Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Once Upon A Time In Someplace

Chapter XXXIV : End of Beginning III A : See You Again

Aku terbangun saat matahari sudah tinggi. Saat kulihat jam, ternyata sudah pukul setengah sebelas siang. Kamar sudah rapi kembali, seperti tidak terjadi apa-apa semalam. Tidak kulihat seorangpun di dalam kamar. Aku melangkah keluar, di dapur Mbak Tika sedang berbincang dengan Mbak Erin.

Mereka tersenyum melihatku kusut. Aku mengambil susu cair dari lemari pendingin kemudian duduk di depan mereka. "Yang lain kemana Mbak?" tanyaku sehabis minum.

"Sudah pulang! Sengaja tidak bilang padamu, agar tidak mengganggu istirahatmu. Kau terlihat lelah sekali," jawab Mbak Tika dengan tersenyum.

"Ada makanan Mbak? Aku lapar," ucapku.

"Dasar! Inikan rumahmu, kok tanya ada makanan apa? Untung kemarin, Mbak belanja. Sudah kamu mandi dulu, nanti Mbak buatin makanan," ujar Mbak Tika.

"Terima kasih, Mbak," ucapku beranjak dari dapur.

Satu jam kemudian dua piring nasi cumi sudah masuk ke dalam perutku. Mbak Tika tetap ingat, bahwa cumi adalah makanan kesukaanku. Setelah itu kami bertiga ngobrol santai. Mulai dari soal yang semalam dan yang lainnya.

Semua ini awalnya adalah ide Mbak Tika yang ingin memberikan kejutan padaku. Dia tidak tahu darimana datangnya ide nakal itu. Tapi saat dia menghubungi Mbak Rani, Mbak Tika ingat permainan kita berempat waktu itu. Maka muncullah ide itu, dia lalu menghubungi Mbak Lula dan Mbak Ina.

Setelah semua setuju, mereka lalu menghubungi siapa lagi yang kira-kira bisa diajak. Sebenarnya ada beberapa lagi yang mau ikut, tapi batal saat terakhir. Aku jadi meringis membayangkan, bagaimana seandainya banyak lagi yang ikut pesta semalam.

Soal Mbak Erin bisa ikut, bukan lain karena dia adalah teman Mbak Lula semenjak remaja. Sebelum Mbak Lula mengenalku, dia sudah lebih dulu tahu tentangku dari Mbak Erin. Kebetulan Mbak Erin sedang pulang ke Indonesia untuk beberapa waktu, maka kebetulan baginya saat Mbak Lula menawarinya untuk ikut.

#####

Sehabis tengah hari Mbak Erin pulang, karena ada sesuatu hal yang harus dia kerjakan. Dia berjanji akan menghubungiku lagi setelah urusannya selesai. Setelah Mbak Erin pergi, giliran Mbak Tika yang bersiap untuk pulang.

Sebenarnya aku ingin Mbak Tika lebih lama di sini. Tapi dia hanya mengajukan cuti dua hari. Jadi nanti sore dia sudah harus kembali ke Pekalongan. Sambil menunggu waktu kepulangan Mbak Tika, kami putuskan untuk jalan-jalan keliling kota.

Jam tujuh malam aku mengantar Mbak Tika ke Stasiun. Sebelum turun dari dalam mobil, kami sempat berciuman cukup lama. Seperti biasa, Mbak Tika memberiku pesan-pesan. Dan sebelum masuk kereta, kami kembali berpelukan cukup lama, tidak mempedulikan pandangan orang di sekitar. Aku meninggalkan stasiun, ketika kereta sudah berangkat.

Dalam perjalanan pulang, aku teringat dengan Zulfa kakaknya Fariz. Semalam aku tidak bisa berbicara banyak dengannya. Mengapa aku tidak mencoba main ke rumah Fariz, siapa tahu aku bisa mengenal Zulfa lebih dekat. Yang aku heran, kenapa aku tidak tahu Fariz punya kakak secantik Zulfa.

Sudah hampir tujuh tahun aku berteman dengan Fariz dan beberapa kali ke rumahnya, kenapa aku tidak pernah melihatnya di rumah itu. Berpikir seperti itu, aku putar kemudi. Aku arahkan mobilku ke rumah orang tua Fariz.

Tapi nasib baik belum menyapaku karena Fariz tidak pulang ke rumah orang tuanya, tapi ke rumah dinas yang pernah kutempati juga. Dan bodohnya aku adalah tidak menelpon Fariz terlebih dahulu. Kepalang tanggung sudah sampai rumah itu, aku bertanya tentang Zulfa. Tapi ternyata Zulfa juga masih keluar.

Dengan sedikit kecewa aku tinggalkan rumah megah itu. Tanpa punya tujuan pasti aku putuskan untuk pulang. Di sebuah SPBU aku masuk, antrian cukup panjang. Dua mobil sebelum giliranku, tanpa di sangka aku menoleh ke samping kiri, dan aku mendapatkan apa yang aku cari.

Saat itu kulihat Zulfa sedang berbicara kepada sopirnya yang sedang membayar kepada petugas SPBU. Setelah itu mobilnya segera meluncur pergi dari tempat itu, aku mau mengejar tapi terjepit, karena di belakangku juga ada mobil. Sementara di depan mobilku masih ada satu mobil lagi. Akhirnya giliran mobilku, begitu selesai membayar, aku segera mengejar mobil Zulfa. Tanpa mempedulikan ramainya lalu-lintas aku injak gas sedalamnya, hingga banyak yang mengklakson mobilku.

Karena perkiraanku Zulfa akan pulang, maka aku mengejar ke arah rumahnya. Benar saja, satu kilometer kemudian kulihat mobilnya berada di depanku. Tiba-tiba ada sebuah mobil yang memotong laju mobilnya. Hingga dia berhenti mendadak. Aku belum melihat jelas apa yang terjadi. Aku berhenti, beberapa meter di belakangnya.

Aku segera turun dan berlari ke arah mobilnya. Seseorang sedang menyeretnya keluar dari mobil.

"Hai...! Apa yang kalian lakukan!" teriakku sambil maju.

Seseorang menghentikan langkahku. Tanpa bicara dia segera memukulku. Dengan mudah aku menghindar, saat dia memukul lagi, aku tangkap tangannya, lalu kupuntir dan kakiku menyapu bagian belakang kakinya, dan mendorong badannya. 'Bugh...!' tubuh besarnya terjengkang.

Aku segera berlari menuju mobil mereka, Saat orang yang tadi menyeret Zulfa hendak masuk mobil, kutarik bajunya hingga dia jatuh kebelakang. Aku tarik Zulfa sebelum sopir mobil itu menginjak gas, hingga aku dan Zulfa terjengkang. Aku segera bangkit berdiri siap untuk menghadapi apa yang terjadi.

Tapi tampaknya orang-orang itu tidak berniat melanjutkan usahanya. Dua orang yang tadi jatuh segera berlari mengejar mobil yang sudah melaju cukup jauh. Akupun tidak punya niat mengejarnya.

Aku membantu Zulfa bangkit berdiri, "Kau tidak apa-apa?" tanyaku.

Dia menggeleng, "Terima kasih," ucapnya tampak masih syok.

"Maaf Mbak!" ucap sopirnya. Jidatnya tampak benjol dan sudut bibirnya mengalir darah.

"Tidak apa-apa, Pak. Pak Das sendiri gimana lukanya?" Zulfa balik tanya kepada sopirnya.

"Tidak apa-apa, Mbak," jawabnya.

"Fa, sebaiknya kita pergi dari sini dulu. Siapa tahu nanti mereka datang lagi," ucapku menyela. "Pak Das berangkat dulu, biar Zulfa sama saya," lanjutku. Pak Das melihat ke arah Zulfa, setelah Zulfa mengangguk dia segera menuju mobil Honda City itu.

"Ayo," ucapku berjalan menuju mobil.

Aku buka pintu untuknya, setelah dia naik aku tutup pintunya. Hal itu membuat dia tersenyum. Tanpa mempedulikan hal itu, aku jalankan mobil meninggalkan tempat itu. "Kamu mengenal siapa mereka?" tanyaku memecah kebisuan di antara kami.

"Saya rasa tidak! Lebih enak tidak perlu saya dan kamu, cukup aku dan kau," ujarnya.

"Ok. Tapi maksudnya kau rasa, jadi mungkin," kejarku.

"Bukan begitu maksudku. Aku sudah lama tinggal di luar negeri, teman di sini saja sudah lupa semua. Apa lagi musuh!" jelasnya.

"Jadi murni kriminal."

"Sepertinya."

Kami kembali diam sampai tiba di rumahnya. Seperti tadi, aku membukakan pintunya. "Masuk dulu, Vin," pintanya.

Tanpa diminta akupun berencana untuk masuk dulu. Sebelum masuk aku temui Pak Das, Dasuki lengkapnya. Aku jumpai dia ada di garasi. Garasi yang besar, cukup untuk menampung delapan mobil. Selain Honda City yang sedang di periksa Pad Das dan temannya, masih ada Toyota Camry, Toyota Alphard dan Honda Freed di garasi itu.

Melihatku masuk, Pak Das menyalamiku. "Terima kasih Mas. Bapak tidak tahu gimana nasib Mbak Zulfa, kalau tidak ada Mas Gavin," ucapnya dengan tersenyum.

"Biasa sajalah, pak. Yang rusak apa, Pak?" tanyaku sambil ikut melihat mobil itu. Bemper depan sedikit penyok, kaca samping kanan pecah.

"Besok bawa saja ke bengkel langgganan, Pak," ucap Zulfa yang baru saja masuk. Dia sudah ganti pakaian, namun tetap tertutup pakaiannya.

"Siap Mbak," jawab Pak Das, Dasuki lengkapnya.

Aku dan Zulfa lalu meninggalkan garasi menuju gazebo yang ada di taman depan. Sudah ada minuman dan makanan kecil di atas meja. Tempat ini tidak asing bagiku. Karena Aku dan Dion sering kongkow di gazebo ini dengan Fariz.

"Sekali lagi terima kasih, Vin. Untuk pertolonganmu tadi," ucapnya setelah kami duduk.

"Tidak masalah. Yang jadi masalah bagiku adalah, kenapa selama ini aku tidak tahu kalau Fariz punya kakak secantik kau," ucapku memuji sambil memandangnya. Sekilas pipinya memerah, dan tersenyum. Tapi saat tahu aku memandangnya dia membuang muka ke arah lain.

"Sepertinya Fariz belajar darimu, dia dulu pendiam dan sedikit kuper. Tapi sekarang pintar ngomong," sindirnya.

"Sejak kapan tinggal di luar negri? Di mana?" tanyaku.

"Kata Fariz kau akan belajar di Inggris ya?" Zulfa tidak menjawab, malah balik bertanya.

"Ya," jawabku, kemudian mengulang pertanyaan tadi.

Belum sempat Zulfa menjawab, sebuah mobil memasuki gerbang rumah dan berhenti di depan garasi. Setelah keluar dari mobil dia segera menuju ke arah kami.

"Kakak tidak apa-apa?" tanya orang yang baru datang, yang bukan lain adalah Fariz.

"Tidak apa-apa, sudah duduk dulu," jawabnya santai.

Setelah itu Fariz berterima kasih padaku karena menolong kakaknya. Kemudian kami bercerita panjang lebar, hingga aku tahu semua tentang kehidupan Zulfa dan dia juga tahu tentangku, tentu saja tidak termasuk kesukaanku bercinta. Lulus SMU Zulfa sudah tinggal di luar negeri, kuliah di salah satu universitas tertua dan ternama di dunia, Oxford University.

Di usia yang mendekati 27 tahun, Zulfa hampir menyelesaikan program Masternya. Selain itu dia juga menjadi salah satu asisten dosen di universitas yang sama. Kami berbincang lama hingga suasana cair, seperti teman lama. Tidak terasa jam 11 malam, Fariz menawariku untuk tidur di rumahnya tapi aku tolak.

Tidak tahu kenapa aku seperti tidak ingin meninggalkan kesan buruk di mata Zulfa. Apakah aku cinta kepadanya? Entahlah, aku tidak bisa menjawabnya. Dengan enggan aku beranjak dari rumah itu, tapi sebelumnya aku beranikan diri untuk minta no ponsel dan pin BBnya.

Tanpa diduga ternyata dia mau memberikan itu. Maka dengan hati senang aku meninggalkan rumah itu, diiringi tatapan heran dari Fariz.

#####

Tengah malam, saat aku hampir terlelap ponselku berbunyi. Aku pikir dari Zulfa, karena beberapa menit sebelumnya aku mengirim pesan ke ponsel BBnya. Tapi ternyata bukan, aku segera mengangkat panggilan itu. Ternyata Om Dans.

"Ada apa, Om?"

"Besok temui aku di xxx. Masih ingat tempatnya-kan?"

"Baik," jawabku.

Belum sempat aku bertanya apa tujuannya, dia sudah menutup teleponnya. Aku mencoba berpikir apa yang akan dibicarakan Om Dans. Sampai bunyi hp kembali terdengar, sebuah pesan yang membuatku melupakan sejenak pikiranku soal Om Dans. Balasan ucapan selamat malam dan selamat tidur dari Zulfa, dengan ikon smile menyertai pesan itu. Aku senyum-senyum sendiri hingga terlelap.

Keesokan harinya aku terbangun saat alarm berbunyi jam 5 pagi. Seperti rutinitas biasanya, aku turun ke bawah terus lari, jogging, bermain basket sebentar, sedikit latihan beladiri hingga jam 7 aku kembali ke Apartemen. Setelah mandi aku bersiap-siap menuju tempat yang disebut Om Dans.

Pukul sembilan kurang lima belas menit aku sampai di rumah makan itu. Aku segera menuju ke belakang dimana aku pernah bertemu Om Dans waktu itu. Ternyata Om Dans belum datang, aku menunggu di meja yang telah disiapkan oleh pelayan. Jam 9 kurang 1 menit, Om Dans datang dengan Sora.

Aku bangkit menyambut Om Dans dan Sora. Sambil menunggu makanan, Om Dans mulai membuka percakapan. "Situasinya lebih rumit dari yang diperkirakan. Karena kejadian itu ISF di evaluasi besar-besaran, bahkan ada wacana untuk dibubarkan. Walau akhirnya hanya dibekukan untuk sementara sampai batas waktu yang belum ditentukan. Aku tahu pembekuan ini karena ada tekanan dari pihak yang tidak senang dengan keberadaan ISF. Beberapa orang ini sudah lama kita curigai ada hubungan dengan sindikat kriminal Internasional, tapi kita belum punya buktinya. Gian dan Anwar yang ditugaskan untuk menyelidiki hal ini. Dan orang yang kemarin kau kirim fotonya adalah informan Gian. Kalau menurut ceritamu, berarti orang itu berusaha menghubungi gian. Mungkin dia punya suatu informasi yang ingin di sampaikan. Untuk itu aku memintamu untuk menemui orang itu. Karena hanya kau Agent yang bebas bergerak saat ini."

Om Dans diam sejenak, karena ada pelayan yang mengantarkan makanan. Setelah pelayan itu pergi dia lalu meneruskan ucapannya, "Sebelumnya aku harus bilang padamu. Tugas ini bisa sangat berbahaya bagimu. Kau bisa terbunuh dan kalau tertangkap aku mungkin tidak bisa menolongmu. Jadi tugas ini kau benar-benar sendiri. Sementara jika kau berhasil, maka kau telah menyelamatkan negaramu, dan ISF bisa mengembalikan nama baiknya. Aku tidak akan memaksamu, semua keputusan ada padamu. Kau kuberi waktu dua hari untuk memikirkan hal ini. Jika kau setuju aku akan mempersiapkan keberangkatanmu."

Setelah itu tidak ada pembicaraan karena kami menyantap hidangan yang telah dipesan. Tidak lama setelah selesai makan Om Dans dan Sora pergi, karena ada pertemuan penting. Mereka hanya berpesan padaku, untuk benar-benar memikirkan hal yang tadi kami bicarakan.

#####

Tidak lama kemudian aku juga meninggalkan tempat itu, dengan berbagai hal berkecamuk di dalam pikiranku. Ini benar-benar menjadi dilema bagiku, jalan mana yang harus kuambil. Aku harus minta pertimbangan kepada siapa? Tidak mungkin hal ini kukatakan kepada Ayah dan Ibu. Minta pertimbangan Mbak Tika juga tidak mungkin. Aku berhenti, kemudian menghubungi Mas Bram dan Elang. Kebetulan juga Elang juga ingin berbicara sesuatu kepadaku. Sementara Mas Bram mengatakan akan meluangkan waktu nanti sore untuk menemuiku.

Saat hendak melanjutkan perjalanan, kulihat Pak Das sedang berdiri di pingir jalan sedang memanggil Taxi. Aku segera memanggilnya. Melihatku, dia segera berjalan ke arahku. "Mau kemana, Pak?" tanyaku.

"Mau pulang, Mas" jawabnya.

"Ayo masuk, saya antar."

"Tapi..."

"Sudah, tidak usah sungkan. Kebetulan aku juga mau kesana," ucapku sedikit berbohong.

Setelah itu Pak Das masuk. Dalam perjalanan dia bercerita, dia baru saja mengantarkan mobil yang semalam rusak ke bengkel. "Sebenarnya ada yang ingin bapak sampaikan kepada Mas Gavin. Taaapi...," ucapnya ragu.

"Ada apa, Pak? Bilang saja." ucapku.

"Sebenarnya ini soal Mbak Zulfa."

"Ada apa dengan Zulfa?" ujarku penasaran.

"Tapi Mas Gavin harus janji ya, jangan bilang kalau cerita ini dari saya."

"Baik, aku janji."

"Sebenarnya peristiwa yang semalam itu bukan yang pertama kali."

"Maksudnya?" tanyaku makin penasaran.

Pak Dasuki lalu menceritakan bahwa sebelum kejadian semalam gerombolan itu sudah dua kali mencegatnya. Tapi mereka cuma memeriksa mobil yang dikendarainya. Semalam Pak Das baru menyadari bahwa gerombolan itu ternyata mencari Zulfa. Selain itu dari kamera cctv juga diketahui bahwa mereka berkali-kali mengawasi rumah keluarga Ihsan.

"Saya sudah mencoba bicara kepada Mbak Zulfa. Tapi dia bilang pada saya untuk tidak perlu khawatir dan meminta hal ini agar tidak diceritakan kepada Mas Fariz. Sementara Tuan baru pulang minggu depan. Menurut Mas Gavin, apa yang harus saya lakukan? Saya betul-betul merasa khawatir."

Mendengar hal itu, aku juga sependapat dengan Pak Das. Tapi apa yang mereka cari dari Zulfa. Setelah berpikir sejenak aku berkata kepada Pak Das, "Baiklah pak, nanti biar aku coba bicara dengan Zulfa. Dan aku akan minta temanku untuk menyelidiki hal ini."

Mendengar ucapanku, Pak Das menjadi cerah mukanya. "Terima kasih, Mas," ucapnya tersenyum.

Tapi saat sampai di rumah itu, ternyata Zulfa sedang keluar. Aku batalkan rencanaku untuk mampir di rumah itu. Aku pamit pada Pak Das, tapi aku berjanji padanya akan segera menghubungi Zulfa.

#####

Sampai di rumah aku segera menghubungi Zulfa, tapi nomernya sedang tidak aktif. Aku menyalakan televisi, walau kemudian aku melihat tidak dengan konsen. Mataku ke arah televisi, tapi otakku sibuk memikirkan persoalan-persoalan yang ada di depanku. Hingga aku tidak sadar terlelap di sofa ruang tamu itu.

Entah berapa lama aku tertidur. Saat aku bangun tidur, ternyata sudah ada orang lain di ruangan itu. "Sudah lama Lang?" tanyaku bangkit duduk.

"Sekitar satu jam," jawab Elang yang duduk di kursi sebelah kiriku. "Tampaknya kau sangat lelah, Vin," lanjut Elang.

"Mungkin," ucapku beranjak ke dapur.

"Ada masalah apa?" tanya Elang, sekembalinya aku dari dapur.

Setelah minum, aku diam sejenak. Kemudian aku menceritakan semua apa yang kuhadapi saat ini. "Bagaimana menurutmu Lang?" Aku meminta pendapatnya, setelah semua ceritaku selesai.

"Aku tidak tahu harus bicara apa? Aku bukan orang yang mudah terbawa emosi, dan mungkin itu pembawaanku sejak lahir. Kita walau baru bertemu, kenal, berteman dan kemudian mengangkat saudara. Tapi aku merasa kau benar-benar saudaraku sejak dulu. Hingga aku dapat merasakan apa yang kau rasakan."

"Aku mungkin dulu tidak akan merasa dilema kalau menghadapi apa yang kau hadapi saat ini. Karena tidak ada keterikatanku dengan orang lain. Apa yang ingin kulakukan akan kulakukan selama tidak melanggar hak orang lain."

"Dalam hal ini sebenarnya mudah saja penyelesaiannya. Semua tergantung padamu. Kau tanyalah pada hatimu, apa yang kau inginkan. Kau dulu pernah berkata, pada awalnya kau tidak menyetujui keputusan Ayah, saat dia mendaftarkanmu sekolah untuk menjadi pegawai negeri. Jadi kini hal itu kembali berulang, tapi saat ini keputusannya ada pada dirimu sendiri, bukan orang lain."

Aku berpikir apa yang Elang katakan memang benar. Aku sekarang sudah dewasa, jadi harus bisa memikirkan dan memutuskan apa yang harus kulakukan. Setelah berpikir matang maka aku membuat keputusan. "Aku mengerti apa yang kau maksud Lang. Baiklah aku akan terima tawaran Om Dans. Segala resiko biarlah aku tanggung. Lagi pula aku ini lelaki tipe petualang. Jika ada petualangan di depan mataku, kenapa aku tidak ambil. Selain itu, jika aku bisa menyelesaikan tugasku lebih cepat, aku masih punya waktu untuk menuju tempat tugas. Terima kasih Lang atas saran dan dukunganmu," ucapku sambil memeluknya.

"Hai, aku bukan tante-tante. Tidak usah lama memelukku," gurau Elang.

"Haa... Haa... Haa... Haa..." kami kemudian tertawa bersama.

"Oh ya, kau bilang ada sesuatu yang ingin kau katakan juga," ujarku setelah tawa kami reda.

Elang diam sejenak, kemudian berkata, "Sebenarnya aku juga dapat kesempatan belajar sepertimu."

"Maksudnnya?" tanyaku.

"Ya, seperti kau. Aku tadi pagi di panggil Pak Kapolda. Dia mengatakan, Mabes akan mengirim lima orang ke Amerika untuk menambah ilmu. Dan salah satunya aku," ujar Elang.

"Benarkah? Selamat Lang. Kau memang pantas mendapat kesempatan itu. Karena kau adalah yang terbaik," ucapku, sembari memeluknya kembali. Dan kami kembali tertawa bersama.

"Kapan dan berapa lama?" tanyaku.

"Dalam satu bulan ini aku harus sudah berangkat. Di sana sekitar 6 - 12 bulan."

Kami lalu berbicara mengenai bermacam hal, tidak lupa aku meminta Elang untuk menyelidiki orang-orang yang berusaha menculik Zulfa.

"Vin, selama kita mengangkat saudara hampir satu tahun ini tanpa kita sadari, ternyata kita ini jarang seperti ini. Entah karena kesibukanmu atau kesibukanku. Bagaimana kalau sebelum kau berangkat, kita luangkan waktu untuk bersama."

"Boleh, kita mau kemana?"

"Tidak perlu kemana-mana. Kita lakukan saja kegiatan barian bersama."

"Contohnya?"

"Misal: Basket, Renang, Menembak, Outbound, dan lain-lain. Bagaimana?"

"Ok, kita berdua atau mau ngajak Mas Bram, Fariz dan Dion?"

"Boleh juga ajak mereka. Yang penting no Tante ya,"

"Deal, ayo mumpung masih sore kita mulai saja sekarang. Sambil nunggu Mas Bram."

Aku dan Elang lalu berganti pakaian. Setelah itu kami pergi ke tempat fitnes yang tidak jauh. Banyak yang kagum dengan bodi Elang, tapi dia cuek saja. Sementara Elang hanya bisa geleng-geleng kepala, saat aku tebar pesona di tempat itu.

Tidak lama di tempat itu, kami lalu pulang. Saat lewat lapangan basket yang biasa ternyata cukup ramai. Aku lalu mengajak Elang untuk bergabung. Dan tidak kusangka sebelumnya, ternyata Elang cukup jago bermain basket. Apalagi di tunjang dengan tubuh tinggi besarnya. Dengan mudahnya dia melakukan Rebound dan Dunk.

Kami mengakhiri pertandingan itu dengan sama-sama kelelahan, tapi hati senang. Elang bercerita pernah ikut klub basket di sekolahnya. Tapi saat sekolahnya akan ikut kejuaran nasional antar SMU, terjadi kasus di sekolahnya. Jadi, diapun gagal tampil di kejuaraan itu.

Malam harinya Mas Bram datang bareng dengan Mbak Rara. Setelah mendengar ceritaku, akhirnya dia mendukungku. Dan berjanji akan membantuku berbicara dengan Ayah dan Ibu. Kami kemudian berbincang hingga larut malam. Sambil menunggu telepon dari Om Dans, dalam dua hari ini aku pergunakan waktu untuk melakukan kegiatan bersama teman-teman. Tidak lupa sesuai janjiku, aku mengatakan persoalan Zulfa kepada Elang, dan meminta dia untuk menyelidiki masalah ini.

Tepat empat puluh delapan jam kemudian dari saat terakhir dia menemuiku, Om Dans menelepon menanyakan keputusanku. Setelah mendengar keputusanku, Om Dans memintaku untuk bersiap-siap. Karena dia akan memberangkatku dalam dua puluh empat jam ini.

Setelah menerima telepon itu aku tidak bisa tidur. Mau menghubungi Ayah dan Ibu tapi aku takut mereka terganggu dan khawatir. Apa lagi ini sudah tengah malam. Akhirnya aku membuka laptop dan berselancar di dunia maya. Membuka berbagai macam akun media sosial, mencoba mencari teman yang masih online.

Saat asyik tenggelam dalam dunia maya, telepon kembali berbunyi. Om Dans lagi, dia hanya bicara singkat. Aku berangkat ke negeri Tiongkok hari jam 17.00 Wib. Semua sudah diurus ISF, aku tinggal berangkat. Jam 5 sore, berarti lima belas jam lagi dari sekarang.

Setelah Om Dans menutup telponnya. Aku segera menghubungi temanku yang bekerja di stasiun Pekalongan. Meminta dia untuk menyediakan tiket kereta api ke Jakarta untuk beberapa orang. Setelah itu aku berusaha untuk beristirahat untuk satu-dua jam, menunggu pagi hari.

Setengah lima aku bangun, kemudian kegiatan rutin pagi hari. Jam lima aku telepon Ayah dan Ibu. Mereka tentu kaget mendengar hal itu, tapi setelah aku memberi penjelasan, akhirnya mereka mengerti. Aku juga berkata sudah memesan tiket kereta untuk Ayah dan Ibu agar bisa ke Jakarta, sebelum keberangkatanku.

Kemudian kukabari juga Mas Bram, Mbak Tika, Elang, Mbak Ina, Dion, Fariz serta yang lainnya. Sama seperti ayah dan ibu, mereka juga kaget. Mbak Tika jelas yang paling sedih, karena dia tidak bisa mengantarku. Setelah itu seperti biasa menggerakkan badan walau sebentar. Setelah mandi aku mempersiapkan apa saja yang akan kubawa, hanya benar-benar barang yang kubutuhkan saja. Soal barang yang lain, yang harus kubawa ke Inggris aku tinggal, biar nanti dikirim lewat paket.

Setelah semua siap aku beristirahat, selain untuk menyegarkan jasmani juga berusaha untuk sejenak membebaskan pikiran dari hal-hal yang membebaniku. Hampir tengah hari saat aku terbangun karena bunyi telepon. Ayah dan ibu sudah sampai, dan menelponku bisa menjemput atau tidak. Aku minta mereka untuk naik Taksi. Empat puluh menit kemudian mereka sampai. Setelah istirahat sebentar, Ayah dan Ibu mengajakku bicara.

Maklum ini adalah pertama kalinya aku akan berpisah jauh dengan mereka. Memang selama tujuh tahun ini kami berpisah juga, aku di Jakarta dan mereka di Pekalongan. Dan itu jarak yang masih bisa di capai dengan 6 - 8 jam perjalanan. Tapi kalau di luar negeri, tentu jauh lebih sulit untuk bertemu. Apalagi pendidikanku bisa sampai dua tahun.

Mereka lalu memberiku pesan agar aku selalu menjaga kesehatan dan lain sebagainya. Menjelang sore hari Elang datang, dan tidak lama kemudian diikuti Mas Bram bersama Mbak Rara. Karena Ayah dan Ibu menghendaki, maka aku menitipkan apartemen dan kendaraan pada Mas Bram dan Elang.

Tidak lama kemudian aku berangkat ke bandara di antar oleh mereka. Ayah dan ibu di mobil Mas Bram, sementara aku dan Elang satu mobil. Banyak teman-teman yang mengirim pesan, tapi aku tidak bisa membalas semuanya. Dalam perjalanan ke bandara Om Dans meneleponku. Dia mengatakan akan ada orang yang menemuiku di restoran bandara.

Setengah lima kami sampai di bandara. Aku segera menuju restoran untuk menemui orang yang di maksud Om Dans. Orang itu memberiku tiket dan satu koper kecil. Karena waktu keberangkatan sudah di umumkan, aku segera berpamitan pada mereka semua. Ibu adalah orang terakhir dan yang paling lama memelukku. Air matanya menetes membasahi pipinya. Dia menggenggam erat tanganku, seakan enggan melepas kepergianku. Ayah menenangkan hatinya, hingga ibu mau melepaskan tanganku.

Setelah kembali memeluk ayah dan ibu untuk terakhir kalinya, aku kemudian melangkah ke pintu masuk keberangkatan. Dan kini, aku sudah di atas pesawat yang baru saja tinggal landas. Sekali lagi aku menengok ke bawah, melihat bandara yang baru saja kutinggalkan.

Mentari senja menyinariku yang duduk di sebelah jendela. "Selamat tinggal Ayah, Ibu, Elang, Mas Bram, Mbak Rara. Semoga kita bisa bertemu lagi, secepatnya!" bisikku dalam hati. Karena aku merasa ini hanyalah sebuah akhir dari awal perjalanan panjangku yang baru.

#####
 
End of Beginning III B : Elang

Dalam perjalanan pulang dari Bandara sehabis mengantar Gavin, aku memisahkan diri dari rombongan Mas Bram. Aku memang bisa memberi nasihat pada Gavin. Tapi pada kenyataannya aku sendiri masih bingung dengan keputusanku. Bukan soal tugas belajarku. Soal itu aku sudah mengambil keputusan, aku akan mengambil tawaran dari Mabes itu. Kapan lagi, kalau bukan sekarang. Lagi pula pendidikan ini juga menambah pengetahuan dan keahlianku dalam menjalankan tugas-tugasku di masa depan.

Yang kupikirkan adalah bagaimana hubunganku dengan Avi dan Chantal, dan bagaimana aku harus mengatakan hal ini pada mereka. Aku memang belum mengatakan hal ini pada mereka. Avi sedang ada tugas peliputan di luar kota selama seminggu. Sementara Chantal juga ada urusan selama tiga hari di luar kota. Tadi pagi dia sudah memberi tahu bahwa dia sudah kembali. Tadi aku sudah memberi tahu Ayah dan Ibu ( Gavin ) bahwa aku akan pulang terlambat. Sebelum aku menuju rumah Chantal, aku sempatkan untuk ke kantor.

Seorang kawanku telah mengirimkan data-data yang kuminta. Berdasarkan foto dan rekaman cctv yang diberikan Gavin. Orang-orang yang mengawasi rumah Fariz tidak mempunyai riwayat kejahatan. Sementara mobil yang mereka gunakan adalah milik salah seorang pengusaha besar. Apakah ini ada hubungan dengan persaingan antar pengusaha atau hal lainnya, aku belum tahu. Mungkin besok aku akan mulai menyelidikinya, sesuai janjiku kepada Gavin.

#####

Jam delapan malam aku sampai di rumah Chantal. Mazel sudah tidur, sementara Nathan masih belajar. Chantal sedang ngobrol dengan Prudence di ruang makan. Melihatku datang, Chantal menawariku makan malam. Aku yang kebetulan makan, dengan senang hati menerimanya. Chantal melayaniku seperti melayani suaminya yang baru pulang kerja. Hal itu membuatku merasa tidak enak hati. Apalagi ada Prudence di tempat ini.

Tidak lama kemudian Prudence pulang, dijemput temannya. Saat Chantal membersihkan peralatan makan, aku ke kamar Nathan dan berbicara sebentar dengannya. Setelah dia bersiap tidur aku keluar dari kamarnya sambil mengucapkan selamat malam.

Aku menuju ke ruang keluarga, kemudian menyalakan televisi. Tidak lama kemudian Chantal datang dan duduk di sebelahku. Untuk beberapa saat kami hanya diam. "Bagaimana perkembangan hubunganmu dengan Avi?" tanya Chantal tiba-tiba.

"Masih jalan di tempat," ucapku setelah diam lama.

Kembali kami saling diam. Hanya suara televisi yang terdengar di ruang itu. "Chant, aku ingin berbicara tentang sesuatu," kataku.

Dia menengok ke arahku. Menatap mataku, melihatku serius dia kemudian mematikan televisi. Setelah mengambil nafas panjang aku berkata, "Entah hal ini ada hubungan denganmu atau tidak. Aku hanya ingin kau mengetahuinya. Aku akan di kirim ke Amerika untuk pendidikan selama 6 - 18 bulan."

Aku tatap matanya, ada keterkejutan dan kesedihan di mata itu. "Selama itu?" desisnya.

"Ya," anggukku.

"Bagaimana dengan Avi?"

"Dia belum tahu."

Chantal menatapku tidak percaya. "Dia masih di luar kota," jelasku.

"Aku tidak berhak untuk melarangmu. Lagi pula aku tahu sifatmu, aku larangpun kau pasti akan tetap berangkat. Benarkan?"

"Ya. Aku tidak minta kau melarangku. Tapi kau pasti mengerti, kau adalah salah satu wanita yang spesial bagiku. Aku hanya minta dukunganmu. Kalau aku tidak menganggapmu, aku pasti tidak akan mengatakan hal ini padamu. Aku tidak tahu apa nama dari hubungan kita ini, tapi kau mengerti apa yang kumaksud bukan?"

"Ya, aku selalu tahu apa yang ada dalam pikiranmu. Hal itu adalah kelemahanmu sekaligus suatu kelebihan juga bagimu."

"Terima kasih, Chant. Kau memang wanita yang spesial. Karena hal itulah..." aku tidak melanjutkan ucapanku, saat kulihat dia tampak sedih.

"Sudahlah Lang, jangan ucapkan hal seperti itu lagi." dia mengusap ujung matanya.

"Kalau begitu aku pulang dulu." aku bangkit berdiri.

"Lang." Chantal menahan tanganku.

Aku berbalik, kulihat matanya berkaca-kaca. Dia bangkit lalu memelukku dan menangis di dadaku. Aku biarkan itu berlangsung untuk beberapa lama. Setelah hampir lima menit chantal mengangkat mukanya dari dadaku, dia memandangku. "Lang, maukah kau tidur di sini untuk terakhir kalinya?"

Pertama ada kebimbangan dalam hatiku. Tapi saat dia bertanya untuk kedua kalinya, aku hanya bisa mengiyakan permintaannya. Untuk beberapa lama kami hanya saling berpandangan. Chantal menarik kepalaku hingga aku menunduk, dia mencium keningku, kemudian mengecup kedua pipiku, dan mengecup bibirku. Aku masih diam dengan apa yang dilakukannya.

Tapi aroma tubuh Chantal yang tajam memasuki hidungku hingga memenuhi benakku dan membangkitkan nafsuku. Tanpa sadar aku mulai membalas ciumannya saat bibirnya bertambah liar di bibirku. Saat dia memasukkan lidahnya ke mulutku, aku sambut dengan liar, kubalas dengan menghisap lidahnya hingga dia mengerang lirih.

Chantal melepas ciumannya, kemudian melingkarkan tangannya pada leherku. "Bawa aku ke kamar Lang," bisiknya. Tanpa berpikir panjang aku membopong tubuhnya ke arah kamar tidurnya. Sesampainya di kamar kuturunkan tubuhnya. Kami berhadapan sejenak, lalu Chantal tersenyum dan kembali bibirnya mengecup bibir bawah dan atasku bergantian dan berusaha membangkitkan gairahku lagi. Aku tidak mau kalah, aku membalas ciuman bibirnya dengan sama buasnya.

Kami kembali dengan permainan lidah kami. Kumainkan lidahku di antara kedua bibirnya, kukorek-korek lidahnya agar keluar. Dengan perlahan lidahnya keluar dan dengan malu-malu mengikuti gerakan kemana lidahku pergi. Dan ketika dengan perlahan lidahnya menjulur memasuki mulutku, kusambut dengan lembut dan perlahan kujepit dan kuhisap lidahnya didalam mulutku.

"Uhmmpp..." dia mendesah dan tubuhnya menggeliat menahan nikmat yang menyerangnya.

Sementara, tanganku mulai menyusup dari bawah gaunnya dan merayap ke atas. Tangan kananku menemukan payudara kanan Chantal setelah menyusup dan membuat gaun itu terangkat sampai ke tengah tubuhnya. Chantal juga membantu dengan sedikit mengangkat tangannya sehingga gaun tidurnya secara mudah tertarik ke atas sampai terbuka.

Tubuhnya kini telanjang di depanku, tubuh yang putih mulus dengan beberapa buah tato di tubuhnya. Setelah itu dia segera melepas baju dan juga celanaku. Kini kami sama-sama telanjang. Chantal beranjak menuju ranjang dan menata bantal yang ukurannya besar di ujung ranjang kemudian dia bersandar di situ dengan pose menantang. Dia membuka lebar kakinya hingga aku dapat melihat jelas vaginanya. Aku beranjak ke ranjang dan mendekatinya.

Setelah sejenak saling raba dan sentuh, Aku kembali menciumnya sambil meremas payudaranya yang besar dan kenyal itu. Sesekali kucium pipi dan menjilati lehernya hingga membuat dia bergetar dan mengerang. Ciuman kuturunkan ke arah payudara kanannya. Perlahan-lahan aku kecup sekitar payudaranya. Kemudian kujilat memutar mengelilingi payudaranya hingga akhirnya sampai ke putingnya.

Aku hisap sesaat kemudian aku pindah ke payudara kiri untuk memperlakukan hal yang sama. Sepertinya Chantal tidak sabar, dia menarik tanganku dan menekan telapak tanganku kearah payudaranya yang bebas. Aku mengerti, kemudian kuremas perlahan payudaranya sambil memutar-mutar putingnya sehingga dia menggeliat dan menggelinjang. Kulihat mata Chantal sangat redup, dia memagut-magut bibirnya sendiri, mulutnya mengeluarkan desahan erotis.

"Oohh.. aarghh.. en.. ennak Lang, emmh.." Kata Chantal mendesah.

Tiba-tiba tangannya memegang tanganku yang sedang meremas-remas payudaranya dan menyeret ke selangkangannya. Aku mengerti apa yang diinginkannya, dia ingin agar aku segera mempermainkan liang vaginanya. Jari-jariku pun segera bergerilya di vaginanya. Kugerakkan jariku keluar masuk dan kuelus-elus klitorisnya yang membuat Chantal semakin menggelinjang tak karuan.

"Ya.. terruss.. argghh.. eemmh.. enak.. oohh.." Mulut Chantal meracau.

Setiap kali Chantal terasa mau mencapai klimaks, aku hentikan jariku menusuk vaginanya, setelah dia agak tenang, aku permainkan lagi liang vaginanya, kulakukan beberapa kali.

"Emhh Lang.. ayo dong jangan gitu.. kau jahat oohh.." Kata Chantal memohon.

Mendengarnya membuatku merasa kasihan juga, tapi aku tidak akan membuatnya klimaks dengan jariku tapi dengan mulutku. Segera ku arahkan mulutku ke vaginanya. Kusibakkan rambut pubis tipis yang mengelilingi vaginanya dan terlihatlah liang senggamanya yang merah dan mengkilap basah, sungguh indah. Segera aku jilati lubang itu, lidahku kujulurkan keluar masuk.

"Lang... arghh.. oh.. emhh.." desahnya.

Aku tak perdulikan kata-katanya, lidahku terus menari-nari di dalam liang senggamanya bahkan menjadi semakin liar tak karuan Ketika lidahku menyentuh klitorisnya, dia mendesah panjang dan tubuhnya menggeliat tak karuan dan tak lama tubuhnya bergetar beberapa kali, tangannya mencengkram sprei dan mulutku dipenuhi cairan yang keluar dari liang kewanitaannya.

"Ohmm.. emhh.. ennak Lang.. aahh.." Kata Chantal ketika dia mencapai klimaks.

Setelah Chantal selesai menikmati kenikmatan yang diperolehnya, aku mencumbunya lagi karena aku juga ingin mencapai kenikmatan. Kali ini posisiku di bawah tubuh Chantal. Aku tidur telentang dan Chantal melangkah di atas batang penisku. Tangannya memegang batang kejantananku yang tegak perkasa, setelah menjilatinya lalu perlahan-lahan pinggangnya diturunkan dan vaginanya di arahkan ke batang penisku dan dalam sekejap bless burungku hilang ditelan liang kewanitaannya.

Chantal lalu mulai melakukan gerakan naik turun, dia angkat pinggannya dan ketika sampai di kepala penisku dia turunkan lagi. Semula pelan-pelan tapi kini dia mempercepat gerakannya. Kulihat wajahnya penuh dengan keringat, matanya sayu sambil merem-melek dan sesekali ia melihat ke arahku. Mulutnya mendesis-desis, sungguh seksi wajah wanita yang sedang dikuasai nafsu birahi dan sedang berusaha mencapai puncak kenikmatan.

Wajah Chantal terlihat sangat cantik seperti itu ditambah lagi rambutnya yang terlihat acak-acakan terombang ambing gerakan kepalanya. Payudaranya terguncang-guncang, lalu tanganku meremas-remasnya. Desahannya bertambah keras ketika jari-jariku memelintir puting susunya.

"Oh emhh yaah.. oohh..., Aku tidak kuat lagi, Lang..!" Kata Chantal sambil berhenti menggerakkan badannya. Tampaknya dia segera mencapai klimaks, lalu aku rebahkan tubuh Chantal dan kupompa liang senggamanya, tak lama Chantal mencapai klimaks.

Kuhentikan gerakanku untuk membiarkan Chantal menikmati orgasme yang kedua kalinya. Setelah itu kucabut batang penisku dan kuminta Chantal menungging, lalu kumasukkan batang penisku dari belakang. Chantal terlihat hanya pasrah saja terhadap apa yang kulakukan padanya. Dia hanya mendesah kenikmatan. Setelah beberapa lama dan puas dengan posisi ini, aku minta Chantal kembali ke posisi semula.


Kembali kumasukkan batang kejantananku dan memompa vaginanya lagi, karena aku ingin mengakhirinya. Beberapa saat kemudian Chantal ingin klimaks lagi, wajahnya memerah dan tubuhnya menggelinjang kesana-kemari.

"Ahh.. oh.. aku mau sampai lagi, Lang !. arrghh ahh.." kata Chantal.

"Tunggu Chant, ki.. kita barengan.. aku juga sedikit lagi.." desahku.

"Aku sudah tidak tahan Lang.. ahh.." kata Chantal mendesah panjang. Lalu tubuhnya bergetar hebat, pinggulnya terangkat naik. Cairan hangat membasahi dan menyirami batang penisku.

Kurasakan dinding vaginanya seakan akan menyedot penisku begitu kuat dan akhirnya aku pun tidak kuat "Crott... croot... croot..." aku juga mencapai klimaks. Kenikmatan yang luar biasa. Lalu kami saling berpelukan erat meresapi kenikmatan yang merasuki kami berdua.

#####

Mungkin karena lelah setelah pertarungan kami, Chantal tertidur. Setelah menyelimutinya, aku memakai celanaku kembali dan beranjak keluar. Setelah mengambil minuman aku kembali ke kamar dan duduk di tempat tidur sambil menonton televisi yang memang ada di dalam kamarnya tersebut. Mataku memang menatap layar televisi, tapi pikiranku mengelana entah kemana.

Entah berapa lama aku tenggelam dalam lamunan, aku sadar karena tiba-tiba Chantal memelukku dari belakang, kemudian menggelayut di punggungku.

"Maaf kalau kau terbangun karena suara televisi," ucapku

Dia tidak menjawab, tapi tetap memelukku erat. "Maaf ya Lang.." katanya manja.

"Maaf kenapa?" tanyaku, sambil mengelus tangannya yang melingkar ke dadaku.

"Maaf karena aku, kau mungkin merasa menghianati Avi,"

"Tidak apa-apa Chant. Aku tidak merasa seperti itu. Avi juga belum resmi menjadi milikku. Jadi kita semua masih bebas, lagipula kita semua sudah dewasa. Ini adalah hal yang wajar terjadi, walau bukan berarti aku membenarkan tindakanku," jawabku sambil memutar badanku. Kemudian aku memeluk tubuhnya erat. Harus kuakui, masih ada rasa sayang dengan wanita ini. Aku kecup keningnya sekali kemudian aku peluk erat lagi.

Tidak ada kata-kata yang terucap untuk waktu yang lama. Seolah tanpa perlu bicara kami sudah tahu apa yang ada dalam pikiran masing-masing. Aku duduk bersandar di bagian atas ranjang. Sementara Chantal menyandarkan tubuhnya ke dadaku, sambil aku memeluknya dari belakang.

Selama menonton televisi, kami seperti pasangan yang sedang dimabuk kasmaran. Chantal bersikap sangat manja kepadaku sedang akupun memanjakannya dengan senang hati, mungkin ini adalah kesempatan terakhir untukku memanjakannya. Sambil memeluknya dari belakang, sesekali aku membelai rambutnya dan mencium tengkuknya yang putih bersih. Chantal cuma melenguh pelan sambil sekali-sekali mencium tanganku yang memeluknya.

Perlahan aku mulai mengelus-elus payudaranya, Chantal mulai duduk dengan gelisah. Apalagi saat aku meremas payudaranya, tubuhnya menegang dan melemas seirama dengan remasanku. Tangan kananku perlahan mengelus garis vaginanya, terasa perlahan cairan vaginanya mulai membanjir.

Tangan kiriku meremas payudaranya yang sebelah kiri, sementara jari tengah tangan kananku mulai menusuk vaginanya, terasa vaginanya berdenyut-denyut hebat. Chantal tidak sabar kemudian membalikkan badannya, kemudian dia menciumku dengan ganas, sedangkan tangannya menyerbu celanaku berusaha untuk mengeluarkan penisku, aku buka ikat pinggang dan resletingku sehingga Chantal bisa menarik penisku keluar dan mulai mengelus-elusnya.

Aku menelentangkannya ditengah tempat tidur, kemudian aku melepaskan celanaku sehingga akupun telanjang bulat. Perlahan aku merangkak di atas tubuhnya untuk memposisikan tubuhku di antara selangkangannya. Kemudian aku mencium bibirnya perlahan, turun ke arah lehernya, sesekali aku jilat lehernya. Kemudian aku turunkan ke payudaranya. Di situ aku menyedot puting dan meremas-remas payudaranya. Sesekali putingnya aku gigit kecil untuk memberinya sensasi.

Ciuman aku turunkan lagi ke perutnya yang rata tersebut. Aku cium pinggulnya kemudian paha dalamnya. Aku sengaja melewatkan vaginanya untuk sasaran akhir. Dari pahanya aku cium betisnya sampai aku cium ujung kakinya. Selanjutnya gerakan aku balik, aku cium betisnya, kemudian aku cium pahanya, selanjutnya, perlahan aku kecup vaginanya.
Aku tatap wajah Chantal dari antara selangkangannya, wajahnya terlihat tegang menunggu hal selanjutnya yang aku kerjakan.

Kemudian aku kecup vagina itu sekali lagi. Dengan menggunakan jariku, aku sibak bulu pubisnya sehingga vaginannya terlihat jelas, perlahan aku jilat bibir vagina kiri dan kanannya perlahan. Selanjutnya dengan gerakan pasti jilatan aku arahkan ke klitorisnya. Klitorisnya yang cukup besar dengan mudah kujilat kemudian aku hisap perlahan.

Pinggul Chantal semakin tidak tenang, dia seakan menghindari jilatannku tapi tangganya menekan kepalaku untuk terus menjilati klitorisnya. Cairan vaginanya keluar semakin banyak. Kemudian aku sejajarkan tubuhku dengan tubuhnya, dia mengerti kalau aku ingin penetrasi ke vaginanya. Tapi aku tunda sebentar, aku cuma menggosok-gosokkan kepala penisku ke bibir vaginanya.

Dia meringis seperti protes karena aku berlama-lama, aku cuma membalasnya dengan seyum kecil. Dia mencoba menekan pantatku, tapi aku tahan. Dia menatapku dengan wajah protes, dia terlihat frustasi. Dia mencoba menekannya sekali lagi, tapi tetap aku tahan, dia semakin frustasi. Kemudian aku kecup bibirnya sekali dan aku masukkan penisku sampai mentok.

"Kamu jahat sayang.. kamu jahat.." bisik Chantal saat aku memeluknya erat setelah memasukkan penisku.

Aku pompa penisku ke vaginanya perlahan, dan Chantal meresponnya dengan mengikuti gerakanku. Walaupun sebenarnya ini posisi yang konvensional, tapi entah kenapa terasa begitu nikmat. Aku bangkit dan berlutut diantara selangkangannya dengan penisku masih didalam vaginanya. Aku taruh jari tengahku ke mulutnya, dan aku hentikan gerakan penisku. Pertama-tama dia bingung, tapi kemudian dia menghisap perlahan jariku. Saat dia menghisap jariku, gerakan penisku aku selaraskan dengan gerakan hisapannya.

Dia tersenyum lebar, Chantal mengerti permainan ini, kemudian dia mulai menghisap mengikuti bagian mana dari vaginanya yang ingin ditusuk oleh penisku. Lama-lama gerakan hisapnya makin cepat sehingga aku makin susah menyelaraskan gerakannya dengan penisku, sepertinya dia sedikit lagi orgasme. Aku tarik jariku dan aku menindihnya dengan gaya konvensional. Perlahan aku pompa vaginanya kadang pelan, kadang cepat. Chantal terlihat makin dekat dengan orgasmenya, badannya makin tegang.

Tak lama tubuh Chantal melengkung sambil dia terpekik kecil, vaginanya terasa licin sekali. Aku percepat pompaanku dan akupun menekan penisku dalam-dalam sambil menyemprotkan spermaku ke rahimnya. Kemudian dia memelukku erat sambil berbisik, "Aku cinta kamu Lang, entah kamu menerima atau tidak."

Aku hanya tersenyum. "Aku akan menunggumu sampai batas maksimal kesabaranku." Chantal kemudian memelukku erat seperti tidak mau dilepaskan.

#####

Keesokan harinya. Walau dengan berat hati, Chantal melepas kepergianku. Matanya berkaca-kaca saat aku meninggalkan rumahnya. Dari rumah Chantal aku segera pulang. Ayah dan Ibu akan pulang ke Pekalongan siang ini. Aku sudah berjanji pada Mas Bram untuk mengantar mereka saat mau pulang.

Sebelum mereka pulang aku meminta restu mereka untuk keberangkatanku ke Amerika. Mereka benar-benar menganggap aku seperti anak mereka sendiri. Dengan setulus hati mereka mendo'akan aku sama seperti apa yang mereka do'akan untuk Gavin.

Sepulang dari mengantar Ayah dan Ibu aku menuju ke kantor. Belum ada kabar baru soal orang-orang yang mengawasi rumah Fariz. Aku mencoba mencari tahu tentang pengusaha yang punya mobil, yang di gunakan oleh mereka dalam beroperasi. Seorang pengusaha yang masuk dalam daftar 25 orang terkaya di negeri ini.

Dilihat dari rekam jejak semua perusahaannya belum pernah tersandung masalah hukum. Dia juga dermawan, sering menyumbang koleksi benda kuno ke museum, karena dia memang kolektor bermacam benda kuno dan antik. Atau rencana penculikan itu sama sekali tidak ada hubungan dengannya.

Perhatianku terganggu, saat tiba-tiba ada panggilan telepon masuk. "Ya, hallo. Ada apa Vi? Kapan? Ok, sebelum jam tujuh aku akan sampai sana."

Telepon dari Avi. Dia sudah pulang dari luar kota semalam. Avi ingin berbicara denganku, dia memintaku untuk menjemputnya jam 7. Jam lima lebih sepuluh aku bersiap untuk pulang. Tapi baru saja keluar dari ruangan ajudan Bapak Kapolda memanggilku. Dia berkata aku di panggil oleh Pak Kapolda. Segera aku mengikuti ajudan itu menuju ruangan Kapolda.

Hampir jam Enam saat aku keluar dari ruangan itu. Setelah itu aku segera meluncur ke tempat kerja Avi. Tujuh kurang lima aku sampai di tempat kerja Avi. Aku menunggu di tempat parkir hingga dua puluh menit kemudian dia muncul. Satu minggu aku tidak bertemu dengannya, dan dia terlihat makin menarik.

"Kemana kita?" tanyaku setelah dia masuk mobil.

"Jalan dulu aja," kata Avi.

"Tidak biasanya kau seperti ini? Kau sehatkan?" tanyaku, melihat Avi tidak seriang biasanya.

"Aku baik-baik saja. Kau sudah makan?"

"Belum."

"Kita cari makan dulu. Cari tempat yang enak buat ngobrol. Ada sesuatu yang harus kita bicarakan."

Nada bicaranya yang tegas seperti itu membuatku yakin bahwa ada sesuatu yang terjadi padanya. Sesampainya di warung langganan aku minta di bungkus saja makanannya. Setelah pesanan jadi aku lalu mengarahkan mobil ke apartemen yang selama ini kutinggali bersama Gavin. "Apa tidak mengganggu Gavin?" tanya Avi, melihat arah tujuanku.

"Tidak, Gavin sudah berangkat ke London." ucapku.

Setelah sampai kami segera makan dan satu jam kemudian kami sudah duduk di ruang tamu. Suasana memang lain dari biasanya. Karena biasanya Avi-lah yang menghidupkan suasana saat kami berdua. Entah dengan cerita maupun candaannya. Tapi karena kini Avi banyak diam, maka suasananya jadi sedikit kaku.

Hampir sepuluh menit kami hanya saling diam. Aku sendiri tidak tahu harus mulai dari mana mengatakan tentang rencana keberangkatanku ke Amerika.

"Lang!" suara Avi memecah kebisuan di antara kami.

Aku menoleh ke arahnya. Rona kesedihan menghiasi mukanya, membuatku menduga-duga apa yang sebenarnya terjadi. "Ada apa? Bicaralah," ucapku menggenggam tangannya.

"Lang, katakan yang sejujurnya, kau menganggap aku sebagai apa bagimu?"

Pertanyaan sederhana, namun bagiku laksana palu godam yang menghantam sanubariku. Hingga membuatku gelagapan jadinya, tanpa sadar melepas genggaman tanganku. Melihatku hanya bengong, Avi mengulangi pertanyaannya.

"Lang, katakan yang sejujurnya, kau menganggap aku sebagai apa bagimu?"

"Lang, katakan yang sejujurnya, kau menganggap aku sebagai apa bagimu?"

"Vi, bukankah kau tahu aa..aku sayang padamu."

"Iya aku tahu itu Lang. Tapi bukan itu yang kutanyakan. Aku tahu kau sayang padaku. Tapi sayangmu kepadaku sebagai apa? Apa karena aku sahabatmu, saudaramu atau lainnya!"

"Aak..akuu..."

"Aku apa Lang? Ayo jawab, mana ketegasan, kejantanan dan keperkasaanmu?" cecarnya dengan nada menahan kesedihan.

Aku pandangi dia, kesedihan mendalam sangat jelas terpancar dari pandangannya. Matanya mulai berkaca-kaca, dan isak tangisnya mulai terdengar. Melihat hal itu, terasa teriris hatiku. Aku baru menyadari betapa besarnya salahku pada wanita di hadapanku ini. Hampir satu tahun aku mengenalnya dan dekat dengannya. Tapi belum sekalipun aku mengucapkan cinta padanya. Aku juga jadi sadar betapa menderitanya dia selama ini menunggu pernyataanku. Aku benar-benar merasa bersalah padanya, kareana mengantung perasaannya. Seharusnya aku memutuskan hal ini secara hitam-putih.

Mungkin Gavin lebih benar dalam hal ini. Biar dia bergonta-ganti pasangan tapi tidak pernah ada hati yang tersakiti karenanya. Aku benar-benar kalah telak dari gavin dalam hal memahami perasaan wanita. Chantal sedikit-banyak, sengaja-tidak sengaja pasti telah tersakiti juga hatinya oleh sikapku.

Isak tangisnya semakin menjadi. Aku menjadi tidak tahan lagi. Aku rengkuh bahunya kemudian memeluknya, sambil berucap "Maafkan aku, selama ini aku telah menyakiti hatimu Vi. Aku menganggapmu lebih dari sekedar teman. Sebenarnya aku cinta padamu. Tapi aku takut untuk mengatakannya. Kau sudah tahu siapa diriku. Aku takut kau akan kecewa padaku, karena tugasku tidak mengenal waktu, penuh bahaya dan lain sebagainya. Tapi aku tidak sadar, ternyata dengan sikapku selama ini kau tetap saja tersakiti. Maafkan aku, mulai sekarang aku tidak akan lari lagi dari kenyataan. Aku cinta padamu, Vi.Selalu dan selamanya."

"Be..benarkah Lang?"

"Tentu sayang," bisikku di telinganya.

"Baik aku percaya padamu. Kapan kau akan melamarku?" tanya Avi sambil melepas pelukanya dan mengusap air mata di pipi chubbinya.

"Me.. melamar...?"

"Iya, melamar. Kapan kau akan ke rumah orang-tuaku?"

"Ii..Itu..."

"Kau masih ragu, atau kau tidak serius?" kata Avi menatapku tajam.

"Bukan begitu, Vi. Tentu aku serius dan ingin menjadikan istriku. Tapi kalau soal menikah, bagaimana kalau kita tunda sampai tugas belajarku selesai."

"Tugas belajar apa?"

"Hal itulah yang ingin kukatakan kepadamu malam ini. Aku dapat tugas pendidikan di Amerika selama 6-18 bulan."

"Lama sekali. Bagaimana aku harus mengatakan hal ini pada keluargaku."

"Kenapa, Vi?"

"Sebenarnya tugas kemarin cuma dua hari. Sisanya aku di rumah orang-tuaku. Mereka memintaku untuk segera menikah. Mereka akan memaksaku menikah jika dalam tahun ini aku belum menikah juga."

"Baiklah aku akan menemui orang-tuamu. Aku akan minta ijin pada mereka agar memberiku waktu."

"Bagaimana jika mereka menolak?"

"Itu bisa dipikirkan nanti," ujarku.

"Terima kasih, Lang. Aku bahagia mendengarnya," Avi memelukku.

"Aku juga bahagia dan lega sudah bisa mengutarakan apa yang ada di hatiku." aku balas memeluk dia.

"Kapan kau akan ke rumah orang-tuaku?"

"Secepatnya. Besok juga tidak apa-apa."

"Besok?"

"Ya, karena minggu depan aku harus sudah berangkat ke Amerika."

"Baiklah," kata Avi menyandarkan kepalanya di dadaku.

Aku membelai rambut Avi dengan lembut. Avi mengangkat kepalanya kemudian memandangku. Aku balas menatapnya hingga kami saling berpandangan kemudian sama-sama tersenyum, tanpa perlu mengatakan apapun kami seolah sudah saling mengerti isi hati masing-masing. Aku dekati wajahnya, Avi memejamkan mata dengan bibir sedikit terbuka. Kupandangi wajahnya yang cantik untuk beberapa saat. Merasa tidak ada tindakan lanjut dariku, Avi membuka matanya.

"Ada apa, Lang?"

"Tidak apa-apa, aku hanya sedang menikmati wajah cantikmu."

"Bisa juga kamu merayu, aku kira hanya mahir berkelahi dan mempergunakan senjaa.., Huuumps."

Sebelum dia menyelesaikan ucapannya bibirku sudah mengecup bibirnya. Untuk beberapa saat dia kaget. Mungkin tidak mengira akan ke agresifanku. Tidak lama kemudian diapun membalas kecupanku dengan ganas dan tangannya merangkul leherku. Cukup lama kami melakukan french kiss. Kulepas ciumanku pada bibirnya, kini bibirku menciumi leher Avi. Desah nafas Avi semakin terdengar kuat. Tangan kanan Avi bergerak meremas rambutku, sementara tangan kirinya mengusap-usap punggungku. Sambil menciumi leher Avi, tanganku bergerak menuju payudaranya yang besar.

Sebelum sempat menyentuh payudaranya, Avi berbisik di telingaku, "Bawa aku ke kamar, Lang!"

Tanpa menunggu lama aku membawa tubuh Avi ke dalam kamar. Sesampainya di kamar Avi memejamkan matanya. Kutempel bibirku di bibirnya. Tanpa ragu Avi menyambutnya. Aku memeluknya dan dia balas memelukku. Kini dua insan mulai dibakar asmara yang telah lama terpendam. Pelukan Avi semakin kuat, seiring dengan ciuman yang berubah menjadi tarian lidah di rongga mulutku. Tampaknya Avi memang merindukan saat-saat seperti ini.

Aku merebahkan Avi tanpa melepas ciuman di bibirnya. Desahan nafas Avi terdengar tidak teratur. Kini kami telah berada di atas ranjang. Kami berguling ke kiri dan ke kanan. Gairah cinta telah membakar kami berdua.

Aku mulai melepaskan kancing blouse Avi. Begitu juga Avi, balas melepaskan kancing bajuku, sambil sesekali berpandangan untuk kemudian berciuman lagi. Aku telah bertelanjang dada, sementara Avi masih terbungkus bra hitam model push up tanpa jahitan di cup-nya, yang membuat dadanya semakin montok menonjol. Kami masih bergulingan dan saling mencium.

Kini Avi berada di atas tubuhku. Sesekali Avi menciumi dada dan leherku. Pinggulnya bergerak-gerak seperti sedang bersenggama, mencari sensasi gesekan pada batangku yang memang telah tegak menonjol di balik celanaku. Aku tidak tinggal diam, kubuka kaitan bra Avi. Tampaklah dua gundukan daging kenyal yang tak kusia-siakan, kuremas kedua payudaranya.

"Aah...," Avi mendesah.

Kami berganti posisi. Kini Aku berada di atas tubuh Avi. Kuciumi payudara Avi, sesekali kugigit putingnya. Avi makin menggelinjang tak karuan, sambil meremas-remas kepalaku. Puas dengan yang kiri, aku pindah ke kanan, dan begitu juga seterusnya.

Kepalaku perlahan turun ke bagian bawah Avi. Lidahku menari-nari di perut Avi hingga terhenti di tepian rok yang masih menutupi bagian bawah Avi. Aku bangkit dan kusingkapkan rok Avi ke atas. Tampak CD hitam berenda yang masih tertutupi stocking hitam transparan. Perlahan kujilati daerah kemaluan Avi yang masih tertutup itu, dengan gerakan memutar di sekitar vagina. Sesekali selangkanagn Avi kujilati pula. Avi melengguh merasakan sensasi lidahku, walaupun masih terhalang kain tipis di vaginanya.

Aku kemudian menggigit stocking Avi tepat di bagain vaginanya. Kini stocking itu robek dan terbentuklah lubang yang menampakkan CD hitam berenda yang telah basah oleh carian vagina Avi. Aku mengendus-endus bagian itu. Kusingkapkan CD hitam Avi. Tampaklah labia mayora yang merah merekah, mengkilat terkena sinar lampu kamar. Lidahku langsung menyapu daerah vagina Avi mulai dari perineum, hingga mencapai klitorisnya.

"Akuhh.. Akhuu.. cinttaahh.. ahh.. ahh.. aiihh...," desah Avi.

Aku tidak menghiraukan desahan Avi yang semakin cepat temponya karena aku terlalu sibuk dengan vaginanya. Sesekali lidahku membuat penetrasi lebih dalam di lubang vagina Avi, dan terutama di klitorisnya. Hingga akhirnya teriakan kenikmatan tiada tara Avi meledak.

"Nnnggaahh.. Akhuu ohh.. aaaahh!" Avi berteriak, merasakan puncak yang di raihnya.

Bibirku belepotan cairan kenikmatan Avi. Kini Avi bangkit walau tubuh masih tampak kelelahan. Nafsunya seperti memberi energi untuk meraih puncak demi puncak yang diidamkannya. Dia mencium bibirku dan mendorongku hingga rebah ke ranjang. Dengan buas Avi membuka ikat pinggangku. Celana panjangku dipelorotkan, dengan sigap CD ku pun dilucuti hingga Aku benar-benar bugil. Batangku yang menjulang diraihnya dan langsung amblas di lahap oleh bibir sensual Avi.
Dikombinasikan dengan kocokan tangan, mulut Avi pun menyedot batangku. Aku merasa geli, manakala Avi sesekali menjilati zakarku. Ditengah kegelian yang mendera, Aku menarik paha Avi supaya bergerak mendekati mukaku. Aku ingin melakukan 69. Ketika vagina Avi tepat berada di atas mulutku, kembali aku menyobek stocking hingga lubangnya tampak lebih lebar. Penampang vagina Avi terbuka lebih lebar. Aku tak menunggu lebih lama untuk menyapukan lidahku ke bagian yang paling pribadi dari Avi. Mendapat sensasi nikmat dariku sesekali Avi tengadah dan mendesah sambil tangannya tak lepas mengocok batang kemaluanku, dan melanjutkan lagi kuluman, hisapan dan sedotan kuat.

Tak lama Avi mengejang lagi, puncak kedua telah diraihnya, hingga kepalanya ambruk terkulai lemas di samping kemaluanku. Tangannya masih mengocok batang kemaluanku namun sudah tidak begitu kuat. Melihat kesempatan itu, aku berganti posisi. Aku minta Avi untuk menungging dengan pipi masih menempel di kasur, karena dia masih kelelahan didera kenikmatan tiada tara. Aku pegang kemaluanku dan mengarahkannya ke vagina Avi yang masih basah, dihiasi leleran cairan kenikmatan di sekitarnya.

"Lakukanlah.. Lang. Akuhh.. Oouucchh...!" Avi mengerang ketika batang kemaluanku amblas sedikit demi sedikit di vaginanya. Aku bergerak maju mundur, diselingi goyangan pinggul memutar, untuk mendapatkan sensasi gelitik di vagina Avi.

"Vi.. ohh.. ahh.. ah.. Viii. Aku cinta.. Ouhh.. aaaahhh," kalimat cinta meluncur dari mulutku.

Begitu pun Avi. Kontrol kesadarannya telah hilang diganti rasa cinta dan kenikmatan yang dalam terhadapku. "Ouu.. god.. Akuh.. cinnntaaah kaammuuh.. oohh.. ahh.. uahh.. ahhhh."

Puas dengan posisi doggy style, Aku merebahkan Avi. Avi menyamping ke kiri. Kaki kanannya kuangkat ke atas. Aku kembali menusukkan batangku dan menggenjotnya.

"Sayang... I love this.. ouhh.. ouhh.. aahh.. Akuhh.. c'mon.. don't stop love mehh.. ngghh.. ngghh."

Kini Aku duduk di ranjang dan menggendong Avi. Avi bergerak turun naik dan sesekali maju-mundur. Aku melepaskan rok Avi yang telah tersingkap lewat atas tubuh Avi. Kini kami telanjang sudah, walau stocking sobek Avi masih menempel. Avi memelukku, namun Aku menahannya, karena ingin menikmati payudaranya yang ranum bergerak-gerak.

Avi makin buas. Didorongnya tubuhku hingga rebah ke ranjang. Kini Avi berkuasa atasku. Pantat Avi turun naik dan semakin cepat gerakannya. Keringat kami bercucuran.

"Vi.. hh.. hhehh.. aku janji.. hh.. hh..hheehh, akhuuhh akhan sellalhuu.. bheersamahmuuu.. Vihh.. hh.. hh."

"A.. a. aahkhuu.. janjhiihh.. hihh.. hiahh.. aah.. chumahh.. khamuhh yanghh.. a.. aah.. aahh.. da di hhaatikuhh.. uhh.. aah.. Akuohh..."

"Viii.. Viih.. aku mau sampaiii.. ouhh..."

"Meh.. thooh.. ouhh.. hangh onhh.. ahh.. aahh aaahhh..."

"Viii...."

"Laaaaaaanngggghhh....."

Lama sekali kami mengejang bersama, spermaku muncrat membasahi vagina Avi. Aku pun merasakan semburan hangat dari lorong vaginanya. Avi mencakar dadaku hingga meninggalkan bekas. Tanganku pun tidak lepas dari bukit kembarnya Avi, hingga akhirnya Avi Ambruk di dadaku.

Keheningan terjadi di ruangan ini. Semilir angin malam dari jendela yang terbuka terasa dingin menusuk kulit, tak kami rasakan. Kehangatan yang menjalar di sekujur tubuh mampu mengusir dinginnya malam yang indah ini. Aku mencium lembut bibir Avi dan Avi pun membalasnya.

"Aku akan melamarmu, Vi."

"Itu yang ingin kudengar darimu Lang... hanya kau yang kuinginkan, bukan orang lain. You're the best!"

Kami berpelukan mesra. Batangku masih menancap di vagina Avi. Hingga pagi menyambut, kami berulang kali melakukan percintaan tanpa henti.

#####

Satu minggu kemudian...

Hari ini aku akan berangkat ke Amerika. Pendidikan di sana awalnya di rencanakan selama enam bulan. Tapi dengan kondisi tertentu bisa sampai dua belas atau delapan belas bulan.

Lima menit lagi aku harus masuk ke dalam pesawat. Tapi di hadapanku masih ada seorang wanita yang sepertinya masih berat melepas kepergianku. Dia masih menggenggam erat tanganku. Wajahnya menatapku, "Lang, aku akan menunggumu. Dan selama kepergianmu aku akan berusaha membujuk orang-tuaku agar bisa menerimamu."

Ya, ternyata kenyataan yang menimpa kami tidak seindah dan semudah yang kami khayalkan. Entah dengan alasan apa, orang-tua Avi tidak merestui hubunganku dengannya. Walau hal itu menyakitkan, tapi aku sadar diri. Siapa aku ini? Aku hanya anak yatim piatu yang tidak mengenal siapa orang-tuanya.

Sementara Avi, siapa yang tidak mengenal dia. Seorang Anchor Woman, yang cantik, cerdas dan dari keluarga terhormat.

Pemberitahuan dari pengeras suara menyadarkanku, sudah waktunya aku harus naik pesawat. Aku lepas tangan Avi yang memegangiku. Aku peluk dia, dan berbisik, "Selamat tinggal, Vi. Entah kita berjodoh atau tidak, kau akan selalu ada di hatiku."

"Selamat jalan, Lang. Semoga kau sukses. Aku juga cinta padamu. Selalu dan selamanya, sampai maut memisahkan kita." dia balas memelukku.

Hampir setengah menit kami berpelukan. Setelah itu aku melepaskan pelukannya. Sekali lagi kami berpandangan, kemudian aku berbalik dan berjalan menuju pintu keberangkatan. Sebelum masuk, sekali lagi aku menengok ke arahnya. Dia melambaikan tangan, aku membalasnya. Dan akhirnya kami benar-benar berpisah.

THE END


Demikian kisah Gavin dan Elang berakhir di sini. Dan seperti judul chapternya. Ini hanyalah Akhir dari sebuah permulaaan perjalanan yang panjang dan awal dari sebuah akhir perjalanan.

Terima kasih pengarang ucapkan untuk semua member semprot dan terutama member yang setia mengikuti cerita ini.

Thank untuk Momod dan Mimin yang tidak menggembok trit ini. Terima kasih untuk all SPARTANIAN. Juga untuk semua pihak yang telah membantu, yang tidak bisa disebut satu-satu.

Akhir kata keep SEMPROT :beer:
 
Ka ming suun di SEMPROT jika keadaan lancar.



"Gemuruh suara penonton memekakkan telinga siapapun yang berada di dalam Gedung olahraga ini. Jatayu, nama gedung olah raga yang menjadi kebanggaan masyarakat kota Pekalongan sedang menjadi tempat final pertandingan bola basket antar SMP tingkat kota."

"Pertandingan akan dilanjutkan, ini adalah saat yang menentukan, karena waktu memasuki detik-detik akhir pertandingan. Siapakah yang akan menjadi juara tahun ini? Mari kita saksikan detik-detik akhir pertandingan ini. SMP Tunas Bangsa masih unggul satu bola atas tim Patriot. Tapi bola saat ini berada di tangan SMP Patiot. Apakah SMP Patriot bisa membalikan keadaan, atau SMP Tunas Bangsa yang akan mempertahankan keunggannya?"

"Inilah Duo Tunas Bangsa, yang menjadi motor tim. Bisa dikatakan merekalah nyawa dari Tunas Bangsa. Masih ada kesempatan, karena bola ada di tangan mereka. Apakah mereka bisa membalikkan keadaan atau paling tidak menyamakan kedudukan."

"Pertandingan dimulai lagi. Arya melakukan lemparan ke dalam pada Luki, Luki melakukan dribbling speed ke daerah patriot, waktu kurang dari lima belas detik. Wow! no look pass yang cantik dari Luki ke Adi. Adi passing ke Fian, 10 detik lagi. Fian melakukan three point shoot. Oh sayang sekali tidak masuk. Yogi dan Andi melompat melakukan rebound, Andi berhasil mendapatkan bola, langsung diberikan pada Arya."

"Tiga detik tersisa, Arya melompat tinggi dan ...
 
ending yg menggantung... mengharap masih ada sekuelnya. Next story apa msh ada koneksi dgn Gavin & Elang suhu. Selamat suhu sudah selesai cerita Gavin
 
Finally ya Oed, finally.:Peace:

Ijin baca lagi dari awal ya brada Oed, udah agak lupa soalnya.:D

:Peace:
 
kereen.. setelah nunggu 1 thn.. ditunggu kelanjutan nya.. smangaaat....
 
Keren, gan
Cuma ntah kenapa saya kurang suka ada cerita lain di tengah cerita inti. Ini masalah selera kok
Ditunggu cerita2 yg lain...
 
Akhirnya tuntas juga karya mu satu ini sob... Tak kirain ga selesai
 
It kyaknya mau ad cerita baru lgi y om odipus???

Kapan tuh om mau dirilis cerita barunya??
 
sumpah kereen abis nih ceritanya.

penasaran kali aja ada lanjutan perjalanan Gavin ke China atau India
 
waaahhh....keerreeeeennnn Bbbrroooo......
Bikin lg dong...
Pasti seru nieh....
Penasaran ama adeknya Fariz, trus... Gavin jadinya nikah ma sapa ya???trus Elang...gmn kelanjutannya ya... Wahhh... Om odipus...tolong dong bikin lg ceritanya...hehehehe
:jempol:
You are the best
 
Setelah baca cerita ini dari awal ane jadi iri sama si Gavin, beruntung banget hidupnya dikelilingi banyak banget wanita hebat apalagi masih dapet warisan sebanyak itu. Tp kasian juga sih, soalnya gak ada cinta sejati yg dia temukan. Kalo bisa lanjut sih ane lebih stuju kalo cinta sejatinya Gavin tuh si Sonia... :)

Kalo si Elang akhirnya dia bisa jujur juga pada dirinya sendiri dan juga pada orang yg dia syang. Tp sebenernya ane lebih suka kalo dia sama mbak Chantal... :)
 
Bimabet
Terima kasih atas karyanya yg menurut ane bagus banget (meski skip sidestory elang sih) .
Berkarya lagi donk suhu....
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd