Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT JALAK

Sekedar iseng nanya. Siapa cewek yang kira-kira paling tepat buat Nanto menurut suhu?

  • Asty. Pokoknya Asty. Ga ada yang laen. Asty, aku padamu.

    Votes: 104 32,1%
  • Hanna. Ni cewek kayaknya potensial. Bisa lah.

    Votes: 76 23,5%
  • Kinan. Udah paling bener sih. Single, adem, available kapan aja.

    Votes: 166 51,2%
  • Nuke. Ada bibit-bibit nih, siapa tau, ye kan.

    Votes: 15 4,6%
  • Ara. Karena CLBK, Cerita Lama Bikin Konak.

    Votes: 10 3,1%
  • Eva. Bad girl are the best. Yang nakal begini kadang gemesin.

    Votes: 8 2,5%
  • Rania. Biar sekalian ancur ceritanya. Huahahahaha.

    Votes: 6 1,9%
  • Dinda. Siap-siap diamuk Amar dan Deka.

    Votes: 4 1,2%
  • Nggak semua. Ada pilihan lain nggak? Cari yang baru lah.

    Votes: 29 9,0%

  • Total voters
    324
  • Poll closed .
Status
Please reply by conversation.
BAGIAN 7
DUA DALAM SATU DUNIA






Persahabatan bukanlah sesuatu yang bisa kau pelajari di sekolah.
Tapi jika kamu belum belajar arti persahabatan,
maka kamu belum belajar apapun.
- Muhammad Ali.




.: BEBERAPA TAHUN YANG LALU :.



“Jadi... balik ke kampung nih?”

“Iya.”

“Ga akan pernah balik ke kota lagi?”

“Ga tahu lah, Ndes. Sepertinya nggak.”

“Yaelah ga asyik banget, Nyuk.”

“Habis gimana lagi.”

Asap mengepul dari mulut terbuka Dani Kuncoro Hadi – biasa dipanggil DK atau Deka. Kepalanya disandarkan ke dinding. Matanya terpejam, menikmati rasa hangat di bibirnya yang meregang gurih sebatang sigaret. Deka membuka mata, menepuk rokoknya dengan santai dengan asbak seluas halaman rumah di samping sekolah.

Di belakang kantin sekolah SMA Cendikia Berbangsa ada tembok yang sangat mudah dipanjat karena tak begitu tinggi dan amat mepet dengan tembok kantin. Setelah memanjat tembok akan sampai di tangga beton melingkar yang sebenarnya milik bangunan di sebelah sekolah yang dihuni oleh pasangan suami istri yang sudah sepuh. Tangga itu menghubungkan lantai satu dan tempat menjemur pakaian di atas. Karena sudah sepuh, pasangan suami istri sepuh di bawah sudah tidak pernah lagi menggunakannya karena menaiki tangga yang memutar cukup melelahkan. Mereka juga sudah lelah memperingatkan anak-anak SMA CB untuk tidak nongkrong di atas. Biar sajalah asal tidak mengusik kehidupan mereka berdua.

Tanpa adanya perlawanan dan seakan dibebaskan, lokasi luas yang harusnya digunakan untuk menjemur pakaian beralih fungsi menjadi tempat nongkrong anak-anak sableng dari SMA CB. Tentu saja tempat itu menjadi tempat pelarian untuk merokok atau main kartu.

Kala itu hanya ada Deka dan Nanto di sana.

“Apa yang akan terjadi pada kita berlima?” tanya Deka lagi sambil mengelus rambutnya yang dipotong model undercut. Deka baru-baru ini saja mencukur rambutnya, biasanya ia tampil dengan model rambut gondrong tengah sisi dikerok. Untung aja wajahnya lumayan, jadi mau potong rambut gimanapun matching. Ia melirik ke arah sang teman.

Si bengal jongkok di atas pagar tembok dengan santainya, menatap ke arah jalanan dan sesekali terkekeh melihat cewek-cewek SMA CB yang sedang jajan di pinggir jalan digodain teman-temannya di bawah sana. Nanto tidak menolehkan kepala, tapi ia menjawab pertanyaan Deka dengan pertanyaan lain.

“Memangnya apa yang akan terjadi pada kita berlima?”

“Ga asyik ga ada kamu, Nyuk.”

“Hahaha. Sejak kapan kamu cengeng begini, Ndes? Jijik aku deket-deket hombreng.”

Wasu.” Deka tertawa. Tapi tak lama. Ia kembali terdiam, menyorongkan lengannya ke atas, menutup matahari dengan jari jemarinya. “Tahu ga, Nyuk? Jika jemari kita hilang satu, kita tidak akan bisa menggenggam tangan dengan sempurna, tak bisa membentuk kepalan.”

“Kenapa tidak diganti saja? Tetap berlima. Tetap membentuk kepalan. Masih banyak orang lain yang bisa menggantikan, toh kelompok kita bukan kelompok yang permanen. Anak kelas atas banyak yang punya kemampuan juga. Koyo opo wae.”

“Ga seru ga ada jempolnya.”

“Ganti jempolnya. Kalian tidak butuh aku untuk meneruskan apa-apa.”

Deka menggeleng. “Tidak ada yang sekuat kamu, Nyuk.”

Nanto menghela napas. “Sebenarnya apa sih yang selama ini kita lakukan ini, Ndes? Mencari siapa yang terkuat? Mencari siapa yang terhebat? Menjadi yang paling di antara sekian? Atau sekedar ingin berbeda? Ingin berontak? Kalau berontak, kita sebenarnya berontak ke siapa? Untuk apa? Kita ini sok tahu tentang semuanya padahal belum tahu apa-apa, Ndes. Belum mengerti apa-apa. Kehidupan kita masih jauh terbentang ke depan dengan segala kemungkinan.”

“Weleh. Sok iyes kamu, Nyuk.”

“Aku sudah kehilangan semuanya, Ndes. Bapak, Ibu, tempat tinggal, barang, harta, motor. Yang dulu aku banggakan, sekarang sudah hilang semuanya.” Suara Nanto terdengar berbeda saat mengucapkan kata demi kata. Lebih lembut dan tenang, tidak lagi berangasan seperti biasanya.

Deka menyadari temannya sudah berubah. Semua orang memang harus berubah, karena di dunia ini tidak ada yang abadi kecuali perubahan, tapi ia tidak pernah menyangka Nanto akan secepat ini mengalaminya. Tragedi dan kenyataan hidup memang bisa mengubah seseorang dengan sangat drastis.

“Aku sudah tidak punya apa-apa lagi. Aku sudah tidak punya orang yang ingin aku bahagiakan, orang yang paling ingin aku tunjukkan bahwa aku bisa membuat mereka bangga. Selama di sini, selama sok jadi jagoan, aku sudah banyak menyakiti orang, banyak bikin tulang patah, luruh darah, tangis tumpah, sumpah serapah. Lupa kalau di rumah ada ibu yang menunggu, menanak nasi, dan menyiapkan sayur.

“Kadang aku berpikir mungkin semuanya ini karma. Jadi ada baiknya aku pulang ke desa, tinggal sama Kakek. Nenangin pikiran, nenangin hati, nerusin apa yang diajarkan Ibu sejak kecil.” Nanto menoleh ke arah Deka dan tersenyum, “terus menerus seperti ini tidak akan membuat orang tua kita bangga, Ndes. Tapi ya ini omongan sekedar saja. Mumpung kamu masih punya orang tua.”

Deka tidak mengatakan apa-apa. Asap rokoknya tebal mengangkasa.

Matanya menatap angkasa biru dengan awan berarak yang bersanding satu sama lain untuk beberapa saat sebelum akhirnya buyar, kadang bertaut dengan awan lain atau malah pergi sendiri dan menghilang. Kemana pergimu, wahai awan? Hanya sekedar ada dan menghilang tanpa sisa?

Wsshhhh!

Eh?

Deka melihat Nanto tiba-tiba saja bergerak dengan cepatnya dan bersembunyi di balik tembok besar yang terhalang. Dari sana ia tidak akan terlihat baik dari tangga depan ataupun tembok panjat. Kenapa lagi munyuk satu ini? Takut sama siap...

“Dekaaaaaa!!” terdengar suara seorang perempuan memanggil.

Oalah. Itu toh masalahnya kenapa tiba-tiba Nanto ngumpet. Deka tertawa tanpa suara. Ia menunjuk ke arah tembok panjat sambil menjulurkan lidah. Nanto menggeleng kepala sembari meletakkan telunjuk di bibirnya.

“Dekaaaaaaa!!”

“Yaaaaa.”

Deka membuang rokoknya. Sambil melangkah tenang dan meletakkan tangan di saku celana, pemuda itu menjulurkan badan di tembok panjat. Karena tubuhnya tinggi, Deka dapat dengan mudah melongok ke bawah. Ia kembali tertawa saat melihat sesosok wajah jelita merengut sambil menatap ke atas.

“Yahuuuuu. Aku di sini, Ra. Kenapa?”

Tiara Maharani menatap ke atas sambil merengut, sambil setengah berteriak gadis manis yang menjadi bintang basket SMA Cendikia Berbangsa itu mengumpat. “Si Monyet di situ ga? Sebel ih, dari tadi dicariin juga. Ngumpet di mana sih tuh anak.”

“Hahaha. Kenapa lagi emang kalian? Pacaran kok main petak umpet gini?”

“Tau tuh! Nyebelin banget! Pokoknya bilangin kalo sampe jam istirahat kelar ga nongol, aku mau minta putus sama dia!!” Ara buru-buru berlari untuk mengejar teman-temannya yang sudah selesai membayar di kantin sekolah.

Deka geleng-geleng sambil terkekeh ringan. “Sudah pergi orangnya.”

Nanto menghela napas dan duduk santai sambil bersandar tembok, masih bersembunyi.

“Belum cerita ke dia?”

“Belum.”

“Kenapa?”

Nanto mengangkat bahu.

“Kasihan si Ara, Nyuk.” Deka berdiri dan menyandarkan lengannya ke tembok sembari menyaksikan anak-anak SMA CB bercanda dan jajan di warung es, mie ayam, dan cilok di luar sekolah. Dari tembok pagar tempat menjemur pakaian ini pemandangan yang terlihat langsung memang jalan di depan rumah yang sekaligus jalan sekolah. “Pacaran itu masalah komitmen. Mau kamu pertahankan hubunganmu atau tidak? Harus tegas. Kalau diteruskan ya kalian komitmen LDR. Kalau tidak, ya persiapkan dari sekarang ngomong ke dia.”

Nanto terdiam.

Terdengar bunyi bel istirahat selesai berbunyi. Deka pun berjalan ke tembok panjat. Ia melirik ke arah Nanto yang masih duduk terdiam.

“Ga turun?”

“Sebat, Ndes.”

Deka merogoh kantong dan melemparkan bungkus rokoknya. “Ambil aja semua. Habis ini mau kemana? Mau ke ruang BK lagi?”

Nanto tidak menjawab.

Deka tersenyum.





.::..::..::..::.





.: KEMBALI KE BEBERAPA BULAN YANG LALU :.



BUGGG!!

Nanto terjatuh untuk keduakalinya setelah pukulan Don kembali bersarang di wajahnya. Panas menyengat dan darah mengucur dari hidung. Kampret! Orang ini ternyata tidak selemah lawan-lawan sebelumnya.

Dengan terengah, Nanto kembali mengambil ancang, sedikit berbeda kali ini. Ia tidak menggunakan kuda-kuda seperti sebelumnya. Tangannya mengepal di depan dan samping, tubuhnya sedikit menunduk. Pandangannya tegak ke depan. Tajam menatap dan bersiap. Don bergerak lagi. Ia menyerang frontal.

Tangan kanan Don berhasil ditepis, tapi tangan kirinya menusuk pinggang. Wajah Nanto mengkerut merasakan pedihnya letupan kepalan yang menyeruak. Tak ada waktu untuk kesakitan! Argh! Masuk satu lagi! Nanto mundur. Sial! Dua masuk! Pertahanan Nanto terbuka lebar. Tangan kanan Don ditarik mundur dan secepat kilat dilontarkan.

BRUAAAAGGGG!!

Sekali lagi Nanto terjatuh, Pukulan dari Don Bravo bersarang di sisi kanan wajahnya.

Hamparan debu terhempas tubuh, tanah terdengar berdebam dan rerumputan luruh tak tentu arah. Terbaring di tanah, si bengal memejamkan mata dan tersenyum. Ah, begini rasanya jika kita tidak lagi di atas angin. Memang akan selalu ada yang ada di atas langit setinggi apapun kau mendaki. Tapi seru juga yang seperti ini.

Si bengal tersengal, terbatuk. Wajahnya rasanya sudah tidak karuan. Memar, bengap, lebam. Tante Susan pasti punya tiga lembar essay tentang bagaimana dia baru datang ke kota ini tapi sudah babak belur gara-gara tawuran dua hari berturut-turut. Essay yang pasti akan dijabarkan saat ketemu Nanto nanti.

Dengan tubuh pegal, si bengal mencoba berdiri. Don masih berdiri berkacak pinggang di depannya sambil terkekeh-kekeh. Kapten DoP itu mundur sejenak dan memberi waktu untuk Nanto. Dia justru suka jika lawannya bangkit, karena itu akan memberikannya pertarungan yang lebih seru. Bosan jika lawannya begitu-begitu saja.

“Woooow, keren banget!! Masih bisa berdiri!! Aku kasih jempoool! Eh nggak.... dua jempooool!! Sampeyan memang yahud, Dab.”

Nanto menekuk kepala ke kanan dan kiri, lalu menggoyangkan dan melenturkan jemarinya sebelum membuat kepalan kembali. “Yang hebat itu kamu.”

“Kita mulai lagi?”

Nanto tersenyum. “Siap.”

Don Bravo kembali mengambil inisiatif serangan.





.::..::..::..::.





Oppa, Amon, Jo, dan Bondan berdiri tidak terlalu jauh untuk menyaksikan pertarungan antara Don dan Nanto. Ketika seorang kapten DoP bertarung, tidak ada anak buahnya satupun yang berani membantu, demi harga diri – kecuali memang didesak atau ditantang. Amon masih terdiam tanpa banyak bicara, ia bersidekap sambil menatap tajam gerakan Nanto. Dari dengus napasnya Oppa tahu kalau Amon sebenarnya juga sangat ingin turun ke arena.

“Meski mudah dilakukan dan terkesan apik, tapi Wing Chun bukan style yang efektif jika digunakan bertarung di panggung street fight, apalagi melawan orang yang menggunakan freestyle, systema, boxing atau wrestling. Karena memiliki banyak kelemahan dan kaku, Nanto sepertinya sangat disiplin dengan style-nya dan sesuai tebakanku amat bergantung pada telegraphic movements. Untungnya Don adalah penganut freestyle, dia punya gaya bertarung yang tidak mudah ditebak.” Kata Oppa sambil menyarungkan tangannya ke saku celana. Ia tersenyum dan menganggukkan kepala ke arah Don. “Si pemakan bengkuang itu yang akan menang.”

“Te-telegrafik mo-...?” Jo menatap Oppa dengan pandangan bertanya-tanya.

Oppa mendengus. “Telegraphic movements. Sesaat sebelum melakukan aksi terutama saat hendak menyerang, bagian tubuh kita akan bergerak secara reflek. Misalnya pada bagian pinggang, dada, dan bahu yang akan tertarik sedikit saat kita mengayun tangan atau kaki. Dengan membaca gerakan telegrafis yang dilakukan tubuh secara reflek itu, seorang lawan dapat memperkirakan gerakan apa yang akan kita lakukan selanjutnya. Sehingga dia dapat merespon lebih cepat daripada kita. Itu yang dilakukan Nanto sehingga seakan-akan dia bisa bergerak lebih cepat dari kalian.”

“Benar begitu, Bang Oppa. Mengamati gerakan seperti itu juga ada di disiplin tinju. Tapi bocah sialan itu memang sangat cepat.” Bondan mengangguk-angguk setuju, ia masih kesal dapat ditundukkan dengan mudah oleh Nanto tadi.

Oppa menatap Bondan dan tersenyum. “Si pemakan bengkuang tidak biasa bertarung dengan style khusus tertentu tapi tahu bagaimana memanfaatkan anggota tubuhnya dengan baik. Petarung dengan gaya bebas seperti dia, bergerak dengan sangat cepat sehingga seakan-akan memiliki non-telegraphic movements. Itu sebabnya Nanto sekarang kerepotan. Jadi Don yang akan...”

Puk.

Sebuah tangan besar menepuk pundak Oppa, pria tampan itu pun menengok ke belakang, ke arah Amon. Si Beruang yang sejak tadi tak membuka mulut itu menunjuk ke depan.

Oppa kembali mengamati pertarungan dan untuk pertama kalinya hari ini, wajah tampannya yang selalu tenang berubah. Dia terbelalak.

Nanto berdiri terengah-engah dengan tangan terkepal, sementara Don terkapar di bawahnya.

“A-Apa yang terjadi?” Oppa ganti bertanya.

Kali ini Jo yang menjelaskan, preman kampus itu juga melihat ke arena dengan takjub. “Tidak ada yang berubah dari sebelumnya, Bang Don menyerang dengan pukulan acaknya dan Nanto membalas dengan gerakan perlindungan diri seperti yang sudah dilakukannya sejak tadi. Ta-tapi kali ini Nanto dapat membalasnya! Entah bagaimana!”

Pandangan mereka kembali ke arena.





.::..::..::..::.





“Haaakkkhhggghh!”

Nanto sudah benar-benar ngap. Napasnya sudah tidak dapat dikendalikan secara sempurna dan keluar masuk dengan liar. Ia harus beristirahat, bisa mati kalau begini caranya. Don bukan lawan yang mudah ditundukkan, dan tidak akan bisa dikalahkan dengan kondisi badan ambyar seperti sekarang. Kenapa juga tadi dia harus meladeni belasan kawanan Jo dan rentetan DoP yang kemudian menyusul. Bisa mati konyol!

Nanto mundur beberapa langkah supaya kalau Don tiba-tiba saja bangkit, ia tidak dapat menyerangnya dengan cepat. Ini juga sebagai balas terima kasih, tadi Don sudah memberinya waktu untuk berdiri, kini gilirannya memberikan kesempatan.

Benar saja. Dengan sekali lompat, Don sudah berdiri tegak di hadapannya! Sang kapten DoP meregangkan badannya. Dalam hidupnya pria unik itu jarang sekali menemukan lawan setanding dan ia selalu serius jika memutuskan untuk bertarung satu lawan satu seperti ini. Hanya ada beberapa orang saja yang sanggup menerima pukulan dari Don dan dapat berdiri tegak apalagi membalas, bahkan memukulnya hingga jatuh. Boleh juga kunyuk satu ini.

“Wuih, mantap tenan, Dab.”

“Gerakanmu cepat, ganas, tanpa aturan, dan tidak mudah ditebak. Tapi freestyle ataupun dengan style, selalu ada celah yang dapat dibaca, karena semua orang punya kebiasaan. Tinggal seberapa lama kemampuan kita dapat membaca gerakan.” Kata Nanto sambil membersihkan darah di wajahnya dengan kerah baju.

“Hahahaha! Mantap suhu! Jadi kamu bilang kalau kamu dapat dengan cepat membaca gerakanku, gitu? Yakin?”

“Tidak. Aku tidak bisa membaca apa-apa. Aku cuma sudah terlalu terbiasa bertarung dan sudah pernah berhadapan dengan orang-orang yang punya bermacam gerakan.”

“Ya sudah. Coba baca yang iniiiihhh!!!”

Don bergerak maju dengan lebih cepat, tiga pukulan beruntun dilontarkan.

Wssh! Wsshh Wsshhh!

Don tertegun. Badalah, tidak ada yang masuk?! Goyangan tubuh Nanto ke kanan dan ke kiri mengamankannya dari serangan Don, mirip seperti gerakan seorang petinju yang mengelak dari serangan lawan dengan hanya menggerakkan bagian atas tubuhnya. Sialnya, kegagalan pukulan Don membuatnya kehilangan momentum. Ini harus cepat-cepat diselesaikan!

Sambung dengan pukulan andalan!! Hiaaahhhh!

Pukulan tangan kanan Kapten DoP itu keras melaju namun tidak terhubung, mengalir namun tidak mengenai sasaran. Serangannya justru dialihkan turun dengan hantaman punggung bawah kepalan tangan Nanto di pergelangan tangan Don. Meski gagal namun tangannya terus menghunjam ke depan. Tubuh Nanto juga bergerak beralih ke sisi luar lengan Don, menghindar. Si bengal mencengkeram pergelangan tangan Don yang tadi didorong dengan menggunakan tangan kiri, lalu menyalurkan tangan kanan yang sejak tadi terkepal dengan kecepatan tinggi ke arah wajah.

BGGGKK!

Masuk!!!

Don oleng. Tangan pria unik itu masih ditahan Nanto yang terus menekan lengannya turun dengan tangan kiri. Kapten DoP itupun terhenyak saat sadar kalau kaki Nanto dengan bebasnya menyeruak masuk dan menyapu kakinya yang goyah.

BGGKK!

Don terjerembab dengan wajah menghentak tanah.

Tapi tidak lama, si pemakan bengkuang bangkit dengan satu salto lompatan ke belakang dan langsung melontarkan diri menyergap Nanto. Kapten DoP itu meraung, bergerak maju seperti hendak menerkam si bengal bak serigala kelaparan.

Nanto justru maju menantang sembari beringsut menjauh dari target kepalan tangan Don, masuk ke area tengah badan Don dan menghentakkan kepalan tangannya tiga kali ke dada sang lawan.

BGG! BGGG! BGGG!!

Don kembali oleng. Sang kapten DoP bukannya tidak bisa melawan balik. Dengan tubuh hampir terjatuh, satu kepalan tangan kiri yang tersimpan meluncur deras ke rahang Nanto.

BGGGHHH!!!

Kedua petarung itu sama-sama terlontar dan jatuh terguling.

Anggota DoP semua terhenyak. O-orang ini... mampu saling baku hantam dengan Kapten Don? Yang benar saja!

Dua tubuh tergeletak di arena, satu di kanan, satu di kiri. Masing-masing dengan tubuh meregang, mencoba mengalihkan rasa sakit yang terasa di seluruh badan. Nanto yang pertama kali bangkit dengan tubuh goyah sementara Don justru tertawa terbahak sambil memegang kepala. Orang yang benar-benar aneh.

“Hahahahaha! Rame! Rame! Aku suka kalau begini!” Don tergelak.

Nanto membuang ludah, setengah berteriak si Bengal itu menantang. “Ayo bangun, Don!! Masih kurang kalau cuma segitu aja!! Sekalian kalian berdua!! Capek aku ngeladenin satu-satu!!! Maju semua bareng sekaliaan!!”

Amon mendengus. Tanpa komando, ia dan Oppa maju bersamaan.

Nanto tersenyum. Bagus. Sekarang barulah ia bisa mengeluarkan semua kekuatannya tanpa perlu ditahan. Dua tangannya terkepal, ia bersiap.





.::..::..::..::.





Put your hand in mine,
You know that I want to be with you all the time.
You know that I won’t stop until I make you mine
.”

Deka berjalan dengan santai sembari menyenandungkan lagu Make You Mine-nya Public versi akustik yang baru-baru ini ia tonton di Youtube. Bibirnya monyong-monyong ke depan dan di telinganya suaranya sudah bertaraf Indonesian Idol. Mirip-mirip lah sama seleb Youtube. Merdu? Boro-boro. Kodok aja pingsan dengerinnya.

Ah, Yusup. Media sosial yang satu itu memang candu, membuat mabuk dan lupa waktu. Berapa jam sudah dihabiskan Deka di depan laptop atau memegang ponsel hanya demi menonton Youtube? Buang-buang waktu tapi demen, nyari apaan tau tapi selalu aja ketemu. Istilah waktu adalah uang memang bener, karena semakin lama nonton semakin tersedot pulsa. Beli pulsa juga pake duit kan, Mang?

Gatal sekali tangan Deka untuk membuka ponselnya dan nonton Yusup, apalagi kalau sedang nungguin ceweknya ngurus administrasi di bagian keuangan kampus. Antrinya ngalah-ngalahin tukang cilok manis yang viral. Nunggu di mana ya? Males di kantin kampus, terlalu hiruk pikuk kayak kebun binatang nyebarin tiket promo. Ke depan kampus aja ah. Ada Indom@ret di sana. Bisa nongki-nongki, minum kopi, makan roti, sambil ongkang-ongkang kaki.

Lewat jalan belakang lapangan aja ah. Lebih cepat sampai ke depan. Kaki Deka melangkah semakin cepat seiring perutnya mengidamkan roti hangat yang biasanya dipajang di etalase Indom@ret. Kalau ga ada ya beli donat.

Roti atau donat. Donat atau roti. Nyam nyam.

Eh ada apaan tuh?

Kampret, mana ada yang lagi gebuk-gebukan pula. Jangan lewat sini ah. Cari perkara! Siapa sih yang sedang berantem ga jelas? Anak-anak DoP lagi? Alay. Kayak ga ada kerjaan bener nih orang-orang DoP.

Mata Deka memindai wajah-wajah yang nampak tegang di tanah kosong samping lapangan. Ia sengaja tidak terlalu ke tengah karena pasti akan menjadi perhatian. Beberapa orang yang lewat di situ juga pura-pura tidak melihat. Kalau ada yang nongkrongin, langsung disambar anak DoP disuruh minggat.

Tapi Deka penasaran, tidak tahu kenapa perasaan penasaran itu membuncah dengan sangat. Ada rasa yang tak biasa, ada penasaran yang bertubi. Sepenasaran kalau nembak cewek ditolak melulu. Oke, oke. Lirik dikit aja. Siapa sih yang berantem?

Bazeeeeeeng!! Itu kan Nanto!!!

Mulut Deka terbuka lebar dan matanya terbelalak. Apa-apaan si Nanto? Sejak kapan monyet itu ada di sini? Bukannya dia pulang kampung!? Wah gawat, dia cari perkara dengan anak DoP? Siapa lawan Nanto? Bangsat! Bukannya itu Kapten-Kapten DoP yang dia hadapi!?

Bajilaaaaaaak!! Nyuuuuk!!

Deka berlari sekuat tenaga menuju tempat Nanto bertarung. Si ****** itu!! Emang dia kuliah di UAL juga? Jinguk! Ga ngabar-ngabarin! Cepaaat!! Haruuuus cepaaaaattt!!!!

Deka masuk ke arena tanpa peduli lagi siapa yang ada di situ. Bahkan jika pimpinan DoP sekalipun ada di arena, Deka tetap akan melakukan ini!

Deka buru-buru menghadang serangan yang akan dilakukan oleh Don, Oppa dan Amon bersamaan. Berdiri di hadapan Nanto, tangan Deka terbentang, napasnya terengah karena baru saja berlari sekuat tenaga. Keringatnya bercucuran, ia menatap satu persatu lawan Nanto. Siapa nih... siapa nih yang bisa diajak bicara?

Ia menoleh pada Don.

“Bang Don! Jangan Bang! Ini teman saya! Mungkin bisa diberi keringanan. Lepaskan dia, Bang. Kami minta maaf kalau ada salah.” Deka menutup jalur antara ketiga kapten DoP dan Nanto yang masih berdiri dengan oleng. “Saya jamin pertarungan ini atau apapun alasannya bisa dimaafkan dan dimaklumi. Dia tidak akan menceritakan apapun yang terjadi hari ini ke sekretariat Kampus atau ke luar sana, Bang. Saya jamin! Dia bukan orang semacam itu!”

Don terkekeh-kekeh. “Hahaha, kamu siapa? Itu temanmu, Dab?”

“Iya Bang. Ini teman saya. Dia satu sekolah dengan saya di SMA. Bisa diberikan keringanan, Bang?”

Oppa maju perlahan. “Dia sudah menghina dan menjatuhkan reputasi DoP dengan memukuli anggota DoP. Tidak ada yang boleh lolos setelah melakukan itu.”

“Bang Oppa! Ayolah, kita kenal satu sama lain. Saya memang bukan anggota DoP tapi saya tahu apa yang bisa dilakukan dan tidak bisa dilakukan di UAL. Teman saya ini masih baru, saya yakin dia belum tahu apa-apa mengenai DoP. Saya mohon, dengan saya sebagai jaminan.”

Terdengar dengusan kencang yang hampir mirip suara rem truk yang berhembus. Oppa melirik ke belakang dan melihat Amon sudah melangkah pergi meninggalkan arena tanpa mengatakan apapun. Oppa tersenyum, Amon pasti sudah tahu reputasi Nanto justru akan makin melonjak jika tersiar berita kapten-kapten DoP harus maju bersamaan untuk dapat menundukkannya. Tidak. Pertarungan ini harus berhenti sekarang. Kalau hasilnya seri, hanya nama Don Bravo yang rusak karena ditahan imbang oleh mahasiswa baru, bukan keseluruhan DoP.

“Bah! Si beruang pergi! Ga seru ah kalau dia ga nonton!” Don bersungut-sungut.

“Aku mau makan siang, Don. Bengkuangmu di atas juga belum dihabisin.”

“Eh iya! Duh jangan sampai keduluan tikus.” Don Bravo meregangkan badan dengan santai dan berbalik seperti tidak terjadi apa-apa. Ia melambaikan tangan pada Nanto dan Deka dengan senyum mengembang, “Udaaah dulu ya, gaes. Keren lah kalian. Kita bertemu lagi kapan-kapan.”

Kapten DoP berwatak unik itu mengambil bokken-nya dan berlari mengejar Amon.

Oppa juga membalikkan badan dan melangkah pergi dengan santai. Ia memasukkan tangan ke kantong celana. Kepala pria tampan itu melirik ke arah Deka dengan pandangan tajam, “sekali ini saja, Deka, kami akan melepaskannya. Lain kali kami tidak akan segan. Jaga mulut dan kelakuan temanmu baik-baik.”

Bersamaan dengan kepergian Oppa, rombongan DoP juga meninggalkan tempat itu, termasuk Jo dan Bondan yang masih memandang Nanto dengan wajah sengit. Sepertinya ini bukan terakhir kalinya mereka akan bertemu.

Setelah semuanya pergi, Nanto akhirnya luruh ke tanah.

Nyuk!” Deka segera menghampiri Nanto yang ambruk dengan lemas. “Nyuk! Ga apa-apa kan?”

“Pfft. Yang begini sih enteng, aku wes biasa. Tapi... ya wes... anterin ke klinik bentar yuk... heheh...” Nanto berdiri sambil menekuk lehernya ke kanan dan ke kiri, badannya memar di sana-sini. “Piye kabarmu, Ndes? Gimana kabar?”

Deka tersenyum dan geleng-geleng kepala.

“Tobat, tobat. Aku ga nyangka sama sekali kamu ketemu kamu di sini, Nyuk. Ngapain di sini? Nerusin di UAL? Asem ik! Ga bilang-bilang lagi udah balik ke kota.”

“Ha sama, Ndes. Aku pikir kamu juga nggak kuliah di sini. Kalau tahu aku milih kampus lain.”

Wasu.”

Berjalan beriringan, mereka berdua menuju ke tempat parkir. Kadang tertawa terbahak, kadang memukul pundak. Menceritakan keseruan yang telah lalu, menertawakan kekonyolan terdahulu. Berjalan bersama, seperti beberapa tahun yang lalu. Yang satu berbalut lebam, yang satu menertawakan.

Mengait kembali tali pengikat yang dinamakan persahabatan.





.::..::..::..::.





“Siapa sih yang tadi itu?”

Oppa mengaduk P*pmie yang baru saja ia beli dari Warung Bang Kribo di depan Kandang Walet. “Yang mana? Yang mahasiswa baru? Si Janda Galak?”

Jinguk. Bukan, Dab.” Don tertawa, “yang dateng terakhir tadi. Kayaknya kamu kenal.”

“Oh kalau yang itu...”

“Namanya Deka - Dani Kuncoro Hadi.”

Don dan Oppa menatap tak percaya ke arah Amon, bukan karena keterangan yang baru saja diberikan, tapi lebih ke takjub karena si raksasa ternyata bisa juga ngomong normal. Tumben amat nih Shrek KW mau bicara.

“Dani Kun-... halah, tetep ra kenal.” Don mengangkat bahu dan duduk kembali di kursi yang ada di lantai dua Kandang Walet. “Tetap asing namanya buat aku. Mungkin memang aku kurang gaul. Kurang adoh dolane, kurang jauh mainnya. Memang kalian kenal?”

“Dengan dia mungkin tidak kenal, tapi aku siapa kakaknya.” Lanjut Oppa sambil sesekali menyeruput makanannya. “Nama kakaknya Amar Hadi. Kamu mungkin lebih kenal dengan nama sebutannya: Amar Barok.”

Saat itulah Don baru terkejut. “Barok!? Dia adiknya Barok?”

Si tampan berkacamata mengangguk. “Barok, petinggi Dinasti Baru.”

Bajilaaaak!

Di kota, ada beberapa geng besar yang disegani, sampai-sampai kelompok preman kampus seperti DoP pun harus hormat. Salah satu dari geng besar tersebut adalah Dinasti Baru. Namanya memang keren, tapi nama itu sebenarnya datang dari asal muasal yang sederhana. Dinasti Baru adalah nama toko tas di Jalan Simpang. Dulunya bernama Toko Tas Dinasti, setelah direnovasi karena kebakaran jadi Toko Tas Dinasti Baru.

Di balik toko tas Dinasti Baru terdapat kios penjual miras oplosan legendaris tanpa nama yang sering menjadi tempat nongkrong anak-anak Jalan Simpang. Awalnya hanya jual merk-merek kemasan, ciu, arak, tuak, dan paling banter lapen. Lama-lama berkembang dengan aneka rasa versi KW mulai dari JD, Kahlua, Midori, dan berbagai campuran rasa lain.

Kumpulan anak muda yang sering kongkow di warung oplosan tanpa nama tersebut pun lebih dikenal dengan nama geng Dinasti Baru. Salah satu nama yang cukup disegani oleh generasi terkini Dinasti Baru adalah Amar Barok. Legend lah.

Don terkekeh-kekeh. “Tahun-tahun belakangan ini UAL punya banyak mahasiswa yang menarik.”

“Sepertinya bakal rame. Si Jo anak buah Remon itu perlu diperingatkan supaya tidak macam-macam. Dia tidak tahu kalau cari masalah bisa berbuntut panjang.” Oppa menyeruput kuah mie-nya. Ia melirik ke arah Amon yang menatapnya dengan pandangan aneh tanpa kedip. Ngapain lagi Godzilla satu ini? “Mau ngicip?”

Oppa mengangkat cup mie dan memberikannya pada Amon. Amon mengangguk dan berlalu membawa P*pmie milik Oppa yang masih utuh. Si beruang berjalan begitu saja menuju tangga, tanpa berbalik, tanpa menengok, tanpa kata.

Oppa bengong. “Bangsat. Kok dibawa!?”

Don terbahak-bahak.





.::..::..::..::.





“Bangsaaaaat!!! Jingan!!”

Jo menendang bak sampah plastik besar dengan kesal hingga berbagai kotoran pun bertebaran. Pemuda itu masih kesal karena rencananya berantakan. Bukan hanya itu, ia terancam mendapat teguran dari Remon – kaptennya. Sudah jatuh tertimpa tangga.

“Sudahlah, Bro. Tenangno pikirmu.”

Bondan yang duduk bersandar di tembok kantin menyeruput es teh yang rasanya begitu segar usai mengingatkan Jo. Badannya masih terasa pegal dan sakit usai pertarungan tadi. Dia tidak menyangka sama sekali Nanto ternyata mampu menundukkan mereka meski dikeroyok. Di samping Bondan, teman-teman Jo yang badannya bengap dan sakit mengeluh hampir bersamaan.

“Siapa sebenarnya orang itu? Kuat juga si kampret.” Tanya Bondan.

“Sejak dulu dia dan kelompoknya memang sudah sering bikin masalah, tapi aku sama sekali tidak mengira dia sekarang jadi lebih kuat lagi. Dia yang bikin luka di jidat ini terlihat perih setiap hari. Bukan karena sakitnya, tapi karena setiap kali bercermin aku melihat diri sendiri seperti dihina. Aku tidak akan berhenti sampai dia juga punya luka yang sama.”

“Sudahlah, Jo. Bukannya tadi dia sudah bilang semua sudah impas? Kamu tadi juga sudah memukul dia bertubi-tubi tanpa dia melawan. Tidak ada gunanya dendam.”

Cuh!

Jo membuang ludah. “Aku tidak akan berhenti! Aku akan...”

“Kamu tidak akan melakukan apa-apa lagi.”

Suara itu!

Jo hampir meloncat karena kaget. Ia buru-buru membalikkan badan dengan takut. Sesosok laki-laki berdiri di hadapannya dengan kacamata hitam dan jaket bomber. Rambut orang ini disisir kelimis ke belakang, kumis tipis rapi melintang, dan di mulutnya terselip sebatang tusuk gigi.

Orang itu adalah sang kapten, Remon Narendra.





.::..::..::..::.






Tiara Maharani berulangkali memencet ponselnya dengan gemas. Permainan yang ia unduh memang seru tapi menggemaskan, game bertipe never-ending run. Ia harus memencet layar smartphone-nya dengan presisi supaya karakternya bisa bergeser ke kanan, kiri, berguling, atau melompat. Sayangnya Ara bukanlah pemain game bersertifikat, baru beberapa saat karakternya berlari sudah kecebur masuk jurang atau menabrak tembok.

Kok kalah melulu sih!?

Ara menguap. Ah, bosan. Gadis manis itu melirik ke kiri kanan. Semua orang di tempat ini sepertinya sibuk dengan urusan masing-masing. Mereka semua memegang ponsel, sibuk bercakap-cakap, bermain game, atau berkelana di media sosial. Mereka semua juga memegang secarik kertas bertuliskan nomor yang tadi dicetak oleh mesin, dan sesekali menatap layar monitor di atas ruangan yang beberapa saat sekali mengganti tayangan nomor antrian.

Ara melirik sekali lagi ke nomor yang ada di kertasnya, lalu melirik monitor.

Heleh. Masih dua puluhan lagi.

Bosaaaaan~

Ding!

Eh ada WhatsApp! Dari siapa? Ternyata dari pacarnya. Uwuuu. Ara membuka pesan singkat itu.

Sayang, aku pergi sebentar. Tadi aku ketemu Nanto di dekat lapangan, berantem sama anak-anak DoP. Ini aku anterin ke klinik. Sebentar tidak apa-apa ya. Kalau sudah selesai nanti aku jemput. Atau mau naik ojek online aja?

Mata Ara menatap layar smartphone-nya tanpa berkedip. Sungguh ia sangat terkejut.

Nanto?





BAGIAN 7 SELESAI
BERSAMBUNG KE BAGIAN 8
 
masa lalu terkuak ,jadi sedikit terjawab arah cerita ini dan berhubungan kembali dengan masa sekarang :)

.....

nah loh, pacar Nanto dulu ,sekarang malah pacaran sama sahabatnya :eek:
apakah ada clbk, atau malah jadi konflik, terutama pihak Ara, yang kayaknya masih cinta Nanto :sayang:
 
Status
Please reply by conversation.

Similar threads

Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd