Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG MIMPI DALAM LAUTAN AMBISI

Part 10


Pov Juwita



“Apa rencana ini akan berhasil? Sudah hampir 3 tahun aku mempersiapkan semuanya dengan matang. Dika, aku sudah gak sabar ingin bersanding denganmu.” harapku sambil menimang-nimang handphone.

“Miiihhh.... Laporan Disti yang kemaren disimpen di mana?” teriak Disti, terdengar suara langkahnya mendekat. Bersamaan dengan itu..

Kriiiiiingggg…

Kutatap nama yang terpampang pada layar handphoneku, dengan sedikit acuh aku pun mengangkat panggilannya. Kulihat Disti urung bertanya karena aku mulai berbicara di telpon.


“Halo, Res, ada kabar apa?” tanyaku ketika mengetahui orang yang menelponku.

“….”

“Apa… suami saya di rumah sakit???” dengan memasang mimik cemas dan khawatir depan Disti.

“….”

“Oke .. biar saya urus yang lainnya..!!”


“Mihh, apa yang terjadi dengan papih??” Disti terlihat cemas dan panik saat mendengar percakapanku dengan Resti.

“Paapih, Dis… hiikss.. papih kena serangan jantung dan hiiiiksss… papih meninggal, Dis, hiks…” aku pura-pura histeris. “Sekarang jasad papih sedang dalam perjalanan ke bandara.. hiikss.” mataku mulai meneteskan airmata buaya.

“AAAPPPAAAA…??? MIH… HUUUHHUUU.. MIIHHH DI MANA PAPIH SEKARANG…?? AKU MAU KE SANA SEKARANG…!!!...” Disti meraung menangis mendengar kabar buruk kalau papihnya meninggal dan berniat untuk pergi menyusul ke rumah sakit.

“Yasudah kamu jangan nangis hikks… Kamu duluan aja pergi. Nanti mamih nyusul ama Dika hiiiiiksss…” bujukku sambil mengusap air mata, tanpa berkata Disti pun berlari keluar lalu pergi menggunakan mobilnya.

Aku menatap kepergian Disti sambil berucap pelan, “Selamat tinggal, sayang, titip salam buat papihmu di sana.”

Bang, Disti sudah meluncur … jalankan rencana!!!

Aku mengetik SMS dan mengirimkannya kepada seseorang.

Tak lama kemudian Dika datang.

“Mih, Disti kemana?” ia muncul sambil membawa map.

“Ohhh… Disti buru-buru, sayang.” balasku sambil bergelendotan mesra lalu mencium bibirnya.

“Mih, jangan gini, aku gak enak kalau ada yang liat.” ia sedikit tersentak kaget melihat sikapku yang nakal.

“Gak apa-apa, Dika sayang, entar juga kamu akan jadi milikku. Kamu bawa apa sih?” aku memeluk pinggang Dika sambil menunjuk berkas map.

“Euu… duh.. mih..” sedikit meronta.

“Dika sayang, mulai hari ini kamu akan menjadi suamiku. Kamu bakal jadi ayah dari janin yang ada dalam kandunganku.” sambil mengarahkan tangannya pada perutku.

“Haaa apa mih… apa maksudnya?” Dika terkejut dan kemudian meronta melepaskan diri.

“Iya sayang, kamu akan jadi ayah, aku mengandung anakku. Muuuaach.” aku mencium mesra bibir Dika, sambil mengencangkan pelukanku.


POV 3

“Papiiiiiihhh.. huuuu huu… jangan tinggalin Disti.. huuu…” Disti menangis meraung-raung tak sabar sambil memukul-mukul setir mobil. Lalu lintas yang sangat padat membuat Disti terjebak dalam kemacetan. Ia semakin tak sabar ingin menemui jenazah Handoko ayahnya.

Disti terus menangis sambil menyambat nama ayahnya. Lambat laun mobilnya pun bisa keluar dari kepadatan dan memasuki tol menuju bandara. Disti pun menginjak gas dalam dan mobilnya melaju dengan kecepatan tinggi.

Tiba-tiba sebuah truk mencoba menghalangi laju mobil mewah yang dikendarai Disti. Disti kaget dan mencoba menginjak rem, tapi terlambat.

Braaaaaak….!!!!

Moncong mobil Disti menabrak sisi kanan truk dengan sangat keras.

Ciiiiitttt….!!! Mobil pun oleng dan terjungkal terbalik hingga menyeberang ke arah yang berlawanan. Mobil Disti luput dari tubrukan kendaraan lain, tapi mobil itu terus meluncur menabrak marka jalan, dan terguling tak terkendali.

BRAAAAK!!! DUUAAAARRR…!!!!!

Mobil pun meledak terbakar, bukan hanya menghanguskan mobil mewahnya, tetapi juga membakar Disti yang ada di dalamnya.


“Mih, tolong lepasin Dika. Dika mohon..!!” bujuk Dika.

“Dika sayang, sekarang tinggal kita berdua di rumah, kamu gak usah khawatir!!” sambil terus merayunya, ketelusupkan tanganku ke dalam celananya dan memegang penisnya.

“Hihi sudah tegang, sayang. Kamu mau? Biar Juwi kasih yah.” sambil mendorong tubuh Dika ke ke atas sofa, lalu kubuka ikat pinggang dan kaitan celana panjangnya.

Tapi saat aku hendak mengulum penis Dika…

Took.. tokk…

“Mih, tolong lepasin, itu ada tamu.” Dika merasa jengah.

Akhirnya aku melepaskan peganganku pada penisnya, dan dengan sedikit kesal aku melangkah ke arah pintu. Kulihat Dika langsung merapihkan celananya. Setelah semuanya rapih, aku pun membuka pintu. Nampak dua orang berseragam polisi telah berdiri di depan pintu.

“Selamat siang, apa betul ini dengan kediaman Bu Disti?”
“Betul, saya suaminya Bu Disti. Ada keperluan apa, yah pak?” tanya Dika dari belakangku.

“Saya memberitahukan bahwa baru saja ibu Disti mengalami kecelakaan di jalan tol. Kondisi Bu Disti sekarang… hmmm… maaf…. ” ujar salah satu polisi.

“HAAAHHH??? Bbagaimana kondisi istri saya, pak??” tanya Dika, tubuhnya terlihat lemas dan wajahnya terlihat pucat pasi.

“Maaf istri bapak meninggal di tempat dengan tubuh yang susah dikenali karena tubuhnya hangus terbakar terjebak dalam mobil yang terbakar, kami mengenal istri bapak dari nomor mobil yang dikendarai atas nama ibu Disti.” jelas seorang perwira Polisi, membuat tubuh Dika terduduk di lantai, dan menangis memanggil nama Disti.

“Sayang yang tabah yah, masih ada Juwi di sampingmu.” sambil mendekap tubuh Dika membiarkan dirinya menangis.

“Maaf, ibu siapanya bapak ini?” tanya Polisi itu.
“Eh kenalkan saya Juwita, istri pak Dika juga.” memperkenalkan diri tanpa melepas Dika.

Setelah reda, Dika pun beranjak berdiri, “Sekarang posisi Disti di mana, pak? Bisa bapak antarkan saya ke sana?” ujarnya pelan dibalas dengan anggukan para polisi. Akhirnya Dika pun mengikuti polisi tersebut.

“Dasar lelaki bodoh..” aku menggerutu sambil menutup pintu.


*
*
*


Dua hari kemudian…

Setelah proses pemakaman Handoko suamiku dan Disti putriku, aku beranjak ke kantor perusahaan, Bagus orang kepercayaanku sudah menunggu di halaman parkir.

“Gimana, Gus..??”

“Sukses bu, perusahaan ini telah resmi menjadi milik ibu. Semua peralihan kepemilikan atas nama ibu telah berhasil.” ujar Bagus sambil menyerahkan beberapa berkas.

“Bagus.. kerja kamu sangat memuaskan. Aku akan segera melunasi bayaranmu tapi aku minta kamu tetap bersembunyi di balik layar, tetap kelola perusahaan saya di sana, dan jangan menampakan diri di kantor ini. Jka ada apa-apa kita langsung saling kontak.” ujarku sambil menyerahkan selembar cek pada bagus.

“Terima kasih, bu, atas semua kepercayaannya.” sambil tersenyum menerima cek lalu pergi meninggalkanku.

Setelah Bagus pergi meninggalkanku, aku langsung memasuki gedung disambut oleh beberapa pegawai. Aku hanya mengangguk kecil menjawab sapaan mereka, tujuanku adalah ruangan direktur dengan menggunakan lift khusus.

Ketika aku membuka pintu ruang kerja mas Handoko yang sekarang menjadi ruangan kerjaku, kulihat seseorang sudah ada di dalam menungguku.

“Halo mbakku sayang.” Resti menyambut dengan mesra lalu memeluk dan mencium bibirku.
“Akhirnya kita dapat menguasai perusaahn ini, Res!!”

“Iya Mbak, aku seneng banget, penantian kita selama bertahun-tahun ini tidak sia-sia, dan sekarang kita tinggal menikmati hasilnya…!!” jawab Resti sambil mendorong aku ke sofa kantor lalu duduk di atas pangkuanku.

“Duh Res.. pelan-pelan dong, entar bayiku sesak di dalam hihi…!!”

Smmuaachh… Resti menciumku dengan mesra, ia memagut bibirku lalu tangannya mulai menggerayangi payudaraku dari luar pakaian. Aku membalasnya sambil mengelus pahanya yang putih dan mulus, sangat halus kurasakan. Setelah saling menyalurkan rasa kangen, Resti melepaskan ciumannya lalu menyandarkan kepalanya didadaku sambil tetap mengelus payudaraku.

“Mbak sih enak bisa hamil ama si Dika, kalau aku cuma boongan doank. Itu kontolnya si Dika enak gak, mbak? Aku sih sama sekali gak bisa menikmati kontol si Handoko..!!”
“Iya Resti sayang, aku juga gak begitu menyukai permainanya. Kelebihan dia cuma wajahnya aja yang mirip Mas Herawan..!!”
“Terus gimana dong si Dika sekarang?”
“Bodo amat..!!! Aku udah gak terlalu peduli, biarin aja dia menangisi kematian si Disti sampai dia sendiri mati hahaha..” tawaku.


Aku wanita bodoh yang mengorbankan kisah cintaku dengan lelaki yang jelas-jelas sangat mencintaiku setulus hati.

Saat aku beranjak dewasa, suatu kejadian menimpa papahku, ia diketahui telah menggelapkan dana perusahaan keluarga yang membuat dirinya dicoret sebagai salah satu ahli waris. Semua warisan pun jatuh pada Tante Angesti, istri pertama Om Haryo, ibu dari mas Handoko. Ketika Tante Angesti meninggal ketika melahirkan Handoko, akhirnya semua warisan berpindah ke tangan Om Haryo.

Dalam keterpurukan dan kemiskinan, papahku berusaha merebut kembali dan menguasai semua warisan keluarganya,. Dengan berbagai muslihat, papahku mulai menghasut Handoko agar membantunya untuk menguasai perusahaan Om Haryo, karena papahlah yang seharusnya berhak atas semua kekayaan, bukan saudara tirinya.

Aku juga tidak ingin hidup sengsara dalam kemiskinan, maka aku menyanggupi permintaan papah untuk mendekati mas Hermanto yang notabene adalah pewaris tunggal perusahaan. Atas mulihat kami, Om Haryo akhirnya mati secara perlahan di tangan Mas Handoko dengan cara meracuninya. Selanjutnya, aku yang disuruh papah untuk bisa menggiring Mas Hermanto ke gudang pabrik agar mas Hermanto dihabisi di sana.

Tapi kesalahan fatal terjadi. Aku jatuh cinta pada sosok Mas Hermanto, aku sangat menyesal ketika Mas Hermanto harus merenggang nyawa dilalap api. Mengapa aku harus menuruti papahku untuk menghabisi Mas Hermanto, padahal dengan memilikinya aku pasti akan sangat bahagia.

Akhirnya aku menikah dengan Mas Handoko. Ketika usia perkawinan kami sudah berusia 2 tahun dan ketika itu aku sedang hamil tua, terungkap dari mulut papah bahwa dulu papah merencanakan ini karena ia ingin menguasai perusahaan dengan cara mengadu domba kedua putra Om Haryo dengan cara menyingkirkan mereka satu per satu. Dan yang paling mengejutkan, ternyata Mas Handoko juga berambisi untuk menguasai perusahaan milik ayahnya. Di sinilah awal semua rencana papahku, Mas Handoko dihasut papah bahwa Mas Hermanto adalah ahli waris tunggal Om Haryo. Semua ini papah rekayasa agar papah bisa memanfaatkan kebodohan Mas Handoko.

Dan sekarang papah akan menuntaskan ambisinya menguasai harta keluarga Mas Handoko, saat mas Handoko sedang melakukan perjalanan dinas ke Brazil, papah menyewa dan mengirim orang untuk menghabisi Handoko di sana.

Hatiku hancur mendengar pengakuan papah, aku mengorbankan perasaan ini pada Mas Hermanto hanya untuk merebut harta warisan. Begitu pula saat aku mencoba mulai menerima Mas handoko papah dengan seenaknya mengambil kembali kebahagiaanku. Tapi entah apa yang kupikirkan waktu itu, dalam otak dan mulutku seakan menyetujui tindakan papah, sama seperti saat pertama aku membantu papah dan Mas Handoko untuk menjebak Mas Hermanto. Tak ada larangan atau cegahan atas tindakan papahku dari mulutkui, malah aku ikut mendukung dan mensupport papah dengan mengirim kembali orang-orang yang aku sewa untuk menghabisi Mas Handoko.

“Nah begitu, ini baru anak papah.” puji Papahku sambil tersenyum saat aku melaporkan bahwa aku telah mengirim orang ke Brazil untuk membantu menghabisi Mas Handoko. Aku hanya tersenyum manis mendengar pujian walau dalam hati kecil aku menangis.

Melihat senyuman papah, itu membuatku menjadi enek, terbersit sebuah pikiran dalam otakku, bahwa kali ini adalah saatnya Juwita yang mesti meraih semua kebahagiaan yang pernah hilang.

Keesokan harinya.

“Juwi, sambil menunggu laporan dari orang yang kita kirim, papah buatin teh manis dong, papah haus.” ujar papah sambil mencoba menelpon.

“Yap, pah.” sambil berlalu ke belakang.

Semalaman aku yang sudah berpikir matang untuk memulainya, aku meraih sebuah botol berisi cairan yang dulu papah gunakan untuk membunuh Om Haryo, lalu aku campurkan ke dalam manis pesanannya.

“Pah, nih tehnya,” sajiku, sambil menyodorkan cangkir.

Papah yang baru beres menelepon menerima cangkir dengan wajah sumringah.

“Juwi, rencana kita berhasil… Handoko telah mati, mereka telah sukses membunuhnya dalam suatu kecelakaan.” ujar papah antusias.

“Yang bener, pah?” tanyaku.

“Yaaahhh sukses besar, akhirnya harta perusahaan ini menjadi milik kita, Juwi!!” ujar papah sambil meneguk air teh.

“Gimana Juwi, apa semua berkas udah dipersiapkan? Papah mau ganti semua kepemilikan perusahaan atas nama papah, papah mau urus sekarang.” lanjutnya sambil menghabiskan air tehya.

“Sudah pah, bentar Juwi ambilkan..!!” jawabku meninggalkan papah mengambil berkas berkas surat warisan.

Saat kembali, papah terlihat kesakitan, tangannya memijit dadanya.

“Kenapa pah?” tanyaku sambil tersenyum dan menyodorkan lembar kertas.

“Ggaa tahu, Juwi.. dada papah terasa sakit.” papah menerima berkas dari tanganku. Tiba-tiba matanya terbelalak saat membaca isi berkas tersebut.

“Juwwiii.. ini kenapa semua ahli waris kepemilikan atas nama kamu..??” sambil terus memijit dadanya.

“Lah iya kan pah, semua ini kan milik Juwita, kan Juwita itu istrinya Mas Handoko, wajar kan kalau sekarang jadi milik aku.” dengan ekspresi dingin.

“Kaaammmuu..!!!”

Gubrrraaakkkk… Papah ambruk di hadapanku… mulutnya mengap-mengap sesak matanya melotot ke arahku.

“Pah, terima kasih papah sudah mengajarkan Juwi untuk meraih kebahagiaan.” ucapku sambil berjongkok di hadapan papah.

“Tteeeggaaa kaaamu, Juwwwiii !!” erang papah.

“Seperti papah yang juga tega ke Juwi.. ohh iya pah .. papah masih ingat racun yang digunakan papah untuk membunuh Om Haryo? Sisanya Juwi simpan dan sekarang papah sudah menikmatinya..!!”

“Juwwwiiii… aarrkkkgghh!!” papah merenggang nyawa dengan mata melotot.

Dengan berjalan perlahan aku menghubungi rumah sakit dengan nada cemas.

“Ttooolong kirriiim ambulance cepat ke rumah, papahku terkena serangan jantung.” dalam hati tertawa melihat papahku sudah terkapar.

Seminggu setelah pemakaman papah. Saat aku hendak mengurus surat pengalihan kekuasaan di tempat pengacaraku Pak Bagus yang juga konsultan perusahaan papahku, tiba-tiba handphoneku berbunyi.

“Haaalloo Juwwwiii, sayang .. ini mas Han.”

“Haaa maass Han…” kagetku mendengar pengakuan seseorang di balik telepon bahwa dia adalah suamiku mas Han.

“Iya sayang, maaf mas baru bisa ngabarin kamu, kemarin mas mengalami kecelakaan yang hampir merengut nyawa mas, beruntung mas bisa hidup, tapi handphone mas rusak jadi baru sekarang mas bisa hubungi kamu!!” paparnya,

Mendengar kabar itu tiba-tiba kepalaku pening berputar dan jatuh pingsan.


*

*

*


Saat kuterbangun, aku baru menyadari aku telah berada di ruang rawat rumah sakit, aku merasakan sakit pada kepala dan seputar perutku, aku mencoba berpikir apa yang terjadi pada diriku.

Tiba-tiba seorang dokter didampingi seorang suster yang menggendong seorang bayi berjalan ke arahku.

“Selamat Bu Juwita, sekarang ibu telah memiliki seorang bayi cantik!!” dokter itu mengucapkan selamat di tengah kebingunganku.

“Maksud dokter apa??” menanyakan apa yang terjadi.

“Kemarin ibu pingsan dan tensi darah ibu naik, dan bersamaan denga itu pula ibu mengalami pendarahan, dengan seizin suami ibu lewat pengacara ibu, kami melakukan tindakan operasi caecar, dan alhamdulillah nyawa bayi dan ibu bisa kami tolong.” paparnya.

“Mas Haaannn…” ternyata semua rencana yang papah susun untuk menghabisi Mas Handoko gagal total, Mas Handoko masih hidup.


*

*

*


Enam bulan setelah melahirkan, rasa waswas selalu menghantuiku, meskipun selama ini Mas Handoko yang selalu menghubungiku tak pernah sedikit pun menyinggung kematian papah dan kecelakaan yang terjadi padanya.

Hingga suatu waktu, Mas Handoko pun kembali ke rumah. Ia hanya menanyakan kabar Disti putriku tanpa sedikitpun menyinggung kematian papah. Tapi yang mengherankan, pertama kali ia datang, tanpa basa-basi ia langsung mengauliku di hadapan Disti yang tertidur. Aku akui mungkin Mas Handoko meluapkan rasa kangen pada istrinya.

Seiring berjalannya waktu, sejak kepulangan Mas Handoko ke rumah, ia mulai banyak berubah, sikapnya lebih arogan dan dingin padaku. Mas handoko juga semakin sibuk dengan pekerjaannya, dan mulai jarang pulang dengan alasan banyak kerjaan di luar kota. Hampir setiap malam aku hanya tidur sendirian, hanya ditemani Disti yang mulai besar. Yah.. Mas Handoko sudah jarang menggauliku, kalau pun ia mengauli, tak sedikit pun aku menikmatinya, semua sentuhan Mas Handoko terasa dingin dan asing di tubuhku.

Saat aku mulai lelah akan kesepian aku mengenal Marni, seorang gadis desa yang kesasar di kota ini ketika ia mencari suaminya. Akhirnya Marni aku tawari untuk bekerja sebagai PRT sambil menemani aku dan mengurusi Disti.

15 tahun aku bertahan mempertahankan rumah tangga di tengah rasa khawatir, sampai akhirnya terdengar kabar bahwa Mas Handoko sering bermain gila dengan wanita panggilan.

Entah apa yang aku pikirkan saat itu, dalam benakku terbersit untuk menuntaskan semua yang telah gagal, tapi aku belum mendapatkan keberanian untuk memulainya. Hingga suatu saat, ketika aku sedang menghilangkan rasa penat, aku mengunjungi suatu tempat hiburan malam dan di sana aku mengenal sosok Resti. Ia adalah seorang janda yang kabur dari rumah karena suaminya memiliki kelainan sex, yang hanya bisa mencapai kepuasan dengan cara menyiksa Resti.

Sejak perkenalan malam itu, setiap malam hanya Resti yang selalu menemaniku, hanya Resti yang selalu mendengar seluruh keluh-kesahku, dan juga menghiburku sehingga membuat aku jatuh hati pada Resti. Akhirnya kami pun mulai melakukan hubungan terlarang, rasa haus kami akan belaian dan kasih sayang menjadi terobati, kami saling memuaskan nafsu birahi kami.

Ketika Disti mulai beranjak dewasa, kelakuan Mas Handoko semakin menjadi, dan bahkan tanpa malu ia memperkenalkan setiap wanita yang ia gauli kepadaku sebagai partner kerja. Sikapnya membuatku semakin jijik dan ingin cepat-cepat menghabisinya.

Akhirnya aku mulai menyampaikan rencana-rencanaku pada Resti untuk menghancurkan Mas Handoko dan merebut semua kekayaan suamiku. Resti pun mendukung semua rencanaku.

Rencana pertama yang aku lakukan adalah memasukan Resti menjadi karyawan di tempat Mas Handoko, dan dugaanku tidaak meleset, tanpa di test Resti langsung diangkat menjadi asisten pribadinya. Di saat bersamaan, aku pun memaksa untuk bekerja di perusahaan Mas Handoko, dan diam-diam membuat perusahaan tandingannya dengan modal asset peninggalan papahku.

Semua rencanaku semakin mulus ketika aku mengenal Andre. Pada suatu hari, ketika sedang perjalanan pulang dari kantor, aku melihat Disti sedang bersama dengan seorang lelaki. Usut punya usut, ternyata dia adalah kekasih Disti yang merupakan kakak tingkat di kampusnya. Akupun mulai menyelidiki lelaki tersebut, dan rupanya dia adalah seorang playboy kelas teri yang mencoba mendekati anakku Disti hanya untuk memeloroti uangnya.

Melihat Disti santa mabuk kepayang akan si Andre ini, terpikir olehku untuk memperalat Disti lewat Andre. Dengan membayar seorang PSK agar tidur dengan Andre, aku menjebak Andre dan pura-pura memergokinya. Aku pun mengancam Andre akan menceritakan semua belangnya pada Disti dan kedua orang tuanya jika ia idak mau berkerja sama denganku. Sangat mudah untuk memperdaya playboy kelas teri ini, ia pun mau menjadi bagian dari permainan rencanaku.

Dengan sedikit bujuk rayu, aku berhasil meyakinkan Mas Handoko untuk memasukan Andre bekerja di perusahaan, dan Andre pun mulai menjalankan perintahku. Semua yang kurencanakan berjalan mulus tanpa hambatan, dan setelah berhasil, aku hanya berkorban uang 250 juta untuk membayar Andre agar menghilang dari kehidupan Disti dan jangan pernah kembali.

Tapi hal yang tak terduga yang lolos dari perkiraanku adalah sikap Disti yang memberanikan diri untuk menyelesaikan masalah yang Andre telah perbuat dan lebih kagetnya lagi Dika menawarkan diri membantu Disti.

Seiring berjalannya waktu, masalah di perusahaan mulai kembali normal, dan yang membuatku sangat kecewa rupanya benih-benih cinta antara Disti dan Dika mulai tumbuh. Semuanya semakin membuatku marah ketika Dika memberanikan diri melamar Disti, yah Dika mulai terpikat oleh Disti.

Dalam pikiran yang tak tentu, akhirnya aku memberanikan diri membuka alat kontrasepsi, memang berisiko tapi itu menjadi satu-satunya cara untuk merebut Dika dari tangan Disti, yaitu aku harus bisa hamil dari benih Dika.

Sebulan sebelum pernikahan Dika dan Disti, aku berhasil memaksa Dika agar mengauliku, tapi Dika yang telah menaburkan benihnya pada rahimku tidak membuatnya berpaling dari Disti, keesokan harinya Dika lebih menjaga jarak hingga hari pernikahan pun terlaksana.

Disti benar-benar telah memikat hati Dika, hingga Dika lebih memilih Disti dari pada aku. Amarah dalam hatiku pun berkobar-kobar, ingin kuhabisi anak brengsek yang sudah merebut Dika dari aku.

“Disti kamu ternyata sama seperti papih kamu, yang bisanya hanya merebut kebahagiaan dari tangan orang lain, dan kamu pun harus aku singkirkan sama seperti papih kamu.” itu tekadku.

Fix sudah dendam dalam hati ini untuk menghabisi Mas Handoko dan Disti

“Mbak… mbak pasti mau ninggalin aku yah kalo bisa dapetin Dika.” ucapan Resti yang sedang duduk di pangkuanku menyadarkan lamunanku. Ia menyandarkan kepalanya dan tangannya memeluk leherku.

“Gak akan, sayang. Aku gak akan meninggalkanmu, meskipun Dika menjadi milikku kamu tetep jadi nomor satu di hatiku.” jawabku sambil tersenyum.

“Dan satu lagi Resti sayang, tujuan hidupku adalah merebut semua warisan keluarga papahku sebagai balas dendam atas kekecewaanku pada papa yang telah mengambil kebahagiaanku. Dika hanyalah orang yang hadir di saat waktu yang tidak tepat, jadi untuk memiliki Dika itu hanyalah proritas kedua. Seandainya aku tidak mendapatkan pun, aku gak ada masalah, lagian kan ada kamu yang selalu setia mendampingi aku.” lalu kukecup bibir Resti untuk menghapus kegundahan hatinya, dan tangan ini meremas lembut kedua payudaranya.

“Mbak… akh..” Resti mulai terangsang dengan remasan tanganku.

Tok tok..

Resti langsung bangkit dari pangkuanku, aku pun langsung berdiri merapihkan pakaianku yang telah acak-acakan.

“Masuk.”
“Maaf bu.. ini ada petugas dari pengadilan yang ingin ketemu ibu..!!”
“Ooh yah, silahkan masuk.” aku duduk di kursi kerja Mas Handoko, dan terlihat beberapa orang petugas yang memasuki ruang kerjaku.

Lalu salah dari mereka duduk di hadapan aku tanpa basa-basi.

“Maaf bu, saya mau memberitahuan keputusan dari pengadilan, bahwa perusahaan yang ibu pimpin ini akan dipailitkan oleh pengadilan dan akan ditutup, dan kami datang kesini untuk mengamankan asset-asset perusahaan.” sambil memberikan berkas keputusan pengadilan.

“Sebentar… sebentar… ini pasti ada yang salah. Orang kepercayaan saya memberitahukan bahwa perusahaan ini baik-baik saja.” ujarku kaget.
“Silahkan kalau ibu mau banding, ibu bisa menggugat balik di pengadilan, kami hanya petugas yang menjalankan tugas.” jawab petugas pengadilan.

Tok.. tok..

Belum juga petugas pengadilan pergi, beberapa petugas kepolisian langsung memasuki ruangan.

“Ada apa ini?” aku terkejut melihat kedatangan mereka.

“Ibu Juwita anda kami tahan, atas percobaan pembunuhan atas putri Anda secara berencana. Begitu juga dengan saudari Resti, Anda pun telah terlibat di dalamnya.” ucap salah seorang perwira sambil menunjuk anak buahnya agar menangkap aku dan Resti.

“Apa-apaan ini, kapan saya punya rencana itu..??” sambil meronta-ronta melepaskan diri dari cengkeraman petugas polisi.

“Bukti-bukti kami telah lengkap, Saudara Karyo pelaku penabrak mobil putri ibu telah kami tangkap dan dia telah mengaku bahwa semuanya itu ia lakukan atas perintah Bu Juwita dan Saudari Resti..!” sambil menggiring aku dan Resti, aku pun tak bisa berkata untuk berkelit, hanya pasrah mengikuti polisi ini.

Saat keluar pintu ruangan, Dika memandangku jijik, sambil berkata, “Mih teganya kamu mencoba membunuh darah daging kamu sendiri. Mudah-mudahan mamih mendapat ganjaran yang setimpal.” aku hanya bisa terdiam, saat aku melewati dirinya.



***




B e r s a m b u n g
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd