VERSION 2012 IS BACK
Karena banyak yang minta versi 2012-nya, ane aplod nih versi 2012.
Buat yang pernah baca versi 2012 dan pengen nostalgia silahkan dibaca
Buat yang belum pernah baca, ane minta komentarnya, kalau versi 2012 lebih bagus, bilang, bagian mananya yang lebih bagus, jangan berkomentar yang abstrak “pokoknya bersi 2012 lebih bagus aja, aku juga nggak tahu gimana”
Buat yang pernah bilang “Oom, tapi ane gak bisa move on dari versi 2012” dan ternyata setelah dibaca ulang “loh, kok VERSI 2012-NYA ampas? kok beda sama yang ane baca dulu?”
─itu karena ihlusyi masa lalu,
Ente harus nulis pesan gini di kolom komentar “oom, ane tarik kata-kata ane, versi 2012 ternyata ampas…”
versi 2012 cuma sampai season 1, season 2,3,4 relatif sama, kecuali beberapa sex scene yang bakal dirilis setelah lebaran
thx for suhu Banunuba yang udah nyimpenin pdf-nya, sehingga versi ini masih terjaga
==================================
Fragmen 1
The Dream Painter
=================================
-Ava-
Hanyalah pemadangan sawah bertingkat-tingkat yang indah, dan deru skuter tua yang seperti tak mau lagi hidup menyusur di tengahnya. Matahari bersinar tinggi di langit biru tanpa awan, menyisakan silau di balik kacamata hitam Ava yang bundar besar.
Skuter yang ditumpangi Ava berjalan perlahan melewati jalan kecil berkelok di tengah persawahan, mereka sedikit melambat saat melewati sekumpulan orang berpakaian hitam-hitam di jalan itu.
“Bli, Bli Kadek, ada apa ini ramai-ramai?” Ava menepuk pundak Kadek yang duduk di depannya.
Kadek namanya, ia adalah kakak kelas Ava waktu kuliah di Institut Seni di Jogja. Kadek ini pula yang menawari Ava pekerjaan di tempat seorang Seniman terkenal di Kampungnya, setelah Ava lulus bulan lalu.
“Oh, ini ada pengabenan 1” Kadek menyahut tanpa menoleh.
Kadek menganggukkan kepala kepada orang-orang itu, sekedar sopan santun saat melewati rombongan mereka. Aroma dupa dan alunan tetabuhan yang terdengar asing membuat bulu kuduk Ava merinding. Ava melirik ke arah patung lembu hitam yang diusung dan orang-orang berjalan dengan wajah murung.
________________________________________
1 Ngaben: upacara pembakaran jenazah atau kremasi umat Hindu di Bali. Acara Ngaben merupakan suatu ritual yang dilaksanakan guna mengirim jenasah kepada kehidupan mendatang
_____________________________________
Sebuah upacara pemakaman.
Ava menghela nafas, dadanya dipenuhi dengan rasa takut yang purba. Skuter mereka menjauhi rombongan itu.
Beberapa saat kemudian mereka sudah tiba di sebuah villa yang indah. Villa itu terletak di pinggir jurang yang menjorok ke sungai. Skuter mereka melewati candi bentar berukir, dan memasuki halaman yang dipenuhi oleh tanaman tropis yang eksotis.
Kadek memarkir motor. Di halaman ada seorang laki-laki paruh baya berbadan subur sedang mengelus-elus ayam jago.
“Ajik2 siapa yang meninggal?” tanya Kadek kepada orang itu. “Oh, Dadong Dauh, dari banjar sebelah”
Kadek manggut-manggut, sambil meletakkan helmnya di wantilan.
Pak De namanya. Pada awalnya Ava juga bingung, kenapa orang Bali sepertinya dipanggil Pak De, mungkin nama aslinya Pak Made, Pak Dewa, atau Pak Gede. Cukup Pak De saja, itulah nama seniman yang digunakannya. Nama yang terkenal sampai ke luar negeri sebagai pelukis aliran realisme yang berpengaruh. Ia terkenal dengan ciri khas lukisannya yang.. sudahlah, lihat saja nanti sendiri.
Ava nampak canggung, di depan tokoh yang disegani-nya ini.“Saya Ava..” Ava menjulurkan tangannya ke arah orang itu.
“Hahaha.. berbeda jauh seperti bayangan saya, saya Pak De.. ah, maaf tangan saya kotor.”
“Memang seperti apa? Bayangan bapak?” Ava jadi penasaran.
_________________________
2 Ajik: Bapak
__________________________
“Ava Devine? Ava Lauren?”
“Hahahaha” Ava tertawa, tahu siapa yang dimaksud –pemain bokep-, “Bukan, Saya Mustava Ibrahim…”
“Ah, bapakmu pasti penggemar Queen.”
“Benar.”
Susana langsung cair, ternyata Pak De sangat humoris meskipun ia memiliki brewok lebat dan rambut panjang yang diikat ke belakang seperti seorang yakuza.
“Nanti saja ngobrol-ngobrolnya, saya juga belum mandi, kamu istirahat dulu. Dek, kamu antar Ava ke kamarnya.”
Ava diantar Bli Kadek melewati jalan setapak yang dirimbuni pepohonan tropis, Villa itu sangat asri. Ava melewati bangunan yang dicat tanah dengan atap jerami, dipisahkan oleh kolam renang kecil dari bangunan utama. Di dalamnya penuh dengan lukisan, ada pula yang belum jadi. Sepertinya itu studio Pak De.
Yang di sebut “kamarnya” ini lebih mirip Gazebo, namun sudah difurnish halus. Bangunan ini berupa bale-bale di bawah, dengan tangga naik ke balik atapnya yang melambung tinggi seperti lumbung padi. Nah di dalam atap inilah Ava akan tidur.
Dengan susah payah Ava menaikkan tas berisi baju dan peralatannya menaiki tangga, sampai akhirnya Dia menghempaskan punggungnya ke atas kasur busa empuk yang digeletakkan begitu saja di ruangan 2x3 meter itu. Ava jadi teringat tempat kost-nya di Jogja. Namun ini jauh lebih baik.
Ruangan itu terbuat dari kayu yang diplitur, nyaris tanpa perabot kecuali meja kecil dan lemari kecil. Di ujungnya ada jendela kayu besar, Ava membukanya. Sontak udara persawahan mengalir masuk, segar sekali.
Ava bisa melihat sungai di bawah, dan persawahan yang bertingkat-tingkat di kejauhan.
Pemandangan dan udara Pulau Dewata ini begitu membius. Tahu-tahu Ava sudah terlelap dalam mimpi indah. Tidurnya dipenuhi dengan mimpi-mimpi muluk seorang sarjana fresh graduate. Waktu itu Ava masih belum mengetahui apa yang akan menantinya di perantauan ini.
Tidak sama sekali.
=================================
Fragmen 2
Manjus
=================================
Anda tidak salah baca. Penulis tidak salah ketik “Maknyus” kata-kata khasnya
Pak Bondan si pembawa acara kuliner itu, dengan “Manjus”.
Sore itu setelah berbincang-bincang dengan Pak De sambil menikmati kopi hangat dan pisang goreng, tiba-tiba si Kadek berkata kepada Ava, “Ava, manjus mai!”
“Hah? Apaan tuh?” Ava bingung, sambil mencuci gelas bekas kopi. “Manjus, artinya mandi…”
“Ooh, kamu duluan aja dek..” Ava membilas sebuah gelas kotor dengan ampas kopi di dasarnya.
“Ah, ga seru! Ayo manjus sama-sama!”
“Hah!”
Gelas yang sedang sedang dicucinya cuci jatuh di bak cuci piring, untung tidak pecah. Astaga, Ava baru mengetahui kalau Kadek adalah penyuka sesama jenis!
“Haha.. santai aja.. aku sudah punya pacar kok!” kata Kadek. “Pacarmu.. cowok?” tanya Ava takut-takut.
“Haha..” Kadek malah tertawa-tawa sambil menyeret tangannya.
***********
Tak lama Skuter itu melewati jalan tanah yang agak menjauh dari desa. Di kiri-kanan terdapat areal persawahan yang menguning, siap untuk dipanen. Langit sudah mulai memerah, tanda matahari hampir beranjak ke peraduannya. Kumpulan burung melintas, menimbulkan bunyi dengung yang menggaung di udara. Suaranya ditenggelamkan bunyi skuter butut milik Kadek.
Handuk yang tergantung di leher Ava berkibar diterpa angin sore. Ava tidak habis pikir, kenapa dirinya menuruti ajakan Kadek. Apakah ia akan menyerahkan keperawanan lubang anusnya? Entah.
Mereka berkelok menikung di ujung. Menyusuri pinggiran saluran irigasi yang terbuat dari beton.
Astaga.
Beberapa wanita sedang asyik mandi di saluran irigasi yang terletak di pinggir jalan kecil itu. Mereka dengan santainya mencuci baju sambil bertelanjang di sana. Mereka cuek melihat Kadek dan Ava melintas, meskipun ada beberapa yang tampak rikuh melihat Ava – orang baru disana, sehingga mereka berjongkok ke dalam air yang mengalir.
“Dek! Aku pikir sekarang sudah ga ada orang mandi di sungai!”
“Di Bali barat memang sudah ga ada! Tapi semakin ke timur semakin kaya gini!”
“Oooh..”
“Melestarikan budaya haha!”
Kadek memarkir motornya di pinggir jalan, di sana sudah ada beberapa motor terparkir. Mereka berjalan di jalan setapak yang sedikit curam, menuruni tebing yang diteduhi tanaman paku-pakuan. Dari jauh terdengar suara yang begemericik.
Ava menyibak daun pisang yang menutupi jalan, dan dia disambut oleh pemandangan yang eksostis. Sungai kecil yang dipenuhi batu dan dirimbuni pepohonan. Airnya mengalir jernih, sehingga dasar sungai yang dipenuhi batu tampak jelas. Suara air mengalir bergemericik menyelinap di antara batu besar
Beberapa orang dalam berbagai usia, tua-muda, anak-anak, laki-laki, perempuan asyik bercengkrama menikmati suasana senja tanpa apapun menutupi tubuh mereka. Mereka cuek saja, dengan payudara ataupun kemaluan yang bergantung di hadapan mereka, seolah masih berpakaian lengkap dan rapi.
Ya,memang tak semuanya memiliki tubuh yang indah, namun di mata Ava – dengan segala keindahan alamnya- Semua tampak begitu indah, seperti cerita orang-orang dulu, seperti lukisan yang sering dilihatnya.
Lembayung senja memantul di riak air, ke tubuh telanjang seorang perempuan muda berkulit sawo matang. Payudaranya yang bulat sekal berwarna sawo matang menjadi berkilat kekuningan. Ah, Ava merasakan sesak di celananya.
Perempuan itu menyadari Ava –orang baru di kampung itu- memperhatikannya, ia segera menutupi dadanya dengan lengan. Rikuh.
“Jangan diliatin, dimarah nanti, cool aja.” Tegur Kadek. “Oh iya hehe..”
“Lirik-lirik boleh…”
“Hahaha….”
“Dek!” Suara seorang wanita memanggil dari kejauhan. “Hei luh!” kadek melambaikan tangan.
Seorang wanita menuruni jalan setapak yang mereka lewati tadi. Usia belasan akhir mungkin. Kulitnya sawo matang eksotis, cukup manis menurut pandangan Ava. Di belakang menyusul beberapa gadis dengan wajah khas Bali.
“Kenalin, Ava, muridnya Pak De yang baru..”
Kata-kata “murid” membuat Ava membayangkan Pak De adalah seorang petapa sakti.
“Ava..”
“Luh Sari.” Kata perempuan itu.
“Luh sari pacarku Va..” kata Kadek. Syukurlah pacarnya bukan cowok.
Mereka, para gadis itu mengambil posisi agak jauh dari tempat para pemuda, terpisah oleh batu besar (tapi tidak terlalu besar juga sih)
Kadek kemudian menyapa kumpulan pemuda tanpa busana yang sudah lebih dulu ada di situ. Mereka berbincang dengan bahasa yang tak dimengerti Ava. namun yang sepenangkapannya ada kata “Pak De,” dan “Murid.”
Kadek dengan santainya melepas pakaiannya sampai telanjang bulat. Ava sebenarnya agak rikuh berada di tengah kumpulan batangan ini, namun Ava membenamkan tubuhnya yang masih terbalut celana dalam di dalam air agar tak terlalu risih. Sepertinya Ava masih belum begitu nyaman dengan communal nudity ini.
Mereka, pemuda desa itu sebenarnya sangat ramah, namun ketelanjangan ini membuat segalanya menjadi aneh.
“Va, kamu pasti belum pernah lihat yang kayak gini..” kadek menolehkan kepalanya ke arah para gadis. Ava terhenyak.
Luh sari menyilangkan tangannya, dan menarik lepas kaus yang dikenakannya. Ava menelan ludah, melihat sepasang gundukan yang menyembul dari balik BH krem yang dikenakannya.
Luh sari kemudian menurunkan celana pendek yang dikenakannya, membuat tubuhnya yang hanya ditutup celana dalam dan BH terlihat demikian jelas. Tidakkah ia malu? Sepertinya tidak, sebab gadis-gadis di belakangnya juga melakuan hal serupa, malah ada yang sudah telanjang dan menceburkan tubuhnya ke sungai.
Sedetik kemudian payudara Luh Sari yang berwarna coklat sudah menggantung indah di bola mata Ava, putingnya berwarna hitam mengacung indah di dalam pupil Ava yang membesar.
Ava menelan nafas.
Luh Sari melirik ke arahnya, untuk sepersekian detik tatapan mata mereka bertemu. Luh sari tersenyum, Ava segera mengalihkan pandangannya, sepertinya ia menyadari Ava memperhatikannya.
Hal ini pun menimbulkan gejolak di hati Luh Sari, sudah banyak orang melihatnya telanjang, namun satu orang ini sepertinya begitu lugu.
Luh Sari duduk di atas batu, sambil menaikkan pahanya. Ia menurunkan celana dalamnya perlahan, seperti sengaja. Dan dengan batu itu, seperti panggung dengan gadis eksotis sebagai primadona.
Luh Sari menutupi kemaluannya yang ditumbuhi bulu lebat dengan tangan, sebelum menceburkan dirinya ke air. Sesaat kemudian mereka seperti tertawa-tawa sambil melirik ke arah Ava.
Sekumpulan gadis-gadis muda mandi bertelanjang bulat, 7 meter di hadapan Ava. Memang ada sebuah batu besar, namun batu itu tidak cukup besar untuk menghalangi mata Ava melihat mereka yang membasuh tubuh mereka dengan air. Membuat rambut dan payudara mereka yang ranum merekah dan membasah indah.
Darah Ava berdesir, adrenalin yang memenuhi alirannya membuat segalanya bergerak dalam gerakan slow motion. Gadis-gadis itu menyabuni tubuh mereka dengan sangat lambat, tawa mereka berderai begitu pelan. Dan air yang disiramkan membasuh buih sabun melayang dalam butir-butir kecil di udara.
Luh Sari membenamkan tubuhnya kedalam air, kemudian muncul kembali ke permukaan, namun di mata Ava ia tampak bergerak dengan sangat lambat. Seperti adegan Halle Berry keluar dari laut dalam film Die Another Day, seperti seorang dewi yang keluar dari air. Rambut dan lekuk tubuhnya yang membasah begitu menggoda, sesaat ia meraupkan telapak tangan ke wajahnya, menghapus air yang memasuki matanya.
Pemandangan ini benar-benar eksotis.
Pemuda dan pemudi mandi hanya dipisahkan oleh batu besar. Seorang gadis remaja yang tubuhnya berkilat, dipenuhi titik-titik air berjalan malu-malu ke tempat para pemuda. Ia menutupi dada dan kemaluannya, entah apa gunanya ia menutupi bagian itu dengan segala eksposure yang ada.
Ia menghampiri kumpulan pemuda, hendak meminjam shampo. Ava menyerahkan sebotol Clear tanpa melihatnya, entah apa yang terjadi kalau Ava melihat tubuh itu. Saat menerima botol shampo, spontan dadanya terbuka.
“Hihii..” ia tertawa kecil melihat kemaluan Ava yang setengah tegang sebelum berlalu kembali ke tempat teman-temannya.
Sekilas, Ava melihat pantat gadis itu yang bulat berguncang-guncang ketika berlari melewati batu-batu kali yang licin ke arah teman-temannya.
Air sungai memercik, berkilau diterpa matahari senja. Tanpa sadar, kemaluan Ava sedikit membesar. Ah, kacau! Ava tak kuat lagi, Ava membenamkan tubuhnya dalam air, hanya agar kemaluannya yang menegang tidak tampak oleh mereka.
Cahaya langit senja yang kemerahan memantul pada riak-riak air sungai ke arah orang-orang tanpa busana. Tidak, mereka tidak seperti manusia-manusia di Sodom dan Gomorah, namun lebih mirip dengan taman firdaus.
Keadaan ini membuat Ava merenung. Mereka telanjang begitu saja, apa adanya tanpa ada kepalsuan yang ditutupi. Mereka hanyalah penduduk- penduduk desa yang polos, yang hanya ingin melestarikan budaya mandi yang tua, yang semakin lama semakin tergerus oleh modernisasi dan vila-vila yang merengsek ke dalam teritori mereka.
Ava menghela nafas, menikmati segala pemandangan di depannya. Sungai yang mengalir indah, pepohonan yang merindangi sungai itu, dengan segala keindahan panoramanya, membuat semuanya tampak seperti lukisan Michelangelo.
Ava menurunkan celana dalamnya hingga telanjang bulat.
Tidak ada lagi hasrat seksual yang dirasakan seperti tadi. Yang ada hanyalah ketelanjangan yang membebaskan, ketelanjangan yang membebaskannya dari pakaian kepalsuan yang menutupinya selama ini. Ava memejamkan mata, menikmati udara sore dan dingin air yang mengalir membasahi tubuhnya.
Sore ini Ava merasa menyatu dengan alam.
Senyum Ava tersungging, membayangkan hari-harinya di sini. Ava membaringkan tubuhnya, membiarkan arus sungai menghanyutkan telanjang tubuh itu. Ava memandangi langit yang berwarna kemerahan, tanda Sandyakala hampir tiba. Ava, si pelukis mimpi ini larut dalam indah panorama lukisan yang serasa nyata.
Indah.