Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Kino dan Tris (COPAS)

Bimabet
iya legend pucuk limau .... tarian Rien sang maestro.... cerita yang sudah lama sekali yaa
 
Dalam Gelap Malam

Malam itu Tris tidur berdua Ria di kamar utama. Tetapi Tris tidak bisa tidur sama sekali. Bayangan percumbuan yang serba singkat di dalam mobil di lembah kebun teh beberapa hari yang lalu kembali muncul di matanya yang mencoba tertutup.

Suaminya -mungkin lebih tepat: bekas iparnya- sedang keluar kota untuk urusan bisnis. Ah, betapa kini Tris sering ingat bahwa pria itu dinikahinya hanya karena ia mencintai almarhum kakaknya. Juga karena kasihan kepada Ria, yang saat ini sudah terpulas di sisinya. Rumah besar itu terasa sepi sekali.
Sudah seminggu ini Tris tidak berjumpa Kino. Siang tadi ia berniat mengontak Kino di kampusnya, berniat masuk kampus dan mencarinya saat istirahat siang. Tetapi niat tersebut diurungkan. Bukan saja karena Ria perlu dijemput, tetapi juga karena ia sendiri merasa sungkan untuk masuk kampus mencari pemuda itu. Apa kata orang nanti?
Kini, ketika matanya tak juga mampu terpejam tidur, ia menyesal kenapa tak memberanikan diri masuk kampus. Menyesal karena tadi pagi terburu-buru mengantar Ria sekolah lewat jalan lain, sehingga tidak bisa bertemu Kino. Menyesal karena merasa dirinya terlalu ragu-ragu bertindak.

Tris menggeletakkan tubuhnya setelah bosan tidur miring. Kamar tidur sudah gelap, karena Ria tak mau kalau terlalu terang. Ah, tiba-tiba darah Tris berdesir karena rasanya ia masih bisa mencium bau tubuh pemuda itu. Bau yang kini mulai diakrabinya: segar dan penuh aroma kejantanan. Tidak seperti tubuh suaminya yang terlalu penuh minyak wangi sehingga berkesan sintetis.

Ah, kini aku mulai membanding-bandingkan pemuda itu dengan suamiku, keluh Tris dalam hati.
Tris masih ingat betapa pemuda itu mengulum bibirnya dengan luapan perasaan yang apa adanya. Betapa menggairahkannya ciuman itu! Kino melakukannya dengan sepenuh hati, sehingga rasanya tidak setengah-setengah. Ketika pemuda itu mengulum bibirnya, ia melakukannya dengan penuh perasaan, membuat dirinya terbuai-buai bagai tidur di atas awan di angkasa sana. Tak sadar Tris meraba bibirnya dengan ujung jari. Ia dengan mudah bisa merasakan kembali ciuman itu. Tak mungkin ia bisa melupakannya.
Tak pula ia bisa melupakan betapa dadanya yang kenyal diremas oleh tangan pemuda itu. Oh, itulah remasan yang tak kalah menggairahkan dari ciumannya. Jemari pemuda itu seperti penuh oleh energi pembakar sukma yang mengirimkan jutaan bulir kenikmatan ke seluruh tubuhnya.

Tak sadar, Tris mengerang kecil, meremas seprai dengan kedua tangannya. Ia seperti merasakan lagi remasan jemari itu di dadanya. Gesekan nilon tipis pakaian tidurnya tiba-tiba seperti mewakili remasan itu. Ia tidur tanpa beha. Oh, kedua putingnya ternyata sudah mengeras. Kenapa jadi begini? Keluh Tris sambil mengerang lagi, lalu memiringkan badannya, meraih bantal guling.

“Kino,” bisiknya perlahan sambil menelungkupkan muka ke bantal, “Apa yang telah kau lakukan kepadaku?”

Tak lebih 5 kilometer jauhnya dari kamar tidur Tris, pemuda itu juga sedang terlentang di dipan di kamar kostnya dengan mata nanar memandang langit-langit. Kino juga tidak bisa tidur malam ini, walau separuh buku pelajaran paling sulit telah habis dibacanya. Entah kenapa, malam ini ia begitu merindukan Tris. Mungkin karena telah seminggu ini mereka tidak berjumpa sehabis malam yang menegangkan di lembah kebun teh itu.

Di depan mata Kino seakan-akan ada sebuah film yang diputar berulang-ulang, berisi gambar indah percumbuan mereka yang sangat singkat tetapi sangat menggairahkan itu. Bibir basah yang merekah pasrah itu, tergambar jelas di mata Kino. Harum nafasnya yang menggairahkan itu, tercium jelas di hidung Kino. Kelembutan lidah dan bagian dalam mulut itu … hmm, semuanya terasa seperti nyata malam ini. Amat sangat nyata, sampai-sampai Kino menelan ludah berkali-kali. Jantungnya berdegup kencang, seperti ketika waktu itu ia melumat bibir bidadari yang amat didambakannya. Sedang apa dia sekarang? Apakah sedang dicumbu oleh suaminya? Pikiran terakhir ini sangat mengganggu Kino, membuatnya terbakar cemburu selain birahi. Sungguh menggelisahkan!

Udara dingin menyebabkan Kino menyelimuti badannya, tetapi sentuhan selimut di atas kejantanannya yang hanya tersaput celana dalam dan sarung tipis ternyata berdampak lain. Kenangan erotis tentang Tris membuat dirinya terbakar birahi. Perlahan tapi pasti, kejantanan Kino menegang. Semakin lama, semakin tegang, berdenyut penuh gairah.
“Tris,” bisik Kino, “Sedang apa kamu di sana?”

Angin dingin menimbulkan suara berkesiut di luar jendela kamar tidur Tris. Ia menelentang kembali, kini dengan mata terbelalak sepenuhnya. Kamar tidur yang senyap itu sebenarnya dingin sekali. Tetapi tubuh Tris seperti dibakar api, dan ia terkejut sendiri ketika tak sengaja tangannya menyentuh selangkangannya. Celana dalamnya agak basah, dan sebuah rasa geli yang telah lama ia tak rasakan ternyata muncul di sana. Oh, aku begitu terangsang malam ini, desah Tris panik di dalam hati.
Cepat-cepat ia memindahkan tangannya, tetapi tangan itu jatuh di atas dadanya. Untuk sejenak, ia mencoba mengatur nafasnya yang mulai terengah, tetapi tanpa diperintah tangan itu ternyata mulai meraba-raba. Tris menggelinjang. Tris mendesah gelisah. Rasa geli menyelimuti puncak-puncak dadanya. Rasa geli yang minta digaruk. Maka menggaruklah jemari-jemarinya, mengusap dan membelai pula. Dua tangan kini ada di dadanya, dua-duanya meremas, mengusap, menggaruk, membelai…
Tris mendesahkan nama pemuda itu berkali-kali dengan bisikan tertahan; kuatir Ria terbangun.

Kino meraba-raba kejantanannya. Mengerang pelan karena merasakan tubuhnya mulai bereaksi seperti biasanya, menyebabkan semua ototnya terasa menegang, bagai seorang pelari yang sedang bersiap-siap melesat dari garis start. Kejantanannya sudah menegang setegang-tegangnya. Bergetar seirama degup jantungnya yang tak teratur. Naik turun seirama nafasnya yang mulai memburu.
Mula-mula, Kino hanya mengusap-usap di atas sarungnya. Mengelus-elus perlahan, menimbulkan rasa geli yang samar-sama, seakan-akan untuk memastikan bahwa segalanya berjalan perlahan menuju tempat tujuan. Tetapi, sebentar kemudian gerakan tangannya semakin cepat, bukan lagi mengusap tetapi menguyak-uyak. Nafasnya semakin memburu. Rasa geli yang nikmat tersebar sepanjang kejantanannya yang terasa bagai batang besi panas membara.

Tris tak tahan lagi. Dengan satu tangan tetap meremas-remas dadanya sendiri, ia mengusap-usap kewanitaanya dengan tangan yang lain. Celana nilon tipis masih ada di sana, tetapi tentu saja tak mampu mencegah rasa nikmat yang datang dari telapak tangannya. Apalagi kemudian Tris menelusupkan tangan itu ke balik celana, menemukan lembah sempit di bawah sana telah basah oleh cairan cinta. Menemukan pula tonjolan kecil di bagian atas telah menyeruak keluar dari persembunyiannya, menonjol diam-diam menanti sentuhan jarinya.
Tris menggigir bibir bawahnya, tersentak bagai tersengat listrik, ketika ujung telunjuknya tak sengaja menyentuh tonjolan kenikmatan itu. Sebuah desah cukup keras menghambur keluar dari mulutnya. Untung Ria sudah terlelap sehingga mungkin tak akan terbangun walau Tris berteriak sekali pun.

Kino tak tahan lagi. Tangannya menyerbu masuk ke balik sarung, meremas batang tegang yang membara di bawah sana, yang masih terbungkus celana dalam katun. Segera ia merasakan pinggulnya bagai berubah menjadi kaldera gunung berapi yang penuh lahar menggelegak. Setiap kali ia meremas, setiap kali pula gelegak itu bagai hendak meluap keluar. Setiap kali pula ia mengerang dengan otot leher menegang seperti seorang yang sedang menahan sesuatu dengan susah payah.

Remasan tangan Kino semakin lama semakin teratur, diikuti gerakan naik turun seperti memeras. Setiap kali gerakan itu sampai ke ujung yang membengkak-membola itu, Kino merasakan tubuhnya seperti disedot ke dalam pusaran air birahi. Ia menggeliat-geliat keenakan. Kedua kakinya merentang tegang, dengan tumit tenggelam dalam-dalam di kasur. Kino mengerang.

Tris mengerang tanpa berusaha menahan suaranya. Ia sudah tak peduli lagi. Kedua pahanya terpentang lebar dan jari tengahnya melesak menerobos di antara lembah bibir-bibir kewanitaannya. Jari itu meluncur teratur, ….turun sampai melesak sedikit memasuki liang surgawi yang berdenyut-denyut, …. lalu naik menyusuri lembah licin yang hangat dan basah itu, … lalu terus naik ke atas lepitan kewanitaannya, tiba di tonjolan yang kini memerah itu,… berputar-putar di sana dua-tiga kali …..
“Aaaah,” erangan Tris semakin jelas. Kalau ada orang berdiri di balik pintu dan menempelkan kupingnya, niscaya ia akan mendengar erangan itu.
Tangan Tris bergerak semakin cepat, sementara tangan yang satunya juga terus meremas-remas payudaranya dengan gemas. Tubuh Tris berguncang-guncang oleh gerakannya sendiri. Ria menggumam pelan, lalu menggulingkan tubuhnya menjauh. Tris sudah tak lagi mempedulikannya. Ia sedang dalam perjalanan yang tak mungkin dihentikannya lagi. Ia harus sampai ke tujuan!

Kino merasakan tujuan asmara telah tampak di pelupuk mata. Ia kini memasukkan tangannya ke balik celana dalam, mencekal-meremas langsung kejantanannya. Ada sedikit cairan licin membasahi bagian ujung kejantanannya. Akibat gerakan turun naik, cairan itu terbawa telapak tangan membasahi batang kenyal-keras yang panas membara…
Gerakan tangan Kino semakin cepat dan teratur. Naik turun, naik turun, naik turun… Terkadang agak lama di bagian ujung, meremas-remas dan mengepal. Menimbulkan rasa geli yang berkepanjangan, menyebar ke seluruh tubuh, menggetarkan semua otot, bahkan sampai menyebabkan dipan berderik-derik pelan.

Ranjang Tris bergoyang keras ketika ia mulai merasakan dirinya mendaki puncak asmara. Kini dua jari yang melesak, mengurut, menelusur lembah sempit di bawah sana. Kini kedua pahanya terentang maksimum, membuat kewanitaanya terbuka lebar, memberikan keleluasaan gerak kepada tangannya.
Tangan yang satu lagi kini beralih ke bawah. Tris memerlukan kedua tangannya untuk mendaki puncak gemilang birahinya. Satu tangan untuk melesakkan kedua jarinya cukup dalam ke liang surgawi yang menimbulkan rasa nikmat itu, sementara tangan yang lain mengusap-menekan-memilin tonjolan merah yang kini berdenyut-denyut itu.
Tris bahkan sampai merasa perlu mengangkat pinggulnya, memberikan tekanan ekstra ke seluruh daerah kewanitaannya, menggosok-gosok keras dengan kedua tangannya…

Kino menggosok-gosok dengan cepat. Mengurut dengan keras. Naik turun tangannya semakin cepat, semakin cepat, dan semakin cepat. Nafasnya terengah-engah. Kakinya terasa bagai melayang, padahal keduanya menjejak kasur dengan keras. Satu tangannya yang bebas kini mencengkram seprai, seakan mencegah tubuhnya melambung ke langit-langit. Kino tak tahan lagi, ia menggerendeng merasakan tubuhnya seperti hendak meledak… Lalu ia benar-benar meledak. Menumpahkan cairan-cairan hangat di telapak tangannya.

Tris merasakan tubuhnya mengejang, ia mencoba terus menggosok-menggesek, tetapi rasa geli-gatal begitu intens memenuhi tubuhnya. Ia tak tahan lagi. Ia mengerang parau ketika sebuah ledakan besar memenuhi dirinya … Kedua kakinya terentang kejang. Kedua tangannya meninggalkan daerah kewanitaannya, mencengkram seprai di kedua sisi tubuhnya. Klimaksnya datang bagai guntur bergulung-gulung…
******

 

Malam bagai tak peduli. Tetap dengan kelam dan dingin dan desir angin bersiut. Langit sesekali berkerejap oleh kilat di kejauhan. Awan hitam berarak menutupi cahaya bulan, mencegah Raja Malam itu menerangi muka bumi. Pohon-pohon bagai tidur sambil berdiri, terayun-ayun oleh angin yang merajalela.

Sebentar kemudian hujan mulai turun. Mula-mula hanya berupa rintik kecil. Tetapi lalu dengan cepat semakin lebat. Bahkan kemudian sangat lebat seperti dicurahkan dari langit.

Kino tergeletak lunglai.
Tris terkulai lemas.
Keduanya terpisah oleh tembok, halaman, batu, sungai kecil, pohon, jalan raya, dan sebagainya …. Tetapi mereka bersatu dalam fantasi erotik, mereka bertemu dalam imajinasi asmara yang menggelegak membara.

Siapa bilang tidak ada kekuatan telepati di dunia ini?​

 
Di Vila Asmara

Keesokan paginya, ketika Kino tiba di tempat biasanya ia menunggu angkot, mobil Honda Civic itu telah lebih dulu berada di sana. Di bawah pohon, agak lebih ke utara dari tempat pemberhentian angkot, mobil itu tidak bergerak tetapi mesinnya masih menyala. Hati Kino berbunga-bunga, dan dengan setengah berlari dia menuju mobil itu.

Kali ini tanpa ditawari, pemuda itu langsung membuka pintu depan. Suara musik segera terdengar ketika pintu dibuka dan harum interior menyerbu keluar. Kino menundukkan badan sebelum masuk. Tris tersenyum di belakan stir. Ia sendirian saja, memakai setelan putih seperti ketika Kino pertama berjumpa dengannya di taman. Jantung Kino berdegup kencang lagi, seperti biasanya jika ia bertemu bidadari ini.

“Cuma mau lihat-lihat, atau mau ikut?” goda Tris melihat pemuda itu belum juga masuk.
“Aku ingin memastikan..,” ucap Kino pelan. Tris tertawa kecil dengan tawanya yang mempesona itu.
Kino cepat-cepat masuk, menutup pintu, dan dengan keberanian luar biasa ia mencium pipi bidadari nya. Tris tidak menghindar. Tidak bergeming sama sekali, bahkan.
Kino mencium harum lembut melati di pipi Tris. Cepat-cepat ia kecup permukaan kulit yang halus bagai pualam itu. Cepat-cepat pula ia mengalihkan ciumannya, ke sudut bibir yang ranum itu. Tris diam saja. Tetap tidak bergeming.

“Selamat pagi, bidadariku…,” bisik Kino dekat sekali di muka Tris. Dari jarak seperti ini, pemuda itu bisa memandang lekat ke mata perempuan yang selalu memenuhi mimpi-mimpinya itu. Mata yang baginya adalah sumber pancaran kehangatan dan keceriaan, sekaligus jendela bagi sebuah hati yang lembut walau tersaput sendu.

“Nakal..,” jawab Tris dengan berbisik pula. Dibalasnya tatapan pemuda itu, dan sejenak keduanya membiarkan jiwa mereka tertaut di jembatan pelangi yang tercipta dari dua pasang mata itu.

“Kangen..,” bisik Kino lagi sambil menghela nafas dalam-dalam menikmati harum segar nafas Tris. Ia seperti sedang menghirup aroma mistis yang membuat dadanya seperti dipenuhi perasaan bahagia semata.

“Sama-sama..,” jawab Tris pelan sekali, nyaris tak terdengar.
Lalu bibirnya menempel sekilas di bibir Kino, sebelum ia memalingkan muka, menarik nafas panjang dan mulai memasukkan persneling ke gigi satu. Mobil pun bergerak, lalu dengan cepat melaju menuju arah kampus.

“Aku tidak ingin kuliah hari ini,” ucap Kino.
“Betul-betul nakal!” sergah Tris sambil menahan senyum yang entah kenapa terus mengembang di bibirnya. Sulit sekali tidak tersenyum di dekat pemuda ini, keluh Tris dalam hati.
“Kamu harus kursus?” tanya Kino. Tris menggeleng. Ia bahkan tidak mengantarkan Ria ke sekolah hari ini, karena Neneknya bersedia mengantar dan menunggu. Ketika ibu mertuanya menawarkan jasa seperti itu, tidak seperti biasanya Tris tidak menolak. Adik suaminya yang kemudian mengantar mereka sambil pergi ke kantor, dan lagi-lagi Tris tidak menolak. Lalu Tris mengatakan kepada orang-orang di rumah, bahwa ia perlu belanja dan mungkin akan pulang sore. Nah, siapa yang nakal, sebetulnya?

“Bawa aku ke mana saja, Tris … asal jangan ke kampus,” kata Kino.
“Aku tak tahu musti ke mana,” jawab Tris walau hatinya mengatakan bahwa ia ingin sekali ke sebuah tempat di mana mereka bisa berdua saja. Dan sebetulnya ia sudah punya rencana … Tetapi … Ah, akankah aku mengajaknya ke sana? desah Tris dalam hati. Gelisah dan tak pasti.

“Berapa jauh mobilmu bisa pergi?” tanya Kino.
“Ke ujung dunia pun bisa, asal jalannya beraspal,” jawab Tris sambil tertawa.
“Kalau begitu, aku tahu musti ke mana,” kata Kino sambil tersenyum.
“Kemana?”
“Nanti aku beri tahu. Sekarang, ambil saja jalan ke arah selatan.”

Tris tersenyum sambil tetap menatap ke jalan di depannya. Kino memandangnya terus sejak mereka meninggalkan tempat pemberhentian angkot tadi. Cantik sekali ia pagi ini, ucapnya dalam hati. Ah, tetapi kapan ia tidak cantik? sergah suara lain di benaknya. Bahkan ketika sedang bersedih pun ia tampak cantik. Bagaimana kalau sedang marah? Tetapi kapan ia marah?

“Jangan pandangi aku seperti itu, Kino,” kata Tris sambil membelokkan mobil ke arah selatan. Di depan mereka kini terbentang jalan raya ke luar kota.
“Kenapa?”
“Nanti matamu sakit”
“Justru saat ini mataku terasa letih karena kurang tidur,” jawab Kino, teringat akan peristiwa semalam.

Mendengar ucapan ini, jantung Tris tiba-tiba berdegup lebih kencang. Tidak itu saja. Sebuah aliran hangat tiba-tiba merayapi leher dan mukanya. Oh, apakah ia juga mengalami hal yang sama semalam? ucapnya dalam hati. Apakah ia juga melakukannya?

“Kenapa?” tanyanya asal-asalan, walau akhirnya ia menyesal harus bertanya. Bagaimana kalau pemuda ini memberikan jawaban seperti yang diharapkannya?

“Banyak nyamuk,” kata Kino berbohong. Ia belum pasti apakah harus berterus terang dalam soal yang satu ini.​

 

Tris tertawa lega, sekaligus juga kecewa. Tadinya ia berharap pemuda itu akan mengatakan bahwa ia tidak bisa tidur karena memikirkan dirinya. Tetapi ia sebenarnya juga takut, kalau-kalau pembicaraan mereka harus membuat dirinya sendiri mengakui apa yang dilakukannya tadi malam.

“Tidur mu nyenyak?” tanya Kino, juga dengan jantung berdegup. Bagaimana kalau ternyata dia juga tidak bisa tidur dan melakukan apa yang kulakukan malam itu? gumamnya dalam hati. Tris menggeleng. Jantungnya berdegup kencang lagi. Kalau pemuda ini mendesak terus, apakah ia harus mengatakan yang sebenarnya?
“Kenapa?” tanya Kino.
“Terlalu banyak minum kopi,” kata Tris sambil berharap cemas menunggu pertanyaan selanjutnya. Tetapi rupanya Kino tak ingin melanjutkan percakapan. Sejenak keheningan melingkupi keduanya.

Mobil meluncur cepat meninggalkan kota B. Matahari mulai meninggi. Beberapa kali mereka berpapasan dengan gerobak-gerobak yang ditarik kerbau, membawa hasil bumi yang menggunung. Sawah luas mulai sering tampak di pinggir jalan. Di kejauhan, sebuah gunung tampak kelabu-biru. Puncaknya tertutup awan tipis berarak.
******


Kino mengajak Tris ke sebuah tempat yang ia sangat kenal, di pinggir sebuah danau kecil di kaki gunung. Tempat ini biasanya digunakan untuk perkemahan pramuka, atau untuk piknik keluarga di hari libur. Saat ini, tidak ada yang berkemah dan berpiknik. Hanya ada beberapa pemancing yang sedang bersiap-siap dengan perahu mereka hendak ke tengah danau mencari ikan.

Mobil diparkir di depan sebuah warung yang tutup. Kalau musim libur, warung ini buka 24 jam, menyediakan segala macam keperluan orang-orang kota yang tidak selalu bisa back to nature walaupun maunya begitu. Kino mengenal baik pemilik warung itu karena sering hiking (berjalan lintas alam) ke daerah ini, membawa anggota junior dari kelompok pencinta alam di kampusnya. Bagi Kino, daerah yang masih asri ini mengingatkannya pada kampung halaman, tempat ia bersekolah dan bercengkrama dulu (Bagi pembaca yang belum tahu awal cerita, bisa lihat Babak I serial Kino).

Dari tempat parkir itu, Kino mengandeng tangan Tris menuju danau, melintasi tanah lapang kecil yang biasa dipakai sebagai arena perkemahan. Di pinggir danau ada sebuah dangau (gubuk sederhana tanpa dinding) yang biasa dipakai berteduh kalau hari terik. Pelataran depan dangau ini berupa sebuah dermaga kayu yang sangat rendah sehingga hampir menyentuh permukaan air. Di dermaga itulah, tanpa alas kaki, Kino dan Tris duduk menghadap kaki gunung di seberang danau, mencelupkan kaki dan menendang-nendang air sejuk segar.

“Suasananya seperti di kampung halamanku,” kata Kino dengan mata menerawang ke kejauhan.
“Ceritakan tentang kampungmu, Kino..,” ujar Tris sambil merangkul lengan pemuda itu.
“Mungkin tak ada yang menarik buatmu,” jawab Kino karena menduga pastilah “anak kota” seperti Tris (yang seperti kata Ridwan, “dibesarkan dan bersekolah di ibu kota”) tidak akan tertarik kepada “kampung”.
“Ayolah!” sergah Tris merajuk, “Kalau kamu yang menceritakan, pasti menarik!”
“Ceritanya panjang. Dari mana aku harus mulai?”
“Ceritakan tentang rumahmu, orangtuamu, saudara-saudaramu..,” kata Tris, mempererat pelukannya di lengan Kino. Pemuda itu menunduk, memandang riak air dan seekor capung yang dengan gagah berani terbang mengapung di dekat dua pasang kaki manusia. Sebuah perasaan rindu yang amat kuat tiba-tiba menyergap dadanya. Ah! Lama sekali aku tak pulang dan tak berkabar! desahnya dalam hati.

“Ayooo, dong!” sergah Tris lagi, kali ini sambil menyandarkan kepalanya di lengan pemuda itu. Entah kenapa, bagi perempuan ini dunia sekarang jadi luas sekali, dan ia merasa sendirian sehingga perlu memeluk erat pemuda di sebelahnya. Entah kenapa, tiba-tiba ia merasa hanya pemuda ini yang ada di tengah jagat semesta tak berbatas. Kalau ia tak memeluk erat lengan itu, kemana angin akan membawanya terbang?
Kino pun bercerita dengan suara pelan, tentang sebuah rumah tua yang turun temurun ditempati keluarganya, dengan langit-langit kusam yang sudah berusia puluhan tahun, dan dengan beranda yang berlantai ubin kuning; lantai yang selalu mengkilap, karena setiap akhir pekan Ibu menggosoknya dengan sekaleng ampas kelapa. Rumah yang selalu teduh, dengan tembok yang agak lembab sehingga sebulan sekali perlu diamplas agar lumut tidak merajalela. Rumah yang menyimpan teriakan-teriakan ceria gadis kecil kepada kakaknya, juga ucapan lembut Ibunya, dan suara berwibawa Ayahnya. Betapa jauhnya rumah itu saat ini, …. beratus-ratus kilometer di seberang tanah, lembah, sungai, dan lautan.

“Berapa usia adikmu?” tanya Tris ketika Kino sejenak terdiam di tengah ceritanya.
“Sekarang sudah 11 tahun,” jawab Kino, lalu ia melanjutkan dengan suara lirih,
“Aku rindu sekali kepadanya.”Tris mengangkat kepalanya dari lengan Kino, menoleh memandang muka pemuda itu. Kasihan, gumamnya dalam hati, pemuda ini punya perasaan begitu halus. Pastilah ia sangat mencintai adiknya. Pantas ia mudah sekali dekat dengan Ria.
“Kapan terakhir kau pulang, Kino?” tanya Tris lembut sambil mengusap anak-anak rambut dari kening pemuda itu. Angin berhembus agak kencang, membawa sedikit embun yang membuat muka mereka lembab seperti habis bercuci muka.
Kino menunduk lagi. Ia katakan bahwa sejak tiba di kota B, belum sekali pun ia sempat pulang ke kampung halamannya.

Tris terenyuh merasakan nada getir dalam ucapan Kino. Betapa berbedanya nasib pemuda ini denganku, bisiknya dalam hati. Aku hidup dikelilingi orang-orang terdekat. Tris memanjangkan lehernya, meraih leher Kino agar mendekat, lalu mencium pipi pemuda itu dengan sepenuh perasaan. Ingin rasanya ia menjadi bidadari yang sesungguhnya, agar bisa terbang membawa Kino ke kampung halamannya. Sayang sekali, aku cuma bidadari baginya, desah Tris dalam hati.

Lalu Kino bercerita tentang sekolahnya. Tentang teman-temannya. Juga tentang Alma, walau tanpa menyatakan terus-terang bahwa gadis itu adalah pacar pertamanya. Kino bercerita pula tentang Mba Rien, tetapi tidak tentang pengalaman-pengalaman mendebarkan yang diberikan wanita lajang itu. Lancar sekali Kino bercerita, seperti sedang mengulang kembali tahun-tahun yang sampai sekarang masih seperti terang terpampang di benaknya. Baru kali ini ia bisa bercerita begitu terbuka kepada seseorang yang praktis bukan siapa-siapa; bukan kakaknya, bukan saudaranya. Tetapi barangkali itulah sebabnya perempuan ini adalah bidadariku, ucap Kino dalam hati.

“Alma itu pacarmu?” Tris memotong sambil menendang air danau, menimbulkan riak-riak besar. Kino tersenyum, mendeteksi ada sedikit nada lain di suara Tris. Apakah perempuan ini cemburu?
“Ya,” jawab Kino, “Pacar pertamaku.”
“Sampai sekarang?”
“Entahlah,” jawab Kino sambil menghempaskan nafas kuat-kuat,
“Aku tak pernah berjumpa atau mendengar kabarnya lagi.”
“Kamu mencintainya?” Kino menoleh, memandang Tris yang kali ini menunduk memandang air danau, seperti sedang mencoba menembus tirai air untuk melihat dasar danau yang gelap.
“Aku tidak tahu,” katanya terus terang. Kino memang tidak pernah tahu, apakah ia mencintai gadis itu. Kalaupun “ya”, ia tak pernah bisa menjawab apakah perasaan itu masih ada sampai sekarang.​

 

Tris tersenyum dalam hati mendengar jawaban Kino. Dasar nakal! sergahnya dalam hati, tentu saja ia tak mau mengakui di depanku. Tris tahu persis, pemuda di sampingnya ini tertarik padanya. Mungkin juga jatuh cinta kepadanya. Mana mungkin ia mau mengatakan bahwa ia masih mencintai gadis itu.

“Aku sungguh-sungguh tidak tahu, Tris..,” ucap Kino ketika melihat Tris diam saja. Tadinya ia berharap Tris mendesak terus dengan pertanyaan-pertanyaan, sehingga ia bisa mengetahui lebih jauh apakah perempuan ini memang berminat mengetahui keadaan sesungguhnya. Tris menoleh, membalas tatapan Kino, dan tersenyum sambil berkata,
“Lalu, siapa pacarmu sekarang?”

Kino terdiam sejenak. Bagi pemuda itu, kedua mata Tris tampak bagai pedang baja tajam berkilauan, siap menembus jantungnya yang berdegup kencang. Dihelanya nafas panjang-panjang, dikumpulkannya semua kekuatan yang ada padanya. Lalu ia berucap pelan dan tegas,
“Kamu.”

Tris tertawa keras, membuat capung-capung yang mulai berkumpul di dekat kaki mereka terbang berhamburan. Kino pun ikut terkejut, dan sempat kecut hatinya mendengar Tris tertawa. Apakah ia menertawaiku? pikirnya dengan panik.

“Kamu seperti botol bening, Kino. Gampang ditebak isinya!” ucap Tris sambil menahan tawa melihat Kino terkejut. Sesungguhnyalah pemuda ini begitu polos bagi Tris. Kino ikut tertawa, tetapi dengan canggung.

“Kamu benar,” katanya,
“Teman-temanku juga bilang, aku seperti buku yang terbuka. Mudah dibaca isinya.”

Tris meraih pinggang Kino, memeluk pemuda itu dengan sayang, menengadahkan mukanya menawarkan bibir yang merekah basah. Ayo, ciumlah aku kalau kamu memang mencintaiku, bisiknya dalam hati. Mungkin dengan begitu aku bisa memutuskan sikapku sendiri.

Kino membiarkan tubuhnya sedikit terhuyung dipeluk oleh Tris. Muka bidadarinya itu dekat sekali dengan mukanya. Nafasnya yang harum menerpa bersama aroma alam segar yang amat disukainya. Tanpa ragu, Kino mencium bibirnya yang mempesona, mengulumnya dengan sepenuh hati, menumpahkan segala perasaannya ke mulut perempuan yang sudah menyita hidupnya belakangan ini.

Tris memejamkan matanya erat-erat, menutup pandangannya dari dunia nyata, membiarkan jiwanya terbang ke alam maya yang penuh ketakjuban. Bibir pemuda itu terasa hangat di bibirnya, membiaskan citra kasih yang merayapi leher, turun ke dadanya, membuatnya melayang seakan berenang-renang di lautan perasaan yang amat dalam. Tris membiarkan dirinya terlena karena ia ingin pula segera menemukan, ada apa di dasar perasaannya. Apakah ia telah jatuh cinta, ataukah ini semacam episode saja dalam hidup yang tak pernah bisa diduga sepenuhnya itu?

Perlahan tapi pasti, keduanya saling mengulum dan saling melumat. Perlahan tapi pasti pula, kemesraan mereka berkembang berbuah menjadi kehangatan birahi badani.

Tris semakin jauh terlena, merasakan desir darahnya bertambah cepat, dan daerah-daerah sensitif di tubuhnya seperti terbangkit oleh sebuah kekuatan gaib. Kedua tangannya merangkul leher Kino, merengkuh tubuh pemuda itu agar lebih erat terhenyak ketubuhnya. Nafasnya mulai memburu, dan desah gelisahnya mulai terdengar nyata.

Kino pun merasakan kelembutan kehangatan tubuh dalam pelukannya bagai segumpal awan yang dapat membawanya terbang. Nikmat sekali rasanya memeluk orang yang kau rindukan setiap hari, bisik hatinya. Harum tubuh perempuan ini pun sangat memabukkan, membuat Kino terasa berada di salah satu sudut di kahyangan, di mana segalanya cuma keindahan dan kenikmatan belaka. Ingin sekali rasanya ia merebahkan tubuh itu di lantai dermaga, menindihnya dengan sepenuh nafsu, memberikannya kenikmatan yang kini dirasakan sudah penuh terkumpul di dalam tubuhnya.

“Jangan di sini, Kino..,” desah Tris sambil melepaskan pelukannya. Ia sempat merasakan tangan Kino meremas pinggulnya, dan merayap turun ke pahanya. Pemuda itu tersentak tersadar.
“Maaf, Tris, aku terburu nafsu..,” ucapnya dengan gugup.
“Ssst.. jangan minta maaf terus!” sergah Tris sambil menempelkan telunjuk nya di bibir Kino,
“Aku tahu tempatnya…”
Kino mengernyitkan keningnya, keheranan mendengar kalimat terakhir itu. Apa maksudnya dengan “tempat”? Ke mana bidadari ini akan mengajakku; pasti bukan kekahyangan! bisik Kino dalam hati.

Ia membiarkan dirinya ditarik bangun. Lalu ia melihat Tris menjinjing kedua sepatunya, dan tahu-tahu sudah berlari ke arah mobil sambil berteriak riang,
“Ayo, Kino. Kalau terlambat, aku tinggal kamu di sini!”

Terburu-buru Kino meraih sepatunya lalu mengikuti jejak Tris, berlari tanpa alas kaki. Hampir saja ia tersandung batu besar di pintu keluar dangau.
******​

 

Rumah kecil dan asri itu terletak jauh di tengah kebun karet yang tampaknya sudah tak berfungsi lagi. Jalan menuju rumah itu berliku-liku, tidak beraspal tetapi berbatu-batu kerikil dan tampaknya terawat baik karena mobil Tris bisa melaju cukup cepat. Di depan rumah itu ada sebuah taman yang luasnya dua kali lipat dari bangunan rumah, tampaknya juga terawat baik dengan bunga-bunga aneka warna. Sebuah pintu gerbang besar terbuat dari kayu kokoh tampak tertutup ketika mereka tiba, tetapi lalu Tris menekan sebuah alat di mobilnya, dan pintu itu terbuka sendiri.

Kino takjub memandang teknologi yang sering didengarnya, tetapi yang baru kali ini dilihatnya itu.
Tris tertawa kecil melihat Kino terpana, lalu berucap,
“Belum pernah ke villa?” Kino menggeleng. Ia sering mendengar orang-orang kota yang punya villa di tempat-tempat peristirahatan seperti ini. Tetapi baru kali ini ia masuk ke dalam salah satunya. Dulu Rima pernah bilang ayahnya punya villa di daerah P, tetapi mereka belum pernah ke sana. Ridwan juga katanya punya dua villa entah di mana, tetapi pemuda itu tak pernah mengajaknya ke sana. Kini, bidadari yang mempesonanya itu membawanya ke sebuah villa!

Dengan cekatan Tris memasukkan mobilnya ke sebuah garasi yang juga terbuka dengan sentuhan tombol remote control. Tak ada sebatang hidung manusia pun yang tampak di villa itu. Mungkinkah mereka cuma berdua di sini? Kino bertanya-tanya dalam hati. Seandainya “ya”, mungkinkah …..? Lamunan Kino buyar karena Tris mencubit tangannya.

“Kita sudah sampai. Ayo turun..,” ucap Tris lembut sambil memandangnya dengan tatapan yang membuat Kino gelisah.
“Katakan dulu, di mana kita,” jawab Kino membalas tatapan Tris dengan tak kalah tajam.
“Ini tempatku bertapa,” kata Tris sambil tersenyum; ada sekilas sinar nakal di matanya, membuat Kino ingin menggigit gemas bidadari ini.
“Kenapa kita ke sini?” desak Kino.
“Karena aku mau ke sini,” jawab Tris sambil mulai melangkah keluar. Kino menelan ludah, merasa tiba-tiba gugup dan canggung. Dengan ragu ia ikut melangkah keluar, menyusul Tris yang cepat sekali menghilang ke balik sebuah pintu di belakang garasi.

Pintu itu menghubungkan garasi dengan ruang tengah yang luas, berisi dua buah sofa panjang di atas hamparan karpet tebal bermotif modern. Di depan sofa tampak sebuah perapian yang tampaknya memakai energi listrik. Juga ada sebuah televisi ukuran besar dan sebuah stereo-set dengan empat speaker yang menjulang tinggi.

Tris berdiri dekat sofa ketika Kino masuk dengan langkah ragu-ragu. Pemuda ini betul-betul terpana melihat isi villa. Apalagi ada sebuah jendela besar yang menghadap ke sebuah sungai di bawah sana. Airnya tampak berkilauan, menyelinap berliku di batu-batu besar berwarna hitam legam.

“Kesini..,” Tris berbisik sambil mengembangkan kedua tangannya, mengundang Kino ke pelukannya. Kino melangkah mendekat, lalu membiarkan pinggangnya dipeluk Trista, membiarkan tubuh bagian bawah mereka menyatu. Jantungnya berdegup sangat kencang, menimbulkan suara ramai di telinganya.

“Kamu takut?” bisik Tris dekat sekali di mukanya. Kino memandang lekat kedua mata bidadarinya. Ia menemukan kehangatan yang membara di sana. Menemukan percik-percik yang membakar jiwanya, menimbulkan gairah yang perlahan-lahan menghapus keraguannya.

“Sekarang tidak lagi,” ucap Kino sambil menahan getar di bibirnya.
Tris tersenyum lembut sekali, lalu mendekatkan mukanya ke muka pemuda itu, membuka bibirnya bagai sekuntum bunga yang merekah menyambut matahari pagi. Kedua kelopak matanya menutup perlahan, sebelum bibir mereka beradu lembut. Kino merasakan betapa sebuah aliran hangat seperti merayap keluar dari bibir yang menggairahkan itu, menelusup ke bibirnya sendiri lalu memenuhi dadanya. Tiba-tiba keragu-raguannya sirna. Rasa takutnya lenyap, seperti embun diterpa panas mentari. Dan kini panas mentari terbit di tubuhnya, membuat darahnya menggelegak seperti mendidih.

Tris berjingkat, memeluk leher pemuda itu, mengulum bibirnya, membuka mulutnya mengundang lidah Kino untuk mulai menjelajah. Ayolah, desahnya dalam hati, lakukan lagi apa yang selama ini kau lakukan. Lakukan pula apa yang selama ini aku impikan. Lakukan dan lakukan lagi. Ayolah…

Kino menghisap kedua bibir yang menggairahkan itu, membuka mulutnya sendiri untuk menyambut sergapan nafas hangat yang menghembus keluar dari mulut Tris. Lalu ia menjilati lidah Tris yang muncul di permukaan mulutnya. Lalu ia mendesak lidah itu kembali ke mulutnya, dan menjelajahi rongga yang menggairahkan dan penuh kehangatan itu. Tris mendesah perlahan. Tris mengerang perlahan.

Cukup lama keduanya saling memagut dan melumat sambil tetap berdiri. Tris merasakan tubuhnya melayang-layang lagi. Kali ini disertai rasa geli gatal yang sangat dikenalnya; yang perlahan-lahan mulai memenuhi tubuhnya. Payudaranya yang kenyal terhenyak di dada bidang pemuda itu, menimbulkan rasa nyaman sekaligus nikmat. Apalagi Tris kemudian menggerak-gerakkan dadanya perlahan, menggesek kekiri dan kekanan, menambah tekanan di puncak-puncaknya.

Perlahan-lahan tangan Kino merayap turun dari punggung Tris, menyusuri lekuk-liku tubuh yang seksi itu. Setiap mili perjalanan tangan itu menimbulkan gairah kelaki-lakiannya. Apalagi kemudian ia menemukan resleting di punggung Tris begitu mudah terbuka,… perlahan-lahan menguakkan gaun putih yang dikenakannya. Tangan Kino menyelusup masuk, menemukan kulit halus mulus menggairahkan yang seperti bergetar lembut setiap kali tersentuh telapaknya.

“Hmmmmm…,” Tris mendesah manja sambil melangkah mundur perlahan-lahan ke arah sofa. Kino mengikutinya sambil terus mengusap-usap punggung Tris yang telanjang.
Sebelum sampai di sofa, Tris menggerak-gerakan bahunya, dan gaun tipis yang resletingnya sudah terbuka itu kini meluncur turun. Sekejap kemudian, Tris tinggal berpakaian dalam….. Kino melepaskan ciumannya, memandang takjub tubuh molek di hadapannya. Tubuh inilah yang selalu ada di mimpinya, dan … memang, tak ada yang berbeda dari selama ini dirindukannya! Semuanya tampak indah belaka!

“Buka bajumu, Kino..,” bisik Tris dengan suara bergetar sambil mulai membuka sendiri beha nya. Dalam sekejap kedua payudaranya yang membulat menjulang itu terpampang seksi di hadapan Kino. Pemuda ini menelan ludah berkali-kali sambil dengan gugup membuka bajunya. Tris tersenyum melihat Kino baru bisa membuka satu kancing dan sedang repot membuka yang kedua.

“Sini aku bantu,” bisiknya sambil mendekat dan dengan cepat membuka kancing baju pemuda itu. Kino meraih tubuh Tris lebih dekat lagi, memegang mukanya dengan dua tangan, dan memagut bibirnya yang menggemaskan itu. Tris mengerang pelan sambil memejamkan kedua matanya lagi.
Sambil mengulum bibir Tris, tangan Kino dengan cepat meluncur ke dadanya, meremas dua bukit indah yang menggairahkan itu, membuat Tris mengerang lebih keras lagi. Sebuah sergapan kenikmatan memenuhi tubuh wanita ini, yang kini sibuk membuka celana jeans Kino. Dengan satu tangan lain, Kino membuka celana dalam nilon Tris, memerosotkan nya sampai ke paha, lalu meremas bagian belakang yang membukit mulus itu. Tris mengaduh manja.

Sebentar kemudian pakaian keduanya telah berserakan tak beraturan di kaki sofa, dan keduanya telah terhenyak di badan sofa dengan tubuh Kino menindih tubuh Tris yang putih mulus. Kedua kaki Tris yang indah itu melingkar memeluk pinggang Kino yang kini sibuk menciumi dada bidadari pujaannya. Kedua tangan Tris mencengkram sandaran sofa karena sebuah rasa geli yang amat sangat menyerbu tubuhnya, datang dari mulut Kino yang tahu-tahu sudah mengulum salah satu putingnya.
“Oooh!” Tris menjerit sambil mendesis ketika merasakan ujung kejantanan Kino yang sudah tegang keras itu menyentuh permukaan kewanitaannya. Ia menurunkan kakinya dari pinggang pemuda itu agar bisa mengangkat bagian bawah tubuhnya … agar bisa segera dimasuki oleh bagian yang kini sering di impikannya itu.

Kino menggeliat kegelian merasakan kejantanannya tergesek-gesek di sebuah lepitan yang agak basah dan hangat. Terus terang, ia belum pernah melakukan percumbuan dengan tubuh sepenuhnya telanjang seperti ini. Ada semacam rasa aneh yang memenuhi dirinya; semacam perasaan tidak berada di dunia yang sesungguhnya. Seperti dalam dunia hayal yang sewaktu-waktu bisa berubah atau lenyap. Seperti menjadi bagian dari sebuah mimpi erotik yang sewaktu-waktu bisa membuatnya terjaga.

Lalu Kino merasakan dirinya pelan-pelan tenggelam … Masuk ke sebuah liang sempit yang licin dan berdenyut … Ini belum pernah dialaminya … Sesuatu yang berbeda dengan sebelumnya .. Sesuatu yang menakjubkan mempesona melenakan.

“Kino…,” Tris mendesah sambil merangkul leher pemuda itu. Ia merasakan sentuhan kejantanan Kino berubah menjadi desakan lembut yang menyebabkan sesuatu di bawah sana terkuak perlahan… Lalu ia merasakan sebuah kehangatan menyerbu masuk .. Mula-mula perlahan, tetapi kemudian cepat melesak … Tris mendesis merasakan tusukan kenikmatan menikam ke pusat kewanitaannya.

Kino terhenyak dalam sekali di tubuh bidadari pujaannya. Ia mengerang ketika merasakan dirinya seperti diselimuti oleh gumpalan daging lembut hangat dan licin. Rasanya seperti terhenyak di kelembutan alami yang tak berujung tak berpangkal. Rasanya juga seperti diremas-remas dengan perlahan di sepanjang tubuhnya.

Lalu entah bagaimana keduanya mulai bergerak-gerak. Mula-mula gerakan itu tak beraturan. Tetapi kemudian mereka menemukan irama sendiri. Kino bergerak turun naik makin lama makin cepat. Tris bergerak berputar-putar, juga semakin cepat. Kino kini bertelektekan di kedua sikunya sambil membenamkan mukanya di pangkal leher Tris yang sudah mulai berkeringat. Tris merangkulkan kedua kakinya yang indah di pinggang pemuda itu, sementara kedua tangannya merangkul erat leher Kino. Suara desah dan erangan bercamput derit sofa dan kecipak-kecipuk seksi yang keluar dari tempat berpadunya tubuh mereka. Ramai sekali. Bergairah sekali.
Entah kebetulan atau tidak, alam seperti sedang menyaksikan pecumbuan dua anak manusia ini. Sebuah guntur menggelegar di kejauhan, gemanya dipantulkan dinding-dinding gunung, menimbulkan geluduk berkepanjangan seperti ada kereta api raksasa melintas di langit. Lalu rintik hujan mulai turun diiringi angin yang berkesiut di puncak-puncak pohon. Suasana cepat sekali berubah menjadi seperti senja hari, padahal ini belum pukul 12.00.

Kino bergerak makin cepat dengan nafas semakin berburu. Tris berkali-kali mengerang mendesah dengan kaki yang semakin tinggi terangkat, hampir mencapai punggung Kino. Ia kini tak lagi bergerak, melainkan terkangkang lebar dan pasrah menunggu datangnya badai klimaks yang sudah di ambang pintu. Ketika Kino untuk kesekian kalinya menghujam dengan kuat dan bergairah, Tris mengerang panjang sambil menyebut nama Kino. Tangannya mencengkram sofa kuat-kuat, kepalanya tersentak ke belakang menekan sandaran, seluruh tubuhnya menggeliat menggelinjang. Klimaksnya datang bagai hendak menyita seluruh jiwanya.

Kino merasakan pula sebuah desakan yang tak mampu dikendalikannya, membuat tubuhnya bergetar hebat. Air bah birahi mengambur keluar deras sekali, membuatnya meregangkan seluruh otot di tubuhnya. Tubuh bagian bawahnya terhenyak dalam-dalam, menekan tubuh Tris ke sofa di bawahnya. Lalu ……

“Oooh..,” Tris menjerit pelan merasakan cairan panas menyeruak tumpah ruah di dalam tubuhnya.
“Aaah!” Kino menjerit pula, tidak hanya sekali, tetapi setiap kali ia merasakan muncratan cairan cintanya berhamburan keluar tak tertahankan.
Air hujan bagai ditumpahkan dari langit. Suaranya ramai sekali mencercah bumi, menghantam genteng villa menimbulkan suara gemuruh, menenggelamkan jeritan-jeritan Kino dan Tris yang sedang menikmati klimaks mereka yang panjang.

Hari itu, di suatu siang yang basah oleh hujan, Kino menyerahkan keperjakaannya kepada seorang wanita yang dianggapnya bidadari. Ia tak menyadari hal ini, karena berkali-kali kemudian mereka bercumbu dan bercumbu lagi. Tak pula sempat menimbang, betapa semakin lama mereka melangkah semakin jauh. Bahkan mungkin terlalu jauh…..​

 

Tris dan Kino bagai dua burung yang lepas dari kukungan sangkarnya, terbang lincah dan liar di angkasa terbuka. Juga bagai dua pengelana dahaga yang menemukan oasis sejuk berlimpah air di tengah padang pasir gersang. Mereka reguk segala kebebasan bagai tiada lagi hari esok.​

Hampir setiap waktu luang mereka gunakan untuk bercengkrama atau bercumbu, tak peduli pagi, atau siang, atau malam. Badai gairah cinta-birahi menerbangkan mereka tinggi sekali, menebus mega kesadaran menuju puncak-puncak kenikmatan yang seringkali beriringan dengan kealpaan.

Ridwan menahan geram ketika ia mengetahui hubungan dua anak manusia itu sudah sangat jauh. Selain dia, Rima juga mulai mengenali keganjilan Kino. Sudah tiga kali dalam seminggu yang lalu Kino membolos kuliah. Belum pernah sepanjang persahabatannya dengan pemuda itu, Rima melihat Kino begitu mudah meninggalkan studi.
Di bawah pohon asam dekat gerbang utama kampus, Rima mendesak Ridwan agar menceritakan apa yang terjadi dengan sahabat mereka. Geram sekali gadis ini menyadari bahwa sahabat yang diam-diam dipujanya itu ternyata terpikat oleh wanita lain. Lebih geram lagi ketika ia kemudian tahu bahwa wanita itu sudah bersuami!

“Kamu selama ini rupanya sudah tahu banyak tentang mereka!” sergah Rima gemas, karena merasa disingkirkan dari jaringan persahabatan mereka.
“Siapa yang kau maksud dengan ‘mereka’?” jawab Ridwan pura-pura tidak tahu.
“Jangan pura-pura bloon!” sergah Rima lagi sambil menatap tajam. Ridwan menghindari tatapan itu, mendongak menghembuskan asap rokoknya tinggi-tinggi.
“Mengapa Kino sampai begitu, Rid?” desak Rima. Ridwan menunduk, memainkan kerikil dengan ujung sepatunya. Itu pertanyaan yang sangat sulit dijawab. Ia sendiri tidak tahu jawabnya. Kata orang, begitulah kalau cinta telah melanda kalbu. Tetapi, apa itu cinta, Ridwan tak pernah bisa memahaminya lebih jauh. Terlebih lagi, mengapa orang bisa begitu mencintai seseorang, sampai berani mengambil risiko besar? Ah, itulah justru misteri yang selama ini tak pernah ia bisa pecahkan.

Terdengar langkah orang mendekat. Mereka berdua menengok; rupanya Tigor yang datang dengan dahi berkernyit serius.
“Gila betul si Kino itu!” ucap pemuda itu dengan logat daerahnya yang kental.
“Ada apa?” tanya Rima dan Ridwan berbarengan.
“Aku lihat tadi dia bersama perempuan itu lagi, naik mobil ke arah selatan,” kata Tigor sambil menghenyakkan pantatnya, duduk di sebelah Ridwan.
“Kenapa kau bisa bertemu mereka?” tanya Rima, sementara Ridwan membisu. Pikiran pemuda ini berkecamuk hebat, karena sebetulnya ia sudah mendengar selentingan kabar bahwa salah seorang penjaga dan perawat villa milik Tris sudah tahu tingkah tuan putrinya itu.
“Aku iseng ingin ke tempat kostnya, pagi-pagi sekali,” kata Tigor, “Tapi, baru aku sampai di tikungan menjelang jalan ke sana, aku lihat di kejauhan si Kino naik ke mobil putih itu. Aku kebut lah, motorku. Kukejar mereka, tapi tak aku salip..”
“Apakah Kino melihatmu?” Ridwan membuka mulut juga akhirnya. Tigor menggeleng. Rima menghembuskan nafas kuat-kuat. Lalu ketiganya terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing.

“Baiklah aku ceritakan saja siapa perempuan itu..,” kata Ridwan akhirnya sambil memperbaiki letak duduk. Segera saja Rima dan Tigor menengok dan menatap pemuda itu dengan seksama. Rima duduk di sebelah kiri, sehingga kini Ridwan terapit oleh dua sahabatnya. Kalau ada orang melihat dari kejauhan, niscaya mereka melihat pemandangan indah: tiga sahabat muda bercakap-cakap serius seksama, di bawah teduhnya pohon asam yang rindang, di tengah siang yang terik.

Tentu orang lain tak tahu, bahwa yang mereka bicarakan adalah sesuatu yang sangat menggelisahkan. Berkali-kali terlihat Rima menghela dan menghembuskan nafas panjang. Tigor juga kelihatan gelisah, mengusap-usap rambutnya yang keriting berkali-kali; seakan-akan dirambutnya itu ada sesuatu yang harus disingkirkan jauh-jauh. Apa yang diceritakan oleh Ridwan membuat Rima dan Tigor terkesima. Terutama ketika akhirnya Ridwan menceritakan pula gosip yang kini sudah tersebar di keluarga Tris, akibat cerita mulut ke mulut di kalangan penjaga dan perawat villa.
*******​

 

Sementara itu, di saat yang sama, tetapi puluhan kilometer jauhnya dari tempat ketiga sahabat itu berbincang-bincang, Kino sedang tenggelam dalam lautan birahi. Tubuhnya yang penuh vitalitas muda itu berkeringat, bergerak naik turun dengan ganas di atas tubuh putih mulus yang menggelinjang-gelinjang penuh gairah. Suara desah bercampur erangan dan rintihan memenuhi kamar yang luas di villa asmara itu. Derit dan derik ranjang ikut meningkahi, menambah semarak dan seronok suasana. Dua buah bantal tampak berserakan di lantai, di atas beberapa helai pakaian yang tampaknya dibuka tergesa-gesa dan dilemparkan begitu saja oleh pemiliknya.

“Oooh, Kino… lebih cepat lagi… ooooh…,” Trista terdengar mendesah merintih, sambil melingkarkan kedua tangannya di leher pemuda itu, menarik kepala Kino lebih tenggelam lagi di lekuk-liku pangkal lehernya.
Wanita yang bertubuh padat dan seksi ini terlihat memejamkan matanya menikmati persetubuhan yang menggelora itu. Keringat telah tampak pula di tubuhnya yang mulus, terutama di lehernya yang jenjang itu,.. di dadanya yang terhenyak oleh dada Kino.., di bahunya yang melengkung indah itu,.. di punggungnya yang melenting menggeliat tinggi di atas kasur,.. di bokongnya yang padat dan tak hentinya bergerak-bergetar gelisah ...

“Mmmh… yaaa…mmmh..,” Kino cuma bisa mengerang sambil terus menciumi leher Tris yang sudah basah oleh keringat.
Otot-otot di tubuh pemuda ini sedang berjuang keras memenuhi tuntutan birahi pemiliknya dan perempuan yang sedang disetubuhinya. Ia seperti berenang-renang di lautan liat kenyal yang hangat dan berdegup-berdenyut. Seperti tenggelam dalam sponge dan jelly raksasa yang selalu bergerak-gerak liar. Seperti terperangkap oleh otot halus tapi kuat yang erat mencekal sepanjang batang tegang tegak kelaki-lakiannya.

“Aaaah… ,” Trista mengerang, mengangkat tinggi-tinggi kedua kakinya, memeluk tubuh pemuda itu.
Wanita itu merasakan hujaman tikaman kejantanan Kino semakin lama semakin terasa nikmat, memenuhi seluruh rongga kewanitaannya yang berdenyut-denyut liar di bawah sana. Hujaman itu juga semakin dalam, mendesak jauh sampai ke langit-langit paling belakang dari liang licin yang bagai berdecap-decap ikut menikmati perjalanan asmara yang membara Ini adalah untuk kesekian kalinya ia mendaki puncak asmara. Sudah tiga kali tadi ia menggelepar-gelepar menikmati orgasmenya…. betul-betul hebat percumbuan mereka.
Belum pernah sepanjang masa perkawinannya Trista mengalami kenikmatan hubungan badan yang begini memabukkan. Kino tadi menyetubuhinya di lantai, memberikan dua orgasme yang datang cepat bagai angin taifun. Lalu pemuda itu mengangkatnya ke ranjang, dan memberikan satu lagi orgasme susulan yang bagai merupakan penjumlahan dari dua orgasme sebelumnya.

Kino menghujam-hujamkan kejantanannya dengan bergairah. Oh, sudah beberapa kali ini mereka bercumbu, dan Kino benar-benar ketagihan dibuatnya. Tidak saja ia menikmati birahi badani, tetapi ia juga merasa sangat berbahagia bisa membuat bidadari pujaannya mengerang-erang nikmat. Bagi Kino, baru kali inilah hubungan seksual mempunyai makna yang lebih daripada sekedar ejakulasi. Setiap kali mereka berhubungan, Kino merasa mempunyai kesempatan untuk memberikan kebahagian sebesar-besarnya kepada wanita yang telah menyita seluruh perhatiannya ini. Sebagai pemuda desa yang tak berpenghasilan, hanya itulah yang bisa ia berikan kepada Trista.

Kino juga tiba-tiba menjadi semakin ahli dalam bercumbu, padahal tidak ada yang mengajarinya, kecuali dulu Mba Rien yang memperkenalkannya pada misteri seksual wanita. Dengan hanya mengikuti instingnya, Kino melayani gairah birahi Tris yang ternyata juga sangat berkobar-kobar itu. Setiap permintaan Tris dipenuhinya, bahkan kalaupun ia tidak mengerti apa permintaan itu pada mulanya.

Seperti tadi, ketika mereka baru memulai percumbuan di sofa di kamar tengah, Tris meminta Kino menciumi perutnya. Sambil tertawa manja, perempuan itu menuntun kepala Kino ke tempat-tempat yang disukainya. Mula-mula Kino menciumi belahan atas perut itu, sedikit di bawah dua bukit payudaranya yang menjulang indah. Hmmm… harum dan halus mulus kulit perut Trista, membuat pemuda ini bersenang hati berlama-lama menciumnya. Entah kenapa ia sejenak berhayal bisa masuk ke dalam perut yang tampak lembut bergetar itu.., mungkinkah ia bisa mencelup kedalam rahim wanita yang selalu menggugah kalbunya itu.., bisakah ia bernafas di dalam rongga hangat di sana?
Lalu Trista mengerang pelan, berbisik,
“..agak ke bawah lagi, Kino…”, dan pemuda itu pun menurutinya, menciumi pusar-nya yang bagai sebuah noktah malu-malu bersembunyi di cekungan perut Trista. Secara instingtif, Kino mengeluarkan lidahnya, menjilati liang pusar itu ….. membuat pemiliknya menggelinjang sambil menjerit kecil, ” aww.. geli, Kino..”.
Tentu saja Kino tak peduli pada protes tak bermakna itu. Ia terus menjilat. Trista terus mengerang dan memprotes. Permukaan perutnya naik dan turun semakin kuat, seperti lautan yang bergelombang oleh gempa tektonis di dasarnya. Dan Kino seperti perahu nelayan yang sukarela diayun-ayun gelombang itu. Naik, turun.., naik, turun,.. naik, turun.. Lama sekali rasanya, membuai-buai, berulang-ulang.

Lalu Kino semakin turun lagi, bagai ditarik sebuah kekuatan magnit.
Mulut dan hidungnya menyusur ke bawah, bagai dituntun sebuah tali ajaib yang tak terlihat mata. Trista mendesah, memejamkan matanya kuat-kuat bagai sedang menunggu sebuah kejadian yang tak terduga. Bagai seorang pesakitan yang sedang menanti keputusan hukuman. Bagai seorang mahasiswa yang berdebar menunggu ganjaran. Kedua tangannya tak lagi berada di kepala Kino, melainkan mencengkram kain sofa kuat-kuat. Oh,… akankah ia melakukannya? Hatinya bertanya, sekaligus berharap. Seperti apakah nanti rasanya.., Trista belum pernah merasa setegang dan seberdebar ini sepanjang hidupnya.

Lalu Kino sampai di daerah itu …. sebuah segitiga kehitaman yang memagari sebuah wilayah hangat yang merekah bagai bunga di musim semi.
Aroma birahi memenuhi penciumannya, dan Kino bagai takjub memandang milik paling pribadi dari bidadari pujaannya. Dekat sekali ia bisa memandang lembah basah yang terlihat membuka bagai mengundangnya untuk datang lebih dekat. Ada lepitan dan bukit-bukit kecil yang tampak empuk menyembunyikan sebuah tonjolan memerah-muda yang bagai mengintip dari tempat persemaiannya. Segalanya yang terlihat Kino dari dekat itu seperti memiliki kekuatan magis, menarik mukanya untuk lebih mendekat lagi …. Lebih dekat lagi…. Dan lagi.

“Aaah!” terdengar Tris mendesah pendek dan keras.
Sebuah serbuan kenikmatan yang tiada tara menyengat kesadarannya, membuatnya seperti dilemparkan tinggi-tinggi ke angkasa kenikmatan. Lidah Kino menyentuh titik tersembunyi yang selama ini menjadi sumber birahinya!

Lalu Kino semakin bergairah, menggunakan lidah, bibir, hidung, mulut dan seluruh mukanya untuk menjelajahi lembah asmara yang kini terbuka lebar itu. Tris mengangkangkan pahanya, memberikan keleluasaan kepada pemuda itu. Tubuhnya menggeletar hebat, tetapi ia berusaha keras agar tetap berada di atas sofa, mencengkram pinggiran sofa kuat-kuat dengan kedua tangannya.

Selama tak kurang dari 15 menit Kino memberinya kenikmatan luar biasa dengan permainan yang sangat pribadi dan sangat alami itu. Betapa panjangnya tali kenikmatan yang teruntai darinya!​

 

Lalu Tris tak tahan lagi. Ia menarik tubuh Kino sekuat tenaga agar pemuda itu menindihnya di atas sofa. Tetapi lalu mereka malah jatuh berdua ke lantai yang tertutup karpet tebal. Dan tanpa basa-basi, keduanya langsung memulai hubungan badan dan berderap bersama menuju puncak asmara.

Trista langsung memperoleh hadiah orgasmenya yang pertama dari percumbuan itu.
Kini, perempuan itu kembali menuju puncak asmara di atas ranjang yang sudah tak karuan bentuknya. Kino menegakkan tubuhnya, bertelektekan dengan kedua tangannya yang kokoh bagai sedang bersiap untuk push-up. Trista mengangkat kedua kakinya lebih tinggi lagi, menyangkutkannya di bahu pemuda itu, sehingga pantatnya terangkat dari permukaan kasur dan kewanitaannya semakin terkuak siap menerima serbuan batang keras pejal kenyal yang terus-menerus keluar-masuk tak kenal lelah.

“Kino… ooooh… aku…. ooooh,” Trista mengerang tidak karuan, ” tak tahan… oooh.. lagi… ooooh…”
Pemuda itu tak menjawab. Ia sendiri sedang sibuk mengendalikan dirinya, berusaha agar serbuan kenikmatan yang kini memenuhi tubuhnya tidak tumpah ruah tak terkendali. Ia mengatupkan kedua rahangnya erat-erat, berkonsentrasi penuh menggenjot tubuh bagian bawahnya. Sesekali ia mendesis merasakan kegelian-kenikmatan meluncur menuju ujung kejantanannya, dan ia pun berhenti sejenak kalau sudah demikian, agar tak terlanjur lepas dalam pancuran ejakulasi. Tetapi, tentu saja ia tak bisa terus menerus bertahan. Apalagi kemudian Trista mengalami orgasme ketiganya yang sangat intens. Ia menggeliat dan mengerang panjang, sementara liang kewanitaannya berkontraksi dalam denyut yang kuat dan liar.

Kino merasakan kejantanannya bagai diremas-remas sebuah otot halus liat dan hangat. Ia tak tahan lagi. Cepat-cepat ia mengeluar-masukkan batang pejal kenyal itu sekuat tenaga. Menghujam-menikam sedalam mungkin. Mendorong-mendesak sekeras mungkin. Semakin lama semakin cepat… semakin cepat…. semakin cepat… semakin cepat ….

“Oooooh… ohhhh…. ohhhh’, jeritan-jeritan Trista semakin lama semakin keras dalam interval yang semakin pendek.
“Aaaaah!” Kino mengerang keras tak sanggup lagi menahan jebolnya tanggul pertahanan, …. membiarkan cairan cintanya yang hangat dan kental menyerbu keluar, …. meluncur pesat di sepanjang buluh daging yang sudah menegang maksimal itu, …. memuncrat dengan kuat memenuhi kewanitaan Tris.

“Oooooooooh!’ Tris menjerit panjang dan lepas, melentingkan tubuhnya bagai sedang menerima tikaman panjang yang mematikan. Seluruh tubuhnya bergetar berguncang hebat, membuat tubuh Kino yang berada di atasnya ikut terlonjak-lonjak.
******​

 

“Kita harus memberinya peringatan!” sergah Tigor sambil mengepalkan tinju.

“Aku sudah melakukannya berkali-kali!” sergah Ridwan sambil menahan geram.

“Kita coba lagi!” seru Rima sambil bangkit dan mengguncang lengan Ridwan.

“Kita cari dia sekarang!” seru Tigor sambil bangkit pula dan ikut-ikutan mengguncang lengan Ridwan. Pemuda itu bagai sebuah pohon lunglai diguncang kekiri dan kekanan oleh dua sahabatnya. Rambutnya yang agak gondrong jadi terurai-urai menutupi sebagian mukanya.

“Sudah… sudah… kenapa aku yang kalian guncang-guncang!” sergah pemuda itu sambil menepis tangan Rima dan Tigor.

“Ayo kita ke villa itu. Mereka pasti di sana!” seru Tigor sambil melepaskan cengkramannya dari lengan Ridwan.

“Untuk apa kita ke sana?” tanya Ridwan sengit. Ia masih merasa tidak wajar jika harus ikut campur sejauh itu. Walau bagaimana pun, diam-diam Ridwan mengakui bahwa Kino punya segala hak untuk jatuh cinta, terlepas dari kenyataan bahwa wanita yang dicintainya adalah istri orang lain.

“Kita bisa mengajaknya bercakap-cakap. Menyadarkan risikonya, Rid!” ucap Rima dengan suara tinggi. Gadis ini sungguh kuatir mendengar cerita Ridwan tentang gosip hubungan Kino ke telinga keluarga Tris. Bagaimana kalau suaminya marah dan kalap?

“Dia sudah tahu risiko itu!” sahut Ridwan dengan suara yang juga meninggi.

“****** sekali dia!” sergah Tigor sambil menendang sebuah batu kecil. Batu itu terlontar cukup tinggi, jatuh bergelindingan di trotoar dan membentur kaki seorang mahasiswa. Sesaat mahasiswa itu mengangkat kepalanya, mencari sumber gangguan. Tetapi ketika pandangannya bertumbuk dengan sepasang mata Tigor yang garang, mahasiswa itu cepat-cepat berlalu tanpa basa-basi.

“Memang!” sahut Ridwan dengan tak kalah geram,
“****** dan nekad!”

“Ayolah kita ke sana,” Rima merajuk sambil menarik tangan Ridwan.

“Ayolah!” ucap Tigor memberi dukungan.

Ridwan menatap kedua sahabatnya. Ia melihat bayang-bayang kesungguhan di muka mereka. Terlebih lagi di muka Rima, yang juga dipenuhi warna kekuatiran. Ridwan menghela nafas dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat. Ia tidak punya alasan lagi untuk menolak ajakan mereka.

“Ayolah…,” ucapnya lemah, lalu mulai melangkah gontai menuju tempat parkir. Tak lama kemudian, VW merah berisi tiga sahabat itu terlihat meluncur meninggalkan kampus menuju selatan.
******​

 

Suara burung berkicau terdengar jelas dari dalam kamar tempat Kino dan Tris tergeletak lunglai. Hari sudah menjelang sore, dan burung-burung tampaknya baru tiba kembali setelah seharian tadi berkelana mencari makan. Alam tampak ramah, menyembunyikan sinar terik mentari di balik awan tebal, tetapi tidak memberikan hujan. Angin berhembus sejuk sepoi-sepoi membelai dedaunan yang tampak bergerak pelan seperti orang-orang yang sedang bermalasan.

Tris merebahkan kepalanya dengan manja di dada Kino yang masih lembab oleh keringat. Ia memejamkan mata, menikmati sisa-sisa amukan badai birahi yang berputar-berkecamuk di seluruh tubuhnya. Sendi-sendinya terasa pegal tetapi juga nikmat. Pinggangnya terasa sakit tetapi juga nikmat. Kewanitaannya terasa sedikit perih tetapi juga nikmat. Ah, betapa banyak ironi di tubuhnya, betapa banyak ketidak-setaraan di badannya.

Kino sejenak terlena, membiarkan kantuk memenuhi kepalanya. Tubuhnya terasa letih seperti seorang petani yang mencangkul seharian. Badannya terasa ringan melayang-layang. Seluruh isi tubuhnya seakan keluar tumpah ruah bersama puncak asmaranya. Kini ia bagai wadah kosong yang terapung dalam lautan luas tak berbatas. Sebagai ganti isi tubuhnya, sebuah perasaan hangat dan indah kini bermunculan. Mungkin inilah pengejawantahan kebahagian badaniah yang berjalinan dengan ketulusan cinta.

“Capek?” bisik Tris melihat kedua kelopak mata pemuda itu perlahan membuka.
“Hmm..,” Kino menggumam, meraih rambut bidadarinya yang tergerai menutupi sebagian mukanya. Rasa sayang memenuhi dada pemuda ini. Perlahan dan lembut ia membelai kepala yang tergeletak lunglai di dadanya itu.
Trista memejamkan matanya, membiarkan usapan pemuda itu membiaskan kelembutan keseluruh tubuhnya. Semakin lama semakin jelas bagi wanita ini, betapa berbedanya sebuah persetubuhan yang disertai rasa sayang. Betapa dingin dan hambarnya persebadanan yang selama ini ia alami bersama suaminya. Tak ada pembukaan yang bergelora, karena lelaki itu serba tergesa. Tak ada penutup yang penuh kemanjaan seperti ini, karena lelaki itu segera meringkuk tidur meninggalkan dirinya terlentang dengan tubuh bagai sehabis dirajam. Dengan Kino, segalanya serba nikmat dan berkepanjangan. Pemuda ini benar-benar maestro cinta baginya.

Tiba-tiba mereka tertawa berdua, karena perut Kino berkeriuk keras tanda lapar. Sejak tiba siang tadi, mereka tak ingat makan. Sejak dalam perjalanan mereka sudah dipenuhi hasrat untuk bersebadan. Tak sempat lagi mereka memikirkan makanan atau minuman.

“Aku bikin spaghetti, ya!?” ucap Tris sambil bangkit dalam keadaan tetap telanjang.

Kino tetap berbaring, memandang kagum ke tubuh bidadari di hadapannya. Sempurna dan tanpa cela. Cantik molek dan mengagumkan sekali wanita ini, pikir Kino sambil menjelajahi seluruh lekuk liku tubuh Tris yang sengaja berlambat-lambat mengenakan rok dan bajunya. Wanita ini tahu Kino sedang memandanginya. Ia suka sekali dipandangi seperti itu, seperti dipuja-puji lewat sorot matanya yang hangat bergairah dan tulus terbuka itu. Ia suka sekali!

“Perlu bantuan?” tanya Kino sambil mulai bangkit.

“Nggak!” sergah Tris, “Kamu nanti malah bikin kacau..”

Kino tersenyum. Pasti ia akan membikin kacau. Ia tak pernah bisa menahan diri untuk tidak menciumi wanita pujaannya itu kalau mereka sedang berduaan. Maka ia kembali berbaring, memandang bidadarinya menghilang dari pandangan.

Baru saja Tris lenyap di balik pintu, sebuah tuter mobil yang sangat dikenal Kino membuat pemuda ini terlonjak bagai tersengat kala jengking.

Astaga, apakah itu temanku? Ujarnya gelisah sambil bangkit menuju jendela yang menghadap halaman depan. Posisi rumah yang agak tinggi dari halaman menyebabkan Kino leluasa melihat siapa saja yang mendekati villa ini dari jalan raya. Dan apa yang dilihat Kino membuat pemuda ini terkesiap.

“Siapa itu, Kino?” seru Tris dari arah dapur karena ia juga mendengar suara tuter mobil berkali-kali.
Kino tidak menjawab. Ia bergegas mengenakan celana dalam dan jeans-nya. Terburu-buru memakai t-shirt dan berlari keluar tanpa alas kaki. Jantungnya berdegup kencang. Benaknya dipenuhi pertanyaan.

“Kino?” teriak Tris lagi dari dapur, kini dengan nada heran karena ia dengar pemuda itu tergesa-gesa menuju ruang tamu.

Setelah dua kali memanggil tanpa mendapat jawaban, wanita itu pun keluar dari dapur setelah memastikan oven menyala memanasi spaghetti yang sudah siap sejak pagi tadi.

Tris mengintip dari balik gorden ruang tamu. Di halaman villa ia melihat Kino bertolak pinggang. Di depan pemuda ini ada tiga remaja yang tak dikenalnya. Siapa mereka? Tanya Tris dalam hati. Dan mengapa suasananya begitu tegang.

Salah seorang dari remaja pria itu tampak menunjuk-nunjuk muka Kino dan berbicara seperti orang marah, tetapi dengan suara tertahan. Dari tempatnya berdiri, Trista tidak bisa mendengar percakapan mereka. Tetapi dari wajah-wajah mereka, wanita ini bisa menduga bahwa ada ketidak-beresan di luar sana. Maka setelah merapikan rambut dan bajunya, Trista membuka pintu dan melangkah keluar.

Tigor yang pertama kali melihat wanita itu melangkah keluar seperti seekor burung merak keluar dari sarangnya. Ia menyikut Rima yang berdiri di sebelahnya, dan gadis itu menoleh ke arah pintu ruang tamu. Mulut Rima segera membuka, sedikit menganga melihat seorang wanita dengan muka seperti bersinar cerah dan senyum ramah yang seakan-akan diciptakan oleh mentari pagi. Gadis itu tidak sanggup berkata apa-apa.

Ridwan mengalihkan pandangannya dari Kino, seperti Rima ia juga terdiam melihat Trista melangkah mendekat. Dalam hati ia mengutuk-ngutuk, kenapa mau dibujuk datang kemari. Sekarang, dekat sekali di hadapannya wanita kontroversial itu menunjukkan kecemerlangan dan keindahan sejati. Bagaimana tiga cecunguk ingusan yang tak punya alasan jelas bisa berhadapan dengan dewi khayangan yang turun ke bumi lengkap dengan segala asesorisnya ini? Ridwan mengeluh dalam hati berkali-kali, mengapa tiba-tiba hidupnya jadi rumit begini.

Tigor hendak membuka mulutnya, tetapi tidak jadi. Ia tidak tahu harus berkata apa. Beberapa kali pemuda yang lebih menggemari motor daripada wanita ini melihat Trista dari kejauhan.

Belum pernah ia melihat dari sedekat ini, dan … wah-wah-wah, belum pernah ia melihat wanita sedemikian menggairahkannya. Senyumnya memikat, dengan lesung pipit samar-samar di pipi kanannya. Tetapi yang lebih mematikan kalbu adalah sorot matanya yang mungkin terbuat dari intan 24 karat: bening dan tajam. Lalu, sinar mukanya begitu kentara memancar dari wajah yang sebetulnya terlihat agak memerah seperti seseorang yang habis berolahraga pagi. Olahraga apa gerangan di sore ini? Tanya Tigor dalam hati, dan segera menemukan sebuah jawaban sendiri yang membuatnya gelisah sendiri pula!

Kino menunduk, membiarkan Tris memeluk lengannya. Kini dua pasang manusia berhadapan dengan tiga remaja yang diam terpaku.

Aneh sekali pemandangan di sore yang cerah itu, sementara langit mulai menata diri untuk menyambut lembayung senja. Halaman villa tampak seperti sebuah panggung berwarna hijau berpagar tanaman bunga yang semarak. Lima aktor dan artis berdiri di tengah panggung itu, seperti sedang canggung memulai sebuah babak sandiwara kehidupan.

“Halo..,” akhirnya Tris membuka suara, perlahan tetapi jelas terdengar oleh semua yang hadir.

Tigor pertama kali bereaksi dengan bergumam lalu tersenyum kaku sambil melipat kedua tangan di depan dadanya. Ridwan tidak menyahut, tetapi berdehem karena tiba-tiba merasa ada segumpal dahak menyedak di tenggorokannya.

“Selamat sore..,” Rima berucap pelan, merasa tidak enak kalau tidak berkata apa-apa dan mengutuk-ngutuk di dalam hati mengapa dua remaja pria di sampingnya tiba-tiba berubah menjadi kerupuk gosong!

“Teman-teman mu?” tanya Tris sambil menggoyang pelan lengan Kino dan menatap muka pemuda itu.

Rima menelan ludah. Duh, mesra sekali cara wanita itu memeluk lengan Kino dan memandangnya.

Kino menghela nafas panjang, lalu menghembuskannya keras-keras sambil berkata pendek,
“Ya! Teman-temanku...”

“Kenapa tidak diajak masuk?” ucap Tris ramah sambil mengalihkan pandangan kepada ketiga tamu yang tak diundang itu satu persatu. Tigor melengos, pura-pura memandang kupu-kupu yang banyak sekali berkeliaran di halaman villa.

Ridwan tersenyum kikuk dan mengubah-ubah letak berdirinya dengan gelisah.

“Uh.., eh..kami cuma kebetulan lewat..,” ucap Rima, lagi-lagi merasa sial ditemani bujangan-bujangan yang seperti anak ayam berhadapan dengan elang.

“Oh, ya?!” ucap Tris sambil membelalakan matanya, mengungkapkan keterkejutan yang sesungguhnya (kalau teman-teman Kino punya villa di dekat sini…, wah!).

“Umm.. ya, kami… umm.. sedang berjalan-jalan,” kata Rima sambil menyikut Tigor, sementara yang disikut malah berdiri menjauh.

Trista tersenyum. Dalam hati wanita ini sebenarnya gelisah. Ia tidak tahu apa yang terjadi di antara empat remaja ini. Tetapi nalurinya mengatakan bahwa teman-teman Kino ini datang kemari untuk berurusan dengan pemuda kesayangannya itu. Dan instingnya tidak pernah salah, kalau sudah tentang Kino ia pasti benar!

“Ayolah mampir sebentar..,” bujuk Trista, lalu kepada Kino, “Ayo, Kino.. ajak teman-temanmu masuk. Ada cukup banyak spaghetti untuk kita semua!”

“Tidak!” akhirnya Ridwan berucap. Semua orang menengok kepadanya, seakan-akan baru sadar bahwa pemuda itu bukan patung melainkan mahluk hidup.

Kino menghembuskan nafas lega. Ia tidak ingin teman-temannya tinggal lebih lama. Ia masih diam saja, tidak mengucapkan sepatah kata pun sejak Trista hadir di antara mereka. Ia juga marah sekali, mengapa teman-temannya datang kemari dan ikut campur urusan pribadinya. Terlebih-lebih lagi, Kino juga malu karena dalam hati kecilnya ia tahu bahwa ketiga sahabat di depannya ini bermaksud baik. Tetapi kenapa musti ke sini? Kenapa seperti sedang mengintai dan berusaha memergokinya?

“Kami segera pulang..,” ucap Rima kikuk, melangkah mundur perlahan menjauhi Kino dan Trista.

“Ya. Selamat sore..,” kata Tigor sambil langsung berbalik mengikuti langkah Rima.

“Sampai jumpa..,” kata Ridwan sambil melambai dan berbalik mengikuti langkah Tigor.

Kino diam saja, memandang tiga temannya beriringan seperti serdadu pulang dari medan perang. Trista ikut diam, memeluk erat lengan pemuda itu, merasakan ketegangan menyelimuti mereka berdua.

Langit sudah mulai menampakkan semburat merah. Sebentar lagi senja tiba. Angin berhembus semakin dingin. Trista bergidik, merasakan tiba-tiba kulitnya meremang.​

 
Setelah Para Sahabat Datang dan Pergi

Peristiwa kunjungan pendadakan para sahabat ke villa tempat Kino memadu kasih dengan Tris ternyata berbuntut panjang. Pertengkaran pun meruncing, karena ini adalah pertengkaran antar hati: antara tiga orang yang peduli dan seorang yang sedang mabuk cinta. Sebenarnya pula, ini adalah perbenturan antara dua bentuk cinta; antara kesetiaan teman dengan ketotal-kepenyerahan kasih dua sejoli.​


Manakah yang menang … manakah yang patut menang?​

“Kamu benar-benar telah buta! Telah tuli!” jerit Rima di depan Kino yang berdiri tegak dengan kedua tangan terkepal dan muka merah padam.​

Mereka saling berhadapan bagai dua banteng yang siap beradu tanduk. Suara Rima melengking mengalahkan gemerisik daun pepohonan yang sedang dilanda badai siang itu. Alam memang seperti menjadi musik latarbelakang, menambah drama ke tengah pertengkaran mereka di pinggir lapangan basket yang sedang sepi. Mahasiswa lain masih berada di kelas. Mereka berdua sengaja meninggalkan kelas untuk urusan genting ini. Sudah hampir 10 menit keduanya bersitegang.​

“Kamu tak berhak ikut campur!” sentak Kino tak kalah keras. Rambutnya yang gondrong sebagian menutupi mukanya, sedikit menyembunyikan kedua matanya yang bersinar galak. Rima sebenarnya sempat bergidik melihat sinar itu, yang bagai sorot seekor naga yang luka. Begitu galak!​

“Aku tak ikut campur!” sergah Rima yang rambutnya juga berkibaran, “Aku hanya ingin mengingatkanmu, Kino… kamu bermain api dengan istri orang!”​


“Ia tidak pernah benar-benar menjadi istri!” sahut Kino dengan nafas terengah-engah menahan amarah yang meledak-ledak.​


“Itu cuma interpretasimu. Cuma pembelaan, … Cuma pembenaran atas kesalahan! Kamu sudah terlalu jauh melangkah!” jerit Rima sambil menyibak rambut dari depan matanya. Tetapi angin kembali menerpa dan membuat separuh matanya tertutup lagi. Repot sekali gadis itu merapikan rambut sambil beradu argumentasi dengan seorang yang hatinya sedang mengeras seperti batu….​


“Tidak!… Itu kenyataan!” sahut Kino sengit membela diri, “Dan adalah kenyataan pula bahwa aku mencintainya. Kamu tidak berhak mengatakan apa-apa tentang yang satu ini!”​


“Tetapi cinta mu itu membuat aku muak!” jerit Rima, dan sesungguhnyalah gadis itu merasakan sedikit mual sejak pertengkaran dengan Kino ini dimulai.​


Kino menahan nafas karena sangat marah. Bukan main marahnya ia mendengar kata “memuakkan” itu. Tidak pernah ia merasa begitu terhina karena seorang mengatakan cintanya sebagai yang memuakkan. Begitu rendahkah nilai cintaku sehingga gadis di depanku ini merasa muak? teriak hatinya dengan geram … dan entah bagaimana mulainya, tangan kanan Kino tahu-tahu sudah melayang.​


Plak!… kepala Rima bagai disentak ke kanan oleh sebuah tali yang tak kasat mata. Pipinya langsung memerah, dan gadis tomboy yang pernah menaklukkan dua puncak gunung ini pun terluka di hatinya.​

Dengan mata basah oleh air mata, Rima mendesis,​

“Jahat!…. Kamu jahat!” Kino terdiam dengan badan bergetar keras. Gerahamnya beradu kuat menimbulkan suara berkeriut. Otot-otot di seluruh tubuhnya menegang dan berguncang. Jantungnya berpacu keras. Kepalanya terasa hendak meledak.​


“Teganya kamu…!” jerit Rima langsung disusul tangisnya.​

Lalu gadis itu berbalik dan lari menjauhi Kino yang cuma bisa berdiri mematung dan menunduk memandang bumi. Rasanya bumi berputar lebih cepat, dan bukan dengan arah yang teratur. Rasanya bumi melonjak-lonjak, berpusing-pusing ke segala arah.​

Kino limbung, lalu jatuh berlutut sambil menjambak rambutnya sendiri. Apa yang telah kulakukan? jeritnya dalam hati dengan kegalauan yang memuncak​

 

Suara motor meraung mendekat dengan cepat. Tigor tiba sangat terlambat. Pemuda itu kebingungan melihat Rima lari ke arah kampus dan Kino berlutut di tanah sambil menjambak rambutnya sendiri seperti seorang pesakitan yang menunggu hukuman pancung.​

Sejenak Tigor bimbang, ke mana harus menuju. Tetapi lalu ia mengambil keputusan, memacu motornya menyebrangi lapangan basket mengejar Rima.​

Rima mendengar suara motor yang mengejarnya, dan ia tahu siapa yang di atas sadel. Gadis itu berhenti berlari, mendekap mukanya, dan melanjutkan tangisnya. Tigor menghentikan motornya. Mematikan mesin dan melepaskannya begitu saja sehingga barang besi itu tergeletak di rumput dengan suara berdebum.​

“Ada apa Rima?” tanya Tigor sambil mendekap bahu sahabatnya.​


“Dia …. dia …,” Rima tak sanggup berkata-kata di tengah sedu sedan yang membuat seluruh tubuhnya berguncang.​


“Apa yang dilakukannya?” sergah Tigor, mempererat pelukan di bahu sahabatnya. Gadis di pelukannya terus menangis tersedu.​

“Dia menamparku,” ucap Rima akhirnya sambil balas memeluk sahabatnya dan meneruskan tangis di dada pemuda itu.​


“Kurang ajar!” desis Tigor dengan geram. Ia menoleh ke arah Kino, melihat pemuda itu masih dalam posisi semula. Hatinya mendidih, dan sambil melepaskan pelukan Rima, ia mengepalkan tinjunya.​

Kalau Kino mau bertinju, seharusnya ia memilih lawan yang sesuai, sergah hati Tigor. Dengan cepat ia melangkah ke arah Kino, tetapi tangan Rima lebih cepat lagi meraih lengannya … menahan langkahnya.​

“Jangan..,” desah Rima dengan suara lirih. Gadis itu tak ingin ada pertengkaran lebih lanjut.​


“Tetapi dia menamparmu, Rima..,” ucap Tigor keras. Gerahamnya bergemeletuk menahan marah. Pemuda ini paling tidak suka melihat seorang wanita ditampar. Itu perbuatan sangat pengecut baginya.​


“Dia sudah gila..,” desah Rima lagi sambil sekuat tenaga menahan Tigor.​

Pemuda itu akhirnya mengalah. Ia berhenti melangkah setelah sempat menyeret Rima dua langkah. Benar-benar gila! ucapnya dalam hati. Kino sudah gila!​

*****​

 

Brak! … meja kantin terjungkal ditendang oleh Ridwan. Mangkok bakso yang ada di atasnya bergelimpangan, … untung tidak pecah karena sempat membentur kursi sehingga laju jatuhnya agak berkurang. Kuah dan baksonya tumpah ruah, sebagian membasahi celana seorang pemuda yang tadinya sedang menikmati bakso itu.​

Mahasiswa yang lain tersentak kaget. Ibu gemuk penjual bakso menjerit kaget dan mengeluarkan kata-kata aneh akibat latahnya. Beberapa mahasiswa bangkit karena merasa terganggu, tetapi ketika mereka tahu bahwa yang sedang berang itu adalah seorang pelatih karate bersabuk hitam, mereka pun duduk kembali. Urusan si Ridwan adalah bukan urusan mereka…​

“Bangun!” teriak Ridwan sambil menunjuk ke seorang pemuda yang duduk terdiam. Semua orang di kantin tahu, pemuda itu bernama Kino. Mereka juga tahu, walau tidak melatih karate, berurusan dengan pemuda itu juga bukanlah sesuatu yang dianjurkan.​

Semua orang di kantin menunggu dengan tegang, apa yang akan terjadi. Ibu gemuk tergopoh-gopoh ke luar kantin hendak mengadu ke Pak Kholil, kepala satpam kampus. Suasana tegang memenuhi udara, seperti dalam film-film koboy, ketika dua jagoan berhadapan dengan pistol terhunus.​

Kino mengangkat mukanya, menemukan sorot tajam dua mata Ridwan yang agak memerah. Sejenak pemuda ini terkesima dengan hati bergetar. Sorot itu penuh amarah. Tetapi keterkesimaan itu cuma sebentar. Tak lebih dari 5 detik. Perasaan lain segera menggantikan; perasaan marah dan tersinggung karena makan siang yang terganggu. Terlebih-lebih lagi, harga dirinya ikut terluka…​

Kino bangkit perlahan. Ridwan memasang kuda-kuda. Kedua tangannya mengepal di depan dada. Kaki kanannya kokoh di depan. Kaki kirinya sigap menyangga. Kino melangkah meninggalkan tempat duduknya. Ridwan berputar mengikuti langkah itu. Matanya seperti mata elang mengawasi buruannya. Keduanya berhadapan di tengah kantin yang agak lapang. Seorang mahasiswa buru-buru menarik sebuah kursi panjang untuk menambah lapang ruangan laga. Beberapa mahasiswa berdatangan dan menonton dari luar. Ada bisik-bisik bertanya apa gerangan yang terjadi. Lalu pertarungan pun di mulai….​

Kino secepat kilat menendang ke arah pinggang Ridwan dengan gerakan tiba-tiba yang membuat beberapa mahasiswa terkesiap. Tetapi Ridwan tidak ikut terkesiap. Ia tidak mendapat sabuk hitam dengan membaca buku; ia sambut tendangan itu dengan kibasan tangan kirinya yang kokoh. Suara dua tulang beradu membuat beberapa penonton meringis.​

Belum sempat kaki Kino turun, Ridwan menyodokkan lututnya ke arah perut pemuda itu. Cepat-cepat Kino menggeser posisi, tetapi tidak cukup cepat sehingga pinggangnya terserempet lutut yang meluncur seperti peluru itu. Kekuatan tendangan Ridwan menyebabkan Kino terhuyung, walau cuma terserempet. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh lawannya, dan … plak! .. tinju Ridwan mendarat di rahang kiri Kino. Untung bagi Kino ia sempat mengantisipasi pukulan itu dengan memiringkan kepalanya, sehingga walau pukulan itu tepat di sasaran, dampaknya tidak terlalu kuat.​

Cepat-cepat Kino mundur mengatur posisinya yang terdesak. Ridwan mengejar, berusaha memanfaatkan kelemahan lawannya. Tangan kirinya melayang ke arah dada musuh. Kino menepis dengan tangan kanan, tetapi ia lupa bahwa dalam karate sebuah pukulan belum tentu bermaksud mendarat di tubuh lawan. Tepisan tangan Kino membuat pertahanannya agak terbuka, sehingga …. duk! … tendangan kanan lawannya mendarat telak di perut. Kino pun terjengkang menerjang kursi-kursi yang sudah ditinggalkan penghuninya. Kalau bukan Kino yang kena tendang, mungkin berakhir sudah perkelahian ini. Perut pemuda itu cukup keras karena pemiliknya berlatih sit up 100 kali setiap pagi.​

Ridwan menyerbu ke depan, menyergap Kino yang masih bergelimpangan di lantai. Tetapi Kino sangat gesit, berguling ke kiri. Sergapan Ridwan agak luput, namun tak urung bahu Kino dapat diraih oleh tangan lawannya yang kokoh. Segera keduanya bergumul dan sekali lagi Ridwan lebih gesit, melayangkan tinjunya ke arah muka Kino …. plak! … kena tepat di hidung pemuda itu, membuat pemiliknya meringis kesakitan.​

Terdengar langkah sepasang mahasiswa tergopoh-gopoh.​

Tigor dan Rima datang karena mendengar kabar tentang perkelahian itu. Segera Tigor memegangi kaki Ridwan, menariknya agar melepaskan pergumulan. Sementara itu Rima berhasil meraih tangan Kino. Dengan sekuat tenaga gadis tomboy itu menarik-narik.​

Beberapa mahasiswa timbul keberaniannya melihat pasangan itu berjibaku memisahkan pertarungan dua banteng ketaton. Beramai-ramai akhirnya mereka memisahkan Ridwan dan Kino yang masih meronta-ronta minta dilepaskan. Dua orang satpam tiba di tempat huru-hara.​

Pak Kholil, seorang tua yang berwibawa, membentak kedua pemuda yang masih ingin melanjutkan pertengkaran itu. Suaranya yang mengguntur menyebabkan Ridwan dan Kino tersadar, dan berhenti meronta.​

Tigor memeluk Ridwan, mendorong sahabatnya menjauhi medan pertarungan. Kino meronta dari pelukan Rima, dan gadis itu pun tak hendak mempertahankannya. Ia menjauhi Kino yang segera dicekal oleh Pak Kholil. Ia beralih ke kubu Ridwan dan bersama Tigor menarik pemuda itu keluar dari kantin.​

“Tak perlu begitu, Rid..,” bisik Rima sambil memeluk lengan sahabatnya. Ridwan diam saja dengan nafas yang masih memburu. Tigor menengok ke arah kantin, melihat Kino termangu diapit dua satpam. Hidung pemuda itu berdarah, dan seseorang tampak bersimpati memberikan tisu.​

Sejenak Tigor mengeluh dalam hati, … mengapa jadi begini. Luluh rasa jiwanya melihat Kino terluka dan sendirian di dalam sana. Tetapi ia juga sedang marah kepada pemuda itu. Hatinya bimbang, tetapi langkahnya terus menjauhi kantin, mengiringi langkah Ridwan dan Rima menuju lapangan parkir mobil.​

Kino berdiri dengan tubuh masih bergetar, memandang ke tiga sahabatnya berjalan menjauh. Hidungnya terasa sakit sekali. Pukulan Ridwan memang tidak bisa dianggap main-main.​

Tetapi selain sakit dan marah, sebuah perasaan lain datang menyelinap. Sebuah rasa sepi yang menyengat melanda Kino, walau kantin masih hiruk pikuk dan Pak Kholil masih sibuk bertanya-tanya. Tercenung pemuda ini memandang ketiga sahabatnya bagai pergi untuk selamanya, menjauhi dirinya yang sendirian. Disekanya darah dari hidungnya. Tiga lembar tisu sudah habis, tetapi darah masih keluar. Ibu gemuk datang membawa es yang dibungkus lap meja; Kino menggumamkan terimakasih dan merogoh kantong untuk membayar kerugian. Tetapi ibu gemuk mengatakan tidak ada yang pecah, jadi cukup membayar harga bakso saja.​

Lalu Kino pulang. Sendirian. Langkahnya lunglai. Hatinya gundah. Beberapa sapaan dari mahasiswa tidak disahutinya. Kakinya bagai digantungi berkilo-kilo batu. Hidungnya masih terasa sakit. Di kepalanya berkecamuk berbagai pikiran. Semuanya berpangkal di satu kegelisahan: haruskah aku kehilangan sahabat-sahabat itu?​

*****​

 

Tris segera tahu apa yang terjadi. Mereka bertemu sehari setelah peristiwa di kantin itu, karena memang ini adalah hari pertemuan mereka. Seperti biasanya Tris menjemput Kino di depan kampus dan memarkir mobilnya agak jauh. Dari kaca spion wanita ini telah melihat pemuda pujaannya berjalan menunduk dengan wajah muram. Tidak biasa. Pasti ada yang tidak beres.​

Begitu Kino menghenyakkan tubuhnya di kursi penumpang, Tris langsung mencengkram tangannya yang terasa dingin bagai es. Sentuhan ini bagi Kino bagai sebuah siraman air hangat di tubuhnya yang entah kenapa terasa sangat letih. Sedangkan bagi Tris, sentuhan ini adalah penghubung batin yang terampuh untuk segera membuka hati dan pikiran pemuda pujaannya.​

“Ada apa?” bisik Tris lembut.
“Ceritanya panjang…,” sahut Kino lemah sambil menyandarkan tubuhnya dan menerawangkan pandangannya ke depan. Mobil belum lagi distarter. Tris mengusap lembut pipi pemuda itu. Kino meraih tangan bidadarinya, menambah tekanan usapannya, lalu mencium telapak tangan yang selalu bisa memberikan keindahan dunia itu.
“Mau ke villa?” tanya Tris pelan.​

Hari ini sebenarnya tidak ada rencana kemana-mana karena Ria harus dijemput sebelum senja. Tetapi hari ini juga hari yang tak terduga, dan Tris tahu pemuda di sampingnya ini membutuhkan suasana tenang. Masih ada waktu sebelum menjemput Ria.​

“Aku mau pulang saja ke pondokan,” sahut Kino seperti orang kekurangan daya.​

Tris mengernyitkan keningnya. Tumben ia menolak ajakan seperti ini… bisiknya dalam hati. Ia menghela nafas panjang. Ia tahu kekerasan hati pemuda ini. Maka ia pun menstarter mobil, memasukkan gigi satu, dan mengarahkan mobil ke tempat kost Kino. Sepanjang perjalanan mereka membisu, tetapi Kino terus memegangi tangan kiri bidadarinya, seakan-akan ia takut Tris tiba-tiba hilang dari sisinya. Takut kalau tiba-tiba bidadari itu harus segera kembali ke kahyangan karena masa tugasnya telah habis…​

Tak berapa lama mereka tiba. Tris meminggirkan mobil. Belum pernah ia berkunjung ke tempat kost Kino, karena mereka berdua tidak ingin menimbulkan kecurigaan ibu pemilik kost. Tetapi kali ini Tris merasa harus turun dan ikut masuk. Apa pun risikonya.​

“Jangan…,” ucap Kino pelan dan lemah ketika melihat Tris bersiap turun. Gerak Tris berhenti sejenak, tetapi lalu ia tersenyum manis dan berucap tenang,
“Aku mau numpang pipis, apakah tidak boleh?”​

Melihat senyum itu,.. melihat binar sepasang mata itu,.. mendengar suaranya yang merdu itu.., Kino langsung tak berdaya. Bagaimana mungkin ia bisa mencegah si pembawa sejuta bahagia yang mampu memindahkan gunung dengan senyumnya ini? Sambil bergumam tak jelas, Kino akhirnya membiarkan Tris ikut turun. Berdua mereka berjalan beriringan, berusaha sekuat tenaga untuk tidak saling bergandengan, bergegas melewati gang agar tidak terlalu banyak bertemu orang lain. Untunglah siang itu suasana sepi.​

Mereka masuk dari pintu depan, dan Kino sudah menyiapkan seribu alasan untuk ibu kost. Tetapi ternyata rumah kosong melompong. Setelah dua kali mengetuk pintu tanpa sahutan, Kino menuju sebuah pot tempat pemilik rumah biasanya meninggalkan kunci. Benar saja, di bawah pot rahasia itu ada kunci dan secarik kertas menyatakan bahwa ibu kost sedang ke dokter untuk memeriksa kesehatannya. Kino bernafas lega, membuka pintu dan menyilahkan bidadarinya masuk.​

“Toilet ada di sebelah sana..,” ucap Kino sambil menunjuk dengan dagunya.
“Takut..,” bisik Tris manja sambil merapat ke tubuh Kino.​

Rumah itu memang agak gelap karena banyak pepohonan dan karena siang itu agak mendung, selain karena semua lampu memang dimatikan.​

“Mana ada bidadari takut..,” goda Kino sambil mengunci kembali pintu depan. Ah… cepat sekali datang keceriaan kalau dia ada di sisiku, bisik hati kecil pemuda itu.
“Antar aku ke sana,” sergah Tris.
“Kamu betul-betul mau pipis atau …,” Kino membiarkan ucapannya mengambang.​

Tris tersenyum nakal, mencubit pinggang Kino, lalu melanjutkannya dengan pelukan sepenuh hati. Kino menjerit kegelian, menerima tubuh kekasihnya, agak terhuyung sejenak. Mereka berpelukan di ruang tamu dan tidak pernah sampai ke toilet karena …​

“Itu bisa ditunda…,” bisik Tris sambil menengadahkan muka dan memejamkan matanya.​

Kino mencium lembut bibir kekasihnya. Betapa indahnya ketersediaan yang diserahkan bidadari itu kepadanya. Betapa cantik… betapa semakin cantik …. wajah yang dekat sekali di depannya itu, kalau sedang menyerahkan jiwa raganya dengan mata terpejam dan bulu mata lentik berkerejap. Betapa harum sergapan nafasnya yang hangat menerpa wajah, bagai memberikan semilyar liter bius ampuh yang mampu menghapus kemarau terpanjang sekalipun.​

Betapa lembut-basah bibirnya yang ranum dan merekah menampakkan keindahan mulut yang selalu bisa menghasilkan kata-kata berbunga-bermanik-beruntai itu. Ah, betapa indahnya cinta.​

Tris menjinjitkan kedua kakinya, merengkuh leher Kino, memiringkan sedikit kepalanya agar pemuda pujaannya bisa leluasa melumat bibirnya. Ia selalu menikmati ciuman pemuda ini, yang selalu bisa memberikannya rasa aman-nyaman, menghilangkan segala keraguaan dan kekuatiran.​

Rasanya cuma Kino yang bisa mencium begitu penuh perasaan, dan lumatan bibirnya bukan cuma curahan birahi. Ada kehangatan kasih di sana, di antara gairahnya mengulum bibir. Ada semburat cinta di sana, di antara gigitan-gigitannya yang nakal. Ada penegasan pula di sana, di antara keliaran permainan lidahnya yang mempesona……​

Maka itu Tris mengerang manja, mempererat pelukannya, merapatkan tubuhnya ke tubuh kokoh pemuda pujaannya.​

“Aduh!” tiba-tiba Kino mengeluh, dan Tris tersentak kaget, terburu-buru melepaskan pelukannya.
“Ada apa?” sergah Tris penuh kekuatiran sambil merenggangkan jarak di antara mereka.​


“Hidungku…,” desis Kino sambil memegangi hidungnya.​


“Kenapa hidungmu?” tanya Tris sambil memaksa Kino membuka tutupan tangannya, dan ketika akhirnya wanita itu melihat hidung itu agak lebam, barulah ia teringat tentang kemurungan yang tadi dilihatnya di depan kampus.​


“Kamu berkelahi, ya!” sergah Tris sambil lebih seksama memeriksa muka Kino.​

Duh, mengapa bidadari ini serba tahu? keluh Kino dalam hati sambil mengangguk mengiyakan. Sejenak Tris diliputi kekuatiran terbesar dalam hidupnya. Sejenak ia membayangkan yang terburuk: suaminya datang dan berkelahi dengan Kino!​

 

“Kamu harus cerita!” sentak Tris sambil meraih sapu tangan dari tas yang masih tergantung di bahunya. Dengan cekatan dibasahinya sapu tangan itu dengan cologne yang tahu-tahu sudah keluar pula dari dalam tas. Lalu diusapnya bagian yang lebam. Kino meringis merasakan sedikit pedih bercampur segar dan harum.
“Cerita sambil berdiri?” tanya Kino berusaha melucu.
“Ngga lucu!” sergah Tris sambil menyerahkan sapu tangan ke Kino dan memasukkan botol cologne kembali ke tasnya.
“Ayo ke kamar,” ajak Kino sambil mendahului melangkah dan memegangi sapu tangan di hidungnya.​

Tris segera mengikuti, memegang erat pergelangan kekasihnya seperti orang yang takut tersesat di rimba belantara.​

Di kamar, Kino duduk di dipan dan bercerita panjang lebar tentang para sahabatnya. Tris duduk di sebelahnya, sambil terus memegangi pergelangan tangan Kino. Sebagian dari cerita pemuda itu pernah disampaikan sewaktu para sahabatnya tiba-tiba muncul di villa beberapa waktu yang lalu. Tetapi cerita itu cuma generalisasi sepintas. Tris tetap menyangka, para sahabatnya itu memang kebetulan lewat di villa mereka. Sekarang, semuanya mulai terbuka. Peristiwa terakhir, termasuk penamparan Rima dan perkelahiannya dengan Ridwan, diceritakan secara terinci. Tris terdiam, tidak memotong atau berkomentar sedikit pun. Tetapi matanya tak lepas dari muka Kino, bagai hendak menemukan makna yang lebih dalam di balik kata-kata yang berhamburan lancar keluar dari mulut pemuda pujaannya itu.​

“Aku menyesal sekali…,” ucap Kino pelan di ujung cerita. Dihelanya nafas dalam-dalam, lalu dihembuskannya kuat-kuat.
“Kenapa kamu baru cerita sekarang?” tanya Tris setelah sejenak terdiam.
“Aku tak mau membuatmu risau,” jawab Kino sambil memandang kekasihnya. Ia selalu senang memandang wajah di sampingnya itu, karena dari situ ia selalu mendapat kekuatan.
“Tetapi sekarang kamu membuatku benar-benar risau..,” bisik Tris sambil membalas tatapan Kino.​

Kedua pandangan mereka terjalin-jalin bagai benang-benang sutra tak kasat mata, membentuk berlembar-lembar hamparan rasa sayang yang membuat keduanya merasa sangat-sangat dekat lahir dan batin, luar dan dalam, berujud maupun abstrak.​

“Maafkan aku..,” ucap Kino pelan dan penuh permohonan. Air mata tahu-tahu sudah merebak di mata Tris. Dengan kedua tangan dipegangnya wajah Kino, lalu diciuminya dengan penuh perasaan sambil berbisik berulang-ulang,
“Aku yang harus minta maaf…” Kino diam, membiarkan bidadarinya menciumi pipi, mata, dahi, dagu, bibir.. bahkah juga hidungnya yang entah kenapa kini tidak sakit sama sekali!
“Seharusnya aku sudah mengusirmu di pasar swalayan itu…,” bisik Tris sambil tersenyum, tetapi air mata sudah jatuh berderai di pipinya yang licin bak pualam walau tanpa pupur.​

Kino tetap diam, memandangi wajah yang tersenyum sekaligus menangis itu. Air mata itu bagai sepasang jeram bening di tengah hutan asri yang sering ia kunjungi sebagai pencinta alam. Kedua mata Tris yang indah itu bagai telaga luas di mana air berlimpah-ruah menjadi sungai-sungai besar maupun kecil, membawa berliter-liter kehidupan untuk disebarkan di seantero bumi. Sesungguhnyalah wajah cantik yang selalu menghiasi mimpinya itu adalah salah satu wujud pertiwi. Sesungguhnyalah wajah teduh yang selalu menghibur gundahnya itu adalah pelabuhan tempat ia bisa melabuhkan semua cintanya.​

“Seharusnya tak kubiarkan kamu menciumku di kebun teh itu…,” bisik Tris lagi sambil mencium sudut mulut kekasihnya, sambil terus menangis pula walau tanpa sedu sedan.​

Kino merebahkan tubuhnya di dipan, membawa serta tubuh kekasihnya yang terasa ringan sekali bagai segumpal kapas halus. Mereka berpelukan mesra dan Tris menyandarkan kepalanya di dada pemuda itu, membiarkan air mata membasahi t-shirt biru tua berisi lambang kampus kebanggaan.​

“Seharusnya tak kubiarkan kamu datang ke villa itu…,” desah Tris.​

Kino menggulingkan tubuhnya ke kanan. Tris rebah di sampingnya, terlentang dengan kedua tangan terentang di atas kepala, dengan rambut terurai indah beralas seprai putih bersih, dengan mata masih basah oleh airmata, tetapi dengan senyum sangat manis yang tak pernah lekang dari bibirnya. Kino menelusuri bibir itu dengan ujung jarinya, berhenti di lesung pipit yang muncul setiap kali Tris tersenyum. Melingkar-lingkar di sana dengan lembut…​

“Kenapa kamu cantik sekali?” tanya Kino memotong kata-kata Tris, dan wanita itu tertawa kecil mendengar pertanyaan yang tidak kontekstual sama sekali!
“Karena kamu buta, Kino…,” jawab Tris sambil menggigit jari Kino yang melintas di depan bibirnya.​

“… dan tuli…,” sambung Kino, teringat ucapan sahabatnya.
“Dan nakal..,” ujar Tris lagi sambil mengusap rambut pemuda pujaannya, menjambaknya dengan bercanda.
“Nakal seperti ini…,” kata Kino sambil menunduk dan menciumi leher Tris yang jenjang, membuat wanita itu menjerit kaget dan tertawa kecil kegelian.
“Lebih nakal dari itu!” sergah Tris sambil berusaha menghindar tetapi tidak sungguh-sungguh.
“Nakal seperti ini…,” kata Kino sambil menunduk lebih kebawah, menelusupkan mukanya di antara belahan bukit kenyal indah yang terpampang menggairahkan di balik baju tipis Tris, membuat wanita itu menggelinjang dan tertawa lebih keras.​

Air mata telah berhenti mengalir. Secepat datangnya, secepat itu pula perginya. Betapa menakjubkannya cinta itu, bukan?​

Kino membuka kancing-kancing di depan payudara kekasihnya. Tidaklah sulit melakukan yang satu ini, karena kancing itu tampaknya sengaja dibuat untuk mudah dibuka. Sebentar saja telah terpampang pemandangan indah menakjubkan, putih mulus tanpa cela, tersangga be-ha yang seperti kewalahan menampung gelembung daging menggairahkan itu.​

“Kino!” jerit Tris seperti orang yang kaget melihat rumahnya kebakaran, tetapi wanita itu diam saja, bahkan membiarkan Kino dengan cekatan melepas kait di depan beha, membebaskan sepasang bukit indah yang menantang itu.
“Ohhh..!” Tris mengerang keras, campuran antara kaget dan senang, ketika salah satu puting susunya tahu-tahu sudah terasa hangat dikulum di mulut kekasihnya.​

Kino memainkan lidahnya di puting yang tegak kenyal menggairahkan itu. Setiap gerakan lidahnya membuat Tris menggelinjang gelisah. Tangan wanita itu mencengkram rambut pemuda pujaannya yang mulai gondrong itu. Tidak ada penolakan dari tangan itu, melainkan sebaliknya ada ajakan untuk lebih bergairah lagi.​

“Mmmmh…,” Tris mendesah, memiringkan tubuh bagian atasnya agar Kino bisa lebih leluasa memainkan mulutnya di seluruh permukaan payudaranya.​

Serbuan kenikmatan segera menyebar di seluruh tubuhnya. Kali ini kenikmatan itu bahkan terasa lebih indah, karena baru saja hati wanita ini terasa remuk-redam mendengar cerita pemuda pujaannya. Dari rasa sedih yang sangat dalam, kini muncul rasa nikmat yang tak kalah dalamnya, menelusup ke sela-sela setiap bagian paling rahasia di tubuhnya. Inilah sebentuk kekontrasan yang menakjubkan, bagai api dan es … fire and ice … Kekontrasan yang memberikan nuansa lebih tegas pada setiap noktah kenikmatan di tubuh Tris. Kekontrasan yang menyediakan ruang-relung kontemplasi untuk lebih menghargai setiap getar birahi. Sehingga percumbuan tidak cuma bertemunya dua permukaan kulit. Percumbuan adalah pertemuan dua hati.​

Kino menjelajahi seluruh bukit indah di dada kekasihnya, bagai seorang pengembara yang tersesat tetapi menyukai ketersesatan itu. Bagai seorang yang dahaga tetapi tak ingin melepas dahaga itu. Harum semerbak bukit dan lembah cinta di dada itu, dan Kino selalu senang berlama-lama bermain di sana, sambil menyimak degup jantung sang kekasih yang semakin lama semakin jelas terdengar. Berdentam-dentam seperti tabuhan drum sebuah marching band. Betapa asyik rasanya mendengar irama jantung kehidupan kekasih, sambil memagut-magut bagian yang sensitif, membangkitkan gairah menjadi kobaran api. Terlebih-lebih lagi, betapa asyik rasanya memberikan begitu banyak kenikmatan kepada seseorang yang menyerahkan dirinya secara sukarela.​

Tris mengerang manja, mendesah-desah gelisah. Sekujur tubuhnya terasa penuh dengan keinginan yang mendesak-desak. Tidak hanya dadanya,… Tris ingin lebih dari sekedar itu. Ia memang ingin bercinta, sekarang juga, di tempat ini juga. Apa pun risikonya, ia ingin sekali bercinta siang ini. Maka diraihnya tangan Kino yang masih bebas, dibawanya ke atas perutnya, dan memohonlah ia lewat erangan dan desahan … please my love… touch me there….​

Kino tentu paham semua gerakan birahi kekasihnya. Paham semua petunjuk paling samar sekalipun. Ia sudah sangat paham apa yang disukai Tris kala bercinta: yakni sebuah usapan lembut di perut yang perlahan-lahan menuju ke bawah, menyelinap di antara dua pahanya yang bagai pualam pahatan maestro Italia, dilanjutkan dengan penjelajahan nakal di kanal cinta di bawah sana yang mulai terkuak mengundang sentuhan penuh pengertian.​

Maka itulah yang kini dilakukan Kino dengan ketrampilan yang terbina lewat percumbuan demi percumbuan. Pertama-tama Kino mengusap-usap lembut permukaan perut kekasihnya, seperti hendak ikut merasakan gerak gejolak gairah di dalam tubuh Tris. Lalu, perlahan-lahan tangan Kino turun, menelusup ke balik celana dalam nilon tipis berwarna putih bersih itu….. dan Tris pun mengerang nikmat … membuka dirinya sebisa mungkin, membiarkan gerakannya menjadi liar dan penuh keterusterangan. Ayo, kekasih… telusuri liang cintaku, telusupi dan gerayangi dengan jari-jarimu yang kukuh sekaligus penuh perasaan itu. Oooh… getarkan segera senar kecapi birahiku, sentuh dengan ujung jarimu yang piawai. Mainkan segera musik cinta kita.​

“Oooooh…,” Tris mengerang sambil memejamkan mata erat-erat dan mencengkram seprai kuat-kuat dengan kedua tangannya. Dua kenikmatan sekaligus meletup di tubuhnya, karena secara berbarengan Kino mengisap-menyedot puting payudaranya sambil menggelitik-mengutik tonjolan kecil di celah atas kewanitaannya. Serasa ada berjuta-juta kembang api meledak menimbulkan percikan birahi yang dengan cepat membakar seluruh tubuhnya.​

Apalagi Kino tidak berhenti, melainkan makin cepat mengurut-menelusup di bawah sana, dan mengisap-menyedot di puncak payudara. Sesekali jari Kino menelusup kebawah, menyelinap lembut di antara bibir-bibir di bawah sana, mengambil basah di sana untuk dibawa keatas menjadi pelicin-pelumas. Berkali-kali Kino melakukan ini dengan penuh perasaan, mengirimkan kenikmatan demi kenikmatan kepada kekasihnya. Membuat Tris mengerang-erang berkepanjangan, merasakan sebentuk orgasme awal tercipta di dasar pinggulnya. Ia menggelinjang dan membuka kedua pahanya lebih lebar lagi, mengundang Kino untuk menjelajah lebih dalam lagi.​

Tetapi, sebelum Kino sempat bergerak masuk lebih jauh, Tris tak bisa menahan ledakan puncak kenikmatan…, menggelepar kuat, dan mengerang panjang ..​

“aaaaaaaaaaaah..” … sambil mencengkram seprai kuat-kuat dan melentingkan tubuhnya. Kino membiarkan bidadarinya menikmati orgasmenya, melepaskan isapan di puting payudaranya, dan mengalihkan tangannya ke pinggul Tris. Diciuminya wajah kekasihnya yang tampak semburat memerah-jambu dan tegang berkonsentrasi menikmati puncak birahi. Wajah itu semakin cantik dan semakin bersinar tatkala orgasme; merupakan pemandangan paling indah dalam sebuah percumbuan. Merupakan episode paling menegangkan sekaligus paling dramatis dan indah. Tanpa keindahan seperti ini, pastilah percumbuan itu akan terasa hambar. Bagai sebuah kebun yang cuma berisi rumput tanpa bunga.​

Tris membuka matanya setelah segalanya mereda. Ditemukannya sepasang mata Kino memandang lembut dan dekat sekali. Susah payah Tris mengatur nafasnya yang masih memburu.​

“Huuh…,” desah Tris sambil tersenyum manja di sela nafasnya yang mulai teratur tetapi masih agak tersengal,
“Bagaimana aku bisa mengusirmu, kalau begini..”
“Apakah cuma karena itu?” tanya Kino sambil mengusap-usap pinggul Tris. Mata Tris berbinar nakal,
“Bukan karena itu…,” katanya.
“Karena apa?” sergah Kino.
“Buka dulu baju dan celanamu, nanti aku jawab…,” kata Tris sambil tertawa kecil. Kino terbahak, lalu dengan bergairah menciumi leher, pipi, bibir, mata, hidung… semua permukaan wajah Tris. Percintaan mereka semakin lama semakin menggairahkan, tidak cuma berisi birahi dan kasih, tetapi juga penuh canda dan permainan-permainan kecil. Seperti kali ini, Tris meminta Kino tidur terlentang setelah keduanya telanjang bulat.​

“Jangan bergerak…,” bisik Tris sambil bergerak mengangkangi pinggul Kino. Gerakannya gemulai, seperti seorang penari yang sedang menyiapkan gerakan pembukaan. Dengan takjub Kino memandang tubuh telanjang yang serba indah menggairahkan itu terpampang bebas di mukanya.​

Lalu Tris melakukan beberapa gerakan yang tak terlalu kentara karena mata Kino terpaku menatap tubuh indah kekasihnya. Tahu-tahu Kino merasakan kejantanannya seperti menyelinap diam-diam ke liang lembab licin yang bagai memiliki indera tersendiri …. Tahu-tahu kegairahan terbangkit membuat batang-kenyal-liat itu perlahan-lahan menjadi kokoh di dalam sana.​

“Jangan bergerak…,” bisik Tris lagi ketika Kino menggelinjang merasakan nikmat yang mulai terbangkit di bawah sana.​

Lalu bidadari cantik dengan tubuh sempurna itu memulai tarian kahyangannya, dan Kino menikmati semua itu dengan diam, berbaring terlentang memandang Tris yang sudah agak berkeringat itu bergerak naik turun perlahan dan teratur… Wajahnya tampak kembali memerah-muda, matanya penuh sinar gairah sekaligus kelembutan, terbuka menatap mata Kino tanpa berkejap…​

Bibirnya yang basah kini agak terbuka, dan nafasnya mulai memburu… Kedua bukit kenyal tegak menjulang di dadanya, berguncang-guncang sedikit seirama gerakan tubuh pemiliknya…​

“Ohhhh..,” Tris mendesah, dan tangannya bertelektekan keras di dada Kino yang bidang, bertopang mencari penguatan di sana.​

Gerakannya semakin cepat, tetapi ia juga terkadang berhenti manakala ia memutar pinggulnya selagi kejantanan Kino terbenam dalam-dalam. Pada saat seperti itu, Tris memejamkan mata erat-erat, dan merintih-rintih nikmat …. dan Kino merasakan denyut-denyut halus di bawah sana, di sepanjang batang-kenyal-pejal yang semakin lama semakin tegang saja.​

Lalu ia bergerak turun-naik lagi. Membuka matanya lagi, yang kini mulai meredup seperti hendak menutup, tetapi dengan sinar birahi yang semakin tajam. Kino menatap mata itu, dan seketika terjalin lagi sebuah rasa kasih sayang di antara mereka, menjadi bumbu penyedap utama dari percumbuan ini.​

Gerakan Tris kini semakin erotis, diselingi gelinjang gemulai. Tubuh bagian bawah wanita ini melakukan manuver-manuver menakjubkan… terkadang maju-mundur dalam gerakan lembut penuh perasaan… terkadang naik-turun dengan gairah yang liar. Terkadang berputar-putar perlahan, sehingga Kino merasakan kejantanannya mengusap-mengurut dinding-dinding kenyal yang hangat dan basah dan berdenyut itu.​

Suara-suara seksi mulai terdengar dari tempat kedua tubuh mereka bertaut-berpilin… berdecap ramai menyelingi derit-derak dipan, di antara rintihan dan desah. Tris seperti sedang trance, dengan wajah sumringah berkonsentrasi pada pencapaian tujuan yang mulai tampak di ufuk percumbuan mereka.​

Ia seperti sedang menunggu dengan penuh ketakjuban datangnya serbuan kenikmatan maksimal yang tak bisa tertahankan oleh tembok baja sekalipun.​

Kino mengangkat kedua tangannya, tak tahan berdiam diri melihat kekasihnya menarikan tarian erotis yang menggairahkan itu. Dijamahnya lembut kedua payudara Tris yang bergerak-gerak seirama tubuhnya.​

Perlahan diputar-putarkannya kedua telapak tangan di atas kedua puting yang telah tampak membesar dan tegak-kenyal itu. Si pemilik kedua bukit indah itu pun merasakan setiap usapan bagai tambahan pasok kenikmatan yang memicu letupan-letupan birahi baru sepanjang tubuhnya. Akibat usapan-usapan itu, puncak birahi Tris kini tinggal beberapa langkah lagi.​

“Aaah.. aku …,” Tris berucap terputus-putus oleh erangannya sendiri,”..ah,.. aku tidak…aaah, tahan… Kino…” Kino mengerti.​

Cepat diraihnya pinggul Tris dengan kedua tangannya. Lalu dengan energik pemuda itu membantu gerakan wanita pujaannya. Naik turun dengan cepat. Berputar-putar kekiri kekanan…
“Oooooh…” Tris mengerang… Naik turun lagi dengan cepat. Berputar-putar …..​


“Aaaaah…” Tris mendesah sambil menengadah dan memejamkan mata…. Naik turun lagi dengan cepat. Berputar-putar lagi ….
“Mmmmmmmmmm…” Tris mengerang panjang. Naik turun lagi… lagi…. lagi… dan lagi. Kedua payudaranya berguncang-guncang indah sekaligus menggairahkan. Ingin rasanya Kino meremas kedua bukit menggemaskan itu, kalau saja kedua tangannya tidak sibuk membantu gerakan Tris. Lalu Tris benar-benar tak tahan lagi, … ia menjerit-jerit kecil..,
“Aah…aaah…aaah…” dalam interval pendek, dengan tubuh berguncang-guncang dan gerakan turun-naik yang tidak lagi teratur. Gerakan-gerakan menjadi sangat liar, tak terkendali. Lalu setelah beberapa saat, gerakan itu ditutup dengan erangan panjang​

“Aaaaaaaaaaaaah…”… wanita ini mencapai orgasmenya yang kedua di atas tubuh kekasihnya. Menggelepar-gelepar ia dalam posisi terduduk-terhenyak dipegangi oleh Kino agar tidak terlempar ke luar ranjang. Pemuda itu merasakan kejantanannya seperti disedot kuat-kuat oleh sebuah liang sempit kenyal yang berdenyut-denyut liar. Cukup lama Tris menggeliat-geliat menikmati puncak asmaranya, sebelum akhirnya terengah-engah dan membuka matanya bagai seseorang yang baru bangun dari mimpi menggairahkan. Kedua matanya bersinar terang penuh kepuasan dan kebahagian. Belum pernah rasanya Kino melihat mata yang begitu ekspresif.​

“Ohhhh…,” akhirnya Tris bisa mendesahkan ucapannya sambil masih agak terengah,
“Bagaimana aku bisa mengusirmu, kalau begini…” Kino tertawa mendengar pengakuan polos itu. Dia tahu, Tris cuma mendramatisir cintanya, seakan-akan gairah-gairah seksual ini sematalah yang mengikat cinta mereka. Dia tahu, wanita ini menghadapi berbagai penghalang untuk bisa bercinta seperti ini. Entah apa saja yang sudah dikorbankan wanita ini untuk bisa bertemu dan bercinta dengannya. Percumbuan ini hanyalah pelampiasan paling mendesak untuk melepaskan diri dari berbagai ketegangan dan tekanan risiko yang dihadapinya. Betapa mulianya wanita ini bagi Kino.​

Kino meraih tubuh kekasihnya, merebahkannya di atas tubuhnya. Trista mengerang manja, meluruskan kakinya dan membiarkan dirinya melintang di atas tubuh pemuda pujaannya. Rasanya damai sekali dunia ini sehabis percintaan menggebu-gebu. Pelukan Kino bagai sebuah pelindung raksasa yang mampu mengusir segala nestapa dan gundah dan gulana dan risau. Setelah beberapa menit, Trista mengangkat mukanya dan berkata,​

“Sekarang giliran kamu…,” bisiknya. Kino tersenyum lembut. Ia ternyata tak terlalu memusingkan gilirannya. Siang ini ia merasa hanya ingin kelembutan dan kasih.
“Tidak mau?” tanya Tris melihat Kino tak bereaksi dan cuma tersenyum-senyum. Kino menggeleng.
“Betul-betul tidak mau?” Kino menggeleng lagi.
“Coba. Apa betul kamu tidak mau…,” kata Tris sambil tersenyum nakal.​

Dan sebelum Kino bisa bilang apa-apa, bidadarinya sudah meluncur turun…. lalu ada gerakan-gerakan di bawah sana dan… Hei! … Kino terlonjak ketika merasakan kejantanannya masuk ke rongga basah dan hangat …. ia menengok ke bawah, tetapi pandangannya terhalang oleh kepala Trista. Ia berusaha lagi,… tetapi akhirnya tak berdaya… tergeletak membiarkan kekasihnya melakukan sesuatu yang selama ini tak terbayangkan.​

Betapa sungguh tak berdayanya Kino yang tadi mengatakan “tidak mau” tetapi kini tergeletak diam dengan nafas semakin lama semakin memburu. Ia merasakan sedotan, isapan, jilatan… susul-menyusul silih berganti. Kejantanannya serasa semakin menegang, semakin geli-menggelisahkan.. semakin tegak dan mengeras. Lalu lagi: merasakan sedotan, isapan, jilatan… susul-menyusul silih berganti… semakin lama semakin membuat dirinya melambung-lambung di angkasa kenikmatan. Tinggi dan tinggi…. semakin tinggi…. sampai akhirnya ia merasa harus melepaskan semua desakan yang terkumpul. Dengan erangan panjang, Kino memulai pendakian ke puncak asmara.​

Sesaat sebelum ledakan pamungkas itu… aaah… tiba-tiba Trista menghentikan kegiatannya, lalu cepat-cepat kembali ke posisi mengangkangi tubuh Kino. Cepat sekali kejantanan Kino tenggelam sampai ke pangkalnya di liang kewanitaan Tris. Cepat sekali pula wanita itu menaik-turunkan lagi badannya dan ……….. tanpa dapat ditahan lagi, Kino meregang kejang lalu melepaskan semburan-semburan kenikmatan puncaknya!​

Rasanya lama sekali Kino memuncrat-muncratkan seluruh cairan cintanya kedalam tubuh kekasihnya. Rasanya banyak sekali yang tumpah ruah melimpah-limpah sampai tak tertampung dan mengalir keluar kembali bagai lahar panas turun dari puncak gunung yang mengamuk. Tris tersenyum ketika Kino akhirnya berhasil membuka matanya.​

“Jangan sekali-kali bilang ‘tidak mau’ lagi…,” bisik Tris sambil mencubit hidung Kino. Kino mengeluh dalam hati. Mengapa aku selalu kalah olehnya? Sungguh permainan yang tidak adil!​

Dan di luar terdengar hujan mulai turun. Bahkan tak lama kemudian, badai datang seperti sepasukan tentara menyerbu dengan suara yang gemuruh. Musim badai telah tiba…​

 

Sebuah pengadilan kecil terjadi malam itu dengan Tristantiani sebagai terdakwa utama.

Wanita semampai yang sebenarnya masih letih setelah seharian pergi bersama kekasihnya itu, duduk dengan tubuh tegak. Wajahnya tampak pias, tetapi juga luarbiasa tenang.

Matanya menerawang, berpindah-pindah memandangi wajah-wajah di depannya. Bibirnya yang ranum membentuk garis tipis nyaris tak berlekuk, menandakan ketegaran yang getir. Tidak ada senyum. Juga tidak ada tangis.

Hujan di luar bagai ditumpahkan dari langit, dan Tris sejenak memikirkan seorang pemuda yang saat itu berlari-lari kecil menembus tirai air.

Larilah sejauh langkahmu, bisik wanita itu dalam hati. Tinggalkan tempat yang berderang tetapi pekat oleh kerancuan dan kecurangan dan kebimbangan ini. Larilah sampai tempatmu berteduh, jauh dari jangkauan amarah dan keputusasaan. Larilah!

Kino terengah-engah menembus hujan yang kini sudah membasahi seluruh tubuhnya. Bajunya tak kuasa membungkus tubuh yang kuyup. Angin bergemuruh di pepohonan di pinggir jalan yang satu demi satu dilewatinya. Cahaya lampu neon tak kuasa menembus gelap yang semakin pekat oleh kabut dan air curahan langit yang murka. Muka pemuda itu terasa peris terhantam butir-butir besar air yang bagai tak mau berkompromi. Berkali-kali matanya berkerejap menahan perih.

“Hentikan semua permainanmu, Trista,” suara bariton sang ayah menyudahi pidato pendek tentang kemurnian perkawinan dan tentang hargadiri keluarga.

Semua orang memandang ke wanita yang duduk diam bagai patung. Semua orang diam-diam merasakan perih di hati, melihat mahluk cantik halus mempesona itu harus berhadapan dengan barisan penjaga keharuman nama dan moralitas.

Tetapi tak seorang pun tahu apa isi benaknya. Tak tahu bahwa sebuah kegelisahan menggeliat di kepalanya. Sudah sampai mana pemuda itu berlari? bisiknya dalam hati. Sudah cukup jauhkah untuk tidak merasakan perih-pedih yang menggelisahkan ini?

Kino merasakan kakinya pegal, tetapi ia terus belari. Suara langkahnya adalah satu-satunya suara yang berani melawan gemuruh badai dan curahan air di bumi. Cipratan-ciptratan lumpur memenuhi kaki jeans-nya.

Kino merasakan dadanya sesak, tidak saja oleh olahtubuh yang menyita tenaga ini, tetapi juga oleh kesadaran tentang apa yang dihadapi Trista di rumahnya. Ia tadi tidak bisa masuk, tetapi ia sempat melihat ruang tamu yang berderang dan penuh bayang-bayang orang. Ia tahu, ada sesuatu yang terjadi di sana. Sesuatu yang sama sekali tak remeh.

“Apakah kau mencintai mendiang kakakmu?” suara bening sang Ibu memecah hening. Trista mengalihkan pandangan kepada wanita yang melahirkannya. Oh, Ibu… mengapa bicara cinta di saat seperti ini? bisiknya dalam hati. Mengapa tidak bicara belenggu dan racun dan dusta?

“Mendiang tahu aku mencintainya,” ucap Tris pelan, hampir tak terdengar.

“Lalu mengapa kau langgar janjimu?” kejar Ibu.

“Saya tidak berjanji apa-apa,” ucap Tris, masih pelan, namun kali ini cukup terdengar. Terutama di telinga Sony. Pria itu menunduk, mencoba mencari makna di atas lantai marmer yang bersih. Tentu saja, ia tak menemukan apa-apa di sana.

“Kamu berjanji akan menjadi ibu dari anaknya,” suara bariton Ayah kembali muncul.

Trista menoleh ke lelaki yang rambutnya sudah putih semua itu. Ingin sekali ia mengusap rambut itu dan menenggelamkan muka di lehernya seperti 10 atau 20 tahun yang lalu. Mengapa tak bisa lagi kulakukan itu padamu, Ayah? keluhnya dalam hati.

“Saya sudah menjadi ibunya,” kata Trista sambil mengusap rambut Ria di pangkuannya.

Anak itu sejak tadi dengan tenang tidur, memakai pangkuan Trista sebagai bantalnya. Ia tak mengerti mengapa semua kakek dan neneknya berkumpul di sini. Ia hanya tahu bahwa ibunya telah pulang, dan bahwa tidur di pangkuannya adalah sebuah aktifitas yang paling nyaman.

“Kau berjanji menjadi istri dari suami mendiang” suara bariton itu lagi, tidak marah tetapi tegas dan getir.

“Saya memang istri Sony…”kata Tris sambil memandang Sony yang mengangkat mukanya mendengar namanya disebut.

Pasangan ini saling bertatapan,… dan sebentuk garis maya terbentang di antara mereka. Sebentuk garis yang terbuat dari es batu. Dingin sekali.

“Tetapi, pemuda itu…,” suara Ibu menyela, terhenti di tengah-tengah.

“Kino. Pemuda itu bernama Kino, Ibu,” kata Trista. Dan aku mencintainya, sambung Trista dalam hati.

“Siapa dia?” untuk pertamakalinya Ibu mertua angkat bicara.

Trista menoleh ke arah seorang Ibu aristokrat yang rambutnya selalu rapi dan perhiasannya selalu lengkap. Seorang yang dari jarak 20 meter pun sudah tercium wangi parfumnya. Seorang yang bertanya “siapa dia” seperti bertanya “berapa harganya”.

“Seorang yang baik hati,” kata Trista sambil menyunggingkan bibir. Maksudnya ingin tersenyum, tetapi yang tampak adalah sebuah keterpaksaan-ketakrelaan.

“Seorang yang memacari istri orang?” kata Ibu mertua sambil mengalihkan pandangan, seperti seorang pembelanja yang tak suka melihat barang di etalase.

Trista menunduk, menyembunyikan api di matanya. Dadanya bergemuruh dan terasa ingin meledak. Kino, bisiknya dalam hati, sudah berapa jauhkah larimu?

“Istri anakmu!” sergah Ayah mertua kepada Ibu mertua.
Lalu keduanya saling tatap dengan galak. Lalu ucapan-ucapan dalam bahasa Belanda berhamburan keluar dari mulut mereka, yang sebagian dimengerti oleh Trista: mereka bertengkar soal anak mereka. Betapa bahagianya pasangan itu! sergah Trista sinis di dalam hati.

Sony mencoba menengahi, tetapi malah dibentak oleh Ayahnya. Pertengkaran mulut berlanjut, walau tidak sampai berteriak-teriak. Ayah dan Ibu Trista tampak kikuk melihat besan mereka bertengkar. Sony kewalahan menyembunyikan rasa malunya. Trista menutup kuping Ria dengan tangannya, kuatir anak itu terbangun. Pertengkaran merembet ke Ayah dan Ibu Trista. Ramai sekali suasananya.

Trista menunduk mengusapi rambut Ria dan berbisik dalam hati, tidurlah yang nyenyak anak manis. Dunia sudah jadi tak elok dipandang mata, tak merdu didengar telinga. Lalu kepada angin yang berderu-deru di luar, Trista berbisik, sampaikan salamku pada seorang pemuda yang berlari-lari di tengah hujan, Wahai Sang Bayu.

Dan angin seperti mengerti. Suaranya menggemuruh. Sejenak Trista menengok ke luar jendela, tak mempedulikan orang-orang di depannya, yang kini sibuk bertengkar di antara mereka.
Air hujan masih seperti berlomba menyentuh tanah paling dulu. Sejenak pikiran Trista terganggu,… apakah dia baik-baik saja?

*****​

 
Bimabet
ini cerita sudah sangat lama...
ada di PUCUK LIMAU PELANGI....
dulu di muat di situs yang udah koit....
sayangnya cerita ini ini ga tamat...
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd