Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT JALAK

Sekedar iseng nanya. Siapa cewek yang kira-kira paling tepat buat Nanto menurut suhu?

  • Asty. Pokoknya Asty. Ga ada yang laen. Asty, aku padamu.

    Votes: 104 32,1%
  • Hanna. Ni cewek kayaknya potensial. Bisa lah.

    Votes: 76 23,5%
  • Kinan. Udah paling bener sih. Single, adem, available kapan aja.

    Votes: 166 51,2%
  • Nuke. Ada bibit-bibit nih, siapa tau, ye kan.

    Votes: 15 4,6%
  • Ara. Karena CLBK, Cerita Lama Bikin Konak.

    Votes: 10 3,1%
  • Eva. Bad girl are the best. Yang nakal begini kadang gemesin.

    Votes: 8 2,5%
  • Rania. Biar sekalian ancur ceritanya. Huahahahaha.

    Votes: 6 1,9%
  • Dinda. Siap-siap diamuk Amar dan Deka.

    Votes: 4 1,2%
  • Nggak semua. Ada pilihan lain nggak? Cari yang baru lah.

    Votes: 29 9,0%

  • Total voters
    324
  • Poll closed .
Status
Please reply by conversation.
BAGIAN 10
MENEMANIKU




Betapapun buruknya kehidupan, selalu ada sesuatu yang dapat dilakukan dengan sukses.
Di mana ada kehidupan, di situ ada harapan.
- Stephen Hawking




“Maksud kamu apa?”

Ara menatap tajam ke arah Deka.

Deka menggelengkan kepala, “tidak ada maksud apa-apa. Aku hanya ingin tahu bagaimana posisiku sekarang setelah Nanto kembali ke kota. Apakah ada perubahan di hati kamu. Karena jika ya, aku tidak akan menghalangi. Jujur ada perasaan aneh saat melihat kalian berdua saling bertatapan. Aku seperti tidak ada di sana, seperti menjadi pihak ketiga, dan menjadi jurang yang memisahkan kalian. Awkward banget.”

“Tsk! Berapa kali sih aku harus bilang, Mas? Berapa kali? Aku harus gimana biar kamu bisa percaya?” Ara benar-benar sewot, meski begitu ia tahu Deka sedang tidak percaya diri karena kehadiran mantannya yang juga sahabat sendiri. Sebagai kekasih, Ara harus menjadi penjaga dan penata hati Deka.

Deka menggeleng dan tersenyum, “tidak... aku hanya... ah, maaf... aku bingung, sayang. Aku harus bagaimana? Aku bingung.”

Ara memeluk Deka dari samping dan mengecup pipinya. Ia ingin melakukan yang lebih tapi tentu tidak sopan di tempat publik seperti ini. Tangan Ara diletakkan di dada Deka.

“Aku yang sekarang cuma mau sama Mas Deka, untuk Mas Deka, dan kelak ingin bahagia bareng Mas Deka. Saat laki-laki lain tidak menghendaki aku, Mas Deka yang mengangkat aku dari kesedihan mendalam, Mas Deka yang membangkitkan aku untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Mas percaya ya sama aku. Sudah sekarang tidak usah mikir yang aneh-aneh, oke?”

Deka menggenggam jemari Ara dan menatapnya lembut. Ia mengangguk.

Ara tersenyum. Gadis itu meletakkan jari telunjuknya yang bebas ke hidung Deka. “Malam minggu... kita jalan-jalan yuk, berdua saja.”

“Hehehe, kemana? Aku kan harus bantu...”

“Mau menemaniku ke Kalipenyu?” kata Ara sambil mengalihkan wajahnya yang memerah.

Dada Deka berdegup kencang. Kalipenyu? Tempat itu kan... pemuda itu meneguk ludah... tempat itu kan populer sebagai lokasi kencan? Banyak hotel dan wisma melati bertebaran. Udara yang dingin dan lokasi yang ada di lereng gunung membuat tempat wisata itu cocok untuk bermesraan – atau lebih tepatnya, bercinta.

Sejak jalan bersama Ara, Deka memang sudah sangat sering mencium dan memegang bagian-bagian terlarang dari tubuh sang kekasih, tapi ya udah cuma gitu saja... ia belum sekalipun ia pernah melakukan itu dengan Ara. Deka sangat menyayangi dan menghormati gadisnya, jika ia tidak mau, maka ia tidak mau. Deka tidak akan memaksa. Tapi... kan sekarang Ara yang ngajakin? Apakah sekarang saatnya? Aduh, kepala atas bilang jaim dulu lah paling nggak, kepala bawah bilang ayo sekarang aja kenapa nunggu malam minggu.

“Ara...”

“Hmm?”

“Kamu yakin?”

Ara mengangguk sambil menatap Deka dengan bulat bola mata cantiknya. Pria mana yang tak akan takluk? Deka meneguk ludah.

“Ba-baiklah... malam minggu kita...”

Ding!

Terdengar bunyi notifikasi WhatsApp di hape Deka.

Bazeeeeeng! Deka menggerutu. Siapa sih tega bener kirim pesen WhatsApp pas lagi drama percintaan yang bikin deg-degan kayak sekarang? Kapan lagi coba dapet adegan begini? Sekalinya dapet, eh malah diinterupsi. Kaga pengertian banget dah. Dari siapa sih? Deka melirik layar ponselnya. Eh? Nanto? Ada apa ya?

“Siapa sayang?”

“Nanto.”

“Kenapa lagi dia?” tanya Ara sambil membuka tutup botol kemasan air minum.

“Haish. Kampret emang. Katanya kita pulang dulu aja. Dia ada urusan, ketemu temen katanya.”

“Gimana sih tuh orang! Udah ditungguin! Sebel banget dah ah!”

“Sudahlah, Nanto ga akan kirim pesen begini kalau emang ga penting. Udah yuk, kemas-kemas. Kita pulang. Minumannya yang tadi buat Nanto aku bawa aja.”

Ara mengangguk dengan muka cemberut.





.::..::..::..::.






“Jadi gimana kuliahnya?”

“Ini tadi pagi ngurus registrasi ulang sama nyerahin berkas-berkas, sekalian nyelesain urusan administrasi sama bayar tetek-bengek begitu lah. Jadi tinggal nunggu pertemuan awal mahasiswa baru. Kalau kelas malam kan ga ada opspek, jadi langsung masuk gitu ke pertemuan awal. Orientasi-nya cuma kaya seminar pengenalan kampus, dikumpulin ntar seangkatan buat dengerin pesan-pesan dari rektor atau dekan.”

“Gitu ya...” Hanna manggut-manggut, lalu sembari menahan tawa gadis itu bertanya, “omong-omong kamu itu daftar kuliah atau SmackDown sih? Kok babak belur begitu?”

Nanto menggaruk-garuk kepala. “Ini tadi jatuh naik motor.”

Hanna mencibir. “Yeah right.”

“Beneran.”

“Beneran bohong?”

“Iya beneran bohong.”

Hanna tertawa.

Nanto cengengesan, “hehehe ketahuan ya. Pantes aja tadi dokternya juga ga percaya.”

“Ya iyalah. Luka macam gitu dibilang jatuh naik motor. Coba kamu tadi bilang kecemplung kolam kuda nil, terus dilempar ke ring banteng, abis itu ditendang ke kandang babun. Baru deh dokternya percaya.” Hanna tertawa renyah.

Duh ketawanya. Yang begini ini yang bikin bangkrut tukang jual gula. Ga nahan saking manisnya. Kalau boleh minta stok Hanna yang banyak buat dicelup ke teh tawar.

“Gimana tangannya? Masih sakit?” tanya Nanto. Coba basa-basi dikitlah.

Seriously? Ini kepala jelas-jelas bengkak ditempel perban begini yang ditanyain tangan?” sekali lagi Hanna tertawa. “Ish, ga jago basa-basi sama cewek ya? Pasti jomblo nih.”

Nanto tertawa kali ini. “Enak aja, bukannya ga jago – males. Kita ramah dikata PDKT, kita jutek dibilang sombong. Kita sok akrab dengan tangan melambai dikira hombreng, kita kedip-kedip dikira genit. Susah jadi cowok itu.”

“Tapi jomblo kan?”

“Iya.”

Hanna tertawa lagi, “Makanya jangan kebanyakan teori, banyakin aksi. Cewek lebih suka yang tembak langsung, Mas. Basa-basi mah kerjaan anak SMA.”

“Uhuk. Ini juga lagi nyobain. Uhuk.”

Hanna kembali cekikikan, tak berapa lama wajahnya kembali serius. “Makasih ya Mas. Udah nemenin aku di sini, udah bikin aku ketawa. Asli capek banget seharian ini. Ngurusin ini itu di kampus, pulangnya malah nyasar ke sini, belum lagi nungguin Glen yang ga tau kemana. Ga tau kapan ini kelarnya.”

“Santai aja. Aku juga lagi ga ada kerjaan kok.”

“Kalau besok kita ketemu lagi, aku beliin gelas Mas. Tiga hari berturut-turut ketemu.”

Nanto tertawa. “tangan?”

“Hahaha. Iya iya, dih ga dijawab nanyain mulu. Nih tanganku udah ga apa-apa. Makasih banyak ya kemarin.” Hanna menunjukkan tangan yang kemarin terkena pecahan piring di warung, masih berbalut h@nsaplast. Hanna menundukkan kepala, wajahnya sedikit memerah. “terima kasih juga hari ini, tanpa bantuan Mas ga tau deh tadi aku diapain.”

“Kan udah dibilang, santai aja.” Nanto membuka ponselnya, ia mengetik sebuah pesan untuk Deka dan Ara yang pasti sedang menunggunya. Tak lama kemudian ia kembali melirik ke arah Hanna, “eh omong-omong, boleh minta nomer hape kamu?”

“Boleh. Asal ga tiba-tiba WhatsApp mau pinjem duit. Hahaha.”

“Yah, ga jadi deh minta nomernya kalo gitu.”

“Apaan sih! Hahaha!”

Berhubung ponsel Hanna sudah off, maka si cantik itu mengetikkan nomernya di ponsel Nanto. “Udah, nomer hape. Apa lagi? Nomor rekening? Kali-kali aja mau transfer, mau beli baju dagangan aku.”

Giliran Nanto yang tertawa. “Emang kamu jualan baju?”

“Sekali sekali. Ada di Instagram.”

“Emang bisa ya jualan di Instagram?”

“Kemarin-kemarin pulang kampung ato pulang ke gua jaman batu sih, Mas? Ya bisa lah!”

“Yeee... aku mana tau yang begitu-begituan. Boro-boro tau, punya juga ga.”

“Hah? Hari gini ga punya IG?”

“Emang kenapa?”

Ish, no no. Sini, ponsel mana ponsel.”

Nanto menyerahkan kembali ponselnya tanpa perlawanan dan tanpa syarat pada Hanna. Tidak pakai lama, gadis itu beraksi, mengunduh dan memasang aplikasi Instagram di ponsel si bengal.

Gadis cantik itu menempel di sebelah Nanto, lengan mereka saling beradu, dekat sekali. Ah, harum parfum Hanna yang bukan kelas bibit membawa Nanto terbang ke awan. Wangi banget. Hanna menunjuk-nunjuk ke layar ponsel Nanto, mengajarinya masuk ke IG.

“Ini akunnya @*** trus passwordnya ***. Diinget-inget! Jangan sampai lupa! Kalau lupa nanti bisa nanya ke aku atau pakai yang ini nih, fasilitas forget password. Oke?”

“Err... oke?” Nanto mencoba menghapal akun dan passwordnya meski ia tidak tahu buat apa juga dibikinin Instagram. Dia toh bukan orang yang sering bagi-bagi foto ke orang. Menurutnya dalam hidup dia jarang ada momen menarik yang bisa dibagikan atau dipamerkan.

“Ck! Mas Nanto ini bener-bener jarang selfie ya. Di galeri kosong melompong gini.”

“Jarang emang. Cuma sering dipake buat WhatsApp aja.”

“Ya udah! Sini!”

“Ha?”

Nanto hanya bisa bengong saat kemudian Hanna merangkulnya, gadis itu dengan cepat membuka aplikasi kamera, memindahkannya ke mode kamera depan, dan memotret mereka berdua saling berdekatan.

“Sekali lagi! Senyum lah Mas! Giginya ga ada yang bolong kan?”

“Idih.”

Sekali lagi Nanto dan Hanna berangkulan lalu berswafoto bersama, kalau istilah mbois-nya wefie. Kali ini keduanya sama-sama tersenyum. Hanna tersenyum cantik, Nanto tersenyum bahagia. Jarak keduanya berdekatan, sangat dekat sampai-sampai kepala Hanna menempel di pipi Nanto. Gimana ga senyum bahagia?

“Udaaaaah. Sip!” Hanna pun beraksi kembali dan tak lama kemudian, foto mereka berdua sudah terpampang di Instagram baru milik Nanto. “Tuh. Biarpun wajah kita bengap-bengap penuh luka, yang penting senyumnya tulus tanpa hina. Betul ga, Mas?”

Nanto melihat wajah dua orang penuh perban yang sok senyum manis dan iapun tertawa terbahak-bahak, Hanna ikut-ikutan tertawa.

“NANTO!”

Si bengal mendengar suara memanggil namanya dan dari jarak jauh terlihat Deka dan Ara menuju pintu keluar rumah sakit. Deka melambaikan tangan sambil mulutnya mengucapkan kata duluan tanpa suara. Nanto pun mengangguk sambil mengangkat jempol, ia mencoba melambaikan tangan ke Ara – namun gadis itu malah menatapnya galak dan membuang muka.

Nanto hanya tersenyum saat menatap Deka dan Ara berjalan keluar.

“Siapa itu, Mas?”

“Itu temen lama sama mant... sama ceweknya, mereka yang tadi nganter aku kesini.”

“Ohh... cantik ya ceweknya.”

“Kamu juga cantik kalau ga pake perban.”

“Oh gitu!” Hanna pura-pura cemberut, “ok fine!

“Lah? Habis gimana? Oh gini aja... kamu pake perban aja cakep, apalagi ga pake. Gitu?”

Hanna tertawa, “ish. Asli ga banget rayuannya. Bisa jomblo akut, Mas. Sini ponselnya. Aku install satu lagi aplikasi biar ga kelamaan jomblo.”

“Aplikasi apaan?”

Tinder.”

Nanto garuk-garuk kepala.





.::..::..::..::.





Sebuah motor berhenti di depan Universitas Amora Lamat, dua orang di atas motor. Si penumpang turun terlebih dahulu, seorang pria bertubuh kekar, berkulit gelap, dengan tato burung rajawali di lengan kanan. Ia hanya mengenakan rompi jeans model kutung sehingga semua orang bisa melihat tatonya. ia melepas helm untuk menampakkan rambut kribo model flower.

Motor distandar samping dan si pengendara menyusul turun. Ia melepas helm dan maskernya, menampilkan wajah tirus berkulit gelap dengan rambut jigrak dicat warna warni seperti pelangi. Telinganya dan hidungnya ditindik dengan anting perak melingkar.

Mata kedua preman memindai wajah demi wajah yang keluar dari kampus, termasuk memperhatikan posisi satpam yang berada tak jauh dari pintu gerbang. Sudah tak banyak orang di kampus karena memang belum masa kuliah dan sudah sore.

“Gimana kita mau nyari orang ini, Nyuk? Wes ora akeh wong. Gimana mau nyarinya?” Tanya si rambut pelangi.

Si kribo menelusuri satu demi satu wajah yang sudah mulai meninggalkan kampus sore itu. Percuma kalau harus memindai satu demi satu wajah, mereka harus melakukan hal lain yang lebih efektif. “Kita tidak bisa menunggu di sini seharian, apalagi kalau bocah itu juga ga ada di sini. Kerjaan sia-sia.”

Si rambut pelangi bertanya lagi, “terus gimana?”

“Tenang ada rencana cadangan, untung banget kita nyarinya di UAL. Aku ga akan yakin jalan ke sini kalau ga ada koneksi, sama aja mencari jarum di kolong kloset. Males banget. Bentar aku telpon dia.” Si kribo menarik ponsel dan membuka layar, ia mencari nama di kolom kontak dan segera memencet tombol hubungi. Terdengar suara nada tunggu sebelum beberapa saat kemudian panggilan diangkat. “Nyuk. Aku di depan gerbang UAL. Kowe di mana? Aku mau ketemu. Oh yo yo. Ya wes aku tunggu di dekat parkiran.”

Si rambut pelangi lagi-lagi bertanya, “gimana?”

“Orangnya mau ke sini. Kita tunggu saja di sana, dekat parkiran. Jauh dari orang-orang ini, jauh juga dari satpam.”

“Satpamnya gimana?”

“Halah, cuma ada dua orang. Yang satu udah uzur begitu, yang satu lagi sibuk nonton bola. Sekali gibas beres. Santai aja kita ke samping.”

Si rambut pelangi mengangguk. Ia mengangkat standar motor dan mengikuti jalur menuju parkir motor UAL, sementara si kribo berjalan menuju tempat yang sama dengan berjalan kaki. Langkahnya yang sok keren ditambah dengan pakaiannya yang model punk dengan berbagai aksesoris, membuat Kribo menjadi perhatian banyak orang.

Preman berangasan itu cengengesan tiap kali ia berjalan berhadapan mahasiswi cakep, sempat-sempatnya menggoda atau mencolek pundak dengan nakal. Tentu saja para mahasiswi hanya berani menghardik dan melotot saat digoda atau dicolek. Posisi yang jauh dari satpam, perasaan jengah, dan takut berurusan dengan sang preman asing membuat para mahasiswi yang digoda diam seribu bahasa tanpa melapor. Padahal bisa saja dilaporkan ke satpam yang berwenang supaya mengusir si preman asing itu, tapi ya beginilah UAL.

Si kribo dan si rambut pelangi menunggu sekitar sepuluh menit sampai akhirnya wajah seorang mahasiswa berambut gondrong datang dengan tergopoh-gopoh. Mahasiswa ini juga punya tongkrongan model anak punk, dengan telinga dan hidung ditindik, pakaian serba hitam, kaus didobel dengan kemeja warna gelap, celana jeans bolong di lutut, sabuk dengan macam-macam aksesoris.

Ia ngos-ngosan dan memberikan salam pada si kribo, “Sori bang Sarno. Ini tadi aku ada di lantai empat gedung Filsafat, baru bisa sampai di sini sekarang. Gimana, Bang?”

Pria yang dipanggil dengan nama Sarno menunjuk ke arah si rambut pelangi, “itu temenku, Tung. Panggilannya Jardu - jarang punya duit.”

“Bang. Saya Untung.” Si gondrong memberikan salam pada Jardu. Si rambut pelangi hanya mengangguk, hisapan rokoknya makin kencang. Males dia basa basi.

“Kita lagi nyari orang, Tung. Dia gebukin Eben sama dua temen lain. Ga bisa dibiarin lah, tau sendiri kita udah kayak saudara, darah bayar darah.”

“Wah, anak UAL ya?”

“Iya, Tung. Mahasiswa baru.”

“Tapi ini belum masanya masuk kuliah, Bang. Pasti orangnya juga belum masuk, ini baru masa-masa registrasi ulang. Kecuali anak-anak lama – jarang ada yang ke kampus. Termasuk anak kelas malam. Kayaknya sekitar dua minggu lagi baru rame.”

“Tung, kamu kan punya hutang budi sama Eben, sama Bang Gunar juga. Kita semua yang masuk kelompoknya Bang Gunar mesti saling bantu. Tahu kan ya apa maksudku?”

“Tahu. Tahu banget, Bang. Oke deh, nanti abang kirim aja foto dan keterangan-keterangan lainnya. Saya yang akan cari tahu lebih lanjut, anak mana, kuliah di fakultas apa, masuknya kapan saja, sampai sempaknya ukurannya apa kalau butuh juga bakal saya cari tahu. Kalau sudah ketemu, saya kirim kabarnya ke Bang Sarno dan Bang Gunar.”

“Jangan... jangan kirim ke Bang Gunar. Kirim ke aku dulu aja. Paham?”

“Paham... paham, Bang.”

“Ya udah. Aku tunggu kabarnya. Ini langsung aku kirim datanya.”

“Siap, Bang. Saya balik lagi ke atas. Masih ada proyek mural sama temen-temen.”

Sarno mengangguk, demikian juga Jardu.

“Jadi gimana, Bang? Kita tunggu kabar?” tanya Jardu sepeninggal Untung.

“Kamu ini dari tadi nanya gimana melulu. Iya, kita terpaksa nunggu kabar. Ya udah. Ayo kita balik!”

Jardu manggut-manggut seperti boneka pegas, ia kembali memakai helmnya. Dengan sekali sentak motornya meraung-raung. Kencang dan berisik. Si rambut pelangi itu tertawa-tawa puas. Seakan-akan dengan membunyikan motornya secara berisik, dia telah berhasil menjadi orang nomor satu di dunia persilatan.

Sarno ikut terkekeh-kekeh. Dia suka yang model-model intiimidasi begini.

Bletaaagggkkk!

Batu berukuran kepalan tangan bayi melejit dan mengenai helm yang dikenakan oleh Jardu. Tak urung si pemuda punk itu terkejut. Ia dan motornya terjatuh ke samping. Tidak hanya dia yang terkejut, Sarno pun demikian. Keduanya bertanya-tanya dari arah mana batu itu berasal.

“Sekedar saran saja...”

Terdengar suara dari sudut gelap tembok yang berkelok. Sarno dan Jardu memicingkan mata untuk bisa melihat dengan pasti siapa yang datang.

“Sekedar saran saja. Kalau bertamu ke rumah orang itu sebaiknya berperilaku sopan. Kalaupun tidak bisa sopan setidaknya jangan mengganggu. Jangan sok petentengan, jangan sok jago, jangan sok gegayaan. Tapi itu sekedar saran saja. Didengar syukur, ga didengar ya terpaksa kita potong telinganya.”

Ucapan itu datang dari seorang pemuda tampan yang keluar dari sudut gelap, ia mengenakan kacamata dan wajahnya mirip seperti idol k-pop dari Korea Selatan. Tentu saja orang ini adalah Oppa, salah satu kapten dari DoP. Di belakang Oppa, tiga sosok lain muncul.

Berturut-turut tampil Don Bravo yang nyengir dan tersenyum lebar, Remon yang berkacak pinggang, dan Amon yang bersidekap tanpa banyak bicara.

Sarno tersenyum. “Bagus. Paling tidak hasrat membunuh bisa tersalurkan sore ini.”

“Wuhuuu. Hasrat membunuh, Dab? Omong-omong itu rambut atau logo WhatsApp? Buletnya asoy.” Cerocos Don tanpa tedeng aling-alling.

Tak butuh waktu lama untuk menciptakan arena.




.::..::..::..::.




Nanto sedang pamit ke kamar kecil saat Hanna merentangkan tangannya karena pegal dan lelah. Ingin rasanya ia segera pulang dan mengakhiri semua drama di rumah sakit ini. Bukan hanya lelah, tapi juga capek pikiran dan perasaan.

Hanna mengeluarkan desahan panjang.

Saat itulah sesosok pria terangah-engah hadir di hadapannya.

Glen datang dengan wajah berbanjir peluh, keringat deras mengalir di seluruh tubuh. Ia mencoba berbicara, namun karena ngos-ngosan, tak ada yang keluar dari mulutnya, hanya suara tanpa arti. Hanna terbelalak, Ia segera membuka botol minumnya, dan memberikan pada Glen. Kekasih Hanna itupun menghabiskan hampir separuhnya.

“Ma-maaf banget, sayang.” Glen terengah-engah, “kelamaan ya? Ini aku udah usahain secepat-cepatnya. Tadi ngurusin mobil dulu, langsung masukin ke bengkel, terus nyari taksi online buat nyamperin temen yang bisa nganter-nganter, abis itu ambil duit di ATM baru balik ke sini. Aku mau kontak kamu tapi ga nyambung-nyambung telponnya. Bapak-bapak yang tadi bagaimana? Masih marah-marah? Ini aku juga mau kontak saudaraku yang polisi, takutnya kalau-kalau ada yang laporin. Mending cari aman, maunya kita damai aja ya, Beb.”

Hanna mendesah. Intinya diminta sabar, yang penting positive thinking, gaes. “Ga apa-apa kok. Semua aman terkendali, satu persatu sudah aku beri DP untuk biaya perawatan. Aku jelas ga pegang kalau harus bayar full untuk semua orang yang masuk ke perawatan apalagi bapak cilok yang butuh operasi, terus KTP kita juga masih di tangan mereka. Ponselku baterainya habis, ga bawa charger.” Hanna mencoba tersenyum, “mobil tidak apa-apa kan?”

“Penyok sih, tapi ya ga apa-apa. Bisa diakalin. Abis dibenerin dijual aja mobilnya. Bawa sial.”

Glen duduk sambil mengatur napas setelah berlari-lari sepanjang beberapa jam terakhir, berat sekali dadanya. Sesungguhnya dia bukan cowok yang akan meninggalkan Hanna sendirian begitu saja di rumah sakit, dia benar-benar menyayangi gadis itu. Kondisi yang memaksa dia untuk pergi selama beberapa jam dan harus meninggalkan sang kekasih cukup lama.

“Maaf ya aku tinggal lama. Aku khawatir banget sama kamu.”

“Ga apa-apa. Yang penting kamu sudah sampai di sini.”

Hanna merangkul sang kekasih yang kemudian meletakkan kepalanya di pundak si jelita, Glen terpejam sembari mengatur napas, sungguh capek rasanya. Gadis itu melirik ke arah pintu kaca yang menuju arah toilet belakang. Ada Nanto di sana memperhatikannya.

Si Bengal mengedipkan mata dan Hanna pun tersenyum.

Makasih sudah menemaniku, Mas Nanto.

Nanto membalikkan badan dan pergi menjauh.

Saatnya pulang.



.::..::..::..::.





Ara duduk di meja rias di kamarnya. Meja rias warna coklat kayu, berbentuk kotak dengan riasan sederhana di ujung atas kanan dan kiri. Meja bercermin yang terkesan kaku, seperti dirinya hari ini saat bertemu dengan mantannya. Mata si cantik itu melirik ke pojok kanan bawah, ada pigura berisikan fotonya dan Deka saat mereka tukar cincin. Ada mawar setangkai ditempelkan di figura itu. Mawar pertama yang pernah diberikan oleh Deka saat menyatakan suka padanya.

Ara mendesah.

Gadis itu membuka ponselnya, kemudian menyalakan aplikasi Sp*tify yang dihubungkan ke speaker di meja riasnya. Ia mengetuk kotak search, mengetik judul sebuah lagu, memilih opsi, dan memutar lagu yang berada di urutan paling atas.

Tak lama kemudian terdengar suara merdu Tanner Patrick menyanyikan When We Were Young-nya Adele. Ara terdiam, menatap dirinya sendiri di cermin sambil menikmati lagu, sentakan demi sentakan jemari Tanner di tuts piano bagai hentakan yang menyentil batin dan perasaannya.

Beberapa saat berlalu setelah lagu itu mengalun. Gadis jelita itu membuka laci meja rias dan menarik sebuah frame yang ditutup ke bawah. Frame itu berada di bawah beberapa peralatan make up yang harus ia pinggirkan terlebih dahulu. Ara meletakkan frame itu di samping fotonya dan Deka, bersebelahan.

Frame itu memajang foto lama, gambar dirinya dan Nanto saat mereka berjalan-jalan berdua ke sebuah tempat wisata. Nanto memeluknya dari belakang sementara Ara duduk di antara dua kaki si Bengal dan bersandar di dadanya.

Lagu yang diputar terasa bagai pil pahit yang harus diminum.

Kadang kenyataan memang kejam, kan?

It's hard to admit that, everything just takes me back.
To when you were there. To when you were there.
And a part of me keeps holding on,
Just in case it hasn't gone.
I guess I still care. Do you still care?


It was just like a movie. It was just like a song.
My God, this reminds me of when we were young.


Tak terasa air mata menetes di pipi Ara, seiring kilasan kenangan demi kenangan yang berputar di benaknya. Dari sekian banyaknya kenangan bersama si Bengal, hanya sekali ia sangat-sangat menyakitinya dan itu adalah saat mereka berpisah. Kian lama kian deras banjir airmata tanpa bisa ia kendalikan, gadis itu sesunggukan, menyembunyikan wajahnya di balik dua lengan yang dilipat.

Kenapa? Kenapa sekarang kamu kembali?

Semuanya sudah baik-baik saja. Semuanya sudah berjalan dengan seharusnya, semuanya sudah berubah. Sudah tidak ada lagi yang mengingatkan sakitnya berpisah denganmu. Aku sudah memulai hidup yang baru, sudah mulai dari awal kembali. Tidak ada namamu disebut, tak ada sosokmu menghantui, tapi kenapa kamu kembali lagi?

Kenapa? Kenapa sekarang?

Kenapa kamu tidak memberikan aku waktu untuk bersiap? Untuk menata hati? Tahukah kamu setiap kali matamu menatap, hatiku hancur kembali? Setiap ucapanmu membuatku ingin jatuh ke pelukanmu? Lalu... lalu... siapa cewek tadi? Kenapa kamu begitu akrab sama dia? Apa kamu kembali hanya buat nyakitin aku?

Kenapa sekarang kamu kembali?

Ara meraih frame yang baru saja dipandanginya dan melemparkannya ke tembok. Pigura kaca itu terbanting dan terpecah. Hancur berantakan. Sehancur perasaan yang sejak tadi ia pendam dan sembunyikan.

Gadis itu berlari dan ambruk ke pembaringan, lalu menangis sejadi-jadinya di antara bantal-bantal yang meredam suara pedih yang ia jeritkan. Sakit sekali dadanya menahan semua rasa yang berkecamuk sejak ia datang ke rumah sakit dan bertemu dengannya. Sakitnya menahan semua perasaan saat laki-laki yang pernah bertahta di hatinya berdiri di sana, duduk berdua dengan lelaki yang seharusnya menjadi masa depannya.

Nanto masih sama seperti dulu, masih ramah, masih baik, tidak ada yang berubah, tidak ada yang memburuk. Seharusnya ada yang bertambah buruk dan membuatnya lega mereka telah berpisah. Seharusnya, tapi hampir tidak ada – kecuali kedekatannya dengan cewek entah siapa tadi. Kenapa kejam begini?

Terdengar suara ketukan pelan di pintu kamar Ara. Pintu coba dibuka dari luar namun gagal. Untung tadi Ara menguncinya.

“Ara? Ada barang pecah, sayang? Mama dengar tadi.” terdengar suara sang Mama di luar pintu kamarnya.

Ara menghapus airmata. Ia berusaha mengatur volume suara agar tidak terdengar sengau. “Ti-tidak apa-apa, Ma. Ada yang jatuh tadi, frame foto Ara kesenggol. Nanti Ara bersihkan.”

“Oh kirain apaan... ya sudah, hati-hati ya bersihin barang pecah belahnya.”

“Iya, Ma.”

Suara lembut sang ibunda meredakan sedikit emosi yang terbakar.

Ara memperhatikan frame yang pecah dari tempatnya berada. Wajah Nanto yang tersenyum nampak di antara puing-puing pigura. Ara menghapus lagi air matanya yang masih meleleh dengan punggung tangan, lalu Ia memperhatikan foto itu dari kejauhan sambil memeluk bantal.

Ara tersenyum, kangen tau ga?

Dasar jelek.




.::..::..::..::.




UAL bukan tempat yang asing bagi para petarung, termasuk sore ini.

Sarno dan Jardu ibarat petarung jalanan yang beringas, keduanya sudah sangat sering bertarung tanpa peduli tempat atau lawan. Gerakan mereka cepat, acak, ganas, dan tanpa aturan. Tidak bisa diduga dan tidak bisa ditahan, mengerikan dan tak bisa diperhitungkan. Tapi lawan-lawan mereka kali ini juga bukan orang sembarangan, keempatnya adalah punggawa-punggawa DoP.

Sarno dan Jardu sama-sama menyerang.

Jardu bahkan lebih cepat dibandingkan Sarno yang sebelumnya maju terlebih dahulu. Pemuda berambut pelangi itu sudah sampai di depan Oppa dan mengayunkan helmnya dengan kekuatan penuh sebagai senjata.

Ayun ke kanan! Ayun ke kiri!

Oppa mengelak ke arah yang berlawanan dengan ayunan, membiarkan helm Jardu menghantam ruang kosong berulang-ulang. Si rambut pelangi semakin penasaran, ia berteriak kencang sembari menubruk ke depan, mempersempit ruang gerak Oppa. Namun setiap kali ia maju, Oppa akan bergerak menjauh, seakan menerapkan zona pertahanan yang pasti.

Jardu melemparkan helmnya ke arah Oppa, yang tentu langsung ditepis. Begitu mendekati Oppa, kaki sang pemuda tampan itu dengan cepat menyapu semua yang masuk zona pertahanannya. Helm itu terlontar dan menghantam tembok. Tak jauh dari posisi Remon dan Amon yang sedang menonton dengan santai.

Amon menggerutu.

“Oit. Hati-hati Oppa! Kalau sampai kena kami, bukan dia yang kami hajar tapi kamu.” Keluh Remon setengah bercanda. Setengah, karena kadang kalau bercanda pun wajah kapten DoP yang satu ini tetap serius. Apalagi Amon, tanpa ekspresi.

Oppa mendengus.

Jardu kembali melancarkan serangan, kali ini dengan sepakan ke bawah, tubuhnya turun dan kakinya meluncurkan gerakan mengait yang sangat cepat. Gerakan ini biasanya akan membuat lawan-lawan Jardu terjerembab dan si rambut pelangi dengan mudah akan menyepak kepala sang korban.

Tapi tidak Oppa.

Pemuda tampan itu sudah tahu apa yang akan dilakukan Jardu saat tubuh si rambut pelangi merunduk ke bawah. Begitu kaki Jardu memutar, Oppa dengan ringannya melompat sekaligus meluncurkan tendangan memutar ke arah rahang.

BGKKKHHH!!

Si rambut pelangi terpelanting ke samping searah dengan tendangan Oppa tanpa sempat mengangkat tangan untuk menangkis. Hanya sekali tendangan saja. Jardu berdiri terhuyung, tubuhnya meliuk-liuk, lalu jatuh, ia sudah tergeletak tak berdaya. Jardu mencoba bangkit, namun tiap kali mencoba ia selalu jatuh. Mencoba lagi, jatuh lagi. Coba lagi, jatuh lagi. Berulang-ulang.

Bangsat! Tendangan macam apa yang dilakukan bocah berwajah kemayu ini? Kenceng banget! Telinga Jardu berdengung bagai ada ribuan lebah bersarang dan pandangan matanya berbayang tak bisa kunjung menemukan fokus. Jinguuuuk! Cuma sekali tendang dia sudah seperti ini?

“Si raja tendangan.” Remon tersenyum sambil mengamati. “Kalau soal kaki memang Oppa mengerikan, dari jarak seberapapun ia sanggup mengirimkan tendangan. Gilanya lagi itu tendangan udah kayak lemparan candi saking kerasnya. Kamu sudah pernah merasakannya, Masbro?”

Amon mendengus. Entah itu jawaban ya atau tidak.

Jardu mengejapkan mata mencoba mengembalikan kesadarannya, saat ini ia hanya dapat melirik ke samping ke arah Sarno dan Don Bravo yang saling berhadapan. Don menancapkan bokken yang selalu ia bawa ke tanah yang agak lembek. Ia belum tahu apakah ia akan memerlukannya atau tidak, mari kita lihat kemampuan bedebah bau berambut kribo satu ini.

“Modyaaaaar!!” Sarno menyergap ke depan.

Tapi Don sudah tidak berada di sana.

“Samping!!” hook Sarno sekilas mengenai ujung baju Don yang bergerak amat cepat untuk menghindar. Si Kribo itu ternyata juga cukup cepat untuk ukuran pria sekekar dia yang biasanya susah lentur terhalang otot.

BKKKK!

Tendangan Don masuk ke belakang lutut Sarno, membuat tubuhnya limbung, namun tak cukup untuk menjatuhkan pria kekar itu. Pukulan Don melayang masuk ke wajah Sarno, namun si kekar sanggup menepisnya.

“Setaaaaaaaaan!!!!”

Sarno mengayun kakinya memutar, tapi tidak mengenai apapun. Bagus! Dia lengah! Don merunduk ke bawah dan dengan satu sentakan keras menyepak kaki Sarno yang menjadi tumpuan satu-satunya.

DGKKKKK!

Sarno terjerembab!

Dengan satu tangan sebagai tumpuan, preman kribo itu kembali bangkit. Butuh lebih dari sekedar sepakan untuk membuatnya takluk! Don Bravo tahu pasti hal itu. Sarno memang sudah bangkit, tapi belum siap sepenuhnya. Si biang cengengesan memanfaatkan kecepatannya untuk mengirim pukulan dan tendangan beruntun sebelum Sarno benar-benar sigap.

BKKK! BKKK! BKK! BKKKK! BKKK! BKKKK! BKKKGHHH!

Dada. Bahu. Kepala. Dada. Kepala. Kepala. Dada!

Sarno terlempar mundur dan kembali jatuh.

“Wasssuuuuuuuuuuuuuu!!” Sarno sudah berdiri kembali. Saat itu pula Don sudah berada selangkah di hadapannya dengan pukulan melaju cepat.

“STOP!!”

Hap!

Don Bravo menghentikan laju pukulannya yang beberapa inchi saja sudah akan menyentuh hidung Sarno. Preman berambut kribo itu merasakan desir angin yang terbawa kepalan Don. Kencang! Kalau saja pukulan itu bersarang di wajahnya, sudah pasti hidungnya muncrat darah. Bajilak! Iki ra maen-maen, Su!

Beruntung Don menghentikan pukulannya. Don hanya terkekeh-kekeh dan mundur dari Sarno.

“Yaaaah, kenapa di-stop, Dab? Lampu masih hijau, kan boleh jalan terus.”

Oppa-lah yang menghentikan pertarungan, si tampan yang selalu berstrategi itu berdiri di depan Don Bravo, dan berhadapan dengan Sarno.

“Saya tidak tahu kalian ada urusan apa datang ke kampus ini, tapi yang jelas bukan urusan dengan kami. Supaya kalian tahu saja kalau kampus ini bukan tempat main-main. Berani macam-macam dan kalian akan berhadapan dengan kami dari DoP. Paham? Kami tidak ingin melakukan tindakan yang lebih jauh lagi. Kalian sebaiknya pergi dari sini.”

Sarno tersenyum, “Nggaya nemen sampeyan. Oke wes, Dab. Aku memang ga ada urusan sama kalian, urusanku sama satu orang saja. Hari ini orangnya ga ada, jadi urusanku belum tuntas.”

Preman itu melirik ke samping dan melihat Remon serta Amon yang masih belum turun ke arena, berhadapan dengan satu orang saja sudah repot, apalagi empat. Lebih baik mundur dulu cari waktu lain. Bangsat! Benci sekali dia harus kabur di hadapan anak-anak kecoak begini. Lain kali harus bawa pasukan!

“Kami akan pergi, tapi lain kali kami akan kembali dan saat itu kami tidak akan peduli siapa yang menghalangi, akan kami tebas.”

Terdengar bunyi motor meraung dan Jardu sudah melarikan motornya dengan cepat, motornya oleng karena pandangan mata Jardu masih kabur gara-gara sepakan kaki Oppa di kepalanya tadi. Sarno naik membonceng di belakang Jardu dengan satu lompatan. Motor itu pun melaju dengan kencang meninggalkan UAL, membawa dua orang preman yang semakin penasaran.

Keempat kapten DoP melihat kepergian Sarno dan Jardu dalam senyap, diam, dan membiarkan kedua preman itu kabur. Apakah itu keputusan yang bijak?

“Tidak dikejar? Bukannya bisa bikin masalah?” Tanya Don, ia masih penasaran. “Mending sekalian dituntaskan.”

Oppa menggeleng, “kita sedang menuju masa perang dingin dengan Sonoz. Kalau kita menambah musuh sekarang, itu sama saja menggorok leher sendiri. Setidaknya kita tahan konfrontasi dengan siapapun sampai tahu pasti siapa mereka dan ngapain sok-sokan di sini. Mereka berdua jelas bukan orang Sonoz.”

“Mereka dari kota.” Kata Remon, “aku pernah melihat mereka di sekitar Pasar Gede. Ga akan pernah lupa muka ala-ala Andiko Kenjen Band dengan rambut pelangi itu.”

Don Bravo tertawa. “Bwahahaha. Pertanyaannya bukan bagaimana kamu bisa hapal muka mereka, Dab. Pertanyaannya ngapain kamu ke Pasar Gede? Beli terasi? Beli celana kolor batik?”

Remon merah padam. Ia maju dan mencengkeram kerah Don. “Satu kata lagi, Don. Satu kata lagi dan kepalamu lepas dari leher. Yang begitu baru mantep tenan.”

Don masih tetap cengengesan. Mana mungkin dia takut dengan ancaman Remon.

Oppa geleng kepala, dua orang ini memang ribut melulu setiap hari. Si tampan pun melangkah balik ke Kandang Walet. “bikin laper aja urusan begini. Ada yang mau P*pmie?”

Amon mendengus dan tersenyum.




BAGIAN 10 SELESAI.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 11
 
Status
Please reply by conversation.

Similar threads

Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd