Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Kino dan Tris (COPAS)

queenoftherainitugue

Semprot Kecil
Daftar
9 Sep 2020
Post
55
Like diterima
164
Bimabet

Perjumpaan dengan Bidadari​


Sore itu cerah dan sejuk sekali di kota B; langit tampak terang tetapi angin dingin berhembus membelai pucuk-pucuk pohon besar yang memenuhi kampus. Sambil bersiul-siul sembarangan, Kino meninggalkan ruang kelas, menuju gerbang utama untuk pulang. Teman-teman setianya, Tigor dan Ridwan punya acara tersendiri, sementara Rima tidak masuk hari ini karena flu. Kino pun malas pulang ke tempat kostnya, dan memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar pertokoan pusat kota sendirian, sekedar melihat-lihat pajangan di toko, atau mungkin membeli kaset kalau ada yang bagus.​

Senang juga rasanya sesekali berjalan sendirian, tidak terikat teman dan tidak punya tujuan jelas. Kino seakan-akan membiarkan kakinya melangkah tanpa perintah otaknya. Mulanya ia menyusuri toko-toko di pinggir jalan yang berjualan kain, pakaian dan perlengkapan rumah tangga. Sesekali ia berhenti, melihat ada obral jeans, tetapi tidak membeli karena toh masih juga mahal. Kemudian ia masuk ke sebuah mall, membiarkan tubuhnya dibawa lift ke lantai 5, tempat kebanyakan toko musik berada. Di sini dia berlama-lama, melihat-lihat kaset terbaru, tetapi memutuskan untuk tidak membeli.​

Lalu ia turun ke lantai dua, tempat sebuah pasar swalayan menggelar barang dagangan mereka seantero lantai. Kino sendiri tidak tahu, untuk apa ia ke sini, karena ia memang tidak bermaksud membeli apa-apa. Atau mungkin membeli minuman ringan, pikir Kino sambil berjalan menuju rak minuman.​

Seketika itulah, saat Kino membelok ke gang nomor 5 yang penuh berisi jejeran minuman, dia baru tahu kenapa kakinya melangkah ke swalayan ini. Kakinya ternyata lebih punya insting dibandingkan otaknya. Kakinya ternyata lebih cerdas daripada kepalanya, dan tidak pelu malu kalau ada yang mengatakan “otakmu di dengkul”, bukan? Karena kini di depannya, tidak lebih dari 5 langkah darinya, berdiri Tris, sang bidadari itu!​

Kino sejenak menghentikan langkah, merasakan jantungnya berdegup keras sekali.​

Tris yang sedang memilih-milih minuman sendirian (mungkin Ria menunggu di rumah) segera menengok karena merasa ada orang yang memandangnya.​

“Hai!” sapa sang bidadari itu ringan sambil melepas senyumnya yang mempesona, sambil menembakkan sinar matanya yang melebihi tajam sinar laser dalam robot-robot di film Spielberg, sambil mengibas rambutnya dalam gerakan indah seperti penari khayangan itu, sambil…​

“Kenapa bengong seperti itu?” ucap Tris sambil memutar tubuh menghadap Kino. Senyumnya masih berkembang seakan-akan tersenyum adalah bagian dari gaya hidupnya.​

Kino gelagapan, menyahut sekenanya. Entah apa yang diucapkan, dia sendiri tidak tahu. Kata-kata keluar begitu saja dari mulutnya, dan Kino mengeluh dalam hati, mengapa sekarang semua anggota badanku bergerak sendiri-sendiri. Kakiku melangkah sendiri, kini mulutku juga bertindak serupa. Jantungku apalagi, berdegup cepat tak terkendali.​

“Oh, begitu!” sahut Tris sambil tertawa kecil. Ah, Kino mengeluh lagi dalam hati. Apa yang tadi kuucapkan sehingga ia tertawa. Pastilah sesuatu yang konyol!​

“Sedang apa?” akhirnya Kino berhasil mengeluarkan kata-kata yang dia kenali artinya.​

“Mencari minuman untuk pesta ulang tahun Ria,” kata Tris sambil mulai kembali mengamati jajaran rak di depannya. Kino melangkah mendekat, berdiri di samping kereta belanjaan yang tampak penuh oleh makanan kecil dan permen coklat.​

“Ulang tahun ke berapa?” tanya Kino, tak tahu musti bertanya apa lagi.​

“Lima,” jawab Tris, membuat otak Kino tiba-tiba berhitung cepat. Kalau Ria berusia lima, berapa usia bidadari ini sebagai ibunya? Mungkin 25, mungkin 30, mungkin 40 … ah, tak mungkin 40. Tak mungkin juga 30.​

“Mau beli apa?” tanya Tris.​

“Tigapuluh ..,” jawab Kino kembali gelagapan. Tris menoleh dengan tolehannya yang mempesona itu, memandang Kino dengan matanya yang indah itu, dengan dahi berkernyit. Kino tiba-tiba sadar akan kelancangan mulutnya yang kembali memberontak dari otaknya itu. Tris tertawa renyah.​

“Apa yang tigapuluh?” tanyanya masih dengan dahi berkernyit.​

“Tigapuluh botol minuman,” ucap Kino sekenanya,​

“Maksudku, aku sedang berpikir untuk membeli tigapuluh botol minuman…” Tris menghentikan tawanya, Kino mengeluh dalam hati: duh, janganlah berhenti tertawa!​

“Buat apa minuman sebanyak itu?” tanya Tris.​

“Aku …,” Kino gelagapan lagi,​

“Aku tidak bermaksud membeli… Aku baru berpikir untuk membeli.”​

Dan Tris tertawa kecil lagi, dan Kino bersukacita lagi mendengar tawa kecil yang merdu itu,​

“Kamu terlalu banyak berpikir,” kata Tris sambil mengambil beberapa botol minuman beraroma jeruk.​

“Bisa aku bantu?” cepat-cepat Kino mengalihkan topik. Dia malu sekali. Tris tersenyum. Dalam hati, ia berpikir pemuda di sampingnya ini sungguh lucu. Tetapi ia menarik juga. Wajahnya cakep dan air mukanya polos seperti bayi. Apalagi kalau sedang memerah karena malu. Terlebih lagi, pemuda ini kelihatannya baik, terutama karena berhasil menarik simpati Ria. Menurut pengalaman Tris, jarang pemuda bisa menarik simpati Ria yang bandel itu. Entah kenapa, pemuda ini lain.​

“Boleh,” jawab Tris, “Tolong ambilkan minuman yang di atas itu. Aku tidak bisa menjangkaunya.”​

Dengan sigap Kino memenuhi permintaan bidadarinya. Ia lebih jangkung dari Tris, yang cuma setinggi kupingnya. Hm,.. entah kenapa Kino langsung berpikir tentang bagaimana harus berjalan di sampingnya, dan bagaimana cara terbaik untuk memeluk bahunya. Astaga, memeluk bahunya? Sergah Kino dalam hati, darimana pikiran itu datang. Duh, kini otakku juga memberontak!​

Begitulah akhirnya, Kino mengiringi Tris berbelanja memenuhi kereta dorongnya dengan berbagai keperluan pesta. Pemuda ini bersukur dalam hati. Bersyukur bahwa Ridwan dan Tigor punya kegiatan lain. Bahkan bersyukur Rima sakit flu… jahat sekali kamu Kino, sergah hati kecilnya. Terlebih-lebih, ia bersyukur pada kedua kakinya, yang dengan tanpa perintah telah membawanya ke pertemuan ini. Sebuah pertemuan ringan yang sangat berarti bagi Kino. Mengapa? Karena tiba-tiba Tris merasa haus.​

“Aku mau minum es kelapa muda,” ucap Tris ketika mereka sedang menunggu giliran membayar di kasir. Kino berdiri di belakang Tris, berdoa agar kasir bekerja selambat mungkin.​

“Boleh aku ikut?” ucap Kino dengan keberanian yang menyebabkan lututnya agak sedikit lemas dan jantungnya berdegup keras. Bagaimana kalau ia menjawab “tidak”?​

Tris tersenyum tanpa terlihat Kino. Dalam hati, ia mengagumi juga keberanian dan ketegasan pemuda yang tampaknya pemalu ini. Dalam hati pula ia bergumam, mungkin ada baiknya aku mengenal dia. Entah apa perlunya mengenal dia, tetapi entah apa perlunya pula menolak tawaran berteman. Pemuda ini tampaknya baik, pikir Tris, dan tentunya enak juga minum ditemani seseorang. Minimal ada yang mengangkat tas-tas plastik belanjaanku!​

“Kamu suka kelapa muda?” jawab Tris tidak langsung meng-iya-kan permintaan Kino.​

“Suka. Aku juga suka es alpokat. Atau es campur. Atau es dawet,” sahut Kino dengan lancar. Apa pula maksudnya membuat daftar kesukaan seperti itu.​

Tris tertawa kecil lagi dengan langgam dan lagu yang selalu mempesona Kino itu. Ah, hari terasa lebih indah dari biasanya. Tetapi rasanya cepat sekali giliran membayar tiba, dan cepat sekali kasir itu bekerja menghitung belanjaan Tris, lalu belanjaan Kino. Mengapa mereka harus cepat-cepat seperti itu, sergah Kino dalam hati. Pemuda ini masih ingin berdiri lama-lama di belakang Tris, dekat sekali sampai ia bisa mencium keharuman parfumnya yang lembut. Dekat sekali sampai ia bisa melihat samar-samar tengkuknya yang putih mulus dan bahunya yang tak tertutup, melengkung indah bagai patung marmer hasil pahatan maestro Italia.​

*****​

 
Terakhir diubah:

Warung tempat mereka minum tidaklah terlalu besar dan terletak di lantai dasar mall. Ada sebuah meja dengan dua kursi di dekat jendela kaca besar lewat mana Kino bisa memandangi keramaian di luar. Tris meneguk es kelapa muda dalam gelas besar, dan Kino memilih minuman ringan dingin tanpa es karena alpukat tidak ada dan dawet terlalu mengenyangkan.
“Bagaimana kabarnya Ria?” tanya Kino dengan kesungguhan ingin mendengar cerita tentang anak kecil yang lucu itu. Ini memang bukan basa-basi. Kino memang menyukai anak perempuan itu, seperti ia juga menyukai ibunya. Ah, betapa ganjil rasanya seorang mahasiswa menyukai seorang ibu beranak satu!
“Baik-baik saja,” jawab Tris sambil memainkan sendok, “Tetapi tambah nakal dan tambah banyak permintaanya. Kemarin dia minta dibelikan bebek, katanya untuk ditaruh di bak mandi.”
Kino tertawa, membayangkan betapa nakal dan cerdasnya permintaan itu. Ketika anak-anak lain meminta mainan atau permen, Ria justru meminta bebek. Sebentar lagi anak itu pasti akan meminta kuda poni atau beruang.
Lalu Tris bercerita panjang lebar tentang anak itu, dan Kino dengan senang hati mendengarkannya. Mulai dari kebiasaan buruk Ria menggigit ujung bajunya, sampai kesukaan Ria pada telur mata sapi yang disiram kecap manis, sampai ke kamarnya yang tidak pernah rapi. Kino terpesona, menopang dagu di tangannya, memandang bidadari di hadapannya berkicau ramai dengan penuh semangat. Terutama, Kino terpesona melihat muka Tris yang selalu tampak bercahaya-cahaya. Lebih dari sekali pemuda ini tidak menyimak satu pun kalimat Tris karena terpaku pada wajahnya.
Setelah beberapa lama bercerita, Tris pun sadar bahwa Kino tidak terlalu menyimak. Ia juga tiba-tiba malu sendiri karena memborong pembicaraan. Tetapi yang lebih membuatnya berkesan adalah cara pemuda di hadapannya ini memandang dirinya. Tris tahu, dirinya adalah seorang wanita yang menarik. Hidup telah mengajarinya, sejak kecil, bahwa ia lahir dengan kecantikan yang mempesona. Orang-orang di sekelilingnya telah menunjukkan padanya kekaguman yang terkadang berlebihan. Maka kalau Kino terpesona, Tris tak terlalu heran. Yang membuatnya berkesan justru adalah cara pemuda ini menyatakan kekagumannya. Pemuda ini mengungkapkannya dengan halus, menyembunyikannya di balik kegugupan dan kecanggungannya, membuat Tris merasa lebih dihargai.
“Kenapa kamu memandang seperti itu?” ucap Tris tiba-tiba di tengah ceritanya. Ia sengaja ingin “menembak” pemuda ini, ingin melihat reaksinya. Kino pun memperlihatkan reaksi alamiahnya.
“Eh … ya.., aku,” jawab Kino tergagap,
“Apa?” Tris tertawa lepas, tidak saja dengan mengeluarkan suaranya yang renyai merdu itu, tetapi juga dengan matanya yang berbinar, dengan bibirnya yang basah, dengan rambutnya yang tergerai lepas, dengan bahunya yang berguncang-guncang mempesona. Kino benar-benar tak sanggup berkata-kata berhadapan dengan mahluk yang sejak lama memenuhi mimpinya ini.
“Kamu terlalu sering bengong. Apakah di kuliah mu ada pelajaran bengong?” ucap Tris setelah berhasil menghentikan tawanya. Kino menunduk, merasakan mukanya terbakar. Sialan, sergahnya dalam hati, bidadari ini ternyata nakal juga.
“Dan kamu juga memandang saya seperti memandang mahluk angkasa luar,” sambung Tris lagi sambil menahan tawa melihat Kino mati kutu seperti itu.
Senang juga rasa hatinya menggoda pemuda cakep yang pemalu ini. Lagipula, ia diam-diam ingin menguji mental pemuda ini. Entah kenapa, banyak sekali yang ingin dilakukannya terhadap pemuda ini. Tris, bisik hati kecilnya, hati-hati lah dengan kesenanganmu. Tetapi kenapa musti hati-hati?
Kino akhirnya memberanikan diri memandang lurus ke mata Tris. Dia menghela nafas dalam-dalam, berharap agar jantungnya bisa berdetak lebih perlahan. Lalu ia menyusun kekuatan hati, sebelum akhirnya berucap pelan tetapi cukup jelas,
“Kamu memang seperti bidadari.”
“Apa?” kini giliran Tris yang terkejut. Pemuda ini punya keberanian juga rupanya! Kino mengumpulkan lagi kekuatan hatinya, lalu berucap lebih keras,
“Kamu seperti bidadari.”
Tris menghentikan tawa dan senyumnya. Oh, bisiknya dalam hati, pemuda ini mengucapkan kalimat itu seperti sedang mengucapkan sumpah perkawinan. Pelan tetapi tegas. Lembut tetapi penuh kesungguhan. Nah, apa yang akan kau lakukan dengan pemuda ini, Tris! Sergah hati kecilnya. Kini sudah kau terima jawabannya, apa yang akan kau lakukan?
Kino kuatir melihat Tris tiba-tiba diam dan mengubah tidak saja sinar mukanya tetapi juga duduknya. Kini bidadari itu tidak lagi duduk santai, melainkan menegakkan tubuhnya dan mencurahkan perhatian ke minumannya.
“Maaf,” buru-buru Kino berucap hampir tak terdengar. Ia kuatir bahwa ucapannya terlalu lancang. Ya, memang tidak lumrah mengucapkan kata-kata seperti itu kepada seorang wanita yang sudah bersuami dan beranak satu, bukan? Tris berdehem membersihkan tenggorokannya yang tiba-tiba terasa gatal. Lalu ia tersenyum, merasa agak menyesal harus memulai permainan yang kini ternyata tidak begitu lucu itu. Ucapannya juga pelan nyaris tak terdengar,
“Tidak apa-apa.”
Lalu kecanggungan memenuhi mereka, dan Kino menyesal bersikap terlalu terus terang. Lihatlah apa yang kau lakukan Kino, kau merusak suasana dengan ucapan lancangmu itu. Hatinya penuh dengan makian-makian. Oh, pikir Kino risau, kini hatiku pun ikut berontak terhadap diriku.
Lalu minuman Tris habis tandas dan ia mengatakan sebaiknya ia pulang karena hari sudah mulai gelap. Kino tak bisa berbuat apa-apa lagi untuk memperbaiki suasana. Dengan enggan ia bangkit, memaksa untuk membayar minuman tetapi gagal, karena Tris menolak dan menganjurkan untuk membayar sendiri-sendiri. Kino semakin risau dan menyimpulkan tindakan Tris itu sebagai reaksi atas kelancangannya.
Lalu mereka pun berpisah. Tris naik taksi dan bahkan tidak menawarkan kepada Kino untuk ikut serta. Pemuda ini semakin terpukul walaupun ia berusaha keras menyembunyikan perasaannya dengan terus menerus tersenyum. Pastilah senyuman itu tidak bagus sama sekali.
Tris melambai dari dalam taksinya. Dilihatnya Kino berdiri di trotoar memandang terus ke taksinya sampai taksi itu hilang di tikungan. Hmm, pikir Tris dalam hati, pemuda itu pasti menyangka aku marah. Sebuah senyum manis terkembang di bibirnya. Mungkin ada baiknya ia membiarkan pemuda itu berpikiran bahwa dirinya marah. Tris ingin tahu, apa yang akan dikerjakannya. Ah, kadang-kadang ia merasa dirinya terlalu sadis, suka mempermainkan perasaan orang.
“Mau kemana, non?” tiba-tiba ucapan supir taksi membuyarkan lamunan Tris. Astaga, taksi ini berjalan keluar dari pelataran parkir mall, tetapi tidak tahu hendak kemana. Tentu saja, Tris belum menyebutkan alamatnya. Maka buru-buru ia mengucapkan tujuan dan berbisik dalam hati, hei … ternyata kamu sendiri juga terpikat pada pemuda itu. Sialan, sergah Tris dalam hati, kesimpulan itu terlalu cepat.
Tetapi, hmmm .. bagaimana kalau kesimpulan itu benar?
**********​

 

Sehabis makan siang, Kino memutuskan untuk membaca saja di kamar. Tetapi ketika ia sedang membersihkan dan membereskan tempat tidurnya, terdengar ketukan pelan di pintu. Kino yang sedang membelakangi pintu menyangka itu ibu kost, maka ia berucap tanpa menoleh,
“Sayur lodehnya enak sekali, bu.”
“Ini Indi, kak!” suara gadis itu terdengar nyaring bagai petir di siang bolong.
Kino hampir terlompat, membalikkan tubuhnya. Indi berdiri di ambang pintu, membentuk siluet berlatar belakang terik siang di luar sana. Kino memicingkan matanya, seakan ingin memastikan bahwa itu memang Indi.
“Kata Ibu kost, Kak Kino tidak kuliah dan ada di kamar,” ucap Indi masih berdiri di ambang pintu, “Maaf kalau Indi mengganggu..” (tentu saja, ini bukan Indi yang biasanya. Sejak “peristiwa lompat jendela” beberapa waktu yang lalu, Indi tidak lagi centil dan bahkan terlalu sopan).
“Eh, Indi!” ucap Kino dengan rasa kaget yang orisinal, tidak dibuat-buat, “Tumben ke sini. Ayo masuk.” Dengan canggung Indi melangkah masuk. Di tangannya ada sebuah buku dan sebuah pena. Pasti PR matematika, pikir Kino. Dan betul saja.
“Boleh tanya soal matematik, Kak?” ucap Indi dengan suara ragu-ragu, tidak dengan manja seperti biasanya. Ah, Kino sebenarnya ingin Indi kembali seperti semula. Tidak wajar rasanya mendengar suara Indi yang serba formal itu.
Kino tersenyum semanis mungkin dengan harap dapat mencairkan suasana. Lalu ia melangkah mendekat, meraih tangan Indi dan menuntunnya ke meja belajar dekat jendela. Indi menurut saja dan duduk sopan di bangku yang tersedia. Kino permisi sebentar keluar untuk mengambil kursi lain. Ketika pemuda ini kembali, Indi masih duduk diam-diam. Biasanya, gadis ini sudah bergulingan di dipannya!
Lalu Kino dengan sabar menuntun Indi menjawab 20 soal matematika di buku PR-nya. Tidak seperti biasanya, soal-soal ini memang benar sulit. Artinya, Indi memang benar-benar memerlukan bantuan, bukan sekedar mengganggunya. Dalam hati Kino tersenyum, merasa senang bahwa akhirnya hubungan mereka membaik kembali.
“Boleh Indi tanya sesuatu, kak?” kata Indi ketika soal terakhir sudah selesai. Buku PR sudah ditutup.
“Boleh,” jawab Kino pendek sambil membersihkan bekas-bekas rautan pensil yang tadi dipakainya untuk mencoret-coret jawaban.
“Kenapa waktu itu Kak Kino marah?” tanya Indi dengan suara pelan. Terlalu pelan untuk gadis yang biasanya centil itu.
Kino terdiam. Sungguh ia tidak berharap Indi bertanya tentang soal yang satu itu. Ia sendiri sampai sekarang belum tahu apa yang sesungguhnya terjadi malam itu. Tetapi Kino juga lega karena akhirnya ia punya kesempatan untuk mendiskusikan hal ini dengan Indi.
“Aku juga tidak tahu, Indi,” jawab Kino akhirnya, terus terang dan apa adanya. Indi mengangkat mukanya, menggigit bibirnya yang ranum seperti sedang berusaha menahan sesuatu. Matanya yang sebenarnya memang indah itu tampak agak basah. Ah, jangan itu lagi Indi. Jangan menangis lagi. Sergah Kino dalam hati.
“Aku sudah minta maaf, bukan?” ucap Kino buru-buru.
“Indi juga minta maaf,” ucap gadis itu pelan, lalu menunduk memainkan ujung baju seragamnya. Kino tak tega juga rasanya melihat Indi menjadi murung begitu. Maka dengan lembut disentuhnya bahu Indi.
“Sudahlah, Indi. Kita lupakan saja peristiwa itu. Sekarang Indi bisa ke sini lagi seperti biasanya, dan kita bisa berteman lagi” kata Kino.
“Tetapi Indi tidak bisa melupakan peristiwa itu,” jawab gadis itu. Kino menghela nafas panjang,
“Baiklah. Tetapi jangan sampai membuat kamu berubah seperti ini”
“Seperti apa?” tanya Indi, matanya masih berkaca-kaca.
“Seperti ini,” ucap Kino sambil mengembangkan tangannya, “Terlalu dibuat-buat, terlalu formal. Tidak seperti biasanya.”
“Kak Kino ingin Indi seperti apa?”
Ups! Kino tiba-tiba sadar bahwa gadis ini sedang membicarakan sesuatu yang sangat serius. Terlebih lagi, pertanyaan terakhir ini ternyata sulit: seperti apa Kino ingin Indi bersikap?
“Kembali seperti biasa, lah,” jawab Kino sekenanya sambil berpikir keras untuk menyiapkan jawaban berikut, karena ia tahu Indi bukan gadis yang gampang menyerah.
“Seperti dulu lagi?” tanya Indi.
“Iya. Seperti dulu lagi …,” ucapan Kino tak selesai, mengambang di tengah-tengah.
“Manja dan nakal?” tanya Indi. Wajah gadis ini menunjukkan kesungguhan. Mati aku, sergah Kino dalam hati. Gadis ini ternyata sama seriusnya dengan hakim di pengadilan yang sedang menanyai terdakwa.
“Iya… ya. Begitulah,” kata Kino cepat-cepat. Ia bangkit hendak membuang bekas rautan pensil, dan melakukannya dengan seperlahan mungkin agar bisa selama mungkin menjauh dari Indi yang masih duduk tegak di kursi.
“Tetapi Indi dulu suka sekali kepada Kak Kino. Apakah masih boleh begitu?” tanya Indi lagi. Ah, ini pertanyaan yang amat sulit buat Kino.
“Boleh saja,” sahut Kino sambil pura-pura membereskan buku-buku di rak dinding dekat pintu keluar.
“Boleh minta dicium lagi, misalnya?” tanya Indi pelan, tetapi benar-benar terasa seperti dinamit meledak dekat telinga Kino.
Kino terpaku di tempatnya berdiri. Keduanya saling memunggungi. Kino berpikir keras untuk menjawab pertanyaan itu, tetapi ia tidak bisa melihat Indi tersenyum kecil walau matanya masih basah. Gadis ini merasa “menang angin”.
Setelah sekitar dua menit, akhirnya Kino berbalik, berjalan mendekat ke meja dan menghenyakkan tubuhnya di kursi. Indi mengangkat muka, memandang dengan matanya yang menusuk tajam ke hati Kino. Nah, begitulah akibatnya kalau menganggap enteng anak SMA, pikir Kino penuh penyesalan.
“Kak Kino tidak ingin Indi seperti dulu lagi, bukan? Tidak ingin Indi menyukai Kak Kino dan minta dicium. Tak ingin Indi masuk kamar seenaknya lalu tidur di kasur Kak Kino,” ucap gadis itu dengan lancar.
Kino terpana. Ya. Memang itulah yang diinginkannya. Kenapa ia tidak berani mengucapkannya. Karena kau tak ingin Indi berhenti manja kepadamu! Sergah hati kecilnya.
“Kak Kino tidak suka sama Indi, bukan?” tanya gadis itu lagi melihat Kino diam saja. Kino menghela nafas panjang, menghembuskannya keras-keras, lalu ia menggeleng-geleng dengan kuat. “Tidak,” katanya, “Kakak suka sama Indi, tetapi juga takut kalau rasa suka itu berubah menjadi peristiwa seperti malam itu.”
“Kenapa takut?” tanya Indi.
“Karena kamu bisa hamil!” sergah Kino, lega bisa berucap terus terang.
“Tetapi kita tidak melakukan hubungan kelamin,” Indi bersikeras.
“Tetapi kamu membuka celana,” sahut Kino cepat.
“Tetapi semua anak laki selalu ingin membuka celana Indi,” sahut Indi tak kalah cepat.
“Ya ampun, Indi!” Kino menepuk dahinya sendiri, “Berapa, sih, anak laki-laki yang pernah ingin membuka celanamu?”
“Hmmm …,” Indi memejamkan matanya seperti berpikir keras, tiba-tiba ia sudah berubah menjadi centil lagi. Astaga, gadis ini cepat sekali berubah, sergah Kino dalam hati. Dan kemana sebeetulnya arah pembicaraan ini?
“Delapan!” ucap Indi sambil membuka matanya. Kino tersentak. Gila, dia sudah punya delapan mantan pacar!
“Kenapa kamu ungkapkan semua ini, Indi,” ucap Kino lirih,
“Apa yang ingin kamu diskusikan? Seks?”
Indi mengangguk. Kino terpana lagi. Celaka, kenapa aku harus punya tetangga centil dan cerdas seperti ini, keluhnya dalam hati.
“Indi ingin tahu, kenapa Kak Kino tidak meneruskan tindakan malam itu setelah tahu Indi sudah tidak bercelana dalam,” ujar gadis itu lancar, seakan-akan sedang bertanya tentang kenapa rumput warnanya hijau, atau kenapa ular tidak berkaki.
“Karena …,” Kino berhenti berucap. Ia tak tahu harus berkata apa.
“Kenapa Kak Kino tidak meraba-raba Indi di bagian itu, padahal Indi tak keberatan,” potong Indi melihat Kino tak melanjutkan ucapannya.
“Karena …,” Kino berhenti lagi. Ia betul-betul kehabisan kata-kata. Indi membawa persoalan yang jauh lebih sulit dari matematika tersulit yang pernah dipecahkannya.
“Apakah karena Kak Kino tidak pernah melakukannya? Maksud Indi, tidak pernah meraba-raba di bagian sana?”
“Aku pernah!” sergah Kino. Tetapi cuma itu yang bisa dikatakannya.
“Dengan siapa?” Indi mendesak dan tampak tenang-tenang saja. Bahkan kini duduknya pun tidak lagi tegak, melainkan sudah lebih santai.
“Dengan pacarku, tentunya!” sergah Kino lagi, “Tetapi sekarang sudah putus …,” sambungnya cepat. Ah, betulkah ia sudah putus dengan Alma ..
“Pacar Kak Kino senang diraba-raba di bagian itu?”
Kino bangkit tergesa-gesa, kursinya sampai terguling berkelontangan. Indi tersenyum melihat pemuda ini gelisah oleh pertanyaan-pertanyaannya. Dan Kino pun sadar Indi sedang menghukumnya, sedang membalas perlakuannya malam itu. Kini Kino sadar, apa yang dimaksud dengan “tak bisa melupakan” di kalimat Indi sebelumnya.
“Aku tak mau menjawab pertanyaanmu lagi!” sergah Kino akhirnya sambil mengembalikan kursi ke posisi semula. Dari nada suaranya, Indi tahu Kino tidak marah. Ucapan itu lebih berupa pernyataan menyerah daripada marah.
“Jadi, Kak Kino tidak mau lagi mencium Indi, atau meraba-raba Indi, bukan?” ucap gadis itu sambil bangkit perlahan dan mendorong kursinya dengan rapi. Didekapnya buku PR matematika di dadanya, lalu ia memutar tubuh menuju pintu keluar.
Kino terpaku di tempatnya berdiri, memandang Indi perlahan-lahan meninggalkan kamar. Ah, rasanya ada yang belum selesai dalam diskusi ini, tetapi apa? Ucap Kino dalam hati. Terburu-buru, ia menahan Indi pergi, “Jangan pulang dulu,” katanya.
Indi berbalik di ambang pintu, kembali membentuk siluet dengan latar belakang terik siang di luar sana. Kino mendekat, meraih tangan gadis itu, dan menariknya kembali ke dalam. Lalu, dengan tanpa rencana sama sekali, gadis itu sudah ada dalam pelukannya. Tanpa rencana pula, bibir gadis itu telah diciumnya. Dilumatnya dengan gemas. Tanpa rencana sama sekali, pintu kamar tiba-tiba tertutup dengan suara berdebam.
“Kak Kino..,” desah Indi ketika pemuda itu merenggangkan ciumannya, tetapi segera gadis itu terdiam lagi karena Kino kembali melumat bibirnya yang ranum membasah.
Tangan gadis itu tahu-tahu sudah memeluk leher Kino. Buku dan bolpennya jatuh berserakan di lantai. Matanya yang tadi basah kini terpejam. Indi merasa tubuhnya seperti segumpal kapas ringan yang terbawa angin terbang tinggi. Sebersit rasa nikmat yang telah lama dikenalnya kini muncul lagi di dalam tubuhnya. Ia membuka mulutnya, membiarkan lidah Kino dengan liar bermain-main di dalamnya. Ia membalas setiap pagutan pemuda itu, membiarkan tubuh keduanya pelan-pelan terbakar birahi.
Kino pun tak tahu apa yang terjadi dengannya. Begitu cepat segalanya berlangsung. Tahu-tahu tangannya sudah berada di balik beha Indi, di balik baju seragamnya yang kini sudah terbuka setengahnya. Nikmat sekali rasanya memegang daging kenyal yang membukit itu. Telapak tangannya terasa geli menyentuh putting Indi yang segera tegak tegang. Dengan gemas Kino meremas, membuat Indi mengerang pelan. Kino meremas lagi lebih keras. Indi mengerang lagi, kini disertai desah gelisah dan nafas yang semakin memburu.
Perlahan-lahan, dengan terhuyung-huyung, keduanya bagai sepakat melangkah ke arah ranjang. Tak lama kemudian, keduanya sudah bergulingan di dipan yang belum lagi sempat dirapikan itu. Kino menindih tubuh Indi sambil terus melumat bibirnya. Terus terang, bibir Indi sangat menggairahkan untuk dilumat dikulum. Ranum dan basah bagai mangga muda yang siap dirujak. Nafasnya harum memenuhi hidung Kino, membuat pemuda ini semakin mabuk kepayang. Tangannya masih pula bermain-main di dada Indi yang kini sudah terpampang terbuka, menjulang indah bergerak turun naik seirama nafasnya yang memburu. Dengan telunjuk dan jempolnya, Kino menjepit putting Indi, memilin-milinnya perlahan tetapi juga gemas.
Indi melepaskan mulutnya dari pagutan Kino karena ia ingin mengerang merasakan rasa geli yang nikmat bercampur sedikit perih datang dari puncak payudaranya,
“Ngggg … aaah!” Kino menciumi leher gadis itu, yang selalu harum sabun wangi bercampur kelembutan bayi. Perlahan digigitnya sedikit leher jenjang itu. Indi menggelinjang. Kino menggigit lagi lebih keras. Indi mengerang, berusaha menjauhi lehernya dari gigitan Kino, tetapi tidak sungguh-sungguh berusaha. Gadis itu menggelinjang lagi, merasakan dadanya diremas-remas oleh tangan Kino yang kini seperti menyebarkan bara hangat ke seluruh tubuhnya.
Tangan Indi kini merasuki rambut Kino yang mulai gondrong, lalu pelan-pelan dara itu mendorong kepala Kino ke bawah. Setengah memaksa, setengah meminta, Indi terus mendorong hingga akhirnya mulut Kino tiba di lembah payudaranya. Oh, terasa hangat nafas Kino memenuhi dada Indi. Oh, terasa semakin geli gatal puncak-puncak payudaranya, menunggu mulut yang nakal dan basah itu. Indi pun mengerang lagi, bahkan kemudian berbisik,
“Ayo, Kak … gigit lagi….”
Dan Kino pun menggigit, menyebabkan Indi menggeliat sambil mendesis menyatakan rasa nikmatnya. Lalu Kino mengangkat kepalanya, menciumi puncak payudara Indi, terutama di pangkal putingnya. Indi menggeliat lebih hebat lagi, merasakan betapa kegelian itu bagai berpusing-pusing di puncak payudaranya. Bagai angin putting beliung yang menderu-deru memenuhi dadanya. Apalagi kemudian Kino mengeluarkan lidahnya, menjilati pangkal putting dan daerah lingkaran berwarna coklat tua itu. Oh, Indi merasa dirinya dilambungkan ke langit luas. Apalagi lalu lidah itu naik ke puncak putingnya, …. Oh! … Indi menggeliat kuat, menyorongkan dadanya, sehingga mau tak mau Kino menerima putting itu di dalam mulutnya. Kino langsung menyedot kuat …. Dan Indi merasa tubuhnya seperti meledak oleh kegelian-kegatalan.
“Oooooooh! … terus Kak,” Indi mengerang mendesah,
“Terus, Kak…. Ooooh!”
Lalu Indi merasakan kenikmatan yang amat kuat seperti mendesak keluar dari dadanya, turun ke bawah menuju perutnya, terus ke bawah memenuhi pinggulnya, sebelum akhirnya bermuara di antara dua pahanya yang kini bergetar. Dengan tak sadar, Indi merenggangkan kakinya, lalu memeluk pinggang Kino dengan kakinya, menarik bagian bawah tubuh pemuda itu semakin rapat ke tubuhnya. Roknya sudah tersingkap tak karuan, menampakkan kedua pahanya yang mulus dan ditumbuhi rambut-rambut halus yang nyaris tak terlihat.
Kino merasakan pinggulnya bagai dijepit kepiting raksasa. Perutnya terasa hangat menempel di perut Indi yang terbuka. Celana jeans-nya terasa sangat sempit, terutama di bagian depan. Sejak mencium tadi, kejantanan Kino telah tegak-tegang dengan sendirinya. Kini kejantanan itu terjepit di antara lembah hangat yang tertutup nilon tipis. Nyaman sekali rasanya. Geli dan gatal pula. Kino pun mengerang.
Sambil terus menghisap-menyedot tonjolan kenyal di dada Indi, pemuda ini pun menggerakkan pinggulnya berputar-putar. Bagi Kino rasanya memang tidak begitu leluasa, mengingat jeans yang dikenakannya terlalu tebal. Tetapi bagi Indi, gesekan jeans yang menyembunyikan tonjolan keras hangat itu sangatlah menimbulkan gairah. Indi merasakan selangkangannya mulai basah dan ada rasa gatal yang minta digaruk di bawah sana. Ia pun mengeratkan jepitan kedua pahanya, menekan Kino lebih lekat lagi terhenyak ketubuhnya.
Indi merasakan geli-gatal itu kini bercampur rasa ingin buang air kecil, penuh desakan-desakan yang menggelisahkan. Ia memejamkan matanya kuat-kuat, tersengal-sengal bernafas karena dadanya terasa sesak, jantungnya berdegup makin kencang. Seluruh tubuhnya meregang setiap kali Kino menggerakkan pinggulnya dan rasa geli-gatal itu kini menyebar keseluruh tubuhnya. Sebentuk desakan amat kuat terasa di bagian dalam kewanitaannya, yang kini seperti diremas-remas oleh tonjolan di celana jeans Kino itu. Indi mengerang keras sambil meregangkan kedua pahanya lebar-lebar, menyebabkan pemuda itu lebih leluasa bergerak.
Kino bergerak makin keras dan kasar. Tidak saja berputar-putar, tetapi juga mendorong mendesak ke depan, menyebabkan pantat Indi semakin terbenam di kasur. Gadis ini meregangkan kedua kakinya selebar mungkin. Satu tangannya mengait lututnya sendiri, sementara tangan yang lain mencekram rambut Kino. Tubuhnya melenting ketika ia tak kuasa lagi menahan desakan yang tampak bagai ingin menjebol pinggulnya itu. Ia menyerah, membiarkan sebuah aliran hangat seperti menyebar cepat di dalam kewanitaannya, dibarengi rasa nikmat yang luar biasa.
“Aaaaah…… Kak Kino……. Ooooooooh!” Indi mengerang keras, “Aaaaaah!”
Tubuh gadis ini lalu berguncang hebat, mula-mula hanya di pinggulnya, tetapi lalu juga di seluruh tubuhnya. Kino ikut terguncang tetapi ia tetap berusaha berada di atas tubuh gadis itu. Indi mengerang, mengeluh, mendesah, mendesis panjang. Tubuhnya bagai dipenuhi per yang membuatnya melenting melambung di atas kasur. Dipan pun berderit ramai membuat Kino kuatir terdengar ibu kost.
Lalu gadis itu terkulai lemas, seakan kehilangan seluruh tulang di tubuhnya. Matanya masih terpejam dan seluruh wajahnya berona merah seperti kepiting rebus. Mulutnya sedikit terbuka, menghamburkan nafas yang masih memburu. Dadanya yang telanjang tampak agak berkeringat, turun naik dengan cepatnya. Sungguh seksi pemandangan ini bagi Kino, yang masih menempel erat di tubuh dara itu, dengan kedua tangan mencekal serta menekan pergelangan Indi di kasur. Seperti seorang polisi yang menerkam dan menahan penjahat agar tidak berontak kabur.
Lalu nafas Indi mereda, dan ia membuka matanya, memandang Kino yang sedang termangu memandang wajah gadis itu. Manis sekali Indi dalam keadaan seperti ini. Rambutnya yang legam bagai membingkai wajahnya yang oval. Bulu matanya lentik, dan ada lesung pipit kecil di pipinya. Pelan-pelan senyum Indi mengembang.
“Berisik sekali kamu,” kata Kino sambil tersenyum pula.
“Sorry! Indi lupa diri…” bisik Indi manja. Ia sudah kembali seperti semula: centil dan penuh senyum manja menggoda. Kino pun sadar, gadis ini punya daya tarik yang tak bisa dianggap remeh.
Entah kenapa, birahi Kino sirna secepat datangnya. Melihat wajah manis manja di depannya, melihat tingkahnya yang terbuka dan tulus, Kino tiba-tiba merasa tak patut melanjutkan permainan berbahaya ini. Tetapi setidaknya ia berhenti pada saat yang tepat, tidak seperti sebelumnya saat Indi justru sedang mendaki puncak asmara.
Indi melepaskan diri dari cengkraman tangan Kino yang memang juga membiarkannya lepas. Lalu gadis itu mengembangkan tangannya, mengundang Kino ke dalam pelukannya. Mereka berpelukan erat, Indi memejamkan mata sambil tersenyum puas. Kino merasakan kedua bukit kenyal Indi terhenyak di dadanya, menimbulkan kesan indah tersendiri yang tidak cuma berisi birahi tetapi juga kelembutan.
“Indi suka sekali sama Kak Kino,” bisik gadis itu.
“Tetapi kita tak bisa begini terus, Indi,” jawab Kino pelan sambil mengusap sayang rambut gadis di pelukannya itu. Terasa oleh Kino gadis itu mengangguk.
“Kamu mengerti, bukan?” ucap Kino lagi sambil berdoa semoga tidak ada diksusi lanjutan di atas tempat tidur dalam keadaan seperti ini.
“Mengerti boss!” kata Indi jenaka. Ah, ia telah kembali ke formatnya semula, pikir Kino gembira. Indi yang dulu telah kembali seperti sediakala. Kini persoalannya ada pada Kino kembali: apakah ia sanggup bersikap tegas terhadap gadis ini. Apakah aku bisa dengan tegas menyatakan pendirianku di depannya, tanya Kino gelisah dalam hati.
“Sebaiknya sekarang kamu pulang,” ucap Kino sambil melepaskan pelukannya. Indi pun melepaskan diri dan dengan tenang mengenakan kembali beha dan mengancing baju seragamnya.
“Apakah Indi masih boleh ke mari lagi?” tanya gadis itu sambil merapikan rambut dengan jemarinya.
Kino tersenyum lalu mencubit pipi Indi yang masih agak merona merah. Ia tidak menjawab pertanyaan itu, tetapi mengangguk pelan dan samar.
“Indi mendapat PR matematika setiap hari, lho!” ucap gadis itu dengan mata yang dilebarkan.
“Boleh. Tetapi kita kerjakan di meja makan, di ruang tengah,” jawab Kino kalem.
“Bagaimana kalau PR itu harus dikerjakan hari Sabtu?” kata Indi sambil bangkit dan merapikan roknya.
“Kenapa memangnya?”
“Boleh mengerjakannya malam-malam di kamar Kak Kino?”
Sialan, sergah Kino dalam hati. Tentu saja, itu adalah malam minggu! Kino bangkit dan mendorong bahu gadis Indi, menyuruhnya keluar sambil tersenyum menyadari betapa ia kalah cerdik oleh gadis itu dalam soal-soal yang seperti ini.
“Boleh atau tidak?” desak gadis itu di ambang pintu yang sudah dibuka Kino lebar-lebar.
“Tidak,” jawab Kino pendek sambil menatap kedua mata Indi yang juga sedang lekat memandangnya.
“Benar-benar tidak boleh?”
Kino menggeleng. “Benar-benar tidak boleh,” katanya sambil mendorong lagi Indi agar melangkah keluar. Mereka lalu berjalan beriringan keluar. Kino mengantar sampai pagar lalu berbalik tanpa menjawab lambaian tangan Indi, tanpa mempedulikan pula cibiran gadis itu. Tiba-tiba ia merasa mengantuk sekali. Merasa letih sekali. Kejadian-kejadian dua hari ini membuat Kino merasa tak berdaya. Ia ingin segera tidur kembali.​

 

Suatu siang di kantin kampus yang ramai oleh celoteh mahasiswa, Ridwan mengajak Kino duduk berdua di sebuah pojok. Heran juga Kino dibuatnya, persoalan penting apa yang hendak disampaikan karib sekaligus “saingan”-nya ini?

“Kalau mau ngomong soal ujian jangan di sini, lah!” protes Kino tetapi membiarkan tangannya diseret Ridwan.
“Bukan soal ujian, tetapi soal yang lebih penting lagi,” kata Ridwan dengan muka serius.
Pemuda ini jarang serius, dan kalaupun serius pasti ada maunya. Misalnya, pemuda ini sering meminta pendapat tentang gadis yang ditemuinya di jurusan lain, atau di kampus lain. Ridwan terkenal sebagai play boy kampus yang berganti pacar hampir sama seringnya dengan ia berganti baju. Maklum, wajahnya ganteng dan mobil VW kodok mulus berwarna merah darahnya sangat memikat mata. Tetapi Ridwan selalu bertanya kepada Kino, bukan hanya untuk meminta pendapat, tetapi juga untuk menyampaikan semacam claim agar Kino tak berpikir untuk bersaing dengannya. Maklum, Kino termasuk urutan kedua dalam soal kegantengan, walau nomor terakhir dalam soal mobil.
“Soal si Anggi dari fakultas ekonomi di Universitas P itu, kan?” tebak Kino, karena seingatnya Ridwan terakhir kali tampak berjalan dengan dara tinggi berambut sebahu itu kira-kira 5 hari yang lalu. Dalam hemat Kino, pastilah Ridwan sudah menemukan penggantinya. Jarang ada gadis berada di samping Ridwan lebih dari 5 hari!
“Bukan!” sergah Ridwan sambil terus menarik Kino ke pojok yang agak sepi.
“Permisi!” kata Ridwan lagi kepada dua mahasiswa yang dari tampang dan tingkahnya jelas beberapa tingkat di bawah mereka. Dan kalau Ridwan bilang “permisi” seperti itu (suaranya keras dan lantang), maka artinya “minggir kalian”. Kedua mahasiswa yang tadinya duduk itu pun tampaknya mengerti bahasa sang senior. Mereka ngeloyor pergi tanpa basa-basi. Kino duduk menghadap tembok. Ridwan duduk di sisi kiri, meletakkan kedua tangannya di meja dengan posisi sangat serius.
“Ada apa, Rid. Kamu tidak mau mengajak bertanding panco, kan?” tanya Kino tak sabar.
“Aku mau bicara soal Tris!” ucap Ridwan.
Suaranya tenang, pelan, tetapi juga tegas. Kino langsung terperangah. Mulutnya terbuka tetapi kerongkongannya tersekat. Dari mana pemuda ini tahu tentang Tris? Ia bahkan belum pernah menyebut nama bidadari itu di kampus atau di manapun. Nama Indi sering ia sebut; tetapi Tris? .. belum pernah sekali pun. Bahkan Rima yang sering melihat Kino turun dari mobil Tris pun tidak pernah tahu nama bidadari itu.
“Dengan mulut terbuka seperti itu, kau persis keledai bego!” sergah Ridwan, dan Kino buru-buru menutup mulutnya.
Tetapi sesungguhnyalah ia merasa amat bego. Jadi, pikir Kino, kini Ridwan adalah sainganku!
“Aku kenal Tris, walaupun ia tidak begitu mengenalku, dan tidak tahu aku satu kelas dengan mu,” ucap Ridwan.
Kino terdiam. Pantas, belum sekali pun Tris menyebut nama seseorang yang dikenalnya di kampus, walau bidadari itu telah tahu di mana Kino kuliah. Kalau ia kenal Ridwan, pastilah namanya sudah disebut sejak awal. Hal ini sedikit melegakan Kino. Ternyata Ridwan, bukan saingannya. Lalu…
“Aku kenal suaminya, karena lelaki itu masih ada hubungan keluarga denganku,” kata Ridwan lagi. Pemuda ini tahu, Kino sedang terkejut dan tak bisa berkata apa-apa. Pemuda ini juga sebetulnya iba karena sahabatnya terlibat dengan sesuatu yang tak ia pahami sepenuhnya.
“Darimana kau tahu aku kenal Tris?” akhirnya Kino bisa bertanya.
“Aku melihat kalian berdua minum dan bercengkrama,” jawab Ridwan sambil menatap Kino tajam, lalu ia melanjutkan, “Dari tingkahmu, aku tahu kau tertarik kepadanya. Jangan coba membantah.”
Kino menunduk. Percuma menyembunyikan yang sebenarnya di hadapan Ridwan atau Tigor. Kedua sahabatnya ini menganggap Kino adalah an open book: sebuah buku yang terbuka lebar dan mudah dibaca!
“Seberapa jauh kau tahu tentang dia, Kino?” tanya Ridwan sambil mengeluarkan sebungkus rokok dan korek api, lalu menyalakan sebatang tanpa menawarkan temannya.
“Dia punya anak bernama Ria,.. dia punya Honda Civic,… dia tinggal di sekitar tempat kost-ku, atau setidaknya searah dengan tempat kostku,” jawab Kino terus terang. Memang sedikit sekali yang ia ketahui. Buru-buru pula ia menyambung, “Dan dia cantik sekali!”
Ridwan tersenyum mendengar kalimat yang terakhir. Sambil menghembuskan asap rokoknya, ia berucap pelan,
“Tris memang cantik. Tetapi Ria itu bukan anaknya…” Kembali Kino terperangah. Tetapi, anak itu memanggilnya “mama”. Bukankah “mama” itu berarti ibu, atau apakah sudah ada arti baru dari mama?
“Ria adalah anak dari kakak Tris yang meninggal karena kecelakaan dua tahun yang lalu,” kata Ridwan, membuat Kino semakin terperangah. Ah, pantas saja Tris terlihat begitu muda untuk punya anak sebesar Ria. Ternyata ia adalah ibu angkat. Bagaimana bisa begitu?
“Tris terpaksa menerima usul keluarganya dan keluarga suami kakaknya agar menerima iparnya itu sebagai suami. Istilahnya, Tris menerima proses “turun ranjang” karena kedua keluarga tak ingin memutus hubungan,” Ridwan menjelaskan dengan suara pelan.
“Pasti Tris sangat mencintai kakaknya …,” ucap Kino.
“Mereka berdua seperti kembar walau usianya berbeda cukup jauh. Lima tahun, kalau aku tidak salah,” kata Ridwan sambil kembali membuat lingkaran-lingkaran dengan asap rokoknya.
Sejenak keheningan menyelimuti kedua pemuda itu. Kantin yang sangat ramai pun seakan-akan sirna menjadi latarbelakang yang samar-samar saja terdengar di kuping Kino.
“Aku tidak begitu dekat dengan suaminya,” kata Ridwan, “Tetapi menurutku, sebaiknya kau tak usah lah berpikir mendekati Tris. Nanti akan menimbulkan persoalan.”
Kino menunduk, memainkan pinggiran meja. Apa yang diucapkan Ridwan tentunya benar belaka. Kalau pun Ridwan tak punya hubungan apa-apa dengan suami Tris, tetap saja tidak baik untuk mendekati istri orang. Kalau pun Tris seorang bidadari yang cantik dan memukau, tetaplah tidak wajar bagi seorang mahasiswa untuk bermimpi memacarinya; kecuali mahasiswa itu juga dari kahyangan. Bukankah begitu?
Ridwan menepuk bahu Kino secara bersahabat. Mereka berdua segera bangkit karena sebentar lagi harus masuk kelas kembali. Kino berjalan gontai di samping Ridwan yang juga terdiam, bersimpati kepada perasaan gundah sahabatnya.
Sebagai teman, bagi Ridwan tentu lebih baik jika Kino tetap bisa mendekati Tris. Tetapi karena ia punya hubungan keluarga dengan suaminya, Ridwan merasa perlu memperingatkan sahabatnya ini agar menjauh. Walau diam-diam ia pun tak yakin, apakah Kino benar-benar bisa menjauhinya. Atau, tiba-tiba Ridwan berpikir, bagaimana kalau Tris yang mendekati Kino?
*******​

 

Sejak penjelasan Ridwan di kantin itu, Kino memang belum pernah berjumpa lagi dengan Tris. Sebenarnya, sejak minum bersama di kantin pun, yakni dua minggu yang silam, Kino belum pernah bertemu lagi dengannya. Kecuali, tentu saja, dalam mimpi! Kino sering sekali mengimpikan bidadari itu. Tidak saja bermimpi berjumpa dengannya, tetapi juga bermimpi bercumbu dengannya. Sungguh memalukan rasanya bagi Kino kalau pagi-pagi ia harus segera berganti celana dalam karena mimpi yang erotik itu. Tetapi apalah daya pemuda ini, bayangan bidadari itu selalu muncul setiap kali ia mulai memejamkan matanya di tempat tidur.
Kini, setelah Ridwan menjelaskan siapa Tris, Kino tetap saja mengimpikannya. Tetap saja berharap berjumpa dengan perempuan yang senyumnya seperti menyebarkan keindahan di hari terburuk sekali pun. Tetap saja Kino susah membuang bayangan keindahan matanya yang selalu membuat tulang di tubuhnya bagai terbuat dari agar-agar.
Kata orang, kalau kau berharap sangat kuat, maka mungkin harapan itu akan terwujud.
Kino berharap dan berharap terus. Setiap hari, saat menunggu angkot, ia sengaja berdiri sangat dekat dengan jalan. Ia sengaja pula menunda naik angkot sampai sering hampir terlambat dibuatnya. Ia selalu melihat ke kejauhan, kalau-kalau mobil yang kini sangat dikenalnya itu muncul. Demikianlah ia terus berharap, sampai suatu hari di awal musim hujan, bidadari itu muncul lagi dalam kehidupannya. Ini adalah hari ke 30 dari bulan yang sama dengan saat mereka minum di kantin dan saat Ridwan memberinya peringatan.
Mobil Honda Civic itu menepi dekat emperan toko tempat Kino berteduh menunggu angkot menuju kampus. Tidak ada suara Ria yang menegurnya. Kino mendekat dengan ragu-ragu, kaca mobil terlalu gelap untuk melihat siapa yang ada di dalam. Ketika akhirnya jendela depan sebelah kiri terbuka, Kino mendengar sebuah suara yang selalu dirindukannya,
“Ayo ikut..” Kino ragu-ragu lagi. Tetapi pintu depan kiri telah terbuka, dan dengan jantung berdegup keras akhirnya Kino masuk.
“Hai!…Apa kabar?” sapa Tris ringan sambil melemparkan senyumnya yang mempesona itu. Ia ternyata sendirian. Kemana Ria?
“Kabar baik,” jawab Kino agak canggung,
“Terimakasih atas tawaran tumpangannya.”
“Aku harus ke sebuah tempat dekat kampusmu. Ria sedang ada di rumah neneknya, tidak sekolah hari ini,” jelas Tris sambil mulai menjalankan mobilnya.
Kino duduk canggung tak tahu harus berkata apa untuk membuka percakapan. Tris tampaknya juga tidak punya sesuatu yang akan dibicarakan, karena ia juga diam saja, serius memandang ke depan. Mungkin juga hujan yang mulai melebat menyebabkan ia harus berkonsentrasi. Mobil meluncur menembus tirai air rintik-rintik. Di luar, suara desir angin bercampur derum mesin bercampur berisiknya air yang tercercah oleh ban mobil. Tetapi di dalam mobil, suasana hening mencekam seperti kuburan di malam Jumat kliwon. Kino sungguh tersiksa oleh keadaan seperti ini.
Setelah hampir 10 menit membisu, Kino pun tak tahan lagi. Ia berucap pelan, menyembunyikan getar suaranya,
“Maaf aku membuat kamu tersinggung waktu itu.” Terdengar Tris menghela nafas, lalu menjawab dengan suara pelan pula, “Aku juga minta maaf karena bertanya yang tidak-tidak.”
“Jadi, kita sama-sama bersalah,” ucap Kino lagi.
Tris tersenyum mendengar pernyataan yang polos ini. Sebenarnya, tadi ia ingin lebih dulu membuka percakapan, tetapi entah kenapa ia ingin pemuda di sampingya itu yang memulai.
“Sudah lama aku berharap kita bertemu lagi,” ucap Kino terus terang. Getar di tubuhnya kini sudah agak berkurang.
“Untuk minta maaf?” tanya Tris.
“Ya. Untuk minta maaf, dan …,” Kino tidak meneruskan kata-katanya. Patutkah ia melanjutkannya?
“…dan untuk bertemu Ria?” sambung Tris. Kino tertawa pelan, “Ya.. untuk bertemu Ria,” katanya, lalu disambung dengan suara lebih perlahan,
“.. dan ibunya.”
Tris tertawa riang mendengar kalimat terakhir. Sebetulnya ia sudah bisa menebak kalimat itu, tetapi sekali lagi ia ingin mendengar langsung dari pemuda yang perlahan-lahan mulai kelihatan menarik baginya.
“Tetapi sekarang musim hujan, tak baik minum es terlalu banyak,” kata Tris sambil tersenyum. Lagi-lagi timbul keinginannya untuk menggoda Kino.
“Tetapi aku masih bisa mengangkat tas-tas belanjaanmu,” jawab Kino, meladeni permainan kecil yang dimulai oleh bidadari ini. Sesungguhnyalah, Kino ingin melayani permainan apa pun yang ditawari perempuan cantik di sebelahnya ini. Permainan yang berbahaya sekalipun!
Tris tertawa lebih keras. Ia benar-benar terhibur dengan jawaban itu. Ternyata pemuda ini cukup berani mengutarakan pendapatnya, pikir Tris. Sebuah permulaan yang bagus. Tetapi untuk sebuah akhir yang bagaimana?
“Aku belanja ke sana setiap Rabu,” kata Tris sambil membelokkan mobilnya menuju arah kampus Kino.
“Aku pulang kuliah pukul empat setiap Rabu,” kata Kino sambil tersenyum.
Ia merasa seperti seorang pemancing yang sedang berspekulasi dengan umpannya: apakah ikan akan mencaplok umpan itu, ataukah ia harus terjun ke empang menangkapnya dengan tangan? Tris tertawa lagi. Kino senang sekali mendengar tawa itu, serba lepas tetapi juga merdu. Tidak terlalu keras, tidak terlalu nyaring, tidak terlalu terbahak. Pokoknya, serba pas di telinga Kino.
“Kamu bisa bolos, karena pukul empat aku sudah harus pulang,” ucap Tris sambil menginjak rem. Mereka sudah tiba di depan kampus. Kino mengeluh dalam hati, kenapa cepat sekali ia menjalankan mobilnya?
“Atau kamu bisa menunda belanjamu sampai pukul empat,” ucap Kino tak mau kalah. Ia memberanikan diri menatap wajah Tris sebelum beranjak untuk turun.
Tris tersenyum manis sekali. Mungkin yang paling manis di antara senyum-senyum manisnya selama ini. Kino seperti disiram air sejuk surgawi rasanya melihat senyum itu. Duh, teruslah tersenyum bidadariku, bisik Kino dalam hati.
“Kenapa aku yang harus menunda?” tanya Tris dengan mata tajam memandang tepat ke mata Kino. Sejenak degup jantung pemuda ini kembali bertambah cepat.
“Karena hari Rabu itu ada dua dosen killer..,” Kino menjawab sekenanya. Tetapi memang begitulah kenyataannya. Ia tak mungkin membolos hari Rabu. Senyum Tris berkembang lagi. Kino terpesona lagi. Satu kakinya sudah berada di luar, tetapi rasanya enggan sekali ia turun dari mobil itu. Hujan yang kini mereda menjadi gerimis membuat sepatunya basah, tetapi Kino tak peduli.
“Kamu benar-benar ingin bertemu lagi rupanya,” ucap Tris, kali ini dengan nada serius.
Suaranya berubah formal dan lebih perlahan. Kino sejenak kuatir menyinggung perasaannya lagi. Tetapi ia hendak berspekulasi hari ini. Ia hendak berterus terang saja. Apapun yang terjadi, terjadilah!
“Ya,” jawab Kino mantap,
“Aku ingin bertemu lagi, tetapi tak mungkin di rumahmu, bukan?”
Tiba-tiba air muka Tris berubah. Kino terkesiap dan berpikir, tamatlah sudah riwayatku. Hancurlah sudah spekulasiku. Bidadari ini pasti marah besar karena aku menyinggung sesuatu yang sensitif. Kino bersiap-siap keluar dari mobil secepat mungkin. Tetapi…
“Memang tidak mungkin, Kino,” ucap Tris dengan suara pelan. Baru kali ini ia menyebut nama Kino!
“Itu sebabnya hari Rabu adalah yang paling tepat,” kata Kino cepat-cepat. Ia tak jadi turun.
Tris tersenyum, tetapi kali ini ada kesenduan di senyum itu. Mungkin kesedihan, mungkin keterenyuhan. Entah apalah, .. tetapi Kino bisa merasakannya. Seandainya saja aku bisa mengusap wajah itu, keluh Kino dalam hati, aku mau menghapus kesenduan itu dari sana!
“Baiklah.., kita lihat saja nanti,” kata Tris setelah menghela nafas panjang untuk kesekian kalinya, “Sekarang, turun dari mobilku kalau tidak ingin terlambat.”
Kino tersenyum lega mendengar jawaban itu. Ia segera keluar dari mobil, lalu berdiri di bawah hujan rintik (ia tak peduli!) memandang Honda Civic itu lenyap dari pandangannya. Di dalam mobil, Tris melirik ke kaca spion, melihat pemuda itu masih berdiri diterpa gerimis pagi. Sebersit perasaan aneh memenuhi dadanya, dan tiba-tiba saja ia sudah menyusun alasan untuk tidak mengajak Ria jalan-jalan Rabu depan, dan datang ke swalayan setelah pukul empat.
Apa yang terjadi pada diriku? Keluh Tris dalam hati.
*******​

 

Rabu berikutnya, Kino tak mempedulikan teriakan Tigor yang mengajaknya jalan-jalan keliling naik motor. Tak menghiraukan pula bujukan Ridwan dan Rima yang mengajaknya makan bakso di seberang kampus. Ia mengarang alasan yang kurang akurat. Teman-temannya tentu saja heran, sejak kapan si Kino punya tugas berbelanja keperluan dapur untuk ibu kost?
Tentu saja teman-temannya tidak tahu, bahwa Kino sedang berusaha secepatnya tiba di pasar swalayan tempat Tris biasa berbelanja. Ia sebenarnya juga tidak berbohong kepada teman-temannya, sebab ibu kost memang kebetulan memintanya membeli selusin mie instant dan sebotol kecap asin. Ia juga dengan seksama telah menyembunyikan semua hal yang berhubungan dengan Tris dari telinga Ridwan maupun Tigor dan Rima. Untung pula, Ridwan bukan seorang teman yang nyinyir, sehingga kedua sahabat lainnya tidak pernah tahu persoalan Tris.
Dengan menumpang angkot, Kino tiba di swalayan itu sepuluh menit kemudian. Sebetulnya ia bisa berjalan dari kampus, tetapi tentu akan memakan waktu lebih lama. Setibanya di mall tempat swalayan itu berlokasi, Kino terlebih dulu masuk ke tempat parkir di lantai dasar. Dengan sekilas ia mencoba melihat kalau-kalau Honda Civic putih yang sudah sangat dikenalinya itu ada di pelataran parkir. Ternyata ada! Itu berarti, Tris memang ada dan ia tidak datang dengan taksi. Itu pula artinya, Kino bisa memohon untuk ikut menumpang!
Dengan langkah panjang setengah berlari, dan dengan melompati dua anak tangga sekaligus, Kino akhirnya tiba di swalayan yang tidak begitu ramai itu. Sore-sore seperti ini, belum banyak yang berbelanja. Kino bersyukur dalam hati, dan segera mencari-cari ke seluruh pelosok swalayan. Satu kali ia memutari seluruh swalayan, belum juga Tris tampak. Dua kali, Kino belum juga menemukannya. Tiga kali, Kino sudah mulai kuatir ia berpapasan di tengah jalan. Mungkin Tris turun lewat lift….. Empat kali, Kino menyerah … menghembuskan nafasnya kuat-kuat, lalu mulai menuju rak tempat mie.
Baru saja ia berjongkok untuk mengambil beberapa bungkus mie di barisan bawah, suara yang dirindukannya itu terngiang jelas di telinganya. Cepat-cepat Kino bangkit dan berbalik ke arah suara. Wow! Bidadari itu berdiri dengan tangan bersidekap, berbaju kuning terang dan bercelana panjang coklat gelap, menambah kuat keputih-mulusannya yang cemerlang. Untuk sejenak, Kino yakin kembali bahwa di depannya ini adalah bidadari yang sedang menyamar dan sedang menyimpan sayap-sayapnya.
“Mau membeli tigapuluh bungkus mie?” tanya Tris dengan senyum menggoda dan dengan sinar mata yang cerlang cemerlang itu.
“Aku mencarimu sejak tadi,” kata Kino tak mempedulikan godaan Tris. Ia ingin sekali menegaskan bahwa pertemuan ini memang betul-betul diinginkannya. Mengertikah bidadari ini? keluh Kino dalam hati.
“Aku tahu…,” jawab Tris sambil tetap tersenyum, berdiri santai di hadapan Kino yang tegak canggung dan kini melongo mendengar jawabannya itu. Tris tertawa kecil,
“Kamu selalu begitu, Kino. Melongo setiap aku mengatakan sesuatu,” ucapnya.
“Dari mana kamu tahu aku sudah lama mencarimu?” sergah Kino penasaran.
“Aku duduk di sana sejak tadi,” kata Tris sambil menunjuk dengan dagunya ke arah sebuah kantin di seberang swalayan.
“Dan kamu diam saja melihat aku berputar-putar?” sergah Kino lagi. Bidadari ini pandai sekali mempermainkan orang, keluhnya dalam hati.
“Aku pikir kamu sedang mengukur luas lantai swalayan,” kata Tris sambil tertawa.
Gila! sergah Kino dalam hati (tentu saja). Bidadari ini betul-betul sedang mempermainkan aku. Mempermainkan seorang mahasiswa jurusan arsitektur dari sebuah institut teknologi yang terkenal, dan yang oleh banyak orang diakui sebagai paling pandai dalam matematika. Sungguh beraninya dia!
“Mana belanjaanmu?” cepat-cepat Kino mengalihkan pembicaraan. Dia merasa tidak akan sanggup meladeni godaan Tris, tetapi tak pula hendak segera berpisah.
“Di mobil,” kata Tris pendek.
“Oh!.. Jadi kamu sudah selesai berbelanja, tetapi….,” Kino tidak meneruskan kata-katanya. atinya tiba-tiba berbunga. Bidadari ini sudah selesai berbelanja, tetapi kembali lagi ke sini untuk bertemu dengan aku. Betapa indahnya dunia!
“Tetapi aku haus,” kata Tris cepat-cepat mengisi kalimat Kino yang terputus. Pemuda itu pun langsung kecewa…. bidadari itu tidak sedang menunggunya. Betapa GR-nya dia! Bahu Kino langsung terhenyak lunglai, seperti mendengar kabar bahwa ia tak lulus ujian. Bunga-bunga di hatinya seperti layu tersiram air panas mendidih. Hampir saja ia terhuyung karena kecewa, tetapi…
“Sambil menunggu kamu…,” sambung Tris.
Senyumnya tipis mengembang. Kino pun terperangah. Apalagi kedua mata bidadari di hadapannya penuh dengan sinar gemilang yang membuat Kino seperti hidup di alam maya yang serba indah belaka. Bunga yang layu di hatinya mekar kembali. Semangatnya muncul kembali. Bidadari ini benar-benar membuat Kino seperti sedang menaiki roller coaster emosi!
“Sambil menunggu aku..,” Kino mengulangi kalimat Tris, seperti sedang memastikan bahwa kalimat itu nyata dan benar adanya.
“Cepatlah berbelanja!” sergah Tris menahan senyum,
“Aku mau mencari ulekan batu di daerah selatan.”
“Oh,… ya..ya!” jawab Kino gelagapan.
Kalimat terakhir itu bagai titah sang maharatu kepada hambanya. Kino menerjemahkannya sebagai berikut: aku mau kau ikut ke selatan mencari ulekan batu. Kino pun menjerit dalam hati: cihui!.. aku mau ikut kau ke ujung dunia sekalipun.
Tak sampai 10 menit kemudian, keduanya telah melesat ke arah selatan. Hujan mulai turun lagi. Bumi kota B kembali basah. Pohon-pohon kembali mandi air segar dingin; dedaunannya pun semakin tampak hijau segar. Angin sejuk melanda kota. Kino bernyanyi-nyanyi dalam hati.
*******​

 

Pertemuan dan belanja bersama itu segera diikuti pertemuan-pertemuan berikutnya. Segalanya lancar sekali berlangsung, selancar air jernih di selokan besar di depan rumah kost Kino di kala hujan lebat. Pemuda ini menikmati kelancaran itu, seperti seorang nelayan menikmat angin kencang yang membawa perahunya meluncur cepat, meniti ombak membelah lautan. Tak sedikit pun terpikir oleh Kino apa yang akan terjadi akibat pertemuan-pertemuannya dengan Tris. Tak sekalipun ia pernah mau berpikir bahwa perempuan cantik itu adalah seorang ibu bersuami resmi. Seluruh akal sehatnya tertutup kabut tebal setiap kali ia bertemu Tris.
Pada pertemuan kelima, Kino sudah menggandeng tangan Tris ketika mereka menuruni tangga swalayan (mereka selalu menghindari tangga berjalan atau lift, agar bisa lebih lama berdua!). Mereka pun sudah duduk berdampingan ketika minum di kantin (mereka selalu haus sehabis berbelanja!). Pandangan mereka lebih lama berkait erat seakan-akan tak mau lepas (mereka selalu punya alasan untuk bercakap-cakap sambil saling menatap!).
Pada pertemuan ke tujuh, Kino mencium pipi Tris di mobil.
Sejenak Tris terperangah, dan Kino mempersiapkan pipinya untuk ditampar melihat bidadarinya mengangkat tangan. Tetapi tangan Tris terangkat bukan untuk menampar, melainkan memegang pipinya sendiri yang tadi dicium Kino sekilas. Muka Tris semburat merah, bagai langit sore yang kebetulan saat itu tak tertutup awan.
“Kenapa kau cium aku?” bisik Tris dengan suara bergetar. Pandangannya tajam menembus kalbu Kino.
“Karena aku ingin menciummu,” kata Kino dengan kekuatan yang entah datang dari mana. Ia sudah bertekad untuk menunjukkan segala perasaannya. Whatever will be, will be. Que sera sera!.
“Tetapi aku tidak ingin…,” ucapan Tris terputus, masih bergetar walau agak samar. Kino tersenyum lembut,
“Tidak ingin dicium?” tanyanya pelan sambil melawan pandangan Tris dengan sekuat hati.
Tris mengalihkan pandangannya ke depan. Air mukanya tiba-tiba mengeruh, seperti sungai besar yang penuh lumpur akibat hujan berkepanjangan. Kino diam, menguatkan hati, merasa tidak punya pilihan lain.
“Aku sudah bersuami, Kino,” bisik Tris sambil tetap memandang ke depan. Hujan telah reda. Langit senja mulai menggelap.
“Itu suami almarhum kakakmu,” kata Kino pelan tetapi jelas.
“Tetapi ia suamiku kini,” desis Tris. Wajahnya semakin keruh dan pertahanan hati Kino perlahan-lahan runtuh.
“Maaf..,” bisik Kino.
Ia bersiap turun, membuka pintu mobil dan melangkahkan satu kakinya untuk turun.
Tiba-tiba tangan Tris telah tiba di atas tangan Kino yang sedang bersiap turun. Pemuda ini menghentikan gerakannya, memandangi tangan Tris yang menumpang ringan di buku-buku jarinya.
“Kamu tidak perlu minta maaf,” kata Tris pelan tanpa mengalihkan pandangan,
“Aku yang bersalah. Tetapi kamu membuat aku terkejut. Aku belum siap untuk itu.”
“Siap untuk apa?” tanya Kino dengan keberanian baru.
“Kamu tahu jawabnya,” sergah Tris, dan sebelum Kino sempat berkata apa-apa, perempuan cantik itu berucap,
“Turunlah. Kita jumpa lagi Rabu depan.”
Dan Kino pun turun. Dan mobil Tris pun bergerak, lalu semakin cepat meluncur, dan akhirnya hilang dari pandangan. Dan Kino termangu di pinggir jalan dengan rambut tergerai ditiup angin sejuk. Di telinganya, terngiang ucapan terakhir Tris tadi, .. kamu tahu jawabnya. Betulkah aku tahu jawabnya? keluh Kino dalam hati sambil melangkah gontai ke rumah kostnya.
Sementara itu, sambil menyetir Tris menghapus air mata yang merebak di matanya dengan tisu. Sampai sebelum dicium Kino tadi, hatinya selalu berbunga-bunga setiap kali ia berjumpa pemuda itu. Ia sendiri heran, dalam kehidupan yang serba nyaman dengan seorang suami dan anak yang lucu, pemuda itu tiba-tiba mempunya tempat khusus. Pemuda itu seperti tiba-tiba muncul entah dari mana dalam kehidupannya. Padahal, sebagai seorang cantik, Tris dikerumuni banyak pria. Sebelum maupun sesudah pernikahannya dengan iparnya. Tak satupun yang menimbulkan kesan, karena ketika kakaknya meninggal ia bertekad menutup pintu hatinya, dan mengabdi total kepada iparnya.
Kini pemuda itu menciumku, bisik Tris dalam hati, dan aku gundah karena ia menggugah sesuatu yang selama ini aku hindari. Pemuda itu membawa kelembutan pada keriangan dan keteraturan hidupku. Pemuda itu melengkapi kebahagiaan perkawinan dan pengorbananku untuk kakak. Apa yang harus kulakukan?
“Maafkan aku, Kak..,” bisik Tris tak sadar.
Air mata menggenang kembali, dan kali ini tak bisa dicegah meluncur deras di pipinya.
*******​

 

Ridwan kembali mengingatkannya pada suatu sore sepulang kuliah. Kino menahan amarahnya, walaupun ingin sekali ia menjerit mengingatkan Ridwan bahwa itu bukan urusannya. Biar bagaimana pun, Ridwan berada dalam posisi yang benar. Sahabatnya itu semata-mata kuatir Kino terlibat dalam urusan yang tidak gampang.
“Kamu bermain api, Kino,” desis Ridwan sambil mengiringi langkah Kino. Mereka berjalan terpisah dari yang lain, sengaja mempertahankan rahasia ini di antara mereka berdua. Kino sungguh menghargai sikap Ridwan itu.
“Tetapi aku sendiri tidak berdaya, Rid. Dia juga suka padaku!” sergah Kino menahan diri agar suaranya tak terlalu keras.
“Risikonya terlalu besar, Kino!” jawab Ridwan sambil menahan geram.
“Entahlah. Aku sangat menyukainya. Mungkin juga mencintainya!” ucap Kino.
“Bullshit, Kino! Kau mencintai istri orang. Itu tidak bagus!” sergah Ridwan.
Kino berhenti melangkah, “Apa yang kamu tahu tentang cinta, Rid!? Kau tak tahu apa-apa. Kau hanya tahu “menyukai” dan “disukai”…,” ucapnya agak keras.
Ridwan sampai kuatir pertengkaran mereka terdengar orang lain. Untunglah mereka terpisah agak jauh dari Rima dan Tigor. Ridwan menghela nafas panjang, ucapan Kino memang benar. Tetapi ia merasa Kino sudah terlalu jauh melangkah, tak melihat jurang besar di hadapannya. Ia berucap pelan tetapi tegas,
“Aku sudah memperingatkanmu, Kino. Jangan salahkan aku kalau nanti terjadi apa-apa!” Kino terdiam, dan mereka menghentikan percakapan, lalu berpisah. Sepanjang malam itu Kino pun risau mengenang peringatan-peringatan Ridwan. Ia tidak bisa tidur, dan baru terlelap setelah lewat tengah malam.
Tetapi risau dan gundahnya segera hilang, karena pagi keesokan harinya ia menumpang mobil Tris lagi. Hari menjadi indah lagi. Kemurungan sirna secepat embun yang menguap disinari mentari pagi. Pertemuan demi pertemuan berlangsung lancar dan seperti telah menjadi kewajaran. Baik Kino dan Tris luruh dalam ketidaksadaran yang sebetulnya adalah ketidakwajaran, terhanyut dalam musik asmara yang memang selalu membuai itu.
Apalagi kemudian Tris menjemput Kino sepulang kuliah di satu sore yang cerah, mengajaknya pergi ke sebuah tempat peristirahatan di daerah utara yang berlembah. Ini adalah ide Tris, walau adalah Kino yang membujuknya secara halus. Mereka minum kopi susu di sebuah restoran yang menghadap kebun teh luas menghijau. Percakapan mereka berlangsung lancar dan ceria selalu adanya. Tiada sedikit pun kata-kata risau terucapkan. Segalanya cuma berisi kerinduan, kegemasan, impian, kenangan manis, keindahan…. ketakjuban …
Terlebih lagi, ketika malam tiba mereka tidak langsung pulang karena menurut Tris ia sudah minta ijin pulang terlambat. Kino tak peduli mendengar alasannya (“ada kursus tambahan malam hari”). Segalanya terjadi begitu saja.
Tris setuju memarkir mobil sebentar di pinggir jalan kecil menuju kebun teh. Tris diam saja ketika Kino dengan penuh kerinduan melumat bibir Tris di dalam mobil. Berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan lamanya Kino menunggu saat yang mendebarkan ini. Dengan segala perasaan, ia kecup bibir yang merah ranum dan basah itu. Ia hisap lembut dan sayang, ia tumpahkan seluruh kerinduannya di rongga mulut yang harum semerbak mempesona itu.
Tris memejamkan matanya, mendesah dan mengerang, membiarkan dirinya hanyut dibawa larut oleh gejolak perasaan pemuda itu. Ia menyerah. Tak ada lagi yang mampu menahan dirinya malam itu, karena sejak seminggu ini hatinya gundah jika tak bertemu Kino. Sejak dicium di pipi beberapa waktu yang lalu, hidupnya berubah total bagai sebuah desa kecil yang lenyap terhapus badai taifun. Tanpa sepenuhnya sadar, Tris merangkul leher Kino, menariknya lebih dekat lagi ke dadanya.
Kondisi mobil menyebabkan posisi keduanya agak kikuk. Tetapi lalu Tris meraih tombol di samping kursinya, dan tak berapa lama kemudian ia sudah terbaring di sandaran yang rebah. Kino dengan leluasa bisa melumat bibir yang menggemaskan itu. Nafas keduanya pun dengan cepat berubah memburu menderu.
“Oooh.. Kino,” desah Tris ketika pemuda itu mengangkat mukanya untuk mengambil nafas,
“Aku rindu sekali…”
Kino tak membalas ucapan itu. Ia langsung menciumi lagi bibir yang selalu ada dalam mimpinya itu. Tidak hanya bibir itu yang diciuminya. Juga ujung hidung Tris ia ciumi, kelopak matanya ia ciumi, dahinya ia ciumi, kedua pipinya ia ciumi… seluruh muka bidadari yang mempesona itu tak hentinya ia ciumi. Tris pun tertawa manja diperlakukan seperti itu. Belum pernah ia diperlakukan seperti itu oleh suaminya!
Bahkan Tris kemudian membiarkan tangan Kino meraba dadanya yang membusung indah. Ia bahkan membantu pemuda itu membuka kancing-kancing bajunya, menggeliat kegelian ketika jemari pemuda itu meremas lembut buah dadanya. Tris mengerang sambil memejamkan mata, seakan ingin tidur dengan mimpi sensual yang melenakan, yang juga sudah sering diimpikannya di ranjang di samping suaminya. Betapa nikmat rasanya diraba dan diremas oleh pemuda ini … betapa melenakannya … betapa membirahikannya.
Tetapi tiba-tiba semuanya buyar. Tak sengaja, akibat gairah yang menggebu, siku Kino menyentuh tuter mobil. Suara klakson yang nyaring di tengah malam yang sepi membuat keduanya tersentak kaget.
Tris tertawa tertahan. Kino juga ikut tersadar dan melepaskan pelukannya. Tris pun menegakkan tubuhnya, cepat-cepat mengancingkan baju dan menegakkan sandaran kursi. Kino menggeleng-gelengkan kepalanya kuat-kuat, mengusir nafsu birahi yang tadi telah memenuhi seluruh kepalanya.
“Kita harus pulang, Kino,” ucap Tris menahan senyum dan mulai menstarter mobilnya.
“Ya,… harus segera pulang,” sahut Kino bagai baru bangun dari mimpi. Mereka meninggalkan tempat sepi itu, beberapa saat saja sebelum sebuah mobil milik perkebunan lewat berpatroli. Sepanjang jalan menuju kota, mereka tenggelam dalam lamunan. Sesekali mereka berpandangan dan tertawa berdua. Indah sekali malam itu!
Sama sekali mereka tidak menduga, bahwa malam-malam seperti itu akan terus berulang. Lagi dan lagi. Semakin lama semakin panas membara …….​

 
Liyeur aing bacanya.

itu coba diberi jarak antar paragrafnya dong, trus gak usah pake bold. Cukup di judul tiap partnya aja. Tiap ada percakapan dinerikan paragraf berbeda juga.
"Itu coba diberi jarak antar paragrafnya dong,"

"Terus gak usah pake bold. Cukup di judul tiap partnya aja."

"Tiap ada percakapan diberikan paragraf berbeda juga," kata Tante Yuri_90 dengan wajah juteknya.:Peace:
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd