Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Max 8

penuh plot twist suhu, saya support untuk dilanjut dan pindah ke cerbung saja hehehe
 
Suhu - suhu mohon maaf sebelumnya. Jadi untuk thread ini sebenernya tidak berniat series / bersambung; sebagai antologi aja kalo lagi mood menulis terus kebetulan temanya di sekitar mahasiswi hehehe.
Pengen nulis yang agak panjang tapi belum percaya diri untuk menulis konfliknya suhu, barangkali ada ide atau mau nulis bareng hu?
 
Sebenernya cerita yang pertama kalo di lanjutin itu bagus suhu, mudah2an selalu sehat dan pikirannya tenang hu, biar bisa lanjutin yg pertama hu
 
Sebenernya cerita yang pertama kalo di lanjutin itu bagus suhu, mudah2an selalu sehat dan pikirannya tenang hu, biar bisa lanjutin yg pertama hu
Hahaha ceritanya berlanjut di kepala ane hu cuma nulisinnya susah kepengen mulu ditengah jalan. Emang sih itu mayan hot, kenapa btw suhu ingin yg pertama?
 
Gpp hu ga bersambung
Tapi Seandainya ada niatan untuk bersambung lebih bagus yang sesi 1 hu
 
Hahaha ceritanya berlanjut di kepala ane hu cuma nulisinnya susah kepengen mulu ditengah jalan. Emang sih itu mayan hot, kenapa btw suhu ingin yg pertama?
Karena yang pertama menurut ane paling bagus ceritanya dan bikin pingin tau lanjutannya dan masih bisa di kembangkan lebih jauh lagi, di tulis aja, biarkan semuanya mengalir
 
Hahaha ceritanya berlanjut di kepala ane hu cuma nulisinnya susah kepengen mulu ditengah jalan. Emang sih itu mayan hot, kenapa btw suhu ingin yg pertama?
cerita suhu enak sebenernya, kaya terpisah tapi bisa disatukan. mungkin kalau ada waktu coba iseng iseng nulis lagi hu karena kebetulan cukup assik juga untuk diikuti dan ditunggu. mangat hu untuk kelanjutan ceritanya
 
Sesi III


Dyah

“Ki gue tunggu di Little Collins ya”
“Dimana tuh?”
“Daerah jalan Sumatera, gue share location deh.”
“[Sisipan Pin Lokasi, Little Collins. Alamat : Jalan Sumatera, Braga...]”

Begitulah isi pesan antara Dyah dengan Riski di hapenya. Hari ini mereka memang berencana untuk mengerjakan tugas kelompok yang diberikan sejak peristiwa aneh 2 minggu sebelumnya. Dyah benar - benar merubah persepsi Riski tentang erotisme dan selalu menjadi plot utama imajinasi reproduksi di benaknya. Bibirnya yang terlihat selalu lembab tetapi kering, tampak selembut kapas dan siap dilumat olehnya. Riski menggelengkan kepalanya, dan menyadari tangan kirinya sedang mengusap - usap tonjolan di celana boxernya. Riski tidak berani menyinggung secuil pun mengenai itu diantara mereka dan Dyah tampak biasa saja. Ada potongan cerita yang mengganjal juga mengenai yang terjadi hari itu. Riski kembali menggelengkan kepalanya dan meneguk segelas air dari meja di sampingnya.
Kamar Riski sederhana; sebuah kasur springbed terhias manis dengan sprei berwarna abu - abu gelap, dengan selimut tebal kotak - kotak berwarna senada. Sofa yang berada di depan kasurnya menghadap ke televisi datar teknologi crystal-led terbaru terpampang. Ruangannya membuat orang terhanyut, fokus utama yang orang rasakan adalah kesederhanaan, keramahan, tanpa sedikitpun 3 rak buku sesak yang berada di kiri kanan ruangannya mengintimidasi siapapun di dalamnya. Berkelas mungkin adalah istilah yang tepat untuknya.

Riski membuka pintu coffeeshop tersebut dengan sikunya, disambut sapaan manis barista ditempat itu.
“Pagi kak, meja untuk berapa orang?”
“Udah ada temen kok.”
“Oh iya kak, silahkan.”

Dyah tampak bersandar, dan duduk bersila dengan laptop metalik gelap 13 inci berpangu kedua pahanya. Riski menelan ludah. Dyah mengenakan turtleneck putih yang tebal dan masih saja Riski berhasil menangkap sekelibat bentuk payudaranya yang tentu terpampang. Luaran berwarna jingga condong ke peach menghiasi manis pundaknya. Jilbab hitam, celana hitam, dan kacamata memberi aksen intelegensi dan kepercayaan diri tinggi kepada Dyah. Bibir Riski kering, sekali lagi dia menelan ludah.

“Dyah.”
“Eh sini, Ki!”
Balas Dyah sambil menepuk kursi-lantai yang berada diagonal dari posisinya. Riski meletakkan dirinya di kursi tersebut, membetulkan posisi punggungnya tegap dan melipat kakinya.
“Lo udah ngerjain yang mana aja?”
“Udah sampe definisi Ki. Gue bingung juga nih aplikasinya gimana ya, gue maen aman aja ngedefinisiin dulu hehehe.. ehm”
*drrrrtttt*

Muncul suara dengan frekuensi aneh yang tidak sengaja di dengar Riski. Riski membuka laptopnya di pangkuannya juga, berfokus di layar hingga getaran dan tawa kecil Dyah mengalihkan perhatiannya. Riski melirik.
“Eh ngapain lo ngeliatin gue gitu anjir Ki, jangan marah dong gue udah berusaha sebisanya nih.”
Riski tidak menjawab dan kembali mengalihkan perhatiannya ke layar laptopnya.

“Gue udah bikin sampe studi literatur sama metode pengujian kok. Tapi boleh banget kalo lo juga udah bikin yang definisi bisa gue pake buat koreksi atau tambahan. Kayanya gini aja deh..”
Riski memberi jeda sebentar, membalikkan layar laptopnya ke Dyah, menunjuk bagian di layarnya dan kembali berbicara.

“Nih nanti gue kirim ke lo ya abis ini, lo baca - baca aja dulu kita butuh datanya mana yang bakal kita ambil. Lo kira - kira baca yang tren dari tahun 1991 sampe 2001 aja deh, dari post resesi ke post reformasi kira - kira. Ato ya dari span tahun itu terserah lo pokoknya minim 1 dekade, terus lo endingnya ke tahun 2001, gue ambil yang 2002 keatas ampe sekarang. Kayanya tren yang 2000an fluktuasinya kecil makanya gue pengen banget tuh liat baik - baik datanya.”
“Yah elo mah nganggep gue bego kan makanya gue ga dikasih bagian juga ngecek yang permintaan pasar taun segitu huh.”
“Iye emang.”
“Kaga anjir gue bego masa.”
Dyah diam tampak bingung dengan ucapannya sendiri. Riski berhenti dari kegiatannya, melirik Dyah tampak bingung juga.

“Lo ngomong apa sih anjing.”
“Au dah kesel gue ama lo.”
“Iyadeh lo ambil yang 2000an tapi coba cari korelasi distribusi pengaruh ga di permintaan ya.”
“Lha buat apa anjir kan ga perlu begituan.”
“Penasaran aja gue. Tapi mayan lho buat bacaan aja, terus lo jadi perlu baca baik - baik juga kan permintaan penawaran; gimana dah.”
“Pinter lo ya, yaudah tapi gue kelarin yang akhir abad 20 dulu deh, kalo gue tarik dari 1953 post korean war gimana ki? Kok gue kira adalah pengaruh deploymentnya US sama ekonomi dunia. Apalagi kita masih bingung nanganin konflik luar tapi dalam juga gitu dah.”
“Boleh juga tuh, lo juga pinter. Gitu lo mau dengernya?”
“Makasih Riskiiiii...ehmm.”
*drrrrrttt*
Dyah menjawab semangat sambil mencubit lengan Riski lumayan lama. 7 detik, hitung Riski didalam hati ketika tepat Dyah tiba - tiba melemaskan cubitan dan lengannya dan terdengar suara getaran yang kini semakin jelas. Riski mengernyitkan dahinya, melihat kiri, kanan kemudian kearah Dyah. Dyah menggigit bibirnya dan memejamkan matanya.

Riski melirik Dyah dan sesekali melihat sekitarnya; Riski menelan ludah dan nafasnya bergetar. Riski kembali fokus kearah layar laptopnya, membaca cepat baris perbaris kalimat di halaman yang dia baca. Pikirannya berada di tempat lain. Tanpa melirik kearah Dyah, Riski berusaha meraih lutut Dyah dan menggoyangkannya.
“Dyah, napa lo? Itu gue udah email ke lo.”
“Ah, eh.. Gapapa Ki, iya gue kerjain nih iya”

Dyah salah tingkah berusaha kembali fokus ke layarnya dan melihat link dokumen yang dikirim ke emailnya. Tanpa terasa sudah hampir 17 menit Dyah berhasil fokus membaca isi jurnal yang diberikan Riski hingga kebingungannya tidak dapat ditahan dan berhasil memecahkan keheningan diantara mereka.

“Ki, ini gue ga ngerti deh kok jepang gradien kurva ekonominya masih oke deh 1950an, malah 1970 yang lumayan geser. Kayanya ga kena pengaruh deh padahal kan; eh btw un forces tu sapa aja ki yang ikut? Gue kok baru tau Kim Il Sung jauh banget nembusnya ya. Terus ini Shigeru Yoshida pernah di China dan Korea juga dong. Tapi apa hubungannya ya hahaha, dia tuh PM nya jepang post-war Ki. Eh sini deh lo gue bingung asli baca kurva yang ini.”

Dyah menunjuk layar di laptopnya dan memberi aba - aba pada Riski untuk berpindah di sampingnya. Riski memindahkan tubuhnya dan mulai memperhatikan layar laptop Dyah.
“Iya ya gue juga bingung deh. Gue belom baca malahan perang korea. Menurut gue fokusin ke dalangnya aja, coba cari relasinya dengan cina ama soviet kalo gitu.”
“Hmmm mungkin kali ya Ki. Lo lagi baca apaan?”

Riski tidak menjawab hanya menyodorkan layar laptopnya, kemudian mereka kembali lanjut membaca dan masing - masing berdiam. Dengan posisi Riski disamping Dyah seperti ini, Riski dapat mencium aroma parfum yang melekat di tubuh Dyah, atau pakaiannya. Riski tidak peduli yang dia tahu hanyalah wangi ini begitu membuatnya kecanduan. Diam - diam Riski sesekali melirik kearah Dyah yang fokus dan serius memperhatikan layar laptopnya.
*drrrrrrt*

Kali ini Riski yakin dan tersadar, suara itu berasal dari suatu tempat tepat di samping kanannya yaitu di sekitar Dyah.
“Ehhhmm..”
Dyah mendesah pelan. Riski memperhatikan Dyah yang kembali menggigit bibirnya dan masih tampak berusaha memperhatikan layar laptopnya. Nafasnya semakin terdengar tidak teratur.
Hitam matanya perlahan tenggelam di kelopak mata Dyah yang dihiasi bulu matanya yang lentik. Riski tidak hanya melirik, tidak hanya menyadari nafasnya juga mulai tidak teratur sambil menelan ludahnya. Riski menghadapkan kepalanya penuh kearah Dyah. Posisinya yang dekat ini membuat Riski memungkinkan untuk membuat hidungnya semakin mendekat ke sisi leher Dyah yang ditutupin jilbabnya.

Tangannya dengan lancang meraih trackpad di laptop Dyah dan berkata.
“Dyah coba gue liat yang barusan.”
“Ehh.. mm iya ki.”
Dia sedikit terkejut dan masih sambil menahan sesuatu atau lebih tepatnya benda kecil yang tertanam dan sedang bergetar di sekitar pertemuan pahanya. Riski berpura - pura fokus dan menggeserkan jarinya berulang - ulang, namun pelan di trackpad tersebut sembari semakin mendekatkan hidungnya dan menarik dalam wangi tubuh Dyah. Lengan mereka bersentuhan. Dyah sedikit bergetar, melemaskan tubuhnya setelah itu dan terkesan menyandarkan lengannya ke Riski bersamaan dengan punggungnya yang mulai bersandar ke belakang. Dyah menggigit bibirnya dengan lembut. Pemandangan tersebut begitu sensual di mata Riski. Pahanya yang tampak tidak tenang dan bergoyang pelan juga mulai menggiring titik hitam di mata Riski kearahnya.

Dyah menyandarkan kepalanya; membuatnya menengadah dan memejamkan matanya. Riski mendekatkan kepalanya ke telinga Dyah dan pura - pura biasa saja tanpa perubahan emosi, menelan ludah kemudian mengucap mantap.
“Lo kenapa Dyah?”
Getaran suara Riski di telinga Dyah memberi getaran dan sensasi tersendiri di tubuh kurus Dyah. Tanpa mengubah pemandangan yang disajikannya pada Riski, Dyah membalas dengan perlahan, tersendat, dan diselingi desahan.

“Hehhmm.. Mmm.. Nggapapa Ki. Mmm.”
“Beneran? Lo ga sakit kan?”
Riski dengan berani dan lancang menempelkan punggung telapak tangannya di pipi Dyah, kemudian dahinya yang sedikit mengernyit dan membuat beberapa titik keringat menempel di kulit tangan Riski. Dyah menelan ludah, menggigit bibirnya perlahan; mengalihkan wajahnya kearah Riski dan menjawab.
“Iya ki.”
Riski tidak menjawab, hanya terdengar suara tegukan ludah darinya. Dengan lancang sekali lagi Riski meraih laptop di pangkuan Dyah dan sedikit menyenggol paha dalam kanannya, dan meletakkannya di depan Dyah. Riski memandang wajah cantik Dyah. Simetri mata, hidung dan bibir yang berada di depan matanya ini merupakan gambar yang selalu terbayang di imajinasi liar mengenai kuda, anjing dan segala nama - nama binatang aneh yang melabeli kegiatan ranjang di fantasinya.

“Lo ngapain ngeliatin gue kaya gitu sih. Ih malu gue.”
Riski melanjutkan tatapannya, menerkam bulat - bulat Dyah dan keadaannya yang bingung dilanda perasaan salah tingkah dan api birahi yang membakar menyiksa. Telapak tangan Dyah terasa lemas ketika dia berusaha mengangkatnya untuk mengusap dahinya, kemudian mengibaskan baju dan luarannya.

“Ki gerah banget yah.. Mmm ..Ah.”
Mata Riski mengikuti gerakan jari - jemari Dyah, dan mendarat di garis yang tampak sedikit tercetak di tonjolan payudaranya. Dyah membusungkan dadanya, kemudian menyadari diperhatikan Riski menjadi semakin salah tingkah dan berusaha menutupi bagian dadanya dan yang terjadi adalah kedua lengannya yang malah sedikit menjepit, menyenggol dan memberi getaran halus di payudaranya yang tentu memberikan aliran halus di permukaan kulitnya.

“Lo ngeliatin apa sih Ki, Ah.. Anjing.. Mm Ihh..”
“Mulut lo kasar banget Anjing.”
Riski berbicara tepat di telinga Dyah, bibir Riski sekali menyenggol daun telinga dibalik kain hitam tipis jilbab Dyah.
“Hmm.. Hah.. Ngaca lo yaka-”
Jari tengah dan telunjuk Riski menghentikan mulut Dyah yang sedang berbicara. Jari cincin dan kelingkingnya mengikuti hinggap di pipi kakan Dyah, sedangkan jempolnya berada di kiri bibir Dyah. Dengan perlahan Riski mengusap bibir lembut Dyah, mengagumi dan melumat dengan jarinya, hingga kini jempolnya bersenggolan dengan Dyah yang sedang menggigit bibirnya; Sesuatu yang lembab menyentuh permukaan jempolnya. Jari - jarinya yang lain kini mengusap pipi kanan Dyah lembut.

“Dyah lo gapapa?”
Riski berbicara pelan kini dari depan wajah Dyah. Posisi mereka aneh, miring. 30 menit seperti ini akan membuat tulang punggung Riski mengalami pergeseran atau bahkan osteoporosis 30 tahun kedepan, begitu pikir Riski menyelinap. Jempolnya melakukan kegiatan yang mengembalikan fokus Riski ke wajah yang cantik didepannya. Perlahan Riski berusaha menarik bibir Dyah kebawah, hingga mulutnya sedikit menganga. Riski menganga, melakukan mimikri seperti predator yang menyamar diantara mangsanya.

Dyah tidak menjawab, lidahnya menari mengimbangi bibirnya di jari Riski yang berada di mulutnya.
*Drrrrtttt*

“Ahhmm..”
Dyah mendesah pelan. Riski mengaduk pelan kedua jarinya di dalam mulut Dyah yang lembab dan tidak jarang merasakan tekstur lidah milik gadis cantik ini. Tangan Dyah meraih samping kepalanya, turun ke leher, seperti nematoda yang bergerak pelan dari satu permukaan ke permukaan lainnya. Dengan tangan yang seperti itu, otomatis membuat payudara indahnya terjepit kembali oleh lengannya.

Gambar tidak masuk akal yang sedang bergerak didepan matanya menghipnotis Riski. Membuat dagingnya menjadi keras, tumbuh berusaha mengacung seperti semen mengeras, tetapi terdesak rapat celananya. Tangan kirinya pun demikian, secara perlahan, menyenggol dengkul Dyah tanpa sengaja ketika menuju payudara Dyah sebelah kiri. Riski hendak mengatupkan jarinya dan matanya berubah fokus. Ke kanan, di belakang Dyah. Tangan kiri seorang pria yang tiba - tiba menggenggam tangan Riski dan menjauhkannya dari payudara Dyah membuatnya berusaha mencari siapa pemiliknya.

Seseorang dengan kacamata hitam tampak memberikan aba - aba pada Riski untuk menutup mulut.
“Sssst”
Tangan pria tersebut kemudian mengalihkan tangan Dyah, untuk memegangi tangan kiri Riski agar menjauh dari payudara kecilnya.

*Clek*
Bunyi kaitan terlepas dan tampak tonjolan keras di dada Dyah melonggar. Dengan masih menjilati jari - jari Riski, Dyah tampak menggigit bibir dan malu, sekaligus kegelian ketika pria tersebut membisikkan sesuatu di telinganya yang bergegas membuat Dyah dengan canggung menarik sesuatu dari pundak, lengan, siku kemudian muncul sesuatu tali dari ujung luarannya, kanan dan kiri; lalu terjatuh ditarik perlahan sebuah pembungkus payudara berukuran 34B dari depan bajunya. Kedua tangan pria tadi menyusup masuk kedalam baju Dyah, tampak bergerak naik dan menggenggam, dan membuat gerakan 360 derajat di payudara Dyah.

Dyah

Jantung Dyah berdegup kencang sentuhan kasar di bibir, payudara, puting dan getaran objek menempel di klitorisnya membuatnya basah.
*Drrrrtt*

Dyah menjepit pahanya, kini menyandarkan pipinya di wajah pria yang terhalang kacamata hitam tersebut, mengacuhkan jari Riski di mulutnya hingga dia menarik tangannya. Dyah berontak sedikit ketika merasakan daun telinganya tergigit, kemudian mendengar bisikan yang membuatnya semakin gusar. Dyah menggigit bibirnya, menahan desahannya pelan.

“Ki, Anjing.”
“Mmm..hh”
“Kon.. kon.. mmhh kontol”
“Ahh. . Ki”
“Gu..hhmmhe ba. .hh sah, Ki”
“Aaaahh..."

Mulut Dyah yang melontarkan kata - kata tidak seronok membuat ketiga orang tersebut tergoda gairah dan nafsunya. Kedua tangan pria yang sedari tadi melakukan ritual pemijatan tidak wajar mulai menarik keluar. Kedua tangan Dyah kini berada tepat di putingnya, memilin dari luar pakaiannya. Gerakan itu seakan di pandu oleh bisikan pria dibelakangnya. Instruksi yang diberikannya memicu koreografi liar pada tubuh Dyah.

Waktu terasa berjalan lambat ketika Riski melihat tangan Dyah mulai bergerak pelan kebawah, menyingkap pakaiannya pelan, dan sangat pelan. Menunjukkan kulit perutnya yang putih dan halus, semakin keatas hingga mulai terpampang bagian bawah payudara sintal Dyah. Semakin keatas hingga waktu terasa membeku saat satu milimeter saja gerakan akan membuat kedua puting Dyah melompat, memberontak keluar. Kiri, kemudian kanan. Momen itu akan terjadi.

“Ki.. Mmmhh.. pentil gue berdiri.”


Max 8
Sesi I
Sesi II
Sesi III
Sesi IV
Sesi V
 
Terakhir diubah:
What an update...
What a way to start my day...
Thanks bro
 
Ok, lanjut apdetnya hu,... alus banget, pelan sekali, serasa ane yg nglakuin hu...
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd