Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Max 8

Yang sesi 1 nanggung, sesi 2 seru, sesi 3 nanggung.. Tp ga ketemu alur ceritanya... Hahaha
 
Sesi III


Dyah

“Ki gue tunggu di Little Collins ya”
“Dimana tuh?”
“Daerah jalan Sumatera, gue share location deh.”
“[Sisipan Pin Lokasi, Little Collins. Alamat : Jalan Sumatera, Braga...]”

Begitulah isi pesan antara Dyah dengan Riski di hapenya. Hari ini mereka memang berencana untuk mengerjakan tugas kelompok yang diberikan sejak peristiwa aneh 2 minggu sebelumnya. Dyah benar - benar merubah persepsi Riski tentang erotisme dan selalu menjadi plot utama imajinasi reproduksi di benaknya. Bibirnya yang terlihat selalu lembab tetapi kering, tampak selembut kapas dan siap dilumat olehnya. Riski menggelengkan kepalanya, dan menyadari tangan kirinya sedang mengusap - usap tonjolan di celana boxernya. Riski tidak berani menyinggung secuil pun mengenai itu diantara mereka dan Dyah tampak biasa saja. Ada potongan cerita yang mengganjal juga mengenai yang terjadi hari itu. Riski kembali menggelengkan kepalanya dan meneguk segelas air dari meja di sampingnya.
Kamar Riski sederhana; sebuah kasur springbed terhias manis dengan sprei berwarna abu - abu gelap, dengan selimut tebal kotak - kotak berwarna senada. Sofa yang berada di depan kasurnya menghadap ke televisi datar teknologi crystal-led terbaru terpampang. Ruangannya membuat orang terhanyut, fokus utama yang orang rasakan adalah kesederhanaan, keramahan, tanpa sedikitpun 3 rak buku sesak yang berada di kiri kanan ruangannya mengintimidasi siapapun di dalamnya. Berkelas mungkin adalah istilah yang tepat untuknya.

Riski membuka pintu coffeeshop tersebut dengan sikunya, disambut sapaan manis barista ditempat itu.
“Pagi kak, meja untuk berapa orang?”
“Udah ada temen kok.”
“Oh iya kak, silahkan.”

Dyah tampak bersandar, dan duduk bersila dengan laptop metalik gelap 13 inci berpangu kedua pahanya. Riski menelan ludah. Dyah mengenakan turtleneck putih yang tebal dan masih saja Riski berhasil menangkap sekelibat bentuk payudaranya yang tentu terpampang. Luaran berwarna jingga condong ke peach menghiasi manis pundaknya. Jilbab hitam, celana hitam, dan kacamata memberi aksen intelegensi dan kepercayaan diri tinggi kepada Dyah. Bibir Riski kering, sekali lagi dia menelan ludah.

“Dyah.”
“Eh sini, Ki!”
Balas Dyah sambil menepuk kursi-lantai yang berada diagonal dari posisinya. Riski meletakkan dirinya di kursi tersebut, membetulkan posisi punggungnya tegap dan melipat kakinya.
“Lo udah ngerjain yang mana aja?”
“Udah sampe definisi Ki. Gue bingung juga nih aplikasinya gimana ya, gue maen aman aja ngedefinisiin dulu hehehe.. ehm”
*drrrrtttt*

Muncul suara dengan frekuensi aneh yang tidak sengaja di dengar Riski. Riski membuka laptopnya di pangkuannya juga, berfokus di layar hingga getaran dan tawa kecil Dyah mengalihkan perhatiannya. Riski melirik.
“Eh ngapain lo ngeliatin gue gitu anjir Ki, jangan marah dong gue udah berusaha sebisanya nih.”
Riski tidak menjawab dan kembali mengalihkan perhatiannya ke layar laptopnya.

“Gue udah bikin sampe studi literatur sama metode pengujian kok. Tapi boleh banget kalo lo juga udah bikin yang definisi bisa gue pake buat koreksi atau tambahan. Kayanya gini aja deh..”
Riski memberi jeda sebentar, membalikkan layar laptopnya ke Dyah, menunjuk bagian di layarnya dan kembali berbicara.

“Nih nanti gue kirim ke lo ya abis ini, lo baca - baca aja dulu kita butuh datanya mana yang bakal kita ambil. Lo kira - kira baca yang tren dari tahun 1991 sampe 2001 aja deh, dari post resesi ke post reformasi kira - kira. Ato ya dari span tahun itu terserah lo pokoknya minim 1 dekade, terus lo endingnya ke tahun 2001, gue ambil yang 2002 keatas ampe sekarang. Kayanya tren yang 2000an fluktuasinya kecil makanya gue pengen banget tuh liat baik - baik datanya.”
“Yah elo mah nganggep gue bego kan makanya gue ga dikasih bagian juga ngecek yang permintaan pasar taun segitu huh.”
“Iye emang.”
“Kaga anjir gue bego masa.”
Dyah diam tampak bingung dengan ucapannya sendiri. Riski berhenti dari kegiatannya, melirik Dyah tampak bingung juga.

“Lo ngomong apa sih anjing.”
“Au dah kesel gue ama lo.”
“Iyadeh lo ambil yang 2000an tapi coba cari korelasi distribusi pengaruh ga di permintaan ya.”
“Lha buat apa anjir kan ga perlu begituan.”
“Penasaran aja gue. Tapi mayan lho buat bacaan aja, terus lo jadi perlu baca baik - baik juga kan permintaan penawaran; gimana dah.”
“Pinter lo ya, yaudah tapi gue kelarin yang akhir abad 20 dulu deh, kalo gue tarik dari 1953 post korean war gimana ki? Kok gue kira adalah pengaruh deploymentnya US sama ekonomi dunia. Apalagi kita masih bingung nanganin konflik luar tapi dalam juga gitu dah.”
“Boleh juga tuh, lo juga pinter. Gitu lo mau dengernya?”
“Makasih Riskiiiii...ehmm.”
*drrrrrttt*
Dyah menjawab semangat sambil mencubit lengan Riski lumayan lama. 7 detik, hitung Riski didalam hati ketika tepat Dyah tiba - tiba melemaskan cubitan dan lengannya dan terdengar suara getaran yang kini semakin jelas. Riski mengernyitkan dahinya, melihat kiri, kanan kemudian kearah Dyah. Dyah menggigit bibirnya dan memejamkan matanya.

Riski melirik Dyah dan sesekali melihat sekitarnya; Riski menelan ludah dan nafasnya bergetar. Riski kembali fokus kearah layar laptopnya, membaca cepat baris perbaris kalimat di halaman yang dia baca. Pikirannya berada di tempat lain. Tanpa melirik kearah Dyah, Riski berusaha meraih lutut Dyah dan menggoyangkannya.
“Dyah, napa lo? Itu gue udah email ke lo.”
“Ah, eh.. Gapapa Ki, iya gue kerjain nih iya”

Dyah salah tingkah berusaha kembali fokus ke layarnya dan melihat link dokumen yang dikirim ke emailnya. Tanpa terasa sudah hampir 17 menit Dyah berhasil fokus membaca isi jurnal yang diberikan Riski hingga kebingungannya tidak dapat ditahan dan berhasil memecahkan keheningan diantara mereka.

“Ki, ini gue ga ngerti deh kok jepang gradien kurva ekonominya masih oke deh 1950an, malah 1970 yang lumayan geser. Kayanya ga kena pengaruh deh padahal kan; eh btw un forces tu sapa aja ki yang ikut? Gue kok baru tau Kim Il Sung jauh banget nembusnya ya. Terus ini Shigeru Yoshida pernah di China dan Korea juga dong. Tapi apa hubungannya ya hahaha, dia tuh PM nya jepang post-war Ki. Eh sini deh lo gue bingung asli baca kurva yang ini.”

Dyah menunjuk layar di laptopnya dan memberi aba - aba pada Riski untuk berpindah di sampingnya. Riski memindahkan tubuhnya dan mulai memperhatikan layar laptop Dyah.
“Iya ya gue juga bingung deh. Gue belom baca malahan perang korea. Menurut gue fokusin ke dalangnya aja, coba cari relasinya dengan cina ama soviet kalo gitu.”
“Hmmm mungkin kali ya Ki. Lo lagi baca apaan?”

Riski tidak menjawab hanya menyodorkan layar laptopnya, kemudian mereka kembali lanjut membaca dan masing - masing berdiam. Dengan posisi Riski disamping Dyah seperti ini, Riski dapat mencium aroma parfum yang melekat di tubuh Dyah, atau pakaiannya. Riski tidak peduli yang dia tahu hanyalah wangi ini begitu membuatnya kecanduan. Diam - diam Riski sesekali melirik kearah Dyah yang fokus dan serius memperhatikan layar laptopnya.
*drrrrrrt*

Kali ini Riski yakin dan tersadar, suara itu berasal dari suatu tempat tepat di samping kanannya yaitu di sekitar Dyah.
“Ehhhmm..”
Dyah mendesah pelan. Riski memperhatikan Dyah yang kembali menggigit bibirnya dan masih tampak berusaha memperhatikan layar laptopnya. Nafasnya semakin terdengar tidak teratur.
Hitam matanya perlahan tenggelam di kelopak mata Dyah yang dihiasi bulu matanya yang lentik. Riski tidak hanya melirik, tidak hanya menyadari nafasnya juga mulai tidak teratur sambil menelan ludahnya. Riski menghadapkan kepalanya penuh kearah Dyah. Posisinya yang dekat ini membuat Riski memungkinkan untuk membuat hidungnya semakin mendekat ke sisi leher Dyah yang ditutupin jilbabnya.

Tangannya dengan lancang meraih trackpad di laptop Dyah dan berkata.
“Dyah coba gue liat yang barusan.”
“Ehh.. mm iya ki.”
Dia sedikit terkejut dan masih sambil menahan sesuatu atau lebih tepatnya benda kecil yang tertanam dan sedang bergetar di sekitar pertemuan pahanya. Riski berpura - pura fokus dan menggeserkan jarinya berulang - ulang, namun pelan di trackpad tersebut sembari semakin mendekatkan hidungnya dan menarik dalam wangi tubuh Dyah. Lengan mereka bersentuhan. Dyah sedikit bergetar, melemaskan tubuhnya setelah itu dan terkesan menyandarkan lengannya ke Riski bersamaan dengan punggungnya yang mulai bersandar ke belakang. Dyah menggigit bibirnya dengan lembut. Pemandangan tersebut begitu sensual di mata Riski. Pahanya yang tampak tidak tenang dan bergoyang pelan juga mulai menggiring titik hitam di mata Riski kearahnya.

Dyah menyandarkan kepalanya; membuatnya menengadah dan memejamkan matanya. Riski mendekatkan kepalanya ke telinga Dyah dan pura - pura biasa saja tanpa perubahan emosi, menelan ludah kemudian mengucap mantap.
“Lo kenapa Dyah?”
Getaran suara Riski di telinga Dyah memberi getaran dan sensasi tersendiri di tubuh kurus Dyah. Tanpa mengubah pemandangan yang disajikannya pada Riski, Dyah membalas dengan perlahan, tersendat, dan diselingi desahan.

“Hehhmm.. Mmm.. Nggapapa Ki. Mmm.”
“Beneran? Lo ga sakit kan?”
Riski dengan berani dan lancang menempelkan punggung telapak tangannya di pipi Dyah, kemudian dahinya yang sedikit mengernyit dan membuat beberapa titik keringat menempel di kulit tangan Riski. Dyah menelan ludah, menggigit bibirnya perlahan; mengalihkan wajahnya kearah Riski dan menjawab.
“Iya ki.”
Riski tidak menjawab, hanya terdengar suara tegukan ludah darinya. Dengan lancang sekali lagi Riski meraih laptop di pangkuan Dyah dan sedikit menyenggol paha dalam kanannya, dan meletakkannya di depan Dyah. Riski memandang wajah cantik Dyah. Simetri mata, hidung dan bibir yang berada di depan matanya ini merupakan gambar yang selalu terbayang di imajinasi liar mengenai kuda, anjing dan segala nama - nama binatang aneh yang melabeli kegiatan ranjang di fantasinya.

“Lo ngapain ngeliatin gue kaya gitu sih. Ih malu gue.”
Riski melanjutkan tatapannya, menerkam bulat - bulat Dyah dan keadaannya yang bingung dilanda perasaan salah tingkah dan api birahi yang membakar menyiksa. Telapak tangan Dyah terasa lemas ketika dia berusaha mengangkatnya untuk mengusap dahinya, kemudian mengibaskan baju dan luarannya.

“Ki gerah banget yah.. Mmm ..Ah.”
Mata Riski mengikuti gerakan jari - jemari Dyah, dan mendarat di garis yang tampak sedikit tercetak di tonjolan payudaranya. Dyah membusungkan dadanya, kemudian menyadari diperhatikan Riski menjadi semakin salah tingkah dan berusaha menutupi bagian dadanya dan yang terjadi adalah kedua lengannya yang malah sedikit menjepit, menyenggol dan memberi getaran halus di payudaranya yang tentu memberikan aliran halus di permukaan kulitnya.

“Lo ngeliatin apa sih Ki, Ah.. Anjing.. Mm Ihh..”
“Mulut lo kasar banget Anjing.”
Riski berbicara tepat di telinga Dyah, bibir Riski sekali menyenggol daun telinga dibalik kain hitam tipis jilbab Dyah.
“Hmm.. Hah.. Ngaca lo yaka-”
Jari tengah dan telunjuk Riski menghentikan mulut Dyah yang sedang berbicara. Jari cincin dan kelingkingnya mengikuti hinggap di pipi kakan Dyah, sedangkan jempolnya berada di kiri bibir Dyah. Dengan perlahan Riski mengusap bibir lembut Dyah, mengagumi dan melumat dengan jarinya, hingga kini jempolnya bersenggolan dengan Dyah yang sedang menggigit bibirnya; Sesuatu yang lembab menyentuh permukaan jempolnya. Jari - jarinya yang lain kini mengusap pipi kanan Dyah lembut.

“Dyah lo gapapa?”
Riski berbicara pelan kini dari depan wajah Dyah. Posisi mereka aneh, miring. 30 menit seperti ini akan membuat tulang punggung Riski mengalami pergeseran atau bahkan osteoporosis 30 tahun kedepan, begitu pikir Riski menyelinap. Jempolnya melakukan kegiatan yang mengembalikan fokus Riski ke wajah yang cantik didepannya. Perlahan Riski berusaha menarik bibir Dyah kebawah, hingga mulutnya sedikit menganga. Riski mengangan, melakukan mimikri seperti predator yang menyamar diantara mangsanya.

Dyah tidak menjawab, lidahnya menari mengimbangi bibirnya di jari Riski yang berada di mulutnya.
*Drrrrtttt*

“Ahhmm..”
Dyah mendesah pelan. Riski mengaduk pelan kedua jarinya di dalam mulut Dyah yang lembab dan tidak jarang merasakan tekstur lidah milik gadis cantik ini. Tangan Dyah meraih samping kepalanya, turun ke leher, seperti nematoda yang bergerak pelan dari satu permukaan ke permukaan lainnya. Dengan tangan yang seperti itu, otomatis membuat payudara indahnya terjepit kembali oleh lengannya.

Gambar tidak masuk akal yang sedang bergerak didepan matanya menghipnotis Riski. Membuat dagingnya menjadi keras, tumbuh berusaha mengacung seperti semen mengeras, tetapi terdesak rapat celananya. Tangan kirinya pun demikian, secara perlahan, menyenggol dengkul Dyah tanpa sengaja ketika menuju payudara Dyah sebelah kiri. Riski hendak mengatupkan jarinya dan matanya berubah fokus. Ke kanan, di belakang Dyah. Tangan kiri seorang pria yang tiba - tiba menggenggam tangan Riski dan menjauhkannya dari payudara Dyah membuatnya berusaha mencari siapa pemiliknya.

Seseorang dengan kacamata hitam tampak memberikan aba - aba pada Riski untuk menutup mulut.
“Sssst”
Tangan pria tersebut kemudian mengalihkan tangan Dyah, untuk memegangi tangan kiri Riski agar menjauh dari payudara kecilnya.

*Clek*
Bunyi kaitan terlepas dan tampak tonjolan keras di dada Dyah melonggar. Dengan masih menjilati jari - jari Riski, Dyah tampak menggigit bibir dan malu, sekaligus kegelian ketika pria tersebut membisikkan sesuatu di telinganya yang bergegas membuat Dyah dengan canggung menarik sesuatu dari pundak, lengan, siku kemudian muncul sesuatu tali dari ujung luarannya, kanan dan kiri; lalu terjatuh ditarik perlahan sebuah pembungkus payudara berukuran 34B dari depan bajunya. Kedua tangan pria tadi menyusup masuk kedalam baju Dyah, tampak bergerak naik dan menggenggam, dan membuat gerakan 360 derajat di payudara Dyah.

Dyah

Jantung Dyah berdegup kencang sentuhan kasar di bibir, payudara, puting dan getaran objek menempel di klitorisnya membuatnya basah.
*Drrrrtt*

Dyah menjepit pahanya, kini menyandarkan pipinya di wajah pria yang terhalang kacamata hitam tersebut, mengacuhkan jari Riski di mulutnya hingga dia menarik tangannya. Dyah berontak sedikit ketika merasakan daun telinganya tergigit, kemudian mendengar bisikan yang membuatnya semakin gusar. Dyah menggigit bibirnya, menahan desahannya pelan.

“Ki, Anjing.”
“Mmm..hh”
“Kon.. kon.. mmhh kontol”
“Ahh. . Ki”
“Gu..hhmmhe ba. .hh sah, Ki”
“Aaaahh..."

Mulut Dyah yang melontarkan kata - kata tidak seronok membuat ketiga orang tersebut tergoda gairah dan nafsunya. Kedua tangan pria yang sedari tadi melakukan ritual pemijatan tidak wajar mulai menarik keluar. Kedua tangan Dyah kini berada tepat di putingnya, memilin dari luar pakaiannya. Gerakan itu seakan di pandu oleh bisikan pria dibelakangnya. Instruksi yang diberikannya memicu koreografi liar pada tubuh Dyah.

Waktu terasa berjalan lambat ketika Riski melihat tangan Dyah mulai bergerak pelan kebawah, menyingkap pakaiannya pelan, dan sangat pelan. Menunjukkan kulit perutnya yang putih dan halus, semakin keatas hingga mulai terpampang bagian bawah payudara sintal Dyah. Semakin keatas hingga waktu terasa membeku saat satu milimeter saja gerakan akan membuat kedua puting Dyah melompat, memberontak keluar. Kiri, kemudian kanan. Momen itu akan terjadi.

“Ki.. Mmmhh.. pentil gue berdiri.”

Max 8
Sesi I
Sesi II
Sesi III
Mantappppp
 
Sesi IV

Mala
“Tri, lo udah cek grup?”
“Oiya nih. Kok ada - ada aja sih ini minta laporannya cepet, dadakan lagi. Males banget gue, Ning.”
“Yaudah buruan deh kita cicil aja daripada bawel” balas Mala.
“Terus gimana nih, nanti maleman beneran kita nyusul ke basecamp? Mala ajakin apa engga, lagi sakit gitu?.”
“Gausah, Mala biar istirahat. Gue ga ikut dulu deh, gue mau coba nyicilin outline poin - poin punya Mala aja.”

Sayup - sayup aku mendengar pembicaraan teman - temanku dari luar pintu. Sedangkan aku sendiri, masih berusaha mengatur nafasku dan mencoba mengalihkan pikiran kotor yang mendera ini. Jemariku tidak kooperatif rupanya, asyik sendiri meremas vaginaku dari balik celana.

“Mala, udah tidur belum?” Dyah terdengar memanggilku dari balik pintu.

*tok-tok-tok*
*cklek*
Suara ketukan disusul pintu mengejutkanku. Untungnya memberiku cukup waktu untuk melepaskan remasanku pada vaginaku yang lembab ini.
“Mala, kamu gimana keadaannya? Wah merah banget muka kamu.”
Dyah meletakkan punggung tangannya di dahiku dan dengan berhati - hati meletakkan selimut di tubuhku. Aku membalas dengan senyum sebisanya sambil menahan nafsuku yang di ubun - ubun.
“Kamu istirahat dulu ya, tidur gih. Ini tadi kami dapat kabar ada deadline mendadak buat lusa outline program kita sama laporan observasi awal. Pada mau balik lagi ternyata ke basecamp, mau ngerancang apa gitu tadi; hmmm proposal? Apa ya, dana sama sponsorship gitu dari fakultas sebelah.”

Membayangkan ditinggal sendiri lagi di rumah ini membawa kembali perasaan tertancap oleh batang kemaluan pak Karyo. Tanpa aku sadari aku memejamkan mata dan menelan ludah.

“Hei kok diem aja diajak ngomong, udah ngantuk ya?”
“Ehh, mmm. Aku ditinggal sendiri dong?”
“Enggak kok, aku nggak ikut dulu capek banget. Aku mau nyicilin laporan kamu deh. Buku kamu dimana? Aku pinjem dulu deh biar nanti aku isiin dulu jadwal sama poin - poinnya. Nanti kamu lanjutin aja sisanya.”

Aku tidak fokus mendengarkan ucapan Dyah, dibalik selimut ini aku sedang menggosok perlahan puting payudaraku yang hanya terlidungi baju.

“Yah diem lagi, yaudah kamu lanjutin istirahat ya.”
“Iya Dyah, maaf ya. Makasih juga.”

Beberapa saat kemudian terdengar sayup - sayup pembicaraan teman - temanku dari ruang tamu mengenai hasil rapat tadi dan bagaimana alotnya diskusi dengan berbagai perangkat desa. Dengan sisa tenaga yang kumiliki, aku beranjak menuju pintu dan menguncinya. Tidak mau lagi terganggu ketika aku sedang berfantasi dengan imajinasiku dan bersetubuh dengan tubuhku sendiri; masturbasi.

Bayangan kelamin pak Karyo dan Wisnu membuat tanganku secara otomatis kembali mengusap klitorisku. Kali ini tanpa malu - malu masuk kedalam celana dan menyentuhnya secara langsung. Menggosok naik - turun dengan jari tengahku, dibantu jari telunjuk dan jari manisku untuk membuka belahan vaginaku agar lebih leluasa.
Perbuatanku tadi sangat kelewatan, tidak pernah menyangka aku dimasuki barang asing milik orang lain yang tidak dekat denganku secara romantis, sekaligus melakukannya didepan orang lain yang menyukaiku. Kecamuk pikiran ini membuatku merasa semakin kotor dan panas. Perbuatan sakral antar suami-istri ini bukan hal yang baru untukku, tapi yang terjadi barusan tak henti - hentinya membuat birahiku semakin naik dan hinggap memberi rasa gatal di pucuk klitoris dan dalam di rongga kelamin ini.
*clek-clek-clek*
Tanpa sadar jari tengah dan jari manisku bekerja sama; dengan ritme teratur, perlahan, menyetubuhi vaginaku.

“Hahahaha, gila aja lo pak Kades mah ogah gue, gatel orangnya.”
“Yeee tapi dia demen banget tuh kayanya ama lo.”
“Hahaha..”
“Hahahaha udah kali jangan berisik sssst!”

Kembali aku mendengar temanku yang tertawa dengan riang di balik dinding ruangan yang melindungiku ini. Hangatnya obrolan dan tawa mereka tidak bisa menandingi hawa panas yang aku rasakan di dalam kamar ini, membuat keringatku mulai terasa di punggung dan membutir - butir malu - malu di dahiku.

“Ehhmmmm..”
*clek-clek-clek*
Kocokan pada kelaminku makin tidak teratur, desahanku yang tertahan aku menggigit bibir membuatku merasa sensual. Aku memejamkan mata, membayangkan Wisnu menjilati bibirku dan menyodorkan batang kelaminnya ke wajahku. Aku arahkan tanganku yang daritadi membantu meremas dan memiling puting ke arah mulutku. Tiga buah jari aku jilat dan masukkan kedalam mulutku.
Batang kelamin tertanam di vagina, lubang dubur yang dijilat basah, dan sebuah batang kelamin lain di mulutku membuatku mempercepat kocokan pada vaginaku.

“Ehh.. mmm.. ehhh”
*clek-clek-clek-clek*
“Ohhh.. mmmkkkonn.. toll”
*clek-clek-clek*
“Ahh kontol..”

Air mataku menetes keluar disambut kocokanku yang berhenti. Punggungku terasa berkontraksi maksimal. Dengkulku lemas, perasaanku puas. Gelombang demi gelombang kenikmatan aku rasakan mengayuh halus bagai perahu dari dalam liang senggamaku mengarungi cairan yang tidak hanya merembes; namun terasa seperti mengalir keluar, membanjiri vaginaku. Aku orgasme.









Dyah

Tidak terasa setengah jam telah berlalu sejak teman - teman telah pergi ke basecamp. Payah sekali aku, baru setengah jam ditinggal tanpa guyonan yang mengganggu konsentrasi malah membuatku kehilangan konsentrasi; kontradiktif, pikirku. Mataku mulai mengantuk, memperhatikan barisan huruf-kata-kalimat-paragraf yang tampak seperti garis - garis hitam di kertas di hadapanku. Aku ingin istirahat sebentar dari kegiatan melelahkan ini; menulis laporan. Mumpung masih jam 8.30 malam.

Di desa waktu berjalan lebih lambat. Jam 6 malam saja jalanan sudah sepi, apalagi jam segini; batinku sambil menengok keluar jendela. Badanku beranjak dan melangkah menuju kamar tidur. Aku berpikir untuk merebahkan tubuhku sebentar.
*tok-tok-tok*
“Mala.”

Rupanya pintu terkunci, sepertinya Mala ketiduran. Sebuah kebetulan untukku bisa menghindari upayaku untuk menghindar dari kewajibanku. Agar tidak mengantuk aku berpikir untuk membereskan rumah ini sedikit. Pinggulku bergoyang bersama dengan badanku yang menuju dapur.

Ada dua gelas minuman yang tampak baru diminum sedikit dan beberapa tumpuk piring kotor dibawah keran tempat mencuci piring. Sepertinya Mala tadi membuat minuman ini tapi malah ketiduran, pikirku. Aku dekatkan minuman tersebut satu - persatu bergantian. Jahe dan Matcha? Sayang sekali rasanya membuang - buang minuman ini apalagi aku sedang di daerah yang tidak jauh namun tidak cukup dekat juga untuk mampir ke kota secara sering.

Usai mencuci piring aku perhatikan kembali kedua gelas minuman tersebut.
*glek*
Kucicip minuman Matcha ini, sedikit terlalu manis untukku. Aku berpindah mencoba minuman jahenya; sudah dingin tapi masih membuat tenggorokanku terasa hangat. Setelah itu kuputuskan untuk meneguknya kembali sedikit, lalu mencuci kedua gelas minuman tersebut. Walaupun keduanya belum habis tapi siapa juga yang mau menghabiskan minuman sisa?

Kusandarkan pantatku di kursi, berusaha memulai kembali pekerjaan yang aku tunda tadi. Mataku sungguh sudah tidak dapat menahan kelopaknya terbuka, punggungku sudah sangat ingin menyerah pada gravitasi. Aku merebahkan tubuhku sebentar, dan tertidur.







Aku terbangun, badanku terasa sedikit lebih segar tapi masih sedikit lemas. Mungkin berkat dipijit oleh mbak Mala tadi nyeri tubuhku sedikit berkurang. Baru jam sebelas pikirku saat melihat jam yang menempel di dinding. Aku memutuskan untuk keluar kamar dan mengecek pintu apakah sudah terkunci.

*tok-tok-tok*
“Mbak, mas.”
Tidak ada jawaban saat kuketuk kamar mahasiswa - mahasiswa yang sedang tinggal dirumahku. Pintu mas Ardi tidak terkunci, tampak tidak ada penghuninya. Sedangkan kamar para mahasiswi terkunci; sepertinya sudah tidur, batinku. Sebelum pergi kekamar mandi sebentar untuk membilas wajahku, kuputuskan untuk mengecek pintu depan.

Lampunya tampak masih menyala, rupanya ada seseorang yang masih bekerja disana. Pintu sudah kukunci, kualihkan perhatian pada meja yang berserakan kertas - kertas dan buku lalu memperhatikan mbak Dyah yang tertidur di kursi. Mbak Dyah mengenakan jilbab hitam, kaos putih dan luaran hitam yang tersingkap sedikit menunjukkan kulit di perutnya. Aku turunkan sedikit posisi pakaiannya agar tubuhnya tertutup dengan benar. Tanganku tidak sengaja menyentuh kulit perutnya. Aku meneguk ludah.

Segera aku bergegas ke kamar mandi untuk mencuci muka dan buang air kecil. Di dalam kamar mandi, aku merasakan sedikit lengket pada kontolku. Sepertinya aku sedikit bermimpi bercinta ketika tidur tadi, sudah dua minggu istriku pergi mengunjungi ibu mertuaku yang sedang tidak enak badan bersama Mbah De; bapakku. Aku usap dan pijit sedikit kontolku setelah mencuci muka yang membuatku mulai ereksi. Sekelibat gambar kulit mulus mbak Dyah membangkitkan penuh ereksi pada kontolku.

Aku memutuskan untuk kembali ke ruang tengah untuk memperhatikannya, sedikit nekat. Mbak Dyah ini salah satu yang paling lugu di tim mahasiswa - mahasiswa yang tinggal di tempatku. Walaupun terkadang pakaian yang dia kenakan lumayan berani, sepertinya dia hanya mengikuti tren zaman. Kaos ketat yang menonjolkan buah dada ranum mahasiswa dan jilbab yang diikat kebelakang membantu fokus orang - orang disekitarnya untuk memperhatikan tonjolannya yang tidak terlalu besar dan tidak sesuai dengan karakternya yang lugu dan santun.

“Mbak, mbak Dyah.”
Pundaknya aku goyang - goyangkan; tidak ada respon. Wajahnya cukup manis, dihiasi kacamata yang membingkai memberikan kesan intelek pada gadis ranum satu ini. Perhatianku menyusuri badannya, posisinya belum berubah semenjak aku pergi ke kamar mandi. Dengkuran tipis dan nafas yang teratur menandakan tidurnya yang nyenyak, tidak terganggu sama sekali oleh hawa dingin dan angin malam yang menerpa desa dan rumah ini.

Mataku terhenti pada bongkahan pantatnya, lumayan menonjol terbungkus celana kain yang lumayan ketat. Tanpa sadar tangan kiriku mengusap kontolku dari sarung ini, membuat sebuah tenda yang menandakan pemiliknya sedang birahi. Aku meneguk ludah. Tanganku gemetar ketika kulayangkan perlahan ke salah satu pantat moleknya. Aku usap berhati - hati dan perlahan. Dadaku berdegup kencang. Meskipun sudah beristri dan putra dari tokoh terhormat di kampung ini, aku juga memiliki nafsu birahi.

Dengan cemas aku memperhatikan keluar jendela, tampak jalanan desa sudah sepi. Aku putuskan untuk mematikan lampu tengah, sehingga kini hanya cahaya redup menembus renda dari lampu luar menyentuh sebagian ruangan dan tubuh mbak Dyah. Lebih aman, batinku; tapi tidak cukup membuat degupan jantungku melambat.

Kini aku arahka kembali tanganku ke pundaknya, aku goyang dengan sedikit tenaga ekstra.

“Mbak Dyah, mbak.”

Tidak ada respon kembali. Goyanganku menjadi usapan, dari pundaknya aku arahkan ke bagian lehernya menyusup dari balik jilbabnya. Bisa aku rasakan kulit lembut di atas tulang selangkanya. Jantungku semakin berdegup kencang saat aku berusaha sedikit menyingkap jilbabnya keatas, menunjukkan kulit di baliknya. Aku meneguk ludah. Tanganku menyusuri dengan perlahan dan gemetaran di atas bajunya, turun mengusap, turun menngusap, hingga akhirnya merasakan daging empuk yang ranum dan menggemaskan; payudara ranum gadis muda.

Aku usap lembut dan kuperhatikan kembali bagaimana respon di wajah manisnya. Tidak ada respon. Aku usap - usap buah dadanya, sesekali mengenai pinggiran bra dan bagian favoritku ketika menyentuh bagian atasnya yang tidak terhalang bra. Usapan lembutku berubah menjadi remasan. Tanganku hinggap mantap di payudara mbak Dyah, meremasnya perlahan - lahan hingga ku perhatikan ekspresi wajahnya mulai berubah tapi masih memejamkan mata.

Jantungku terasa mau copot, waktu terasa berhenti. Aku hentikan aktivitasku kuatir dia terbangun tanpa memindahkan tanganku. Saat nafasnya mulai teratur, tanganku menyusuri turun mengusap perutnya, bermain sebentar di atas pusarnya lalu memutuskan nekat untuk menyusup masuk dari bawah bajunya.
Dapat aku rasakan permukaan perutnya yang halus, aku usap dengan perlahan disekitar pusarnya. Aku meneguk ludah membayangkan bagaimana dengan halus dan lembut bagian lainnya?

Gerakan tangan kiriku mulai menjadi kocokan perlahan; masih dari luar sarung tentunya. Aku belum cukup nekat untuk mengeluarkan kontolku di ruang tengah, dan didepan mahasiswi yang tinggal di rumahku walaupun dia tertidur. Remasan pada tangan kiriku, mengimbangi remasan perlahan tangan kananku yang beralih pada bongakahan pantan indah mbak Dyah. Posisi tidurnya yang miring dan sedikit melipat paha kanannya memungkinkan aku untuk meremas - remas salah satu bongkahan pantatnya.

Aku mulai bosan dengan kegiatan ini hingga aku beranikan untuk mulai mengusap turun, ke paha dan sekitar selangkangannya. Mataku mulai memperhatikan kembali wajahnya, mengawasi responnya. Alisnya sedikit bergerak dan bibirnya tampak dia kulum sebentar, menciptakan kilatan indah memantulkan cahaya remang lampu luar rumah.

Dengan tegang dan hati - hati aku perhatikan keluar jendela; masih sepi. Aku memberanikan diri mengeluarkan kontolku yang ereksi dari sarung. Tanpa berhenti mengusap-meremas pantat dan pahanya, aku arahkan kepala kontolku ke pipi mbak Dyah. Sungguh mulus, membuatku terangsang hebat ketika aku gerakkan perlahan ke tepi bibirnya, lalu mengusapkan kepala kontolku ke belahan bibir manis di wajahnya.

Dyah

Tindakan nekatku hanya berlangsung sebentar, aku kuatir dia terbangun karena tiba - tiba dia kembali mengulum bibirnya sehingga sedikit tersentuh lidah basahnya. Aku berdiri mematung dan menelan ludah saking kuatirnya. Hingga kulihat nafasnya kembali normal, aku beranikan kembali melanjutkan tindakan bejatku ini pada pantat molek gadis ini.

Kali ini aku berusaha mengusap dan menekan - nekan bagian vaginanya dengan jari tengahku. Dari belakang pantatnya, menyelip diantara paha empuknya. Maju-mundur, perlahan dan menekan sesekali. Berusaha mencari - cari, menekan dan merangsang itilnya dari luar celananya. Entah ini imajinasiku atau memang kenyataan terlalu indah, nafsuku meningkat drastis saat kurasakan mulai lembab pada celana mbak Dyah di permukaan vaginanya. Gadis lugu ini mulai terpancing nafsunya. Entah apa yang ada dalam mimpinya namun kini pahanya menjepit erat jariku yang membuatku kaget.

Kembali aku mematung. Apabila dia terbangun, akan hancur nama baik dan reputasi keluargaku. Jantungku berdegup semakin kencang. Sekian detik ini membuat kakiku lemas dan pikiranku sangat cemas. Tapi anehnya nafsu dan aliran darah masih memompa penuh ke ujung kontolku ini.

Kini kutarik tanganku dengan hati - hati. Kembali memperhatikan payudaranya bergerak - gerak perlahan karena nafasnya yang teratur. Ingin aku menyelipkan tanganku dari balik kaosnya lalu memegang kulit payudaranya secara langsung tapi terlalu beresiko pikirku. Aku punya sebuah ide nekat dan gila. Tidak rugi apa - apa pikirku.

Setelah mengatur nafasku dengan lebih baik, kembali kuhidupkan lampu ruangan ini dan aku mengetok - ngetok kamar yang tadi terkunci.
*tok-tok-tok”
“Mbak. Mbak Mala? Mbak Ning? Mbak Astri?”
Tidak ada jawaban.

Aku letakkan pantatku duduk di kursi di seberang mbak Dyah tertidur. Kurang lebih 10 menit hingga aku memutuskan untuk pergi ke dapur, mengambil sebotol sabun cuci piring dan beranjak ke kamar mandi. Perasanku yang tegang dan cemas ini membuatku kembali ingin buang air kecil, atau mungkin karena hawa dingin desa ini. Setelah aku selesai, dengan berhati - hati aku cecerkan cairan cuci piring ini ke lantai kamar mandi. Sebuah jebakan, bagian dari ide gila ku yang dikuasai nafsu setan.

Kembali di ruang tengah, kali ini aku membuka pintu depan dan mulai merasakan hawa dingin semakin menerpa masuk ke dalam rumah. Aku kembali duduk di depan mbak Dyah dan mulai memperhatikan ekspresinya. Tubuhnya mulai memeluk dirinya sendiri lebih erat, sepertinya rencanaku mulai berjalan. Aku menutup pintu dan menguncinya kembali untuk menghindari kejanggalan. Kugoyang - goyangkan pundak gadis ini, kali ini dengan tenaga lebih.

“Mbak, mbak Dyah. Bangun nak, jangan tidur disini.”
“...”
“Mbak ayo bangun di kamar aja tidurnya.”
“..eehhmm” mbak Dyah tampak menggeliat sedikit.
“Mbak, mbak Dyah.”
“...”
“Mbak?”
“Mmmm, ehh bapak. Ah iya pak.”

Tampak mbak Dyah mulai membuka mata, mengusap - usap matanya, kemudian bibirnya (sepertinya kuatir dengan air liur yang mengering karena tertidur) sambil mulai mengangkat tubuhnya duduk.

“Hoaahhm.. Aduh maaf pak saya nguap. Tadi ketiduran, capek abis ngerjain laporan.”
“Iya nggak apa mbak. Kenapa nggak tidur di dalam?”
“Oh iya pak. Itu tadi Mala udah ngunci kamarnya, jadi saya nggak bisa masuk. Lagi ngerjain juga ini pak, tapi malah ketiduran.”
“Gitu ya, emang tadi seharian abis ngapain mbak kok kayanya capek sekali?”
“Lumayan pak, tadi keliling sosialiasi abis pulang dari SD, 3 dusun. Hehehe”, mbak Dyah tertawa kecil sambil berusaha membuka matanya dengan penuh.
“Yang lain pada kemana mbak kok sendirian di ruang tamu?”
“Lagi ke rumah basecamp pak, ada rapat koordinasi lagi soal pendanaan. Mala tadi nggak enak badan, jadinya istirahat terus saya mau nemenin. Oiya bapak gimana? Kok nggak istirahat juga pak?”
“Lhaiya, tadi bapak ketiduran dipijit mbak Mala. Terus kebangun udah lumayan mendingan. Njuk mbak Mala-nya yang malah sakit ya sekarang?”
“Oh Mala emang izin nggak ikut kegiatan dari sore karena nggak enak badan pak. Emang itu anak ada - ada aja malah nggak istirahat. Mukanya merah banget lho tadi pak.”
“Saya jadi nggak enak sama mbak Mala ya, bapak malah ngerepotin.”
“Lho nggak pak, kami malah yang terima kasih banget lho pak sudah di izinin tinggal disini, ngerepotin bapak sekeluarga.”
“Udah nggak apa kok mbak, kan emang bapak pengen membantu aja mas-mbak mahasiswa buat belajar. Toh juga membantu desa. Oiya terus gimana mbak Dyah nggak tidur aja?”
“Iya sebentar lagi deh pak, mungkin saya coba tidur di kamar Ardi. Mau nyicil ngerjain lagi.”
“Oh gitu ya, yaudah bapak temenin sebentar aja. Mau dibikinin apa mbak? Kopi? Tehnya habis kayanya.”
“Aduh pak nggak usah repot - repot.”
“Nggak kok mbak, yaudah ya bapak rebus air dulu.”
“Wah pak nggak usah repot - repot lho, beneran.”

Tanpa menghiraukan ucapan mbak Dyah, aku memutuskan untuk pergi ke dapur dan mulai memanaskan air.
“Pak ini ada Matcha, Ardi bawa. Ini aja pak, kalo kopi malah nggak bisa tidur hehehe.”
Terdengar suara mbak Dyah berjalan mendekat kearahku dan menyerahkan sebuah toples berisi bubuk berwarna hijau.

“Lho teh kok bubuk? Apa ya ini? Bapak di desa nggak ketemu kaya gini mbak hehe. Dari kota ya?”
“Iya pak, ini teh hijau susu gitu, Matcha Latte biasanya orang - orang bilangnya. Enak kok pak, tapi agak kemanisan, mungkin airnya agak dibanyakin kalo nggak suka manis.”
“Oh gitu ya, oke mbak nanti saya bikinin. Mbak Dyah tunggu aja di ruang tamu.”
“Bapak badannya gimana? Beneran udah sehat? Saya nggak enak lho pak ngerepotin ditemenin malem - malem.”
“Udah sst, kamu itu bukannya terima kasih malah ngomong terus memang mbak mahasiswi itu ngomongnya banyak ya hahaha”
“Ah enggak gitu pak, iya pak terima kasih hehe. Saya izin ke belakang sebentar ya pak, nanti di tinggal di dapur aja nggak apa gelasnya saya bantuin bawa ke ruang tamu.”
“Udah udah biar saya aja yang bawa mbak.”

Sepertinya rencanaku akan berhasil. Sesuai dugaan mbak Dyah setelah bangun akan pergi ke kamar mandi entah untuk buang air kecil atau sekedar mencuci muka. Setelah beberapa saat mbak Dyah di kamar mandi terdengar suara seperti orang terjatuh dari dalam kamar mandi.

*Gdebug*

Setelah mematikan kompor aku bergegas pergi ke depan kamar mandi dan mengetuk - ngetuk pintunya. Tanpa bisa ku tutupi senyuman mengembang di wajahku.

*tok-tok*
“Mbak, kenapa?”

Rencanaku berjalan.



Max 8
Sesi I
Sesi II
Sesi III
Sesi IV
Sesi V
 
Terakhir diubah:
Maafkan kelambatan penulis untuk melanjutkan cerita beberapa waktu ini ya suhu - suhu. Maklum memang nggak berniat bikin cerbung, cuma antologi aja. Berhubung antusiasme nya lumayan walaupun agak niche; cukup lah untuk jadi motivasi ngelanjutin. Sekali lagi terima kasih pengertiannya suhu - suhu sekalian; saya tahu ada beberapa alasan pribadi yang tidak bisa saya gunakan toh namanya nanti cuma jadi 'alasan nggak update - update' :).

Tapi untuk satu hal ini saya pengen bantuan suhu - suhu (kalo sekiranya nggak boleh; tolong saya di ingatkan ya suhu), jadi karena kecerobohan penulis dan kurang bakat di media sosial, saya kehilangan total inspirasi alias foto untuk tokoh Dyah. Nah, mungkin agak membingungkan buat suhu - suhu tapi ya imajinasi saya lumayan visual sebagai inspirasi. Sekiranya ada yang punya info bersangkutan, boleh banget hubungi saya ya suhu (biar mulustrasinya update juga).

Untuk suhu - suhu yang baru bergabung atau masih ngerasa asing dengan alurnya, atau ya intinya membingungkan. Coba bacanya Ganjil- ganjil; genap-genap. Tidak ingin mengurangi kesenangan tapi kalo udah paham maksutnya, dijamin memuaskan diri sendiri kok. Alangkah baiknya kalo bisa saling berdiskusi atau menjawab atau bertanya aja soal kebingungan di cerita ini. Tapi yang saling jawab pembaca dong ya Hahahahah!

Terima kasih suhu, selamat menikmati!!
 
Maafkan kelambatan penulis untuk melanjutkan cerita beberapa waktu ini ya suhu - suhu. Maklum memang nggak berniat bikin cerbung, cuma antologi aja. Berhubung antusiasme nya lumayan walaupun agak niche; cukup lah untuk jadi motivasi ngelanjutin. Sekali lagi terima kasih pengertiannya suhu - suhu sekalian; saya tahu ada beberapa alasan pribadi yang tidak bisa saya gunakan toh namanya nanti cuma jadi 'alasan nggak update - update' :).

Tapi untuk satu hal ini saya pengen bantuan suhu - suhu (kalo sekiranya nggak boleh; tolong saya di ingatkan ya suhu), jadi karena kecerobohan penulis dan kurang bakat di media sosial, saya kehilangan total inspirasi alias foto untuk tokoh Dyah. Nah, mungkin agak membingungkan buat suhu - suhu tapi ya imajinasi saya lumayan visual sebagai inspirasi. Sekiranya ada yang punya info bersangkutan, boleh banget hubungi saya ya suhu (biar mulustrasinya update juga).

Untuk suhu - suhu yang baru bergabung atau masih ngerasa asing dengan alurnya, atau ya intinya membingungkan. Coba bacanya Ganjil- ganjil; genap-genap. Tidak ingin mengurangi kesenangan tapi kalo udah paham maksutnya, dijamin memuaskan diri sendiri kok. Alangkah baiknya kalo bisa saling berdiskusi atau menjawab atau bertanya aja soal kebingungan di cerita ini. Tapi yang saling jawab pembaca dong ya Hahahahah!

Terima kasih suhu, selamat menikmati!!
Akhirnya suhu muncul mantappp
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd