Sesi IV
Mala
“Tri, lo udah cek grup?”
“Oiya nih. Kok ada - ada aja sih ini minta laporannya cepet, dadakan lagi. Males banget gue, Ning.”
“Yaudah buruan deh kita cicil aja daripada bawel” balas Mala.
“Terus gimana nih, nanti maleman beneran kita nyusul ke basecamp? Mala ajakin apa engga, lagi sakit gitu?.”
“Gausah, Mala biar istirahat. Gue ga ikut dulu deh, gue mau coba nyicilin outline poin - poin punya Mala aja.”
Sayup - sayup aku mendengar pembicaraan teman - temanku dari luar pintu. Sedangkan aku sendiri, masih berusaha mengatur nafasku dan mencoba mengalihkan pikiran kotor yang mendera ini. Jemariku tidak kooperatif rupanya, asyik sendiri meremas vaginaku dari balik celana.
“Mala, udah tidur belum?” Dyah terdengar memanggilku dari balik pintu.
*tok-tok-tok*
*cklek*
Suara ketukan disusul pintu mengejutkanku. Untungnya memberiku cukup waktu untuk melepaskan remasanku pada vaginaku yang lembab ini.
“Mala, kamu gimana keadaannya? Wah merah banget muka kamu.”
Dyah meletakkan punggung tangannya di dahiku dan dengan berhati - hati meletakkan selimut di tubuhku. Aku membalas dengan senyum sebisanya sambil menahan nafsuku yang di ubun - ubun.
“Kamu istirahat dulu ya, tidur gih. Ini tadi kami dapat kabar ada deadline mendadak buat lusa outline program kita sama laporan observasi awal. Pada mau balik lagi ternyata ke basecamp, mau ngerancang apa gitu tadi; hmmm proposal? Apa ya, dana sama sponsorship gitu dari fakultas sebelah.”
Membayangkan ditinggal sendiri lagi di rumah ini membawa kembali perasaan tertancap oleh batang kemaluan pak Karyo. Tanpa aku sadari aku memejamkan mata dan menelan ludah.
“Hei kok diem aja diajak ngomong, udah ngantuk ya?”
“Ehh, mmm. Aku ditinggal sendiri dong?”
“Enggak kok, aku nggak ikut dulu capek banget. Aku mau nyicilin laporan kamu deh. Buku kamu dimana? Aku pinjem dulu deh biar nanti aku isiin dulu jadwal sama poin - poinnya. Nanti kamu lanjutin aja sisanya.”
Aku tidak fokus mendengarkan ucapan Dyah, dibalik selimut ini aku sedang menggosok perlahan puting payudaraku yang hanya terlidungi baju.
“Yah diem lagi, yaudah kamu lanjutin istirahat ya.”
“Iya Dyah, maaf ya. Makasih juga.”
Beberapa saat kemudian terdengar sayup - sayup pembicaraan teman - temanku dari ruang tamu mengenai hasil rapat tadi dan bagaimana alotnya diskusi dengan berbagai perangkat desa. Dengan sisa tenaga yang kumiliki, aku beranjak menuju pintu dan menguncinya. Tidak mau lagi terganggu ketika aku sedang berfantasi dengan imajinasiku dan bersetubuh dengan tubuhku sendiri; masturbasi.
Bayangan kelamin pak Karyo dan Wisnu membuat tanganku secara otomatis kembali mengusap klitorisku. Kali ini tanpa malu - malu masuk kedalam celana dan menyentuhnya secara langsung. Menggosok naik - turun dengan jari tengahku, dibantu jari telunjuk dan jari manisku untuk membuka belahan vaginaku agar lebih leluasa.
Perbuatanku tadi sangat kelewatan, tidak pernah menyangka aku dimasuki barang asing milik orang lain yang tidak dekat denganku secara romantis, sekaligus melakukannya didepan orang lain yang menyukaiku. Kecamuk pikiran ini membuatku merasa semakin kotor dan panas. Perbuatan sakral antar suami-istri ini bukan hal yang baru untukku, tapi yang terjadi barusan tak henti - hentinya membuat birahiku semakin naik dan hinggap memberi rasa gatal di pucuk klitoris dan dalam di rongga kelamin ini.
*clek-clek-clek*
Tanpa sadar jari tengah dan jari manisku bekerja sama; dengan ritme teratur, perlahan, menyetubuhi vaginaku.
“Hahahaha, gila aja lo pak Kades mah ogah gue, gatel orangnya.”
“Yeee tapi dia demen banget tuh kayanya ama lo.”
“Hahaha..”
“Hahahaha udah kali jangan berisik sssst!”
Kembali aku mendengar temanku yang tertawa dengan riang di balik dinding ruangan yang melindungiku ini. Hangatnya obrolan dan tawa mereka tidak bisa menandingi hawa panas yang aku rasakan di dalam kamar ini, membuat keringatku mulai terasa di punggung dan membutir - butir malu - malu di dahiku.
“Ehhmmmm..”
*clek-clek-clek*
Kocokan pada kelaminku makin tidak teratur, desahanku yang tertahan aku menggigit bibir membuatku merasa sensual. Aku memejamkan mata, membayangkan Wisnu menjilati bibirku dan menyodorkan batang kelaminnya ke wajahku. Aku arahkan tanganku yang daritadi membantu meremas dan memiling puting ke arah mulutku. Tiga buah jari aku jilat dan masukkan kedalam mulutku.
Batang kelamin tertanam di vagina, lubang dubur yang dijilat basah, dan sebuah batang kelamin lain di mulutku membuatku mempercepat kocokan pada vaginaku.
“Ehh.. mmm.. ehhh”
*clek-clek-clek-clek*
“Ohhh.. mmmkkkonn.. toll”
*clek-clek-clek*
“Ahh kontol..”
Air mataku menetes keluar disambut kocokanku yang berhenti. Punggungku terasa berkontraksi maksimal. Dengkulku lemas, perasaanku puas. Gelombang demi gelombang kenikmatan aku rasakan mengayuh halus bagai perahu dari dalam liang senggamaku mengarungi cairan yang tidak hanya merembes; namun terasa seperti mengalir keluar, membanjiri vaginaku. Aku orgasme.
Dyah
Tidak terasa setengah jam telah berlalu sejak teman - teman telah pergi ke basecamp. Payah sekali aku, baru setengah jam ditinggal tanpa guyonan yang mengganggu konsentrasi malah membuatku kehilangan konsentrasi; kontradiktif, pikirku. Mataku mulai mengantuk, memperhatikan barisan huruf-kata-kalimat-paragraf yang tampak seperti garis - garis hitam di kertas di hadapanku. Aku ingin istirahat sebentar dari kegiatan melelahkan ini; menulis laporan. Mumpung masih jam 8.30 malam.
Di desa waktu berjalan lebih lambat. Jam 6 malam saja jalanan sudah sepi, apalagi jam segini; batinku sambil menengok keluar jendela. Badanku beranjak dan melangkah menuju kamar tidur. Aku berpikir untuk merebahkan tubuhku sebentar.
*tok-tok-tok*
“Mala.”
Rupanya pintu terkunci, sepertinya Mala ketiduran. Sebuah kebetulan untukku bisa menghindari upayaku untuk menghindar dari kewajibanku. Agar tidak mengantuk aku berpikir untuk membereskan rumah ini sedikit. Pinggulku bergoyang bersama dengan badanku yang menuju dapur.
Ada dua gelas minuman yang tampak baru diminum sedikit dan beberapa tumpuk piring kotor dibawah keran tempat mencuci piring. Sepertinya Mala tadi membuat minuman ini tapi malah ketiduran, pikirku. Aku dekatkan minuman tersebut satu - persatu bergantian. Jahe dan Matcha? Sayang sekali rasanya membuang - buang minuman ini apalagi aku sedang di daerah yang tidak jauh namun tidak cukup dekat juga untuk mampir ke kota secara sering.
Usai mencuci piring aku perhatikan kembali kedua gelas minuman tersebut.
*glek*
Kucicip minuman Matcha ini, sedikit terlalu manis untukku. Aku berpindah mencoba minuman jahenya; sudah dingin tapi masih membuat tenggorokanku terasa hangat. Setelah itu kuputuskan untuk meneguknya kembali sedikit, lalu mencuci kedua gelas minuman tersebut. Walaupun keduanya belum habis tapi siapa juga yang mau menghabiskan minuman sisa?
Kusandarkan pantatku di kursi, berusaha memulai kembali pekerjaan yang aku tunda tadi. Mataku sungguh sudah tidak dapat menahan kelopaknya terbuka, punggungku sudah sangat ingin menyerah pada gravitasi. Aku merebahkan tubuhku sebentar, dan tertidur.
Aku terbangun, badanku terasa sedikit lebih segar tapi masih sedikit lemas. Mungkin berkat dipijit oleh mbak Mala tadi nyeri tubuhku sedikit berkurang. Baru jam sebelas pikirku saat melihat jam yang menempel di dinding. Aku memutuskan untuk keluar kamar dan mengecek pintu apakah sudah terkunci.
*tok-tok-tok*
“Mbak, mas.”
Tidak ada jawaban saat kuketuk kamar mahasiswa - mahasiswa yang sedang tinggal dirumahku. Pintu mas Ardi tidak terkunci, tampak tidak ada penghuninya. Sedangkan kamar para mahasiswi terkunci; sepertinya sudah tidur, batinku. Sebelum pergi kekamar mandi sebentar untuk membilas wajahku, kuputuskan untuk mengecek pintu depan.
Lampunya tampak masih menyala, rupanya ada seseorang yang masih bekerja disana. Pintu sudah kukunci, kualihkan perhatian pada meja yang berserakan kertas - kertas dan buku lalu memperhatikan mbak Dyah yang tertidur di kursi. Mbak Dyah mengenakan jilbab hitam, kaos putih dan luaran hitam yang tersingkap sedikit menunjukkan kulit di perutnya. Aku turunkan sedikit posisi pakaiannya agar tubuhnya tertutup dengan benar. Tanganku tidak sengaja menyentuh kulit perutnya. Aku meneguk ludah.
Segera aku bergegas ke kamar mandi untuk mencuci muka dan buang air kecil. Di dalam kamar mandi, aku merasakan sedikit lengket pada kontolku. Sepertinya aku sedikit bermimpi bercinta ketika tidur tadi, sudah dua minggu istriku pergi mengunjungi ibu mertuaku yang sedang tidak enak badan bersama Mbah De; bapakku. Aku usap dan pijit sedikit kontolku setelah mencuci muka yang membuatku mulai ereksi. Sekelibat gambar kulit mulus mbak Dyah membangkitkan penuh ereksi pada kontolku.
Aku memutuskan untuk kembali ke ruang tengah untuk memperhatikannya, sedikit nekat. Mbak Dyah ini salah satu yang paling lugu di tim mahasiswa - mahasiswa yang tinggal di tempatku. Walaupun terkadang pakaian yang dia kenakan lumayan berani, sepertinya dia hanya mengikuti tren zaman. Kaos ketat yang menonjolkan buah dada ranum mahasiswa dan jilbab yang diikat kebelakang membantu fokus orang - orang disekitarnya untuk memperhatikan tonjolannya yang tidak terlalu besar dan tidak sesuai dengan karakternya yang lugu dan santun.
“Mbak, mbak Dyah.”
Pundaknya aku goyang - goyangkan; tidak ada respon. Wajahnya cukup manis, dihiasi kacamata yang membingkai memberikan kesan intelek pada gadis ranum satu ini. Perhatianku menyusuri badannya, posisinya belum berubah semenjak aku pergi ke kamar mandi. Dengkuran tipis dan nafas yang teratur menandakan tidurnya yang nyenyak, tidak terganggu sama sekali oleh hawa dingin dan angin malam yang menerpa desa dan rumah ini.
Mataku terhenti pada bongkahan pantatnya, lumayan menonjol terbungkus celana kain yang lumayan ketat. Tanpa sadar tangan kiriku mengusap kontolku dari sarung ini, membuat sebuah tenda yang menandakan pemiliknya sedang birahi. Aku meneguk ludah. Tanganku gemetar ketika kulayangkan perlahan ke salah satu pantat moleknya. Aku usap berhati - hati dan perlahan. Dadaku berdegup kencang. Meskipun sudah beristri dan putra dari tokoh terhormat di kampung ini, aku juga memiliki nafsu birahi.
Dengan cemas aku memperhatikan keluar jendela, tampak jalanan desa sudah sepi. Aku putuskan untuk mematikan lampu tengah, sehingga kini hanya cahaya redup menembus renda dari lampu luar menyentuh sebagian ruangan dan tubuh mbak Dyah. Lebih aman, batinku; tapi tidak cukup membuat degupan jantungku melambat.
Kini aku arahka kembali tanganku ke pundaknya, aku goyang dengan sedikit tenaga ekstra.
“Mbak Dyah, mbak.”
Tidak ada respon kembali. Goyanganku menjadi usapan, dari pundaknya aku arahkan ke bagian lehernya menyusup dari balik jilbabnya. Bisa aku rasakan kulit lembut di atas tulang selangkanya. Jantungku semakin berdegup kencang saat aku berusaha sedikit menyingkap jilbabnya keatas, menunjukkan kulit di baliknya. Aku meneguk ludah. Tanganku menyusuri dengan perlahan dan gemetaran di atas bajunya, turun mengusap, turun menngusap, hingga akhirnya merasakan daging empuk yang ranum dan menggemaskan; payudara ranum gadis muda.
Aku usap lembut dan kuperhatikan kembali bagaimana respon di wajah manisnya. Tidak ada respon. Aku usap - usap buah dadanya, sesekali mengenai pinggiran bra dan bagian favoritku ketika menyentuh bagian atasnya yang tidak terhalang bra. Usapan lembutku berubah menjadi remasan. Tanganku hinggap mantap di payudara mbak Dyah, meremasnya perlahan - lahan hingga ku perhatikan ekspresi wajahnya mulai berubah tapi masih memejamkan mata.
Jantungku terasa mau copot, waktu terasa berhenti. Aku hentikan aktivitasku kuatir dia terbangun tanpa memindahkan tanganku. Saat nafasnya mulai teratur, tanganku menyusuri turun mengusap perutnya, bermain sebentar di atas pusarnya lalu memutuskan nekat untuk menyusup masuk dari bawah bajunya.
Dapat aku rasakan permukaan perutnya yang halus, aku usap dengan perlahan disekitar pusarnya. Aku meneguk ludah membayangkan bagaimana dengan halus dan lembut bagian lainnya?
Gerakan tangan kiriku mulai menjadi kocokan perlahan; masih dari luar sarung tentunya. Aku belum cukup nekat untuk mengeluarkan kontolku di ruang tengah, dan didepan mahasiswi yang tinggal di rumahku walaupun dia tertidur. Remasan pada tangan kiriku, mengimbangi remasan perlahan tangan kananku yang beralih pada bongakahan pantan indah mbak Dyah. Posisi tidurnya yang miring dan sedikit melipat paha kanannya memungkinkan aku untuk meremas - remas salah satu bongkahan pantatnya.
Aku mulai bosan dengan kegiatan ini hingga aku beranikan untuk mulai mengusap turun, ke paha dan sekitar selangkangannya. Mataku mulai memperhatikan kembali wajahnya, mengawasi responnya. Alisnya sedikit bergerak dan bibirnya tampak dia kulum sebentar, menciptakan kilatan indah memantulkan cahaya remang lampu luar rumah.
Dengan tegang dan hati - hati aku perhatikan keluar jendela; masih sepi. Aku memberanikan diri mengeluarkan kontolku yang ereksi dari sarung. Tanpa berhenti mengusap-meremas pantat dan pahanya, aku arahkan kepala kontolku ke pipi mbak Dyah. Sungguh mulus, membuatku terangsang hebat ketika aku gerakkan perlahan ke tepi bibirnya, lalu mengusapkan kepala kontolku ke belahan bibir manis di wajahnya.
Dyah
Tindakan nekatku hanya berlangsung sebentar, aku kuatir dia terbangun karena tiba - tiba dia kembali mengulum bibirnya sehingga sedikit tersentuh lidah basahnya. Aku berdiri mematung dan menelan ludah saking kuatirnya. Hingga kulihat nafasnya kembali normal, aku beranikan kembali melanjutkan tindakan bejatku ini pada pantat molek gadis ini.
Kali ini aku berusaha mengusap dan menekan - nekan bagian vaginanya dengan jari tengahku. Dari belakang pantatnya, menyelip diantara paha empuknya. Maju-mundur, perlahan dan menekan sesekali. Berusaha mencari - cari, menekan dan merangsang itilnya dari luar celananya. Entah ini imajinasiku atau memang kenyataan terlalu indah, nafsuku meningkat drastis saat kurasakan mulai lembab pada celana mbak Dyah di permukaan vaginanya. Gadis lugu ini mulai terpancing nafsunya. Entah apa yang ada dalam mimpinya namun kini pahanya menjepit erat jariku yang membuatku kaget.
Kembali aku mematung. Apabila dia terbangun, akan hancur nama baik dan reputasi keluargaku. Jantungku berdegup semakin kencang. Sekian detik ini membuat kakiku lemas dan pikiranku sangat cemas. Tapi anehnya nafsu dan aliran darah masih memompa penuh ke ujung kontolku ini.
Kini kutarik tanganku dengan hati - hati. Kembali memperhatikan payudaranya bergerak - gerak perlahan karena nafasnya yang teratur. Ingin aku menyelipkan tanganku dari balik kaosnya lalu memegang kulit payudaranya secara langsung tapi terlalu beresiko pikirku. Aku punya sebuah ide nekat dan gila. Tidak rugi apa - apa pikirku.
Setelah mengatur nafasku dengan lebih baik, kembali kuhidupkan lampu ruangan ini dan aku mengetok - ngetok kamar yang tadi terkunci.
*tok-tok-tok”
“Mbak. Mbak Mala? Mbak Ning? Mbak Astri?”
Tidak ada jawaban.
Aku letakkan pantatku duduk di kursi di seberang mbak Dyah tertidur. Kurang lebih 10 menit hingga aku memutuskan untuk pergi ke dapur, mengambil sebotol sabun cuci piring dan beranjak ke kamar mandi. Perasanku yang tegang dan cemas ini membuatku kembali ingin buang air kecil, atau mungkin karena hawa dingin desa ini. Setelah aku selesai, dengan berhati - hati aku cecerkan cairan cuci piring ini ke lantai kamar mandi. Sebuah jebakan, bagian dari ide gila ku yang dikuasai nafsu setan.
Kembali di ruang tengah, kali ini aku membuka pintu depan dan mulai merasakan hawa dingin semakin menerpa masuk ke dalam rumah. Aku kembali duduk di depan mbak Dyah dan mulai memperhatikan ekspresinya. Tubuhnya mulai memeluk dirinya sendiri lebih erat, sepertinya rencanaku mulai berjalan. Aku menutup pintu dan menguncinya kembali untuk menghindari kejanggalan. Kugoyang - goyangkan pundak gadis ini, kali ini dengan tenaga lebih.
“Mbak, mbak Dyah. Bangun nak, jangan tidur disini.”
“...”
“Mbak ayo bangun di kamar aja tidurnya.”
“..eehhmm” mbak Dyah tampak menggeliat sedikit.
“Mbak, mbak Dyah.”
“...”
“Mbak?”
“Mmmm, ehh bapak. Ah iya pak.”
Tampak mbak Dyah mulai membuka mata, mengusap - usap matanya, kemudian bibirnya (sepertinya kuatir dengan air liur yang mengering karena tertidur) sambil mulai mengangkat tubuhnya duduk.
“Hoaahhm.. Aduh maaf pak saya nguap. Tadi ketiduran, capek abis ngerjain laporan.”
“Iya nggak apa mbak. Kenapa nggak tidur di dalam?”
“Oh iya pak. Itu tadi Mala udah ngunci kamarnya, jadi saya nggak bisa masuk. Lagi ngerjain juga ini pak, tapi malah ketiduran.”
“Gitu ya, emang tadi seharian abis ngapain mbak kok kayanya capek sekali?”
“Lumayan pak, tadi keliling sosialiasi abis pulang dari SD, 3 dusun. Hehehe”, mbak Dyah tertawa kecil sambil berusaha membuka matanya dengan penuh.
“Yang lain pada kemana mbak kok sendirian di ruang tamu?”
“Lagi ke rumah basecamp pak, ada rapat koordinasi lagi soal pendanaan. Mala tadi nggak enak badan, jadinya istirahat terus saya mau nemenin. Oiya bapak gimana? Kok nggak istirahat juga pak?”
“Lhaiya, tadi bapak ketiduran dipijit mbak Mala. Terus kebangun udah lumayan mendingan. Njuk mbak Mala-nya yang malah sakit ya sekarang?”
“Oh Mala emang izin nggak ikut kegiatan dari sore karena nggak enak badan pak. Emang itu anak ada - ada aja malah nggak istirahat. Mukanya merah banget lho tadi pak.”
“Saya jadi nggak enak sama mbak Mala ya, bapak malah ngerepotin.”
“Lho nggak pak, kami malah yang terima kasih banget lho pak sudah di izinin tinggal disini, ngerepotin bapak sekeluarga.”
“Udah nggak apa kok mbak, kan emang bapak pengen membantu aja mas-mbak mahasiswa buat belajar. Toh juga membantu desa. Oiya terus gimana mbak Dyah nggak tidur aja?”
“Iya sebentar lagi deh pak, mungkin saya coba tidur di kamar Ardi. Mau nyicil ngerjain lagi.”
“Oh gitu ya, yaudah bapak temenin sebentar aja. Mau dibikinin apa mbak? Kopi? Tehnya habis kayanya.”
“Aduh pak nggak usah repot - repot.”
“Nggak kok mbak, yaudah ya bapak rebus air dulu.”
“Wah pak nggak usah repot - repot lho, beneran.”
Tanpa menghiraukan ucapan mbak Dyah, aku memutuskan untuk pergi ke dapur dan mulai memanaskan air.
“Pak ini ada Matcha, Ardi bawa. Ini aja pak, kalo kopi malah nggak bisa tidur hehehe.”
Terdengar suara mbak Dyah berjalan mendekat kearahku dan menyerahkan sebuah toples berisi bubuk berwarna hijau.
“Lho teh kok bubuk? Apa ya ini? Bapak di desa nggak ketemu kaya gini mbak hehe. Dari kota ya?”
“Iya pak, ini teh hijau susu gitu, Matcha Latte biasanya orang - orang bilangnya. Enak kok pak, tapi agak kemanisan, mungkin airnya agak dibanyakin kalo nggak suka manis.”
“Oh gitu ya, oke mbak nanti saya bikinin. Mbak Dyah tunggu aja di ruang tamu.”
“Bapak badannya gimana? Beneran udah sehat? Saya nggak enak lho pak ngerepotin ditemenin malem - malem.”
“Udah sst, kamu itu bukannya terima kasih malah ngomong terus memang mbak mahasiswi itu ngomongnya banyak ya hahaha”
“Ah enggak gitu pak, iya pak terima kasih hehe. Saya izin ke belakang sebentar ya pak, nanti di tinggal di dapur aja nggak apa gelasnya saya bantuin bawa ke ruang tamu.”
“Udah udah biar saya aja yang bawa mbak.”
Sepertinya rencanaku akan berhasil. Sesuai dugaan mbak Dyah setelah bangun akan pergi ke kamar mandi entah untuk buang air kecil atau sekedar mencuci muka. Setelah beberapa saat mbak Dyah di kamar mandi terdengar suara seperti orang terjatuh dari dalam kamar mandi.
*Gdebug*
Setelah mematikan kompor aku bergegas pergi ke depan kamar mandi dan mengetuk - ngetuk pintunya. Tanpa bisa ku tutupi senyuman mengembang di wajahku.
*tok-tok*
“Mbak, kenapa?”
Rencanaku berjalan.
Max 8
Sesi I
Sesi II
Sesi III
Sesi IV
Sesi V