Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT JALAK

Sekedar iseng nanya. Siapa cewek yang kira-kira paling tepat buat Nanto menurut suhu?

  • Asty. Pokoknya Asty. Ga ada yang laen. Asty, aku padamu.

    Votes: 104 32,1%
  • Hanna. Ni cewek kayaknya potensial. Bisa lah.

    Votes: 76 23,5%
  • Kinan. Udah paling bener sih. Single, adem, available kapan aja.

    Votes: 166 51,2%
  • Nuke. Ada bibit-bibit nih, siapa tau, ye kan.

    Votes: 15 4,6%
  • Ara. Karena CLBK, Cerita Lama Bikin Konak.

    Votes: 10 3,1%
  • Eva. Bad girl are the best. Yang nakal begini kadang gemesin.

    Votes: 8 2,5%
  • Rania. Biar sekalian ancur ceritanya. Huahahahaha.

    Votes: 6 1,9%
  • Dinda. Siap-siap diamuk Amar dan Deka.

    Votes: 4 1,2%
  • Nggak semua. Ada pilihan lain nggak? Cari yang baru lah.

    Votes: 29 9,0%

  • Total voters
    324
  • Poll closed .
Status
Please reply by conversation.

killertomato

Guru Semprot
Daftar
5 Dec 2017
Post
637
Like diterima
39.980
Bimabet
KATA BERMULA

Jalak Harnanto (Nanto) yang yatim piatu akhirnya kembali ke kota setelah beberapa tahun tinggal di desa untuk hidup bersama sang Kakek sepeninggal Ibunya. Kini setelah sang Kakek tiada, dengan bantuan keluarga tersisa yang ia miliki, Nanto berencana untuk kerja dan kuliah demi masa depan yang lebih baik.

Tapi hidup si bengal tidak semudah yang ia bayangkan. Kerasnya hidup di kota, rangkaian pertarungan jalanan, tantangan pertempuran tangan kosong yang entah kenapa selalu menghampiri, manis pahit kehidupan yang naik turun seperti roller-coaster, dan lingkaran wanita yang menyambanginya silih berganti menjadi takdir hidup yang harus ia jalani.

Nanto sadar betul, hitam tak selamanya hitam seperti putih tak selamanya putih.

Inilah perjalanan kisah Nanto si Bengal.

Cerita ini adalah karya fiksi. Semua karakter, tempat, dan peristiwa yang termuat di dalamnya bukanlah tokoh, lokasi, dan kejadian nyata. Kemiripan akan penamaan, perilaku, penggambaran ataupun kejadian yang terdapat dalam cerita ini murni ketidaksengajaan dan hanya kebetulan belaka. Saya tidak menganjurkan dan atau mendukung seandainya terdapat aktivitas negatif seperti yang mungkin diceritakan.

Mohon maaf sebelumnya jika cerita ini juga akan sangat minim adegan SS (sex scene) dan mungkin lebih banyak menitikberatkan pada adegan pertarungan. Read at your own risk.

Mudah-mudahan berkenan.
Selamat menikmati, sobat ambyar.



KATA BERMULA
BAGIAN 1 MENUNGGU PAGI
BAGIAN 2 DUNIA YANG TERLUPA
BAGIAN 3 DI ATAS NORMAL
BAGIAN 4 LIHAT LANGKAHKU
BAGIAN 5 DI BALIK AWAN
BAGIAN 6 TAK LAGI SAMA
BAGIAN 7 DUA DALAM SATU DUNIA
BAGIAN 8 SAHABAT
BAGIAN 9 MEMBEBANIKU
BAGIAN 10 MENEMANIKU
BAGIAN 11 AKU DAN BINTANG
BAGIAN 12 KHAYALAN TINGKAT TINGGI
BAGIAN 13 WANITAKU
BAGIAN 14 YANG TERDALAM
BAGIAN 15 SEMUA TENTANG KITA
BAGIAN 16 SATU HATI
BAGIAN 17 MELAWAN DUNIA
BAGIAN 18 SEPERTI KEMARIN
BAGIAN 19 TOPENG
BAGIAN 20 SUARA PIKIRANKU
BAGIAN 21 LANGIT TAK MENDENGAR
BAGIAN 22 DI BELAKANGKU
BAGIAN 23 DAN HILANG
BAGIAN 24 TAK BISAKAH
BAGIAN 25 DARA
BAGIAN 26 KUKATAKAN DENGAN INDAH
BAGIAN 27 MENCARI CINTA
BAGIAN 28 MUNGKIN NANTI
BAGIAN 29 DEMI KITA
BAGIAN 30 DILEMA BESAR
BAGIAN 31 JIKA ENGKAU
BAGIAN 32 TAK ADA YANG ABADI
BAGIAN 33 KAU UDARA BAGIKU
BAGIAN 34 BINTANG DI SURGA
EPILOG - MENGHAPUS JEJAKMU

LANJUTAN CERITA:
JALAK v2 PEJANTAN TANGGUH

KONTEN BONUS
DIAGRAM KEANGGOTAAN KELOMPOK

UPDATE 1 21.4.2020 DIAGRAM DoP v1.0
UPDATE 2 27.4.2020 DIAGRAM SONOZ v1.0



KATA BERMULA

Salam sejahtera dan sehat selalu!

Dimulai dari curhat ya, Hu.

Dasar saya ini penulis amatiran, belum selesai menulis cerita satu eh sudah berani-beraninya menulis cerita lain. Kalau ga fokus gimana? Kalau tidak selesai bagaimana? Resiko itu terpaksa saya ambil karena saya tidak mau ide-ide yang saya punya lenyap kena jentikan tangan Thanos.

Kalau nulis cerita ini bagaimana cerita yang lama? Mandeg dong? Ya enggaklah - siapa bilang berhenti? Tetep dilanjut dong, bahkan kalau bisa update secepatnya biar cepat tamat. Menulis itu ada banyak sekali faktor pendukung dan tantangannya, salah satunya adalah mood.

Kalau mood ambyar, tulisan pun stuck dan update-nya bisa lama, meski kerangka sudah tersusun rapi dan ide tumpah ruah tapi kalo sudah mandeg yo gimana lagi. Terus bagaimana mengatasinya? Kalau saya cara mengatasinya salah satunya ya seperti ini, menulis cerita lain. Setidaknya saya bisa berlatih menulis meski sedang stuck karena alur dan jalan ceritanya berbeda. Mudah-mudahan dengan menulis cerita ini, saya juga bisa kembali ke cerita yang sebelumnya ditulis dengan pikiran yang lebih fresh dan menamatkannya.

Cerita ini adalah karya fiksi. Semua karakter dan peristiwa yang termuat di dalamnya bukanlah tokoh dan peristiwa nyata. Kemiripan akan nama dan perilaku ataupun kejadian yang terdapat dalam cerita ini murni ketidaksengajaan dan hanya kebetulan belaka. Saya tidak menganjurkan dan atau mendukung seandainya terdapat aktivitas negatif seperti yang diceritakan.

Mudah-mudahan berkenan.
Selamat menikmati, sobat ambyar.
 
Terakhir diubah:
BAGIAN 1
MENUNGGU PAGI






Yang perlu kita putuskan adalah apa yang akan kita lakukan,
dengan waktu yang kita miliki.

JRR Tolkien




Mata Jalak Harnanto berkedap-kedip, mencoba menyesuaikan diri dengan gelapnya ruang sempit yang kini harus ia akui sebagai kamarnya. Ia menggeliatkan badan, merentangkan setiap urat pegal di badan hingga semua aliran darah lancar – atau setidaknya itu yang ia inginkan. Yang jelas ia selalu lebih merasa nyaman setiap kali setelah menggeliat.

Jam berapa sekarang? Nanto melirik ke arah jam meja kotak berwarna putih yang ia beli seharga lima belas ribu sebulan yang lalu. Ia harus mendekatkan jam meja itu ke matanya agar terlihat karena ruangan benar-benar gelap dan pelupuknya benar-benar berat.

Ah, pukul setengah empat pagi. Pantas saja jendela kontrakannya yang terletak di lantai dua ini masih belum kebagian siraman cahaya matahari, tidak ada cahaya iseng menyelinap masuk dan bermain-main di dalam. Di luar sana pasti masih gelap.

Ketika masih tinggal dengan kakeknya, Nanto memang selalu bangun sekitar jam segini. Lalu membangunkan orang tua konyol itu dan mereka akan mengajak Sagu jalan-jalan sembari berolahraga ke hutan terdekat – Sagu adalah nama anjing kampung milik sang kakek.

Entah bagaimana nasib Sagu sekarang, ia sudah dihibahkan dan dirawat oleh anak tetangga di desa.

Pemuda itu mencoba meraih gelasnya karena tiba-tiba saja ia kebelet kencing. Lho? Kebelet kencing kok malah mau ambil gelas? Masa mau pipis di gelas? Nggaklah. Ini hanya salah satu prinsip aneh dalam hidupnya saja. Sebelum buang air kecil sempetin minum dulu terutama kalau haus, biar nanti ga kebelet lagi. Prinsip apaan dah? Itu mah cuma males bangun lagi namanya.

Sekarang pun dia haus dan mau minum dulu sebelum buang air kecil.

Tapi gelas itu kosong dan Nanto pun menggerutu. Ia melirik ke arah aqua galon yang isinya air isi ulang lima ribuan – tapi ah, kosong juga. Masa iya ia harus masak air dulu sebelum kencing, sih?

Pemuda itu bangkit, menguap lebar-lebar, dan dengan gontai melangkah ke kamar mandi yang ada di bagian belakang rumah kontrakannya. Rumah kontrakan tiga petak minimalis yang cat ijo-nya mulai luntur karena lembab. Seperti kontrakan petak lain, tempat ini terdiri dari tiga sekat ruangan; ruang depan – biasanya untuk ruang tamu, ruang tengah – biasanya untuk kamar tidur, dan ruang belakang yang biasanya tempat kamar mandi dan dapur.

Sejak pintunya rusak, kamar mandi di kontrakan Nanto dibiarkan terbuka dan hanya menggunakan kain seadanya sebagai penutup, biarkan saja seperti itu. Malah seru. Mau mengintip? Silahkan saja.

Nanto menyalakan keran air agar embernya lebih terisi.

“Lagi apa?”

Terdengar suara seorang wanita memanggil dari ruang tengah. Suaranya parau, pasti si dia belum benar-benar terbangun. Begitupun Nanto, matanya terasa berat sekali dibuka.

“Pipis bentar.” Jawab Nanto singkat. Entah wanita itu mendengar suara lirihnya atau tidak. Lagipula udah jelas-jelas ke kamar mandi jam segini, sudah pasti tujuannya salah satu dari dua.

Nanto menurunkan celananya, mengeluarkan belalai gajahnya dan mulai memejamkan mata sambil menyemprot kencang ke arah pembuangan kloset jongkoknya. Ah enaknya surga di bumi, syukurlah ia masih bisa merasakan nikmatnya kencing lancar di pagi seperti ini.

Sembari menggoyang-goyang belalai untuk mengeluarkan sisa air kencingnya, pikiran Nanto mengelana. Bagaimana ia bisa sampai di tempat ini? Bagaimana ia bisa mendapatkan wanita indah yang kini sedang terbaring tanpa busana di tempat tidurnya?

Keberuntungan? Kesialan? Hidupnya memang tidak pernah benar-benar sepi.

Semuanya bermula dari beberapa bulan yang lalu.





.::..::..::..::.





.: BEBERAPA BULAN YANG LALU :.



“Kamu tinggal saja di kota, le.” Kata Tante Susan sembari menyebarkan bunga di makam Kakek. “Om Darno itu kan kerjaannya lumayan di kantor, jabatannya tinggi. Om bilang mau bantuin bayarin kuliah kamu. Nanti kalau sudah lulus S1, kalau kamu mau kamu juga bisa kerja di tempat Om. Sayang kan kalau kamu cuma mengandalkan ijazah SMA dari desa. Di tempat ini tidak ada apa-apa lagi, le.”

Nanto tidak menjawab ya ataupun tidak. Dia sudah tidak lagi memiliki orang tua – ayahnya meninggal saat ia baru saja lulus SMP dan ibunya juga sudah wafat karena komplikasi penyakit sewaktu ia duduk di tingkat dua SMA. Yatim piatu membuatnya harus pindah ke kampung untuk tinggal dan menemani sang Kakek yang juga tinggal sendirian. Sejak Nenek meninggal, sang Kakek memang lebih memilih tinggal sendiri di desa dibandingkan harus ikut keluarga Tante Susan atau keluarga Pakde Wira yang tinggal di lain pulau.

Ikut sang Kakek selama beberapa tahun di desa, Nanto jauh lebih menikmati hidupnya dibandingkan saat ia masih tinggal di kota. Sawah, ladang, gunung, sungai, senyum orang-orang desa yang ramah, dan waktu berharganya bersama sang kakek. Itulah kehidupan bersahaja yang mungkin sebenar-benarnya kebahagiaan. Setelah ia menyesuaikan diri dengan kehidupan di sini, haruskah ia kembali ke kota dan menghadapi hiruk pikuk yang memusingkan?

Ia mengelus-elus kepala Sagu yang tidak beranjak dari makam Kakek sejak orang tua konyol itu dimakamkan. Omong-omong, kenapa Nanto selalu menyebut kakeknya orang tua konyol? Itu cerita untuk lain waktu.

Sagu menjulurkan lidah sembari menatap sedih ke arah Nanto – seakan-akan menggambarkan kesedihannya telah ditinggal oleh Kakek, dan sebentar lagi juga Nanto. Kenapa semua orang meninggalkannya? Lidahnya terjulur panjang dan mulutnya terbuka seperti terengah. Bahkan Sagu pun mungkin juga mempertanyakan nasibnya.

“Saya tidak enak, Tante. Kalau saya kembali ke kota, hanya akan membebani Om dan Tante nantinya.”

“Ya tidak juga. Om nanti biar mencarikan kuliah malam, jadi kamu kuliahnya tidak seperti kebanyakan orang yang ambil kuliah reguler. Banyak kok kampus yang menyediakan kelas malam. Jadi kamu nanti malamnya kuliah, paginya bisa cari kerja untuk memenuhi kebutuhanmu sendiri. Om dan Tante juga akan carikan kerja seadanya dulu buat kamu. Kalau mau cari kerja sendiri juga boleh, yang penting ada pemasukan dulu.”

“Saya bisa bekerja seadanya di sini, Tante. Hidup sederhana di desa bersama Sagu. Rasanya saya tidak perlu kuliah lagi. Semua yang saya butuhkan ada di sini. Setahun belakangan setelah lulus SMA saya dan Kakek hidup dari bercocok tanam, itu sudah cukup untuk kami.”

“Kami yang akan merasa bersalah kalau kamu tetap tinggal di sini, le. Kalau kenapa-kenapa Om dan Tante tidak bisa cepat membantu, kami merasa dilimpahi tanggung jawab sama Ibu kamu. Kakek sendiri sudah pesan dalam wasiatnya kalau beliau meminta rumah di sini dijual dan hasilnya dibagikan sebagai warisan untuk cucu-cucunya. Pakde Wira dan Tante sudah sepakat untuk menjual rumah sesuai wasiat Kakek. Kamu satu-satunya putra Mbak Sari, kamu jelas membutuhkan modal untuk masa depan kamu, uang dari Kakek nanti sebagian bisa ditabung, sebagian lagi bisa dipakai untuk membantu kebutuhan hidup semasa kuliah atau modal usaha kelak.”

Nanto menatap mata Sagu dengan gamang, segamang kosongnya hati menatap masa depannya yang kian tak menentu, atau malah sudah ditentukan dari sekarang? Apa yang akan terjadi dengan hidupnya?

Nanto kembali mengelus kepala anjing berwarna putih di sampingnya yang kian menunduk.





.::..::..::..::.





Beberapa kampus memiliki julukan yang macam-macam; ada kampus yang berjuluk Kampus Biru meski sebagian besar catnya tidak berwarna biru – atau mungkin pernah biru pada suatu ketika. Lalu ada juga julukan Kampus Perjuangan yang lucunya digunakan dan diakui oleh banyak kampus – mungkin karena setiap siklus perkuliahan adalah sebuah perjuangan baik bagi mahasiswa ataupun dosen. Yang ndagel juga ada, salah satunya adalah Kampus Ultraman karena logo kampus konon mirip kepala tokoh tokusatsu asal Jepang itu.

Nah berbicara mengenai julukan, Universitas Amora Lamat juga memiliki sebuah julukan, sayang julukannya bukan julukan yang baik. Universitas Amora Lamat sering juga disebut KBB – Kampus Babak Belur karena menurut mitos banyak pertikaian antar mahasiswa yang terjadi di sana. Entah fakta ataukah hoax semata.

Kampus swasta Amora Lamat didirikan oleh Yayasan Pendidikan Kembang Setaman yang didirikan oleh tokoh masyarakat Almarhum Dra. Amora Lamat – nama yang kemudian diabadikan sebagai nama kampus di bawah Yayasan Pendidikan Kembang Setaman. Dra. Amora memiliki mimpi yang idealis, membangun sistem pendidikan yang baik demi memberikan masa depan cerah bagi anak didiknya. Tapi ya gitu, akhirnya mimpi sang sesepuh menjadi musnah begitu saja oleh anak didik semprul semau gue yang menjadikan UAL sebagai ajang KBB.

Herannya, justru kampus itulah yang dipilih Nanto.

“Oalah, le. Masih banyak kampus lain yang bisa dipilih. Kenapa kamu memilih UAL? Banyak desas-desus yang ga jelas di situ. Kamu kuliah bukan cuma sebulan dua bulan lho, tapi empat tahun. Itu juga kalau lancar.” Keluh Tante Susan pada suatu ketika saat Nanto menyebutkan nama kampus yang ia pilih. “Kenapa tidak memilih kampus-kampus lain yang juga terjangkau dan memiliki reputasi yang jelas? Kan banyak yang menyediakan kelas malam ?”

“Kata siapa sih UAL tidak jelas? Teman-temanku ada yang jadi dosen di sana. Kampusnya sudah berbenah dan sering berprestasi. Itu hoax saja, sayang. Sekarang kampusnya sudah bagus dan berkesan rapi.” Om Darno menyanggah ucapan istrinya sendiri di hadapan Nanto. “Tapi reputasinya memang masih mengalahkan prestasi saat ini. Yakin tidak memilih kampus lain, le? Bukannya aku mempertanyakan keputusanmu. Itu hakmu, dan kalau sudah dipilih itu menjadi tanggung jawab kamu untuk membuktikan kampus itu pilihan yang tepat.”

Sama halnya dengan Tante Susan, Om Darno juga selalu memanggilnya dengan sebutan tole, panggilan bocah dalam Bahasa Jawa. Om Darno lebih santai dibandingkan dengan Tante Susan, ia juga biasanya tidak banyak bicara kalau tidak penting. Tapi kalau sudah minat bicara, bisa berjam-jam sampai berbusa. Usia Om dan Tante Nanto terpaut lumayan, Om Darno sudah empat puluhan dan merupakan kawan sekelas Sari – Ibunda Nanto, sedangkan Tante Susan masih tiga puluhan.

Pagi itu adalah saat sarapan di rumah Om Darno dan Tante Susan, si sulung Azka putra mereka sedang menyiapkan tas sekolah di kamarnya, si tengah Daffa sedang memilih-milih sepatu yang akan digunakan untuk sekolah, sedangkan si kecil genit Zakia seperti biasa tidak bisa lepas dari gadget. Ketiganya sudah sarapan duluan.

Nanto menyendok nasi dan sebongkah besar terong balado. “Itu yang paling murah, Om. Supaya om ngeluarin biayanya juga tidak besar. Heheh.”

Om Darno tertawa. “Besar kecilnya uang yang om keluarkan nggak ngefek sama kampus yang kamu pilih. Om janji akan membayar semua biaya SKS sesuai Kartu Rencana Studi kamu. Kalau ada biaya tambahan di luar itu atau nilai pembayaran per semester di atas normal SKS di KRS, ya terpaksa jadi tanggung jawabmu.”

Nanto mengangguk, “itu sebabnya saya memilih UAL, Om. Biayanya paling masuk akal dan rasa-rasanya masuk di anggaran. Lalu... saya juga sedang berusaha mencari kerjaan agar tidak selamanya bergantung ke Om dan Tante.”

Tante Susan geleng-geleng kepala, “Ya sudahlah kalau kamu ngeyel, le. Tetap bersikukuh memilih UAL. Tapi usahakan nilai kamu bagus, jangan kehilangan fokus untuk belajar. Ingat kamu pakai uang kuliah dari sponsor, bukan biaya sendiri. Karena ini dibiayain Om, Tante minta paling tidak nilai tiap mata kuliah kamu minimal C, tidak boleh ada mata kuliah yang mengulang – pokoknya Om maksimal hanya akan mengeluarkan biaya kuliah untuk empat tahun. Belajar yang bener.”

Om Darno manggut-manggut, kali ini ia setuju dengan sang istri.

Nanto mengunyah terong baladonya. Ia menatap kosong nasi di atas piringnya. Pikirannya menerawang jauh, pemuda itu seperti mendengar suara kakeknya yang saat ini sedang tertawa melihat jalur kehidupan yang dijalani Nanto. Tidak salah memang hidup seperti ini, bahkan sangat sah dan wajar saja, tapi kalau saja beliau masih hidup beliau pasti akan duduk di lincak kesayangannya sambil terkekeh-kekeh dan mengejeknya dengan receh.

Orang tua konyol itu selalu saja punya cara untuk mengolok-oloknya, termasuk saat ini saat sang kakek tiba-tiba saja menginvasi benaknya.

Bagaimana, Nanto cah bagus? Kamu beneran mau kuliah? Yakin? Hahaha... isih enak jamanku, to?





.::..::..::..::.





Nanto memarkirkan motor di samping gardu satpam, tempat parkir motor tamu. Entah kenapa hari itu SMA Cendikia Berbangsa menjadi ramai sekali, motor yang diparkir begitu banyaknya sehingga ruang yang tersisa tidak lapang. Duh, awas hati-hati jangan sampai motor yang ia pinjam dari Om Darno lecet kegesek motor di samping.

Om Darno memang selalu tenang dan anteng menghadapi masalah apapun, ia juga dengan santai meminjamkan motor yang belum ada sebulan on the road kepada Nanto untuk dipakai sehari-hari tanpa syarat apapun sampai nanti ia bisa memiliki motor sendiri. Meski begitu... kalau sudah marah, wah... ya jangan sampai lah. Lebih baik cari aman saja, jangan sampai saat dikembalikan nanti, motornya sudah lecet-lecet parah. Bisa-bisa dikirim ke Korea Utara buat wajib militer.

Nanto kemudian melangkah perlahan menyusuri kenangan. Ia mungkin hanya satu setengah tahun menjadi siswa SMA Cendikia Berbangsa, namun sebelumnya ia juga lulus dari SMP di lokasi yang sama dan berada satu lingkungan dengan SMA ini. Mengunjungi tempat ini bagaikan menguak berbagai cerita yang selama ini hanya tertanam dalam memorinya.

Kelas dua SMA. Terakhir kali menginjakkan kaki di tempat ini, Nanto masih kelas dua SMA – atau kalau sekarang lebih sering disebut kelas 11. Dia masih hapal betul, sudut-sudut nakal tempat ia dulu sering kongkow, lorong yang harus dihindari waktu bolos agar tidak ketahuan kabur sama guru, dan jalur-jalur unik lainnya.

Apakah sudah terlalu lama ia meninggalkan tempat ini sampai-sampai para satpam sudah diganti, tidak ada lagi yang ia kenali. Beberapa orang guru berseragam yang lalu lalang pun dengan santai lewat tanpa sapa hangat. Ya mau bagaimana lagi, memang tidak kenal. Ada perubahan yang sudah terjadi di tempat ini.

Saat memasuki pintu depan dan hampir sampai ke meja guru piket yang berjaga di depan untuk menerima tamu, sebuah suara terdengar merdu memanggil namanya. Iya, namanya yang dipanggil kan, ya? Tidak ada orang lain di sini yang namanya sama dengannya kan, ya?

“Nanto? Jalak Harnanto?”

Nanto menoleh ke arah ruang di kanan dan pemandangan indah di depan pintu menyambut dengan senyum lebar paling sumringah yang pernah ia lihat dalam beberapa tahun terakhir. Kalau ada satu hal yang selalu ingin membuatnya kembali ke sini, mungkin itu adalah sosok ini. Asty Ayuning Ratri – biasa dipanggil Bu Asty. Guru muda yang menjabat sebagai Guru BK di SMA Cendikia Berbangsa. Sosok yang paling sering ia temui, terutama karena kenakalannya dulu.

Sosok yang paling ingin ia temui.

“Halo, Bu.” Nanto menyapa sang guru muda dan membungkuk untuk mencium punggung tangannya. Cincin yang melingkar di jemari wanita jelita itu menandakan Bu Asty sudah punya suami, dia juga sudah memiliki momongan.

“Wah... wah... beneran kamu, Nanto? Sudah gagah aja kamu. Tumben banget datang kesini, ada perlu apa nih? Tidak ada hujan tidak ada angin tiba-tiba saja mampir. Ada perlu sama bagian Tata Usaha Sekolah?”

“Ti... tidak sih, Bu.”

“Terus?”

“Jujur saya kemari mau menemui Ibu. Ada yang ingin saya tanyakan, Bu. Boleh kita berbicara empat mata?”

“Oh ya? Mau ketemu saya?”

Bu Asty kemudian melirik ke arah jam dinding yang terpampang di atas meja guru piket. Jam bulat besar berwarna putih itu menunjukkan waktu istirahat siang. Ya sudahlah, hari ini kebetulan sedang tidak ada jam mengajar ataupun siswa yang meminta bimbingan.

Guru muda itupun mengangguk.





.::..::..::..::.





“Jadi begitu ceritanya, Bu. Ibu bisa mencarikan saya kerja di tempat ini?”

“Balik ke sini? Mau jadi apa kamu?”

“Tidak tahu, yang penting kerja saja. Seperti yang tadi saya ceritakan, Bu. Saya butuh pekerjaan untuk membayar banyak hal, termasuk untuk mencari kos atau kontrakan, dan untuk kebutuhan kuliah. Saya sedang mulai menata kembali hidup saya, Bu. Om memang membantu banyak hal, termasuk biaya kuliah, tapi untuk yang lain-lain saya harus mencari sendiri. Di kota ini, selain Om dan Tante saya hanya percaya sama Ibu.”

“Ya udah. Nanti coba aku tanyakan ke HRD, siapa tahu ada lowongan cleaning service atau staf lain. Tidak apa-apa pekerjaan seperti itu? Aku tidak bisa membantu banyak karena ijazah kamu cuma SMA. Apalagi karena kamu cowok, aku tidak bisa mengusulkan kamu sebagai librarian untuk perpustakaan, tata usaha juga sudah penuh tidak ada lowongan.”

“Tidak apa-apa, terima kasih banyak sebelumnya, Bu.”

“Kalau tidak di sini bagaimana? Siapa tahu dapat lowongan kerja di bidang dan tempat lain?”

“Itu juga tidak apa-apa. Saya ikut saja sih, Bu. Kalau ada lowongan di tempat lain saya juga mau. Saya paham ijazah saya yang cuma SMA mungkin agak susah mencari kerjaan di kota apalagi kalau tidak punya relasi.”

“Ya sudah, nanti coba Ibu bantu carikan ya. Kamu tinggalkan nomer saja.”

Nanto mengangguk, ia mengeluarkan ponsel bekas yang dulunya pernah dipakai oleh Tante Susan. Ia memang beruntung Om Darno dan Tante Susan sangat baik dan memberikan ponsel ini untuknya. Nanto membuka note untuk membaca catatan nomer ponselnya sendiri yang sampai sekarang belum ia hapal.

Bu Asty mencatat nomer Nanto di hapenya.

Suasana hening kemudian saat terdengar bel sekolah yang nyaring menandakan sudah saatnya siswa masuk ke kelas masing-masing. Baik Nanto maupun Bu Asty terdiam seribu bahasa. Nanto menatap guru muda itu. Semasa sekolah di sini, Bu Asty adalah penyelamatnya. Betapa sering beliau menyelamatkannya dari gamparan tangan dan hajaran penggaris Kepala Sekolah yang sudah sering mampir ke lengan, punggung atau kakinya. Untungnya ada Bu Asty yang dengan sabar menutupi semua kelakuan bandel Nanto hingga hukuman yang ia terima tidak sebanyak yang seharusnya.

“Bagaimana kabar Pak Subur, Bu?” Nanto menanyakan Kepala Sekolah yang sering menggampar dan menghajarnya dengan penggaris. Memori indah lah.

“Beliau terkena komplikasi penyakit gula dan darah tinggi, sudah resign dua semester kemarin dan pulang ke kampungnya. Kepala Sekolah yang baru namanya Pak Suratman – dipanggilnya Pak Man.”

“Wah... beliau sudah resign ya, Bu?” kepala Nanto menunduk, terdengar sedikit penyesalan di sana. “saya belum sempat meminta maaf pada beliau. Meski cuma sebentar di sini sudah banyak sekali kenakalan yang dulu saya perbuat dan membuat beliau mencak-mencak. Jangan-jangan beliau juga sering tensi-nya naik gara-gara saya ya, Bu?”

“Memang! Hahaha. Kamu itu hobi banget bikin orang-orang tensinya naik, termasuk ibu. Sering berantem, tawuran dimana-mana. Sok jago banget sih. Berapa kali coba ibu harus menyembunyikan kamu di ruang UKS karena datang ke sekolah lebam-lebam? Tahu tidak kalau banyak orang mengkhawatirkan kamu?”

Nanto tertawa dan menggelengkan kepala. “Tidak ada yang mengkhawatirkan saya. Ibu kandung saya saja tidak pernah tahu saya di mana. Beliau juga tidak pernah banyak bertanya.”

“Ya bagaimana beliau bisa tahu. Sejak ayah kamu meninggal kan Ibu kamu sakit-sakitan. Bukannya ngerawat Ibu malah sering main ke kantor polisi. Nanto... Nanto...”

Nanto tersenyum kalau teringat masa-masa kenakalannya dulu, ia pun hanya mengangkat bahunya. “Kalau di rumah, saya justru sering diusir sama Ibu supaya lebih sering keluar rumah dan main sama temen. Sebenarnya sih saya tahu Ibu tidak mau saya melihat beliau sakit-sakitan, Ibu bukan tipe orang yang ingin dirawat, Ibu ingin terlihat kuat di mata saya.“

“Almarhum Ibu kamu berbuat seperti itu karena ingin kamu mandiri, beliau tahu penyakit beliau berat dan tidak akan bisa menjadi sandaran hidup kamu terus menerus. Itu alasannya.”

“Mungkin ya, Bu. Tapi kesannya saya diusir melulu dari rumah. Jadi mau kemana pun saya pergi, tidak ada yang bakal nyariin.”

Haish. Ngaco. Ibu pernah ketemu sama ibu kamu. Beliau bilang kalau beliau sayang banget sama kamu. Banyak harapan Ibu kamu, supaya kamu dapat tumbuh menjadi orang yang baik dan peduli pada sesama, supaya kamu mandiri dan tidak bergantung pada orang lain, supaya kamu menjadi laki-laki sejati.”

Nanto duduk terdiam tanpa membalas lagi.

Pemuda itu tengah duduk di ruang detention room yang ada di sebelah ruang BK. Sementara guru BK muda yang dulu sering bertugas memberikannya penyuluhan duduk di hadapannya, saat ini pun masih berasa seperti itu.

Ruang ini terpisah dan terisolasi dari ruangan lain di sekolah, berkesan seperti penjara. Sengaja dibuat demikian agar para siswa merasa kapok dan jera jika masuk ke ruang BK. Semua - kecuali Nanto. Saat sekolah di sini dulu, Nanto sering sekali masuk ke ruangan ini dan membuat Bu Asty pusing tujuh keliling. Ternyata sekarang setelah lulus dan kembali pun, Nanto kembali lagi ke ruangan ini.

“Selain keluarga, sepertinya tidak ada yang khawatir sama saya.”

“Aku khawatir. Makanya aku dulu sering belain kamu.”

Nanto memiringkan kepala, menatap ke arah guru BK-nya dengan pandangan mata sejuk. “Ibu berbeda dengan yang lain.”

“Bedanya gimana?”

“Ibu khawatir.”

“Ya kan memang sudah seharusnya sekolah mengkhawatirkan siswanya. Seburuk-buruknya sekolah ini, kami dari jajaran guru tidak pernah memperlakukanmu dengan tidak layak, kan? Kami selalu memperhatikan semua murid. Itu termasuk murid sableng seperti kamu. Udah nilainya jeblok, kerjaannya berantem, ga pernah masuk kelas. Eh malah nongkrong di kantor polisi, gimana Ibu tidak pusing.”

Nanto kembali mengangkat bahunya. “Dulu rasanya semua hal membuat saya selalu marah. Ibu yang stress sepeninggal Ayah, hidup yang tidak tentu arah, semua terasa kacau dan tanpa harapan.”

“Sampai sekarang?”

“Sedikit seperti itu. Tapi ya, sekarang saya sedang mencoba memiliki harapan baru, Bu.”

“Bagus itu. Apa cita-cita kamu?”

“Saya tidak punya cita-cita, Bu. Saya sudah tahu seperti apa masa depan saya kelak. Kelam pokoknya. Suram, gelap, ga ada cahaya. Saya aja ga pernah menyangka saya akan kembali ke kota setelah menyelesaikan SMA di desa dan hidup bersama Kakek. Meski tanpa cita-cita, rasanya hidup lebih damai di desa.”

Guru BK cantik yang duduk di depan Nanto menggeleng. “Cahaya itu selalu ada, selama kamu berharap dan berdoa. Jangan pernah putus harapan. Kamu itu punya banyak potensi, punya banyak bakat. Sayang kalau tidak dikembangkan. Katanya mau kuliah? Ya selesaikan itu, meskipun tidak melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, setidaknya Ibu yakin kamu pasti akan menemukan jalan hidup yang lebih baik. Jangan pernah takut dengan tantangan. Pisau yang tak diasah, mana bisa tajam.”

“Bener kan. Ibu memang berbeda dengan yang lain.”

Bu Asty tersenyum. Tak sengaja, guru BK itu melirik ke arah cermin yang ada di samping Nanto. Ia memperbaiki kerudungnya yang sepertinya agak melorot. Tadi pagi ia berangkat dengan terburu-buru karena harus mengantarkan anaknya ke sekolah jadi tidak sempat berdandan dengan rapi. Suaminya sendiri akan menjemputnya pulang hari ini setelah beberapa hari pergi ke luar kota demi keperluan dinas, jika Bu Asty adalah guru honorer di sekolah swasta, maka suaminya seorang karyawan perusahaan StartUp.

“Berbeda gimana sih, maksud kamu? Ibu tak ada bedanya dengan Kepala Sekolah yang bersedia memberikan kamu kesempatan demi kesempatan, guru-guru yang masih mau memberikan kamu nilai meski kamu tidak ikut ujian, guru-guru piket yang tutup mata melihat absen kamu bolong-bolong, dan...”

Guru muda itu tersentak saat tiba-tiba saja Nanto sudah berada didepannya. Sejak kapan dia...

“Ibu berbeda. Ibu cantik.”

Nanto menurunkan kepalanya agar bisa sejajar dengan Bu Asty yang memang jelita itu, mata sang guru BK langsung terbelalak karena sadar apa yang akan dilakukan mantan murid yang bengal itu. Sebelum ia sempat bergerak, Nanto sudah melaksanakan niatnya.

“Nanto! Kamu mau aphhh...!!”

Bibir mungil Bu Asty langsung disergap oleh bibir sang mantan murid. Guru muda yang cantik itu jelas berontak, mencoba melepaskan diri. Tapi... bibir Nanto yang lebih kuat tidak membiarkannya lepas begitu saja. Pagutannya begitu kencang, begitu menuntut dan berkuasa penuh atas bibir sang guru muda.

Bu Asty memang selalu membuat Nanto gelisah karena terpesona. Tubuhnya indah, kulitnya putih, bibirnya merah merona, matanya bulat membius, dan penampilannya wah jangan ditanya lagi. Secara tinggi badan, tubuh Bu Asty sangat proporsional dengan lekukan indah yang membuat mata seorang pria dimanjakan. Guru muda yang tidak hanya jelita tapi juga seksi ini acapkali mengenakan baju yang pas dengan porsi badannya – dan itu membuat bagian dada dan bokongnya makin beraksen. Hijab yang ia kenakan juga menambah dewasa dan tenang wajah ayunya.

Guru idola lah. Dulu mana ada anak SMA Cendikia Berbangsa yang tidak kepengen coli kalau melihat Bu Asty.

Nanto memeluk Bu Asty erat sementara ciumannya terus mendera dan menghujani bibir mantan guru BK-nya itu. Bu Asty merasakan elusan demi elusan lembut di bibirnya, ini bukan olesan bibir yang memaksa, ataupun berniat menghancurkan harga dirinya. Ini olesan lembut yang penuh dengan perasaan. Bibir mungil guru muda itu beradu dengan bibir kencang Nanto, saling berpagutan, saling mencumbu, saling mengulum.

Lidah Nanto kini mulai bergerak, membuka mulut Bu Asty, menggeliat lincah bagai ular keluar dari sarang. Mencoba mencari celah untuk berpindah dari satu mulut ke mulut lain. Mencari pasangannya di gua seberang yang masih bersembunyi. Sampai akhirnya lidah Bu Asty pun ia temui, sehingga keduanya saling terikat, berkait, menjelajah.

Bu Asty tidak mengira kalau Nanto sepintar ini berciuman, ia bisa merasakan ketulusan dari ciumannya, semua rasa tumpah ruah dalam setiap kecupan. Ciuman yang bisa membuatnya terangsang, Bu Asty merasakan bagian bawah tubuhnya mulai basah tanpa bisa ia tahan. Ciuman dari mantan murid bengal ini bahkan membuatnya lebih terangsang dibandingkan saat berciuman dengan suaminya...

Suaminya! Dia sudah punya suami! Astaga! Apa yang sudah ia lakukan!?

“Sudah!! Cukup!!” Bu Asty mendorong Nanto menjauh. Ia berdiri dari kursinya dan mendorong anak muda yang usianya lebih muda itu agar melepaskan pelukan dan ciumannya. “Ka... kamu kurang ajar ya!”

PLAKK!!

Bu Asty menampar Nanto dengan kerasnya, sampai-sampai kepala pemuda itu terlempar ke samping. Tentu saja ini efek perasaan jengkel. Saking jengkelnya karena dilecehkan oleh Nanto yang tiba-tiba saja menciumnya. Guru muda itu terengah-engah karena ledakan emosi, jantungnya berdetak begitu kencang seperti tak mampu ia kendalikan.

“Bisa-bisanya kamu melecehkan ibu seperti itu?! Kurang ajar kamu!”

“Karena Ibu berbeda... Ibu juga merasakan apa yang saya rasakan, kan?” Nanto menatap guru muda di depannya dengan mata tegas. Ia mengelus pipinya sendiri yang panas karena tamparan tadi. “Jangan bilang kalau Ibu tidak menikmati apa yang baru saja terjadi.”

“Kamu!!!”

Bu Asty melotot mendengar ucapan Nanto barusan, bisa-bisanya si bengal ini ngomong begitu? Setelah apa yang selama ini ia korbankan untuknya, setelah semua kebaikan yang ia tanam untuknya? Bahkan setelah dia bilang minta dicarikan kerjaan!

Bisa-bisanya dia...

Sungguh kurang ajar...

Pemuda yang...

Tapi...

Bu Asty menatap ke arah Nanto dengan pandangan yang tidak bisa dijelaskan oleh sang pemuda bengal. Mata guru muda yang jelita itu berkaca-kaca.

“Bu...”

“Diam...”

“Ibu tidak apa-apa?”

“Diam kamu...!”

Bu Asty tiba-tiba saja menarik kerah kemeja Nanto, memejamkan mata dan mencium bibir Nanto dengan ciuman yang penuh nafsu. Birahi guru muda itu sudah terlanjur menyala, dan mereka berdua pasti akan menerima konsekuensinya. Tapi itu nanti. Sekarang, biarlah keduanya diperbudak oleh nafsu birahi jahanam yang menembus batas etika dan susila.

Nanto memeluk Bu Asty dan menciumnya balik.

Keduanya berpagutan di bilik detention room. Tangan Nanto menjelajah, menyusuri badan indah sang guru muda. Bu Asty mendesah di balik lumatan bibirnya.

Sementara di luar sana kegiatan belajar mengajar sedang berlangsung.





BAGIAN 1 SELESAI
BERSAMBUNG KE BAGIAN 2
 
BAGIAN 2
DUNIA YANG TERLUPA






Semua perkataan kita,
hanyalah remah-remah yang jatuh dari pesta pikiran.
- Kahlil Gibran




Jalak Harnanto mengukur jalan dengan menggunakan motor pinjaman milik Om Darno. Dia masih hapal jalan-jalan di kota ini, liukan sudut bentangan aspal yang dulu pernah sangat akrab dengannya. Trotoar yang pernah menjadi tempatnya berkeluh-kesah dan angin jalanan yang membelai lembut wajahnya saat ia tak lagi sadar impian atau kenyataan yang sedang ia arungi, semua ini bagai reuni dengan kawan yang lama tak berjumpa.

Bagai kekasih. Bagai Bu Asty.

Bangsat. Kok jadi Bu Asty lagi? Wong gemblung! Kamu tadi yang mulai mencium Bu Asty! Woo! Munyuk! Kamu pikir kamu itu siapa?

Nanto menggelengkan kepala, mengenyahkan makian dalam hati yang hanya akan membuatnya merasa teruk - meski bentakan itu hadirnya dari dalam batinnya sendiri. Apaan sih suara hatinya ini? Biarkan saja to, hidup ini kan cuma sekali, tak ada salahnya menyatakan kekaguman dalam hatinya terhadap orang yang paling tepat dengan cara yang ia inginkan.

Caranya itu lho!

Caranya memang agak kurang ajar ya, harus ia akui. Dia mungkin sudah kelewat batas.

Memang sih, Bu Asty tadi cakepnya memang bikin pusing kepala. Gimana ga gemes pengen nyium? Apalagi toketnya, haduh itu ranum banget. Sayang semua buyar gara-gara bel sekolah berbunyi.

Nanto menggelengkan kepala kembali, lupakan yang tadi. Lupakan cah gemblung! Sekarang saatnya cari peluang kerja, bukan bikin skandal yang cuma bikin kamu jalan di tempat. Dasar bodoh! Bodoh! Baru datang ke kota ini, bukannya nyari cara benahin hidup malah sudah bikin masalah baru. Entah bagaimana ia akan menyudahi apa yang tadi ia lakukan atau malah membuat semuanya tambah ambyar.

Secakep apapun Bu Asty, dia itu istri orang! Jadi orang jangan bego-bego amat, Nyuk! Pengen kena azab kuburannya ditimpa truk tanki air soda?

Motor yang dikendarai Nanto berbelok ke sebuah gang kecil, menjauhi jalan utama, lalu masuk ke gang yang lebih kecil lagi. Hanya satu hal yang dapat membuat Nanto melupakan insiden kecilnya tadi, yaitu makan enak!

Deru suara motornya berhenti saat Nanto akhirnya sampai di sebuah warteg kecil yang ada di pertengahan sebuah gang sempit, Warung Mbah Wig! Warung ini populer meski lokasinya bisa dibilang berada di tanah tak bertuan saking tersembunyinya. Untuk mencapai tempat ini ada dua cara, yang pertama harus sudah pernah mendengar kabar tentang enaknya masakan di sana dan yang kedua diantarkan oleh orang lain yang juga sudah pernah merasakannya. Tua muda kaya miskin banyak yang berkunjung kemari.

Karena lokasinya berada di tengah jalan sempit, bagi yang datang dengan mobil harus mengalah memarkirkan kendaraannya agak jauh dari lokasi dan berjalan kaki ke warung. Sedangkan yang menggunakan motor, ada ruang terbuka yang tidak begitu luas yang dipakai sebagai tempat parkir. Kalau tempat parkir ini penuh, motor-motor akan berjajar di pinggir-pinggir gang.

Warung Mbah Wig sebenarnya warung sederhana saja, khas dengan masakan Jawa. Sayur lodeh ada, sayur sop ada, ayam goreng ada, jeroan goreng ada, tahu dan tempe goreng garing ada, dan macam-macam lauk lain yang bikin perut kenyang hati senang. Namun yang paling lezat dan selalu dicari tentu saja adalah empal goreng yang sedep krenyes bikin warrior serasa princess.

Omong-omong, kesiangan ga ya? Saking laris dan ngetopnya masakan Mbah Wig, kalau siang dikit empal goreng di sini sudah habis. Lauk yang lain juga enak sih, tapi kalau ga ada empal serasa sayur sop tanpa daging. Ya iya lah ya.

Setelah parkir dengan santun, meletakkan helm di spion motor dan tersenyum pada bapak-bapak yang jaga parkiran, Nanto pun melangkah mantap masuk ke warung.

Beberapa orang menatap kedatangan Nanto sambil mengunyah makanan mereka, diamati dari atas ke bawah, bawah ke atas, kaki ke kepala, kepala ke kaki. Karena warung ini sebenarnya kecil dan sempit, siapapun yang datang seakan-akan patut dicurigai dan jadi bintang sesaat. Mereka mengamati pemuda yang baru datang itu bagai penyelidik. Tubuh tegap dan kencang, wajah tenang, rambut dipotong cepak dan rapi, kemeja putih seperti baru beli, dan celana panjang hitam yang sepertinya belum nyaman dikenakan. Sebagian pengunjung menduga: kalau bukan sales nawarin panci kredit atau tukang angkut piring di kawinan, orang ini pasti baru magang kerja.

Nanto sih cuek saja, karena yakin tebakan semua orang pasti salah.

Ah, hanya ada dua orang yang sedang berdiri menunggu Mbah Wig meladeni, ga lama lah.

Tangan-tangan keriput Mbah Wig dengan cekatan mengambil sop, sambal, tempe dan potongan empal yang sudah disiapkan. Wajahnya sudah menampakkan usianya, keriput menyiratkan hidup bersahaja, bibirnya beberapa kali bergetar mungkin karena syaraf yang sudah tak terkendali, sorot matanya tak lagi tajam, dan kepalanya selalu menunduk.

Lelah, Mbah? Entah sudah sejak kapan simbah berjualan di sini. Nanto sudah mengenal tempat ini sejak SMP dan Mbah Wig ya segitu-segitu saja sepertinya usianya. Entah awet muda ataukah waktu memang tiba-tiba terhenti di warung ini.

Satu antrian beres. Ah, tinggal menunggu seorang lagi dan perut Nanto akan terisi dengan sop empal paling lekker se-Endonesah. Orang itu pun jelas memesan sayur sop empal campur nasi. Siapa yang tidak tergiur sih dengan menu utama itu?

Tidak perlu menunggu lama dan orang itu pun selesai dengan pesanannya. Nah! Sekarang giliran Nanto!

Mase nopo? Masnya mau makan apa?”

Kulo biasa mawon, Mbah. Saya yang biasanya, sop empal nasi-ne dicampur nggih.”

Mbah Wig mengangguk dan menyiapkan nasi dan lauk Nanto.

Entah kenapa saat itu gorengan yang terletak di pinggan di atas meja tak jauh dari Mbah Wig seperti memanggil-manggil Nanto. Tangan si bengal itu mencoba meraih tempe goreng tepung yang ada di situ. Kan lumayan dijadikan lauk tambahan.

Pada saat yang bersamaan, seorang pembeli mendekati Mbah Wig sembari membawa piring. Ia tak melihat tangan Nanto yang menjulur ke depan.

“Mbah! Saya nambah empa...”

SRAG!!

“Eh, awass!”

PRAAANG!

Piring yang dipegang sang pembeli tersenggol tangan Nanto. Karena kaget, piring itu pun terlepas dari tangannya dan jatuh berkeping-keping setelah terhempas ke lantai. Nasi, empal, sayur, semuanya berserakan di bawah.

“HEH!! GIMANA SIH?!” bentak seorang gadis dengan pandangan mata galak menatap Nanto tanpa ampun.

Nanto yang juga kaget mundur beberapa langkah ke belakang, ini gimana cerita kok malah dia yang marah? Tapi ya sudah dia diam saja supaya tidak menimbulkan keributan. Ia melirik ke dalam dan orang-orang menatapnya penuh tanya. Wadidaw. s

Gadis itu pun mengambil tissue di meja dan mulai mengumpulkan piring yang jatuh dan pecah.

“Ya ampuuun, maaf ya, Mbah. Saya ga sengaja jatuhin tadi. Gara-gara masnya ini nih. Ngawur dia tangannya. Duh, jadi kotor nih lantainya, saya bersihin deh, Mbah.”

“Eeehh! Enak aja! Kok jadi nyalahin saya? Mbaknya jalan ga lihat-lihat juga, sih! Saya dari tadi berdiri di sini ga ngapa-ngapain.”

“Ya kalau ga ngapa-ngapain piring saya ga jatuh kan, Mas?”

“Gitu ya?”

Nanto sudah siap maju mendekat ke arah si cewek saat pria yang tadinya duduk di sebelah si cewek berdiri dan menutup jalur antara Nanto dan si cewek.

“Mau apa, Mas?”

Cowok itu terlihat garang dengan rambut panjang sebahu dan mata menatap tajam. Wajahnya ganteng dengan kumis dan cambang tipis yang dibiarkan tumbuh jantan serta alis tebal mirip aktor sinetron dari India. Ia mengenakan kaos hitam bertuliskan logo band metal lawas Megadeth. Jaket dan celana jeans warna biru pudar membuatnya nampak sangat... 90an?

Nanto males bikin keributan, “mau bantuin mbaknya beresin piring yang pecah, Mas. Masnya sendiri mau apa?”

“Jangan cari perkara, Mas.”

“Siapa yang cari perkara? Saya mau bantu bersihin, Mas.”

Sampuuun. Sampuuun.” Mbah Wig menggeleng kepala, “Sudah, Mas, Mbak. Tidak apa-apa. Biar cucu Mbah yang beresin. Nduuuk, Retnoooo. Sini Nduk, bantuin beresin ini. Sudah Mbak, tidak apa-apa. Awas hati-hati...”

“Ahhh!!”

Tetesan darah mengalir dari telapak tangan sang cewek, jelas terkena tajam pecahan piring. Cowok ganteng yang ceweknya menjerit kaget segera mengangkat gadisnya yang sedang membungkuk dan memperhatikan lukanya. Sebenarnya luka kecil saja, sobek sedikit. Tapi itu sepertinya sudah cukup membuat dunia ini diancam wabah Zombie, karena si cowok ganteng tiba-tiba saja mendorong Nanto keluar dari warung.

“GARA-GARA KAMU!!”

“Maaaass!!” si cewek kaget karena cowoknya tiba-tiba saja emosi.

Nanto yang didorong jelas ikut kaget, tapi sudut matanya menangkap sosok Mbah Wig yang khawatir sambil dengan bergetar membawa piring berisi nasi. Bapak parkir juga berjalan mendekat mencari muasal keributan. Ini bukan tempat untuk sok macho, sobat.

Ketika sekali lagi cowok ganteng itu mendekat dan hendak mendorong, ia hampir tersungkur ke depan karena Nanto tiba-tiba saja tidak berada di sana. Pemuda itu sudah berada di belakangnya entah sejak kapan! Ba... bagaimana bisa? Cepat sekali!!

Nanto bergegas menerima piring dari Mbah Wig, lalu meletakkannya di meja yang paling dekat dengan mereka. Kasihan kalau simbah memegang piring itu terlalu lama.

Pemuda itu pun menarik cukup banyak lembaran tissue, lalu membasahinya dengan air putih yang ada di tempat minum yang disediakan di tiap-tiap meja. Ia menarik tangan si cewek, dan dengan hati-hati sekali membersihkan luka sayat tipis terkena beling yang membuat darahnya mengalir lumayan deras.

“HEH!! NGAPAIN PEGANG-PEGANG!!” teriak si cowok ganteng protes, Nanto melanjutkan tanpa ambil peduli.

Gadis itu mengernyit sakit tapi paham apa yang dilakukan Nanto. Ia sedang membersihkan lukanya. Telapak tangan yang putih bersih dan sangat halus itu bagaikan kain putih bersih yang kini bercak bernoda merah. Semua darah yang mengotori disapu oleh olesan lembut tissue Nanto.

“Tidak apa-apa, ini luka kecil saja. Bersihkan dengan kain bersih dan air bersih, lalu kalau masih risih bisa diolesi dengan obat merah atau Bet@dine. Sebentar lagi juga kering.” Kata Nanto dengan lembut. Ia tidak peduli wajah sang cowok ganteng kaku dan keras bak kanebo yang sudah seminggu tidak ketemu air melihat tangan gadisnya dipegang-pegang Nanto.

Gadis itu diam saja dan mengangguk. Untuk pertama kalinya Nanto akhirnya bisa menatap wajah sang gadis dengan seksama. Rambut panjang halus yang indah bak gadis iklan shampoo, kulit putih bersih dan mulus yang membuat semut aja tergelincir, wajah cantik manis yang mempesona, dan tubuh yang aduhai bagaikan gitar Spanyol.

Bangsat, kenapa baru sadar sekarang kalau cewek ini cakep banget?

Setelah beberapa lama membersihkan luka si gadis yang diam saja, si cowok ganteng segera menarik tangan ceweknya.

“Sudah! Cukup!” ia menatap galak pada Nanto. “Tuman!

Sambil memegang pergelangan tangan sang gadis dan tak melepaskan pandangan dari Nanto, cowok ganteng itu merogoh kantong celananya dan melemparkan selembar ratusan ribu ke meja Mbah Wig. “Kembaliannya ambil saja, Mbah. Buat ganti piring.”

Pria itu kemudian menunjuk-nunjuk ke arah Nanto tanpa suara sebelum akhirnya mengeluarkan kalimat pelan, “Kamu... awas kamu!”

Nanto diam saja, ia malah lebih tertarik melirik ke arah si cewek yang kini malu-malu menatapnya. Nanto pun menganggukkan kepala dan mengatupkan kedua telapak tangannya. Yang waras ngalah.

“Saya minta maaf. Sungguh. Semoga cepat sembuh.”

“HUH!!!” sang cowok mendengus kesal dan menggandeng ceweknya pergi dari Warung Mbah Wig, mereka melangkah ke jalan besar – yang artinya keduanya menggunakan mobil. Orang-orang yang sejak tadi mengamati kejadian itu pun akhirnya membubarkan diri. Tiwas ditonton jebul ga jadi berantem. Penonton penyuka keributan itu pun kecewa.

Nanto jongkok untuk membantu mengumpulkan pecahan piring yang masih berserakan, tak lama kemudian cucu Mbah Wig datang dan ikut bergerak cepat membersihkan semua yang tumpah.

Karena sudah ditangani oleh orang yang tepat dan berhak, Nanto pun berdiri dan tersenyum pada Mbah Wig, ia mengambil piring yang tadi ia letakkan di meja. “Maaf ya Mbah, malah jadi rame. Nanti saya tambahin kalau tadi kurang yang dari masnya. Untuk ganti rugi.”

Ealah, ndak usah, Mas. Wes cukup. Sudah buruan dimakan sopnya, nanti selak anyep, keburu dingin.”

“Siyaaaap.”

Nanto duduk di kursi yang ada di dekat piringnya dan sudah siap mengunyah saat sudut matanya menatap ke arah meja yang ditinggalkan oleh si cowok ganteng dan cewek cantik yang tadi. Eh, apa itu?

Bukankah itu ponsel?

Ponselnya ketinggalan!

Pemuda itu pun mengambil ponsel itu sebelum diincar oleh orang lain. Ponsel itu dari produsen paling ternama asal Korea Selatan. Ini harganya lumayan nih, ponsel apik dan mulus begini sepertinya masih lumayan baru. Nanto kembali duduk di kursinya dan melihat-lihat ponsel itu. Saat layar terbuka, mau tak mau Nanto melihat ke arah gambar yang ada di lock screen.

Wajah cantik sang gadis terpampang di sana.

Juga namanya.

Hanna Dwi Bestari.





.::..::..::..::.





“Kenapa kamu diam saja?”

Asty menggelengkan kepalanya yang indah. “Ga kenapa-kenapa, Mas.”

“Ada yang kamu pikirkan?”

Guru muda yang cantik itu kembali menggelengkan kepala, “Ga ada.”

“Ayolah. Aku kan bukan sehari ini saja menikah sama kamu. Kamu mesti sedang memikirkan sesuatu. Kamu selalu diam seperti ini kalau sedang ada pikiran yang mengganggu.” Adrian Pratomo mengiris pizza yang ada di piring saji dan menariknya dengan menggunakan scoop ke piringnya sendiri. “Biasanya kamu selalu ada cerita setelah diam sepanjang hari. Hari ini pun demikian, aku menunggu-nunggu cerita dari kamu, Gaes.”

“Hahaha, kali ini tidak ada cerita, Gaes. ”

“Sungguh?”

“Sungguh.”

“Bagaimana dengan Pak Man? Dia tidak mencoba mendekati kamu lagi? Aku agak ngeri-ngeri gimana gitu sama Kepala Sekolah baru kamu, sayang. Kemarin kan kamu cerita dia curi-curi motret kamu pakai hape.” Kata Adrian sambil mendesah. “Yakin kamu belum mau pindah kerjaan?”

Asty tertawa dan menggeleng kepala, guru BK jelita itu mengelus punggung tangan suaminya dengan lembut. Ia mencoba memberikan senyuman termanis dan berterima kasih karena ditraktir makan. Hari ini ulang tahun sang suami dan Adrian mengajaknya makan berdua. Rasanya sudah lama sekali mereka tidak makan bersama sejak kehadiran sang buah hati, sehingga keduanya memutuskan makan berdua secara sederhana di resto pizza populer ini.

“Hari ini aku cuma mau santai saja sejenak, berdua sama kamu. Menikmati hari, menikmati pizza ini, mengucapkan selamat sama kamu, semoga sehat selalu, panjang umur, tambah sayang sama aku dan adek, dan tetap menjadi suami hebat seperti yang selama ini sudah kamu lakukan. Aku sayang sama Mas Adrian.”

“Terima kasih, sayang.”

Adrian tersenyum, ia balik mengelus punggung tangan Asty.

Asty bersyukur telah menikah dengan Adrian yang selalu percaya padanya, padahal ia telah melakukan hal yang tabu dilakukan oleh seorang istri dan mengkhianati kepercayaannya. Rasa bersalah itu mengungkung dirinya bagai sangkar tak terlihat yang membuatnya sangat berdosa.

Maafkan aku, Mas. Aku sudah bersalah sama kamu. Aku berjanji hal yang seperti tadi tidak akan terulang lagi. Sungguh aku merasa berdosa. Aku janji, Mas. Maafkan aku.

Asty hanya berharap suaminya tidak menemukan jejak kebohongan yang sedang ia tutupi hari ini. Suaminya memang benar, pikirannya sedang diganggu. Tapi bukan oleh Pak Man, melainkan oleh sosok pemuda gagah yang siang tadi hadir dan mencium bibirnya, menciumnya dengan penuh perasaan dan meletakkan tangannya di tempat-tempat yang tidak seharusnya. Tempat yang seharusnya hanya menjadi jatah sang suami.

Tangan nakal yang menyentuh dan meremas-remas, masuk ke bajunya, menyelinap di balik beha, memilin dan membuatnya mendesah nikmat. Membuatnya ingin dipeluk, dicium, dimiliki. Untung bel sekolah tadi membuat keduanya berhenti, sebelum terjadi hal-hal yang membuatnya kehilangan semuanya.

Ia bersyukur sekali.

Huff. Tempat dingin ber-ac ini tiba-tiba saja terasa panas. Gawat kalau Asty terus menerus teringat apa yang sudah terjadi siang tadi.

“Mas...”

“Ya, sayang?”

“Temen mas ada yang buka lowongan pekerjaan?”

“Eh?”





.::..::..::..::.





Sore menjelang, langit mulai redup dengan tabir kubah bumi mulai memerah. Warung Mbah Wig sudah tutup sejak siang karena makanan yang disajikan sudah habis.

Ada sebuah kursi kayu panjang yang biasa dipakai oleh Bapak Parkir di depan tempat parkir motor dan di sanalah Nanto duduk. Ia mengguling-gulingkan ponselnya sendiri yang sudah habis baterenya dengan tangan kiri. Sementara sedari tadi ia terus menerus memandang wajah Hanna di ponsel yang ditinggalkan oleh pemiliknya dengan tangan kanannya.

Asli, ini orang cakep banget. Kok bisa-bisanya tadi dia ga sadar ya?

Terdengar suara motor menderu dan berhenti di ujung gang, ojek online. Terihat dari jaket dan helm yang berwarna hitam dan hijau. Dari belakang sang pengemudi ojek, turun seorang gadis yang mengenakan kemeja putih, celana hotpants jeans yang gagal menyembunyikan mulusnya paha sang empunya, dan sepatu Skechers berwarna abu-abu. Saat membuka helm, gadis itu menyibakkan rambut panjang dan memperlihatkan wajah cantiknya.

Hanna.

Dara jelita itu berlari menuju warung Mbah Wig sambil terengah-engah dan meletakkan tangan di kepala. “Yaaaah udah tutuuup. Duh, gimana nih.”

Sepertinya ia tidak melihat Nanto yang masih berada di sana, memang posisinya terlindung oleh pohon yang rindang dan seakan-akan terkamuflase oleh bayangan pohon dan gelapnya suasana menjelang sore. Nanto terkekeh, lagian. Kenapa juga nunggu sampai sore baru balik kesini? Malu? Kalau tadi langsung balik arah kan bisa langsung diambil ponselnya.

Atau ada alasan lain kenapa kamu baru balik ke sini sore?

“Duuuh gimana nih? Mampus! Mampus! Mampus!” sang dara kembali mengeluh.

Nanto duduk dan berjalan santai ke arah si cantik. Ia menggoyangkan ponsel yang ia temukan tadi. “Mencari ini?”

Bagai bertemu hantu, si cantik yang kemungkinan bernama Hanna itu melompat mundur karena kaget. Ia mengernyitkan dahi dan menyadari siapa yang sudah menemukan ponselnya.

“Kamuuu!?”





.::..::..::..::.





Suasana kantin kampus cukup ramai sore itu, jam dinding di tembok kantin menunjukkan masih ada waktu setengah jam sebelum jam ujian akhir semester berikutnya. Lokasi kantin di UAL cukup strategis karena berada tepat di tengah kampus dan dekat dengan taman utama, sehingga mudah diakses oleh mahasiswa dari semua fakultas. Sebetulnya kantin ini bukan satu-satunya kantin karena masih ada tempat lain yang juga bervariasi makanannya.

Lokasi pujasera – pusat jajan serba ada - ini dinamakan Kantin Tengah oleh anak-anak kampus, dan seperti biasanya Kantin Tengah selalu ramai. Sore itu anak-anak Fakultas Teknik, Sastra, Fisipol, Ekonomi, Komunikasi, Hukum, dan Teknik Informatika berkumpul menjejali meja-meja kantin.

Ada yang bercanda.

Ada yang sedang tertawa.

Ada yang sudah selesai ujian hari ini, ada yang sebentar lagi baru akan mulai.

Semua terlihat gembira di sore yang cerah.

Di samping kantin yang memiliki sekitar sembilan petak penjaja makanan, beberapa orang mahasiswa duduk mengitari sebuah taman kecil berbentuk melingkar. Di pinggir lingkaran tersebut diletakkan kursi panjang yang juga melingkar, sedangkan di tengah-tengahnya terdapat sebuah patung dengan air mancur kecil menjadi hiasan. Tentu saja air mancur kecil itu mati karena aliran air menuju patung terputus dan sampai sekarang belum pernah dinyalakan.

Dengan rambut gondrong, wajah ketus, kacamata hitam, dan jaket bomber seragam, kelompok mahasiswa yang sedang duduk-duduk di tempat tersebut adalah kelompok preman kampus yang sering menamakan diri mereka DoP atau Death of Pokoyo. Kenapa bukan Superman saja yang death? Karena takut kena tarikan royalti. Meskipun tongkrongan sangar tentu masih harus itung-itungan.

Entah sudah berapa lama anggota DoP ini tinggal di kampus, sebagian besar dari mereka adalah mahasiswa lama yang enggan lulus dan sudah lupa caranya pegang pulpen. Ga diusir ribet, mau diusir kok bayar. Pihak kampus pun akhirnya membiarkan saja kaum ubur-ubur semacam ini berkeliaran, yang penting mah bayar, semua urusan beres.

“Oit. Masbro.”

Jovi Setyanto – salah satu dari anggota DoP melempar pelan sebuah kerikil ke arah adik angkatan bertubuh subur yang duduk tak jauh dari mereka. Yang ditimpuk pura-pura tak mendengar panggilan Jo ataupun kerikil yang dilempar. Ia hanya lanjut makan bakso yang sepertinya sedap sekali.

Sekali lagi Jo melemparkan kerikil kecil.

“Masbrooo!”

Mata sang adik angkatan bergerak sekilas melirik ke arah Jo dengan sudut mata, namun ia kembali makan baksonya dengan cuek, seakan tak peduli ia telah dipanggil atau sudah dua kali kena lemparan kerikil.

“Woooi!!”

Akhirnya Jo habis kesabaran, ia bangkit dan berdiri. Melangkah meninggalkan rombongan DoP ke arah si junior yang sok bolot. Ini anak memang perlu diurus, batin Joe. Pakai pakaian yang ngejreng kalau di kampus, sepatu ori warna putih yang kalau kesenggol aja jerit-jerit, becanda-canda genit dengan temen-temen cewek, ponsel terbaru dengan merk buah yang dicokot yang dipamer-pamerin. Kalau cewek kok selangkangannya njendol, kalau cowok kok jalan aja melambai zigzag.

Tanpa babibu, Jo mengambil sebutir bakso dari mangkok sang adik angkatan. Wajah galak Jo membuat si tubuh subur mulai gelisah.

“Enak ya?”

Si tubuh subur blingsatan dengan keringat yang mulai bercucuran, ia hanya tersenyum kecut dan mengangguk. Sekali lagi Jo mencomot bakso miliknya dengan santai, kali ini bakso yang ukurannya paling besar. Sepertinya berisi telur rebus.

“Ini juga enak.” ujar Jo tanpa ekspresi, “kenapa tadi dipanggil diem aja? Ga punya kuping?”

“Oooh... ehmm... tadi manggil saya, ya? Kirain manggil siapa tadi, Bang.” Si tubuh subur mencoba mengembangkan senyum, tapi dari wajahnya jelas ia gentar dan ketakutan.

Jo duduk di samping si tubuh subur sembari merangkul pundaknya dengan sok akrab. Bau rokok menyeruak tak nyaman membuat si tubuh subur mengernyit.

“Masbro, bisa ga dibagi duitnya? Ane laper.”

“Ooh... mau bakso juga? Santai aja, Bang.” Si tubuh subur menarik dompetnya yang tebal. Jo mencibir melihat deretan kartu kredit berjajar di dompet adik angkatannya itu. Si tubuh subur menarik selembar uang dua puluh ribu dan memberikannya pada Jo.

“Segini cukup, Bang?”

“Yang biru itu aja.” Kata Jo sambil menunjuk selembar uang lima puluh ribuan masih terselip manja di dompet si tubuh subur. Dengan berat hati sang adik angkatan mengeluarkan uang itu dan memberikannya pada Jo. Tapi ia masih tetap memasang senyum yang dipaksakan.

Jo mencibir.

Dasar penyu! Pengecut! Sembunyi gih masuk cangkang!

Jo menarik uang lima puluh ribuan dari tangan si tubuh subur dan melemparkan uang dua puluh ribuannya ke tanah. Si tubuh subur dengan takut-takut meraih uang itu dan memasukkannya ke dompet.

Preman kampus itupun berjalan arogan kembali ke tempat tongkrongan DoP sambil terkekeh. Ia sebenarnya tidak butuh uang tambahan, tapi hanya ingin mencoba saja mengompas yuniornya, dan ternyata berhasil. Hal itu membuat Jo tersenyum sendiri. Ada untungnya juga ia bergabung ke DoP sejak masuk kampus ini. Paling tidak itu membuatnya berasa punya power lebih.

Kembali ke tempat tongkrongan DoP, Jo duduk di samping Surya yang bersandar di papan Dilarang Merokok sembari menebarkan asap dari @-Mild. Jo menjumput satu batang dari kotak rokok Surya yang diletakkan di tanah. Ia menyalakan pemantik api dan menyalakan batang penghembus asapnya.

“Jo, sudah denger kabar terbaru belum?”

Hempasan napas Jo diboncengi oleh asap rokok yang keluar dari mulutnya. Pemuda itu menggelengkan kepala. Dia masih asyik menatap pemandangan indah di kantin, melihat Anissa, gadis yang menurut Jo cakepnya kebangetan. Sayang dia sudah punya cowok – kalau tidak salah namanya Dodit. Kenapa sih yang seperti itu sudah laku? Kenapa yang disisain buat jomblo kayak dia malah cowok bertubuh subur tadi?

“Kabarnya Nanto balik lagi ke kota ini.”

UHUG!!

Sambil terbatuk-batuk Jo melepas kacamata hitam yang ia kenakan. Mata sayunya menatap tajam ke arah Surya. Nanto? Balik ke kota? Bukan Nanto yang itu, kan?

“Nanto sek endi? Akeh sek jenenge Nanto. Banyak yang namanya Nanto. Yang mana?”

“Nanto yang itu.”

“Nanto dari Cendikia Berbangsa?”

“Iya.”

“Nanto yang dulu kelas 11 kabur ke kampung?”

“Iya. Adik kelasku di CB.”

“Yakin dia balik?”

“Yakin.”

“Siapa yang bilang?”

“Si Alen, anak Sastra. Alen kan dulunya juga di SMA CB, nah kebetulan dia tetangga Tantenya Nanto. Beberapa hari yang lalu dia lihat Nanto tinggal di sana. Denger-denger kabar juga, katanya Nanto daftar masuk ke sini, tapi masuk kelas malam.”

UHUG!! UHUG!!

Sekali lagi Jo terbatuk-batuk. Kali ini ia sampai berdiri dan mencengkeram kerah Surya. “Asli, kalau kamu cuma sebar-sebar hoax soal Nanto, kepalamu aku jadikan pot kembang.”

“Yaelah, Jo. Ngapain juga bohong? Ga ada untungnya! Kampret ah! Dikasih tau malah nyolot!”

Jo melepaskan kerah baju Surya yang bersungut-sungut karena perlakuan si berandal itu. Jo terkekeh sambil melayangkan pikirannya. Senyum aneh mengembang di mulut sang preman kampus. Ah, kenapa tiba-tiba saja bibirnya terasa pahit mendengar nama Nanto?

CUH!

Jo meludah.

Bagus! Ayo datang ke sini, Nyuk. Ayo datang sekarang juga, akan kami beri sambutan yang meriah... sambutan paling mewah yang pernah kau dapatkan seumur hidupmu. Aku akan berdiri paling depan sebagai panitia penyambutan, dan akan aku membalas dendam yang sudah bertahun-tahun aku pendam.

Batin Jo sembari mengelus bekas luka memanjang di jidatnya.





BAGIAN 2 SELESAI
BERSAMBUNG KE BAGIAN 3
 
:mantap: :mantap: :mantap:

wuiihh, ada cerbung baru nih

ikutan pasang ⛱ dulu suhu

Hahaha, tenda pantai ya. Pakai bikini juga ga, Hu?

Pasang cctp dimari ya Hu..... :beer:

Siap, Hu. Saya jangan diintip pake cctp ya.
Saya malu-an dan mau-an.

Pasang tenda 10x20 ya .. Suhu @Manfrust99
Trims apdet nya @killertomato
Semoga saja lanjutannya di segerakan.
Ya Mas Jason

Siap Suhu Bogel @Bogelsbry
Buat suhu apa sih yang nggak, wkwkw.

Mantap suhu... Semoga lancat

Siap. Semoga lancat selalu, Hu.

Semoga cerita sebelah gak mandek ya suhu,ini msh ada unsur kbb gak hu

Cerita sebelah masih diketik nih, Hu. Ga mandeg kok.
Yang jelas ini beda genre sama yang kemarin-kemarin ditulis, Hu.
Bukan tipikal cerita KBB.

Wow karya baru lagi dari om Legend 😍

Hehehe legend apalah. Saya hanya sekedar tomat 🍅 yang ceritanya belum ada yang tamat. :bata:

Mantul.... suhu... lanjut...
Sepertinya menarik nih.. ijin nongkrong dimari suhu.. :ampun::baca:
Ikut nyimak om menarik

Silahkan, monggo, selamat datang.
Semoga berkenan.
Maaf kalau banyak kekurangan.

Pasang tenda dulu suhu buat dibaca nant malam. Aku yakin crita barumu bagus.. aku yakin ketikan critamu kata2 nya pasti bagus. Hhe
Sambil nunggu update XYZ mudah2han sabtu atau minggu update hhe

XYZ masih diketik nih. Ga tau weekend bisa kelar atau belum.

Semoga khilaf ada update lagi...

Sampai Bab 3 sih udah siap, Hu.
Nanti disusulkan.
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd