Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Once Upon A Time In Someplace

Merinding. Bacanyagan..sungguh penantian ♈ªϞƍ panjang hingga mendpt hazil ♈ªϞƍ zngt memuazkan..mkazi gan
 
Chapter XXXIII : End of Beginning II

Tiga minggu berlalu sejak pertemuanku dengan Mbak Airin. Aku sudah menyelesaikan semua pekerjaanku kantor yang menjadi tanggung jawabku. Aku juga sudah mengajari apa yang harus dilakukan penggantiku. Acara perpisahan di kantor juga sudah dilaksanakan. Begitu dokumen dan barang-barang yang kuperlukan semua sudah siap. Aku putuskan untuk pulang dulu ke rumah orang tuaku di Pekalongan.

Sepuluh hari aku berada di Pekalongan. Berkunjung ke rumah kakek-nenek, pakde-bude, paman-bibi, semua saudara dan teman-teman. Berkunjung ke makam Om Gian dan Mbak Dita dua kali. Tentu tidak lupa ke rumah Mbak Tika. Dia tampak sedih saat aku memberitahu tentang tugas belajarku yang akan memakan waktu 1 atau 2 tahun. Walau sedih tapi Mbak Tika tetap mendukungku, karena itu demi masa depanku.

Sehari sebelum kembali ke Jakarta, aku bercinta habis-habisan dengannya. Ayah, Ibu dan Mbak Tika sebetulnya memintaku untuk menunda kepulanganku ke Jakarta. Apalagi beberapa hari lagi adalah ulang tahunku, dan mereka berharap aku merayakannya di Pekalongan. Tapi dengan adanya sesuatu hal, terpaksa aku tidak bisa menundanya.

Hari ini aku pulang kantor sendiri, Dion dan Fariz yang biasanya pulang bareng, masih ada tugas. Tadi sebelum pulang mereka memberitahu, bahwa acara perpisahanku dengan teman-teman akan dilaksanakan besok malam, dan tempatnya akan diberitahu besok pagi. Seperti biasa, jam pulang kantor adalah waktu yang menyebalkan, macet dimana-mana. Tapi tidak terlalu menyebalkan bagiku, karena dengan sepeda motor lebih mudah bermanuver untuk mencari jalan yang tidak terlalu macet. Ya, ZX14R pemberian Mbak Airin kini jadi tungganganku sehari-hari.

Saat berhenti di lampu merah, sebuah pengendara motor Ducati berhenti di sampingku. Aku melirik sejenak, tidak terlihat wajahnya, karena memakai helm full face. Setelah beberapa belokan ternyata pengendara itu masih berada di belakangku. Aku berfikir mungkin dia menuju arah yang sama. Kecurigaanku timbul saat dia mengikuti tindakanku. Saat aku mengisi bahan bakar, dia ikut masuk SPBU, walau tidak mengisi bahan bakar. Saat keluar dari SPBU, aku coba untuk menggeber gas, ternyata dia ikut tarik gas.

Ketika berhenti lagi di lampu lalu-lintas, dia mengambil tempat di depanku. Saat itulah dia memainkan gas, tampaknya dia tidak peduli jadi perhatian pengendara lain. Saat beberapa detik menjelang lampu hijau dia menoleh kearahku, menunjukku, kemudian mengacungkan jari tengahnya ke arahku, setelah itu dia segera menarik gas dan melaju cepat.

Tampaknya dia memang sengaja ingin menarik perhatianku, dan dia berhasil. Aku segera mengejarnya. Ternyata dia adalah pengendara yang sangat handal. Mengerem dan menarik gas selalu tepat di lakukannya. Aku sendiri belum tentu bisa melakukan hal seperti itu. Dia seperti mengajakku bermain-main, dan harus kuakui, bahwa saat ini aku kalah. Hingga jarak di antara kami tidak berubah.

Aku pikir percuma mengejarnya, maka aku putuskan untuk pulang. Setelah istirahat sejenak, aku ganti baju, kemudian turun menuju taman apartement. Aku menuju lapangan basket yang baru dibuat dua minggu lalu. Walau cuma setengah lapangan, tapi lumayan bisa untuk bermain. Setelah pemanasan, aku lalu ikut bermain. Tidak banyak yang ikut bermain, karena cuacanya mendung.

Dan benar saja, saat permainan berlangsung seru, tiba-tiba hujan turun, walau tidak deras tapi tetap saja menghentikan permainan. Dengan alasan hujan, akhirnya mereka semua pulang. Kini tinggallah aku meneruskan permainan sendiri. Hal ini mengingatkan aku pada masa lalu. Ya, dulu aku sering bermain bola basket sendiri di belakang rumah, kalau ada Om Gian aku akan bermain dengannya. Aku ingat, yang membuat ring basket adalah Om Gian. Kalau ayah tidak suka bola basket, jadi aku jarang bermain dengannya.

Kenanganku pada masa lalu terusik saat kudengar suara kendaraan yang mendekati lapangan. Aku segera menoleh untuk melihat siapa orang itu. Ternyata pengendara yang tadi berkejaran denganku. Dia mematikan mesin motor Ducati Panigale 1199 nya, kemudian turun dan mendekatiku.

Saat itu aku baru sadar, tubuhnya tidak sebesar motor tunggangannya. Tingginya sekitar 173 cm, tubuhnya langsing dan bagian dadanya menonjol. Apakah dia wanita, pikirku. Aku jadi ingat Sonia, apakah dia Sonia? Dan itu terjawab saat dia membuka helmnya.

Tampaknya dia bukan Sonia, walau aku belum jelas melihat wajahnya karena hari sudah senja dan mendung. Sinar lampu juga terhalang tubuhku. Aku bergeser sedikit, saat itulah aku dapat melihat wajahnya dengan sejelas-jelasnya. "Ya, Tuhan," gumamku melihat kecantikan wanita di depanku. Wajahnya seperti bidadari dalam lukisan. Apalagi wajahnya juga khas Oriental. Kulit putih, matanya jernih, hidung dan mulutnya kecil, tapi pas di wajahnya. Kecantikannya tidak berada di bawah Sonia maupun wanita yang kutemui dua minggu yang lalu.

Aku tersadar saat dia mengambil bola dari tanganku. Dia melempar bola, kemudian berlari dan melompat menangkap bola yang terpantul oleh papan ring dan langsung memasukkan bola itu. Sebuah gerakan Alley Loop yang indah dilakukannya.

Dia kembali mengambil bola, mengangsurkannya padaku. Saat aku akan mengambilnya, dia mengecohku dengan memutar tubuhnya, kemudian men-drible sebentar dan melempar bola itu 'Plaash' bola itu masuk dengan mudahnya dari jarak cukup jauh.

Cewek itu kembali mengambil bola. Kemudian melemparkannya padaku."One on One, 10 point. Yang menang boleh bertanya," ucapnya menggunakan bahasa Inggris. "Deal," lanjutnya, sambil mengulurkan tangan.

Untuk mengetahui apa maksud dan tujuannya, mau tidak mau aku harus setuju. Maka aku menyambut tangannya, "Deal," ucapku.

Setelah melepaskan tangannya, dia membuka jaket kulitnya dan melemparkannya kebelakang. Dia melepas scarf yang melilit lehernya, kemudian mengikat rambutnya dengan scarf itu. Kini berdiri di hadapanku seorang wanita memakai tanktop hitam, kontras dengan kulitnya yang putih mulus.

Di bawah siraman air hujan. Kami bersiap, aku lalu menghitung "One, Two, Three." Setelah angka tiga aku melempar bola itu ke atas. Aku juga langsung melompat untuk menangkap kembali bola itu, tapi aku kalah satu langkah. Dia lebih dulu merebut bola itu, dan dengan cepat men-drible ke depan. 1 - 0.

Dia ternyata jago juga bermain bola basket. Beberapa menit kemudian kedudukan sudah berubah menjadi 8 - 0. Tinggal dua bola lagi, dan aku akan kalah. Kelelakianku akhirnya terusik juga. Aku tidak mau kalah, apalagi dengan skor telak seperti ini. Aku harus serius dan konsentrasi, pikirku dalam hati. Kuakui sejak awal aku kurang serius. Perhatianku lebih tertuju pada wajah dan gerak-geriknya, bukan bola. Gerak-geriknya memang menarik, bukan seperti orang bermain basket, tapi lebih mirip orang menari. Hal itulah yang membuatku kurang konsentrasi, hingga dia mudah memperdayaku.

Aku mulai men-drible sambil maju, dia menghadangku. Aku tidak membiarkan dia untuk merebut bola lagi. Semua kemampuanku aku kerahkan, dulu waktu SMP-SMA aku pernah ikut kejuaraan basket hingga tingkat nasional. Jadi paling tidak, kemampuanku tidak memalukan. Aku segera mengejar ketinggalanku. Kedudukan berubah 9 - 9.

Bola terakhir, dia yang memegang bola. Dia maju, aku menghadang, dia mendesakku dengan punggungnya hingga aku dapat mencium keharuman bau tubuhnya. Hal inilah yang dilakukan sejak tadi. Untuk mendesak tubuhnya tentu aku tidak enak hati, karena dia wanita.

Saat aku lengah dia segega melepaskan diri melewati lenganku. Dia segera menuju ring, tapi aku tidak membiarkannya. Saat dia melakukan Lay up, aku melompat dan berhasil mengeblok tembakannya. Bola terlempar dan aku berhasil mengejarnya. Dengan cepat aku berlari menghindari hadangannya, dan 'plaassh' permainan berakhir dengan 9 - 10, nilai terakhir kuperoleh dengan Dunk.

Kami berdiri dengan nafas terengah-engah. Sementara hujan sudah reda. Setelah diam beberapa lama, akhirnya dia membuka suara, "Kau menang, besok aku akan menemuimu lagi," ucapnya. Dia melangkah ke arah motornya, memakai kembali jaketnya, naik kemotornya, kemudian menyalakan mesinnya.

"Tunggu!" kataku sebelum dia memakai helmnya.

"Kau tidak percaya padaku!" ucapnya dengan tersenyum.

"Aku percaya, aku hanya ingin tahu namamu," ujarku tetap tenang.

"Namaku Megan Reis," jawabnya singkat. Setelah itu dia segera meninggalkan tempat itu.

#####

Megan Reis, pikiranku masih tertuju padanya. Siapa dia dan apa tujuannya? Itu yang menjadi pertanyaanku. Melihat tata bahasanya sepertinya orang luar, tampilannya juga bukan wanita sembarangan. Tujuannya pasti bukan hal yang sepele. Hingga tengah malam aku belum bisa memejamkan mata karenanya. Saat aku hampir terlelap, ponselku berbunyi. Jam di dinding menunjukan waktu, 12 malam lebih 1 menit. Kulihat nama pemanggil di layar, Mbak Tika. "Malam Mbak," sapaku.

Lima menit kemudian dia baru mengakhiri pembicaraannya. Mbak Tika mengucapkan Selamat Ulang Tahun, kemudian bertanya mau hadiah apa? Dia ingin merayakan ulang tahunku di sini, tapi tidak tahu bisa atau tidak.

Baru saja aku meletakkan ponselku, benda itu kembali berbunyi, Mbak Ina yang menelepon. Dan kejadian itu terus berulang. Setelah Mbak Ina, dilanjut Mbak Rani, Mbak Lula, Mbak Airin, Mbak Venna, Bunda Maia dan disambung lainnya, hingga jam 2 malam, ponselku baru berhenti. Itu yang panggilan suara, belum yang kirim pesan baik lewat SMS, media sosial, maupun email.

Entah aku tertidur jam berapa, saat terbangun sinar matahari sudah cukup tinggi. Dengan agak sedikit malas aku bangun dari tempat tidur. Gerak badan sebentar, cuci muka, ambil koran, lalu membuat minuman. Setelah minum secangkir teh hangat, aku keluar untuk sekedar olah raga ringan. Satu jam kemudian aku sudah kembali ke dalam apartemen.

Kulihat ponsel, ada beberapa pesan dan email yang masuk. Kubaca satu-persatu, masih sama pesannya, banyak yang mengucapkan selamat ulang tahun. Dari Dion dan Fariz sama, mereka berdua memberitahu tempat pesta perpisahan yang akan dilaksanakan nanti sore.

Ada dua Email yang menarik perhatianku. Pertama dari India, email dengan nama Sonia Sinha, dia mengucapkan ulang tahun. Tapi bukan itu yang menarik perhatianku, tapi nama keluarganya. Sinha, nama keluarga yang sama dengan Megha Sinha, wanita yang menurut Yudi adalah sumber permusuhan antara Om Gian dan Narendra Wijaya.

'Apakah aku harus menanyakannya pada Sonia? Tapi kalau lewat email sepertinya kurang pantas. Apakah aku harus menemuinya biar jadi jelas? Baiklah aku akan menemuinya, sebelum aku memulai tugas belajarku.' ucapku dalam hati.

Email yang kedua membuatku menarik dahi. Sebuah email dari Bolognese, Italia. Walau dari Italia, untungnya emailnya memakai bahasa Inggris, jadi aku tahu apa isi emailnya. Awal kalimat adalah sebuah ucapan selamat ulang tahun. 'Apa lagi ini maksudnya? Dalam pengetahuanku, aku tidak punya saudara atau teman orang Italia ataupun yang tinggal di sana!' ucapku dalam hati.

Untuk menghilangkan rasa penasaranku, aku putuskan untuk membacanya sampai akhir, dan aku baca sampai dua kali hingga aku paham benar maksud emailnya. Tapi sampai tiga kali membaca, hanya sebagian kecil yang kumengerti. Selain ucapan selamat ulang tahun, email itu memberitahukan bahwa mobil pesananku sudah jadi. Bisa di ambil atau di kirimkan dan pemberitahuan lainnya soal mobil itu.

Aku termenung sambil berpikir, apakah itu valid, atau penipuan seperti yang biasa kuterima, kalau ini bukan penipuan, apa mereka salah kirim? Tapi tak mungkin, selain mereka perusahaan yang sangat besar, nama lengkapku juga tertulis jelas, dan semua data tentangku juga benar.'

Aku jadi bingung sendiri. Kenapa menjelang tugas belajarku banyak muncul persoalan. Memang hal itu bisa saja tidak kupikirkan, tapi kalau seperti itu bukanlah aku. Sejak dulu rasa ingin tahuku besar, jadi kalau ada sesuatu hal, walau kecil dan tidak pentingpun, aku akan memikirkannya.

Dulu saat kecil kalau ada masalah/ pelajaran yang tidak kumengerti aku biasa bertanya pada Mas Pras, Mbak Dita, atau Mbak Tika. Tapi, sekarang semuanya sudah berubah. Entah kenapa aku rindu masa kecil dulu, juga Mbak Dita. Ya, ulang tahun kali ini tidak ada ucapan selamat dari Mbak Dita.

Teringat Mbak Dita, aku jadi ingat transaksi yang dilakukannya. Bodohnya aku, mengapa saat Mas Bram dan Elang bercerita soal transaksi yang dilakukan Mbak Dita, aku tidak berusaha melihat emailnya. Siapa tahu dia melakukan transaksi lewat email. Email yang biasa digunakan untuk pekerjaan mungkin sudah diperiksa kepolisian, tapi email pribadi pasti belum/ tidak diketahui.

Aku segera log-out, kemudian sign-in ke email Mbak Dita. Dan setelah aku lihat dan baca semua yang ada di foldernya, apa yang kucari, akhirnya kutemukan juga. Dan semua itu membuatku senang, sedih dan terharu, hingga tanpa sadar air mataku menetes turun. Tanpa melihat benar atau salah, perbuatan/ tindakan yang dilakukan Mbak Dita semuanya memang untukku.

#####

Aku tenggelam dalam kenangan dan kesedihan. Mungkin kalau bukan karena ingat janjiku pada Megan aku tidak akan keluar sampai sore hari. Setelah merencanakan dan memutuskan apa yang harus kulakukan, aku segera mandi kemudian turun dan keluar dari apartemen. Karena aku tidak tahu di mana Megan akan menemuiku, aku putuskan untuk mencari makan dulu, aku yakin dia akan menemukanku juga.

Dan benar dugaanku, saat aku sedang menikmati makan tiba-tiba dia sudah ada di depanku. Tanpa permisi dia duduk di hadapanku. Penampilannya masih seperti kemarin sore, yang berbeda cuma warnanya. Celana kulit, sepatu boot, kaos merah dilapis dengan jaket kulit, scarf di leher dan kaca mata di atas kepalanya.

Banyak pengunjung tempat itu yang tidak berkedip saat memandangnya, apa lagi saat dia melepas jaketnya. Banyak wanita yang mencubit pasangannya karena banyak lelaki yang terkesima atas penampilan Megan. Kami sama-sama diam hingga selesai makan.

"Kau pasti bertanya-tanya, siapa aku dan apa tujuanku menemuimu?" Megan membuka percakapan.

"Terus terang, iya. Dan aku pikir kau pasti tidak hanya sekedar iseng untuk menemuiku-kan?" jawabku.

Untuk beberapa saat dia hanya diam sambil mengotak-atik ponselnya. "Kau kenal orang ini?" tanya dia memperlihatkan foto seseorang di ponselnya.

Aku coba memperhatikan foto orang itu. "Aku belum pernah bertemu dengannya, siapa dia?" jawabku setelah yakin aku tidak mengenalnya.

"Karena orang inilah aku datang ke sini. Kami menemukan dia sedang sekarat di suatu tempat di pedalaman China. Saat ini dia sedang koma, dan hanya ada satu hal yang dikatakannya sebelum koma, sebuah kode. Yang berhasil kami terjemahkan menjadi sebuah lokasi, yaitu apartementmu."

Megan berhenti sejenak, kemudian meneruskan perkataannya. "Awalnya kami tidak concern terhadap perkataannya, tapi setelah kami pikirkan lagi, buat apa dia menyebut suatu kode, kalau dia orang biasa. Jadi kami berpikir kemungkinan dia seorang agent. Sebenarnya kami memutuskan untuk menutupi hal ini. Jadi kedatanganku ke sini juga atas kemauan sendiri. Maaf sebelumnya, aku sudah mematai tempatmu sejak dua minggu terakhir, tapi aku tidak menemukan hal apapun yang aneh dan berhubungan dengan orang itu. Untuk itu, sebelum kembali ke tempatku, aku meminta maaf padamu dan mohon agar tidak membocorkan pembicaraan ini kalau tidak, aku tidak bisa menanggung akibatnya. Aku akan memberimu kontak, siapa tahu kau mempunyai petunjuk. Aku pergi, dan jangan coba-coba untuk mengikutiku. Terima kasih." setelah berkata seperti itu, dia mengambil jaketnya dan pergi dari tempat itu dengan diiringi tatapan terpesona para lelaki dan tatapan cemburu kaum wanita.

Aku hanya diam di tempat sambil memikirkan apa yang baru saja dia katakan. Aku memang tidak berminat untuk mengejarnya, bukan karena takut ancamannya. Tapi karena aku yakin masih bisa menemuinya jika dia atau aku inginkan.

Aku setuju dengan apa yang dikatakan Megan, kalau orang yang koma itu orang biasa, tidak mungkin dia menggunakan kode atau sandi untuk memberitahu orang lain. Tapi dalam daftar yang kuterima dari Om Dans, aku yakin tidak ada orang itu sebagai agent ISF. Apa aku harus bertanya dengan Om Dans? Terus apa hubungan Megan dengan hal ini, dia juga pasti bukan orang biasa saja, orang yang tahu tentang hal-hal yang berhubungan dengan kode, kalau bukan kepolisian, militer atau dinas rahasia China. Aku yakin Megan salah satu dari bagian itu. Entah militer, kepolisian, atau bahkan agent rahasia China, MMS.

Saat akan meninggalkan tempat itu, ponselku berbunyi. Sebuah pesan masuk, cuma ada sebuah gambar, foto yang tadi diperlihatkan Megan. Tanpa berpikirpun aku tahu siapa yang mengirim foto itu. Setelah menyimpannya, aku segera meneruskan gambar itu ke nomer Elang dan Mas Bram, dan aku bertanya pada mereka, siapa tahu ada data tentang orang itu.

Tidak lama kemudian Mas Bram membalas pesanku, dia akan membawa data orang itu jika ada, saat merayakan pesta ulang tahunku nanti malam. Beberapa menit kemudian Elang juga membalas pesanku, dengan isi kurang lebih sama dengan pesan Mas Bram.

#####

Setelah itu aku pulang dan beristirahat, agar lebih segar saat acara nanti malam. Jam empat sore aku bangun, kemudian olah raga, setelah itu mandi dan jam enam, aku siap berangkat menuju tempat acara. Melihat cuaca agak mendung, aku putuskan untuk memakai mobil peninggalan Om Anwar.

Sampai tempat acara sudah banyak teman yang datang, Dion yang menjadi panitia sudah mewakili aku menyambut teman, Fariz belum tampak, saat kutanyakan, Dion mengatakan Fariz sedang menjemput seseorang. Tina, Rini, Rahma sudah hadir, Mbak Ina yang aku telpon mengatakan tidak bisa datang.

Teman yang datang adalah banyak gang satu almamater, walau ada juga yang bukan. Mereka datang membawa pasangannya masing-masing, terkecuali yang masih jomblo. Tidak lama kemudian Mas Bram datang dengan Mbak Rara, disusul Elang dengan Avi.

Penampilan Elang agak sedikit beda dari biasanya. Dia yang biasanya pakai topi kupluk, kaca mata hitam, kaos hitam ketat, celana jins belel, jengot dan kumis. Kini tampak bersih dan rapi, Elang memakai jas, mukanya klimis, rambutnya juga klimis, tato di tubuhnya tidak tampak sama sekali. Aku dan Mas Bram hampir tertawa dibuatnya.

Saat Avi dan Mbak Rara asik ngobrol, aku bertanya kepada Mas Bram dan Elang soal foto yang tadi siang aku kirim. Hasilnya nihil, tapi Mas Bram berjanji akan mencari tahu ke sumber lain, termasuk Interpol. Karena suasana tidak mendukung, kami tidak berbicara lama.

Selesai berbicara dengan Mas Bram dan Elang aku berjalan ke depan, Fariz ternyata sudah datang, dia menghampiriku, "Maaf Vin, terlambat," ucapnya sambil menjabat tanganku.

"Santai saja, Riz. Oh ya, katanya kau menjemput seseorang. Siapa? Mana orangnya?" tanyaku.

"Ya, dia ada di taman samping. Sebenarnya dia kurang suka dengan acara seperti ini, ini juga aku sedikit memaksanya. Ayo aku kenalkan," kata Fariz sambil melangkah ke pintu samping. Aku mengikutinya, tampak di pojok taman seorang wanita berdiri membelakangi kami.

Fariz lalu berbicara pada wanita itu, kemudian wanita itu membalikan badannya hingga aku dapat melihat wajahnya. Saat itulah aku dan wanita itu sama-sama bengong, saling pandang. Hingga sadar saat Fariz menegur kami, "Hai, kenapa kalian bengong? Apa kalian sudah saling kenal?"

Bagaimana aku tidak bengong dan terkejut melihat wanita itu. Karena dia adalah wanita cantik yang kutemui di taman tempo hari, sebelum bertemu Mbak Airin. Dan malam ini, wanita ini terlihat lebih cantik dari waktu itu. Pakaiannya yang menutup dirinya dari atas sampai mata kaki tidak dapat menyembunyikan kecantikannya.

Saat Fariz ingin mengucapkan sesuatu aku lebih dulu mendekatinya, dan berbisik di telingganya, "Riz, apakah dia pacarmu?" tanyaku.

Fariz tersenyum kecut, memandang wanita itu sebentar, kemudian dia berkata, "Se..seb benarnya dia adalah kakakku, pacarku sedang ke luar negeri, ta..tapi.. maafkan aku Vin," ujarnya menunduk malu.

"Kenapa minta maaf Riz? Santai saja, kau ini seperti tidak mengenal aku. Hal ini sih bukan masalah besar. Aku tahu maksudmu."

"Terima kasih Vin, oh ya kenalkan ini kakakku Zulfa. Zulfa noor Ihsan lengkapnya," Fariz memperkenalkan kakaknya.

"Zulfa," ucapnya pendek.

"Gavin," balasku menatapnya.

"Sepertinya kalian sudah pernah bertemu ya?" tanya Fariz.

"Ya, pernah satu kali. Sekitar du..."

"Vin, acaranya mau dimulai," teriak Dion memutus ucapanku.

Aku terpaksa masuk dan meminta Fariz untuk mengajak Zulfa masuk. Acara lalu dimulai, aku yang tidak tahu apa susunan acaranya, hanya mengikuti arahan panitia acara. Acara berlangsung ramai, lancar, aman dan dan tertib. Maklum pesta anak-anak muda, takut terjadi keributan walau semua yang datang adalah teman. Pesta berlangsung hingga pukul sebelas malam. Sayang sampai Zulfa pulang, aku belum sempat berbicara lagi dengannya. Tapi dalam hati aku berjanji, pasti akan ke tempat Fariz entah besok atau lusa.

Setengah dua belas aku keluar dari kafe itu setelah menyelesaikan semua pembayaran. Awalnya Dion dan Fariz memaksa mereka yang akan membayar semuanya, karena menurutnya acara ini adalah ide mereka. Tapi aku akhirnya yang berhasil memaksa mereka untuk menyimpan kembali uang mereka.

Aku pulang sendiri, karena Elang mengantar Avi pulang, dan Mas Bram jelas mengantar Mbak Rara. Yang lain tentu mengantar pasangannya masing-masing. Setengah perjalanan dari apartement, ponselku berbunyi, Mbak Tika. "Hallo ada apa Mbak?" tanyaku.

"Tidak apa-apa. Sudah selesai acaranya? Jangan malam-malam pulangnya!"

"Sudah selesai kok Mbak. Ini dalam perjalanan pulang."

"Ya sudah kalau sudah pulang. Nanti dilanjut di rumah saja. Selamat malam," ucapnya mengakhiri percakapan.

#####

Tengah malam kurang lima menit aku sampai di apartement. Setelah melepas jas dan sepatu aku beranjak ke dapur. Mengambil air mineral kemudian kembali ke ruang tamu, menyalakan televisi, saat itulah aku merasakan ada sesuatu hal yang aneh.

Aku coba melihat sekitar apa ada yang berubah di ruang ini. Tidak ada yang berubah, tapi aku merasa ada sesuatu entah apa. Tiba-tiba hidungku mengendus sesuatu, bau harum yang..? Aku langsung beranjak menuju kamar, benar saja harumnya semakin kuat. Pintunya tidak menutup rapat, aku ingat terakhir keluar kamar aku menutupnya dengan rapat.

Dengan sikap waspada aku dorong pintu dengan perlahan, gelap di dalam, dengan perlahan aku masuk dan menekan saklar lampu, 'ctik' dan aku bengong melihat apa yang ada di dalam kamar. "Surprise....!" teriak mereka serempak.

Pemandangan di dalam kamar membuatku serasa berada di jaman kerajaan. Bagaimana tidak, saat ini di dalam kamarku ada lima orang wanita cantik dengan pakaian minim, aku bagaikan Kaisar dan selir-selirnya. Tubuh mereka yang semuanya montok dan berisi hanya di tutupi lingerie sexy.

"Selamat ulang tahun sayang," kata Mbak Tika mencium kemudian memelukku. Dia hanya memakai lingerie Baby Doll, warna merah hati, kontras dengan kulitnya, dadanya yang membusung besar kini menempel ketat di dadaku, membuat bagian bawah tubuhku menggeliat.

"Terima kasih, Mbak," ucapku sambil meremas pantatnya yang montok.
Hal itu membuat Mbak Tika kaget dan mencubit pinggangku. "Uhh, dasar jail."

Aku semakin mempererat pelukanku saat dia hendak melepaskan diri. "Kangen," ucapku manja di telinganya hingga Mbak Tika kegelian.

"Sudah dulu, nanti yang lain iri," ucapnya melepaskan pelukanku.

Setelah itu Mbak Ina, Mbak Lula, Mbak Rani dan Mbak Erin bergantian mengucapkan selamat ulang tahun serta mencium dan memelukku. Saat giliran Mbak Erin, kami berpelukan cukup lama. Mbak Erin adalah istri mantan atasanku yang sekarang menjadi seorang Atase. Satu tahun lebih aku tidak bertemu dengannya. Yang membuatku heran, mengapa dia bisa berada di sini bersama Mbak Tika dan yang lain.

"Bagaimana kabarnya Mbak?" tanyaku.

"Sehat, Vin. Kau sendiri bagaimana, Mbak sangat khawatir waktu mendengar berita tentangmu waktu itu. Mbak minta maaf tidak bisa datang menengokmu," ucap Mbak Erin dengan nada sedih dan bersalah.

"Tidak apa-apa, aku mengerti keadaan Mbak. Mbak tidak usah merasa bersalah. Kebaikan Mbak selama ini saja aku belum bisa membalasnya," ucapku sambil memeluknya makin erat.

"Terima kasih, Vin," balasnya.

"Yah kita cuma disuruh melihat reuni dari sepasang manusia," sindir Mbak Tika.

Segera kulepas pelukanku dan bertanya padanya, "Mbak kok bisa sampai sini?"

"Sudah nanti ceritanya, itu kue tartnya kasihan menunggu!" ucap Mbak Tika dengan galak.

Mbak Ina dan Mbak Rani membawa kue tart itu ke hadapanku. Tart coklat yang cukup besar, dengan lilin angka 25 di atasnya. "Yah, telat Mbak, sudah lewat harinya," ucapku pura-pura kecewa.

"Dasar bawel, siapa suruh pulangnya malam sekali. Sudah duduk dan potong kue-nya," omel Mbak Tika. Dia menarikku duduk di ranjang dan menyerahkan pisau pemotong kue.

Aku hanya menggelengkan kepala. "Benar tidak mau!" ancam Mbak Tika.

Aku tetap diam, sambil berusaha menahan tawa melihat Mbak Tika yang mengomel-ngomel. Sementara yang lain hanya tersenyum melihat tingkah kami.

"Baiklah kalau tidak mau memotong kue-nya. Aku punya yang lebih menarik. Bagaimana kalau aku potong sosismu anak nakal? Hmm.." ucapnya mengedikan mata kemudian melirik ke arah selangkanganku.

"Ampun Mbak, jangan. Aku turuti permintaan Mbak," ucapku pura-pura takut yang di sambut tawa semuanya.

Setelah itu aku berdo'a, kemudian memotong kue-nya. Pertama aku sodorkan pada Mbak Tika, dia hanya menggigit sedikit. Dengan isyarat mata dia mengerling ke sampingnya. Aku tahu maksudnya, maka bergantian potongan kue itu di makan lima orang wanita.

Aku memotong lagi, tapi kali ini tidak kusuapkan, melainkan kuoleskan ke muka Mbak Tika, hingga belepotan kue. Dia mencoba membalas, tapi aku menghindar dan mengenai Mbak Erin. Mbak Erin dan yang lainnya mengikuti apa yang dilakukan Mbak Tika, hingga muka semuanya belepotan kue tart.

Kami bercanda dan tertawa, hingga semuanya berbaring kelelahan di tempat tidur walau saling berhimpitan. Cukup lama kami berbaring, sampai Mbak Erin bangun dan beranjak ke meja mengambil tisu. Saat dia mau memberihkan mukanya dengan tisu aku mencegahnya.

"Sini Mbak, biar Gavin yang bersihkan," aku mengambil tisu yang ada di tangannya. "Tutup mata Mbak," lanjutku. Mbak Erin menutup matanya. Aku tarik bahunya, kini mukanya hanya berjarak sepuluh senti dari wajahku. Aku menunduk, kubuka mulut dan kukeluarkan lidahku. Lalu kujilati mukanya yang belepotan kue.

Sesaat dia membuka matanya, tapi segera menutupnya kembali. Pertama kujilati bagian dahinya, terus berlanjut ke telingga yang membuat dia mendesah, "Achh...!" kemudian pipi, hidung, dagu dan bibir yang kembali membuat dia mendesah "Achh.. Vinh..." Karena bibir adalah bagian terakhir, maka aku berlama-lama di tempat. Kini aku bukan lagi membersihkan, tapi sudah benar-benar menciumnya. Awalnya Mbak Erin pasif, tidak lama kemudian aktif membalas ciumanku.

Kepala kami bergerak perlahan ke atas dan ke bawah, hingga kami menyentuh bibir masing-masing secara bersama. Saat permainan bibir menjadi lebih panas Mbak Erin mengerang lembut, "Uhh..hmm." . Setelah beberapa saat, dia berhenti dan perlahan-lahan melepaskan bibirnya. Matanya terbuka dan menatapku.

Aku balas memandang ke arahnya dan menatap bibir berkilaunya. Aku perlahan maju lagi, menatapnya. Tampaknya dia terus menatap bibirku yang semakin dekat dengan wajahnya. Kemudian matanya menyipit dan dia sedikit mengangkat dan memiringkan kepalanya menunggu. Bibir kami yang masih terbuka saling menanti dan ketika aku melanjutkan gerakan ke arahnya, dia bergerak maju untuk melekatkan bibirnya dengan bibirku dalam kehangatan ciuman.

Kupeluk erat pinggangnya dan dia membalas merangkul leherku. Kuelus punggungnya, hangat dan lembut serasa bagai sutra di telapak tanganku. Naik turun kujelajahi seluruh bagian belakang tubuhnya, "Achh... ssshhh," dia mulai mendesah lagi. Kulepaskan ciuman di bibir secara perlahan dan kuarahkan ciumanku ke leher jenjangnya. Kubalikan badannya secara pelan dengan bibir masih menyusuri lehernya, kemudian kuarahkan tanganku ke bagian depan tubuhnya. Kuselusuri perut datarnya dengan lembut, kunikmati kehalusan kulitnya. Dan perlahan-lahan tanganku pun naik ke atas ke bagian payudaranya.

"Ooohh Vin!" Mbak Erin mengerang saat kusentuh bagian bawah payudaranya dan perlahan-lahan bergeser ke atas, membelai satu-persatu payudaranya dari luar bra hijau muda yang dipakainya. Bra itu tampak tidak muat menampung payudara besarnya. Kuselusupkan tanganku memasuki bra-nya hingga jari-jariku menyentuh putingnya. Kupilin dengan lembut masing-masing puting secara bergantian. Mbak Erin semakin mengerang, "Ohhh ssshhh..." dia semakin mendorong payudaranya ke tanganku, masing-masing buah dada itu bergerak setiap jariku memilin putingnya seolah-olah bergembira bertemu teman lama yang tidak menjamahnya.

Kulepaskan ciumanku di lehernya mencoba mengambil nafas sejenak. Kuhentikan juga tanganku yang memilin putingnya. Kami sama-sama terdiam, hanya terdengar deru nafas kami yang terengah-engah. Setelah beberapa saat, aku seperti tersadar bahwa di ruang ini bukan hanya ada kami berdua, tapi masih ada empat orang lainnya. Mbak Erin juga tampak malu setelahnya.

"Maaf Mbak," ucapku pada yang lain.

"Tidak apa-apa sayang, kami ini mengerti dan pengertian. Tapi jangan lupakan kami juga dong!" kata Mbak Tika menarikku ke arah ranjang.

Setelah aku telentang, tanpa malu-malu Mbak Tika membuka Baby Doll, diikuti oleh Mbak Rani yang membuka Bra-set coklatnya. Walaupun sudah puluhan atau ratusan kali melihatnya, besaran payudara Mbak Tika tetap menarik buatku bahkan terlihat semakin montok saja, demikian pula dengan payudara Mbak Rani. Mbak Tika mendekatiku yang sedang bengong, membuka celanaku, dan menariknya, sedang Mbak Tika membuka kaosku.

Mereka berdua tampak liar memandang penisku. "Ck ck ck ck .. makin besar saja nih penis," ujar Mbak Tika dengan tersenyum, dia kemudian memeluk dan menindihku. Mbak Tika langung melumat bibirku dengan liar, sedang Mbak Rani membelai penisku, kemudian menjilati buah dan batang penisku dengan pelan-pelan, hingga membuatku geli.

Mbak Rani semakin bersemangat menjilati dan akhirnya mengulum penisku dengan penuh nafsu. Sementara aku masih saling melumat dengan Mbak Tika. Pergumulan kami semakin panas, aku suka dengan tingkah liar mereka berdua. Mbak Tika sering melakukan pagutan-pagutan lama, membuat tanganku semakin nakal meremas payudara Mbak Tika dan membuat dia melenguh melepaskan lumatan pada bibirku.

"Aaaauh .. nikmaatnya ..," ucapnya dengan tersenyum dan menahan tanganku.

Mbak Tika menindihku dengan menduduki perutku, sementara Mbak Rani mengerjai penisku. Tidak lama Mbak Tika membalikan badan dan berhadapan dengan Mbak Rani.

"Gantian Ran," pinta Mbak Tika mencolek bahu Mbak Rani. Mbak Tika lalu mengangkat pantatnya dan diletakkan tepat pada mukaku sehingga aku langsung melakukan oral seks, vagina Mbak Tika wangi seperti biasanya.

"Aaaaaaauch...," pekikku ketika dengan gemas, mulut Mbak Tika mengulum penisku dan menyedotnya, membuatku meremas kuat pantat Mbak Tika.

Permainan yang panas itu membuat kami berkeringat, saat Mbak Tika melepas penisku dan turun dari tubuhku, aku bangun dan duduk memandang Mbak Lula, Mbak Ina dan Mbak Erin. "Kenapa kalian tidak bergabung? sekalian main berenam? Ayoo lepas bajunya, giliran kalian menghajarku!"

"Iyaaa... dia milik kita bersama, bukankah kalau kita satu lawan satu dengan dia pasti kalah? Jadi, ayo keroyok dia rame-rame," sahut Mbak Tika dengan turun dari ranjang dan langsung menarik tangan Mbak Erin, Mbak Rani juga turun dan menarik tangan Mbak Lula. Dengan malu-malu akhirnya Mbak Lula melepas camisol birunya, dan Mbak Erin melepas g-string hijaunya. Sementara Mbak Ina tampaknya masih malu dan enggan bergabung bersama kami. Mbak Tika dan yang lain juga tidak memaksanya.

"Ayo kita berjejer biar nanti ditusuk bergantian sampai puas," canda Mbak Tika dengan tersenyum dan langsung menjilati payudara Mbak Erin.

Mereka berempat semuanya memiliki payudara yang montok, mereka serempak maju ke arahku, Mbak Erin langsung menindihku dan melumat bibirku. Sedang Mbak Lula dan Mbak Rani berada di selakanganku bergantian menjilati penisku. Mbak Tika tidak kalah nakal, menjilati vagina Mbak Lula.

Kami berlima melakukan pesta seks, hawa dari AC semakin dingin, namun di kamar itu semakin panas. Aku tidak tahu, suasana makin ramai dengan lenguhan dan erangan kami. Mbak Tika mengoral Mbak Lula, sedang Mbak Erin mengoral Mbak Rani, serta vagina Mbak Erin aku sendiri yang mengoralnya, vagina mereka semua sudah basah.

Entah kapan waktunya, ternyata Mbak Ina sudah melepas peignoir putihnya dan sudah berada di sampingku. Tangannya mulai membelai penisku yang bebas, dan perlahan mengocoknya. Aku lepaskan mulutku dari vagina Mbak Erin, dan menarik kepala Mbak Ina. Aku kecup bibirnya, dan diapun membalas dengan liar, hingga nafasnya tersegal-segal.

Aku lepaskan ciumanku. Dan diam sejenak berusaha mengontrol semuanya. Kalau begini terus aku bisa kalah, maka aku mengajukan saran, "Bagaimana kalau kalian aku gilir satu-satu," ajakku.

"Tidak mau! Giliran buat babak ke dua saja. Babak pertama kami ingin kamu kalah, bukankah biasanya kamu menang selalu, jadi sekali-kali kalah tidak apa-apa. Lagi pula kalau bukan sekarang kapan lagi kami bisa mengalahkanmu, sayang!" ejek Mbak Tika dengan tertawa dan disambut tawa oleh yang lainnya.

Berlima mereka mau mengeroyokku. Threesome atau foursome pernah, tapi kali ini sixsome, apa aku sanggup? Tapi aku adalah manusia yang suka mencoba, kalau belum pernah mencoba kenapa harus takut. Walau bagaimanapun aku harus siap melayani mereka berlima yang sedang kehausan.

Situasi memang tidak menguntungkan bagiku. Sehingga aku harus berusaha mencari alternatif, agar aku tetap bisa menjaga stamina dan tenaga agar tidak terkuras habis saat melayani lima wanita yang sangat haus akan belaian seks. Mereka lalu kembali mengerubutiku, penisku dikulum dengan gemas oleh Mbak Tika dengan rakus.

"Aauuuchhhh...," erangku dengan menggelinjangkan kedua kakiku. Mbak Erin mengangkangiku dan mencekal kakiku agar tidak bergerak. Posisi mengangkang Mbak Erin tepat di mukaku. Vaginanya langsung kujilati dan kusedot dengan gemas. Sedang Mbak Ina, Mbak Lula dan Mbak Rani kini bermain bertiga, Mbak Rani dan Mbak Lula menjilati vagina Mbak Ina. Membuat Mbak Ina sampai menggelinjang dan meronta-ronta karena jilatan Mbak Rani dan Mbak Lula cepat dan keras.

Penisku dijilati oleh Mbak Tika, posisi Mbak Tika membungkuk di antara kedua kakiku, Mbak Tika terus melakukan oral ke penisku. Dipermainkan batangku di mulutnya. Lalu dengan gemas lidahnya menyusuri batangku, membuatku semakin ngilu.

"Sudaaah Mbak, aku ingin menusuk kalian sekarang," erangku dengan meremas pantat Mbak Erin, kemudian mendorongnya pelan.

"Mbak pengen oral penismu, sayang," ucap Mbak Erin.

"Nanti ya Mbak, babak ke dua," ujarku. Mbak Erin mengalah dengan mengangkat tubuhnya.

"Aku kangen jepitan vagina Mbak Erin, aku mau tusuk dia dulu," ujarku sambil mendorong bahu Mbak Tika agar melepas kulumannya.

Di sampingku Mbak Ina masih dioral oleh Mbak Rani dan Mbak Lula. Ketika aku bangun, Mbak Lula langsung memelukku dan memberikan lumatan yang ganas dan kubalas dengan sama ganasnya.

Setelah itu aku lepas ciumanku, kudorong Mbak Lula dan langsung turun dari ranjang. Aku peluk Mbak Erin dan mendorongnya agar tengkurap dengan pantat menungging. Mbak Lula dan Mbk Tika berada di kedua sisi Mbak Erin, aku langsung naik dan berlutut di ranjang, kuposisikan batangku agar tepat di lubang vaginanya, pelan-pelan aku tekan, ketika batangku sudah mulai masuk, aku menekan lebih keras hingga membuat Mbak Erin meringis.

"Aaaaaaaauuh, sloowly Vin, aaach.. yaaa.. enaaak pushhh.. yaaa pushhh meee.. haarder," erang Mbak Erin dengan meremas kuat sprei. Penisku pelan-pelan masuk sampai amblas, diperas dan diremas dalam vagina Mbak Erin. Aku langsung menggenjotnya, Mbak Erin langsung melenguh keenakan.

"Viiin.. yeahh.. more.. push.. nikhmath..!" cercau Mbak Erin dengan berteriak dengan bahasa campur. Mbak Lula menyodorkan payudaranya untuk kukulum sehingga Mbak Lula sampai meringis dan merintih, sementara Mbak Tika aku remas payudaranya dengan keras membuat dia menggelinjang, pantatku terus menghujam maju mundur, batangku menghajar vagina Mbak Erin. Tusukanku kupercepat membuat Mbak Erin menahan badannya agar tidak tergoncang, kedua tangannya meremas sprei.

Mbak Ina bangun dan berdiri dengan lutut di samping Mbak Tika, menarik tanganku agar juga meremas payudaranya. Posisiku kini jadi susah, pantatku maju mundur menusuk Mbak Erin, tangan kiriku meremas payudara Mbak Tika, tangan kanan meremas payudara Mbak Ina, sedang mulutku mengulum punting susu Mbak Lula, yang mana kepalaku dipegang oleh Mbak Lula agar tidak melepaskan kulumanku.

Kami semakin panas, di belakangku Mbak Rani dengan pelan merunduk di bawah selakanganku, ketika penisku keluar, Mbak Rani menjilati batangku walau sangat susah namun dengan nakal MbaknRani berganti dengan meremas pantatku lalu memberikan dorongan ketika pantatku maju dan menarik kembali ketika batangku keluar.

Aku berhenti mengulum ketika Mbak Lula melepaskan kepalaku, sementara tanganku masih saja meremas payudara Mbak Ina dan Mbak Tika. Mbak Erin tampaknya mulai kepayahan dan hendak mencapai puncaknya.

"Vin..., Mbak mau sampai nihc... ohhh...," erang Mbak Erin dengan keras, aku mempercepat hujaman batangku pada vaginanya dan akhirnya Mbak Erin mencapai orgasmenya. Mbak Erin melolong dengan suara keras, menegang dengan kaku dan akhirnya berkelonjotan. Kurasakan penisku disiram cairan panas.

Aku biarkan beberapa saat penisku berada di dalam vagina Mbak Erin. Saat kedutan vagina Mbak Erin berhenti, aku langsung mencabut penisku, kulepas remasan payudara pada Mbak Tika dan Mbak Ina. Kemudian berbaring dan menarik tangan Mbak Tika, dia langsung paham apa yang kumaksud. Mbak Tika lalu mengangkangi aku, dia menggenggam penisku dan mengarahkan tepat di vaginanya. Setelah tepat dia menurunkan pinggangnya hingga batangku perlahan masuk ke vaginanya, terasa sesak sekali, namun dengan perlahan, batangku akhirnya amblas juga dalam lubang vagina Mbak Tika.

"Duuuh.. enaknya," teriak Mbak Tika yang kemudian dengan gemas menggoyangkan pinggulnya dengan keras membuatku merem-melek keenakan.

"Remes susu Mbak, Vin," pinta Mbak Ina dengan menarik tanganku, aku memenuhi permintaannya, kuremas payudara Mbak Ina, dia menggelinjang saat aku memilin putingnya berulang kali. Goyangan Mbak Tika terasa beda, apalagi badannya paling semok sehingga penisku terasa sakit digoyang sedemikian keras dan liar.

Mbak Ina kemudian membungkuk di sampingku, melumat bibirku dengan memegang kepalaku, aku melayani pagutan dan lumatannya, sementara Mbak Rani kini berada di depan Mbak Ina, berbaring tiduran menggeser posisi Mbak Erin yang masih menikmati orgasmenya, tanganku ditarik Mbak Rani agar aku meremas payudaranya.

Permainan seks yang luar biasa, ke empat wanita dengan sangat buasnya menghajarku, Mbak Tika bergerak dengan liar dan cepat. Goyangan Mbak Tika makin berat, jepitan vaginanya kian menyempit, tampaknya dia akan segera mencapai puncaknya. Tanganku masih asik meremas payudara dan memilin puting Mbak Rani.

"Aku sampai... aku sampai...," teriak Mbak Tika dengan keras. Badannya menegang dengan kaku melengkung ke depan, Mbak Ina meremas payudara Mbak Tika, membantunya agar lebih menikmati orgasmenya. Mbak Tika menegang dan akhirnya berkelojotan, tubuhnya melemas dan hampir rubuh kedepan. Mbak Ina menolong Mbak Tika agar tidak rubuh dan membantunya untuk berbaring.

"Giliran siapa sekarang," ujar Mbak Ina malu-malu.

"Aku dulu ya, In, Ran," pinta Mbak Lula.

Mbak Ina dan Mbak Rani mengalah, Mbak Lula langsung menindihku, menggenggan penisku mengepaskan di lubang vaginanya dan menekan pinggangnya ke bawah. Lubang vagina Mbak Lula sudah membengkak besar, namun tidak mudah batangku masuk ke dalamnya. Mbak Lula dengan tenaga besar pelan-pelan menekan dan 'Bleshh' batangku sudah amblas separo, terlihat Mbak Lula meringis ngilu dengan memejamkan mata dan menggigit bibir, kuremas payudaranya dan kupilin putingnya, membantu mengurangi rasa sakitnya.

Batangku kembali dipilin dengan hebat dan remasan vagina Mbak Lula seakan menyedot dengan keras. Batangku semakin amblas dalam lubang vagina Mbak Lula. Aku lalu bangun dan duduk, kupegang bahu Mbak Lula, kulumat bibirnya, kuremas dadanya dan aku pilin putingnya membuat Mbak Lula bergoyang tidak karuan.

Setelah puas dengan posisi woman on top, kurangkul dia lalu aku menggulingkan Mbak Lula. Kini posisi Mbak Lula di bawahku dan siap kuhujami. Kurangkul Mbak Ina dan Mbak Rani yang ada di samping Mbak Lula, kedua tanganku melingkar, sebelah kiri memeluk Mbak Ina dan tanganku meremas payudara sebelah kirinya, di sebelah kanan Mbak Rani, aku juga melingkarkan dan meremas payudara sebelah kanannya, keduanya menggelinjang.

Saat Mbak Rani sibuk melumat bibir Mbak Ina dengan liar.
Aku hujami vagina Mbak Lula dengan keras dan cepat, karena aku sudah tidak tahan, aku sudah merasa akan orgasme, namun aku coba tahan. Hujaman penisku yang keras membuat tubuh Mbak Lula terguncang-guncang. Kedua tangan Mbak Lula meremas pantat Mbak Rani dan Mbak Ina untuk sedikit meredam guncangan itu.

Tusukan penisku membuat suara kecipak bunyi gesekan alat kelamin. Aku ikut bermain bibir dengan Mbak Rani dan Mbak Ina, kulumat bibir keduanya bergantian dan tanganku meremas payudara mereka. Sementara penisku terus menusuk cepat vagina Mbak Lula.

"Terus Vin, Mbak hampir sampai, Ayoo... ahhh...uhhh...," erang Mbak Lula dengan keras dan menggelinjang.

Kuluman bibirku dengan Mbak Rani semakin liar, tanganku masih meremasi payudara Mbak Ina, yang tangannya ikut membantu meremasi payudara Mbak Rani. Walau lelah aku terus bertahan dengan sisa-sisa kekuatan untuk melayani wanita-wanita ini. Aku mencoba mengatur pernafasan dengan tetap menghujami vagina Mbak Lula dengan cepat dan keras, sampai membuat Mbak Lula merem-melek keenakan.

"Iyaaa... mantap sayang... ayoooh aaach... aaauh... hhhsss...," desah Mbak Lula membuatku makin semangat.

Lumatanku yang ganas membuat Mbak Rani memegang kepalaku dan melepaskan bibirnya. Aku berpindah ke bibir Mbak Ina, dia menyambut lumatanku dengan tidak kalah ganasnya, bibirku disedotnya hingga terasa nyeri. Sementara Mbak Erin dan Mbak Tika kini beristirahat duduk di kursi dalam kamar sambil menonton kami yang sedang berlomba-lomba mencapai puncak kenikmatan.

Lima menit kembali berlalu dan kurasakan rasa kedut dan gatal di penisku, sepertinya aku tidak bisa menahan lebih lama lagi. Aku pegang paha Mbak Lula dan aku langsung hujamkan penisku keluar-masuk secepat dan sekerasnya, membuat Mbak Lula menjerit histeris.

"Mbak sampai, aaachhh... uuuhhh... ooooohhssshhh...," erang Mbak Lula.

"Iyaaah Mbakh... Akhuuu juuughaaa...," erangku dengan menghujamkan batangku sedalam-dalam ke liang vaginanya, aku menegang dan menyemprotkan air maniku di dalam vagina Mbak Lula.

"Cret... creet... creeet... creeeet... creeeeet..." lebih dari lima kali aku menghamburkan isi penisku.

Aku berkelonjotan dan melemas dengan cepat, sepersekian detik kemudian kurasakan penisku disiram cairan panas dari vagina Mbak Lula. Setelah diam beberapa saat, aku menarik tubuhku sehingga penisku lepas dan vagina Mbak Lula. Penisku masih penuh dengan cairan putih kental, Mbak Rani membungkuk dan langsung menjilati penisku, Mbak Ina awalnya hanya melihat Mbak Rani, mungkin karena penasaran akhirnya Mbak Ina ikut menjilati penisku sampai bersih dan mengkilap lagi.

"Gimana, In? Nikmatkan!" tanya Mbak Rani pada Mbak Ina yang disambut dengan senyuman. "Tinggal kita berdua, kau atau aku dulu?" lanjut Mbak Rani.

"Terserah Gavin, Ran," jawab Mbak Ina.

"Ok, biar nanti Gavin yang memutuskan. Yang penting bangunkan ini dulu," canda Mbak Rani sambil menggenggam penisku yang sedikit loyo. Mbak Rani dan Mbak Ina lalu bergantian mengocok, menjilat dan mengulum penisku. Hingga tidak lama kemudian penisku bangkit kembali, mengacung tegak, tegang dan keras siap menghadapi pertarungan selanjutnya.

"Mbak Rani dan Mbak Ina sekarang pintar," ujarku dengan tersenyum.

"Ini semua karena belajar dari kamu, lagi pula demi kita semua kan," jawab Mbak Rani.

Aku mengacungkan jempol, kemudian bangun. "Mbak, aku mau Mbak Rani dulu, Mbak Ina terakhir ya!" pintaku.

Mbak Rani dan Mbak Ina berpandangan. Setelah sama-sama setuju. "Doggy ya, Vin!" kata Mbak Rani sambil pasang posisi menunging. Aku berlutut di belakang Mbak Rani, tanpa menunggu lama aku langsung menekan penisku ke vagina Mbak Rani, membuat batangku pelan-pelan masuk, kutarik dan kutekan lagi. Mbak Ina ikut berlutut di sampingku, kemudian dengan manja mendorong payudaranya ke arahku.

Mbak Lula ikut beristirahat bersama dengan Mbak Tika dan Mbak Erin. Pantatku maju-mundur dengan keras menghujam ke pantat Mbak Rani, Membuat badan Mbak Rani terguncang-guncang.

"Nikmat Vins.. yaaah teruuussshhh... nikmaaat dan enaaakhhh... ayo percepat sayang ya teruuussshhh... ohhh yaaa... ssshhh...," desah Mbak Rani dengan suara manja, membuatku lebih semangat dalam menggoyangnya.

Tanganku asyik meremas payudara Mbak Ina dan mulut kami saling berpagut. Menit demi menit kami saling berpagut, sementara penisku tetap keluar-masuk ke vagina Mbak Rani.

"Ohhh... Vin, Mbak nggak kuat lagih... ayooo percepat dan lebih-lebih dalam laagi... uuuhhh...," erang Mbak Rani.

Mendengar erangan itu, aku melepaskan pagutanku di bibir Mbak Ina, payudara Mbak Ina juga kulepaskan. Ku pegang pinggang Mbak Rani dengan erat, kugenjot sekeras-keras vaginanya, membuat Mbak Rani meronta-ronta. Aku tidak peduli, hujamanku kupercepat membuat Mbak Rani semakin menggelinjang. Mbak Ina ikut membantu Mbak Rani lebih-lebih histeris saat dia meremas payudara Mbak Rani dengan keras.

"Oohhh nikmatnya... aaah... aaah... aaauuuhhh..." Mbak Rani mengerang dengan keras. Tanpa mempedulikan erangannya aku terus menghajarnya dengan hujaman-hujaman keras dan liar. Akibatnya Mbak Rani-pun mencapai puncaknya. Vaginanya menyempit dan berkedut dengan cepat, tubuhnya menegang kaku. Remasan tangan Mbak Ina di payudaranya membantu mempercepat orgasmenya.

Kurasakan penisku tersiram cairan panas dari vagina Mbak Rani. Mbak Rani menegang dengan meremas sprei, tubuhnya melemas lalu ambruk di atas ranjang. Aku merasa sangat lelah, tapi saat ingin istirahat sejenak Mbak Ina sudah maju memelukku.

Walau aku sudah kelelahan, tapi aku tidak ingin mengecewakan Mbak Ina. Aku harus membuat Mbak Ina cepat orgasme agar aku bisa beristirahat sesudahnya. Berpikir seperti itu, aku balas pelukan Mbak Ina, aku baringkan tubuhnya dan langsung menindihnya sementara bibirku melumat bibirnya yang tipis.

"Siap Mbak," kataku nakal dengan memilin putingnya.

Mbak Ina tidak menjawab, hanya memandangku dengan tatapan mesra. Tatapan itu sudah menjawab pertanyaanku apalagi saat dia memegang penisku dan diarahkan ke lubang vaginanya. Kutekan penis dengan keras membuat Mbak Ina tersentak. Batangku masuk ke lubang vagina Mbak Ina hingga setengahnya, kusentakkan lagi pantatku hingga membuat penisku masuk sepenuhnya.

Aku diamkan penisku sesaat di dalam vaginanya untuk penyesuaian. Setelah itu aku langsung menggejotnya dengan pelan namun perlahan kupercepat. Tanganku tidak mau kalah dengan meremas payudaranya kemudian memilin putingnya bergantian kanan dan kiri.

"Oooh Vin...," desah Mbak Ina.

Aku kembali melumat bibir Mbak Ina dengan bibirku, dan kami saling melumat dan memeluk dengan erat. Sementara penisku dengan ganas tetap keluar-masuk vagina Mbak Ina. Mbak Ina melingkarkan kakinya di pinggangnya, sehingga memperketat jarak kami.

"Aku mau keluar Mbak!" ucapku saat mulai merasakan rasa gatal di ujung penisku

"Mbak juga, Vin. Bareng yaaa...," teriaknya dengan memelukku dan mengencangkan jepitan kakinya yang melingkar di pinggangku.

Kupercepat tusukanku, kuhujamkan dalam-dalam penisku saat terakhir dan aku melolong dengan keras menyemprotkan air maniku dengan keras ke dalam rahim Mbak Ina. Saat bersamaan Mbak Ina juga mendapatkan orgasmenya. Dengan menegang aku menyemprotkan spermaku.

"Aku sampaaaiii Mbakhs...," erangku dengan berkelojotan. Saat itu juga tubuh Mbak Ina menegang dan batangku tersiram cairan panas, kami berkelonjotan bersama. Tubuhku serasa ringan dan plong, dan kurasakan lelah yang amat sangat, mataku terasa berat hingga aku putuskan untuk memejamkan mata untuk beberapa saat.

Kurasakan penisku terasa geli dan basah. Saat aku sedikit membuka mata, ternyata Mbak Tika dan Mbak Erin sedang menjilati sperma yang masih menempel di batang penisku. Melihat itu aku biarkan saja, dan kuputuskan untuk istirahat sejenak.

"Gimana sayang?" bisik Mbak Tika di telingaku.

"Caaapekkk...," jawabku dengan lemas.

"Terima kasih sayang," ucap Mbak Tika menciumku, kemudian diikuti yang lainnya.

"Masih kuat Vin? Mbak belum puas," bisik Mbak Erin.

"Iya Mbak. Tapi beri waktu aku setengah jam untuk mengembalikan stamina. Nanti aku gilir kalian semua satu-satu sepuas kalian," ucapku dengan memejamkan mata.

Satu jam kemudian aku menggilir mereka satu-persatu sampai mereka puas dan aku lemas. Aku baru benar-benar beristirahat jam 5 pagi, saat itu aku tertidur dan tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya.

To Be Conticrooot...
 
pertamax :haha:

msh bnyak prtanyaan2 yg blm trjawab dan sprtinya garvin hrs mncari jwban itu, sixsome wow..mantap :haha:
 
Keren juga ni gan ceritanya :jempol: "fan fiction" bunda maia ahmad, tp syg knp maennya g sama al el dul aja gan :D :beer:
 
Terakhir diubah:
Ada Megan Reis, jago basket juga dia.. Siap2 aja diajak bikin film bokep si Gavin...
 
Suhu, bisa diinfo di chapter brp sblm nya bu wako dan gavin pertama kali bertemu sblm berasyik masyuk :piss
 
Luar biasa suhu yg satu ini. Kirain cerita dah klimax. Ternyata masih bisa multiple klimax.......
 
Keren suhu...
Masukannya suhu kn musuhnya uda mati..
D lnjut chapter 2aja, dgn judul beda...
 
Wihhhh bru di tread in adnya nh sixsome terjdi kren suhunya hahahah
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd