Agen Terpercaya   Advertise
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

MISTERI Bad Trip [LKTCP 2018]

praharabuana

Guru Besar Semprot
Daftar
20 Oct 2015
Post
2.497
Like diterima
892
Lokasi
Bojongsoang, Kab. Bandung
Bimabet


BAD TRIP


“Aku yakin, andai ayah dan ibumu bisa melihatmu saat ini,” ujar Farista. “Beliau-beliau akan sangat kecewa.”

Kino hanya menyunggingkan sekilas senyuman.

“Dua koma empat miliar rupiah, Kino,” sambung Farista. “Sangat banyak hal yang bisa kamu peroleh dengan uang sebesar itu. Tapi kamu... apa yang kamu dapatkan?”

Kembali, Kino tersenyum sekilas. “Setidaknya, aku nggak hidup melarat. Aku punya keleluasaan finansial.”

“Tapi, suatu hari nanti, uangmu akan habis,” bantah Farista. “Selama nggak dikelola untuk menghasilkan sesuatu yang bermanfaat.”

“Sesuatu yang bermanfaat?” Kino tertawa pendek. “Seperti apa, contohnya?”

“Berinvestasi, Kino,” jawab Farista. “Sisihkan sebagian uangmu untuk diinvestasikan. Andai berhasil, kamu akan dapat cukup banyak penghasilan. Untukmu juga, 'kan?”

“Uangku semakin banyak, ya,” gumam Kino. “Hmm... terdengar menyenangkan. Tapi, apakah itu berarti, jika nggak mungkin kunikmati bersama ayah dan ibuku.”

Farista mendadak speechless.


"Aku hanya ingin kamu mendapatkan yang terbaik, Kino," ucap Farista. "Semuanya selalu berujung pada kebaikanmu."

"Aku mengerti," tanggap Kino, seraya tersenyum. "Aku juga menginginkan hal yang sama."

"Mulailah dengan menjauhi drugs," sambung Farista. "Aku yakin, kamu akan bisa menulis jauh lebih baik, jika..."

"Ideku makin lancar ketika dibantu obat-obatan," dengus Kino, memotong ucapan Farista. "Imajinasiku terbang bebas, terkadang melebihi batas khayal yang mampu dijangkau manusia."

"Kualitas tulisanmu makin baik, semenjak kamu nge-drugs?" tanya Farista. "Seperti itu maksud ucapanmu?"

Kino tertawa kecil. Gesturnya menunjukkan bahwa dirinya membenarkan ucapan Farista. "Tulisanku berkualitas."

"Kalau memang seperti itu," lanjut Farista. "Kenapa belum ada tulisanmu yang dilirik penerbit untuk dipublikasikan?"

Tawa Kino mendadak terhenti. Giliran dirinya yang speechless.


Farista beringsut, duduk tepat di hadapan Kino.

"Kamu benar-benar kepingin tulisanmu diterbitkan?" tanyanya lembut, sambil menggenggam kedua telapak tangan Kino.

Kino mengangguk pelan.

"Cobalah untuk melupakan opini bahwa drugs bisa membantumu menghasilkan tulisan yang bagus," sambung Farista.

"Kenapa?" tanya Kino.

"Karena kamu bisa menulis jauh lebih baik tanpa drugs," jawab Farista. "Kamu ingat? Cerpenmu berhasil muncul di surat kabar, saat kamu sama sekali belum menggunakan drugs. Benar?"

Kino tertegun. Hatinya membenarkan asumsi Farista.

"Dari kata-kataku tadi, kamu bisa menangkap maksudnya, 'kan?" lanjut Farista.

Kino pun mengangguk pelan.

"Aku menasihatimu," tambah Farista. "Karena aku menyayangimu... sebagai seorang sahabat."

"Kamu..." Kino mengusap pelan ubun-ubun Farista. "Sahabat terbaikku."

Farista hanya tersenyum.


+ + + + + + + + +
+ + + + + +​


Terkadang kenyataan tidak sesuai dengan harapan. Seperti yang dialami Farista. Ia berencana menghabiskan hari lebih lama bersama Kino, di kediaman lelaki itu. Nyatanya, di sore hari, sahabat dekatnya itu berucap,

"Nggak apa-apa kamu ditinggal?"

"Memangnya kamu mau ke mana?" tanya balik Farista.

"Bertemu Adara," jawab Kino.

"Kalau begitu, aku pulang aja," putus Farista.

"Kalau kamu mau tinggal dulu di sini, silakan," ujar Kino. "Tapi, resikonya, kamu harus tinggal sendiri."

"Dan baru bisa pulang, setelah kamu kembali?" tebak Farista. "Hmm... mendingan aku pulang aja."

"Ya udah," Kino tersenyum. "Besok atau lusa, kamu bisa datang lagi. Pintu rumah ini terbuka lebar untukmu."

Farista balas tersenyum.


Dan mereka pun berpisah.


Farista tidak pernah benar-benar menganggap Kino sebagai sahabatnya. Baginya, Kino adalah seorang... pasangan hidupnya di masa depan. Meskipun ia tahu, Kino tidak pernah berpikir serupa. Lelaki itu hanya menganggap Farista sebagai teman baik, bahkan teman terbaik.

Ya, Farista memang teman terbaik Kino. Gadis manis itu selalu ada di kala Kino membutuhkannya. Selalu membayangi sosok Kino, dalam suka atau duka. Menjadi curahan saat Kino merasakan indahnya kebahagiaan, dan sebaliknya, menjadi penolong saat Kino kelimpungan di tengah himpitan derita.

Bagi Kino, Farista adalah malaikat. Sesuai namanya, 'farista', yang di dalam bahasa Tajikistan memiliki arti 'malaikat'.


Begitu pun sebaliknya.

Bagi Farista, Kino adalah the only one friend. Ia adalah anak yatim sejak usia delapan tahun, dan kemudian menjadi sebatang kara, sejak sang ibunda menyusul ayahnya, tiga tahun kemudian. Setahun mendiami sebuah panti asuhan, seorang lelaki bernama Pak Fernando, yang kala itu berumur 40 tahun mengangkatnya menjadi anak asuh. Membiayai hidup dan studinya, meski tetap tinggal di panti asuhan.

Saat lulus SMA dan melanjutkan studi ke sebuah perguruan tinggi negeri, Farista memutuskan untuk keluar dari panti asuhan. Ia memilih untuk mengontrak sebuah kamar, meski Pak Fernando selalu berharap Farista sudi tinggal di rumah yang hanya ia diami berdua saja dengan putri satu-satunya. Ia juga mencoba berwirausaha kecil-kecilan, demi membiayai kebutuhan sehari-harinya, meski untuk biaya studi, tetap Pak Fernando yang menjaminnya.

Farista ingin belajar mandiri, tidak mau terus bergantung sepenuhnya pada kebaikan hati keluarga Pak Fernando.


Keputusan Farista untuk mengontrak sebuah kamar pulalah yang mengantarkannya berkenalan dengan Kino. Menjadi jalan untuknya menemukan seorang sahabat dekat. Keputusan yang membuat Farista dan Kino saling membutuhkan dan saling memberi satu sama lain.


Ia ingat, ketika empat tahun lalu, hanya empat hari menjelang pergantian tahun, terjadi musibah kecelakaan pesawat Airbus A320-216 milik maskapai penerbangan asal Malaysia, yang berangkat dari Surabaya menuju Singapura, namun jatuh di Laut Jawa, dan menewaskan seluruh penumpang dan awaknya itu.


"Lihat, Farista," ujar Kino, sambil menunjuk layar televisi yang tengah menayangkan breaking news tentang hilangnya sebuah pesawat komersil tersebut.

Farista, yang tengah asyik mengidap keripik talas, segera menatap televisi. "Di mana, Kino?"

"Indonesia," jawab Kino. "Mmm... hilang kontak dan diduga jatuh di Laut Jawa."

"Haduh... kemungkinan besar, semua penumpangnya tewas, dong?" Farista menajamkan pandangannya terhadap layar televisi. "Namanya jatuh ke laut."

Kino mengedikkan bahu. "Kemungkinan besar begitu."


Dengan gerakan mengejut, Farista menatap Kino dengan sorot mata menyelidik.

"Bukankah ayah dan ibumu pulang dari Surabaya hari ini, Kino?" tanyanya, kentara nada kecemasan pada suaranya.

"Iya," jawab Kino, sambil tersenyum. "Tapi, pesawat yang hilang itu terbang ke Singapura, Néng. Bukan Bandung. Baca, dong, tulisan di layar TV."

Farista terkekeh.



Namun, tak sampai 24 jam kemudian, hidup Kino terguncang, tatkala seseorang menghubunginya via sambungan telepon dari Surabaya, mengaku sebagai karyawan maskapai penerbangan asal Malaysia.


"Kamu ikut aku," ucap Kino agak terbata. "Ke Surabaya."

"Ke Surabaya?" tanya Farista heran. "Mau apa?"

"Nama ayah dan ibuku ada di daftar manifes penumpang pesawat yang diduga jatuh di antara Laut Jawa dan Selat Karimata," jelas Kino, yang tampak berusaha mati-matian untuk tetap tenang.

"Tapi, tujuan pesawat yang jatuh itu, ke Singapura, 'kan?" tanya Farista tak mengerti.

"Aku nggak tahu, Farista," Kino menggelengkan kepala. "Aku nggak tahu, kenapa tiba-tiba ayah dan ibuku justru terbang ke Singapura. Tanpa mengabariku."



Selama enam hari, Farista menemani Kino di Surabaya. Menanti kejelasan nasib ayah dan ibunya. Bolak-balik dari hotel ke Bandara Internasional Juanda, hanya untuk berkali-kali menerima kabar bahwa lokasi bangkai pesawat belum ditemukan. Lalu, saat titik jatuh telah diketahui, disusul penemuan beberapa pecahan badan pesawat juga beberapa jenazah penumpang, berkali-kali Kino diberitahu bahwa itu bukanlah jenazah orang tuanya.


"Sampai kapan kita harus tinggal di Surabaya, Farista?" tanya Kino, lebih terdengar sebagai pertanyaan untuk dirinya sendiri.

"Mestinya aku yang bertanya seperti itu," tanggap Farista. "Bukan kamu."

"Aku udah patah semangat, Farista," lirih Kino. "Ayah dan ibuku nggak mungkin selamat."

"Aku tahu," Farista tersenyum lembut. "Setidaknya, tunggulah sampai jenazah beliau ditemukan."

Kino mengedikkan bahu.

"Atau, tunggulah sampai ada penjelasan dari pihak maskapai, tentang santunan bagi ahli waris korban," sambung Farista. "Dari kabar yang sempat kudengar, nominalnya besar. Mungkin kamu..."

"Apa itu penting?" sela Kino. "Apakah nominal yang kamu bilang besar itu bisa menggantikan keberadaan orang tuaku?"

"Yaa... nggak, sih," gumam Farista. "Tapi, setidaknya, kamu bisa menggunakan uang itu untuk..."

"Atau kamu yang lebih mengharapkan uang santunan itu?" potong Kino dengan nada dingin. "Kamu bahagia karena bisa dekat dengan seseorang yang mendadak kaya berkat uang santunan kecelakaan pesawat?"


Farista menatap tajam Kino. Siapa pun yang melihat tajam tatapan tersebut, akan dengan mudah menerka betapa marahnya gadis manis itu.

Sebaliknya, Kino segera menyadari bahwa kata-katanya sangat keterlaluan. Menyadari bahwa tidak sepantasnya dirinya melontarkan kalimat sesinis itu terhadap Farista.


"Aku minta maaf," ucap Kino dengan nada hati-hati. "Ucapanku terlalu kasar."

Farista hanya mengangguk.

"Wajar kalau kamu marah," sambung Kino. "Nggak sepantasnya aku berucap seperti..."

"Aku pulang ke Bandung, sekarang," putus Farista. "Kamu udah nggak membutuhkanku, 'kan?"

"Jangan!" tegas Kino. "Kumohon, jangan pulang. Jangan pergi dari sini, kecuali denganku. Jangan
pernah pergi dariku."

Farista hanya mengangguk kaku. Dan tingkahnya makin rikuh, kala Kino secara mendadak merengkuh serta mendekap erat tubuhnya.



Dan empat tahun berlalu semenjak musibah kecelakaan pesawat tersebut. Kino banyak berubah. Sangat berubah.

Dimulai dari cairnya uang santunan duka sebesar dua kali Rp 1,2 miliar. Disusul pernyataan resmi dihentikannya proses pencarian sisa 56 jasad korban yang belum ditemukan, dengan jenazah ayah dan ibunya termasuk di antaranya. Lalu, kehilangan kedua orang tua dengan cara yang tragis pun menjalar pada perubahan sikap dan gaya hidup Kino.

Kemudian, perkenalan sahabat dekatnya itu dengan narkotika berjenis LSD yang diyakini Kino dapat membuat imajinasi menulisnya terbang tanpa batas. Dan akhirnya, perkenalan Kino dengan seorang wanita molek bernama Adara, yang ditemuinya di sebuah diskotik.

Kino pun 'menjauhi' Farista. Melupakan ucapannya di masa lalu,

"Jangan pernah pergi dariku."

Kata-kata yang terucap empat tahun lalu itu, mungkin tidak lagi berbekas dan berarti di hati Kino. Sama sekali.


+ + + + + + + + +
+ + + + + +​



Di waktu dan lokasi yang berbeda,


"Aku kehabisan perangko," ujar Kino.

"Sama sekali nggak punya stok?" tanya Adara.

"Hmm... ada, sih," jawab Kino. Lalu tampak berpikir, sebelum melanjutkan kalimatnya, "Cukup untuk sepekan lagi."

"Besok kutanyakan pada temanku," janji Adara. "Semoga lusa barangnya udah tersedia."

Kino mengacungkan ibu jari tangan kanannya.


"Udah sampai di mana cerita yang kamu tulis?" tanya Adara. "Scene pembunuhan yang dilakukan Tori terhadap Jon, udah mulai digarap?"

"Mmm... belum," jawab Kino. "Baru sampai scene ketika Tori berniat membunuh Jon, lalu mulai memikirkan caranya."

"Mungkin ideku bisa dipertimbangkan, Kino," ujar Adara. "Tori datang ke kediaman Jon, di malam hari. Tori hapal tabiat Jon yang cenderung mudah terbangun hanya akibat mendengar suara ketukan pintu. Tori juga hapal dengan kecenderungan Jon yang butuh sedikit waktu untuk mencerna situasi di saat baru aja terbangun."

"Jadi, ketika Jon masih butuh waktu untuk mengembalikan kesadaran, Tori membunuhnya?" tebak Kino.

Adara mengangguk. "Seperti yang udah kamu tulis, bahwa titik terlemah Jon adalah ketika dia baru terbangun. Maka, Tori menyerangnya pada saat itu, supaya Jon nggak sempat melawan."

"Kamu punya ide tentang alat dan cara yang digunakan untuk membunuh Jon?" tanya Kino.

"Standar aja," cetus Adara. "Tikam dadanya dengan pisau dapur, tepat menembus jantung."

"Terlalu sederhana," komentar Kino. "Akan kubuat cerita, Tori menikam Jon dengan kujang. Yah... kamu pasti tahu, kujang adalah salah satu senjata tradisional paling mematikan di bumi Nusantara."

"Kenapa harus kujang?" selidik Adara.

"Karena aku tahu persis, kamu mengoleksi beberapa jenis kujang," jawab Kino, sambil tersenyum penuh arti.

"Hmm... jangan bilang, sosok Tori di ceritamu, terinspirasi dari sosokku," goda Adara.

"Memang," Kino nyengir jenaka. "Sosok Tori memang terinspirasi darimu."

Adara pun tersipu. "Aku tersanjung."

"Kamu nggak akan pernah mengira," gumam Kino pelan, dengan nada sungguh-sungguh. "Seberapa besar aku memujamu, Adara."

"Gombal," umpat Adara. Namun, semburat merah di kedua pipi wanita molek itu, menjelaskan bahwa penerimaan di hatinya berbanding terbalik dengan umpatan dari bibirnya.


Adara bangkit dan meninggalkan Kino yang duduk di salah satu kursi ruang tamu. Sejenak ia menoleh, menatap Kino.

"Mau minum apa?" tanyanya.

Kino menggeleng. "Apa aja, terserah kamu."

"Oke," Adara mengangguk. "Sirup leci dingin aja, ya?"

"Boleh," jawab Kino, sambil tersenyum.

Adara pun beranjak menuju dapur.


Kino berkenalan dengan Adara di sebuah diskotik yang berlokasi di Jl. Sulanjana, pada suatu malam Minggu, hampir tiga tahun lalu. Di mata Kino, Adara terlihat sangat memesona di tengah ratusan wanita cantik di sana. Kenapa? Karena pada malam itu Adara hanya menyaput riasan tipis dan sederhana di wajahnya. Berbeda dengan mayoritas pengunjung wanita lainnya, yang seolah berlomba memamerkan wajah cantik hasil polesan make up. Tidak natural.

Dan pandangan matanya ternyata tepat. Beberapa hari kemudian, pada suatu sore, Kino dan Adara kembali berjumpa di sebuah kafe. Dalam suasana yang lebih tenang, di bawah sorot cahaya yang lebih benderang, jelaslah betapa Adara begitu cantik. Yang membuat Kino makin jatuh hati, adalah fakta bahwa sore itu Adara sama sekali tidak menambahkan apapun pada wajahnya, kecuali bedak tipis. Ya, Adara dilimpahi anugerah kecantikan wajah yang alami.

Tiga pekan kemudian, Kino dan Adara resmi terikat oleh sebuah status bernama 'pacaran'. Dan Kino tidak pernah mengira, bahwa hubungan asmaranya dengan Adara akan mampu bertahan hingga hari ini. Bertahan hingga 3 kali pergantian tahun.


Adara kembali dari dapur, dengan segelas sirup leci dingin. Diletakkannya gelas tersebut di atas permukaan meja tamu, tepat di hadapan Kino.

"Sini," ucap Kino, sambil menepuki permukaan kursi sofa di sebelahnya, dengan tangan kanannya.

"Mau apa?" tanya Adara.

"Duduk di sebelahku," jawab Kino. "Kamu nggak kangen aku, ya?"

"Mana mungkin aku nggak kangen kamu, Kino?" ujar Adara, sambil melangkah menghampiri Kino, lalu mengempaskan bokongnya di atas kursi, tepat di sebelah kanan sang lelaki. "Aku selalu merindukanmu."

"Meskipun setiap hari kita selalu berjumpa?" tanya Kino. "Kamu tetap selalu merindukanku?"

Adara mengangguk tanpa ragu. "Kamu?"

"Aku pun begitu," Kino tersenyum. "Karena saat-saat bersamamu selalu terasa menyenangkan."

"Aku sayang kamu, Kino," bisik Adara.

"Aku juga sayang kamu," balas Kino.


Kino menarik tubuh Adara hingga tangan kanannya dapat melingkari bahu wanita molek itu. Adara sama sekali tidak memberikan respons negatif. Sebaliknya, ia seolah menyerahkan tubuhnya agar terbenam sepenuhnya di dalam rangkulan Kino.

"Aku berharap kebersamaan kita berlangsung selamanya," lirih Kino. "Aku nggak bisa membayangkan, jika harus hidup tanpamu."

"Aku punya banyak kekurangan, Kino," tanggap Adara.

"Aku juga," timpal Kino. "So what?"

"Mungkin kamu bisa mendapatkan wanita yang lebih baik dariku," ucap Adara.

"Mungkin bisa," Kino mengangguk. "Tapi aku nggak mau, karena aku hanya mau kamu."

Adara tersipu.


Kino menolehkan wajah Adara agar saling bertatapan. Lalu, dengan lembut, dikecupnya bibir sang wanita. Perlahan, namun pasti. Hingga akhirnya Adara pun membalas pagutan bibir tersebut. Kini, bukan lagi hanya Kino yang mencium bibir Adara, melainkan mereka telah sepenuhnya saling cumbu.

Tak sampai lima menit kemudian, intensitas saling cumbu telah meningkat drastis. Terlebih saat kedua telapak tangan Kino mulai aktif menggerayangi bagian sensitif di tubuh Adara, yang terjangkau olehnya. Wanita itu terbuai, bohong jika ia mengatakan 'tidak'. Buktinya adalah kesediaan Adara untuk dilucuti busananya, hingga di tubuhnya tinggal bersisa bra dan bikini berwarna sama: hitam. Tanpa ada kata protes dari bibirnya, seolah dihipnotis saja.

Adara melenguh tertahan, kala telapak tangan Kino menyusup di balik bikini, disusul jari tengah tangan yang sama merangsek perlahan ke dalam liang kemaluannya. Dan di saat yang nyaris bersamaan, Kino mendekatkan wajahnya pada bongkah payudara kiri Adara. Dikecup dan dijilatinya permukaan buah dada sintal yang tidak tertutupi bra. Tampaknya Kino masih menahan diri untuk tidak menanggalkan penutup dada hitam tersebut.

Tanpa menghentikan cumbuan terhadap payudara kiri Adara, Kino justru melolosi tubuh bawah sang wanita. Dipelorotkannya celana dalam Adara hingga bertengger di dekat lutut. Masih tak ada perlawanan dari kekasihnya nan molek itu.


Reaksi keras baru ditampilkan Adara, saat melihat Kino menunjukkan gelagat untuk melucuti pakaian bawahnya.

"Kamu mau apa?" tanyanya, sambil berusaha mendorong tubuh Kino agar menjauh.

Kino menjawab dengan senyum penuh makna.

"Aku nggak mau," tolak Adara, tahu persis dengan apa yang selanjutnya akan dilakukan Kino. "Please... Kino... aku nggak mau."

"Tanggung, Adara," ucap Kino, masih dengan senyum tersungging di wajahnya. "Kamu udah nyaris telanjang. Semua adalah bukti bahwa..."

"Aku nggak mau!" jerit Adara, menyela ucapan Kino. "Kalau kamu nekat, Kino, aku akan..."

"Apa, Sayang?" tanya Kino, terdengar sedikit menantang.

"Aku akan..." lirih Adara. "Aku nggak segan membunuhmu."


Dan ancaman Adara yang terucap lirih namun disertai kilatan mata bertendensi penuh kesungguhan itu pun sukses membuat hati Kino jeri. Karenanya, Kino menghentikan aksinya, lalu bangkit dan duduk di sisi kiri sang kekasih.

"Maafkan aku," bisiknya.

Adara hanya mengangguk pelan.

"Pakai lagi bajumu," lanjut Kino, sambil memungut bra hitam milik Adara yang tergeletak begitu saja di permukaan lantai.

Kembali, Adara hanya mengangguk.


+ + + + + + + + +
+ + + + + +​



"Aku mimpi buruk, Farista," ucap Kino terbata. Sengal napas yang memburu, menyiratkan ketegangan yang masih tersisa akibat adegan mencekam di dalam tidurnya.

"Kamu sampai berkeringat begini," tanggap Farista, sambil menyeka kening Kino yang dipenuhi titik-titik keringat dingin. "Mimpi buruk seperti apa?"

"Aku dikejar dan ditikam dengan kujang oleh Tori," jelas Kino.

"Tori?" Farista mengerutkan dahi. "Tokoh wanita di dalam cerita yang sedang kamu tulis, 'kan? Yang kamu bilang terinspirasi dari sosok Adara?"

Kino menjawab dengan anggukan pelan. "Aku takut, Farista. Aku... berkali-kali aku trip dengan adegan yang hampir sama."

"Bukankah kamu pernah bilang kalau LSD bikin imajinasimu terbang tanpa batas?" sindir Farista. "Kamu merasa pergi ke suatu tempat yang indah. Bahkan sirine mobil polisi pun terdengar merdu layaknya lagu."

"Nggak selalu," Kino menggeleng. "Kadang aku juga mengalami bad trip."

"Makanya, berhentilah nge-drugs, Kino," nasihat Farista. "Hidupmu akan menjadi lebih..."

"Please... Farista," potong Kino. "Jangan menceramahiku sekarang. Aku takut..."


Ucapan Kino yang terdengar lebih mirip rengekan itu, sontak membuat Farista iba. Karenanya, ia pun menarik tubuh sang lelaki ke dalam pelukannya. Meski kemudian segera dilepaskannya kembali.

"Kamu mengompol?" cetus Farista.

Kino menatap bagian bawah tubuhnya, lalu mendongak kembali untuk menatap wajah Farista, sambil tersipu.

"Kamu mimpi apa, sih?" tanya Farista, terdengar menahan geli. "Mimpi basah, ya?"

Kino mengangguk malu.

"Haduh... Kino," ujar Farista, lalu tertawa berderai.

"Di dalam mimpiku," tutur Kino. "Aku ML dengan Tori. Dan... akibatnya, aku dikejar-kejar Tori, lalu ditikamnya."

Tawa Farista mendadak terhenti.

"Mmm... seperti itulah kisah di dalam ceritaku," lanjut Kino. "Tori masih perawan, sementara Jon kerap memaksanya untuk bersetubuh. Tori pun mengancam, akan bertindak kejam andai Jon berani merenggut keperawanannya."

"Seperti itu pulakah Adara?" selidik Farista. "Masih menjaga virginitas?"

"Kalau Adara nggak mati-matian menjaga keperawanan," gumam Kino. "Udah sejak lama aku menyetubuhinya."

"Semudah itu..." Farista tertawa, terdengar bernada mengejek. "Kalau aku boleh menebak, ancaman Tori senada dengan ancaman Adara, ya?"

Kino mengangguk.

"Kamu sering mengajaknya bersetubuh?" tanya Farista lagi.

"She's so hot, Farista," Kino tertawa kecil. "Bohong kalau aku nggak penasaran kepingin menyetubuhinya."

"Kamu takut dengan ancaman Adara?" kejar Farista.

Kino mengangguk lagi.

"Rasa takut itulah yang bikin kamu mengalami paranoia, dan memicu bad trip," asumsi Farista. "Kalau aku nggak salah menebak, ya."

Kino menatap Farista. "Jadi, apa yang harus kulakukan?"

"Berhentilah nge-drugs," ujar Farista lugas. "Berhenti mengisap LSD. Solusinya sesimpel itu, Kino."


Sejenak keduanya saling diam. Tampak bahwa Farista menanti tanggapan Kino. Namun, sepertinya lelaki sahabatnya itu lebih memilih untuk diam, menanggapi ucapan Farista dengan sikap bungkam.


"Kamu malu, berteman dengan seorang pengguna narkoba?" tanya Kino ragu.

Farista menatap Kino, lalu tertawa kecil. "Kalau malu, saat ini aku nggak akan berada di sini, Kino. Aku pasti menjauhimu, sejak kamu mulai senang mengisap perangko. Nyatanya, aku bertahan, 'kan?"

"Jadi, kamu toleran denganku?" tanya Kino lagi. "Toleran dengan seorang pecandu narkotika?"

Farista menggeleng. "Aku nggak mungkin sepenuhnya toleran. Aku hanya berusaha memaklumimu. Kamu kehilangan orang tua dengan cara yang sangat tragis. Kamu melarikan diri dari tragedi hidupmu. Meskipun, aku berani bilang, narkoba adalah rute melarikan diri paling konyol."

"Aku tahu," Kino tersenyum. "Terima kasih udah berusaha toleran dengan segala keburukanku."

Farista hanya tersenyum.


Kembali, keduanya saling diam. Kali ini, sedikit lebih lama. Farista tampak berpikir, entah memikirkan apa. Sementara Kino malah sempat asyik dengan ponselnya, sesekali sibuk mengetik, diselingi senyum dan tawa tertahan. Dari tingkahnya, jelas, lelaki itu tengah asyik berbalas chat. Dan dari gestur tubuh serta mimik wajahnya, jelas, lawan chat-nya adalah Adara, kekasihnya.

Namun, tingkah dan gestur tubuh Kino sontak berubah, ketika Farista berucap,

"Aku mencintaimu, Kino."

Kino menatap Farista tajam. Sorot matanya menyiratkan keheranan, keterkejutan, hingga rasa iba.

"Aku mencintaimu," ulang Farista. "Sejak dulu."

"Kamu serius?" yakin Kino. "Sejak kapan?"

"Sejak..." Farista tidak melanjutkan kata-katanya. "Mmh... sejak kali pertama kita berjumpa."

"Saat kita nggak sengaja bertemu dan berkenalan di tengah konser itu?" cetus Kino tak percaya. "Enam tahun lalu, Farista?"

Farista diam, meski kemudian akhirnya mengangguk.

"Enam tahun kamu memendam rasa?" nada suara Kino menyiratkan kekaguman. "Luar biasa."

"Biasa aja," tanggap Farista. "Yang luar biasa itu adalah jika aku nggak bergerak ke mana-mana, ketika bertahun-tahun memendam perasaan itu. Sementara, aku tetap melanjutkan hidup, 'kan?"

Kino hanya sanggup menanggapi kata-kata dari bibir Farista, dengan menatap kedua bola mata wanita itu. Tak ada sepatah kata pun yang terucap darinya.

"Aku sadar dan berusaha memaklumi," lanjut Farista. "Berusaha memaklumi bahwa kamu nggak akan pernah bisa kusentuh. Bahwa aku terpaksa puas, hanya bisa jadi sahabat akrabmu. Nggak lebih."

"Kenapa kamu nggak pernah bilang?" tanya Kino.

"Kenapa aku harus bilang, kalau kamu nggak pernah bertanya soal itu?" tanya balik Farista. "Kino... 'gengsi' adalah pakaian wajib wanita."


Untuk kali kesekian, Kino dan Farista saling diam lagi. Tentu saja, ungkapan perasaan cinta yang dilontarkan Farista tanpa sungkan tadi, menggetarkan hati Kino. Meski mungkin tidak punya perasaan apapun terhadap Farista, bohong jika Kino tidak merasakan guncangan secuil pun.


Dan kebungkaman berakhir, tatkala Farista berkata pelan,

"Sekarang, kamu udah tahu, kenapa aku nggak pernah bosan membujukmu untuk berhenti nge-drugs."

"Karena kamu mencintaiku," tebak Kino.

"Ya, karena aku mencintaimu," Farista mengamini. "Hmm... meskipun kamu nggak bisa balas mencintaiku, izinkan aku untuk selalu menjagamu, Kino."

Kino menatap lekat kedua mata Farista.

"Boleh?" tanya Farista.

Kino mengangguk. "Karena nggak ada yang tahu, apa yang akan terjadi nanti."

"Apapun bisa terjadi," tanggap Farista. "Termasuk... kamu yang suatu hari nanti justru berbalik mencintaiku."

Kino menanggapi hanya dengan tersenyum.


"Sekarang, kamu bangun, gih!" cetus Farista, terdengar lebih mirip perintah.

"Kenapa harus bangun?" protes Kino.

"Untuk ke kamar mandi," jawab Farista. "Bau pesing, tahu!"

Kino nyengir.


+ + + + + + + + +
+ + + + + +​


"Aku nggak mau!" jerit Adara, menyela ucapan Kino. "Kalau kamu nekat, Kino, aku akan..."

"Apa, Sayang?" tanya Kino, terdengar sedikit menantang.

"Aku akan..." lirih Adara. "Aku nggak segan membunuhmu."



Itulah ancaman Adara, saat Kino mencoba mengajaknya bersetubuh. Lalu, apakah dengan ancaman Adara tersebut, Kino lantas menyerah? Jawabannya: tidak. Tiga hari kemudian, saat Adara menyambangi kediaman yang sejak empat tahun lalu ditinggali lelaki itu sendirian saja, Kino kembali melancarkan aksinya.


Adara tahu, Kino tengah tripping. Tingkah dan ciri fisik lelaki itu, menjelaskan semuanya. Yang ia tidak tahu, adalah kapan Kino mengisap secarik kertas kecil mirip perangko yang salah satu permukaannya telah dibubuhi zat lysergic acid diethylamide atau LSD itu. Satu, dua atau tiga jam lalu? Atau belasan menit lalu? Atau saat ini malah tinggal sisa dari efek narkotika tersebut? Kino tidak memberitahukannya, dan Adara tidak berniat untuk bertanya.

Yang Adara tahu, adalah efek mengonsumsi LSD yang lazim disebut "perjalanan" atau "trip", yang akan berlangsung hingga 12 jam, bahkan lebih. Dan Adara pun tahu, "perjalanan" layaknya berhalusinasi itu dapat menyenangkan, juga sebaliknya. Hmm... dilihat dari gerak-geriknya, tampaknya "perjalanan" Kino di bawah pengaruh LSD sedang berada di jalur yang menyenangkan.

Satu hal lagi, Adara tahu bahwa LSD dapat menyebabkan penggunanya turn on dalam hal seksualitas. Libido meningkat, bahkan tanpa perlu pemicu. Yah... meskipun, efek yang sama mungkin dapat pula terjadi saat seseorang mengonsumsi narkotika jenis apapun, tidak sebatas LSD.


Hal yang dijelaskan terakhir, kini tengah ditunjukkan Kino secara intensif. Tanpa perlu Adara menyibakkan kain di tubuhnya, di mata Kino, wanita itu begitu menggairahkan.

"Kamu kenapa, Kino?" tegur Adara, meski sesungguhnya tahu penyebab dari sikap ganjil Kino.

"I'm so turn on," jawab Kino lugas. "Aku kepingin ML."

"Denganku?" tanya Adara. "Nggak akan pernah, kecuali kita udah jadi sepasang suami-istri."

"Kalau aku mau ML hari ini, detik ini juga?" tantang Kino.

"Cari wanita di luar sana," jawab Adara. "Yang bersedia kamu setubuhi tanpa adanya ikatan perkawinan."

"Kamu mengizinkan?" kembali, Kino menantang.

"Absolutely no," tegas Adara.

"So?" tanya Kino dengan nada ambigu. "Kamu lebih memilih untuk disetubuhi atau merelakanku mencari wanita lain?"

"Kamu..." desis Adara tajam. "Egois!"


Adara menunjukkan gelagat untuk bangkit, menjauhi Kino. Namun sang lelaki bereaksi lebih gesit, dengan tiba-tiba mencengkeram ketat lengan kiri Adara, kemudian menariknya hingga tubuh keduanya bersentuhan erat.

"Jangan pergi," ucap Kino. "Ayo... nikmati keindahan ini bersamaku."

"Aku nggak melihat apapun," bantah Adara. "Apanya yang indah?"

Kino tertawa kecil. Membuat kening Adara berkerut, heran.


Dan belum hilang rasa heran Adara, Kino telah melumat habis bibirnya. Adara segera membebaskan diri dari cumbuan Kino, dan menatap tajam lelaki itu.

"Kino...!" umpatnya pelan. "Aku nggak mau."

"Sekadar dicumbui, Adara?" tanggap Kino. "Kamu nggak mau?"

"Nggak," Adara menggeleng. "Karena aku tahu, itu hanya akan menjadi jalan pembuka untuk menuju aksi selanjutnya."


Seringai di wajah Kino, membuat Adara yakin bahwa asumsinya tepat. Namun itu tak ada gunanya, karena Kino tidak peduli. Kembali, lelaki itu menciumi bibirnya dengan sedikit paksa. Kali ini, cumbuan tersebut disertai dengan gerayangan tangan kanannya di area dada Adara. Sementara, tangan kirinya melakukan dorongan perlahan terhadap tubuh Adara, hingga wanita sintal itu rebah.

Mau tidak mau, Adara terhanyut. Jika pada awalnya merasa terpaksa, kini ia mulai membalas pagutan bibir Kino, meski masih dengan sekadarnya. Tangan kanan Kino yang tak henti meraba payudaranya yang masih terbalut pakaian lengkap, nyatanya sukses memancing libidonya.

Adara pun mulai mengikuti permainan yang diciptakan Kino.


Tanpa berhenti mencumi bibir Adara, Kino mulai berusaha melucuti pakaian di tubuh kekasihnya, satu demi satu. Dengan gerakan yang sabar dan perlahan, agar Adara tidak terkejut dan lantas berontak. Metode yang sukses, karena Kino berhasil menanggalkan kemeja hijau di tubuh atas sang wanita, tanpa perlawanan berarti.

Selanjutnya, dengan gerakan yang tidak kentara, Kino menyusupkan kedua tangannya ke bawah punggung Adara. Jemarinya mencari kaitan bra merah hati wanita itu. Saat berhasil menemukannya, tanpa kesulitan, Kino melepaskannya. Dengan sekali tarik, bra itu tanggal dari tempatnya. Kini, tubuh bagian atas Adara telah sepenuhnya telanjang.

It's two down, and two to go.


Sejenak, Kino menghentikan cumbuannya, untuk sekadar menatap dalam-dalam kedua bola mata Adara. Sang wanita tersipu, menerima tatapan sedemikian dalam dari kekasih yang secara sadar begitu dicintainya itu.

"Aku sayang kamu," bisik Kino.

Adara makin tersipu.


Setelah sesaat saja memberikan sentuhan romansa, Kino melanjutkan aksinya mencumbui Adara. Kentara bahwa kali ini sang wanita memberikan respons secara lebih intens. Sikap lembut Kino, nyatanya melambungkan hati Adara, hingga berimbas pada penerimaan baik wanita molek itu. Secara teknis, saat ini Adara telah berada di bawah kendali 'pola permainan' Kino. Sedikit usaha lagi, untuk membuat Adara sepenuhnya 'takluk'.

Kedua telapak tangan Kino bergerak aktif menggerayangi kedua bongkah payudara Adara. Remasan lembut namun tegas, diselingi cubitan dan tarikan kecil terhadap kedua puting di tengahnya, juga belaian pelan dengan ujung kuku, makin melambungkan birahi pemiliknya. Di sela-sela membalas cumbuan Kino, berkali-kali Adara melenguh dan merintih tertahan. Beragam gaya sentuhan Kino, sungguh terasa memabukkan.

Dan di tengah situasi ekstase tersebut, Adara nyaris tidak menunjukkan reaksi perlawanan, saat Kino mulai memereteli dua helai pakaian yang tersisa di tubuhnya. Tak butuh waktu lama, sang wanita telah benar-benar telanjang bulat.


Enggan memberikan waktu bagi Adara untuk berpikir dan mencerna, yang berpotensi merusak suasana, Kino bergegas menghentikan cumbuannya terhadap bibir sang kekasih. Ia mengalihkan fokus pada area pangkal paha Adara. Tanpa permisi, Kino segera mencumbui selangkangan wanita itu. Tubuh Adara pun mengejang.

"Kamu... lagi apa?" rintihnya, di sela beragam rasa yang tengah dikecapnya.

"Nikmati aja, Sayang," jawab Kino, setelah sejenak menghentikan eksplorasi bibirnya di area vaginal Adara. "Kamu pasti suka."


Ya, ucapan Kino terbukti. Ketika lelaki itu kembali mempermainkan area selangkangan Adara, sang wanita sontak menggelinjang. Kedua telapak tangannya memegangi kepala Kino, meski maknanya tidak lagi jelas. Mendorong kepala itu agar menjauhi pangkal pahanya? Atau justru menekannya maju agar makin intens mencumbui vaginanya?

Namun Kino tidak memedulikan itu. Yang terpenting saat ini adalah fakta bahwa Adara menyukai stimulasi yang dilancarkannya.

Kian lama, Adara kian terbuai. Paduan antara sapuan lidah, hisapan kuat juga gigitan kecil, memabukkan Adara. Geliat tubuh telanjang wanita itu makin liar, diiringi rintih dan desahan yang terdengar makin nyaring. Paduan dari bunyi erotik dan gerakan sensual Adara, ditangkap indera pendengaran dan penglihatan Kino sebagai paduan yang sempurna. Indah sekali, membuat gairah birahinya makin memuncak. Kino makin berhasrat untuk menyetubuhi Adara, melupakan ancaman kekasihnya.

Hingga akhirnya Adara mencapai puncak kenikmatan.


Kino memberi jeda bagi Adara, untuk meredakan sensasi kenikmatan selepas meraih orgasme. Sang wanita hanya tergolek lemas, dengan mata terpejam dan napas tersengal halus.

Kondisi Adara yang seolah tak berdaya tersebut, dimanfaatkan Kino untuk sesegera mungkin menanggalkan dua helai pakaian di tubuh bagian bawahnya. Tanpa disadari Adara, nyatanya Kino tengah mempersiapkan diri untuk menyenggamai dirinya. Merenggut keperawanannya.


Saat Adara mulai kembali pada kesadaran penuh, posisi tubuh Kino telah berada tepat di atas tubuhnya. Batang penisnya yang sudah sangat tegang itu sudah bersiap di hadapan selangkangan Adara.

"Kino...!" pekik Adara panik, sembari melirik tubuh bawahnya. "Kamu mau apa?"

Kino hanya tersenyum.

"Jangan, Kino!" tolak Adara, sambil berusaha mendorong dada Kino dengan kedua telapak tangannya, sebagai usaha untuk mengusir tubuh sang kekasih. "Aku nggak mau..."

"Tanggung, Adara," gumam Kino. "Kamu juga menginginkan lebih dari sekadar orgasme lewat oral seks, 'kan?"

Adara menggeleng tegas. Namun, gelengan kepala Adara hanya ditanggapi Kino bak angin lalu. Tak ada lagi yang dapat menghalangi niat kuat lelaki itu, untuk menyetubuhi Adara, saat ini juga.


Kino mulai memajukan pinggulnya, hingga kepala kemaluannya berjarak makin dekat dengan bibir vagina Adara. Perlahan, seolah ingin meresapi setiap detik prosesi perenggutan keperawanan wanita sintal yang berada di bawah tubuhnya itu.

Sementara Adara menatap Kino dengan jeri. Berjuta rasa hadir di kepalanya, mulai dari rasa takut, khawatir hingga sejumput penasaran. Seumur hidup dirinya menjaga rapat keperawanannya, dan mungkin, dalam satu atau dua menit ke depan, kegadisan tersebut akan terkoyak.

"Jangan takut, Sayang," bisik Kino. "Awalnya mungkin sakit. Selanjutnya... kamu pasti akan menikmatinya."

"Bukan soal rasa, Kino," Adara menggeleng. "Ini tentang perasaan. Kamu tahu bedanya, 'kan?"

Kino mengangguk.

"Aku nggak rela," sambung Adara. "Sampai mati pun, aku nggak akan pernah menerima perlakuanmu ini."

"Sayangnya, aku nggak peduli dengan itu," tanggap Kino, sambil tersenyum datar. "Tokh, kamu juga nggak pernah peduli dengan kebutuhan biologisku."

"Aku benci kamu, Kino," lirih Adara. "Silakan, setubuhi aku. Aku bersumpah akan membunuhmu."

Kino menyeringai licik.


Dan sejurus kemudian, Kino benar-benar melesakkan batang penisnya ke dalam rongga kemaluan Adara. Perlahan, demi mengurangi efek menyakitkan yang tentunya dirasakan sang wanita. Meski begitu, tak urung Adara menjerit tertahan akibat penetrasi organ tumpul tersebut pada liang vaginanya.

Namun, hal yang paling kentara dirasakannya adalah rasa perih di dadanya, di lubuk hatinya. Bukan perih di vaginanya. Ya, sakit di hatinya akibat pemaksaan Kino, niscaya mampu bertahan lebih lama.

"Aku akan..." rintih Adara. "Aku... akan membunuhmu... Kino. Aku bersumpah..."


Kino tidak lagi memedulikan rintihan apapun dari bibir Adara. Yang kini ada di otaknya adalah menyetubuhi sang kekasih. Menggoyangkan pinggulnya, meningkatkan torsinya, dan akhirnya berujung pada orgasme. Persetan dengan Adara yang, tentu saja, sangat tidak menikmati persetubuhan setengah paksa ini.

Dan ya, tidak sampai sepuluh menit, Kino telah mencapai ambang puncak kenikmatan. Ia tiba-tiba mencabut batang penisnya dari liang kemaluan Adara, lalu mengarahkannya pada perut sang kekasih. Beberapa detik kemudian, lubang kecil di ujung kemaluannya menyemburkan cairan kental, dan berlelehan di atas perut datar Adara.

Kemudian, tubuh Kino ambruk di sisi kanan tubuh Adara.


"Puas, Kino?" tanya Adara dengan nada lirih, seraya bangkit dan turun dari sofa. Dengan lesu, dipungutnya semua helai pakaian yang berserak di sekitar sofa dan meja ruang tengah itu, kemudian melangkah gontai ke arah kamar mandi.

Kino hanya menatap Adara, sambil tersenyum.


Hampir lima belas menit kemudian, barulah Adara kembali ke ruang tengah dengan tubuh yang telah sepenuhnya tertutupi busana.

"Tadi itu," ucapnya. "Adalah kali pertama dan terakhir kamu bisa menyetubuhiku."

"Aku sangsi," ejek Kino. "Kamu pasti menginginkannya lagi."

Adara menggeleng. "Kamulah yang menginginkannya lagi."

"Kalau itu, jelas," Kino tertawa kecil. "Aku ketagihan dengan..."

"Jangan bermimpi," potong Adara. "Hati-hati, Kino. Dan bersiaplah... aku akan membunuhmu."


+ + + + + + + + +
+ + + + + +​

Now you show me all the things I could never see
In a new reality I cannot believe, not believe
Bad trip


(Jhene Aiko - Bad Trip)


Kino mulai menyaksikan suasana di sekitarnya berganti warna. Dinding kamar dan ornamen-ornamennya yang berwarna cenderung pucat itu, berubah menjadi cerah. Namun, seiring dengan perubahan warna tersebut, Kino juga melihat garis-garis lurus nan tegas di kamarnya berubah menjadi serong, baik ke kanan maupun ke kiri. Laksana gradasi.

Dunia Kino menjadi penuh warna. Berwarna-warni, kontras dengan keseharian kelamnya dalam empat tahun terakhir, selepas kecelakaan pesawat yang juga menyebabkan kedua orang tuanya tewas dan jenazahnya tidak pernah ditemukan itu. Dunia penuh warna yang senantiasa dapat menumbuhkan imajinasi terliar di kepalanya.

Perubahan drastis suasana di sekeliling kamarnya yang bagaikan gradasi itu, menyenangkan hati dan kepala Kino. Karenanya, ia tak mampu melepaskan diri dari kegemarannya mengisap lembaran kertas mungil yang telah dibubuhi zat lysergic acid diethylamide alias LSD. Kenapa? Karena efeknya sangat menyenangkan.



Kian lama, pemandangan penuh warna tersebut makin kentara terlihat di mata Kino. Seiring efek LSD yang secara sadar diinginkannya itu, merasuk makin dalam memenuhi psikisnya. Efek yang akan terus dirasakannya hingga sekira delapan atau sepuluh jam ke depan. Kino terbuai, mendapati 'hidupnya' menjadi menyenangkan, meski hanya sebatas hitungan jam.


Lalu, seseorang mengetuk pintu kamarnya. Suara ketukan pintu yang bagi orang lain terdengar mengganggu, namun justru ditanggapi dengan riang oleh Kino. Dengan perlahan, ia bangkit dari ranjang, melangkah pelan menapaki lantai keramik yang tampak asimetris, mendekati pintu. Dibukanya pintu tersebut.

"Tori?" pekiknya heran. "Kamu ada di sini?"

Wanita yang berdiri di ambang pintu kamarnya, yang dipanggilnya dengan nama 'Tori' itu, tersenyum. Cantik. Namun tampak cukup mengerikan di mata Kino.

"Iya, ini aku," ujar Tori. "Aku ada di hadapanmu, Kino."

"Nggak mungkin," Kino tertawa renyah. "Kamu hanyalah tokoh fiktif di dalam ceritaku."

"Fiktif?" cetus Tori. "Kamu bilang, aku hanyalah tokoh fiktif? Lalu, kenapa aku bisa merasakan perihnya kemaluanku saat penismu merangsek ke dalamnya?"

Kino tertawa lagi. "Aku hampir lupa. Iya, ya? Keperawanan Tori direnggut Jon. Tapi, itu hanya kisah fiksi!"

"Kisah fiksi yang didasari keberhasilanmu merenggut keperawanan Adara?" ujar Tori. "Meskipun dia udah mengancam akan membunuhmu, andai kamu nekat melakukannya?"

Kino kembali tertawa.

"Jadi, aku akan membunuhmu," desis Tori. "Demi Adara."


Lagi-lagi, Kino tertawa. Namun, tawanya sontak terhenti, kala melihat Tori mengeluarkan sesuatu dari balik jaket kulit berwarna coklatnya. Sebilah kujang, senjata tradisional milik masyarakat Sunda.

"Kamu..." gumam Kino. "Kamu akan membunuhku?"

Tori menjawab pertanyaan Kino, dengan sebuah senyuman. Senyum menyeringai.

"Demi Adara," ucap Tori. "Demi Adara, yang tersakiti oleh perbuatanmu."


Kino memalingkan wajah, menghindari tatapan tajam Tori yang terasa begitu menggiriskan. Namun sebaliknya, hati kecilnya berucap,

Jangan hindari, Kino. Balas tatapannya, dan buktikan bahwa kamu nggak takut dengan gertakannya.

Maka, Kino pun kembali menoleh, menatap Tori. Dan tidak ditemukannya Tori. Sosok wajah Adara-lah yang berada di hadapannya.

Ah... apa lagi ini? cetus Kino di dalam hati. Halusinasimu terlalu liar!


"Kamu takut, Kino?" tanya Adara.

Kino menggeleng.

"Iya, kamu takut," Adara tersenyum. "Lari, Kino."

"Hmm?" gumam Kino ambigu.

"Lari," perintah Adara. "Jangan biarkan kujang ini membunuhmu."


Alih-alih melarikan diri, seperti perintah Adara, Kino malah menyambar ponselnya yang tergeletak di atas meja tulis, tidak jauh dari pintu. Bergegas dibukanya fitur recent call. Satu nama saja yang terlintas di kepalanya, untuk dimintai tolong: Farista.

Dan menanti sahabatnya itu menjawab sambungan telepon darinya, bagaikan menanti panggilan customer service saat memiliki nomor antrean 727. Ambigu. Butuh hingga 16 kali nada sambung berbunyi 'tuuut', sebelum Farista menjawabnya,

"Iya, Kino?"

"Farista?" balas Kino. "Tolong ke sini. Segera."

"Ada apa?" tanya Farista.

"Aku..." jawab Kino mengambang. "Aku butuh pertolonganmu."

"Pertolongan apa?" tanya Farista lagi.

"Aku akan dibunuh," jawab Kino, setengah berbisik. "Oleh Tori... mmh... maksudku, Adara."

"Tori... tokoh fiktif di ceritamu itu?" ujar Farista. "Mana mungkin, Kino?"

"Oke, Adara," cetus Kino. "Logis, 'kan?"

"Tapi, dia mencintaimu," tanggap Farista. "Mana mungkin dia berniat membunuhmu? Hmm... atau mungkin, kamu udah..."

"Iya!" potong Kino. "Aku udah merenggut keperawanannya. Itulah kenapa Adara berniat membunuhku."

"Kamu nggak sedang berhalusinasi, 'kan?" selidik Farista.

"Ini nyata, Farista," tukas Kino.

"Berarti kamu nggak sedang trip?" kembali Farista bertanya.

"Aku baru mengisap perangko," jelas Kino jujur. "Aku sedang trip. Lalu Tori datang... eh, maksudku... Adara datang. Dia membawa..."

"Berarti itu hanyalah halusinasimu, Kino," asumsi Farista. "Kamu mengalami bad trip, yang bikin kamu seolah sedang diancam Tori atau Adara untuk..."

"Demi apapun!" teriak Kino. "Datang ke sini, Farista. Please!"

"Oke, Kino," putus Farista, akhirnya. "Oke, aku akan segera ke rumahmu. Sekarang juga, aku pergi. Demi Adara."

"Demi Adara?" kening Kino berkerut. "Kenapa justru kamu..."

Sambungan telepon yang mendadak diputus Farista, memaksa Kino untuk menghentikan ucapannya.


Kino melihat layar ponselnya. Setelah merasa yakin bahwa sambungan telepon dengan Farista telah benar-benar berakhir, dilemparkannya ponsel tersebut secara sembarang. Seiring dengan itu, ia kembali teringat pada Adara yang beberapa menit lalu menghunuskan kujang kepadanya. Namun, di saat bersamaan pula, Kino menyadari bahwa kekasihnya itu tidak lagi berada di dekatnya.

Semuanya memang aneh, batinnya. Tori dan Adara mendadak muncul secara bergantian. Lalu sekarang, keduanya nggak ada di sini.

Kino tertawa kecil.

Hmm... itukah tadi yang dinamakan bad trip? hati Kino bertanya-tanya. Menakutkan juga, ternyata.


Kino pun menutup pintu kamarnya, lalu kembali ke ranjang, membaringkan tubuhnya. Melanjutkan lagi sensasi ekstase yang tadi sempat terganggu akibat kehadiran dua wanita 'lain dunia' di hadapannya.

Segera saja, kebahagiaan menyeruak di hatinya.


+ + + + + + + + +
+ + + + + +​


Namun, tidak sampai satu jam kemudian, gangguan kembali hadir, ketika pintu kamarnya diketuk seseorang. Kekhawatiran sontak menyergap hati Kino.

Tori atau Adara? batinnya bertanya-tanya. Keduanya... nggak ada bedanya.

Kino tidak lantas bangkit untuk membuka pintu. Pikirannya berkecamuk. Namun, ketukan yang terdengar makin nyaring, lebih mirip pukulan, memaksanya untuk bangkit. Terlebih, sejurus kemudian, terdengar suara seorang wanita yang sudah sangat dikenalnya.

"Kino...!" panggil seseorang di balik pintu. "Ini aku."

Ternyata Farista, gumam hati Kino. Malaikat penyelamatku.

Kino makin yakin untuk membuka pintu.


Wajah manis Farista yang berdiri di ambang pintu, menyejukkan hati Kino.

"Mana Adara?" tanya Farista.

Kino mengedikkan bahu. "Tadi, Tori dan Adara ada di sini. Entah, ke mana mereka pergi."

"Adara, masuk akal," ujar Farista. "Tapi Tori? Kamu hanya berhalusinasi, Kino."

"Entah," kembali, Kino mengedikkan bahu. "Aku sulit percaya."

"Aku juga," Farista tertawa. "Kamu yang selama ini sangat menikmati kehidupan indah di bawah pengaruh LSD, mendadak ingin keluar dari dunia halusinasi, untuk kembali ke dunia nyata?"

Kino hanya menatap Farista.

"Bukankah kehidupan nyatamu pahit dan menyakitkan?" sambung Farista.

Kino mengangguk.


"Rasanya, udah nggak ada gunanya aku di sini," ujar Farista tiba-tiba.

Kino menatap Farista heran. "Kenapa?"

"Tori dan Adara, dua orang yang jadi alasanku datang ke sini, udah nggak ada," jawab Farista. "Jadi, aku bisa pulang, 'kan?"

"Jangan!" cegah Kino segera. "Aku mohon..."

Farista menatap Kino dengan tatapan menyelidik.

"Biarkan aku bercerita sesuatu," ujar Kino. "Mmh... menyatakan sesuatu. Pengakuan dosa."

Farista nyaris tersedak akibat menahan tawa.

"Nggak usah tertawa," rutuk Kino. "Nggak ada yang lucu."

Farista mengangguk.


Butuh waktu belasan menit bagi Kino untuk mulai berkata. Salut, Farista menanti dengan sabar.

"Aku merasa berdosa," Kino mulai bercerita. "Nggak semestinya aku menyetubuhi Adara."

Farista menanggapinya dengan senyuman.

"Sekarang Adara mungkin membenciku," lanjut Kino. "Malah, yang lebih parah, mungkin dia akan membunuhku. Seperti ancamannya selama ini."

"Baguslah," Farista kembali tersenyum. "Setidaknya, kamu menyadari kesalahanmu."

"Tapi, semuanya mungkin terlambat, Farista," sesal Kino. "Tadi, Adara terlanjur datang untuk membunuhku."

"Kamu hanya berhalusinasi, Kino," ujar Farista.

"Nggak!" bantah Kino. "Ini nyata."

"Kalau memang nyata, mana Adara?" tantang Farista.

Kino terdiam.

"Kamu hanya berhalusinasi," sambung Farista. "Adara nggak ada di sini."

"Tapi, kamu jangan pergi," bujuk Kino. "Aku butuh kamu. Sangat butuh kamu. Mestinya, selama ini, aku nggak mengabaikan keberadaan kamu."

"Jangan bilang, kamu menyesal karena itu," cetus Farista.

"Aku menyesal," ucap Kino jujur. "Semoga penyesalanku nggak terlambat."

Farista mengedikkan bahu.


Mereka pun saling diam. Farista hanya menatap Kino. Sementara yang ditatap justru memalingkan wajah ke arah lain. Sorot matanya menyiratkan kekhawatiran.

Lalu, sejurus kemudian,

"Tori?" pekik Kino. "Eh... Adara! Kamu serius? Kujang itu untuk..."


+ + + + + + + + +
+ + + + + +​


Sebelas bulan kemudian,


Dua orang wanita, duduk mengobrol di sebuah ruang besuk Lembaga Pemasyarakatan Wanita. Dua wanita menarik dengan tipe wajah berbeda. Satu berwajah cantik dan bertubuh molek, sementara yang lainnya berwajah manis nan lembut. Mereka berbincang cukup serius, meski sesekali tetap diselingi dengan canda ringan. Terlihat dari beberapa kali mereka tertawa kecil.

Dua orang wanita tersebut adalah Farista dan Adara.


"Tabah, ya," ucap Adara. "Empat tahun bukan waktu yang lama."

"Lama, andai kamu mengalami dan merasakannya," tanggap Farista sambil tersenyum.

"Aku mengerti," Adara ikut tersenyum. "Aku hanya berusaha membesarkan hatimu."

"Aku ikhlas menjalani hukuman ini, Adara," ujar Farista. "Aku yang membunuhnya, dan pantas didakwa."

"Mestinya aku yang membunuhnya," sesal Adara. "Aku yang membencinya. Sementara kamu justru mencintainya."

"Kamu nggak mencintai Kino?" Farista mengerutkan dahi. "Lalu kenapa kamu bersedia jadi pacarnya?"

"Aku nggak pernah benar-benar mencintainya," jawab Adara dengan nada datar. "Aku nggak menyesali kematian Kino, karena aku udah merencanakan itu sejak lama. Salah satunya, adalah dengan sengaja menarik hati Kino, dan membuatnya jatuh cinta padaku."

Farista menatap Adara dengan sorot mata tajam.

"Aku hanya menyesali," sambung Adara. "Kenapa justru kamu yang akhirnya membunuh Kino. Bukan tanganku."

Farista mengangkat tangan kanannya, persis seorang siswa yang ingin bertanya pada gurunya. "Aku nggak mengerti."


Adara menyempatkan diri untuk meneguk kopi dalam kemasan botol, sebelum kembali berucap,

"Akulah yang mengenalkan Kino pada LSD. Dalam tanda kutip, tentunya."

"Maksudmu?" tanya Farista, tidak mengerti.

"Kino mengenal LSD dari seseorang bernama Basti," jelas Adara. "Dan yang memasok kebutuhan LSD bagi Kino adalah seseorang bernama Pena."

Farista mengangguk, meski penjelasan Adara sesungguhnya belum bisa memuaskan kepenasarannya. Karenanya ia menanti lanjutan penjelasan wanita cantik di depannya.

"Basti dan Pena adalah kakak sepupuku," sambung Adara. "Akulah yang meminta mereka melakukan itu."

"Semua itu adalah bagian dari rencanamu membunuh Kino?" terka Farista.

Adara mengangguk. "Aku kepingin Kino kebingungan sendiri, membedakan antara peristiwa nyata dan halusinasi."

"Kino memang pernah bercerita, bahwa dirinya kerap dikejar-kejar Tori," tambah Farista.

"Tori, tokoh wanita di dalam cerita yang ditulis Kino," imbuh Adara. "Aku juga yang memengaruhi Kino untuk menulis cerita dengan alur seperti yang ditulisnya. Alur yang sebenarnya akan kugunakan sebagai motif untuk membunuhnya."

"Kenapa kamu ingin membunuh Kino?" tanya Farista.

"Ibuku bunuh diri akibat perbuatan yang dilakukan ayah Kino di masa lalu," jawab Adara. "Hmm... aku gagal membalaskan dendam kepada ayahnya, karena dia justru jadi korban kecelakaan pesawat. Tapi, Kino akhirnya terbunuh juga."

"Meski bukan kamu yang membunuhnya secara langsung," Farista tersenyum getir. "Tapi aku."


"Sekarang giliran aku yang bertanya," ujar Adara. "Kenapa kamu membunuh Kino, dan merelakan kebebasan hidupmu?"

"Karena kamu adalah putri Pak Fernando," jawab Farista. "Ayahmu nggak bisa hidup tanpamu, Adara. Kamu adalah satu-satunya miliknya."

"Kamu kenal ayahku?" tanya Adara, nyaris tidak percaya.

"Silakan tanyakan sendiri kepada ayahmu," Farista tersenyum. "Siapakah nama anak yatim piatu yang dulu diangkatnya jadi anak asuh?"


+ + + + T A M A T + + + +
+ + + + + +​
 
Terakhir diubah:
Kayak baca cerita dalam cerita... mantap om PB... di luar prediksi. Semoga sukses dan sehat selalu.
Sama, Kang. .endingnya di luar prediksi awal saya juga, kok
Hehe


Selamat dan sukses kang @praharabuana....

Saya komen dulu ya bacanya nanti lagi lumayan padat soale, pasti ceritanya bagus seperti biasanya...

moga juara dan tetap semangat....
Silakan, Om.
Utamakan RL ya, Om :)


mantaappp abis cerita nya

calon juara nih
Banyak cerita lain yg lebih bagus kok, Om :)
 
mantap!! sebenarnya udah nebak dari awal kalo Adara anak pak Fernando, cuma g ngira aja, Farista yang jadi malaikat maut..

Om, keren Om!!!
 
Mantep ceritanya kang
dan apakah ini salah satu pembuktian hati wanita adalah misteri...:mati:
Dua misteri besar di dunia, menurut Dinan: UFO dan wanita :)


mantap!! sebenarnya udah nebak dari awal kalo Adara anak pak Fernando, cuma g ngira aja, Farista yang jadi malaikat maut..

Om, keren Om!!!
Hehe..
Twist-nya lumayan sukses, ternyata .. :D
 
hahahaha...aku gak ngira kalau farista yang membunuhnya....
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd