Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Max 8

Sesi II

Mala

Aku sedang duduk saja membaca novel dengan santai. Malam ini aku tidak ikut bergabung dengan teman - temanku yang sedang menghadiri acara warga karena aku sedang malas keluar rumah. Aku sedang mengikuti program ‘live-in’ di desa yang tidak terlalu terpencil di Jawa Tengah, dan kami dibagi menjadi 3 tim yang disebar ke beberapa dusun di desa ini. Aku beralasan sedang tidak enak badan saja untuk mempermudah semuanya tanpa banyak penjelasan, kebetulan Pak Karyo pemilik rumah ini juga sedang masuk angin dan aku bisa sekalian beralasan menjaga beliau. Di rumah ini kami menempati bersama 4 teman ku yang lain yaitu Dyah, Astri, Ning, dan satu orang cowok angkatan diatas yaitu Ardi. Tim yang lain kurang lebih memiliki komposisi sama 4 cewek dan 2 cowok. Pak Karyo sendiri tinggal dengan bapaknya yang biasa kami panggil Mbah De (dia salah satu tetua di kampung ini), dan istrinya Bu Rahmi.

“Pak gimana keadaannya?” tanyaku sembari menengoknya dari depan kamarnya. “Nggak apa kok mbak, mungkin masuk angin aja” Pak Karyo menjawab sembari menoleh kearahku, dia sedang tidur tengkurap, mengenakan sarung dan kaos putih khas bapak - bapak umur 30an. “Bener pak? Saya bikinin minuman hangat ya”, “Ah, nggak usah repot - repot mbak Mala”. “Udah pak nggak apa, nggak repot kok toh saya kan yang ngerepotin keluarga bapak”, Pak Karyo tidak menjawab dan hanya tersenyum saja.

Aku mencoba mencari - cari teh celup di dapur tapi yang kutemukan hanya sebuah wadah kertas (seperti bungkus puyer) dengan tulisan spidol ‘wedang jahe’. Setelah menyeduhnya dan tercium aroma jahe yang wangi aku kemudian jadi ingin minuman hangat juga, tapi tidak kutemukan teh atau yang lainnya, hanya setoples kopi bubuk. Aku berjalan ke kamar barangkali ada stok minuman sachet tapi tidak kutemukan juga. “Guys ada yang punya minuman sachet nggak ya?” ku kirim pesanku di grup chat tim kami. “Ada tuh gua kayanya energen ato apadeh, gua bawa banyak kok ambil aja di kamar gua. Di tote bag samping tas ransel gua ya Mal” jawab Ardi. “Oke maaciw kak”. Ardi ini cukup enak kamarnya, dia tidur sendirian, sedangkan aku dan cewek - cewek tidur bertiga, berasa seperti ikan dijemur. Banyak juga pilihan minuman sachet yang dia bawa, tapi ada satu toples menarik warna hijau, sepertinya matcha latte. Sebenernya ada juga barang ‘aneh’ yang dia bawa, aku sih sudah familiar, cuma aku tidak tau kenapa di letakkan satu tas dengan minuman sachet, dan yang membuatku lebih heran kenapa juga dia membawa tissue magic. Emangnya Ardi mau maen sama siapa? Aku tertawa kecil membayangkan dia menggunakannya untuk bersolo karir.

Setelah aku menyeduh minuman yang sesuai dugaanku adalah matcha latte, sedikit kuminum untuk mengecek cukup manis atau tidak. Hangat dan enak, cukup menurutku. “Ini ya Pak, wedangnya diminum dulu” “Aduh mbak Mala udah cantik baik juga ya”. Pak Karyo kemudian duduk dan mulai meminumnya. “Wah ini wedangnya enak, jahe ya? Kamu nyerut sendiri?” “Oh enggak kok pak, ini tadi ada sachetan di dapur” “Haha saya kira home-made makanya enak sekali”. Aku hanya tersenyum, kemudian Pak Karyo yang tampak lemas kembali tiduran tengkurap. “Pak, sini saya pijitin sedikit ya. Masa masuk angin sampe loyo gitu” “Eh, nggak usah mbak makin ngerepotin nanti” “Ssst Pak, nggak apa”.


Aku duduk di tepi kasur dan mulai memijit punggung Pak Karyo yang aku rasa cukup padat juga. Mungkin karena profesinya sebagai peternak lele sekaligus pemetik pohon kelapa. Aku jadi teringat mantanku dulu anak basket yang memiliki badan yang padat seperti ini. “Pak, ini wedangnya tinggal sedikit sekalian diabisin aja”, Pak Karyo tidak menjawab, kemudian aku goyang - goyang sedikit badannya dan terdengar dengkuran halus. Aku berhenti sejenak dan menghabiskan minumanku selagi masih hangat dan kembali melanjutkan memijit punggung Pak Karyo sambil sedikit merubah posisiku. Tidak enak juga menyamping seperti ini, sehingga aku sekarang menghadap punggung Pak Karyo dan melanjutkan memijit punggungnya. Mulai dari pundak dan semakin turun ke pinggang; posisiku memijat masih terasa tidak nyaman, dan entah mengapa rasanya hawa ruangan ini semakin panas. Pikiranku melayang semakin teringat mantanku, kadang aku memijatnya juga setelah dia bertanding antar fakultas, bedanya kami berlanjut melakukan kegiatan lain yang membuat dia juga semakin lelah.

Aku jadi teringat juga dengan tissue magic milik Ardi tadi, dan aku jadi sedikit menggigit bibirku memikirkan hal yang tidak - tidak. Tidak terasa posisiku sekarang sedang hinggap di paha kiri Pak Karyo selagi memijat punggung bagian bawah beliau. Paha Pak Karyo yang berada di antara kedua pahaku terkadang menggesek sedikit paha bagian dalamku juga. Pahaku yang hanya terlindungi celana kulot tipis ini otomatis dapat merasakan ‘lebih’, padatnya paha Pak Karyo. Tanpa sadar aku semakin menekan tubuhku kearah pahanya dan tanganku kusadari mulai berhenti memijit tapi meremas - remas badan Pak Karyo secara acak. Sepertinya aku sudah basah dan aku malah menekan - nekan dan memaju mundurkan kemaluanku di paha Pak Karyo. Ah aku ingin lebih, tanganku yang satunya mulai meremas - remas payudaraku yang masih terhalang sweater dan braku. Entah apa yang ada dipikiranku tetapi sekarang aku sedang berusaha melepaskan bra biru muda ku tanpa membuka jilbab dan sweaterku ini. Aku semakin menekan kemaluanku dan mulai memelintir puting payudaraku, yang membuatku mulai memejamkan mata dan berusaha sekuat tenaga untuk menahan desahanku.

“Assalamualaikum” *tok tok tok* “Mala” terdengara suara seseorang memanggilku dan aku kaget dan segera beranjak dari badan Pak Karyo. Tidak lupa aku ambil bra ku, dan aku juga memperhatikan sarung Pak Karyo sedikit basah di bagian yang aku hinggapi daritadi.
“Assalamumuaikum, Mala”, “Iya sebentar”. Aku menarik nafas panjang dan berusaha tampak normal, jantungku berdegup tidak wajar dan aku masih merasakan kemaluanku masih terasa gatal, segera aku masukkan bra milikku kedalam tasku dan bergegas menuju kearah pintu. “Eh, Wisnu. Waalaikumsalam” “Hai Mala, ini aku bawain kue pukis, tadi di rumah kami lagi masak - masak kue nih, katanya juga kamu lagi nggak enak badan ya? Ini aku sekalian mampir dulu nganter ini sekalian ngecek kamu” “Iya makasih Nu, sini masuk duduk sebentar tadi kami juga abis bikin pisang goreng. Aku bungkusin bentar ya”. Wisnu duduk di ruang tamu dan aku bergegas ke dapur sambil berusaha mengatur nafasku dan wajahku yang aku takut terlihat tidak normal. Syukurlah sepertinya dia tidak memperhatikan ada yang tidak wajar.

Wisnu ini anggota timku juga yang berada di dusun lain, dia berbeda fakultas denganku. Dia cukup menarik sebenarnya, dan sudah menjadi rahasia publik di tim kami ini bahwa dia sering memperhatikanku. Cuma dia agak sedikit kikuk, dan sangat pemalu sekali. Baru - baru ini saja dia lebih berani inisiatif mengajakku mengobrol atau sekedar mampir seperti saat ini. Kata teman - teman sih dia suka sama aku, cuma aku sedang nyaman sendirian dan masih menunggu kepastian dari mantanku yang kadang muncul dan kadang menghilang tanpa kabar. “Dirumah nggak ada orang Mal?” tanya Wisnu dari ruang tamu. Setelah selesai membungkus pisang goreng, aku bergegas ke ruang tamu dan menjawab Wisnu “Ada Pak Karyo lagi istirahat di kamarnya kok Nu. Salam ya buat Ibu”. Aku mengusir Wisnu secara halus sebenarnya, sedang tidak ingin ngobrol berlama - lama, aku ingin melanjutkan sesi memijat dengan Pak Karyo lagi, kemaluanku terasa masih berdenyut juga, dan gesekan putingku dengan sweater ini tidak membuat keadaanku lebih baik. “Siap, makasih ya Mal, kamu cepet sembuh ya, itu muka kamu merah banget lho. Bye!” “Dah Nu, hehe makasih”. Oh aku tidak peduli lagi, aku sadar ternyata dia menyadari wajahku memerah tapi untung saja dia kira ini berhubungan dengan alasanku tidak enak badan tadi.

Aku segera bergegas kembali ke kamar Pak Karyo, kali ini aku menggoyangkan - goyangkan lengannya dan jawaban yang dia berikan hanya dengkuran tipis. Aku memberanikan diri untuk membalikkan tubuh Pak Karyo dan sekarang aku mengusap - usap perutnya yang rata dan cukup keras. Sebelum aku hinggap di paha Pak Karyo, aku melepaskan celana kulotku dan melepas celana dalamku yang sudah sangat basah dan beraroma cairan kemaluan yang menyengat. Aku letakkan di samping sarung Pak Karyo dan mengenakan kembali celana kulotku sebelum hinggap di paha kanan beliau. “Ahh” rasanya surgawi sekali, bagai dahaga ku yang langsung dituang es kelapa dingin. Gesekan pertama kemaluanku dengan celana kulot hitamku ini yang menekan paha beliau membuat ku mengangkat kepalaku dan memejam sebentar. Tanganku yang tadinya menyangga pada perut Pak Karyo tidak sengaja menyenggol batang kemaluan miliknya. Aku menggenggam dan meremas - remasnya dan aku rasa kemaluan beliau mulai mengeras sedikit demi sedikit. Aku sedikit mengocok kemaluan beliau yang masih terhalang sarung, yang aku yakini tidak terhalang apapun lagi selain itu. Aku memperhatikan kemaluannya yang semakin berdiri tegap dan membentuk tenda di sarungnya seiring dengan gerakanku di pahanya yang semakin tidak beraturan.


Kini posisiku duduk mengangkangi kemaluan Pak Karyo. Gesekan ini luar biasa sekali, sesekali terasa kepala batang kemaluannya sedikit menyelip menggesek bibir kemaluanku dan klitoris yang membuatku tidak dapat menahan desahan walaupun masih terhalang sarung dan celanaku ini. Tanpa sengaja saat aku menoleh ke kiri; Wisnu sedang duduk terpaku memperhatikanku sambil meremas - remas kemaluannya dari luar celananya. Aku tidak peduli lagi, kini aku berusaha melepas jilbabku kemudian celana kulot ku ini, dan menyingkap sarung Pak Karyo sehingga kemaluanku dapat bergesekan langsung dengan kemaluan beliau. Sesekali kepala batang kemaluannya seakan tertekan dan berusaha menyelip kedalam liang kehormatanku ini dan sedikit membuat kakiku bergetar dan melemas. Aku menatap Wisnu sayu dan menggigit bibir ketika menyadari kini dia telah melepas celananya dan sedang mengocok kemaluannya. Aku memberi gestur agar Wisnu memberikan telapak tangannya, kemudian aku hisap jarinya dan meludahi telapak tangannya dan dia gunakan untuk mengocok kemaluannya semakin mantap.

“Wisnu..” ucapku sayu, memandang matanya dengan pekat dan disaat bersamaan aku rasakan aku telah mengangkat tubuhku lebih tinggi dan saat turun kurasakan kepala batang kemaluan Pak Karyo mulai menerobos masuk. Dengan perlahan dan teratur (dimana aku berusaha sebisaku menahan nafsuku agar tidak masuk seluruhnya namun tidak berhasil menahan desahanku), aku naik turunkan tubuhku. Posisi seperti ini sangat rentan untukku membuat keselurahan kemaluan beliau yang besar dan panjang ini akan masuk seutuhnya. Bagimana tidak, tubuhku hanya disangga kedua kakiku sedangkan tangan kiriku mengurut - urut klitorisku dan tangan kananku meremas dan memelintir putingku ini dari balik sweaterku. Sesekali Wisnu berusaha menyentuh pahaku, atau payudaraku namun aku tepis dan aku beri gestur untuk tidak melanjutkannya sehingga dia hanya bisa mengocok kemaluannya dengan bantuan ludahku.


Kemaluanku sudah sangat basah saat ini, dapat aku sadari dari batang kemaluan Pak Karyo yang semakin licin bergesekan keluar-masuk. Aku merasa ujung kenikmatanku semakin mendekat, dan aku mulai memejamkan mataku menahan nikmat. Saat sedang enak - enaknya, aku rasakan dua buah tangan memegang pinggangku. Sontak aku menoleh kearah Wisnu dan ternyata bukan dia. Ketika aku menoleh kebelakan aku dapati Ardi tersenyum kearahku dan sedetik kemudian dia menekan tubuhku kebawah dan loloslah semua batang kemaluan milik Pak Karyo bersamaan dengan orgasme di tubuhku. Namun Ardi tidak tinggal diam, dia terus menaik-turunkan pinggangku semakin cepat sehingga gelombang kenikmatan ini tak kunjung berhenti bahkan mataku sampai mengeluarkan air mata saking nikmatnya. Tubuhku ambruk kedepan, dan aku menggigit bibir menahan nikmat menghadap ke Wisnu yang mendekatkan kemaluannya kearah wajahku.


Tanganku berusaha menghalau kemaluan Wisnu namun yang terjadi adalah dia mengarahkannya untuk menggenggam kemaluannya dan beberapa menit kemudian Wsinu memuntahkan spermanya ke lantai yang sedikit mengenai lenganku. Aku juga mulai merasakan Ardi mulai menjilat - jilat lubang anusku, kenikmatan ini tidak bisa aku ungkapkan selain dengan respon tubuhku yang malah mulai bergerak - gerak kembali dengan batang kemaluan Pak Karyo yang masih tertanam di dalam liang kehormatanku. Keadanku sudah sangat kacau, lidah Ardi berusaha masuk kedalam duburku, membuatku berusaha melirik kebelakang. Rupanya itu adalah jari Ardi yang ia basahi dan berusaha membuka lubang duburku semakin lebar dengan memasukkan 2 jari kedalamnya. Aku merasakan perih tetapi nikmat yang tiada terkira secara bersamaan.

Gerakan pantatku semakin cepat lagi ditambah kini salah satu tangan Ardi menarik badanku tegap kemudian meremas dan memelintir payudaraku, memamerkannya pada Wisnu yang hanya bisa mengocok kembali kemaluannya. Ketika kenikmatanku semakin mendekat, aku semakin mempercepat gerakan tubuhku diatas batang kemaluan Pak Karyo, Ardi tiba - tiba mengangkat tubuhku, merebahkanku di lantai dan tanpa di duga dengan cepat ia memasangkan celanaku. Kemaluanku merasakan gatal yang tiada tara, berada diujung kenikmatan dan gagal untuk mencapainya, tanganku berusaha meremas payudaraku dan mengusap kemaluanku dari luar celana. Ardi dan Wisnu menggotongku kearah kamar dan kemudian terdengar suara Dyah yang aku kenali di sambut teman - temanku yang lain “Eh udah pada disini aja abang - abang” Dyah berbicara. Kemudian Ning menimpali “Hayo abis ngapain dah lo pada, homoan ya?” “Hahahaha”.Terdengar juga Astri bertanya “Mala mana ya?” “Kayanya masih dikamar sih daritadi belom keliatan, sakit ya dia?” Ardi kemudian menjawab. “Waduh Pak Karyo nyenyak banget itu tidurnya, eh anjir itu ngaceng dia?” Astri terdengar bersuara kembali “Ssssttt ihh sembarangan amat lo Tri ngomongnya” jawab Dyah.

Sesaat kemudian kudengar langkah kaki kearah kamar dan aku berusaha membenarkan posisi pakaianku, dan jilbabku kusadari tidak ada. Astaga apakah ketinggalan di kamar Pak Karyo, tetapi sepertinya tidak ada yang menyadari. “Mala gimana?” Ning bertanya lembut. “Agak lemes aja Ning” jawabku sambil tersenyum. Sebenarnya aku memang benar - benar lemas, sekaligus menahan birahi. “Yaudah istirahat dulu ya, oiya itu ada Ardi ama Wisnu loh, cieee mau dijenguk ya. Kok nggak di samperin kesini sih” Astri menggodaku, dan Dyah segera menjawab “Gila lo ya, ini kan Mala nggak pake jilbab masa disamperin kaya gini juga. Udah udah, lo istirahat aja ya La. Biar gua ama anak - anak pamitin ke Wisnu juga udah malem nih nggak enak sama tetangga, udah pada otw ke dusun semua abis pertemuan tadi”. Aku hanya menjawab dengan tersenyum dan berusaha memejamkan mata namun yang muncul dikepalaku adalah disetubuhi oleh Wisnu.




 
Terakhir diubah:
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
cerita bagus, mulustrasi bagus, moga2 ngga kentang
 
Ayo lanjutin gan
 
Yg grepe" di sesi I ga dilanjut hu? Penasaran nihhh,, tiba" lompat aj settingnya
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd