasihnya menggesekkan kejantanan yang sudah menegang di selangkangannya, karena memang ia merasa nikmat! Sangat nikmat!. Indira malah mengaitkan kakinya di paha Dewa, dan ikut menggerakkan pinggulnya, seolah ingin menghenyak batang itu ke tubuhnya. Kejantanan Dewa yang meluncur-luncur di antara lepitan daging yang sudah membecek itu sungguh-sungguh nikmat!Apalagi saat ujung kejantanan itu menyentak klitorisnya, “Aaaaah…” sungguh memberikan sensasi berlipat yang memenuhi dada sampai ubun-ubun Indira, membuat mendesah, mengerang, merintih, mendesis, melolong entah apalagi. Sambil mendekap dan menciumi wajah Dewa yang tak berhenti mencumbui dada dan lehernya.

Wajah Indira tampak merona dan dibasahi keringat, matanya menatap sayu pada wajah Dewa yang menciuminya.

“Aaah.. aaah… h… h…” Jeritnya bercampur dengan nafas terenggah, sungguh cumbuan kekasihnya itu seperti membawanya terbang ke langit ketujuh.

“Dewa.. dewa.. aaaah…” Mulut Indira menganga seperti kehabisan nafas.

Tak butuh waktu lama bagi Indira untuk merasakan geli yang teramat, geli yang tiba-tiba menyeruak dan menggerakkan otot-otot tubuhnya di luar kendalinya. Tubuhnya bergerak-gerak liar. Kepalanya menoleh ke kiri- ke kanan – ke kiri – ke kanan lagi, sambil merintih seperti menangis. Sungguh chaos! Benar-benar chaos! Di saat-saat terakhir Indira melolong dan menghenyak-henyak pinggulnya ke kejantanan Dewa. Indira menggigit jari dan meremas payudaranya sendiri.

“ooooooh!” Tubuh Indira melenting ke atas, sebelum terhempas ke kasur. Melenting lagi sebelum terhempas dalam keadaan terengah-engah.

“Hh.. h… h… h… h…”Indira terpejam, bibirnya membasah dan terbuka setengah. “Kenapa gak dimasukin?

“Tanpa itu pun, kita sudah terbang kan? “ kata Dewa lagi. “Hihihi.. h.. h.. h..” Indira cekikikan sambil terengah.

Dewa mengecup pipi Indira yang sudah memerah seperti tomat. Ia bahagia bisa membawa kekasihnya menuju puncak kenikmatan. Indira tersenyum, bahagia karena nikmat badaniah, bahagia karena hangat cinta kekasihnya. Dikecupnya bibir Dewa dengan gemas, sambil dipeluknya seperti memeluk boneka beruang.

Dewa membelai rambut Indira, membiarkan gadis itu menggelendot manja di dadanya.

“Dewa, kamu belum keluar ya?”

Dewa hanya tersenyum. Indira tahu, sungguh egois bila hanya dirinya yang mencapai puncak. “Gak pa…” Ditempelkannya telunjuknya di bibir Dewa, memotong ucapan pemuda itu. Indira tersenyum penuh arti, seolah berkata “its my turn.”

Dijalankannya telunjuknya lentik itu menuruni dagu dan leher Dewa, sambil tetap dipandanginya sepasang mata pemuda tampan itu. Jemari itu menziarahi lekuk tubuh Dewa.

“Enak?” tanya Indira saat tangannya sampai di selangkangan Dewa.

Dewa mengangguk, Indira senang sekali dengan anggukan itu. Ia membelai dan mengurut sedemikian rupa batang itu.

“Indira… aaaah”.. Dewa memejamkan matanya, dan mempererat pelukannya pada tubuh Indira.

Indira tersenyum. ia senang sekali bisa memanjakan kekasihnya. Direngkuhnya tubuh pemuda yang mulai menggelinjang itu. Sungguh nafas Dewa yang mendesah-desah di telinganya terdengar sedemikian seksi, apalagi saat Dewa membenamkan wajahnya di lehernya dan mulai mengerang Dan merintih memanggil-manggil namanya.

“Ooooh!” Dewa melolong, dan Indira melumat bibirnya. Namun lumatan kali ini lebih beringas dari yang lalu-lalu. Lumatan kali ini bergerak buas, seperti hendak memangsa sekujur tubuh Dewa: bibir-dagu-leher-puting-abdomen, sampai sekujur tubuh Dewa bagai remuk redam oleh bibir yang mengaduk- aduk lautan birahinya, membuat pemuda Itu mengelepar sedemikian rupa dihempas badai birahi di samudera nafsu! “mangsa aku dalam cakarmu!” batin Dewa.

Indira menaikkan kepalanya. Dewa melirik ke bawah, Indira menyibak rambutnya yang jatuh menghalangi wajahnya. Indira tersenyum, seksi sekali. Dewa tidak bisa berpikir jernih lagi, karena saat ini bibir mungil Indira mengecup kejantanannya dengan penuh kasih sayang.

Kecup lembut itu makin lama menjelma menjadi lumat buas. Mulut Indira sekarang bagai lubang hitam, melumat menghisap kejantanannya ke dalam ruang hampa bernama kenikmatan yang tiada terperi. Kepala Indira maju mundur dengan cepat dan lidahnya bergetar membelai batang yang bergerak semakin liar. Liar, sungguh liar!

Nafas Dewa naik turun seperti pasien asma. Ia mendekap kepala Indira yang bergerak liar. “Indira… aku sudah mau… oooh oooh!”

Indira tidak peduli, ia terus menyedot dengan kecepatan tinggi.

“Aaaaah!” Dewa berusaha menjauhkankepala Indira tapi terlambat, serbuan magma dari dalam tubuhnya sudah meruah seiring perutnya yang mengejang dan terangkat ke udara.

“Mmmmhhh!” Indira terkejut dengan cairan asin yang tiba-tiba memenuhi mulutnya. Indira menarik kepalanya, namun tubuh Dewa menyentak lagi, dan semburan kedua memancar ke arah wajah cantiknya. Indira memejamkan mata.

“Hahh… h….h…” Dewa tergolek lemah, matanya yang setengah terpejam bisa melihat Indira yang cekikikan. Rambut dan wajah si bidadri dipenuhi oleh kental cairan kenikmatannya, namun Indira masih bisa tersenyum hingga cairan putih itu meleleh dari sudut mulutnya. Dan, ah.. kerongkongan Indira bergerak tanda ia menelan cairan cinta itu, dan menyisakan bibir yang membasah yang nampak sangat seksi di matanya.

Dewa bangkit dan menyeka wajah si bidadari dengan ujung selimut.

“Maaf ya…” kata Dewa.

“Hihihi..” Indira hanya terkikik saat Dewa mengusap pipinya. “Gak papa kali..” Indira melingkarkan tangannya di leher Dewa, menatap hangat mata kekasihnya.

“I love you..” kata Indira.

Dewa tersenyum, dikecupnya bibir mungil Indira yang disambut tawa kecil si bidadari.

Mereka saling bercanda sambil bergulingan di atas kasur. Indira sangat bahagia, malam ini ia begitu bahagia.

“Hihihi…” Indira tertawa sendiri, sambil menggelendot manja di atas dada

Dewa, membiarkan pemuda itu mendekap dan membelai-belai rambutnya.

“Aku sayaaaaaang banget sama kamuuu…” Indira menjerit-jerit dan mendekap Dewa gemas seperti ia sedang meremas boneka beruang raksasa pemberian Dewa.

“A.. aku.. juga sayang.. eh, jangan keras-keras… tar aku mati sesek…”

“Hihihi…” Indira mencubit-cubit pipi Dewa gemas.

“Dewa sayang…” “Apa?”

“Kok kamu bisa tahan sih? Sampe petting-petting gini, tapi…”

“Hehe..” Dewa hanya nyengir.

“Padahal kalau kamu minta, aku mau lho..”

“Ngasih virgin-mu?”

“Ho-oh…”

Dewa menelan ludah mendengar perkataan Indira.



“Kamu homo ya?” kata Indira.

Tawa Dewa meledak, “Emang kamuuu!” Ia mencubit pipi Indira gemas. “Hihi… habisnya… padahal sama yang sebelumnya udah pernah kan?” “Siapa? Vi maksudmu?

“Ho-oh.”

“Dia beda…”

“Maksudmu?” Indira semakin tidak paham dengan jalan pikiran Dewa. “Kamu itu… spesial…”

“Malah seharusnya ML itu sama orang spesial kan? Apa Vi lebih spesial dari aku?” Indira membantah tak kalah sengit.

“Aku takut…”

“Takut ngambil virginku? Takut gak bisa tanggung jawab?” “Bukan gitu..”

“Kamu gak yakin nanti bakal merit sama aku?”

Dewa tidak menjawab, ia malah menghela nafas panjang. Mendadak bisu menyelinap di antara mereka berdua. Benak Indira dipenuhi dengan ribuan keping teka-teki. Indira mencoba menjelajahi labirin panjang di otaknya. Di ujung ia menemukan sebuah pintu. Ia tahu dibaliknya ada kenyataan pahit, namun Indira tetap membuka pintu itu.

Deg..

Deg…

Deg…

“Aku tahu! Aku spesial karena aku anak satu-satunya dalam keluarga kan…”kata Indira lirih.

Indira seharusnya tahu. Ia seharusnya tahu dari dulu bila keluarga di Bali tidak memiliki anak laki-laki sebagai ahli waris yang akan melanjutkan keturunannya, akan menemukan konsekuensi adat: Perkawinan nyentana.

Dalam perkawinan biasa, lazimnya seorang lelaki yang melamar seorang gadis untuk dijadikan istrinya. Namun dalam perkawinan nyentana si gadislah yang melamar si lelaki untuk dijadikan suaminya untuk selanjutnya diajak tinggal dirumah si gadis. Sementara itu keturunannya akan menjadi milik dan melanjutkan keturunan keluarga istrinya tadi, begitu juga hak warisnya.

“Kamu… gak… bakal mau nyentana… kan? Keluargamu… pasti gak bakal mau anaknya DIAMBIL kan…?” suara Indira makin lama makin bergetar.

“Maaf…” Dewa hendak membelai Indira, namun gadis itu menepis tangannya. “Buat apa aku sampai kaya gini, kalau suatu saat kamu pasti ninggalin aku…”

Indira mengambil jarak dari tubuh Dewa.

“Indira…” Suara Dewa-pun semakin berat, nafasnya naik turun dengan cepat.

“Aku spesial karena kamu PASTI GAK BAKAL MUNGKIN NIKAH DENGAN AKU KAN!”

“Indira!”

“Aku spesial, karena kamu GAK BISA TANGGUNG JAWAB setelah ambil virgin-ku kan?” Tangis sudah hampir pecah di pelupuk matanya

“INDIRA!” Dewa membentak Indira keras, membuat Indira terdiam sambil sesengukan.

Indira meratapi nasibnya sambil memandangi langit-langit yang semakin menyempit, seperti dunianya yang hancur. Ia benar-benar tidak punya siapa- siapa lagi. Indira terisak, tangisnya pecah sejadi-jadinya.

"Mama…

Kini aku benar-benar sendiri… Aku tidak punya…

Siapa-siapa lagi..."

Ia menoleh ke arah Dewa. Pemuda itu pun memandangi langit-langit, di matanya pun mengalir air hingga membasahi bantal.

“Jadi… segitu aja… pendapatmu…. Tentang aku….” Suara Dewa demikian bergetar.

Indira bingung, hatinya sungguh bingung. Seumur-umur belum pernah ia menyaksikan kekasihnya itu meneteskan air mata.

“Aku… baru… kali ini… cinta… sama orang… seperti ini…” Dada pemuda itu naik turun dengan kencang.

Hati Indira mulai diliputi rasa bersalah.

“Semua… yang… kulakukan… hanya.. kamu… nilai… segitu…?” Dewa menutup wajahnya, sungguh ia tidak ingin tampak lemah di depan kekasihnya. Namun badai perasaan itu demikian membuncah di hatinya, menggelegak seperti nyeri yang tidak bisa ia tahan lagi.

“Maaf..”

Dewa menarik nafas panjang, dadanya bergetar-getar hebat, “Kamu itu spesial!JANGANKAN NYENTANA? MATI PUN AKU RELA BUAT KAMU!” jerit Dewa sambil menepuk-nepuk dadanya dengan emosional.

Nights in white satin, never reaching the end, Letters I've written, never meaning to send.

Beauty I've always missed, with these eyes before. Just what the truth is, I can't say anymore.

Indira tidak mampu berkata-kata lagi, hanya “ maaf.. huk.. huk… maaf…”

Indira memeluk Dewa.

Sepasang tangis pecah di kamar itu.

“Kamu spesial… karena… kamu… tujuan terakhirku… AKU SAYANG SAMA KAMU! AKU CINTA SAMA KAMU! AKU NGGAK INGIN MERUSAK ORANG YANG AKU CINTA!”

Indira tidak menjawab, hatinya dipenuhi rasa bersalah yang menggelegak. Indira sesengukan memeluk Dewa. Ia benar-benar tidak ingin kehilangannya.

Cold hearted orb That rules the night Removes the colours From our sight

Red is gray and

Yellow white

But we decide

Which is right

And

Which is an Illusion


-Ava-

Ava memain-mainkan bulir padi di depannya.

“He is so nice…” kata Ava, dadanya sungguh sesak mendengar cerita Indira.

Namun ia harus mengakui kekalahannya.

Indira mendengus, “He was so nice…” “Maksudmu?”

“Aku.. gak tahu… aku gak tahu… gak tahu…” Suara Indira demikian lirih mengulangi kata-kata itu sambil terus menghembuskan asap rokok ke dingin malam yang semakin menusuk.

Ava berpikir, sungguh wanita itu makhluk yang sulit dimengerti, karena merekapun tidak mengerti dirinya sendiri.

“Maksudmu, sekarang Dewa berubah?”

Indira terdiam, ia menghisap rokok dan menghembuskannya lagi ke dalam seribu tanya.

Ava berkata, “kamu juga berubah, kan?” Ava menunjuk rokok yang dipegang Indira. Indira tersenyum kecut disindir seperti itu.

“Aku.. gak tahu… tahu-tahu aja… kami jadi seperti ini… rusak…” Kata Indira sambil menatap getir nyala rokok di tangannya.

“Manusia berubah…” kata Ava. “Yeah...” Indira mematikan rokoknya.

“Tapi bisa juga berubah kembali jadi lebih baik, kan?” imbuh Ava.

Mereka terdiam, Indira berusaha meresapi maksud perkataan Ava.

“Naif.” Kata Indira sinis.

“Optimis.” Sergah Ava.

“Penuh angan-angan!” Sindir Indira. “Penuh harapan!” Sanggah Ava. “Pemimpi!”

“Karena manusia memang harus punya mimpi!” “Meski akan terbangun?”

“Wujudkan dong!”

Ava tahu, kata-katanya kepada Indira itu seperti menampar dirinya sendiri. Kata-katanya itu lebih tepatditujukan untuk dirinya sendiri yang baru saja kehilangan harapan.

“Aku tu bingung tahu…” kata Indira lirih. “Bingung kenapa?”

“Bingung sama perasaanku ke…” Indira terdiam sebentar, ia melirik Ava

“Ngapain bingung, aku tahu kok kamu sayang banget sama Dewa.”

“Kamu tahu?”

Ava mengangguk, “dan dari ceritamu aku tahu, Dewa sayang banget sama kamu.”

Sungguh dibutuhkan kebesaran hati yang lebih tebal dari Tembok Besar Cina untuk mengatakan hal ini.

“Kenapa?” Indira memandang Ava dengan tatapan penuh tanya.

Ava tediam, dan ia memandangi lekat-lekat wajah Indira. Serona indah wajah Indira penuh harap yang membuat sebentuk kata keluar dari palung sanubari yang paling dalam:

“karena aku merasa kamu bidadari yang harus dilindungi, harus dibahagiakan,dan harus dicintai dengan seluruh hidupku.”

“karena Dewa merasa kamu bidadari yang harus dilindungi, harus dibahagiakan, dan harus dicintai dengan seluruh hidupnya.”

“Beneran?

“Bener!”

Tentu saja benar!

Ava berkata lagi, “apalagi dia sudah mau.. apa tadi namanya?” “Nyentana..”

“Iya.. itu dah..”

Mereka terdiam.

Ava bertanya, “masih berantem sama Dewa?”

Indira mengangguk.

“Jangan lama-lama berantemnya…” kata Ava lagi.

Mereka terdiam lagi. Lama, sangat lama. Hanya ada hening yang ditingkahi suara jangkrik dan kodok di kegelapan.

“Ava…”

“Ya?”

“Aku merasa beruntung ketemu kamu.”

“Oh..”

“Makasih ya…” Indira menggengam tangan Ava.

Ava cuma nyengir, “Kalo sudah baikan, Bilang maaf juga dari aku, soal yang…” Ava menunjuk pelipis matanya “ yah itu lah…”

“Huuuu! Minta maaf sendiri!”

“Iya deh, nanti kalau dia kesini.”

Indira tersenyum, matanya penuh dengan binar seolah ia baru saja menemukan mimpi dan harapan yang sebelumnya memudar. Sebuah kecupan mendarat di pipi Ava, sebelum bidadari itu beranjak meninggalkan Ava.

“Awas masuk angin!” jerit Indira dari kejauhan.

Kali ini Indira merasa Ava membuatnya mampu bermimpi dan melangkah ke depan.

Ava terpaku melihat langit, ia tidak sadar ternyata langit mendadak cerah dan menampakkan ribuan bintang yang tadi tertutup kelam. Sungguh perasaan Ava campur aduk. Ava ingin Indira bahagia, terlebih dengan segala kehilangan yang pernah dialami Indira, Ava benar-benar ingin bidadari-nya itu bahagia.

Ava tahu satu hal yang pasti: kebahagiaan itu tidak berasal darinya.

Ava meraih HP Android-nya dan mencari sebuah lagu untuk menemaninya ber-galau in the dark. Sesaat kemudian ia sudah menirukan suara Angga Puradiredja dari Maliq n D‟essentials.

Ketika, kurasakan sudah:

Ada ruang di hatiku yang kau sentuh

Oh, dan ketika kusadari sudah: Tak selalu indah cinta yang ada

Mungkin memang ku yang harus mengerti: Bila aku bukan yang ingin kau miliki

Salahkah aku bila, kaulah yang ada di hatiku?

Bila cinta kita tak akan tercipta, Aku hanya sekedar ingin tuk mengerti: Adakah diriku singgah di hati mu?

Dan bilakah kau tahu? Kaulah yang ada di hatiku

Kau yang ada di hatiku, Adakah aku di hatimu?16
 
================================================

Fragmen 18

Everything is Gonna Be Alright

================================================



“Good friends we have had, oh good friends we've lost… along the way….

In this bright future you can’t forget

your past

So dry your tears I say”



Seorang pemuda ceking berkulit hitam dengan rambut gimbal asyik menggoyangkan kepalanya mengikuti alunan suara Bob Marley. Kepalanya menggeleng-geleng seolah hanya ada ada lagu itu saja di telinganya. Ia menghisap sebatang rokok kretek, dadanya yang kurus dengan kalung dari tulang belulang tampak kembang-kempis menghisapi nikotin yang dirasakannya seperti nikmat surgawi, meski ia tahu ada asap yang lebih nikmat dari ini.

“No woman, no cry… No, no woman, no woman, no cry.. woyo… yo… yo…” mulutnya yang ditumbuhi kumis tipis monyong-monyong tidak jelas.

“Woi! Bob! Anjrit! Diajakin ngomong malah nyanyi-nyanyi gak jelas!” Lawan bicaranya tampak kesal, seorang wanita berambut pendek dengan tatoo memenuhi lengan kirinya, Sheena.

“Haha… udah santai aja lagi… Hey little sister, don't shed no tears… woyo.. yo… yo…” Bob terus bernyanyi, sambil menggaruk-garuk kemaluannya yang gatal, membuat Sheena semakin dongkol.

Bar di pinggir pantai itu sudah sepi pengunjung, di pojokan ada beberapa bule kere yang teler setelah menenggak sebotol Arak Bali. Sementara di sampingnya ada sepasang kekasih yang sedang asyik berbincang, seorang bule dan “cewek” nya yang eksotis.

Sebenarnya bar ini meniru konsep bar-bar yang ada di Havana atau Jamaika, sebuah bar eksotis dengan dinding bambu di pinggir pantai, dengan lampu- lampu gantung yang berwarna-warni. Namun kenyataannya Bar itu demikian suram, sesuram bendera besar berwarna merah-kuning-hijau dengan gambar daun singkong di tengahnya, serta foto Bob Marley terpasang menggantikan foto SBY, dan foto Mbah Surip menggantikan Budiono. Melihat bartendernya yang berambut gimbal –Bob- sudah bisa menjelaskan bar ini benar-benar seperti diperuntukkan untuk turis-turis low budget.

“Bantuin gue-lah…” rajuk Sheena. “Bantuin ape non?”

“Gue bangkrut, gue dikeluarin dari band.”

“Tatoo?”

Sheena tak menjawab.

“Suram Bob, udah lah.. please pinjem duit lu.. kalo gak, besok gue dikeluarin dari kost-kostan.”

“Everything is gonna be alright… everything is gonna be alringht….” Bob kembali bernyanyi.

“Ya elah, jaing lu memang ya! Gini yang namanya temen SMA?”

“Sante non, everything is gonna be alright..” Bob menuangkan segelas Arak kepada Sheena.

Sheena menenggak habis arak itu. “Everything is gonna be alright kalo lu minjemin gue duit!”

Bob terkekeh, “bisnis sedang sepi.. lagian, gue gak nyangka lu bakal balik lagi ke Bali.”

“Terus?”

“Ya, gue gak nyangka aja, setelah apa yang...”

Sheena menukas ucapan Bob, “Gue gak bisa lari terus-terusan, Bob.”

Ucapan Bob terakhir benar-benar membuat Sheena galau. Ditenggaknya habis gelas kedua, dihisapnya rokoknya dalam-dalam. “My life is messed up!” batinnya.

Sheena memandangi laut yang menghitam di depannya, suara debur ombak bercampur suara alunan musik regeae semakin membuatnya gundah. Hanya obrolan sepasang kekasih yang duduk di sebelahnya yang membuatnya tersenyum geli. Sungguh aneh sekali yang mereka perdebatkan. Sheena tersenyum mendengar ucapan si cewek eksotis.

“The one and only disadvantages for being atheist is: you‟ll never get an angpau!” katanya kepada si Bule.

“What is angpau?” si Bule tampak kebingungan. Sheena tertawa mendengarnya, si bule mendengar tawa Sheena, “Escuse me.. miss? Do you believe in God?” tanya si Bule kepada Sheena.

Sheena tersenyum, sambil menghembuskan asap rokok.

“I did Believe in God.” Jawabnya dingin.

Angin laut berhembus memenuhi Bar The Rastafarian Pilgrims milik Ketut Bob, teman SMA Sheena.

Dingin menerobos masuk, mencuatkan aroma samudera dan Arak Bali ke segala penjuru ruangan Bar yang terbuat dari bambu. Bar itu demikian suram, dengan lampu hias kecil yang berkelip-kelip dan alun musik reggeae yang mendayu seperti daun pohon kelapa di sekelilingnya.

Sheena memandangi gambar Bob Marley yang menggantikan foto SBY, dan Mbah Surip yang menggantikan foto Budiono. Malam ini Sheena benar-benar galau, galau karena dipecat dari band, galau karena hutang-hutangnya yang menumpuk. Bahkan sore tadi penagih hutang dari Jakarta sudah menelpon dan menerornya berkali-kali.

“Lu berubah Na,” kata Bob sambil menggaruk-garuk rambut gimbalnya, yang sudah cocok menjadi sarang kecoa.

“People Change..” Sheena menyalakan rokok kedua.

Bob menghela nafas, “Man, c‟mon… Apa yang dibilang Awan kalau dia ngeliat lu?”

Sheena menggebrak meja, tamu-tamu lain sedikit terkejut. Sheena menatap tajam ke arah Bob “Bob! jangan sebut-sebut nama dia! Jangan rusak mood gue!”

Ucapan Bob yang terakhir benar-benar mengusiknya. Sheena menenggak segelas Arak lagi, namun rasa arak itu seperti melipatgandakan pahit di dadanya, memerangkapnya dalam ruang nostalgia.

“Apa mimpi mu?”

“model! Aku mau jadi model!”

“kalau gitu aku yang jadi fotogafer!” “terus?”

“Aku yang motret kamu buat Vogue!” “Asyik!”

“Kita wujudin mimpi kita!”

“Serius?”

“Serius!”

“Janji?”

“Janji!”


Ingatan itu memekat di dadanya. Ia mendengus, dan menenggak pahit arak.

Sheena membatin, betapa manusia itu begitu mudahnya bermimpi, begitu mudah bercita-cita. Namun apa yang tertinggal dari sebuah mimpi?

Bob memegang punggung tangan Sheena melihat perempuan itu mulai bergetar pundaknya.

“Everything its gonna be alright, Na.”

“Apanya yang alright? Dasar naif!” cibir Sheena.

“Ya elah, dihibur malah gitu jawabannya. Kalo gak gonna be alright mau apa? Mau gonna be worse? Ya gak mungkin lah man… apa kata Bob Marley kalau gitu?”

Bob mengusap pelan punggung tangan Sheena. Bob tahu, usapannya itu tak sebanding dengan 'dia'. 'Dia' yang dulu selalu meneduhi setiap galau Sheena.

Dada Sheena mendadak memedih, ia menghirup rokok dalam-dalam. Sebuah kenangan bergulir.




==============================================

Fragmen 19

Requiem of The Broken Dream

==============================================

Apabila hidup adalah sebuah sinema dalam teater imajiner maharaksasa, dan kita dapat merunut sebuah titik dari roll -memutar ulang, maka tatoo di lengan Sheena perlahan akan menghilang, dan rambut pendeknya akan kembali memanjang sepundak.

10 tahun yang lalu, cewek punker bertatoo naga itu tentu akan kembali menjelma menjadi gadis manis dengan pipi membundar, lengkap dengan poni menutupi kening dan sepasang mata bulat yang bergerak lucu di balik kacamata kotak.

Ya, andaikata hidup dapat diputar ulang seperti roll film, maka tentu 'dia' masih berada di situ: Pemuda berseragam putih-abu, berambut ikal, dengan sepasang mata yang menatap teduh, seperti sekumpulan uap air yang bergumpal putih di biru langit.

“Made Wirawan, panggil aja Awan.”

“Aku Putu Sheena Rainia.” Sheena tersenyum.

“Aku gak pernah lihat kamu pas MOS?” kata Awan sambil menyiramkan air ke dalam kakus yang penuh dengan #$@.

“Iya, waktu itu aku sakit.” Sheena mungil tersenyum sambil membawa ember. Ia sangat manis dengan pipi bundar dan rambut poni pendek dipotong model tahun 60-an.

“Kamu kelas apa?”

“I-3, kamu?”

“Wah sama! Aku juga kelas I-3!”

"KLOTAK!!"Terdengar suara gayung dilempar.

“Woi! Pacarannya nanti aja! Bantuin napa? C‟mon man,apa kata Bob Marley kalau kita nggak kompak!” Seorang cowok kurus dengan rambut keriting mengomel, sambil menyikat kakus yang berkerak dan berbau pesing.

“Haha! Yang itu namanya Bob, Ketut Bobby Saputra, dia juga sekelas.” “Hai Bob!” Pipi Sheena merekah menyapa Bob.

Bob, Awan, dan Sheena. Tiga remaja yang baru mengenakan seragam putih-abu, sama-sama dihukum saat terlambat di hari pertama sekolah di SMA, 10 tahun lalu.

Dari sini dimulailah sebuah babak baru kehidupan Sheena, dan tak butuh waktu lama ketiganya menjadi sahabat dekat. Apalagi Awan dan Sheena tergabung dalam ekstrakulikuler yang sama: Klub Jurnalistik.

= = = = = = = = =

Berjalan di samping Awan membuat Sheena merasa dipayungi oleh suatu keteduhan yang tidak dapat ia jelaskan. Berbincang dengan Awan dapat membuat Sheena remaja mengeluarkan segenap sampah hatinya, sehingga dadanya yang sesak mendadak lapang selapang langit biru.

Awan adalah orang yang meneduhi Sheena di saat ia sedih, dengan sabar menghiburnya saat ia patah hati. Perhatian Awan seperti butiran air yang dicurahkan langit, menyiram benih-benih cinta di hati Sheena, membuatnya bertunas, dan seiring waktu bertumbuh subur menjadi sebuah klise: sahabat jadi cinta.

Namun Awan tetaplah seperti itu, sekumpulan uap air: bergumpal putih di biru langit. Terlihat, tapi tak tersentuh.

Tak apa, karena menurut Sheena, Awan tetaplah awan: bisa menyampaikan cinta tanpa berkata-kata. Yang perlu ia lakukan hanyalah memandang langit, menunggu hujan.

= = = = = = = = =

Suatu hari, sepulang sekolah Sheena dan Awan nongkrong di SekretariatKlub Jurnalistik. Awan mengutak-atik kamera dan sesekali memotret-motret Sheena. Lampu blitz berkilat-kilat di wajah Sheena yang sedang sibuk menggambar komik untuk majalah sekolah.

“Ih Awan! Apaan sih!”

“Ye, geer! Gak ada film-nya ini! cuma ngetes fokus kameranya Bli Suar!”

“Hehe…”

“Cocok” guman Awan.

“Cocok napa?”

“Cocok jadi model! Gantiin Kak Luna.”

“Ngejek YAH!”

“Eh serius nih!” Awan mendekat, melepas kacamata Sheena. Hati gadis itu sungguh berdebar melihat wajah Awan yang mendekati wajahnya, “Nah gini kan cakep…” Kata Awan sambil memperhatikan wajah Sheena yang sangat manis.

Sheena tersipu sambil memainkan rambutnya. “Awan, kamu serius aku cocok jadi model?”

“Dua rius! Kamu lebih natural dari Kak Luna!” “Hihi…”

“Kenapa?”

“Kayaknya mimpinya ketinggian deh.”

“Lho, apa salahnya punya mimpi?”

Lalu Awan menjelaskan tentang visi hidupnya. Bahwa hidup manusia harus dipenuhi mimpi. Kita harus berani bermimpi, tapi jangan hidup dalam mimpi! Kita harus mewujudkan mimpi itu!

Sheena berbinar-binar menyaksikan betapa benak pemuda itu dipenuhi dengan mimpi-mimpi. Sheena merasa, Awan membuatnya berani bermimpi dan melangkah ke masa depan.

“Oke, sekali lagi ya kutanya: apa mimpi mu?”

“Komikus!”

“Komikus? Hmm boleh juga… Gak pengin jadi model?” “Pengeen jugaa! Aku mau jadi model!”

“kalau gitu aku yang jadi fotogafer!” “terus?”

“Aku yang motret kamu buat Vogue!” “Asyik!”

“Kita wujudin mimpi kita!”

“Serius?” “Serius!” “Janji?” “Janji!”

Dan mereka mengaitkan jari, saling membuat janji.

= = = = = = = = =

“Tapi dia gak pernah nepatin janjinya kan, Bob?” Sheena menghembuskan rokoknya dengan hampa.

Bob terdiam, barnya sudah sepi. “tapi aku tahu, sampai akhir Awan berusaha nepatin janjinya.”

Sheena menenggak arak. “nyatanya?”

“Itu bukan keinginan kita! Bukan keinginanmu, atau keinginan Awan kalau mimpinya gak terwujud!”

“Makanya dari saat itu aku gak mau lagi mimpi! Aku gak mau lagi bercita-Cita!”

Sheena mendengus, dan menenggak arak lagi. Betapa manusia itu demikian mudahnya bermimpi, demikian mudah bercita-cita. Apa yang tertinggal dari sebuah mimpi? Hanyalah sebuah bangun di pagi hari, hanyalah sebuah tiada dari asa yang memudar!

= = = = = = = = =

Mimpi itu kini terbaring beku di Bale Daja. Rempah dan sebalut kain membaluri tubuhnya, menebarkan aroma wewangian yang membaur dengan asap dupa dan pekat tangis yang memenuhi udara. Juru kidung menembangkan kekidungan yang mengalun lirih untuk mengiringi seseorang yang akan menempuh sebuah perlawatan panjang. Seorang wanita terisak, menghaturkan sesaji untuk tubuh yang tak lagi bisa bermimpi itu.



Sheena duduk di pojokan, lengan kiri dan dahinya masih dibebat perban. Dadanya dipenuhi dengan isak yang tak juga berhenti bergolak. Ia menutup mulutnya dengan tangan, sementara lara melelehi pipinya yang penuh lebam.

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana

Dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api

Yang menjadikannya abu.

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana

Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan

Yang menjadikannya tiada.


(Aku ingin | Sapardi Joko Damono)

= = = = = = = = =

Dadanya kian sesak, di pelupuknya sudah menggunung air mata, namun ia tak mau terlihat lemah di depan Bob, Sheena menenggak segelas arak lagi.

Sheena memandangi tangan kirinya yang penuh tatoo. Tatoo itu sekilas berbentuk naga, namun sisik-sisiknya merupakan tumpukan manusia yang merangkak dibalut nyala api yang membentuk tulisan “Inferno”. Sheena meraba punggung Si Naga yang membentuk tulisan “Purgatorio”, ada bagian yang menonjol memanjang sampai tulisan inferno. Sebuah bekas luka bakar.

“Wound heals, but scars wont” kata Sheena lirih.

= = = = = = = = =

Semenjak saat itu Sheena berpindah-pindah tempat tinggal. Setelah melanjutkan sekolah di Jogja, Sheena akhirnya sampai di Jakarta yang dipenuhi gedung pencakar langit dan kemacetan yang berurai seperti karnaval.

=========================

Jakarta,

beberapa Tahun Kemudian

=========================

...Masihkah langit mendung di bumi seperti waktu

Kutinggalkan kemarin dulu?

Apa yang kucita-cita? Tak ada lagi cita-cita Sebab semua telah terbang bersama kereta- ruang ke jagat tak berhuni....

...Angkasa ini bisu. Angkasa ini sepi

Tetapi aku telah sampai pada tepi

Dari mana aku tak mungkin lagi kembali.....


(Manusia Pertama di Angkasa Luar | Subagio Sastrowardoyo_

Kehilangan telah mengevolusi seorang gadis mungil berambut poni menjadi seorang wanita berambut pendek yang merajah tubuhnya sendiri dengan kurva dan berbagai warna. Matanya menatap tajam pada ujung jarum yang merajam nyeri, namun tak juga ia meratap dan memejam. Ia mengabaikan perih dan ngilu yang seperti hantu.

“Buset! Woy! Inventaris studio jangan lu pake sendiri!”

“Pelit lu, Su!” kata Sheena sambil terus menggurat jarum ke atas kulitnya.

“Haha… potong gaji then..” Cowok brewokan penuh tatoo duduk di sampingnya.

“Suar… Suar… Sama adik kelas aja pelit…!” kata Sheena sambil menenggak Jim Beam langsung dari botolnya.

“Ck.. ck.. makin banyak aja tatoonya” kata cowok brewokan itu.

Sheena tak peduli, ia terus menggurat kata “Inferno” di atas bekas luka itu.

“Peduli apa lu?”

“Peduli lah!”

“Santai aja, mulai besok gue gak bakal ganggu lu lagi. Besok gue ke Bali”

“Hah? Ngapain balik ke Bali? Orang tua lu kan udah pindah ke Jogja?”

Sheena tersenyum dingin “Menantang masa lalu.”

Suar tertawa, “apanya yang menantang masa lalu.”

Sheena tersenyum kecut.

Suar berkata lagi, “jangan ngerusak diri gini lah, lu ke Bali mau hidup apa? Modal apa? Orang tua lu kan nggak biayain lu lagi semenjak lu D.O.”

“Gue dah minjem duit.”

“Jaminan?”

“Gak make, gue minjem duit sama Boss Jaya.”





“Anjrit! Lu tahu kan siapa dia! Dia Boss Preman di Jakarta! Jaringannya bahkan sampai Surabaya dan Bali!”

“Tahu, dan gue ngontrak di Rumah Susunnya, kan.”

“Gila!” Suar menggeleng-gelengkan kepalanya. “Dia itu ga ragu-ragu buat..” “Biar...” Sheena menyalakan rokok. “gue pasti bisa ngelunasin.”

“Ah, sudahlah! Bingung gue!” Suar nampak putus asa. “Besok gue berangkat, bisa antar ke terminal?”

Suar mengangguk. “Hati-hati ya... kalau ketemu, salam buat Kadek, dan Bob.”

= = = = = = = = =

“Hahaha... gue sampai lupa ada salam dari Bli Suar” kata Sheena kepada Bob sambil menenggak arak.

“Oh, Bli Suar... yang temennya Bli Kadek itu, ya...” “BRAAAK!!” Sheena terjatuh ke Lantai, mabuk. “Na? Na! Bangun woy...”

“Aku... bingung... Awan... aku... gak... tahu... harus ke mana lagi...”. racau

Sheena.
 
=====================================

Fragmen 20

Verdure

=====================================

Sheena terbangun di kamarnya. Semalam ia menenggak bergelas-gelas arak hingga harus di antar pulang oleh Bob. Pagi ini, ia mendapati dirinya terbaring dengan selimut yang menutupi tubuhnya.

Sheena melihat kertas putih terlipat di sebelah kepalanya, ada 5 lembar uang merah, dan tulisan : kemaren gue dapet rejeki, jualan daun singkong… Cuma segini yg bisa gw bntu…

Hey little sister, don shed no tears…

Everything is gonna be alright..

Bob

P.S: ga usah di balikin

Sheena tersenyum. Uang itu mungkin masih jauh dari cukup untuk membayar hutang-hutangnya, namun cukup untuk memberi harap baru di hati Sheena.

“Awan, aku gak sendiri...” bisiknya. Sheena memandangi jendela-nya yang masih gelap.

hush now, the morning's is too dark high as a kite, as blue as your eyes

Segelap awan kelabu memayungi Ubud Pagi itu, Namun para petani berangkat pagi-pagi memanen padi yang masih dibungkus warna monokrom yang cukup pekat.

Pagi-pagi sekali Indira dijemput mobil Dewa ke sekolah. Ava hanya bisa melihat dari kejauhan binar senyum Indira yang merekah-rekah melihat hadir kekasihnya.

i'm putting out reasons and see how far it'll go go waste your time

with those heart.


Ava sadar, pagi ini satu mimpi harus berakhir pada bangun di pagi hari. Oke, Ava harus menerima kenyataan bahwa Indira dapat lebih bahagia bersama Dewa daripada bersamanya. Ava menghela nafas, dan membasuh wajahnya dengan air. Ia mengambil mata pisau dan memangkas brewok tebal di wajahnya, mencoba membuka harap baru di balik itu.

coldheart razorblades flesh from the lovers

words about tomorrow feels so far away


Dipandanginya wajahnya di cermin, benar-benar seperti wajah baru yang jauh berbeda dengan wajah Che Guevara-nya. Ava mengambil handuk kecil.

Sheena mengusap wajahnya yang basah oleh sisa mandi. Pagi masih gelap, menyisakan pengap gelap yang menutupi sekelumit harap. Namun Mbok Made, pemilik kost-kostan sudah berpakaian rapi dengan kain dan selendang melingkar di pinggangnya. Menghaturkan dupa dan sembah takzim di Pura kecil di pojokan. Sheena melambaikan tangan, mengangsurkan beberapa lembar uang yang disambut binar mata wanita paruh baya itu,

Sheena kembali berharap, tidak untuk besok hari, tapi untuk hari ini. Esok demikian entah, seperti entah kapan penagih hutang dari Jakarta itu akan datang. Tapi Sheena tidak peduli, yang ia miliki hanyalah detik ini.

hopes will prevail and we'll be ok now

Seperti harap yang ditemukan Indira. Yang membuat gadis itu menggenggam tangan Dewa

“kenapa tiba-tiba?” tanya Dewa. Indira tersenyum, “pengen aja…”

“Kamu berubah…”

“Manusia berubah...” Indira membelai punggung tangan Dewa. “… jadi lebih baik.”

Dewa tidak menjawab, tetap berkonsentrasi menyetir, “kenapa tiba-tiba jadi naif gini?”

Indira tersenyum, “optimis…”

Dewa tertawa, “semua butuh waktu.”

“Then, I‟ll wait.”

Indira tersenyum cerah, secerah cercah terbit matahari yang menyeruak dari balik gelap awan.

summer i'll wait for you!

winter i'll wait for you!



Terbit matahari yang sama yang dipandangi Ava dari balik kacamata hitam

bundar-nya. Menerbitkan secercah harapan dan mimpi-mimpi baru di dadanya. Pagi ini sebuah mimpi harus usai, dalam sebuah tidur yang harus terbangun. Mudah-mudahan malam nanti terbit mimpi yang lebih indah, yang menanti untuk diwujudkan.

“Haiz! Kok ada Fachri Albar di sini?” Ledek Kadek.

Ava tersenyum kecut diledek demikian.

“Ayo! Nanti telat! Ini misi penting!” kata Kadek, sambil menstarter Skuter tuanya.

Indira menyenderkan kepalanya di kaca mobil dan tersenyum melihat sinar mimpi yang berkilau. Sheena memandangi leret-leret manusia yang mengejar asa di tengah hiruk pikuk Kuta yang baru terbit. Sementara Ava menghirup harap dari segar aroma persawahan yang bertingkat indah ditimpa cahaya fajar.

Tiga orang itu menatap sekelumit harap yang terbit dari balik pengap gelap. Hopes will prevail!

**********

Beberapa puluh kilometer dari tempat itu, di Selat Bali. Matahari sudah muncul dari cakrawala. Sinarnya berkilat-kilat di atas ombak yang bergoyang tenang, setenang wajah lelaki dengan kumis tebal yang merokok di atas geladak Kapal Ferry nan lapuk. Sesekali ia memuntir kumis pak radennya yang membuatnya seperti seorang preman tanah abang.

Telepon berdering.

“Halo? Bu Ida?”

“Sedang nyeberang bu, sebentar lagi sampai.”

“Beres! Kali ini pasti beres!”

“Setoran kali ini pasti lebih banyak! Rugi saya nagih jauh-jauh sampai Bali!”

Kapal berguncang keras saat merapat di pelabuhan. Terdengar suara berdesis saat gerbang besi dibuka.

“Kalau saya gagal, jangan panggil saya Jaka Samudera, The Debt Collector”




DENPOST

MEMBEDAH JANTUNG DAN KEGELAPAN BALI

RABU, 16 ***** 2012. NOMOR 4519 TAHUN KE-14 ECERAN RP 2.500

**************************************************

Ricuh Di Kuta

Diduga Karena Kutang-Piutang

Kuta, DenPost.

Kasus main hakim sendiri terus saja terjadi. Kali ini terjadi di bilangan JL. Poppies II, Kuta. Selasa, 15/** kemarin. Keributan ini sempat membuat panik pedagang dan wisatawan karena melibatkan kelompok preman yang menggunakan senjata tajam.

“Dugaan kami, kericuhan ini terkait hutang piutang. Kemungkinan melibatkan sindikat dari Jakarta.” Kata Kapolsek Kuta Selatan Kompol Putu Dedi Ujiana.

Kronologi kejadianya, menurut Kapolsek, sekitar pukul 12.00 siang beberapa penagih hutang mendatangi Studio Tato AWTDT. Namun karena yang ditagih melakukan perlawanan dan mencoba melarikan diri, tak ayal terjadi kericuhan di sepanjang JL. Popies II.

Saat ini Polisi belum menetapkan tersangka dalam kasus ini. Hanya ada seorang saksi yang masih dalam keadaan kritis di RSUP Sanglah.

Bersambung ke halaman xx.

=============================

Fragmen 21

The Debt Collector

=============================

Sehari sebelumnya....

“Stop pak!” kata Jack menghentikan tukang ojek yang memboncengnya di depan sebuah gerai Quicksilver. Hari sudah terik dan matahari siang mengintip dari balik baliho iklan operator selular. Jack menyeka jidatnya yang penuh keringat. Sudah hampir jam 12 saat Jack sampai di Kuta, di tempat target operasinya kali ini.

Jack berjalan memasuki gang kecil bertuliskan “Jl Poppies II” yang disesaki toko souvenir yang menjual kaus “Bir Bintang” dan “I Love Bali” yang digantung berjejer-jejer. Sepasang cewek Bule berpelukan mesra, berpapasan dengan Jack, sekilas Jack menyaksikan mereka berciuman bibir, “bujubuneng, lesbong... dah bosen ma cowok kali ck ck ck...”



Mata Jack tak henti-hentinya jelalatan melihat bule-bule yang berpakaian minim, “seksi-seksi amat ye..”. Jack sempat berpikir bagaimana bisa ngentot dengan salah satu Bule di sini, namun otaknya segera fokus pada misinya.

Jack mengeluarkan Hand Phone Androidnya, dan menekan layar sentuh, muncul lah tampilan misi:

Nama : Sheena Rainia Usia : 25 tahun Ukuran cup :34 c

Ciri-ciri fisik : Rambut pendek, Lengan kiri bertato,

Wajah mirip Gemala Hanafiah tapi rambut pendek.

“Cakep juga, biar tomboi, tapi lumayanlah...” Jack tersenyum mengingat petualangannya sebagai tukang kredit mesum dahulu. Sebenarnya saat ini Jack sudah hidup tenang sebagai Office Boy, namun keadaan memaksa Debt Collector Mesum ini untuk turun gunung.

Jack berhenti di depan sebuah Studio Tatoo bertuliskan “Angel With The Dragon Tatoo”

“Beneran alamatnya di sini?” batin Jack.

= = = = = = = = = = = =

“Angel With Dragon Tatoo

Jl. Poppies II no XX”

“Beneran alamatnya di sini?” kata Ava sambil memandangi sebuah kartu nama.

“Bener! Kata Indira di sini tempatnya, kan dia yang ngasi kita kartu nama.” Sahut Kadek yang duduk di sebelahnya dan tengah sibuk mencari-cari tempat parkir sambil meliukkan Skuter bututnya di antara kemacetan.

Suara skuter itu demikian ribut di tengah kemacetan Kuta di siang hari. Beberapa bule nampak terganggu dengan suaranya.

“Ini kan cewek yang waktu itu, Dek! Yang waktu kita rusuh di Pub itu!” “Iya, kamu inget yang dibilang Pak De?” Kadek menyahut tanpa menoleh, matanya menatap tajam pada kemacetan yang menggila.

“Kadek... Ava... saya perlu model satu lagi, cewek... buat counterpart-nya Indira selain sama Ava.” kata Pak De saat sedang menyelesaikan lukisannya Indira dengan Ava malam kemarin.

“Luh Sari saja, jik..” kata Kadek sambil menelan ludah melihat Indira dan Ava berpelukan dalam keadaan tanpa busana.

Pak De berjalan ke sana kemari, tangannya sibuk mengambar-gambar di udara.

“Saya perlu model yang liar! Yang binal! Yang maskulin! Yang berlawanan dengan Indira! Saya perlu Yin dan Yang! Rwa Bhineda!” Seru Pak De. Ia tampak sangat ambisius kalau masalah lukisan.

Ava dan Indira berpandangan, di benak mereka muncul satu wajah. Ah, barangkali orang itu berminat.

“Tapi perasaanku gak enak Dek.”

“Kenapa?”

“Gak tahu, pas waktu itu aku ketemu dia, perasaanku gak enak aja.”

“Dikasih gula aja biar manis!”

Ava menghela nafas , entah apa yang ada di benaknya.

“Udah, noh di seberang jalan tuh poppies II” kadek menunjuk gang kecil di seberang jalan.

“Hmm..”

“Kamu yang jalan, aku nyari tempat parkir di depan.”

“Wah curang!”

“Hahaha... ini yang namanya efisiensi... udah sante aja, diomongin aja dulu.Tuh ada yang keluar, aku parkir dulu.”

“Beh, seenaknya aja...”

= = = = = = =

“Lu ini seenaknya aja!” seru Sheena sengit.

Jack bingung. Ia mengintip dari kaca jendela.Ternyata di dalam sudah ada 5 orang berbadan tegap yang sedang adu mulut dengan Sheena. Pemimpinnya berbadan kecil namun kekar, dengan rambut gondrong dan kumis yang tak kalah tebal dengan Jack.

“Seenaknya gimana?”

“Hutang gue sama Boss Jaya, kan Cuma sejuta! Terakhir kali malah jadi 5 juta! Sekarang kenapa jadi 12 juta!?”

Ah, ternyata Jack bukan orang pertama yang menagih hutang ke Sheena.

“Bunga.. non... bunga... ”

“Makan riba luh!”

Sheena mendengus kesal, teringat ia terpaksa berhutang pada seorang lintah darat untuk modalnya ke Bali.

“Tenang... tenang... ada apa ini bapak-bapak?” Jack memasuki ruangan dan mencoba menengahi.

“Eh, lu siapa? Jangan ikut campur!” bentak si lelaki kecil berkumis.; “Loh, elu yang siapa?” tantang Jack.

“Siapa lu?”

“Lu siapa?”

“Siapa lu?”

“Lu siapa?”

“Siapa lu?”

Begitu terus tidak habis-habis.

“Gue Jaka Samudra! The Debt Collector!”

“Gue Mad Dog! MANUSIA PALING GREGET DI ALAM SEMESTA!!!!!!”

Jack menelan ludah, ia tahu Mad Dog adalah tangan kanan Jaya, Raja Kriminal di Jakarta, yang pengaruhnya bahkan sudah sampai Bali.

“Apa lu!” Mad Dog mulai mendorong-dorong tubuh Jack. Jack tampak tidak terima sehingga terjadi sedikit keributan antara Jack dan anak buah Mad Dog.

“PRANG!!” terdengar pecahan kaca. Suasana sedikit kacau, hal ini dimanfaatkan Sheena untuk melarikan diri.

“WOOOOI!!! JANGAN LARI!!! BANGSAT!!!” Mad Dog melepas cengkeramannya di kerah Jack, dan memerintahkan anak buahnya mengejar Sheena.

= = = = = =

Ava melangkah gontai di gang Poppies II yang sempit. Pagi ini Ava menyadari bahwa mimpinya untuk bersama Indira harus berakhir, dan ia berharap akan menemukan mimpi baru yang lebih indah. Namun ia tidak menyangka bahwa mimpi baru yang menantinya adalah mimpi buruk....

“BRENTI!!! ANJING!!!” kata seorang berambut gimbal sambil mengacungkan parang.

Ava tidak sempat berpikir panjang. Di depannya ada seorang wanita yang berlari ke arahnya dan diikuti oleh gerombolan Suku Barbar pemakan manusia, yang mengacungkan golok dan parang.

"Minggir! Woy!” bentak Sheena sambil terus berlari ke tempatnya berdiri.

“JANGAN LARIIII!” teriak Mad Dog, melotot dengan wajah seperti preman Tanah Abang ke arah Ava.

Wajah Ava pucat pasi, nalurinya berkata: ia juga harus ikut kabur, balik badan dan mengambil langkah seribu!

"Ngapain lu ikut lari!!! tolol!"

"Maaaaak Tolooooooong....!!" Jerit Ava histeris, tidak tahu kenapa ia harus ikut kabur.

"AAAAH! TOLOL!" Sheena menjerit, gusar.

Sepanjang hidupnya Ava belum pernah dikejar-kejar seperti ini. Terakhir kali malah ia yang mengejar maling sandal di kampungnya. Kali ini Ava hanya bisa berlari dan terus berlari, sekuat tenaga. Paru-paru dan jantungnya hampir meledak, namun ia tidak bisa berhenti.

"Anjeeeeeeng!!!!

Umpatan primitif, serta jeritan ketakutan kian membahana. Sementara gerombolan pegejar mengacungkan parang, mengular di gang sempit yang dipenuhi art shop dan losmen murah. Dekat! dan kian dekat.

"Ke kiri! ke jalan besar!" jerit Ava.

= = = = = = =

“You know me so well….” Kadek sedang duduk santai di atas vespa, merokok sambil mendengarkan lagu di hp. Ketika Ava muncul dari sebuah gang dan berteriak histeris.

"DEK!!! KADEK!!! NYALAIN MOTOR DEK!!!!” teriak Ava histeris pada Kadekyang sedang asyik merokok.

Kadek shock setengah mampus melihat Sheena dan Ava dikejar seperti perburuan komunis. Dibuangnya rokoknya, dan segera di stater Vespa tua itu.

“BURUAN!!!”

Skuter itu tak mau menyala! “DEEEEK!!!” massa semakn dekat. Masih tak mau menyala!!!

“KADEEEEEEEK!!!" Parang mengacung di belakang Ava.

“BRUUUUUM!!!”

Ava dan Sheena segera meloncat ke atas Skuter. Kadek tancap gas dan...

“ANJIIIIIIIING!!!!” teriak seorang sambil mengayunkan parang ke punggung Ava, namun luput karena Kadek keburu melaju.

Kadek, Ava, dan Sheena berteriak histeris. Jalanan Kuta macet! dan massa terus mengejar!

"Naik trotoar, Dek!"

Segera skuter butut yang dinaiki 3 orang melesat di atas trotoar. “BRUUUM BRAK! BRRRRUM! BRAAK!” Skuter itu melompat lompat di atas trotoar yang naik-turun. Bule-bule yang berjalan segera berhamburan histeris melihat kelakuan barbar warga pribumi.

“DI DEPAN ADA POS PULISI!!” jerit Sheena.

Benar, Pak Pulisi yang sedang asyik mencari mangsa terkejut melihat ada Skuter Gila, dinaiki 3 orang, dan ngebut di atas trotoar.

“STTTTTOOOOOOP!!! ” Jerit Pak Pulisi histeris, terlebih melihat kumpulan massa mengejar di belakang.

Kadek tidak peduli.

“BREEEENTIIIII” massa rerus mengejar sambil mengacungkan parang.

Pak Pulisi mecabut senjatanya.

“DOOOOOR!!!”




================================

Fragmen ??

Debris

================================

Kadek tetap melaju melewati Pak Pulisi yang pucat pasi. Gerombolan massa itu jauh lebih mengancam ketentraman masyarakat dibanding 3 orang nekat yang mengendarai Vespa.

“DOOOR!!” tembakan kedua dilepaskan ke udara.

Ava menoleh ke belakang, terjadi keributan antara polisi dan gerombolan suku barbar itu. 500 meter, tidak ada pengejar. Entah apa yang terjadi di belakang sana, mereka tak peduli.

********

“Gue terima! Jadi model telanjang atau apapun! Asalkan gue pergi dari sini!”

Kata Sheena saat mereka beristirahat di tempat yang aman.

“Aku yang gak setuju Va! Kata kadek. “Cewek ini terlalu berbahaya!”

“Berbahaya gimana? Memang salah gue kalo gue dikejar-kejar preman?” protes Sheena.

“Gak bisa!”

“Plis, bawa gue keluar dari sini!” bujuk Sheena.

Ava tidak bisa berkata apa-apa , ia hanya menyeruput teh manis dalamkantung plastik. Matanya melirik ke kanan dan ke kiri seperti menonton pertandingan ping-pong, melihat Kadek dan Sheena yang berdebat.

“Plis! Plis! Plis! Plis!”

Gesture dan cara Sheena berbicara membuat Ava berkata, “sudahlah dek, ditanyain aja sama Pak De.”

“Tapi, Va...”

“Plis..”

Kadek membanting bungkus rokok dengan gusar, “oke... oke... besok kami hubungi....”

Kadek pergi ke arah Skuternya, “ngapain ikut?”

“Lho memangnya gue harus kemana? Balik ke tempat kos? Cari mati... gue ikut ke tempat kalian aja!”

“Gak!”

“Udah.. laah..” Sheena naik ke atas skuter.

“Set dah! Bikin mangkel aja! Tapi masa bonceng 3 gak pakai helm lagi!”

Sheena nyengir. Ava geleng-geleng kepala melihat dua orang itu.

“Ah!” Ava berseru ketika melihat Bus Trans Sarbagita melintas.

*********

“Jangan macam-macam! Kalau sampai Masalahmu merembet ke tempat Pak De, awas!” kata Kadek, sambil menyetarter motor. “Va, kamu sudah ngerti kan?”

“Berhenti di halte Batu Bulan, beres.”

Kadek berlalu dengan gusar, meninggalkan Ava dan Sheena menunggu bus. Agak lama mereka menunggu.

“Lama ya...” kata Sheena sambil sesekali melongokkan kepala ke ujung jalan. “Iya, lama.”

“Hidupku kacau.”

Ava melirik ke arah Sheena, “kelihatan, kok... kacau.”

“Apa maksudmu?”

“Gak.. gak papa” Ava pura-pura cuek, malas membuat masalah.

“Yah, mau gimana lagi, cerita hidupku benar-benar kacau. Penuh debris!” keluh Sheena lagi.

“Tapi bukan berarti tidak bisa dibereskan, kan?” “Naif.” Sindir Sheena.

“Optimis.”

Sheena tersenyum tipis, Ava mengingatkannya pada seseorang. Sheena memperhatikan wajah Ava, “kita pernah ketemu belum, sebelumnya?”

“Di Pub?”

“Sebelumnya! Kamu pernah sekolah di Bali?”

“SD-SMP-SMA aku di Kroya.”

“Kuliah?”

“ISI Jogja.”

“Oh, aku IKJ”

“Ya, mungkin pernah ketemu pas pameran Ruang Rupa.”

“Mungkin.. kali?” Sheena sungguh malas mengingat-ingat lagi.

Lama mereka menunggu.

“Lama ya?” “Iya...”

Dan yang dinanti tak kunjung datang.

VERSI 2012 BERAKHIR SAMPAI DI SINI, HABIS INI MASUK KE SEASON 2 YANG ADEGAN AVA DAN PAKDE BIKIN PENJOR DAN INDIRA DAN SHEENA MANDI BARENG, DAH KACAU BET WAKTU ITU PLOTNYA AMPE ADA KEJAR-KEJARAN MAD DOG SEGALA

SISANYA SAMA, CUMA BEDA DI SEX SCENE AJA, DI VERSI 2012 ADA ADEGAN:

INDIRA-SHEENA LESBIAN PAKE BOTOL SAMPO DIMASUKIN

INDIRA-LUCILE LESBIAN

PERKOSAAN SHEENA YANG EKSPLISIT

KENAPA DIHAPUS? YA KARENA TIDAK BERPENGARUH SAMA PLOT,
 
Saya juga mau di PM bos, kisah ini makin diulang bacanya makin asyik rasanya
sudah ane aplod semua gan yg versi 2012

Apresiasi terbaik untuk penulis adalah feedback. Karena saya baru baca Carita ini -sampai selesai-

Saya menghaturkan terima kasih kepada penulis untuk gelombang emosi yang bermacam-macam, segala detail penulisan, perumpamaan, gambaran lokasi dan flashback yang ditulis dengan sedemikian menggugah mata, pikiran dan hati dalam membaca.

Saya nangis di beberapa Fragmen, ikut "ehem" juga (bahkan untuk adegan 'sejenis'), ikut menebak2. Saya salut karena setiap detail dari tokoh yg diceritakan tidak ada tubrukan sama sekali.

Agak kesal karena baru klik thread ini setelah sekian lama seliweran dan mengabaikan thread ini, tapi bersyukur karena membaca sampai tuntas tanpa menunggu update-annya.

Saya menunggu karya yg sedang dalam proses penulisan "The Naked Slave" , berharap semakin banyak kosakata yang bisa saya temukan dan saya pelajari.


Sekian tulisan panjang ini. Sekali lagi terima kasih :ampun:


:ampun: terima kasih sis buat apresiasinya

Paradiso ditulisnya lama setahun pas ane langi nganggur2nya

dan dibantuin temen-temen banyak pula

terima kasih banyak bagi mereka yang udah bantuin nulis ini dulu....

Dengan betahnya mengikuti(marathon) karya @Jaya Suporno dlm tread paradiso ini,maka kata2 untuk mewakili komen panjang krn kagum adalah= SALUT
Trm ksh suhu atas tread yg bagu ini(lebih dari sinetron, film, youtube )



SALUT

:ampun:

thx sob buat apresiasinya...

Ketiga kalinya baca cerita ini dr awal sampe akhir...klo ditambah baca bag2 tertentunya sih ga tau udh brp kali baca cerita ini...
Tp tetep aja "hanyut" ...apalagi ketambahan "Night in White Satin"...

Te-O-Pe Be-Ge-Te

dah ane tambahin sob versi 2012-nya

PM juga oom, ane pengagum kisah ini
dah ane post ya sob
 
Karena banyak yang minta versi 2012-nya, ane aplod nih versi 2012.

Buat yang pernah baca versi 2012 dan pengen nostalgia silahkan dibaca

Buat yang belum pernah baca, ane minta komentarnya, kalau versi 2012 lebih bagus, bilang, bagian mananya yang lebih bagus, jangan berkomentar yang abstrak “pokoknya bersi 2012 lebih bagus aja, aku juga nggak tahu gimana”

Buat yang pernah bilang “Oom, tapi ane gak bisa move on dari versi 2012” dan ternyata setelah dibaca ulang “loh, kok VERSI 2012-NYA ampas? kok beda sama yang ane baca dulu?”

─itu karena ihlusyi masa lalu,

Ente harus nulis pesan gini di kolom komentar “oom, ane tarik kata-kata ane, versi 2012 ternyata ampas…”

versi 2012 cuma sampai season 1, season 2,3,4 relatif sama, kecuali beberapa sex scene yang bakal dirilis setelah lebaran
serasa reuni sech:) kalau yang aku rasa baca ver.2012. kebayang awal-awal hinggap di forum ini(belum buat ID) yang masih boleh dibilang forum semprot masih bayi kalau pas saat itu masih banyak situs cerita panas lawas yang sudah populer macam kr Ucil yang lebih dulu ada atau yang lebih besar namun siapa sangka malah gulung tikar.

gara-gara cerita Paradiso juga aku jadi daftar karena gatel pengen komentar:siul: dan nggak pungkiri juga buat nyedotin gambar atau pilem vulgar:o:malu: duchh🙈
nich ID aku sepantaran sama Id momod titit liar 🙊@willdick dengan cerita cinta tak pernah memihak punya mod will waktu itu yang sering nongkrong di page1 bersama Paradiso hingga nggak lama omJay sempat menghilang bersama karya yang fenomenal ini..

pokoknya makasih🙏banyak dech om Jay tlah sudi tongolin lagi yang nichh.. jadi ingat moment manten anyar dulu:o baca berdua:malu:





 
serasa reuni sech:) kalau yang aku rasa baca ver.2012. kebayang awal-awal hinggap di forum ini(belum buat ID) yang masih boleh dibilang forum semprot masih bayi kalau pas saat itu masih banyak situs cerita panas lawas yang sudah populer macam kr Ucil yang lebih dulu ada atau yang lebih besar namun siapa sangka malah gulung tikar.

gara-gara cerita Paradiso juga aku jadi daftar karena gatel pengen komentar:siul: dan nggak pungkiri juga buat nyedotin gambar atau pilem vulgar:o:malu: duchh🙈
nich ID aku sepantaran sama Id momod titit liar 🙊@willdick dengan cerita cinta tak pernah memihak punya mod will waktu itu yang sering nongkrong di page1 bersama Paradiso hingga nggak lama omJay sempat menghilang bersama karya yang fenomenal ini..

pokoknya makasih🙏banyak dech om Jay tlah sudi tongolin lagi yang nichh.. jadi ingat moment manten anyar dulu:o baca berdua:malu:





Akur bang, hehe
 
:ha:naahh wong lawas e:lol: metu..


:)
ada suhu lawas juga yang buat thead baru lagi nohh.. suhu @FigurX judulnya mirip lagunya Achmad Dani..

maap lho:ampun: suhu @Jaya Suporno kita ijin berkerumun di threadnya suhu saat diluaran ada larangan yang sampe :ngupil:ngupil pun wajib cuci tangan:malu:

Kadirrr.. kemarenan itu awalnya iseng inget2 pasword nya FigurX krn lupa (parah saking lamanya ampe lupa). Trus maen intip IGO wkwkwk kan ada narasinya prolog tuh biasa di depan. Tapi ane ga puas klo cuma singkat cerita, larilah ane ke forum cerita baca 1-2 crita non cerbung..hmm masih belom kena di hati. Iseng bacq lagi juwita hati ClothinK yang kolaborasi bareng ane...nah jd pengen nulis lagi wkwkwk.. bikin deh crita dadakan...

Halooow sobat semprot yang terlahir awal bersama ane, salam hangat selalu.

Usul : minta om mimin ijin bikin forum atau sejenisnya utk tempat silaturahmi para penulis senior dan para pendukung setianya.. hehe
 
wah ada update an terbaru lagi dari om jay, pertama baca versi pdf nya yg 2016, langsung suka sama cerita ini, Ternyata baru tau kalo ada versi 2012 nya. Kalo berkenan boleh saya minta pdf nya om, suksma om jay
 
Aduuh maestro @Jaya Suporno ane baca ulang nih demi menikmati karya besarmuh.. scroll page demi page utk temukan update (link spoiler di pejwan tidak berfungsi dg seharusnya). Ini baru nyampe page 70 udh mo klenger ni jempol..

Dadaku bergemuruh
Karya terbaik dari yang terbaik
Teringat kisah kartun jepang era 90an
Yoichi Ajiyoshi, anak citarasa
Setiap orang yang mencicipi masakannya bergetar jiwanya,
Persis karya maestro Jay,
Setiap yang membacanya akan terkapar menahan gelegar sukma,
Seribu jempol tak akan cukup.
 
Aduuh maestro @Jaya Suporno ane baca ulang nih demi menikmati karya besarmuh.. scroll page demi page utk temukan update (link spoiler di pejwan tidak berfungsi dg seharusnya). Ini baru nyampe page 70 udh mo klenger ni jempol..

Dadaku bergemuruh
Karya terbaik dari yang terbaik
Teringat kisah kartun jepang era 90an
Yoichi Ajiyoshi, anak citarasa
Setiap orang yang mencicipi masakannya bergetar jiwanya,
Persis karya maestro Jay,
Setiap yang membacanya akan terkapar menahan gelegar sukma,
Seribu jempol tak akan cukup.
Terimakasih suhu, sudah baca cerita ini....
Btw, itu mohon maap link-nya mati semua
Belum sempat ane perbaiki huhu
 
Masterpiece, baru beres baca 🤣
Akhirnya ada yg bikin ane mantengin cerita sampe beres.

Cek lagi ah tulisan yang laennya.

Gaspol om
 
cerita yang luar biasa

:jempol: :jempol: :jempol:

dan akhir yang bahagia untuk sheena, ava dan indira..
bener bener, sedih , bahagia campur aduk :jempol:
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd