Chapter XXXII : End of Beginning I
Dua bulan kemudian...
Dua bulan sudah berlalu sejak peristiwa itu, tapi serasa baru kemarin kejadiannya. Aku tidak tahu pasti bagaimana kejadiannya saat itu. Tapi menurut Elang, saat Yudi menghitung angka tiga. Tiba-tiba Mbak Dita menembak Yudi, dan Andi yang berdiri dekat Yudi menembak Mbak Dita. Sesaat setelah kejadian itu, dipimpin Om Dans, anggota ISF mengepung tempat itu. Sempat terjadi baku tembak, tapi itu tidak berlangsung lama.
Mbak Dita meninggal saat itu juga, sementara Yudi walau sempat dilarikan ke Rumah Sakit, nyawanya tidak tertolong. Hendra, Andi ( Kui ), Mow tewas di tempat. Sony, Tito dan anggota/ agen ISF berhasil di tangkap. Sementara Xin dan Xian ( Tante Mala ) menghilang entah kemana. Atas info yang keluar dari mulut Tito, Kepolisian melakukan pengerebekan di beberapa kota yang merupakan jaringan dari bisnis hitam Yudi, dan mendapatkan hasil yang cukup lumayan. Dari Tito juga didapatkan info tentang organisasi Gerbang Naga. Tapi saat kepolisian menyerbu beberapa markas mereka, hasilnya nihil. Rupanya mereka bergerak lebih cepat.
Selain itu, saat Elang melakukan interogasi pada Tito ditemukan fakta menarik lainnya. Soal Hendra yang ternyata biseksual, dan Erwin adalah mantan kekasih Hendra. Tentang beberapa pejabat dan artis yang menjadi anggota organisasi Gerbang Naga. Tapi dia tidak bisa membuktikan ucapannya. Itu adalah info terakhir darinya, karena sebelum Tito berbicara lebih banyak. Keesokan harinya, dia diketemukan tewas di balik jeruji. Sementara Sony dengan kekayaan dan pengaruh orang tuanya, mengajukan penangguhan penahanan. Dan sampai dua bulan ini, tidak ada perkataan yang keluar dari mulutnya, hanya pernyataan-pernyataan formal yang keluar dari mulut pengacaranya.
Mbak Dita dimakamkan berdampingan dengan Yudi, sebagaimana yang diinginkannya sebelum menghembuskan nafas terakhir. Hendra dimakamkan di pemakaman keluarganya di Solo. Semua aset Yudi disita, termasuk yang atas nama Mbak Dita, Hendra dan komplotannya.
Lukaku sudah tidak meninggalkan bekas sama sekali. Demikian juga luka Mbak Tika dan Elang. Mbak Tika sudah kembali hidup normal walau kini menjadi single parent, dan dia mengatakan bahwa kini justru lebih bahagia. Pertemuan terakhirku dengannya adalah dua minggu yang lalu, saat perayaan empat puluh hari meninggalnya Mbak Dita. Dia mungkin akan mengunjungiku sewaktu-waktu. Sebenarnya aku ingin menanyakan tentang apa yang dikatakan Hendra saat itu, tapi aku belum punya keberanian.
Beberapa kali Mbak Rani, Mbak Ina, Mbak Lula, Bunda Maia, dan lainnya datang mengunjungiku. Tapi aku belum berselera untuk menyentuh mereka, karena aku telah berjanji untuk tidak bersenang-senang sampai empat puluh hari, untuk menghormati Mbak Dita. Hanya beberapa yang mengerti perasaanku saat ini. Mbak Rani dan Mbak Ina adalah yang paling sering datang, selain Fariz dan Dion.
Om Dans hanya sekali datang, dan dua kali menghubungiku. Dia memang memintaku untuk istirahat, dan akan menghubungiku bila ada sesuatu. Selain itu dia memberitahu bahwa saat ini dia sedang melakukan pembersihan agen-agen ISF dari pengaruh luar.
#####
Sehabis pulang kantor, sambil memandang indahnya sinar matahari yang hampir tenggelam di ufuk barat aku, Fariz, dan Dion berbincang santai. Kami sedang membahas surat keputusan dari kantor yang membahas soal tugas belajarku. Dalam waktu dua bulan aku harus siap berangkat ke Inggris.
Aku sebenarnya sedih dan senang. Sedih karena Fariz dan Dion tidak jadi ikut tugas belajar. Sebelumnya, kami bertiga akan dikirim bersama. Tapi karena adanya sesuatu hal, maka sementara hanya aku yang akan berangkat. Senangnya karena itu adalah hal yang sudah lama kuimpikan. Dion dan Fariz juga memberi semangat padaku, dan mereka mengucapkan selamat atas hal ini.
Aku belum sempat memberi kabar soal ini pada Ayah dan Ibu. Elang, Mas Bram, Mbak Tika juga belum kuberi tahu. Yang sudah tahu pasti adalah Mbak Ina, karena dia juga satu kantor. Dia sudah memberi selamat padaku, tapi tentu saja secara formal. Secara pribadi belum, karena tadi dia banyak tugas jadi tidak bisa berbincang lama.
"Vin, sepertinya kita harus buat pesta perpisahan, sebelum keberangkatanmu," kata Fariz.
"Baguuus! Aku juga setuju," timpal Dion.
"Tak perlulah, kantor juga sudah menyiapkan itu," tolakku.
"Tapi ini pesta khusus, Vin. Buat teman-teman dekat kita aja," kata Fariz kembali.
"Atau kita undang teman seangkatan saja," Dion melanjutkan.
"Okelah kalau itu keinginan kalian, tapi aku tidak mau merepotkan kalian," ujarku mengalah.
"Sip, kau terima beres aja Vin. Biar aku dan Dion yang mengatur semuanya. Ya, ga Yon," ucap Fariz.
Dion tidak menjawab, tapi hanya mengedipkan mata dan mengacungkan jempolnya, tanda setuju.
"Ok, aku setuju. Tapi syaratnya kalian harus membawa cewek kalian, saat acara itu," aku mengajukan syarat.
"Aku belum punya, jadi aku tidak bisa menjanjikan. Dion itu yang sudah punya cewek," ucap Fariz.
"Aku sudah tahu Dion punya cewek. Yang aku maksud kau, Riz," ujarku.
"Aku? Aku belum punya cewek, Vin," bantah Fariz.
"Serius? Dua kali aku melihatmu jalan sama cewek. Kalau bukan cewekmu lalu siapa?" tanyaku.
"Kapan? Kau salah lihat mungkin," elaknya.
"Kita ini sudah berteman tujuh tahun, jadi tak mungkin aku salah mengenalimu. Pertama sekitar dua bulan yang lalu, kau masuk ke Cafe xxx, saat itu cewek itu pakai baju putih. Yang ke dua, minggu lalu kau di antar olehnya ke kantor. Benar tidak?" cercaku.
"Baiklah aku mengaku. Saat ini aku memang sedang berusaha mendekati seorang wanita. Tapi bukan wanita itu Vin. Kalau wanita yang kau maksud itu kakakku. Kapan-kapan aku akan mengenalkan kakakku padamu. Kalau Dion sudah kenal." jelas Fariz.
"Kau sendiri bagaimana Vin?" tanya Dion.
"Bagaimana apanya?" ucapku.
"Ya cewekmu. Siapa yang akan kau jadikan pacar? Bukankah kau punya banyak kandidat." tanya Dion kembali.
"Entahlah, aku sendiri masih bingung," ujarku.
"Kau memang aneh Vin. Padahal kau tinggal tunjuk siapa yang kau mau. Di kantor ada Rini, Tina, Rachma atau Mbak Ina. Terus ada teman-teman selebritismu." lanjut Fariz.
"Justru karena itu. Aku tidak bisa menyakiti hati siapapun!" ungkapku.
"Tapi mau tidak mau, suka tidak suka, itu pasti terjadi, Vin." kata Dion.
"Ya aku mengerti. Sudahlah kita tidak usah bicara hal itu dulu. Biarlah waktu yang akan menjawab semuanya," Elakku.
Dion dan Fariz memahami permintaanku. Maka obrolan dilanjutkan dengan topik yang lain. Hingga jam sembilan malam mereka meninggalkan Apartemenku.
#####
Hampir jam sebelas malam aku belum bisa memejamkan mata. Padahal hampir satu jam aku sudah naik ke tempat tidurku. Obrolan tadi sore dengan Fariz dan Dion membuatku gelisah. Aku sadar apa yang dikatakan mereka benar. Usiaku sudah hampir 25 tahun, apakah aku akan terus begini. Bermain dan gonta-ganti wanita sesukanya. Memang aku belum ada ikatan, dan semuanya tidak ada yang merasa tersakiti. Tapi apakah benar seperti itu terus-menerus? Apakah aku harus mulai memikirkan untuk memilih salah satu dari mereka untuk jadi istriku.
Pikiranku semakin mengembara ke mana-mana. Kalau memang harus memilih salah satunya, lalu siapa yang harus kupilih? Terlalu banyak wanita yang pernah berkencan denganku. Mereka dari bermacam profesi dan status, baik lajang, bersuami, atau janda. Tanpa sadar pikiranku mulai memilah-milah, yang bersuami jelas tidak mungkin. Dari kalangan orang beken juga tidak mungkin. Jujur aku tidak mau punya istri dari kalangan artis atau publik figur.
Rini, Tina, Rachma juga tidak. Aku hanya menganggap mereka sebagai teman. Mbak Ina, entah aku cinta atau kasihan, tapi dia bisa jadi kandidat. Mbak Tika sudah pasti, aku sudah tahu pasti betapa dalam cintanya padaku. Sonia, entah kenapa nama itu masuk ke dalam pikiranku. Ya, aku merasa sudah mencintainya sejak pandangan pertama. Tapi di mana dia kini?
Memikirkan itu, aku jadi ingat pembicaraan terakhirku dengannya. "Tampaknya buruanku menghilang saat terjadi kekacauan itu. Aku harus mengejarnya, jadi tugasku di sini sudah selesai. Aku mengucapkan banyak terima kasih atas bantuanmu selama ini. Selamat tinggal," ucapnya singkat, padat dan jelas.
"Apakah kita akan bertemu lagi?" tanyaku saat itu.
"Aku tidak berharap bertemu denganmu. Tapi kalau kau datang ke rumahku, tidak mungkin aku mengusirmu," ucapnya, dengan rona muka yang tak ku mengerti.
Saat itu aku masih dirawat di Rumah Sakit. Kini sudah dua bulan, apakah dia masih mengejar Rajh. Atau sudah kembali ke rumahnya. Apakah ucapannya waktu itu adalah undangan tersembunyi, agar aku datang ke rumahnya. Rumahnya...! Kenapa aku tidak tanya Om Dans. Sudah tentu dia tahu dimana rumah Sonia. Senang dengan pemikiran itu, aku buru-buru mengambil ponselku.
Saat aku hendak menghubungi Om Dans, ponselku lebih dulu berbunyi. Melihat nama yang menelepon aku langsung menjawab panggilan itu.
"Ya Mas, ada apa?" tanyaku.
"Belum tidur, Vin? Cepat benar ngangkatnya," ujar orang yang meneleponku.
"Belum, Mas. Kebetulan mau telpon seseorang. Ada apa Mas, kok telpon malam-malam begini. Di rumah apa masih di kantor?" balasku.
Mas Bram adalah orang yang meneleponku, kemudian dia menjelaskan alasannya menghubungiku malam itu juga. Ternyata hal itu masih ada urusannya dengan Mas Yudi dan Mbak Dita. Mas Bram mengatakan ada transaksi mencurigakan dari rekening atas nama Mbak Dita. Diketahui dari rekaman transaksi, rekening itu pernah melakukan transfer beberapa kali ke sebuah bank di Swiss, hingga berjumlah hampir 60 milyar rupiah.
Entah itu atas perintah Yudi atau tidak. Yang jadi masalah, setelah di telusuri hingga ke bank itu. Uang itu lenyap begitu saja. Untuk itu Mas Bram memberitahuku. Mungkin aku tahu atau dapat mengira, siapa orang yang menerima transfer uang itu. Aku akan berusaha membantu, itu adalah jawabanku. Selain itu aku juga memberi tahu kepada Mas Bram, tentang keberangkatanku ke Inggris.
Tentu saja Mas Bram merasa senang mendengar kabar itu. Setelah mengucapkan selamat dan berbicara sedikit tentang pesta dan lain hal, dia menutup teleponnya. Kuurungkan rencanaku untuk menelepon Om Dans, karena pikiranku sudah teralihkan dengan berita yang baru kudengar dari Mas Bram. Aku memikirkan hal itu hingga jatuh tertidur.
#####
Pukul lima pagi aku bangun. Mandi, kemudian ganti pakaian olah raga dan memakai sepatu. Setelah itu turun ke bawah dan mulai lari. Hari sabtu udara pagi masih segar, karena lalu lalang kendaraan tidak seramai hari kerja. Tujuanku adalah taman yang dekat dengan apartemen. Sampai tujuan, sudah lumayan banyak orang yang datang. Baik lari-lari, jalan, senam atau sekedar duduk-duduk di bangku yang banyak bertebaran di sudut taman.
Setelah berlari keliling sepuluh kali, aku berjalan mencari bangku yang kosong. Setelah mendapatkan tempat duduk aku istirahat sejenak. Sepuluh menit kemudian aku melanjutkan dengan senam ringan, termasuk sit up dan push up. Saat itu aku merasa ada sepasang mata yang memperhatikanku. Aku cuek saja dan tetap meneruskan kegiatanku.
Aku baru menoleh saat mendengar suara yang menegurku. "Maaf Mas, boleh saya numpang duduk di sini?" tanya suara itu. Suara paling merdu dan lembut yang pernah kudengar. Dan saat aku menengok ke arah suara itu. Ya, Tuhan. Wajahnya luar biasa cantiknya, berbanding lurus dengan suaranya. Aku menatapnya hingga tidak berkedip, sampai dia mengulangi kembali pertanyaannya, aku baru sadar.
"Oh, silahkan Mbak," jawabku masih menikmati kecantikan wajahnya. Usianya antara 26 atau 27 tahun, tinggi dan berat tubuhnya proposional. Wajahnya bulat, matanya hitam bersih dan tajam, hidungnya mancung. Dia duduk, kemudian mengusap keringat yang membasahi mukanya. Setelah itu membuka botol mineral yang dibawanya, sungguh beruntung botol itu hingga bisa bersentuhan dengan bibirnya yang merah merekah. Giginya terlihat putih bersih dan berderet rapi, saat dia tersenyum padaku.
"Ada yang aneh dengan wajahku," tanya dia, tiba-tiba.
Aku menjadi salah tingkah, dan hanya bisa menggelengkan kepala. Aku diam beberapa lama, sambil berusaha menenangkan diri. Setelah merasa siap, aku mulai menyapanya. "Sendirian saja, Mbak?"
"Seperti yang anda lihat!" jawabnya singkat.
"Biasa ke sini?"
"Apa itu berpengaruh untuk anda?" jawabnya.
Mendengar jawaban seperti itu, membuatku sedikit keki juga. Baru kali ini ada wanita yang bersikap seperti itu saat berhadapan denganku, kecuali Sonia. Tapi sikapnya itu justru yang membuatku tertarik untuk mengenalnya lebih dekat.
"Namaku Gavin," ucapku sambil mengulurkan tangan.
Namun kali ini aku bertemu batunya. Dia tidak membalas uluran tanganku. Dia bangkit berdiri, "Maaf, aku tidak berkenalan dengan sembarang lelaki, apa lagi di jalan. Kalau menghormati wanita, datanglah ke rumahnya." ucapnya, sambil berlalu dari hadapanku.
Aku hanya bisa terbengong mendengar ucapannya itu. Rasa penasaran membuatku mengikutinya, dengan jarak cukup jauh. Entah tahu atau tidak, tapi beberapa kali dia menengok ke belakang. Walau begitu dia tetap jalan dengan santainya menuju tempat parkir. Aku hanya sempat melihatnya tersenyum padaku sebelum dia menutup pintu mobilnya, dan kemudian meninggalkan tempat itu.
#####
Aku masih memandang ke mana arah mobil itu melaju, walau bayangannya sudah menghilang lama. Aku baru sadar berdiri di tengah jalan, saat ada mobil yang memberi klakson ke arahku. Tapi saat aku sudah menepi ke pinggir jalan, mobil itu tetap saja memberi klakson beberapa kali. Aku memberi tanda pada mobil itu untuk lewat. Tapi untuk ketiga kalinya, suara klakson itu berulang.
Aku terpaksa memperhatikan mobil itu. Sebuah mobil yang masuk kategori mewah. Saat aku melihat ke arah mobil itu, pengemudi itu menyalakan lampu dim beberapa kali, seakan memberi tanda padaku. Aku segera mendekati mobil itu. Saat tanganku hendak mengetuk. Orang di dalam mobil itu lebih dulu membuka jendelanya. Hingga aku dapat melihat siapa orang yang berada di balik kemudi.
"Halo jagoan!" wanita itu lebih dulu menyapaku.
"Halo juga Bu Waa....,"
"Sssst....," wanita berkaca-mata itu memberi tanda padaku untuk menutup mulut, sebelum aku sempat menyelesaikan omonganku.
"Masuk aja Vin," ucapnya lirih, sambil membuka pintu.
Dia bergeser ke samping, memintaku duduk di kursi kemudi. Setelah itu dia segera memintaku untuk berlalu dari tempat itu.
"Kemana Mbak?" tanyaku, sambil melihat ke arahnya.
"Terserah kamu." jawabnya, dengan senyum menggoda.
Mendengar jawaban dan melihat senyumannya, aku mengerti maksudnya. Tanpa berpikir panjang, ku arahkan mobil sedan ini menuju apartemenku. Setelah sampai, aku persilahkan dia untuk masuk. Sambil menengok kanan-kiri, akhirnya dia masuk juga. Aku memahami apa yang dikhawatirkannya. Apa jadinya jika seorang wanita terhormat yang memimpin suatu kota, masuk ke apartemen seorang lelaki, dan hanya berdua.
"Disini aman, Mbak," ucapku, mengurangi ke khawatirannya.
"Tempat siapa, Vin?" tanyanya, masih ada nada cemas.
"Ini tempatku, dan hanya aku yang tinggal di sini. Jadi Mbak santai saja," ujarku.
"Baiklah, Mbak percaya padamu," ucapnya, sambil menaruh pantatnya di sofa.
"Ya harus percayalah! Namaku boleh tercemar, tapi tak mungkin aku mencemarkan nama baik Airin Rachmi Diany," ucapku sambil bertingkah konyol, hingga Mbak Airin tersenyum.
"Kau bisa saja, Vin," ucapnya, sambil melepas kacamata dan sweaternya.
"Aku memang serba bisa Mbak," ucapku, dengan mengedipkan mata menggodanya.
"Dasar perayu," ledeknya sambil menjulurkan lidah.
"Kalau aku bukan perayu, tidak akan kenal sama Mbak yang cantik," bantahku, tak mau kalah.
"Gombal," ucapnya, sambil melemparkan sweaternya ke arahku.
"Weks, tidak kena!" ledekku sambil menghindar. "Minum apa Mbak?" teriakku dari dapur.
"Apa aja," jawab Mbak Airin.
"Silahkan diminum Mbak," kataku, setelah menaruh secangkir minuman di hadapannya. "Aku mau mandi dulu, terserah Mbak Airin mau apa, anggap rumah sendiri," ucapku beranjak ke kamar mandi. Sebelum masuk kamar mandi aku berkata padanya, "Jangan ngintip ya, Mbak!" candaku. Yang membuat sebuah bantal melayang ke arahku. Aku segera masuk, dan tertawa terbahak-bahak di kamar mandi.
Selesai mandi dan memakai parfum, masih dengan bertelanjang dada aku keluar kamar. Di ruang tamu, Mbak Airin sudah melepas jilbabnya, dia sedang melihat acara tv, tubuhnya tiduran di sofa dengan santainya.
"Kok bisa sampai sini Mbak? Tidak di cari rakyatnya?" tanyaku, sambil duduk di depannya.
"Lagi ingin santai, Vin. Sudah lama tidak ambil libur." ucapnya. Dia kemudian bangkit dan duduk menghadap ke arahku. "Maaf, saat kamu menghubungi, waktu itu Mbak lagi sibuk sekali. Tidak sempat menghubungimu kembali. Maka dari itu, begitu ada waktu luang, Mbak datang ke sini menemuimu" lanjutnya.
"Menemuiku? Kangen ya?" godaku.
"Kalau iya, kenapa?" balasnya, sambil menggodaku dengan menggigit bibirnya, tangan kanan memainkan rambutnya yang panjangnya sedikit di bawah bahu, sementara tangan kiri memberi kode padaku untuk mendekatinya.
Melihat hal itu aku jadi tergoda juga. Apa lagi hampir dua bulan aku tidak bercinta. Kudekati tubuh Mbak Airin dan tanpa menunggu lama, aku menindihnya di atas sofa. Wajahku hanya berjarak beberapa centi dari wajahnya. "Aku juga kangen Mbak Airin," bisikku.
Sesaat kami hanya berpandangan, desahan hangat nafasnya kurasakan menerpa wajahku. Kutatap matanya, kulihat bibirnya merekah merah begitu indah sehingga membuatku tak tahan untuk tidak menikmati bibir indah tersebut. Kukecup lembut bibirnya dan kurasakan dia menyambut kecupanku, tetapi itu hanya sebentar karena Mbak Airin melepaskan bibirnya dan mendorong badanku.
Beberapa saat kami kembali hanya berpandangan, kupandang matanya dengan tajam dan kusimpulkan lewat bahasa matanya, bahwa dia merindukan dan menginginkanku. Tanpa ragu lagi aku langsung melumat bibirnya kuat-kuat dan dia juga membalasnya dengan penuh nafsu dan terjadilah ciuman panas yang penuh dengan gairah. Tubuhnya kusandarkan di sofa. Beberapa saat lamanya kami saling melumat bibir dan beradu lidah, nafas kami mulai terengah-engah.
Tanganku kuarahkan ke dadanya lalu kuremas buah dadanya dari balik gamisnya. Badannya mulai menggelinjang terbakar gairah. Mbak Airin melepas ciumannya, lalu dia lepaskan gamis dan BH yang dikenakannya. Sepasang payudara putih yang sangat indah berukuran besar yang masih kencang di usianya yang ke 36, kini terpampang di hadapanku. Walau bukan yang pertama kalinya melihat payudara Mbak Airin, tapi payudara itu tetap saja mempesonaku. Hingga tak sabar langsung kuserang payudaranya. Dengan penuh nafsu aku jilati, kulumat, dan kuhisap kedua payudaranya bergantian.
"Ooh.. Vin.. terus Vin.. nikmat.. sedot terusssh...," kata Mbak Airin sambil menggelinjang kesana kemari. Payudaranya makin keras dan kenyal kurasakan, hingga membuatku makin gemas untuk menikmatinya. Tanganku mengelus-elus pahanya, lalu dengan perlahan kuarahkan ke pangkal pahanya, kubuka resliting celananya, kumasukkan tanganku ke arah vaginanya yang ternyata telah basah, kuusap lembut vaginanya di atas celana dalamnya.
Menyadari Elang bisa datang kapan saja, aku bopong Mbak Airin dan membawanya ke kamar tidur. Aku rebahkan tubuh wanita cantik ini di atas ranjang lalu aku lepas celana yang masih menutupi sebagian tubuhnya dan kini dia telah benar-benar telanjang.
Aku terpana melihatnya. Seperti pertama aku melihatnya, satu tahun yang lalu. Mbak Airin nyaris sempurna sebagai seorang wanita. Pintar, kaya, terhormat dan memiliki kedudukan, badannya sexy, putih, mulus, dan sepasang payudara juga mengantung indah di dadanya.
Apalagi posisinya sekarang yang sangat menantang. Tubuh mulusnya telentang tanpa ditutupi sehelai benang pun. Posisinya di ranjang agak mengangkang, memperlihatkan bagian paling pribadinya tanpa malu-malu. Payudaranya yang indah, dengan putingnya yang mengacung membuatku semakin tak kuasa menahan nafsu. Hingga membuatku menelan ludah beberapa kali.
"Kok malah bengong, Vin? Sini jagoan, tunjukkan kejantananmu," kata Mbak Airin dengan genit.
Aku sadar dari kekagumanku dan segera kulepas celanaku, dan kini aku juga sudah telanjang bulat. Kurasakan penisku sudah tegang, keras dan berdenyut-denyut seperti biasanya. Segera aku naik ke atas ranjang, lalu aku berbaring di sebelah tubuhnya. Aku belai rambutnya, dia tersenyum manja. Kupandangi wajahnya, betapa cantik wanita ini, lalu aku kecup bibirnya. Mulutku mengecup dan mengulum bibir Mbak Airin yang hangat dan basah. Dia membalas dengan ganasnya. Dia menjulurkan lidahnya, dengan segera aku kulum lidahnya, terasa nikmat sekali.
"Ohh.. Vin..." desahnya dengan mata yang sayu.
Kini bibir merahnya yang indah penuh dengan air liurku. Setelah puas melumat bibir merahnya, aku ciumi lehernya lalu beranjak ke arah dadanya. Sesaat aku pandangi payudara milik wanita cantik ini. Benda bulat yang berukuran besar, yang membuat banyak orang mengkhayalkannya, dan aku tidak seperti orang lain yang hanya bisa mengkhayalkan, kini aku sedang menikmatinya.
Kuremas dengan gemas kedua payudaranya dengan kedua tanganku, terasa kenyal menggemaskan dan tidak membosankan untuk mempermainkannya. Ukurannya besar, indah bentuknya dan terawat, meski sudah pernah menyusui dua orang anak.
"Oouuffss.. ahh.. auwww...," erang Mbak Airin terus menerus.
Setelah tangan, kini mulutku yang mempermainkan payudaranya, aku kecup dan sedot puting payudara sebelah kanan dan kiri secara bergantian membuat Mbak Airin semakin terbakar gairahnya. Kuhisap kuat-kuat payudaranya sambil sesekali kugigit puting susunya. Dia mendesah-desah erotis sambil meremas-remas rambutku, menikmati sensasi permainan mulutku di dadanya.
"Auww.. Oh my god.. Ohh.. Auww...," Mbak Airin berteriak-teriak penuh kenikmatan, membuatku semakin bersemangat untuk terus menghisap dan mengulum payudara ibu walikota ini. Payudaranya terus kukulum, kuhisap, kujilati, dan kupelintir berulang kali membuatnya semakin terbakar gairah. Sejenak aku lepaskan mulutku dari payudaranya. Aku pandangi wajahnya yang terlihat sayu, wajahnya penuh dengan peluh, bibir merahnya bergetar.
Aku kembali melahap payudaranya sambil mempermainkan vaginanya. Kumasukkan jariku ke dalam lubang yang semakin licin karena cairan kewanitaannya yang mengalir deras. Klitorisnya kugesek-gesek hingga membuat tubuhnya menggelinjang tidak karuan kesana kemari.
"Sayang.. teruss.. sedot terus Vin.. aahh.. auww.. aahh...," erang Mbak Airin, penuh rasa nikmat.
Setelah puas bermain dengan payudaranya, kepalaku kini bergeser ke selangkangannya. Kupandangi vagina merah yang mengkilat karena basah oleh cairan kewanitaannya. Rumput hitam yang tumbuh di sekitarnya, terpotong rapi, pemandangan yang sangat menggiurkan. Kudekatkan mulutku dan tercium aroma khas wanita yang membuat nafsuku meningkat tinggi.
Setelah puas menikmati pemandangan itu, aku mulai menjilati vagina Mbak Airin, kujulurkan lidahku dalam-dalam sambil sesekali kusedot kuat-kuat. Setiap kali lidahku menggelitik klitorisnya, dia mengerang keras penuh kenikmatan.
Pinggulnya bergerak tidak karuan sehingga membuatku harus memegang pahanya agar aku tetap dapat menikmati vaginanya. Cairannya semakin deras mengalir, membuatku mau tak mau menghisapnya, terasa hangat dan gurih.
"Oh my God.. aahh.. terus.. enak Vin.. aauuww.. aaww...," Mbak Airin menjerit tidak karuan, apalagi ketika lidahku menyentuh klitorisnya, dia menjerit keras sambil menggelinjang kuat.
Aku benar-benar puas melihatnya seperti ini. Sesekali kulepas mulutku dari jepitan pahanya untuk mengambil nafas sejenak, lalu aku ulang lagi hal yang sama. Mbak Airin semakin keras mendesah, gerakan tubuhnya juga semakin tidak terkendali. Tampaknya dia akan segera mencapai puncak. Aku semakin mempercepat sedotan, kecupan, jilatan mulut dan lidahku di vaginanya.
"Ayo sayang.. aku mo kel.. luar nih.. ahh.. yang cepaat.. oohh.. sshh.. oohh...," katanya sambil menjerit-jerit kenikmatan. Aku percepat gerakan lidahku dan tak lama kemudian Mbak Airin orgasme, dia mengangkat pinggulnya, kedua pahanya mengapit kuat kepalaku, dan kurasakan cairan yang sangat banyak menyiram mulutku.
"Ohh.. yeaahh.. Oh my God.. oohh.. oohh..." Mbak Airin mendesah panjang ketika berhasil mencapai puncak kenikmatan.
Kuhisap cairan yang keluar. Badannya bergetar hebat beberapa saat. Mulutku tetap di pangkal pahanya, membiarkan dia menikmati apa yang baru saja diraihnya. Kukecup lembut bibir vaginanya yang masih berdenyut-denyut mengeluarkan sisa-sisa cairan.
Aku lalu berbaring di sebelahnya sambil membelai rambutnya. Kulihat wajahnya penuh dengan keringat, telihat kepuasan terpancar dari wajah cantiknya. Kukecup lembut bibirnya.
"Thanks Vin.. Mbak puas banget...," kata Mbak Airin.
"Mau dilanjut atau sudah Mbak?" tanyaku menggoda.
"Iya, tapi Mbak juga ingin menikmati punya kamu dulu," katanya sambil menggenggam penisku.
Aku mengerti apa yang diinginkannya, aku lalu telentang dan dia mengarahkan mulutnya ke arah penisku. Tangannya menggenggam batang penisku lalu dikecupnya ujung penisku, dia mulai menjilati kepala dan batang penisku sambil dikocok-kocok dengan tangan lembutnya.
Kemudian dimasukkannya penisku ke dalam mulutnya dan dapat kurasakan dia begitu pintar memainkan lidahnya menggelitik penisku. Disapunya semua permukaan penisku mulai dari bawah hingga ke atas, permainan lidahnya dengan lincah menggelitik setiap mili bagian penisku. Aku bagai melayang ke awang-awang, aku hanya bisa mendesah meresapi betapa pintarnya Mbak Airin memainkan penisku. Kalau ini berlangsung lama, bisa-bisa jebol pertahananku.
Setelah beberapa lama Mbak Airin puas menikmati penisku, dia melepaskan mulutnya. "Vin, puasin Mbak sekarang yaah...," katanya sambil telentang di sampingku.
Aku segera mengarahkan penisku ke arah vaginanya. Kini penisku telah sampai di mulut vaginanya, kepala penisku menempel di bibir vaginanya yang merah basah. Aku mulai melesakkan penisku ke dalam vaginanya dengan perlahan, sambil kunikmati nikmatnya gesekan batang penisku dengan dinding vaginanya.
Penisku tidak mengalami kesulitan membelah vaginanya yang sudah sangat basah. Kulihat Mbak Airin juga menikmati hal ini, matanya terpejam meresapi sensasi gesekan alat kelamin kami sambil menggigit-gigit sendiri bibirnya. Aku mulai menggerakkan pinggulku pelan-pelan. Kurasakan gesekan penisku dengan vaginanya begitu nikmat, mungkin karena lama aku tidak merasakannya. Mbak Airin seperti biasa, dia mendesah-desah, matanya merem melek menikmati dan pinggulnya digoyangkan mengimbangi permainanku.
"Ouffss.. yaah.. lebihh.. cepat Vin, aahh...," desah Mbak Airin.
Tapi aku tidak menggubris permintaannya. Gerakan pinggangku masih tetap pelan, karena aku memang benar-benar ingin menikmati momen bercinta dengan wanita cantik ini. "Oohh.. please.. yang cepat Vinn.. ahh.. Mbak mohon...," kata Mbak Airin merengek.
"Kenapa Mbak? Sudah tidak tahan ya...?" godaku.
"Kamu nakal Vin.. Ohh.. Please...," desah Mbak Airin sambil mencubit pinggangku, tapi aku tetap tidak mempedulikan permintaannya.
Tiba-tiba Mbak Airin membalikkan badan sehingga kini dia yang berada di atas. Lalu dia bangkit dan duduk di atas pahaku. Rupanya wanita cantik ini benar-benar sudah tidak tahan. "Kamu nakal Vin...," katanya sambil mengarahkan vaginanya ke arah penisku. Digenggamnya penisku dengan tangannya, lalu dengan perlahan dia menurunku pinggulnya, dan tak lama kemudian penisku telah amblas ditelan bibir vaginanya. Dengan posisi agak membungkuk, tangannya berpegangan di atas dadaku untuk menjaga keseimbangan tubuhnya.
Ini adalah salah satu posisi favoritku, seperti halnya ketika aku bercinta dengan yang lain. Dengan posisi ini aku bisa melihat dengan leluasa ekspresi seorang wanita yang sedang dikuasai nafsu birahi dan sedang menaiki tangga nafsu untuk meraih puncak kenikmatan.
Mbak Airin menggerakkan pinggulnya naik turun sampai sebatas leher penisku dengan tempo yang cepat. Karena terlalu cepat, kadang-kadang penisku lepas dari jepitan vaginanya, sehingga dia terpaksa memasukkanya lagi. Mulutnya mendesis-desis sambil menggigit bibir bawahnya dengan giginya yang putih bersih.
Matanya yang sayu sesekali melirik ke arahku. Wajahnya dipenuhi keringat. Sungguh sexy! Sepasang payudaranya yang indah dengan puting coklat kemerahan yang mengacung ke depan terguncang menggemaskan, membuatku tidak tahan untuk tidak menjamahnya. Kuremas lembut kedua payudara yang kenyal itu, sambil sesekali kupuntir puting susunya.
"Ohh.. aagghh.. sshh.. aahh.. Enak tidak, Vin...," jeritnya nikmat.
"Ohhh.. iya Mbak.. teruss...," kataku yang juga dilanda rasa nikmat.
Sepuluh menit kemudian kurasakan ada gejolak dalam diriku yang mencari jalan keluar. Kulihat Mbak Airin juga semakin dikuasai nafsu birahi. Keringat semakin mengucur deras dari seluruh tubuhnya. Dia menghentikan gerakan pinggulnya sambil merebahkan tubuhnya di atasku.
"Mbak tidak kuat lagi Vin..., bikin Mbak puas sekarang ya...," katanya penuh harap.
Aku lalu membalikkan badannya, kini dia kembali berada dibawah. Aku mulai memompa vaginanya dengan cepat, karena aku juga ingin segera mencapai puncak kenikmatan itu. Terdengar bunyi berkecipak dari gesekan antara penis dan vaginanya, terdengar indah, dan menggairahkan.
"Aahh.. sshhh.. aarghh.. ayoo Vin.. yaah.. lebih cepat...," rintihnya sambil mempercepat gerakan pinggulnya mengimbangi gerakan pinggulku.
Setelah berjuang beberapa lama, akhirnya Mbak Airin mendapatkan apa yang diinginkannya. Senang rasanya melihat Mbak Airin orgasme sambil menggelepar-gelepar seperti ikan kekurangan air. Dia menghentak-hentakkan kakinya seperti ingin melepaskan sesuatu yang seakan teramat berat. Dia juga menjerit-jerit dan mengerang-ngerang keras melampiaskan kepuasan yang baru saja diraihnya. Hingga pundakku menjadi korban gigitan gemasnya. Pinggulnya terangkat ke atas, tangannya mencengkeram pantatku, kemudian ditekannya ke arah bawah.
"Oh my God.. oh my God.. oggh.. yeah.. aaww.. ssshh.. aaahh..." Mbak Airin mengerang kenikmatan dan menjerit panjang.
Kurasakan cairan orgasmenya menyiram batang penisku yang terjepit di dalamnya. Kuhentikan sejenak gerakan pinggulku untuk memberikan kesempatan dia menikmati hasil perjuangannya. Beberapa detik lamanya dia dilanda puncak birahi, kurasakan jepitan vaginanya kuat seakan-akan meremas-remas penisku. Setelah badai kenikmatan yang melandanya mulai reda, kucumbu bibirnya yang masih mendesis-desis merasakan sisa-sisa kenikmatan.
Aku yang juga ingin segera mendapatkan seperti apa yang baru diraih Mbak Airin, apalagi ditambah dengan jepitan liang vaginanya membuatku tidak kuat lagi untuk menahannya. Aku mulai menggerakkan pinggulku lagi dengan perlahan lalu kupercepat dan tidak lama kemudian akupun merasa tak kuasa lagi untuk menahannya.
"Aku mau keluar Mbak.. ahh.. sshh...," desahku.
"Keluarin di dalam saja Vin.. ayo sayangg...," Katanya sambil menggoyangkan pinggulnya. Akhirnya spermaku keluar dengan deras menyembur ke dalam rahimnya. Cret.. Cret.. Creeet... Kurasakan beberapa kali dan liang vagina itupun semakin banjir, terasa hangat. Kurasakan penisku tegang-setegangnya, serasa memenuhi lubang vagina Mbak Airin. Nikmat luar biasa kurasakan, bagai terbang di angkasa.
Aku terbaring lemas di atas tubuh Mbak Airin. Aku cumbu bibirnya sambil menikmati sisa-sisa kenikmatan yang baru saja kami raih. Kubelai rambutnya sambil kuusap pipi halusnya yang penuh dengan keringat. Penisku terasa mengecil di dalam liang vaginanya. Kurasakan dua buah dadanya menekan lembut dadaku.
Beberapa saat kemudian aku turunkan badanku dan tidur di samping badan wanita cantik ini. Mataku menerawang ke langit-langit kamar meresapi kenikmatan yang baru saja kudapatkan.
"Terima kasih Vin, kamu telah memberi Mbak kepuasan," ucapnya tersenyum manja, sementara tangannya mengusap-usap pipiku dengan mesra.
"Sama-sama Mbak, aku juga sangat menikmati hal ini. Lebih-lebih lagi kalau Mbak merasa puas," jawabku sambil membelai rambutnya.
"Vin, masih ingat kapan pertama kali kita bertemu?" tanya Mbak Airin.
"Ingat, 364 hari yang lalu," ucapku pasti.
Suasana kembali hening untuk beberapa saat. Sampai kemudian dia kembali bertanya, "Kita sudah berapa kali ketemu?"
"Enam kali dengan hari ini, memang kenapa Mbak?" ucapku.
"Tidak kenapa-kenapa," jawabnya. Matanya menatap langit-langit kamar. "Kau memang lelaki istimewa Vin. Tidak heran kalau banyak wanita ingin dekat dan mendapatkanmu," lanjutnya. Sementara aku hanya diam, tidak tahu arah pembicaraannya.
"Mbak mau memberi hadiah padamu, kamu mau menerima pemberian Mbak?" tanya Mbak Airin tiba-tiba.
"Tidak perlu Mbak, aku ini Pecinta Wanita, aku melakukannya berdasarkan kesukaan. Jadi bukan karena ingin mendapatkan hadiah atau bayaran." jawabku dengan nada kurang senang.
"Mbak mengerti Vin. Tapi bukan itu yang Mbak maksud. Anggap saja ini karena kekaguman Mbak padamu, karena kebaikan dan perhatianmu. Atau anggap hadiah ulang tahun dari teman, kakak, atau apalah menurutmu. Mbak tidak tahu kapan lagi kita bertemu, maka dari itu Mbak memberikan hadiah ini sebelum ulang tahunmu. Mbak berharap kau mau menerimanya, kalau tidak Mbak akan marah padamu," ucapnya dengan muka sedih.
Dan seperti biasa, aku tidak bisa melihat wanita sedih di depanku. Maka dengan terpaksa aku menjawab, "Baiklah, aku terima pemberian Mbak Airin. Tapi aku harap Mbak jangan berpikiran negatif padaku," ujarku.
"Pasti Vin," jawab Mbak Airin, tersenyum lebar. "Tapi nanti sore ya, Mbak masih kangen sama kamu," ucapnya dengan manja.
"Mbak masih mau lagi," tanyaku menggoda.
"Mau, tapi nanti ya, kita istirahat dan makan dulu. Kamu pesan makanan, Mbak mau mandi dulu," ujarnya beranjak ke kamar mandi.
Saat aku keluar dari kamar, ternyata Elang ada di ruang tamu. Dia hanya tersenyum melihat tampilanku, "Siapa?" tanya Elang saat aku duduk di hadapannya.
Aku tidak menjawab, hanya tersenyum, sambil membuka botol air mineral yang baru kuambil dari lemari pendingin. "Mbak Tika, Mbak Ina, Mbak Rani, Bu Dokter, Ibu Politikus atau Bunda Artis," tanya Elang, dengan mata masih tertuju ke layar laptop.
"Bukan," jawabku. "Kau sudah lama pulang?" balasku.
"Korban baru? Sudah setengah jam, kau yang sedang asyik di kamar pasti tidak dengar aku datang. Tapi aku yang berada di luar mendengar semuanya, sampai merinding mendengarnya," jawab Elang sambil menutup laptopnya.
Aku hanya tersenyum, kuangkat hp, kemudian menekan nomer untuk pesan makanan. "Kau mau makan pakai apa Lang?" tanyaku.
"Tidak usah Vin, baru saja aku makan. Ini juga mau pergi lagi. Sebenarnya aku mau ngomong sesuatu. Tapi besok juga tidak masalah. Selamat bersenang-senang saja," ujarnya tersenyum, kemudian beranjak menuju pintu. Tapi sebelum sampai pintu, Elang berhenti, memutar tubuhnya, kemudian bertanya, "Ngomong-ngomong siapa Mbak yang ada di dalam, mendadak aku jadi penasaran, haa..haa..," ucapnya, kemudian tertawa.
"Ibu Wali kota," jawabku lirih.
Elang diam sejenak, kemudian "ARD," ucapnya tidak yakin. Setelah aku membenarkan, barulah dia manggut-mangut. Kemudian mengacungkan jempolnya padaku. Setelah itu dia keluar.
"Pesanannya sudah datang, Vin?" tanya Mbak Airin keluar dari kamar. Badannya yang terbungkus handuk ketat, membuat dadanya tertekan seakan mau tumpah, sehingga membuatku tertegun dan menelan ludah. Sampai Mbak Airin menegurku, "Ditanya malah bengong."
Mbak Airin berjalan menuju sofa, mengambil pakaiannya yang berserakan. Melihat goyang pinggulnya saat berjalan, membuatku bernafsu lagi. Kudekati Mbak Airin dan kupeluk erat tubuhnya dari belakang. Kuciumi tengkuknya hingga dia menggelinjang. "Ahh... Sabar dulu Vin.. Achh...," desahnya.
Mbak Airin berusaha lepas dari pelukanku. Tapi tak kubiarkan. Kubalikkan tubuhnya dan kulumat bibirnya. Awalnya Mbak Airin menolak, tapi akhirnya membalas lumatan bibirku dengan pagutan-pagutan yang tidak kalah panasnya. Cukup lama kami bercumbu, dan mulut kami saling lepas, saat terdengar ketukan di pintu. Kami saling berpandangan untuk beberapa saat dengan nafas terengah-engah. Mbak Airin memberi kode untuk membuka pintu. Ternyata orang mengantarkan pesanan makanan.
Setelah orang itu pergi, tanpa mempedulikan makanan yang sudah datang, Mbak Airin mendekatiku, menarik aku untuk duduk disofa. Menarik celanaku, kemudian berjongkok dihadapanku. Diraihnya batang penisku yang belum terlalu keras. Dielus-elusnya lembut kemudian dikocok-kocok dengan tangannya. Setelah penisku mengeras Mbak Airin menyudahi kocokannya, dia mendekatkan wajahnya ke selangkanganku. Lidahnya dijulurkan dan mulai menjilati kepala penisku. Lidahnya berputar-putar di kepala penisku, kemudian turun ke pangkalnya.
"Oohh.. terus.. Mbak.. Yaah... Oh..," desahku. "Isappp.. Mbak.. Isapp oh yaaah...," pintaku.
Mbak Airin menuruti kemauanku. Dimasukkannya penisku ke mulutnya. Hampir sepertiga batang penisku masuk ke mulutnya. Sambil tersenyum padaku, dia mulai memaju-mundurkan mulutnya, membuat penisku keluar masuk di mulutnya.
"Mbak.. Akhu.. Takh.. Tahann," seruku.
Mbak Airin melepas handuknya, kemudian naik ke pangkuanku. Vaginanya tepat berada di atas selangkanganku. Diraihnya penisku dan dibimbingnya ke lubang vaginanya. Mbak Airin kemudian menurunkan pantatnya, sedikit demi sedikit batang penisku masuk ke lubang vaginanya semakin lama semakin dalam. Hingga seluruh batang penisku masuk ke lubang vaginanya. "Oughhh....," lengguhnya.
Mbak Airin diam beberapa lama, menikmati penisku yang menganjal lubang vaginanya. Sesaat kemudian Mbak Airin mulai menaik-turunkan pantatnya. Payudaranya yang besar ikut berguncang ke sana-kemari mengikuti gerakan naik-turun tubuhnya.
Kumasukkan puting susunya yang tepat berada di depan mulutku. Kusedot-sedot hingga dia pun menggerang kenikmatan. "Ohh.. aagghh.. sshh.. aahh...," jeritnya. Digoyang-goyangkan pantatnya ke kanan dan ke kiri. Aku tak mau kalah, kusodok-sodokkan pantatku ke atas seirama dengan goyangan pantatnya.
"Ohh.. Vin.. Aku.. Mauu.. Ke.. luarrr," teriaknya setelah hampir sepuluh menit menggoyang tubuhku. Dan kurasakan otot-otot vaginanya menegang. Tangannya mencengkeram dadaku dengan keras. "Oh.. oggh.. yeah.. aaww.. ssshh.. aaahh..." Mbak Airin mengerang kenikmatan. Sesaat kemudian kurasakan cairan hangat merembes di lubang vaginanya.
"Kau belum selesai sayang," ucapnya sambil mengecup keningku. "Aku tahu kesukaanmu," ucapnya tersenyum. Dia bangkit dari posisinya hingga penisku keluar dari lubang vaginanya, kemudian berjongkok kembali dihadapanku. Mbak Airin memainkan penisku sebentar, kemudian menjepit batang penisku diantara kedua payudaranya yang besar. Perlahan Mbak Airin mulai menaik turunkan payudaranya. Gesekan penisku diantara kedua payudaranya membuatku merasakan nikmat yang tiada taranya.
Cukup lama Mbak Airin menggoyang-goyangkan payudaranya, sampai dia kelelahan. Kemudian kami berganti posisi. Aku minta dia menungging membelakangiku dengan tangan bertumpu pada sofa. Kugenggam penisku dan ku arahkan tepat ke lubang vaginanya. Kudorong sedikit demi sedikit, sampai seluruhnya amblas tertelan lubang vaginanya.
Lalu kudorong pantatku maju mundur. Kurasakan nikmatnya lubang vagina Mbak Airin. Sambil kumainkan klitorisnya yang menyembul dengan jari-jariku. Membuat nafsu birahi Mbak Airin menggila. "Auuuhh... ahhh.... yaah.... ohhhh....," erangnya. Mbak Airin mengimbangi gerakanku dengan mendorong-dorong pantatnya seirama gerakan pantatku.
Aku semakin mempercepat gerakan pantatku, ketika kurasakan akan mencapai orgasme. Demikian juga jari-jariku semakin cepat memilin klitorisnya. "Ya, terus Vin... ouhhh shhss...," erang Mbak Airin.
"Mbak.. Mbak.. Akuu.. Mau.. Keluar," seruku.
"Mbak.. Juga.. Vin," sahutnya.
Cratt.. Craatt... Crreeetss... dalam waktu yang hampir bersamaan, kami mencapai orgasme. Tubuh kami rubuh ke sofa. Setelah diam sebentar, aku bangun dari atas tubuhnya kemudian duduk di sofa. Saat itulah terdengar bunyi telepon. Mbak Airin mengambil handphone yang ada di dalam tasnya. Sebelum menjawab panggilan itu dia memberi kode padaku untuk diam.
Tidak ingin mengganggunya aku bangun dan melangkah ke dapur. "Ada apa Mbak?" tanyaku sekembalinya dari dapur.
"Tidak ada apa-apa. Tapi sepertinya waktu kita tidak banyak lagi. Nanti kita makan di luar saja ya, sekalian mengambil hadiahmu," ucapnya. Dia kemudian mengambil kembali handuk yang tadi dipakainya. Aku menyusul dia ke kamar mandi. Kami mandi bersama, saling menyabuni hingga nafsu kami kembali timbul dan melakukan quickie seks di dalam kamar mandi.
Satu jam kemudian kami sudah sama-sama rapi. Mbak Airin membuka tas kemudian mengeluarkan sesuatu dari dalamnya. "Mbak hanya bisa memberi ini, semoga kau mau menerimanya," ujarnya sambil menyerahkan benda itu. Surat kendaraan bermotor lengkap atas namaku.
"Apa ini tidak terlalu mahal Mbak?" tanyaku, melihat merk dan tipe kendaraan yang tertera di surat itu.
"Tidak, Vin. Harga itu terlalu murah untuk dirimu. Tapi saat ini hanya itu yang bisa Mbak berikan. Terimalah," ucapnya memohon.
"Ta.. Tapi Mbak!"
"Sudahlah, tidak ada tapi-tapian. Mari kita berangkat ambil barangnya," ucapnya memotong perkataanku.
Tanpa memberi kesempatan padaku untuk membantah Mbak Airin sudah melangkah keluar. Aku terpaksa mengikutinya. Sampai di tempat parkir, dia memintaku untuk menyopirinya membawa ke sebuah dealer motor. Dalam perjalanan dia menjelaskan, sejak awal dia memang mau memberikan hadiah untukku. Tiga bulan lalu, dia memesan sepeda motor itu, tapi tiga hari berselang motor pesanannya baru tersedia. Dengan koneksinya mudah saja bagi dia untuk mengurus segala sesuatunya.
Setelah sampai dealer yang dituju, Mbak Airin keluar dan masuk ke dealer itu. 10 menit kemudian seorang montir memanggilku. Dia membawaku untuk mengecek sepeda motor itu. Setelah segala sesuatunya beres, aku kembali ke depan. Sebelum berpisah Mbak Airin mengajakku berbicara di dalam mobil. Hampir tiga puluh menit kami berbicara, dan diakhiri dengan ciuman bibir yang panas menggelora. Mungkin akan lama bila tidak ingat bahwa itu di tempat umum. Kami akhirnya berpisah. Mbak Airin pulang membawa kepuasan, sementara aku membawa pulang sebuah sepeda motor Kawasaki Ninja ZX14r.
To Be Conticrooot...