Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Kino dan Tris (COPAS)

Bimabet

Pertengkaran di ruang tamu rumah Trista masih berlangsung walau sudah agak mereda.

Terdengar ketukan di pintu dan Trista yang paling dulu bangkit setelah meletakkan kepala Ria di bantal kursi dengan hati-hati. Entah kenapa, wanita itu merasa tidak enak, dan merasa harus cepat-cepat ke pintu.

Ia sempat menduga, itu adalah Kino yang nekad kembali menembus hujan.
Ketika yang dilihatnya adalah seorang polisi berjas hujan panjang, sejenak Trista merasakan lututnya lemas. Apalagi kemudian polisi itu menyodorkan sebuah KTP dan Trista melihat fotonya.

Sejenak dunia terasa hilang, dan kaki Trista tak menjejak lantai. Tetapi wanita ini menguatkan hati, dan mengiyakan semua pertanyaan Pak Polisi. Ia bahkan mengangguk cepat ketika polisi itu menawarkan mengantar ke rumah sakit. Tanpa menengok dan berkata apa-apa lagi, Trista melangkah mengikuti sang polisi ke mobilnya.

Sony bangkit karena heran melihat Trista keluar bersama seorang berseragam polisi. Dari tempatnya duduk, ia bisa melihat pintu ruang tamu. Tetapi orang lainnya tidak, sehingga ketika Trista sudah pergi dengan mobil polisi, cuma Sony yang terbengong di pintu. Baru kemudian ia panik dan mengabarkan apa yang dilihatnya. Pertengkaran segera usai, diganti kegemparan.
*****

Ruang emergency tampak lenggang dan terang berderang malam itu. Beberapa orang tampak tidur di bangku panjang. Seorang suster tampak bosan duduk di meja informasi, membaca sebuah majalah bekas.

Ibu Kost, Pak Rokah dan Indi duduk di dekat sebuah pintu yang bertulisan “dilarang masuk”.

Trista datang tergopoh-gopoh dan tampak bingung. Ia tidak mengenal satu pun orang-orang itu, dan mereka pun tak mengenal Trista.

Tetapi Indi mempunyai firasat jitu. Ia mendekati wanita yang baginya amat mempesona itu.

“Teman Mas Kino?” tanya Indi ramah
Polisi yang mengantar Trista tampaknya sangat sibuk, atau sangat bosan berurusan dengan hal-hal begini. Maka begitu ia melihat wanita yang diantarnya disambut oleh salah seorang “keluarga” korban, ia segera menghilang untuk mengurus identitas Kino.

“Saya pacarnya…,” desah Trista, bingung harus berkata apa, dan menatap nanar ke arah pintu yang tertutup.

Ia ingin menyerbu masuk, menanyakan keadaan pemuda itu. Di mobil polisi tadi, tidak ada informasi sedikitpun kecuali bahwa Kino tertabrak mobil.

Indi tertegun sejenak. Sebuah rasa iri menyelinap, tetapi gadis itu segera mengusirnya. Ia iba sekaligus kagum melihat “pilihan selera” Kino; pria yang diam-diam juga dipujanya.

“Mbak tidak boleh masuk ke sana,” ucap Indi ramah.

“Apakah lukanya parah?” tanya Trista dengan risau; ia lupa sopan-santun dan tidak memperkenalkan diri lebih jauh. Seluruh pikirannya tertuju ke Kino.

“Dokter bilang, cukup parah. Tetapi belum ada kepastian,” ucap Indi tenang.

Gadis itu yang paling tenang di antara “keluarga” Kino. Ketika tiba di rumah sakit, ayahnya dan Ibu Kost terus menerus bingung dan panik. Hanya gadis itu yang bisa bertanya tenang ke suster, lalu ke dokter jaga, sehingga ia tahu bahwa luka di kepala Kino cukup parah, tetapi juga belum tentu fatal. Semuanya tergantung pemeriksaan yang saat ini sedang berlangsung.

Ridwan tiba bersama Rima dan Tigor. Mereka tentunya mengenal Trista, dan Ridwan pernah melihat Indi. Maka anak-anak muda itu langsung bergabung. Sebuah “keluarga” aneh terbentuk malam itu di ruang emergency. Sebuah keluarga yang baru berjumpa dalam situasi menegangkan. Sebuah keluarga yang tercipta oleh bencana, serta oleh tali batin ke seorang pemuda yang sekarang tergeletak tak sadarkan diri di meja operasi.​

 
Sepanjang Jalan Kenangan

Ada sebuah tanah lapang yang amat luas berwarna abu-abu pekat, begitu luasnya sehingga tak nampak di mana tepian. Tak terkira di mana awal di mana akhir. Tanah lapang yang begitu halus lurus-datar sejauh-jauh mata memandang, begitu lembut dipijak kaki dan begitu tipis sehingga tertembus pandang. Ah, ini sebuah tanah lapang yang mengapung-apung dalam ruang kehampaan yang legam-pekat. Kino melihat ke sekelilingnya, mengira-ngira apakah ia di tengah, atau di atas, atau di tepi, atau di mana-mana?

Kemudian ada suara-suara keheningan dan dengung-dengung kebisuan. Kino tersenyum merasakan sekelilingnya seperti merengkuh gemulai, apalagi kemudian sebuah sinar mulai membersit di kejauhan sana. Sebuah sinar yang amat terang sesilau-silaunya mata memandang.

Ah, .. Kino tersenyum lagi karena dari titik membersit itulah datangnya rasa selaksa damai yang mendatangkan teduh. Aneh memang, kebenderangan yang terik itu justru membawa sejuk. Sama anehnya dengan keheningan yang bersenandung ramah. Atau kegulitaan yang menerangkan.

Dan Kino melangkah ke arah sinar itu. Ringan dan santai dan nyaman sekali langkahnya. Riang sekali rasa hatinya, walau sempat ia bertanya: Siapa gerangan di balik sinar itu yang bernyanyi kepadanya begitu menina-bobokkan?

**********

“Dammit!” dokter Rudy memisuh pelan,
“Jangan menyerah sekarang, buddy!”

Suster kepala di ruang emergency cepat-cepat mengambil lap untuk menghapus keringat di sekitar mata dokter yang sedang berjuang memperkecil tumpahan darah dari luka di kepala Kino. Sesekali ia melirik ke monitor yang memperlihatkan denyut jantung pasien muda itu…. Hmmm… tidak begitu menggembirakan, batinnya.

Tiga suster lainnya dengan cekatan memberikan apa saja yang diminta dokter Rudy. Gunting, berkilauan karena bersih dan tajamnya. Tang, panjang atau pendek… mencapit buntalan-buntalan kapas yang cepat sekali memerah oleh darah yang mengalir deras dari luka.

Dokter berjuang keras menyetop perdarahan, sambil berharap persediaan darah tidak habis.

Tadi, ia telah meminta “keluarga” di luar ruang emergency untuk menyiapkan darah cadangan sesegera mungkin…

“C’mon.. C’mon!”, desis dokter Rudy lagi sambil mempercepat kerjanya.

**********

Ridwan serius mengkoordinasikan teman-temannya. Indi serius mendengarkan perintah-perintahnya.

“Kita harus sebanyak mungkin mendapat darah, siapa yang mau menyumbangkan?,” ujar Ridwan sambil memandangi satu per satu Tigor, Rima, dan Indi.

Ia menengok pula ke bangku dekat pintu ke ruang operasi, melihat Trista tersedu dipeluk Ibu Kost dan diapit Ayah Indi.

Semua mengatakan mau menyumbangkan darahnya. Indi bahkan sudah menyingsingkan lengan bajunya. Trista mengangkat kepala, dan berkata lemah,
“Saya juga.”

“Kata dokter Kino bisa menerima golongan apa saja,” kata Ridwan lagi, lalu melihat ke sekeliling,
“Di mana tempat transfusi?”

Seorang suster datang mendekat, memberi penjelasan ringkas tentang prosedur transfusi atau penyiapan darah dengan membeli di bank darah.

Ridwan mengatakan mereka semua bisa menyediakan darah, kalau memang dianggap sehat untuk itu. Suster lalu mengajak mereka ke sebuah ruang lain. Di sana mereka diperiksa, apakah bisa menyumbangkan darah atau tidak
**********
 
“Stabilkan jantungnya. Cepat!” sergah dokter Rudy, dan para suster bergerak tiga kali lebih cepat dari biasanya. Sigap sekali gerak mereka, hasil pengalaman beratus kali menangani berbagai kasus darurat.

“C’mon.. C’mon!”, desis dokter Rudy sambil melirik monitor di atas kepala pasiennya,
“Jangan menyerah sekarang, please!”

Dentang-denting gunting dan berbagai peralatan memenuhi ruang operasi yang terang berderang tetapi mencekam itu. Walau sudah berkali-kali ikut dalam operasi seperti ini, suster kepala terkadang ikut tegang juga. Apalagi kalau pasiennya muda belia seperti yang sekarang tergeletak di meja di depannya. Betapa sayangnya kalau tubuh tegap penuh vitalitas itu harus kehilangan roh semuda ini. Padahal, pasti banyak yang masih bisa dikerjakannya dalam hidup.

**********
 
“Perdarahannya berhenti, Dok!” lapor suster kepala; ada nada harapan di suaranya.

Dokter Rudy cuma bergumam, tetap tekun menjahit luka yang menganga di dahi Kino.

“Jantungnya tetap tidak stabil, Dok!” lapor suster yang lain. Suster kepala menengok ke monitor, dan wajahnya langsung tersaput risau.

“C’mon.. C’mon!”, desis dokter Rudy sambil melirik monitor di atas kepala pasiennya,
” Hang in there, buddy!”

Dokter itu berharap agar kemauan hidup pasiennya muncul di saat kritis ini. Jika tidak, ia kuatir pemuda ini akan tergelincir ke alam coma. Ia belum tahu status kerusakan pada otak pasiennya; ia masih berkonsentrasi menstabilkan tubuhnya yang banyak kehilangan darah. Kalau benturan ke aspal itu sampai menimbulkan luka di jaringan otaknya, dan kalau fighting spirit pemuda ini lemah…… Dokter Rudy menggeleng-gelengkan kepalanya.

“C’mon.. C’mon!”, desis dokter Rudy untuk kesekian kalinya,
“Jangan menyerah sekarang, please!”

**********
 
Apakah kesedihan bisa dinyanyikan dengan nada riang?

Kino menebar pandangan ke sekelilingnya. Ia mendengar suara-suara nyanyian. Ia tidak bisa memastikan darimana datangnya, tetapi suara itu jelas sekali di telinganya. Ia juga tidak bisa memastikan apakah itu betul sebuah nyanyian, atau kidung, atau gumaman …. Dan apakah itu sebuah kesedihan yang diartikulasikan lewat keriangan… atau sebuah rasa gembira yang dinyanyikan dengan sedih.

Kino duduk di sebuah batu besar berwarna hijau pekat yang tiba-tiba sudah ada di sebelahnya. Ia kembali memperhatikan kedua ujung lapangan abu-abu pekat tempat kini ia berada. Ia kembali bertanya-tanya: kemana sebaiknya aku melangkah. Ke sinar yang lembut ramah itu, atau ke tangga yang gelap misterius itu?

********

“Siapkan oksigen ekstra!” perintah dokter Rudy sambil menyodorkan wajahnya ke suster kepala yang dengan sigap melap keringat dari wajah dokter muda itu. Perawat yang lain segera sibuk menjalani perintah.

“Perdarahan sudah berhenti. Balut lukanya dengan baik!” perintah dokter Rudy lagi. Phew! desahnya dalam hati. Luka itu begitu mengerikan dan begitu cepat menumpahkan darah. Untung pasiennya termasuk kategori sangat sehat, sehingga masih bisa bertahan. Sekarang tinggal menstabilkan terus jantungnya. Baru kemudian memeriksa sejauh mana kerusakan di jaringan otak.

“Persediaan darah cukup?” tanya dokter Rudy yang dijawab dengan anggukan suster kepala.

“Good!” kata dokter itu,
“Bawa dia keluar dari ruang operasi. Awasi terus!”

Dokter muda ini harus menangani pasien berikutnya. Ia kini tinggal berharap pasien yang barusan keluar itu tidak terlalu mengalami kerusakan di kepala. Dengan begitu, recovery bisa lebih cepat.

********
 

Ada sebuah taman kecil asri penuh bunga warna-warni dikelilingi satu-dua pasang kupu-kupu putih kuning. Letaknya tak jauh dari kamar tempat Kino berbaring menunggu kesembuhannya. Dari jendela kamar itu, sebenarnya Kino bisa melongok ke taman, tetapi dengan tubuh lemah dan kepala dibalut perban, ia tidak bisa banyak bergerak. Hanya saja, Kino bisa mencium kesegaran datang setiap kali angin berhembus dari arah taman.

Di taman itu pula kini duduk Alma dan Trista, pada sebuah bangku kayu bercat putih, di bawah satu-satunya pohon di taman kecil itu: sebuah pohon sengon yang tampaknya sudah berusia panjang, dengan daun amat lebat menciptakan keteduhan.​

Ini hari ke-9 sejak Kino lolos dari maut, dan kali kedua Alma datang ke kota B untuk menjenguknya. Ini pula perjumpaan kedua Alma dengan wanita cantik mempesona yang ternyata kekasih Kino itu. Pada pertemuan pertama, keduanya tak banyak bercakap, selain karena masih tegang menunggu nasib Kino, juga karena memang tak banyak waktu untuk bercakap-cakap.​

Tadinya, Alma hendak memanggilnya “mbak”, walau dari raut dan penampilan Alma yakin wanita cantik ini seusia dengannya. Tetapi ia tidak jadi menggunakan sebutan itu. Ternyata Alma benar, usia mereka tak jauh berpaut, karena Trista cuma lebih dahulu lahir 5 bulan dari Alma. Menurut Trista,​

“Aku hanya lebih dahulu menikah; itu pun karena desakan keluarga….” Terus terang, pertamakali mereka berjumpa, Alma terusik oleh rasa cemburu. Hatinya sempat bergelora dan menyergah-marah,
“Pantas Kino melupakanku!”. Tetapi kemudian, setelah mendengar cerita perjumpaan Kino dan Trista, gadis itu seperti diguyur air sejuk yang memadamkan kecemburuannya. Dari cerita itu, Alma justru menyimpulkan: Kino berjumpa Trista pada saat yang bersamaan dengan dirinya sendiri membina hubungan kasih dengan Devan. So… who’s sorry now?​

“Aku terpikat oleh senyum dan sinar matanya yang tulus, Alma…,” kata Trista ketika mereka mulai duduk berdua, setelah makan siang dua mangkok bakso di kantin rumah sakit.​

Alma menunduk, memandangi rumput yang rebah diinjaknya… Hmm, “senyum dan sinar mata”… gumamnya dalam hati. Aku sendiri tak pernah bisa membayangkan Kino tanpa senyumnya yang tulus itu. Atau Kino tanpa sinar matanya yang tajam sekaligus membelai kalbu itu…. Pemuda itu memikat wanita dengan keduanya. Aku tak bisa berbantahan tentang yang satu ini!​

“Aku juga yang menjeratnya dengan kenikmatan…,” bisik Trista nyaris tak terdengar. Alma mengangkat mukanya, menengok memandang wanita di sampingnya yang kini menunduk memainkan saputangan di pangkuannya.​


“Maksudmu?” tanya Alma, lalu segera menyesal karena terlalu cepat bertanya! Kenapa, sih, tidak berpikir dulu sebelum bertanya! sergah hati kecilnya. Tris mengangkat mukanya, dan kedua wanita cantik belia itu saling berpandangan, bertukar sapa lewat rasa-jiwa yang tak kasat mata. Lalu Tris berucap pelan,​

“Aku berhubungan badan dengannya, … memberikan sesuatu yang terlalu berlebihan kepadanya.” Alma terperangah. Tris sendiri heran kenapa ia begitu ingin berterusterang kepada gadis yang -secara tak langsung- ia ketahui adalah bekas pacar Kino. Apakah karena mereka “senasib”, mencintai seseorang yang sedang sial terbaring di ranjang rumahsakit itu?​

“Kami terlalu banyak melakukannya dalam emosi yang berlebihan..,” ucap Tris lagi, kini tak terbendung, seperti ingin menumpah-ruahkan semua kisah hidupnya ke hadapan Alma. Baru kali ini ia memiliki keberanian-keyakinan untuk mengisahkan kasih-masyuknya kepada orang lain. Bahkan Ibunya sendiri tidak pernah tahu sejauh ini!​

“Itu mungkin semua salahku…, aku biarkan dia melakukannya tanpa banyak penolakan,” kata Tris sambil memainkan saputangan,
“Tetapi, bagaimana aku bisa menolaknya?… Aku tak pernah punya daya untuk itu, Alma…. Dia begitu memikatku lahir-batin, sehingga aku tak pernah bisa memisahkan yang mana kenikmatan yang mana kecintaan!”​

Alma terdiam, terpesona mendengar kata-kata lancar mengalir dari bibir Trista yang agak bergetar itu, “Aku tak bisa tak ingin bercinta setiap kali bertemu dengannya. Bahkan dalam mimpi pun aku ingin bercinta dengannya… Aku tak tahu apa yang melanda diriku, tidak pagi tidak pula siang, kami melakukannya berkali-kali… Aku seperti tak punya apa-apa lagi selain keinginan berdua dan bercinta dengannya.”​

Sepasang kupu-kupu terbang dekat sekali di kepala Trista yang menggeleng-gelengkan pelan sambil berdesah,​

“Pernah aku mencoba tidak bertemu dengannya…, cuma dua hari, Alma… Aku tidak tahan lagi; aku cari dia di kampus atau di tempatnya kost. Bagaimana mungkin aku bisa menolaknya?”​


Alma tidak tahu harus berkata apa, tetapi mulutnya sudah berucap,
“Aku mengerti…” dan setelah mengucapkannya, lagi-lagi Alma mengumpat dalam hati: apa yang kau mengerti!?​

Tris tersenyum lembut. Alma terpesona oleh senyum itu, karena seluruh wajah Tris ikut tersenyum, terutama matanya yang indah itu memberi guratan semakin tegas pada senyumnya. Lalu Alma mendengar ucapan Tris seperti memantulkan ucapan hatinya,​

“Apa yang kamu mengerti?” Alma tersenyum kikuk dan mengakui kecerobohannya.​


“Tidak… aku hanya pura-pura mengerti. Aku hanya mencoba untuk mengerti…” katanya sambil menunduk.​


“Aku sendiri masih terus mencoba untuk mengerti..,” kata Trista, ikut menunduk memandangi rumput.​

Kedua wanita belia itu kini sama-sama mengayun-ayunkan kaki mereka, seperti sepasang bandul jam dinding yang sedang menata waktu.​


“Kamu tidak hamil…,” tiba-tiba Alma sudah berkata begitu, dan tidak ada nada jelas di sana: apakah ini pertanyaan atau pernyataan. Alma sendiri memang ingin mengucapkan kalimat itu, tetapi tak begitu yakin, untuk apa ia mengucapkannya.​


“Aku hampir hamil,” ucap Trista.​


“Kamu tidak menggugurkannya!” sergah Alma sambil memandang Tris lekat-lekat. Ini juga kalimat yang tidak jelas: mengucapkan tuduhan atau menyampaikan kelegaan?​

Trista menggeleng sambil tetap menunduk, sambil berucap pelan,
“Dua hari yang lalu aku mens… padahal sudah terlambat hampir tiga minggu.”​


“Uhhh…,” Alma menghempaskan nafasnya kuat-kuat, setelah tadi menahannya, menunggu jawaban Trista.​


“Aku juga kalut, ketika mendengar Kino kecelakaan, sementara juga tiba-tiba sadar sudah terlambat datang-bulan. Aku pikir, aku akan mengandung dan Kino akan menjadi ayah di liang kubur,” bisik Trista.​

Alma menghela nafas dalam-dalam. Betapa hebatnya segala yang terjadi dengan Kino, pikirnya. Pemuda itu hampir tewas dan hampir jadi Ayah!​

“Kami terlalu ceroboh…,” desah Trista,
“Terlalu naif.”​

“Kalian saling mencintai…,” sahut Alma. Wahai, banyak sekali kalimat Alma yang bernada tak jelas seperti ini, karena kalimat terbaru ini pun tak terlalu jelas, apakah bermaksud memuji atau justru menyalahkan.​

Apakah “saling mencintai” itu baik, jika disandingkan dengan kecerobohan dan kenaifan? Atau apakah kecerobohan -dan terutama kenaifan- adalah bagian tak terelakkan dari cinta? Trista tertawa kecil dengan tawanya yang mempesona itu.​


“Kami mungkin terlalu muda untuk itu…. Maksudku, untuk “cinta” itu…”​

“Tetapi kalian memang saling mencintai, bukan?” desak Alma, dan untuk kesekian-kalinya ia merasa tolol. Pertanyaan macam apa ini? Bloon bener gua! sergah hati kecilnya. Trista mengangkat mukanya, memandang Alma lekat-lekat. Alma pun menatap wanita di sampingnya. Keduanya tahu-tahu sudah tertawa dengan lepas!…​

Keduanya secara bersamaan melihat ada keriangan di pertanyaan yang maha-bloon itu!​

Lalu, setelah selesai tertawa, Trista berkata serius,​

“Setelah kejadian ini… Setelah melihat tubuhnya penuh darah dan tergeletak tak berdaya.. Aku jadi takut sekali mengakui cinta itu, Alma. Aku bahkan berpikir, cintaku yang sangat tulus dan sangat indah itulah yang memicu bencana ini. … Aku sampai berkesimpulan, cinta itu benar-benar pedang dengan dua mata yang tajam. Cintaku itu begitu mempesona, tetapi….” Trista terdiam. Alma menunggu akhir kalimat itu. Rasanya lama sekali.​

“Begitu mempesona, tetapi begitu mengerikan…,” desah Trista. Ada sedikit airmata terselaput di kedua bola matanya….​

 

Alma seperti tertusuk iba, merasakan bulu romanya berdiri mendengar kalimat terakhir ini.​

Diraihnya tangan Trista, lalu dicakupkannya kedua telapaktangannya di telapak tangan wanita itu. Setelah bertaut lewat sinar mata dan kata-kata, kini Alma menautkan pula wadah-fisiknya ke wanita yang mempesona ini. Kini ia bisa merasakan segalanya: cinta wanita itu pada Kino, dan ketakutannya pada maut. Wahai, itulah dua perasaan yang bisa meluluh-lantakkan apa pun!​

“Aku sangat mencintainya, Alma..” bisik Trista. Kali ini sebulir airmata sudah terbentuk di satu sudut matanya.​

Cepat-cepat Alma mengeluarkan tissu, padahal tangan Trista sudah menggenggam saputangan.​

Berebutan, keduanya menghapus airmata sebelum turun…. Keduanya tertawa lagi. Aneh, memang, sambil bersedih dan sambil tertawa. Tetapi, adakah yang tidak aneh sepanjang percakapan ini?​

“Aku tidak bisa membantah itu, Tris. Kamu memang mencintainya, dan dia mencintaimu,” ucap Alma.​

Trista menggeleng kuat-kuat,
“Tetapi aku tidak ingin mencintainya lagi…” bisiknya.​

Alma tersenyum,
“Tidak. Kamu sedang bingung, Trista. Kamu masih mencintainya, dan masih ingin mencintainya….” katanya. Dalam hati ia berbisik pula… hmmm.. look who’s talking….​

Trista menggeleng lagi,
“Aku sungguh-sungguh, Alma..,” ucapnya sambil menatap sahabat barunya lekat-lekat,
“Aku tak bisa menghadapi bencana lagi… Cintaku kepadanya terlalu besar. Ia terlalu muda untuk sebuah cinta yang begitu mencekam kalbu. Ia masih punya jalan panjang…”​

Alma terdiam, kini menyadari betapa seriusnya wanita di hadapannya.​

“Aku cuma tidak tahu,” desah Trista, “…tidak tahu, bagaimana menyampaikan ini kepada Kino. Bukan saja aku tak tahu apa reaksinya.. tetapi aku sendiri tak tahu apakah aku bisa menyampaikannya…”​

“Kamu masih bingung, Tris..,” ucap Alma mencoba menghibur.​

“Tidak, Alma. Kamu belum mengerti seluruh persoalanku,” potong Trista, lalu ia bercerita panjanglebar tentang pernikahannya, tentang Sony dan Ria, dan tentang rencana mereka pergi ke London. Semuanya ia ceritakan, termasuk kecelakaan maut yang merengut nyawa kakaknya, dan yang akhirnya mengurungnya dalam sangkar pernikahan.​

Alma tertegun. Memang, baru kali ini ia mendapatkan gambaran utuh tentang hubungan Kino dengan Trista. Ia sempat tahu sepintas, bahwa Kino menciptakan semacam skandal di kalangan sahabatnya ketika berpacaran dengan seorang yang sudah berkeluarga, tetapi ia belum pernah mendengarnya langsung dari Trista.​

Kini ia seperti membaca sebuah buku lengkap, dari Kata Pengantar sampai Daftar Bacaan… lengkap dan jelas!​

“Lalu, apa rencanamu?” tanya Alma setelah Trista selesai bercerita dan setelah sejenak mereka berdua terdiam.​


“Aku akan pergi diam-diam setelah dia agak sembuh,” kata Trista.
“Aku tak kan sanggup berpamitan kepadanya. Begitu aku melihatnya, begitu aku ingin memeluk dan membawanya pulang!”​

 

“Dia akan sangat kecewa, Tris..,” desah Alma. Dalam hati ia berkata pula, dua kali pemuda itu kecewa. Salah satunya olehku jua!​


“Dia harus kecewa,” sahut Trista, “Dia harus marah kepadaku, harus mengutukku dan melupakan semua cintanya.”​


“Itu bukan pekerjaan yang mudah,” kata Alma.​


“Ia bisa menghadapi maut,” sergah Trista, tiba-tiba penuh determinasi dan ketegasan, “Ia pasti bisa menghadapi sekadar kehilangan kekasih…”​

“Tetapi ia bisa menghadapi itu semua karena cintanya, bukan? Kalau ia kehilangan kamu, ia mungkin akan kehilangan segalanya!” kata Alma, kini juga penuh determinasi untuk membela Kino. Ia tidak ingin Kino kecewa lagi… dan bukankah ini adalah rasa bersalah juga!​

“Aku pasti bukan satu-satunya yang ia cintai!” sahut Trista sengit.​


“Itu cuma dugaanmu, Tris!” sergah Alma tak kalah sengit.​


“Dia masih punya kamu!” tiba-tiba Trista berkata begitu. Alma terperanjat. Lalu Trista juga terperanjat.​

“Kamu betul-betul sedang bingung!” kata Alma sedikit ketus. Tersinggung juga ia mendengar nada sengit di ucapan Trista yang terakhir. Ucapan itu seperti hendak menghakimi perasaannya sendiri. Alma tak terlalu suka dihakimi, walau ia sering bertanya-tanya tentang sejauhmana Kino masih mencintainya.​

“Maaf…,” bisik Trista setelah sadar apa yang diucapkannya. Alma menghela nafas panjang dan menghempaskannya dalam hembusan kuat.​


“Tak apa…, kamu memang sedang bingung,” katanya.​


Trista ikut menghela nafas, lalu berkata, “Maaf kalau aku melibatkan kamu, Alma. Tetapi kepada siapa lagi aku harus bertukar-pikiran..”​

Alma tersenyum lembut, merasa bersalah kalau menambah kalut pikiran Trista.
“Sudahlah… lupakan yang barusan itu. Aku mau dilibatkan, kok!” katanya.​


“Tahukah kamu, kenapa aku langsung merasa dekat kepadamu?” tanya Trista sambil memandang dengan matanya yang jernih itu.​

Alma menggeleng. Ia sendiri merasa dekat dengan Trista karena terpesona oleh cinta wanita itu kepada Kino. Ia melihat seorang bidadari yang dengan luarbiasa mengorbankan segalanya demi cinta kepada seorang pemuda yang sebetulnya tak punya apa-apa. Sekarang, apakah Trista merasa dekat kepadaku karena…..​

Belum sempat Alma menyelesaikan dialog di hatinya, terdengar Trista berkata pelan namun tegas, “Karena kamu masih mencintainya…”​

“Ah!… Kamu mulai lagi!” sergah Alma sengit, tetapi kali ini dengan senyum merebak di kedua matanya!​

Trista tertawa dan membiarkan Alma mencubit lengannya. Tidak sakit, dicubit oleh seseorang yang tiba-tiba ada dekat di hatimu! sergah hati kecilnya.​

“Percakapan ini sudah kelewatan!” sergah Alma sambil mencubit keduakalinya.
“Kita tengok Kino, yuk?!”​

Trista membiarkan Alma menarik tangannya, bangkit dan terseret mengikuti langkah calon dokter yang rupanya sudah membiasakan diri untuk tergesa-gesa itu. Berdua mereka melintasi taman dengan cepat, menuju bangsal Melati, tempat Kino beristirahat.​

Sewaktu mereka masuk, Ayah Kino sedang bersiap keluar. Trista mengangguk sopan, dan lelaki yang masih tegar tetapi selalu tampak letih itu menjawab dengan senyum ramah. Lelaki itu dalam berbagai kesempatan telah akrab berbincang dengan pacar anaknya -si bidadari itu. Tetapi ia belum tahu cerita keseluruhan, karena terlalu risau memikirkan keselamatan Kino. Bahkan sampai kini ia belum begitu yakin, betulkah yang dimaksud dengan “pacar” itu adalah sebagaimana yang ia pahami dulu waktu berpacaran dengan Ibu Kino? Ataukah sudah ada definisi baru tentang “pacar”? Dan bagaimana pula dengan Alma, gadis manis sekota-kelahiran itu? Apakah dia juga “pacar”?​

Untuk lelaki yang lahir di “Jaman Belanda” itu, sudah tentu segala sesuatunya kabur belaka. Ia tak bisa menangkap nuansa lain, selain sebagaimana yang ia ketahui dulu-dulu itu. Tigapuluh atau empatpuluh tahun yang lalu, “pacar” atau “cinta” tidaklah terlalu sulit dimengerti!​

*******​

 

Ketika Kino membuka matanya, wajah itu sudah ada di depannya. Senyumnya yang indah itu sudah pula ada di sana. Matanya yang bening bagai telaga itu berkerejap mempesona.​

“Hai..,” sapa Trista lembut sambil menggenggam jemari Kino yang terasa dingin. Sesekali ia itu mengusap punggung tangan pemuda kesayangannya itu, menebarkan kehangatan.​


“Selamat pagi, bidadari..,” bisik Kino sambil tersenyum,
“Atau selamat siang?”​


“Sudah hampir sore,” ucap Trista pelan, mengangkat tangan dalam genggamannya, menciumi jari-jari Kino dengan penuh kasih. Bau obat memenuhi hidungnya, tetapi ia terus mencium.​


“Sendiri?” tanya Kino lemah. Susah sekali rasanya berbicara, tetapi ia ingin banyak berbicara dengan orang yang tak pernah berhenti mempesonanya ini. Trista menggeleng, lalu menunjuk dengan dagunya ke arah ujung bangsal. “Ada Alma di sana, sedang ngobrol dengan dokter Rudy,” katanya.​

Kino mencoba bangkit dan menengok, tetapi lehernya terasa kaku. Ia meringis kesakitan.​

Trista segera menyuruhnya tidur kembali.
“Nanti dia ke sini. Ngga sabar amat, sih!” goda Trista sambil membantu Kino meletakkan kembali kepalanya di bantal.​

Kino tertawa kecil, itu pun dengan meringis lagi,
“Aku belum sempat melihat dan berbicara dengan jelas kepadanya,” kata Kino, karena memang sejak kondisinya membaik, Alma pulang ke Ibukota dan sekarang kembali lagi untuk menjenguk.​


“Tuh… dia datang,” kata Trista melihat Alma sudah selesai berbicara dan sedang melangkah menuju ke arah mereka.​

Tak lama kemudian Alma tiba di sisi ranjang, berdiri di sebelah Trista. Ah, Kino melihat wajah itu lagi. Masih seperti dulu. Manis dan innocent, walau kini tampak jauh lebih dewasa.​

“Halo, Kino…,” sapa Alma dengan jantung berdegup agak lebih kencang dari biasanya. Baru sekarang ia bisa melihat Kino dalam kondisi “normal”, setelah sebelumnya wajah dan kepala itu penuh darah. Baru sekarang ia bisa melihat kembali matanya yang …. Ah! masih seperti dulu…. memandangnya dengan pandangan yang bisa membuat lemas kedua lututnya!​


Kino tersenyum riang melihat gadis yang dulu selalu menggamit lengannya kalau memintas di pematang sawah itu.​

“Sudah periksa jantung dan paru-paru saya, Dok?” tanya Kino menggoda.​

Alma dan Trista tertawa.
“Persoalannya bukan di jantungmu, Kino!” sergah Alma sambil menahan senyum,
“Tetapi di kepala kamu!”​

Kino meringis, merasakan memang kepalanya berdenyut-denyut.
“Bisa dicopot sebentar, untuk diperbaiki?” tanyanya.​


“Bisa!” sahut Alma cepat,
“Nanti aku panggil tukang tambal ban di depan rumahsakit!”​

Trista tertawa terbahak. Kino cuma bisa meringis. Alma tersenyum, memandang lekat-lekat wajah orang yang dulu pernah dikasihinya sepenuh hati. Ah,… betulkah penggunaan kata “pernah” itu? bisiknya dalam hati.​

“Kenal Trista di mana?” tanya Kino kepada Alma ketika lelucon telah reda. Ini memang pertanyaan yang tadinya ingin ia ucapkan pertamakali.​

“Kamu yang mengundang kami datang berdua, Kino!” kata Trista sambil memberi tempat kepada Alma untuk duduk di sebelahnya, di kasur tempat Kino berbaring. Kino tersenyum, memahami sepenuhnya gurauan kekasihnya.​


“Trista…, ini Alma pacar saya di SMA,” katanya, “Alma…., ini Trista pacar saya sekarang.”​

Alma mencibirkan bibirnya yang menggemaskan itu,
“Di SMA juga ngga penuh… Cuma di kelas tiga, kan!?.” katanya.​


Kino tersenyum sambil meringis,
“Tetapi kamu naksir-nya sejak kelas satu, kan?!”​


“Enak aja!” sergah Alma merajuk, “Aku kecantol-nya juga karena kamu tukang camping. Lumayan, kan, punya pacar yang bisa bantuin pasang tenda!”​

Trista tertawa riang mendengar perdebatan “anak-anak” itu. Dia sendiri tidak mengalami masa SMA seindah Kino dan Alma. Sekolahnya dulu di sekolah khusus anak-anak wanita. Sungguh senang rasanya mendengar sekelumit kisah riang dari masa penuh keindahan itu!​

 

Lalu Kino dan Alma terlibat pembicaraan tentang teman-teman mereka. Dengan bersemangat keduanya saling menceritakan alumnus yang sempat mereka temui di masing-masing kota tempat menuntut ilmu.​

Kino bercerita tentang si Wati, gadis paling kurus di SMA dulu yang sekarang jadi gemuk karena tinggal dengan Pamannya yang punya restoran…​

Alma bercerita tentang si Dodi yang sekarang sibuk main band sehingga kuliahnya terkatung-katung… Sesekali mereka merujuk pula ke peristiwa-peristiwa lucu ketika masih di SMA.​

Trista mendengarkan dengan takjub, lalu diam-diam mencari alasan untuk meninggalkan mereka berdua. Ketika Kino sedang asyik bercerita, Trista menyela, “Sebentar, ya… aku mau pipis”.​

Trista menghilang cukup lama. Terlalu lama, bahkan. Sehingga ketika cerita-cerita sudah habis, Kino dan Alma terjerat sepi yang tiba-tiba tercipta.​

“Siapa sekarang…” Kino berkata pada saat yang sama dengan Alma berucap, “Aku ingin ..”​


“Ya sudah,.. kamu duluan,” kata Alma setelah tertawa.​


“Tidak. Kamu saja,” kata Kino.​


“Aku sudah lupa, mau bilang apa,” kata Alma berbohong. Ia sedang menyusun kekuatan hati untuk mengatakan sesuatu tentang surat yang tak pernah terkirim itu!​


“Baik. Kalau begitu, aku yang tanya dulu, ya!” kata Kino, lalu segera menyambung, “Siapa pacarmu sekarang?”​

“Aku sudah menulis surat tentang itu…,” kata Alma tak langsung menjawab pertanyaan Kino, sehingga pemuda itu mengernyitkan dahinya tak paham. Rasanya ia tak pernah menerima surat “tentang itu”. Tentang apa?​

Alma memandang kedua mata Kino yang terheran itu. Lalu berucap pelan,
“Aku sudah akan bertunangan dengannya, Kino… Aku pernah menulis surat tentang dia, tetapi surat itu tak pernah aku kirim.”​


“Kenapa tidak dikirim?” tanya Kino membalas tatapan Alma. Sejenak keduanya hanya bertatapan, saling mempertukarkan kata-kata bisu yang diambil dari memori 5 atau 6 tahun silam. Lalu Alma menunduk dan berucap pelan, “Aku tak tahu, kenapa surat itu tak pernah terkirimkan. Sungguh-sungguh tak tahu…”​


Terdengar langkah-langkah mendekat. Trista sudah selesai dengan urusannya. Ternyata ia tidak cuma ke toilet, tetapi juga ke toko mini di sebelah rumahsakit. Di kedua tangannya kini ada bungkusan buah-buahan. Kalau sudah begitu, Trista memperlihatkan sekali tingkah ke-ibu-annya!​

Percakapan Alma dan Kino tentang surat itu pun terhenti. Kino masih punya banyak pertanyaan, tetapi ia tak ingin mengulas hal ini di depan Trista. Sedangkan Alma memutuskan bahwa ia sudah cukup mengatakan yang sesungguhnya. Ia tak akan mengungkit hal itu lagi. Ia sendiri tak pernah tahu kenapa surat itu tidak jadi dikirim!​

Lalu percakapan-percakapan ringan melanda mereka bertiga. Sambil memaksa Kino makan buah, Trista “bersekutu” dengan Alma menggoda Kino yang dengan sabar meladeni celoteh dua wanita penuh pesona itu. Baginya, tak apalah digoda sehari penuh, sebulan atau setahun bahkan, oleh dua orang yang memberikan padanya apa arti kasih itu!​

Kalau tidak diperingatkan oleh dokter Rudy, mungkin Alma dan Trista betul-betul menggoda Kino sampai pagi. Dokter Rudy mengingatkan, Kino perlu banyak istirahat.​

Trista buru-buru minta maaf, dan Alma tersipu malu ditegur oleh “senior”-nya.​

Akhirnya, keduanya pulang. Alma berjanji menerima tawaran Trista untuk menginap di rumahnya yang luas itu.​

Kino pun beristirahat sendirian. Malam itu, entah kenapa, ia menemukan makna kesepian yang baru. Begini kah rasanya ditinggal sekaligus -secara bersama- oleh dua orang yang engkau kasihi? tanyanya dalam hati. Sampai ia tertidur, belum ada jawaban untuk tanya itu.​


T A M A T
 
Bimabet
Terima kasih untuk kripik dan masyuk'annya, dan juga like-nya, di cerita copas ini, suhu-suhu semua. Maap blm bisa membalas satu per satu.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd