Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT JALAK

Sekedar iseng nanya. Siapa cewek yang kira-kira paling tepat buat Nanto menurut suhu?

  • Asty. Pokoknya Asty. Ga ada yang laen. Asty, aku padamu.

    Votes: 104 32,1%
  • Hanna. Ni cewek kayaknya potensial. Bisa lah.

    Votes: 76 23,5%
  • Kinan. Udah paling bener sih. Single, adem, available kapan aja.

    Votes: 166 51,2%
  • Nuke. Ada bibit-bibit nih, siapa tau, ye kan.

    Votes: 15 4,6%
  • Ara. Karena CLBK, Cerita Lama Bikin Konak.

    Votes: 10 3,1%
  • Eva. Bad girl are the best. Yang nakal begini kadang gemesin.

    Votes: 8 2,5%
  • Rania. Biar sekalian ancur ceritanya. Huahahahaha.

    Votes: 6 1,9%
  • Dinda. Siap-siap diamuk Amar dan Deka.

    Votes: 4 1,2%
  • Nggak semua. Ada pilihan lain nggak? Cari yang baru lah.

    Votes: 29 9,0%

  • Total voters
    324
  • Poll closed .
Status
Please reply by conversation.
BAGIAN 28
MUNGKIN NANTI




Selamat malam bintang, selamat malam udara. Selamat malam suara di manapun berada.
- Margaret Wise Brown





Om Kimpling mendengus dan menatap Nanto dengan pandangan mata tajamnya. “Selamat datang di kawasan Dinasti Baru. Kami dari unit tempur Slayer Biru. Malam ini kita pesta.”

Si bengal menatap geram ke arah Om Kimpling. Dia tidak pernah mau dan tidak pernah ingin merecoki urusan Dinasti Baru. Tetapi malam ini sepertinya segalanya akan berubah. Si bengal mengamati satu persatu lawan yang juga sudah bersiaga dan siap beradu kepalan dengannya. Beberapa di antara mereka bahkan membawa senjata. Bukan pertanda yang bagus.

Satu sisi cecunguk Dinasti Baru yang beringas, sisi lain Kinan.

Si bengal berpikir keras.

Tidak bisa, ia tidak bisa melakukannya. Nanto tidak bisa menghadapi lawan sebanyak ini dan masih harus melindungi Kinan. Dia harus mencari cara lain untuk menyelamatkan sang dara jelita. Kepalanya berputar, ke kanan, ke kiri, ke kanan lagi, ke kiri lagi. Ia mencari celah, mencari jalan, untuk memastikan keselamatan Kinan.

Satu-satunya yang ia lihat adalah motornya sendiri.

Ah iya. Masih ada cara itu.

Nanto memundurkan badan, merentangkan tangan, memastikan semua aman, demi melindungi Kinan. Ia berbisik pelan. “Bisa naik motor?”

“Bisa Mas.” Pertanyaan Nanto membuat Kinan merasa takut.

Nanto mengeluarkan kunci dari kantong celana dan menarik tangan Kinan. Si bengal meletakkan kunci itu di tangan sang dara. “Pakai motorku dan pulang ke rumah sekarang. Tidak usah menoleh ke belakang, tidak perlu khawatir dengan apapun yang terjadi di sini. Aku akan menghubungimu besok pagi.”

“Hah!? Terus Mas Nanto gimana?! Nggak ah! Aku nggak mau! ”

Welah. Aku tidak akan apa-apa.”

“Nggak mau ah! Aku ga mau Mas Nanto...”

“Kinan...” Nanto menatap gadis itu dengan pandangan mata sejuk yang menenangkan, semampu yang bisa ia lakukan dalam kondisi semendesak ini. “Aku ulangi sekali lagi ya, aku tidak akan apa-apa. Percaya sama aku. Kepalaku keras kayak panci kok.”

“Mas...” Kinan merengek khawatir, tangannya tak lepas dari lengan jaket si bengal sembari berusaha mengembalikan kunci motor.

“Aku berani bilang aku tidak akan kenapa-kenapa, karena aku yakin dengan kemampuanku. Tapi ada syaratnya, aku tidak bisa melawan mereka dan melindungi kamu sekaligus. Asalkan kamu segera pergi dari sini, aku akan merasa lebih lega dan rileks karena tahu kamu akan baik-baik saja. Aku tidak bisa menghadapi mereka sementara kamu berada di sini.”

“Masss...”

“Kinan.” Nanto menatapnya tegas, meski ucapannya lembut, “sekali ini saja. ikuti apa mauku, ya? besok aku datang menemuimu dengan sehat, sejahtera, aman, dan sentosa.”

Melihat Nanto bersikeras, Kinan akhirnya luluh. Ia mengangguk. “Baiklah. Tapi segera kabarin aku kalau ada apa-apa. Jangan sampai Mas Nanto kenapa-kenapa pokoknya! Aku ga mau tahu! Harus janji!”

“Siap.” Nanto menatap Kinan teramat lekat.

“Jangan siap-siap! Janji!”

“Iya, aku janji.” Nanto mengusap bagian atas kerudung gadis itu dengan lembut, mengusapnya.

Kinan pun mengangguk sambil meremas erat jemari tangan laki-laki yang lambat laun mulai meraja di hatinya. Nanto merenggangkan tangan dan menatap ke depan, mencoba menghalangi akses siapapun yang hendak maju untuk menyerang. Gadis itu bersiap.

“Sekarang.”

Kinan berlari ke arah motor dengan air mata menetes. Tidak, biar bagaimana pun dia tidak ikhlas meninggalkan Nanto menghadapi begundal-begundal yang begitu banyak. Tapi situasi ini di luar kemampuannya, bisa-bisa dia hanya akan merepotkan Mas Nanto saja nantinya. Serba salah memang. Bertahan merepotkan, tapi pergi pun sakit hati.

Semoga semuanya baik-baik saja.

Kinan naik ke motor, memasukkan kunci dan mulai menyalakannya.

Beberapa orang anggota slayer biru mencoba bergerak ke arah Kinan, tapi Om Kimpling memalangkan tangannya untuk menghalangi mereka.

“Biarkan saja gadis itu pergi. Aku lebih penasaran sama orang ini, dia baru saja membuat dua kawan kita tepar.” ucap sang pimpinan unit itu pada anak-anak buahnya. Ia menunjuk-nunjuk ke arah Nanto. “Balaskan dendam kawan-kawan kita. Habisi dia.”

“Hryaaaaaaaaa!!!”

Teriakan perang didendangkan.





.::..::..::..::.





Hageng berjalan ringan menuju tempat kost-nya. Di tangannya sudah terbawa satu tas kresek jajanan dan cemilan yang dibeli dari Indom@ret. Tiada malam tanpa menghabiskan cheese balls dan keripik kentang barbeque pedas. Yang gurih yang manis yang bikin malam serasa ramai meski di kamar hanya tercenung sepi menatap poster Sex and Zen.

Bersiul-siul senang, Hageng mencoba menyeberangi jalan. Saat itulah dia melihat di ujung jalan sebuah mobil terparkir dengan pintu terbuka dan seorang cewek sedang duduk kebingungan sembari berulang-ulang menatap layar ponsel dan mengamati kanan kiri. Terlihat cewek itu pasti sedang gelisah karena jalanan sangat sepi dan dia seorang diri. Apakah mobilnya sedang mogok? Atau gimana?

Malam sudah larut, bahkan sudah berganti hari. Tidak baik rasanya membiarkan gadis seperti itu kesusahan. Apalagi mobilnya bagus dan ceweknya cantik. Bukankah yang seperti itu sudah seharusnya ditolong? Kita harus berbaik hati pada sesama – tidak boleh memilih-milih siapa yang hendak ditolong. Ye kan?

Hageng buru-buru menghampiri si cewek yang nampaknya sedang kebingungan.

Wah ini cewek... sudah mobilnya bagus, dandanannya hot abis, cantiknya ga ada obat, wanginya juga semerbak sampai sepanjang jalan kenangan. Roknya ketat hingga sedikit di atas lutut, pakaiannya juga menampakkan liku tubuhnya yang bak sirkuit Monaco. Ngapain cewek secakep ini ada di pinggir jalan? Harusnya disimpan di kulkas biar tambah awet. Hageng berjalan berjingkat dengan raut muka bahagia seperti layaknya Donal Bebek ketemu Desi.

“Zepertinya Mbak-nya zedang kezuzahan. Apa ada yang biza zaya bantu?” tanya Hageng dengan sesopan mungkin. Dia tidak mau memberikan efek negatif saat pertama kali berjumpa dengan cewek seindah ini.

Hageng benar-benar terpukau. Ini cewek ternyata cantiknya gila kalau dari jarak dekat! Wuh! Yang begini ini kalau ada olimpiade kecantikan kalau ga dapet emas ya perak lah. Yang beginian kalau di Korea Selatan udah pasti disuruh maen K-Drama atau masuk girlband. Nyamuk aja kepleset kalau mendarat di kulitnya yang putih mulus glowing ditambah rambut panjang yang sedikit dicat warna kecoklatan menampakkan wajah yang hanya bisa kita temui di katalog lingerie di instagram.

“Mobilnya mogok kah?” tanya Hageng lagi.

Gadis itu menatap takut-takut ke arah Hageng. Siapa juga yang tidak takut melihat dinosaurus kribo yang tidak bisa mengucapkan huruf ‘s’ tahu-tahu menghampirinya sambil bertanya sok akrab sok dekat? Jiper juga kan? Bukannya dinosaurus sudah punah ya?

Senyum tulus Hageng membuat pertahanan cewek itu sedikit lunak meski masih menjaga jarak.

“I-iya. Bensinnya habis, eh... ehmm... saya menunggu suami.” Gadis itu mencoba mencari cara supaya selamat dari serangan makhluk purbakala di hadapannya, jadi dia bilang saja sedang menunggu suaminya... tapi boong. Dia belum menikah. Sebenarnya dia sedang menunggu montir yang biasa ia panggil untuk membenahi mobilnya di saat-saat mendesak, yang jelas mobil ini mogok bukan karena bensinnya. Tapi tidak perlu sedetail itu kan ke orang asing?

“Benzinnya habiz? Kok biza?” Hageng mencoba tersenyum.

Pernah lihat T-Rex senyum? Senyuman seekor T-Rex itu susah dibedakan antara sedang berusaha ramah atau senang karena bertemu mangsa. Yang ada bikin orang yang diajak senyum gemeteran. “Biazakan mengizi benzin zelalu penuh, Mbak. Jadi zelalu cek indikator, maza iya zih, cewek zekeren Mbak-nya biza kehabizan benzin. Ah ha haha ah ha ha.”

Anjir, ketawanya Hageng maksa banget.

“I-iya.” Cewek itu pun mulai merasa sangsi dengan kehadiran Hageng. Perlahan-lahan ia beringsut ke dalam mobil, menutup pintu meski masih menyisakan sedikit terbuka supaya tidak benar-benar tertutup di dalam. “Silahkan dilanjut perjalanannya, Mas. Saya baik-baik saja...”

“Tenang... zaya orang baik-baik kok, Mbak. Zaya zuka menolong, gemar berkebun, rajin menabung, dan hormat orang tua dan guru. Zewaktu zekolah nilai PKN zaya tidak pernah C dan zaya jarang memboloz kecuali kalau Mama zaya mengunci pintu kamar mandi karena zaya kelamaan nongkrong. Ah ha haha ah ha ha.”

Kampret, ketawanya bikin keder.

Cewek itu pun justru makin ketakutan dan meringkuk di kursi mobilnya. Ia benar-benar mengunci pintu dengan gerakan yang dibuat sesopan mungkin supaya Hageng tidak curiga. Kaca jendela yang tidak rapat dan masih separuh terbuka membuat cewek itu makin gelisah.

“Di dekat zini bengkel zudah tutup zih, Mbak. Ada bengkel yang agak jauh biazanya buka zampai malam, zaya zih ga yakin mereka mazih buka zampai jam zegini, tapi ziapa tahu biza diketuk rolling door-nya. Tapi kalau mbak-nya butuh orang buat dorong mobil ke zana, hubungi zaya zaja. Zaya ahli dorong mobil. Berzertifikat rezmi dari APMZR. Azoziazi Pendorong Mobil Zantun dan Religiuz. Ah ha haha ah ha ha.”

Cewek itu mencoba menahan tawa. Setelah beberapa saat, ia membuka kunci pintu mobilnya dan membukanya agak sedikit lebih lebar. Hageng masih berdiri di sana dengan tatapan mata innocent-nya. Cewek itu pun perlahan-lahan mulai luluh. Kok kayaknya yang ini jinak ya? Mas-mas kribo ini mengingatkannya pada anjing pudelnya yang dulu hilang. Matanya bukan mata orang iseng, matanya jujur. Si cewek hapal betul pandangan mata yang jujur dan yang tidak.

Bagaimana kalau dicoba saja?

“Mas... tinggal di dekat sini?”

Gadis itu pun keluar dari dalam mobilnya dengan berusaha merapikan pakaiannya agar tidak mengundang yang iya-iya dari Hageng, ia masih tetap berusaha berhati-hati. Cewek ini ternyata cukup tinggi juga, apakah dia seorang fotomodel? Atau mungkin tukang las? Tukang sayur, atau tukang gas? Bukanlah, enak aja. Kalau Hageng melihat pakaian yang dikenakannya, cewek ini memakai pakaian yang selayaknya karyawan kantor atau bank swasta, bajunya yang merah ketat juga mengingatkan Hageng pada seragam mbak-mbak pramugari sebuah maskapai. Kalau pekerja kantoran atau bank, ngapain berada di tengah jalan begini malam-malam?

Hageng mengangguk. “Zaya koz di zana. Ini beli jajanan buat bekal begadang, Mbak-nya mau? Ah ha haha ah ha ha.”

Setan, masih serem aja ketawanya.

“Saya sedang buru-buru pergi ke suatu tempat dan sudah sangat terlambat karena mobil ini mogok. Mas ngerti tentang cara mengatasi mobil mogok? Saya bayar mahal, Mas – kalau mas-nya bisa benerin. Saya sudah mencoba memanggil asisten saya yang biasanya servis mobil tapi belum datang-datang, mungkin karena sudah terlalu malam.”

Hageng menggeleng. “Maaf zaya tidak biza benerin mobil mogok.”

“Oh kirain tadi mau nolongin karena tahu tentang mobil.”

“Tidak. Zaya bizanya bikin puizi.”

“Pu... puisi!?”

“Iya. Puizi.”

“Nga-nganu... mon maap nih, Mas. Tapi kenapa puisi? Buat apa puisi ya? Membantu saya dimananya kalau situasinya yang mogok mobil saya?”

“Zupaya Mbak-nya tidak zedih mobilnya mogok.”

Plak. Si mbak menangkupkan telapak tangan di jidatnya.

“Boleh dicoba. Ziapa tahu menghibur.” Hageng tak menyerah.

Cewek jelita itu menghela napas panjang, ia menggulirkan mata ke atas. Lalu mengangguk pasrah. Siapa tahu memang beneran menghibur. Siapa tahu memang beneran penerus Rendra. Siapa tahu dia menemukan hidden talent yang bisa masuk Indonesia’s Got Talent atau paling tidak Laptop Si Unyil. “Ya sudah. Mungkin bisa membunuh waktu.”

Mimpi apa gadis itu malam-malam ketemu seniman busuk begini di tengah jalan?

“Ehem.” Hageng tersenyum dan mulai mengatur suaranya. Ia meletakkan tas kreseknya di bawah. Lalu berusaha tegap dengan dada membusung. Tangan saling mengapit di depan dada, matanya dipejamkan, ia merasakan semilir angin malam mendera rambutnya yang berkibar.

Syahdu... sungguh syahdu... indah... begitu indah... ah malam ini ada sesuatu yang berbeda dalam hidup Hageng. Akhirnya ada juga yang mau menikmati karyanya.

Ia pun mulai.

Kamu kotak, kamu maniz.
Kamu coklat, kamu gurih.
Kamu keju, kamu kuning,
Kamu vanila, kamu putih.
Kalau lava, warnamu merah jambu.
Oh, kamulah kezayanganku.
Kamulah... waferku
.”

Cewek itu menatap Hageng dengan tatapan tak percaya. Dia mencubit diri sendiri. Ini beneran kan? Yang ada di depannya ini beneran orang kan? Dia tidak sedang berhadapan dengan jin? Dengan orang yang suka nge-prank? Dengan salah satu personil OVJ?

Dia masih bernapas kan?

Puisi apaaaaaaan!? Apaan yang baru saja dia dengarkan? Tali tambang mana tali tambang? Pengen gantung diri di jembatan rasanya.

“Kalau zuka harap like dan follow youtube aku, Mbak.”

Serius? Dia benar-benar serius menjalani karir sebagai seorang penulis sajak? Sebagai poet? Dengan puisi wafernya ini? Yakin bisa dapet follower?

“Masnya punya akun Youtube? Buat nuangin puisi-puisi mas?”

“Baru rencana.”

“Heleh.”

“Tadi yang pertama buat pemanazan. Ini puizi aku yang kedua.”

“Sudah! Sudah stop! Sudah cukup!” Cewek itu menggeleng.

“Ini lebih epik.”

“Bodo amat!”

“Ini mengharubiru.”

“Ga ada urusan.”

“Pazti menghibur.”

“Biarin.”

“Digoreng dadakan.”

“Emang tahu bulet?”

“Ga pake ketan.”

“Emang cendol dawet?”

“Ini ya...”

Hageng kembali bersiap untuk mengeluarkan puisi terbaiknya. Dia sempat begadang dua hari dua malam ga ngemil apapun demi merampungkan deretan puisi berikut ini. Dua hari dua malam ga ngemil coba bayangkan betapa pengorbanannya begitu dahsyat!

Si cewek kembali bersiap untuk bunuh diri.

Wahai kamu janganlah zuka cemberut,
Wajah imutmu jadi berkerut.
Nanti orang zakit perut,
bukannya nakzir, malah kepengen kentut.
Wahai kamu zi cantik jelita,
tahukah apa bedanya kamu dan rumuz matematika?
Kalau rumuz zuzah dihapalin.
Kalau kamu zuzah dilupain.
Anjay
.”

Hageng membungkukkan badan, sambil tersenyum lebar. Seakan-akan ia baru saja mengucapkan kalimat-kalimat terdahsyat yang tidak pernah terpikirkan oleh almarhum Sapardi Djoko Damono sekalipun. Ya kali.

Plak. Sekali lagi telapak tangan si cewek nangkring di jidatnya. Really? Yang beginian ini yang menemuinya di tengah malam di middle of nowhere begini? Sang cewek pun berpikir apakah dia bisa mengubah air minum kemasan yang ada di dalam mobil menjadi racun serangga.

Hageng tiba-tiba menyebutkan deretan nomor hp sangat cantik yang teramat mudah untuk dihapal.

“Eh?” cewek itu bertanya-tanya.

“Itu nomorku. Aku tidak tahu apakah Mbak-nya percaya atau tidak zama aku. Yang jelaz aku hanya datang untuk menghibur zaja. Kalau nanti ada apa-apa, hubungi zaja nomor itu. Aku pazti akan langzung datang, kayak jin-nya Aladdin. Aku akan datang sambil bawa gendang untuk menghibur dan berdendang. Ah ha haha ah ha ha. Namaku Hageng.”

“...Ha-Hageng.”

“Zemoga baik-baik zaja nanti ya, Mbak cantik. Daerah zini mazih cukup aman kok. Tapi kalau ada apa-apa, hubungi zaja nomerku.” Hageng tersenyum, mengangkat dua jempolnya.

Secepat kedatangannya, Hageng pun berlalu untuk kembali ke kost-an dengan menenteng tas kreseknya. Ia meninggalkan cewek itu seorang diri terpekur di tengah jalan dengan pandangan muka bingung. Udah? Begitu saja?

Apaan sih yang barusan?

Cewek itu terbengong-bengong. Tapi satu hal yang pasti, ia mulai tahu kenapa dinosaurus punah.

Tentu saja ada alasan lain kenapa Hageng memutuskan untuk buru-buru meninggalkan cewek itu sendirian. Alasan utama Hageng pulang? Dia sudah laper berat tentu saja. Prinsip Hageng kan no women no cry, no ngemil barulah cry hard.

Untungnya tak lama setelah kepergian Hageng yang pulang ke kost-an, motor sang montir datang. ia berboncengan dengan salah satu rekannya dan tergopoh-gopoh menghampiri sang cewek. Laki-laki ini bekerja di salah satu usaha bengkel yang sebagian besar sahamnya dimiliki oleh si cewek – jadi bisa dibilang montir ini salah satu karyawannya. Melihat kedatangan sang montir yang baru datang setelah cukup lama menunggu, wajah cewek cantik itu pun sudah berubah menjadi ga enak banget. Ditekuk-tekuk sampai kucel.

“Ma-maaf, Mbak. Saya kelamaan ya? Tadi anak saya ga mau saya tinggal...”

“Bodo amat! Kalau sudah saya minta dateng ya dateng! Gimana sih? Nyebelin banget! Kalau saya gimana-gimana, apa Bapak mau tanggung jawab? Tahu nggak sih bahayanya cewek sendirian di tengah jalan malam-malam begini?”

“Ma... maaf, Mbak. Lain kali...”

“Ga ada lain kali! Malah doain mobil saya mogok lagi itu namanya! Awas aja kalau mobil saya sampai ga beres begini lagi! Bikin malu aja!”

“I... iya, mbak...”

“Ya udah benerin nih mobil saya kenapa!” bentak cewek itu galak. Sebel ih, tegang berjam-jam ternyata cuma gara-gara si montir ngelonin anak. Kan ada istrinya? Bisa kek bantuin bentar – ini lho ada cewek di tengah jalan di tengah malam. Ga kepikiran nuraninya? Kalau diculik orang gimana? Kalau diperkosa orang gimana?

Sebel ih! Malesin!

Jadi inget...

Waferku...

Lah? Kenapa tiba-tiba ingat puisi itu ya? Cewek itu pun tertawa geli sedikit. Bener juga ya, puisinya si Hageng bikin dia jadi los dol, urat-urat tegangnya lepas. Dari semua pria yang ia kenal, mungkin baru kali ini ada yang dirinya terhanyut dalam kesantaian.

Waferku...

Cewek itu cekikikan sendiri. Ah... ketegangannya terurai berkat Hageng. Sebenarnya kalau dilihat-lihat, si kribo itu manis juga kok.

Si montir melirik dari balik kap mobil yang baru saja dibuka, kenapa sih ni cewek yang barusan galak jadi cekikikan? Ini beneran majikannya kan? Bukan si manis jembatan kali mambu? Wajahnya pun berubah menjadi ketakutan saat melihat cewek itu menatapnya galak. “Apa liat-liat!? Cepetan benerin! Jam berapa ini? Aku udah pesen taksi online nih! Mau aku tinggal aja! Untung ada yang masih jalan! Awas kalau besok masih belum bener!”

“I-iya Mbak Eva.” Wew. Mending ketemu mbak Kunti beneran daripada ketemu cewek ini. Cakep tapi galak. Udah dibantuin bukannya terima kasih malah ngamuk. Huh. Untung aja cakep.

Cewek itu mencibir. Ia mengetukkan jemari lentiknya di ponsel mahal belasan juta yang ia gunakan. Nomer ponsel Hageng ia masukkan.

Hageng...

Kamu menarik...





.::..::..::..::.





Kepergian Kinan membebaskan Nanto dari bebannya. Sambil tersenyum, si bengal mengambil ancang-ancang ringan. Ia menurunkan badan hingga lutut bertekuk sedikit, tangan terangkat dengan telapak tangan tegak membentuk garis sejajar di depan dada. Tangan kanan lebih di depan daripada tangan kirinya. Kuda-kuda yang sangat ia sukai.

“Ayo maju.” ucap si bengal menantang dengan suara lantang. Matanya nyalang menatap satu persatu anggota lawan. “Mau sampai kapan kita prasmanan begini? Kalian nunggu sampai sekaten dibuka?”

Salah satu anggota slayer biru menyerang dari sisi kanan, dengan kecepatan tinggi, Nanto melontarkan kakinya ke samping. Lantang menerjang kaki dipancang, bak tongkat panjang, menghentak menusuk membuat lawan melayang. Sodokan kaki Nanto berhasil masuk ke dada lawan di kanan. Tubuh lawannya terlontar hingga dua meter ke belakang.

Bbkgghhh!

Tubuh lawan berguling, menggelinding, di samping.

Dua lawan lain maju bersamaan, Nanto hanya diam saja saat keduanya melontarkan senjata mereka. Satu memegang rantai, satu lagi tongkat kayu. Si bengal hanya terdiam, menatap ke depan seolah aksi yang dilakukan kedua orang tersebut tidak ada arti baginya. Ia menarik napas, lalu menghembuskannya lepas melalui mulut, menarik napas lagi, lalu menghembuskannya, sekali lagi ia tarik napas dan hembuskan. Tiga kali.

Nanto menundukkan kepala, lalu membuka mulutnya sedikit. Deretan kata dalam Bahasa Jawa terucap dari bibirnya. Begitu lirih suaranya, sehingga tak akan terdengar dari sisi lawan. Energi tak kasat mata menyelubungi badannya, memberikan kehangatan yang berbeda, memberikannya kepastian, dan kepercayaan diri yang lebih meningkat.

Kalis ing rubeda, nir ing sambikala.”

Gerbang ketiga dibuka.

Si bengal tersenyum sinis, memaksa dua lawannya yang panas hati untuk menjala emosi.

“Heaaaaaaaaaaaaaa!!”

“Woryaaaaaaaaaaaaaa!!”

Bddpp. Bpp.

Baik rantai maupun tongkat kayu itu mental bahkan sebelum mencapai sasaran. Nanto terlindung oleh sesuatu – sesuatu yang bagaikan selubung ajaib yang tak nampak. Kedua orang yang menyerangnya saling bertatapan. Apa-apaan ini? Bagaimana mungkin serangan mereka bisa mental? Kena saja belum! Wasuuuuuu!! Jingaaaaaaaan! Nganggo elmu kok, Nyuuuuukkk!!

“Heaaaaaaaaaaaaaa!!”

“Woryaaaaaaaaaaaaaa!!”

Sekali lagi!

Bddpp. Bpp.

Lagi-lagi senjata yang dilontarkan keduanya tak dapat menembus benteng pertahanan Nanto yang entah muncul dari mana asalnya dan bagaimana bentuknya. Senjata mereka terpental bak bertemu kasur raksasa yang tak nampak di tengah udara.

Si bengal mundur beberapa langkah dan mengambil ancang-ancang membaca lawan. Ia terengah-engah, gerbang ketiga ini sangat melelahkan untuk dieksekusi, jangka waktunya juga tidak bisa panjang. Jinguk – gara-gara kurang latihan ya begini nih. Yang penting dia tidak kelihatan kewalahan di mata lawan. Sebelum tenaganya terkuras habis, ia harus menuntaskan semua lawan. Nanto pun buru-buru masuk ke area pertahanan dua lawan yang terkaget-kaget melihat keajaiban di depan mata.

Nanto memilih yang memegang rantai sebagai sasaran pertama.

Tangan si bengal berkelebat cepat menghantam pergelangan tangan si pemegang rantai. Melepaskan senjata yang dipegang cecunguk itu ke tanah. Kaki Nanto bergerak cepat, menendang ke bawah kedua kaki lawan yang secara reflek bergerak naik ke atas. Gerakannya terbaca, lawan Nanto gelagapan dengan tubuh goyang karena kakinya tidak menapak dengan seimbang.

Nanto memutar pergelangan tangan lawan. Menguncinya.

Setelah lawan tak bisa lepas, tangan kanan si bengal bergerak cepat bak kaki kuda menjejak tanah, berulang berderap menghantam satu area target sasaran: bagian tengah dada.

Bkkkghhh! Bkkkghhh! Bkkkghhh! Bkkkghhh! Bkkkghhh! Bkkkghhh!

“Haaaaakgghhhhhh!” lawan melangkah tertatih ke belakang, terpukul mundur, dan terdesak. Napasnya tersengal satu dua, dadanya terasa tersengat dan remuk dihajar hantaman tangan kanan si bengal.

Awas, samping.

Bisikan pelindung muncul. Nanto menarik tubuh si pembawa rantai yang sudah hampir pingsan itu dan memutar tubuhnya sehingga badan sang lawan dapat ia pajang di depan dada, bagaikan tameng hidup yang hidup segan mati tak mau.

Bruaaaaakkkghhhh!

Tongkat kayu menghantam salah sasaran. Yang tadinya cuma mau pingsan, akhirnya pingsan beneran setelah kepalanya tersambar.

“Wassuuuuuuuuuuu!!” teriak si pemegang tongkat yang terkejut karena ternyata gerakannya terbaca dan Nanto justru menggunakan tubuh temannya sebagai tameng. Alih-alih mengenai si bengal, dia justru menghajar temannya sendiri!

Nanto melemparkan tubuh si pemegang rantai yang sudah tidak sadarkan diri ke samping. Ia pun berdiri tegap kembali sambil menyabet kencang pergelangan tangan dan kiri si pemegang tongkat yang terkejut, tongkatnya jatuh ke tanah, tangannya bak kesemutan. Nanto melompat ke atas sambil mengunci pergelangan tangan lawan, dan dengan satu sentakan hebat kepala si bengal menanduk kepala si pemegang kayu!

Jduaaaaaakghhhh!!

Dua kepala teradu, satu siap, satu tidak. Dua-duanya terlontar setelah bertabrakan kencang, dan rasa pusing hebat mendera kedua pria yang lantas kliyengan. Tapi Nanto masih berada di atas angin karena ki gerbang ketiga melindungi, begitu tapak kakinya tegap berpijak, ia melompat dan memutar badan di udara. Kakinya bagaikan kelebatan cahaya terang di tengah langit yang gelap gulita.

Sblgkkkhhhh!

Kepala lawan tersambar, badan terlontar, menyambar tumpukan tong sampah jalan yang langsung tersebar, sementara tubuhnya akhirnya tepar saat terkapar.

Satu, dua, tiga, empat. Empat lawan terbilang.

Nanto mendengus, mengelus keringat di hidung dengan punggung tangan. Ia merasakan selubung hangat yang tadinya melindunginya mulai berkurang sedikit demi sedikit. Dia harus menyelesaikan ini semua sebelum pertahanannya benar-benar paripurna. Tenaganya sudah hampir dihabiskan oleh gerbang ketiga. Kalau begini caranya, dia bakal tepar terlebih dahulu sebelum mampu membuka gerbang keempat.

Lawan-lawan Nanto tentunya tidak ambil pusing dengan gerbang atau gapura atau apalah, tau aja tidak. Empat lawan bergerak bersamaan. Asem ik. Mbok ya satu-satu gitu lho. Berani ne kok keroyokan. Dasar monyet bau, kadal bintit, muka gepeng, kecoa bunting, babi ngepet, dinosaurus, brontosaurus, kirik...!!

Empat orang berwajah seram maju serentak, wajah mereka keras dan tanpa ampun – mirip seperti prajurit terracotta yang berjajar dengan pandangan dingin. Ada yang pegang senjata, ada yang hanya tangan kosong. Tapi tidak ada yang gentar sedikitpun – yang begini ini yang merepotkan. Si bengal mengatur napas yang mulai berat.

“Heaaaaaaaaa!!”

“Haaaaaaaaarrrghhhh!”

Dua maju bersamaan, salah satunya mengayunkan pipa besi. Pipa itu berputar di tangan, kecepatan tinggi. Tidak akan menjadi hal yang indah jika pipa itu menghantam wajah si bengal. Otak buyar sudah tergambar di bayangan ambyar.

Bddpp! Bpp!

Selubung aneh masih melindungi si bengal. Pipa itu mental saat hampir mampir ke wajah Nanto – padahal jarak masih sekitar tiga kepal jaraknya. Mental semental-mentalnya. Si pembawa pipa bahkan terlontar ke belakang karena tenaga yang ia keluarkan untuk melontarkan serangan ternyata berbalik melemparkan tubuhnya ke belakang.

Teman yang ada di sampingnya tidak sempat melihat karena hanya dalam sekelebat mata saja, si bengal tiba-tiba sudah berada tepat di depannya. Kepalan Nanto bergerak bergantian menyasar wajah sang lawan. Berderap menghantam muka, hidung, pipi, dan mulut. Membongkar wajahnya yang sudah tidak tampan menjadi lebih parah ampun-ampunan.

Bdkkgkhh! Bdkkgkhh! Bdkkgkhh! Bdkkgkhh!

Laki-laki sial itu terlontar ke belakang dengan wajah bengap, antara pingsan beneran dan ingin pingsan saja.

Nanto mendengus, napasnya makin berat. Enam lawan sudah ia lalui. Entah berapa lagi yang akan... huff. Ia bisa merasakan denyut nadinya makin memanjat, kian melompat. Rasa hangat yang sebelumnya hadir, perlahan mulai surut, makin hilang ditelan gemulai angin dingin yang semakin bisa ia rasakan merasuk membelai kulitnya.

Tompel kadal burik.

Butuh waktu lama untuk memulihkan tenaga demi menghadirkan kembali gerbang ketiga. Ia kini hanya bisa mengandalkan apa yang ia punya. Si bengal kembali mengambil kuda-kuda khasnya. Tubuh sedikit merunduk dengan tangan sejajar di depan dada. Pandangan matanya tajam menatap ke depan, tidak ingin melepas perhatian dari sasaran. Mudah-mudahan ia masih cukup punya sisa tenaga untuk menghadapi semua lawan ini.

Dari kiri.

Bisikan itu datang tiba-tiba tanpa diminta. Nanto memundurkan kepalanya secara reflek, benar saja... satu sepakan kencang datang dari arah kiri. Beruntung dia selamat, dengan terpaut beberapa sentimeter saja kaki sang lawan akan menyambar kepalanya. Nanto melingkarkan tangan kiri ke kaki sang penyerang, sementara tangan kanannya dilontarkan ke atas untuk menghajar tiap tulang yang ada di kaki sang lawan!

Lawan si bengal berteriak kencang karena rasa sakit yang tak kepalang mendera tulang di sekujur kaki.

Bagaikan memegang balok kayu, si bengal mencengkeram erat kaki sang lawan yang kerempeng dan dengan sekuat tenaga melemparkan tubuh pria sial itu ke arah kawan-kawannya sendiri yang hendak menyerang. Begitu tubuh lawan ia lempar, dua temannya ikut ambruk menerima lontaran tubuhnya.

Tapi tidak dengan yang satu lagi.

Ada satu sosok yang tak bergeming dan beringsut santai untuk menghindari terkena lontaran tubuh kawannya. Nanto menyergapnya, satu sepakan ia lancarkan. Tapi laki-laki itu bahkan tak mencoba menghindar – dengan mudah ia menyentakkan serangan yang datang itu dengan satu tangan. Ia membalas mengincar Nanto dengan pandangan tajam tak terbias. Sosoknya menyeramkan bak barbar, tubuh besar, badan kekar, wajah sangar, dan menyeringai gahar – gek rupane yo ambyar. Paket komplit.

Nanto melepaskan dua tiga pukulan susulan.

Dpp! Dpp!

Kedua pukulannya terhenti tepat dalam sergapan telapak tangan yang menaut.

Eh!?

Om Kimpling yang masih menyaksikan pertarungan Nanto dan kawan-kawannya dari atas motor akhirnya menyilangkan tangannya di dada dan tersenyum, nah ini dia.

Akhirnya sang raksasa turun tangan juga. Yang sedang dihadapi Nanto saat ini adalah salah satu andalan unit slayer biru yang ganas, cepat, dan mematikan. Selain tubuhnya bongsor, ia juga memiliki kecepatan mengagumkan yang tidak biasa dimiliki oleh makhluk dengan ukuran sepertinya. Jadi pertarungan ini pasti bakal menarik! Bocah sok itu tidak akan pernah menduga akan berhadapan orang seperti ini.

Salah satu enforcer milik Dinasti Baru ini bernama Joko Tun Jenal – lebih populer dipanggil Jotun.

Nanto sempat kaget dengan kemampuan Jotun yang menurutnya tidak main-main, si bongsor ini ibarat tembok raksasa yang berdiri tegar tepat dihadapannya tanpa bergeming dan mampu menahan serangan. Tidak hanya itu saja, dia juga dapat dengan cepat berpindah dari satu posisi ke posisi lain dengan gerakan yang nyaris tanpa suara – apakah dia juga menguasai ki?

Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh!

Tiap-tiap serangan si bengal berhasil dimentahkan oleh Jotun. Dari kanan, kiri, tengah, tengah, kanan, kiri kanan, tengah, tengah. Semua mentah! Nanto geregetan. Sompret terwelu! Diantem malah meleset sungguh terlalu!

Si tubuh bagor tersenyum melihat Nanto sepertinya mulai bingung mencari celah. Ia mengunci tangan si bengal, memelintirnya, dan melontarkan pukulan kencangnya.

Kepala. ke kiri.

Secepat kilat Nanto menuruti ucapan itu.

Ia berhasil menghindari serangan yang dilancarkan Jotun. Nanto memutar badan untuk membenahi posisi tangan yang dipelintir Jotun, ia kini membelakangi si bagor. Sembari menurunkan badan, kaki Nanto naik hingga hampir mencapai dagu sang lawan.

Jotun melepaskan pegangannya sambil terkekeh.

Nanto kembali membalikkan badan untuk menghadapi Jotun. Ia terengah.

Si bengal menggemeretakkan gigi dengan sengit. Gerbang-gerbang yang sudah ia buka mulai menyurut. Sial, kenapa juga dia harus mengeluarkan gerbang ketiganya terbuka tadi tanpa persiapan, tenaganya jadi terkuras habis dengan cepatnya. Kalau dibiarkan begini terus, bisa-bisa dia kewalahan menghadapi lawan yang sekuat ini – dia juga sudah tidak mungkin membuka gerbang keempat.

Pindah kiri.

Swooosh!

Sekali lagi serangan Jotun berhasil dielakkan oleh si bengal, namun kali ini sambaran pukulannya sempat mengenai badan Nanto sedikit. Gawat, gerakannya jadi lebih lambat. Huff. Nanto mengamati sekitar, ia mundur selangkah dan kembali memasang kuda-kuda. Lawan yang lain mulai bangkit untuk membantu Jotun.

Dua, tiga, empat, lima.

Tae kocheng, mosok yo dikeroyok limo. Satu lawan lima? Ra mutu ik.

Ternyata enam. Ada satu serangan datang dari arah belakang, pipa besi terlontar deras ke arah kepala si bengal.

Tap.

“Apa yang kalian lakukan?”

Tangan pembawa pipa yang menyerang Nanto terhenti di tengah jalan. Seseorang mencengkeram dengan erat pergelangan tangan pemuda itu. Pembokong Nanto kini berhadapan dengan raksasa yang besar dan tinggi – badan kekar yang sebelas dua belas dengan Jotun.

“BERHENTI SEMUANYA!!”

Suara berat itu menyiutkan nyali anggota Dinasti Baru yang baru saja mengeroyok Nanto. Meski jumlah mereka lebih banyak, tapi tak ada satupun anggota kelompok geng itu yang berani terhadap sosok yang baru saja datang.

Nanto mendengus dan memutar badan. Asem ik. Gerbang kewaspadaannya sudah tertutup, tidak ada bisikan yang memperingatkannya dari serangan yang baru saja dilakukan untuk membokongnya. Untung saja ia diselamatkan oleh orang yang... orang ini...

Amar Barok.

Kowe ra popo?” tanya penggede Dinasti Baru itu pada Nanto.

Pakaian Mas Amar masih lengkap dengan jaket jeans, helm penerbang, rokok di tepian mulut, celana jeans belel, sepatu boot, dan wajah sangar tapi tampan yang mulai terlihat ketika ia membuka slayer warna merahnya. Keringat di badan, debu perjalanan, dan knalpot motor yang masih mengebul bagaikan pertanda kalau kakak Deka itu baru saja pulang dari bepergian jauh.

“Mas Amar.” Nanto menggeleng. “Ga apa-apa, Mas.”

Ya wes. Aku beresin mereka. Kamu pergi. Lupakan semua ini.”

Suwun, Mas.”

Amar mengangguk.

Jotun tertegun.

Om Kimpling apalagi.

Tak perlu dua kali diucapkan dan tak perlu aba-aba. Nanto mengangguk dan buru-buru melesat pergi. Meninggalkan Amar berhadapan dengan para anggota NWO seorang diri.





.::..::..::..::.





Jantung Asty bertalu-talu bagai sedang ditabuh menggunakan palu Mjolnir milik sang dewa petir. Degup di dadanya menghentak sekali, dua kali, tiga kali, lebih cepat lagi, lagi, dan lagi. Gawat... gawat... perasaan dia sudah bersihkan semuanya kemarin. Sudah dia cek satu dua tiga, cek satu dua tiga. Kenapa masih juga ada yang kelewat? Apakah kemarin dia kelewatan membersihkan kolong meja itu? Haduh Nanto... apa yang sekarang harus ia lakukan? Alasan apa yang akan ia gunakan?

Keringat dingin menetes di dahi sang guru muda jelita.

Asty sekali lagi mengamati bungkus kondom yang ada di tangan Adrian. Ia memicingkan mata.

“Loh, bukannya itu yang pernah Mas pakai dulu?”

“Ha?” Adrian mengerutkan kening, mencoba mengamati bungkus yang ia pegang sekali lagi. “Masa sih? Masa aku pernah pakai merk ini?”

“Iya. Kapan itu kan, di Indom@ret merk yang Mas biasa beli habis, terus Mas beli yang itu.” Asty menghela napas. Ternyata aman, dia yakin benar jejak-jejak Nanto sudah tidak ada lagi di kamar ini. Si bengal brengsek itu saja yang akhir-akhir ini tidak ada kabarnya. Nyebelin. Ish.

“Masa sih?” Adrian masih belum percaya.

“Iya. Inget-inget lagi deh.”

Adrian menyelami kesadarannya, mencoba kembali ke suatu waktu yang telah lampau, yang sudah tak lagi ia ingat a, b, dan c-nya. Masa sih dulu dia pernah pakai kondom merk yang ini? Dia sudah benar-benar lupa. Semua masalah yang ia hadapi rupanya membuat ia pikun lebih awal dari seharusnya.

Asty menggerutu dan cemberut, “logika saja deh, Mas. Kalau bukan Mas yang pakai, terus siapa lagi? Mas pikir ada laki-laki lain yang pernah masuk ke kamar ini terus buang kondomnya sembarangan? Yang bener aja! Emangnya aku apaan!”

“Eh, bukan begitu maksudku.” Adrian gelagapan, wah gawat kalau Asty sampai marah dan bad mood. Bisa-bisa tidak dapat jatah! Mana lagi engas maksimal pula, bisa error 404 kalau begini namanya. “Aku cuma penasaran aja, kapan aku pernah beli kondom ini, bener-bener ga inget.”

“Ya udah diinget-inget dulu. Besok pagi kasih tau kalau sudah inget. Aku mau tidur!”

Asty merengut dan membalikkan badan, ia menarik selimutnya tinggi sampai hampir sedagu. Adrian hendak memprotes, tapi apa daya – ia hanya dapat memandangi punggung istrinya dengan batang bawah ngilu karena tidak jadi dipakai.

Woalah nasibe dadi wong lanang.

Sepertinya malam ini dia terpaksa harus ke kamar mandi dulu untuk meredakan yang tegang-tegang sambil bersalaman agar terjalin keakraban yang lebih signifikan antara jari jemari dan si otong. Kasih tak sampai ini namanya.

Cuma gara-gara sebungkus kondom.

Yungalah.





.::..::..::..::.





Rao melemparkan puntung rokok ke selokan yang ada di samping trotoar tempatnya duduk. Di belakang sang hyena gila, salah satu warung angkringan langganannya sudah mulai berkemas-kemas hendak kembali ke peraduan karena barang dagangannya laris manis tanjung kimpul. Duduk sendirian di tepian jalan, menikmati kesenyapan yang menggelayut di anjungan malam, bintang gemintang berkerlap-kerlip memadati langit yang menyebarkan selimut gelapnya. Dingin rasanya malam ketika bungkus rokok pun sudah tak lagi padat dengan hanya menyisakan serpihan bubuk tanpa batang.

Ahhh... nampaknya sudah tiba juga waktunya untuk tidur.

Tidur di mana ya malam ini? Kost-an? Kandang walet? Rumah temen? Rumah-rumah kembang selatan stasiun? Di mana enaknya? Ada yang mau usul?

Belum sempat pertanyaan simpel namun sulit itu terjawab, deru motor YZF R25 warna biru gelap terhenti tepat di depan sang pimpinan DoP. Helm full face dengan warna senada yang dikenakan sang penunggang membuatnya nampak lebih misterius dari seharusnya. Tubuh tinggi tegap terbungkus jaket kulit dan celana jeans ketat warna biru gelap, tangannya mengenakan sarung tangan warna gelap sehingga ia benar-benar tampil misterius.

Rao mengamati orang itu sesaat.

Keduanya berpandangan lama dalam diam. Sang penunggang motor merogoh jaket kulitnya dan mengeluarkan sebungkus rokok. Ia memberikannya pada Rao.

Sang hyena tersenyum dan mengambil sebatang.

Orang itu tak perlu membuka helm karena Rao bisa mengenalinya dengan mudah.

“Kayak hantu, sampeyan dab. Jangan khawatir, aku tidak akan membunuh orang itu. Aku hanya ingin menjajal kemampuannya saja.” ucap Rao sambil menyalakan rokoknya. Asap mengebul tinggi, hendak menuntaskan asa meraih bintang yang tak mungkin ia dapatkan. “lain kali jangan menghubungi aku lewat ponsel, aku jarang angkat. Beruntung aku kenal nomermu.”

“Aku tidak ingin ada satu orang pun yang tahu. Termasuk Kori, Remon, atau siapapun yang ada di lingkaran petinggi DoP. Kita tidak bisa percaya siapapun saat ini.” jawab sang penunggang motor yang masih juga belum turun dari motornya. “Kita harus menyelesaikan semuanya dengan segera – dengan perencanaan yang matang dan persiapan ekstra. Tidak bisa yang seperti ini dibiarkan berlarut-larut. Kami kehilangan banyak anggota karena ulah bajingan-bajingan itu dan saya yakin sampeyan juga mengalami hal yang sama..”

“Setuju, dab. Kita harus selesaikan secepatnya.”

“Bagaimana dengan kesepakatan kita?” tanya sosok itu lagi.

“Setuju juga.” Rao berdiri, mengebulkan asap, dan tersenyum. Dia mengambil sesuatu yang sejak tadi berada di belakang tempatnya duduk, sebotol minuman bertutup merah. Ia menawarkannya ke penunggang motor. “Tujuanku cuma satu. beresin masalah dan setelah ini semua selesai – aku pasti akan datang untuk menghancurkanmu. Kekekekek.”

Tawa sang hyena memang tidak pernah nyaman didengar.

Sang penunggang motor menggeleng, dia tersenyum di balik helmnya.

“Aku ra lotse, dab. Aku nggak minum.”

“Cih. Ra well. Ngombemu opo? SGM? Cap beruang?”

“Heheh. Semua demi persiapan untuk membunuh seekor hyena yang terlalu liar untuk dibebaskan berbuat semaunya di tengah kota.”

“Kekekekekek.”

“Aku pergi dulu.”

“Ini masih sore.” Sekali lagi Rao menawarkan minumannya. “Yakin ga mau?”

“Terima kasih, tapi tidak.” Si penunggang motor memberikan hormat dengan dua jari digerakkan ke depan dari posisi di depan dahinya. “Rao.”

Rao mengangguk. “Simon.”

Motor itu pun melesat menderu membelah malam..

Meninggalkan Rao yang berjalan gontai tanpa tujuan, dia masih belum tahu akan tidur di mana, yang pasti ia tahu sang botol akan menjadi sahabatnya malam ini. Rao menyalakan ponselnya untuk memutar lagu kesayangan sambil menemaninya berjalan ke sebuah tujuan yang belum terpikirkan.

Jangan kau takut pada gelap malam.
Bulan dan bintang semuanya teman.
Tembok tua, tikus-tikus liar.
Iringi langkah kita menembus malam.






.::..::..::..::.





Ketika si bengal sudah benar-benar hilang dari pandangan, suasana riuh. Ramai anggota New World Order memprotes dan mendatangi Amar Barok. Kenapa aksi mereka dihentikan? Beberapa anggota mereka lebih dulu dibikin pingsan! Eye for an eye! Moso yo ora dibales? Apa ya tidak dibalas?

Tapi pria bertubuh kekar itu sama sekali tidak bergeming. Ia tetap berdiri di tengah jalan dengan jumawa. Amar membalikkan badan sambil menyilangkan tangan di depan dada, menatap anggota Dinasti Baru yang memprotesnya satu persatu. Sudah lama sekali ia tidak menghadapi anak buahnya sendiri seperti ini.

Satu persatu maju dan mengutarakan opini mereka.

“Dia bikin rusuh, Bang! Dia udah bikin tepar Santoso dan si Genjik!! Saatnya kita balas, Bang!”

“Iya Bang! Mau ditaruh di mana muka kita?”

“Habisin dia, Bang!”

“Habisin, Bang!!”

“GOBLOOOOOOGGGG!! DIAAAAAM!” Amar Barok menyentakkan dua kata kerasnya pada anggota unit Slayer Biru dari Dinasti Baru yang membuat kepalanya pusing dengan kalimat sambung menyambung yang mereka ucapkan berbarengan. “Bisa tidak kalian diam dulu? Aku melepaskan dia, karena aku tahu apa yang tidak kalian ketahui! Kalian tidak percaya sama aku, he? Ganda nyawa kalian?”

“Ampun, Bang...”

“Siap, Bang...”

“Percaya, Bang.”

“Siap...”

Jotun termasuk yang mundur teratur tanpa suara, ia hanya bersidekap di belakang Om Kimpling. Sejak awal dia bahkan tidak protes.

Setelah semuanya tenang, barulah Amar melangkah di depan orang-orang itu. Dia mondar-mandir sambil mengamati satu persatu wajah anggota NWO. “Utek kok koyo torpedo wedhus! Kalian lupa siapa aku, he!? Wani-wanine protes sama aku!! Ga percaya kalian? Kalian pikir kalian bakalan mampu berhadapan dengan dia? Kalian belum melihat apa-apa yang bisa orang itu lakukan!! Aku tidak menyelamatkan dia, aku justru sedang menyelamatkan kalian!! Ngerti kalian!?”

Semua anggota NWO saling berpandangan dan menunduk. Menyelamatkan mereka? Bagaimana bisa? Lawan mereka kan hanya seorang diri saja? Seorang pemuda biasa saja, kan? Memangnya siapa orang itu? Kenapa Amar Barok yang perkasa saja sampai menghormatinya? Tentu saja mereka tidak ada yang berani melawan apa titah Amar.

Amar lalu lalang lagi sambil mengamati satu persatu wajah yang menunduk. Tidak ada yang berani menatap matanya.

Setelah memastikan protes mereda, barulah Amar melangkah ke depan Om Kimpling dan menepuk pundak pimpinan unit Slayer Biru itu. “Rasah dipikir, Om. Digowo santai wae. Tidak perlu dipikir terlalu panjang, santai saja. Lupakan urusan dengan bocah tadi, aku jaminannya.”

Awakmu kenal bocah mau?” Om Kimpling mengambil sebungkus rokok dari dalam kantong jaket dan menawarkannya pada Amar. Komandan unit slayer biru itu sendiri lebih memilih ngebul dengan vape. Ia memang selalu membawa bungkus rokok kemana-mana, meski bukan untuk dirinya sendiri.

“Kenal. Koncone SMA adiku.” Amar Barok mengambil sebatang rokok dari bungkus yang ditawarkan. Dia mengambil korek api gas dari dalam saku celananya sendiri lalu menyalakan ujung batang rokok yang sudah ia sematkan di bibir.

“Sehebat yang kamu omongin?”

“Mungkin lebih. Dulu di SMA dia tidak terkendali padahal baru menguasai ki sambil lalu saja, sekarang sekilas lihat dia sudah bisa mengatur kemampuannya. Itu menjadikannya lebih berbahaya. Sia-sia habisin tenaga hadapin dia malam ini.”

Weladalah. Emange sopo bocah kae? Siapa bocah itu?”

“Kalau kehidupannya lurus-lurus aja, dia hanya akan menjadi bocah biasa yang tidak akan menjadi masalah besar buat kita di kemudian hari. Mung kerikil, Om. Tapi kalau ada yang memprovokasi kemampuannya... dia bakal jadi bom waktu.” asap mengepul dari batang rokok di bibir Amar. Pria itu melirik ke arah Om Kimpling, “aku tidak ingin Dinasti Baru menjadi pihak yang mengomporinya.”

“Begitu...” Om Kimping manggut-manggut, dia mencibir. Masih belum melihat yang istimewa dari Nanto – kenapa Amar begitu mengaguminya? Tapi dia percaya seratus persen pada sang punggawa. “Yo wes lah kalau begitu. Aku manut opo karepmu aja.”

“Ada satu lagi, Om.”

Opo?

Komando Samber Nyowo bentukan Lek Suman.”

“KSN?” Om Kimpling mengernyitkan dahinya. “Kenapa dengan KSN?”

“Kita sama-sama berkutat di wilayah utara, cepat atau lambat KSN dan Dinasti Baru pasti bakal bentrok. Kawasan utara tidak seluas samudera.” Amar mendengus, “Darsono itu licik, sebelas dua belas liciknya kalau disandingkan dengan Lek Suman. Bukan masalah cepat atau lambat mereka bergerak ke arah kita – hanya tinggal masalah kapan.”

“Darsono si pengkhianat wasu.” Om Kimpling kembali mencibir, Darsono memang sempat berafiliasi dengan Dinasti Baru pada suatu ketika, bahkan sempat menjabat sebagai pimpinan salah satu unit. Sayang karena ulahnya yang kurang ajar dan tidak menghormati pimpinan, Darsono dikeluarkan dan berpindah-pindah kelompok sampai akhirnya memimpin KSN.

“Gimana menurut pendapat Om?”

“Pastikan kita tidak kena tusbol duluan. Aku mau kita siap menghadapi siapapun, kapanpun, dimanapun. Kalau memang sudah ada tanda-tanda langit mulai merah, kita yang harus gerak duluan. Kita basmi KSN.”

“Itu juga yang diinginkan pimpinan kita. Kita akan menyerang duluan di waktu yang tidak disangka-sangka. Lebih baik menggigit sebarin racun daripada dipatil terlebih dahulu. Perebutan wilayah utara dimulai dari sekarang.”

“Setuju. Kita harus jadi yang terbesar. Mau mereka mandiri, mau didukung PSG, bodo amat.”

Amar tersenyum.





BAGIAN 28 SELESAI.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 29
 
Terakhir diubah:
BAGIAN 28
MUNGKIN NANTI




Selamat malam bintang, selamat malam udara. Selamat malam suara di manapun berada.
- Margaret Wise Brown





Om Kimpling mendengus dan menatap Nanto dengan pandangan mata tajamnya. “Selamat datang di kawasan Dinasti Baru. Kami dari unit tempur Slayer Biru. Malam ini kita pesta.”

Si bengal menatap geram ke arah Om Kimpling. Dia tidak pernah mau dan tidak pernah ingin merecoki urusan Dinasti Baru. Tetapi malam ini sepertinya segalanya akan berubah. Si bengal mengamati satu persatu lawan yang juga sudah bersiaga dan siap beradu kepalan dengannya. Beberapa di antara mereka bahkan membawa senjata. Bukan pertanda yang bagus.

Satu sisi cecunguk Dinasti Baru yang beringas, sisi lain Kinan.

Si bengal berpikir keras.

Tidak bisa, ia tidak bisa melakukannya. Nanto tidak bisa menghadapi lawan sebanyak ini dan masih harus melindungi Kinan. Dia harus mencari cara lain untuk menyelamatkan sang dara jelita. Kepalanya berputar, ke kanan, ke kiri, ke kanan lagi, ke kiri lagi. Ia mencari celah, mencari jalan, untuk memastikan keselamatan Kinan.

Satu-satunya yang ia lihat adalah motornya sendiri.

Ah iya. Masih ada cara itu.

Nanto memundurkan badan, merentangkan tangan, memastikan semua aman, demi melindungi Kinan. Ia berbisik pelan. “Bisa naik motor?”

“Bisa Mas.” Pertanyaan Nanto membuat Kinan merasa takut.

Nanto mengeluarkan kunci dari kantong celana dan menarik tangan Kinan. Si bengal meletakkan kunci itu di tangan sang dara. “Pakai motorku dan pulang ke rumah sekarang. Tidak usah menoleh ke belakang, tidak perlu khawatir dengan apapun yang terjadi di sini. Aku akan menghubungimu besok pagi.”

“Hah!? Terus Mas Nanto gimana?! Nggak ah! Aku nggak mau! ”

Welah. Aku tidak akan apa-apa.”

“Nggak mau ah! Aku ga mau Mas Nanto...”

“Kinan...” Nanto menatap gadis itu dengan pandangan mata sejuk yang menenangkan, semampu yang bisa ia lakukan dalam kondisi semendesak ini. “Aku ulangi sekali lagi ya, aku tidak akan apa-apa. Percaya sama aku. Kepalaku keras kayak panci kok.”

“Mas...” Kinan merengek khawatir, tangannya tak lepas dari lengan jaket si bengal sembari berusaha mengembalikan kunci motor.

“Aku berani bilang aku tidak akan kenapa-kenapa, karena aku yakin dengan kemampuanku. Tapi ada syaratnya, aku tidak bisa melawan mereka dan melindungi kamu sekaligus. Asalkan kamu segera pergi dari sini, aku akan merasa lebih lega dan rileks karena tahu kamu akan baik-baik saja. Aku tidak bisa menghadapi mereka sementara kamu berada di sini.”

“Masss...”

“Kinan.” Nanto menatapnya tegas, meski ucapannya lembut, “sekali ini saja. ikuti apa mauku, ya? besok aku datang menemuimu dengan sehat, sejahtera, aman, dan sentosa.”

Melihat Nanto bersikeras, Kinan akhirnya luluh. Ia mengangguk. “Baiklah. Tapi segera kabarin aku kalau ada apa-apa. Jangan sampai Mas Nanto kenapa-kenapa pokoknya! Aku ga mau tahu! Harus janji!”

“Siap.” Nanto menatap Kinan teramat lekat.

“Jangan siap-siap! Janji!”

“Iya, aku janji.” Nanto mengusap bagian atas kerudung gadis itu dengan lembut, mengusapnya.

Kinan pun mengangguk sambil meremas erat jemari tangan laki-laki yang lambat laun mulai meraja di hatinya. Nanto merenggangkan tangan dan menatap ke depan, mencoba menghalangi akses siapapun yang hendak maju untuk menyerang. Gadis itu bersiap.

“Sekarang.”

Kinan berlari ke arah motor dengan air mata menetes. Tidak, biar bagaimana pun dia tidak ikhlas meninggalkan Nanto menghadapi begundal-begundal yang begitu banyak. Tapi situasi ini di luar kemampuannya, bisa-bisa dia hanya akan merepotkan Mas Nanto saja nantinya. Serba salah memang. Bertahan merepotkan, tapi pergi pun sakit hati.

Semoga semuanya baik-baik saja.

Kinan naik ke motor, memasukkan kunci dan mulai menyalakannya.

Beberapa orang anggota slayer biru mencoba bergerak ke arah Kinan, tapi Om Kimpling memalangkan tangannya untuk menghalangi mereka.

“Biarkan saja gadis itu pergi. Aku lebih penasaran sama orang ini, dia baru saja membuat dua kawan kita tepar.” ucap sang pimpinan unit itu pada anak-anak buahnya. Ia menunjuk-nunjuk ke arah Nanto. “Balaskan dendam kawan-kawan kita. Habisi dia.”

“Hryaaaaaaaaa!!!”

Teriakan perang didendangkan.





.::..::..::..::.





Hageng berjalan ringan menuju tempat kost-nya. Di tangannya sudah terbawa satu tas kresek jajanan dan cemilan yang dibeli dari Indom@ret. Tiada malam tanpa menghabiskan cheese balls dan keripik kentang barbeque pedas. Yang gurih yang manis yang bikin malam serasa ramai meski di kamar hanya tercenung sepi menatap poster Sex and Zen.

Bersiul-siul senang, Hageng mencoba menyeberangi jalan. Saat itulah dia melihat di ujung jalan sebuah mobil terparkir dengan pintu terbuka dan seorang cewek sedang duduk kebingungan sembari berulang-ulang menatap layar ponsel dan mengamati kanan kiri. Terlihat cewek itu pasti sedang gelisah karena jalanan sangat sepi dan dia seorang diri. Apakah mobilnya sedang mogok? Atau gimana?

Malam sudah larut, bahkan sudah berganti hari. Tidak baik rasanya membiarkan gadis seperti itu kesusahan. Apalagi mobilnya bagus dan ceweknya cantik. Bukankah yang seperti itu sudah seharusnya ditolong? Kita harus berbaik hati pada sesama – tidak boleh memilih-milih siapa yang hendak ditolong. Ye kan?

Hageng buru-buru menghampiri si cewek yang nampaknya sedang kebingungan.

Wah ini cewek... sudah mobilnya bagus, dandanannya hot abis, cantiknya ga ada obat, wanginya juga semerbak sampai sepanjang jalan kenangan. Roknya ketat hingga sedikit di atas lutut, pakaiannya juga menampakkan liku tubuhnya yang bak sirkuit Monaco. Ngapain cewek secakep ini ada di pinggir jalan? Harusnya disimpan di kulkas biar tambah awet. Hageng berjalan berjingkat dengan raut muka bahagia seperti layaknya Donal Bebek ketemu Desi.

“Zepertinya Mbak-nya zedang kezuzahan. Apa ada yang biza zaya bantu?” tanya Hageng dengan sesopan mungkin. Dia tidak mau memberikan efek negatif saat pertama kali berjumpa dengan cewek seindah ini.

Hageng benar-benar terpukau. Ini cewek ternyata cantiknya gila kalau dari jarak dekat! Wuh! Yang begini ini kalau ada olimpiade kecantikan kalau ga dapet emas ya perak lah. Yang beginian kalau di Korea Selatan udah pasti disuruh maen K-Drama atau masuk girlband. Nyamuk aja kepleset kalau mendarat di kulitnya yang putih mulus glowing ditambah rambut panjang yang sedikit dicat warna kecoklatan menampakkan wajah yang hanya bisa kita temui di katalog lingerie di instagram.

“Mobilnya mogok kah?” tanya Hageng lagi.

Gadis itu menatap takut-takut ke arah Hageng. Siapa juga yang tidak takut melihat dinosaurus kribo yang tidak bisa mengucapkan huruf ‘s’ tahu-tahu menghampirinya sambil bertanya sok akrab sok dekat? Jiper juga kan? Bukannya dinosaurus sudah punah ya?

Senyum tulus Hageng membuat pertahanan cewek itu sedikit lunak meski masih menjaga jarak.

“I-iya. Bensinnya habis, eh... ehmm... saya menunggu suami.” Gadis itu mencoba mencari cara supaya selamat dari serangan makhluk purbakala di hadapannya, jadi dia bilang saja sedang menunggu suaminya... tapi boong. Dia belum menikah. Sebenarnya dia sedang menunggu montir yang biasa ia panggil untuk membenahi mobilnya di saat-saat mendesak, yang jelas mobil ini mogok bukan karena bensinnya. Tapi tidak perlu sedetail itu kan ke orang asing?

“Benzinnya habiz? Kok biza?” Hageng mencoba tersenyum.

Pernah lihat T-Rex senyum? Senyuman seekor T-Rex itu susah dibedakan antara sedang berusaha ramah atau senang karena bertemu mangsa. Yang ada bikin orang yang diajak senyum gemeteran. “Biazakan mengizi benzin zelalu penuh, Mbak. Jadi zelalu cek indikator, maza iya zih, cewek zekeren Mbak-nya biza kehabizan benzin. Ah ha haha ah ha ha.”

Anjir, ketawanya Hageng maksa banget.

“I-iya.” Cewek itu pun mulai merasa sangsi dengan kehadiran Hageng. Perlahan-lahan ia beringsut ke dalam mobil, menutup pintu meski masih menyisakan sedikit terbuka supaya tidak benar-benar tertutup di dalam. “Silahkan dilanjut perjalanannya, Mas. Saya baik-baik saja...”

“Tenang... zaya orang baik-baik kok, Mbak. Zaya zuka menolong, gemar berkebun, rajin menabung, dan hormat orang tua dan guru. Zewaktu zekolah nilai PKN saya tidak pernah C dan zaya jarang memboloz kecuali kalau Mama saya mengunci pintu kamar mandi karena zaya kelamaan nongkrong. Ah ha haha ah ha ha.”

Kampret, ketawanya bikin keder.

Cewek itu pun justru makin ketakutan dan meringkuk di kursi mobilnya. Ia benar-benar mengunci pintu dengan gerakan yang dibuat sesopan mungkin supaya Hageng tidak curiga. Kaca jendela yang tidak rapat dan masih separuh terbuka membuat cewek itu makin gelisah.

“Di dekat zini bengkel zudah tutup zih, Mbak. Ada bengkel yang agak jauh biazanya buka zampai malam, zaya zih ga yakin mereka mazih buka zampai jam zegini, tapi ziapa tahu biza diketuk rolling door-nya. Tapi kalau mbak-nya butuh orang buat dorong mobil ke zana, hubungi zaya zaja. Zaya ahli dorong mobil. Bersertifikat resmi dari APMZR. Azoziazi Pendorong Mobil Zantun dan Religiuz. Ah ha haha ah ha ha.”

Cewek itu mencoba menahan tawa. Setelah beberapa saat, ia membuka kunci pintu mobilnya dan membukanya agak sedikit lebih lebar. Hageng masih berdiri di sana dengan tatapan mata innocent-nya. Cewek itu pun perlahan-lahan mulai luluh. Kok kayaknya yang ini jinak ya? Mas-mas kribo ini mengingatkannya pada anjing pudelnya yang dulu hilang. Matanya bukan mata orang iseng, matanya jujur. Si cewek hapal betul pandangan mata yang jujur dan yang tidak.

Bagaimana kalau dicoba saja?

“Mas... tinggal di dekat sini?”

Gadis itu pun keluar dari dalam mobilnya dengan berusaha merapikan pakaiannya agar tidak mengundang yang iya-iya dari Hageng, ia masih tetap berusaha berhati-hati. Cewek ini ternyata cukup tinggi juga, apakah dia seorang fotomodel? Atau mungkin tukang las? Tukang sayur, atau tukang gas? Bukanlah, enak aja. Kalau Hageng melihat pakaian yang dikenakannya, cewek ini memakai pakaian yang selayaknya karyawan kantor atau bank swasta, bajunya yang merah ketat juga mengingatkan Hageng pada seragam mbak-mbak pramugari sebuah maskapai. Kalau pekerja kantoran atau bank, ngapain berada di tengah jalan begini malam-malam?

Hageng mengangguk. “Zaya koz di zana. Ini beli jajanan buat bekal begadang, Mbak-nya mau? Ah ha haha ah ha ha.”

Setan, masih serem aja ketawanya.

“Saya sedang buru-buru pergi ke suatu tempat dan sudah sangat terlambat karena mobil ini mogok. Mas ngerti tentang cara mengatasi mobil mogok? Saya bayar mahal, Mas – kalau mas-nya bisa benerin. Saya sudah mencoba memanggil asisten saya yang biasanya servis mobil tapi belum datang-datang, mungkin karena sudah terlalu malam.”

Hageng menggeleng. “Maaf zaya tidak biza benerin mobil mogok.”

“Oh kirain tadi mau nolongin karena tahu tentang mobil.”

“Tidak. Zaya bizanya bikin puizi.”

“Pu... puisi!?”

“Iya. Puizi.”

“Nga-nganu... mon maap nih, Mas. Tapi kenapa puisi? Buat apa puisi ya? Membantu saya dimananya kalau situasinya yang mogok mobil saya?”

“Zupaya Mbak-nya tidak zedih mobilnya mogok.”

Plak. Si mbak menangkupkan telapak tangan di jidatnya.

“Boleh dicoba. Ziapa tahu menghibur.” Hageng tak menyerah.

Cewek jelita itu menghela napas panjang, ia menggulirkan mata ke atas. Lalu mengangguk pasrah. Siapa tahu memang beneran menghibur. Siapa tahu memang beneran penerus Rendra. Siapa tahu dia menemukan hidden talent yang bisa masuk Indonesia’s Got Talent atau paling tidak Laptop Si Unyil. “Ya sudah. Mungkin bisa membunuh waktu.”

Mimpi apa gadis itu malam-malam ketemu seniman busuk begini di tengah jalan?

“Ehem.” Hageng tersenyum dan mulai mengatur suaranya. Ia meletakkan tas kreseknya di bawah. Lalu berusaha tegap dengan dada membusung. Tangan saling mengapit di depan dada, matanya dipejamkan, ia merasakan semilir angin malam mendera rambutnya yang berkibar.

Syahdu... sungguh syahdu... indah... begitu indah... ah malam ini ada sesuatu yang berbeda dalam hidup Hageng. Akhirnya ada juga yang mau menikmati karyanya.

Ia pun mulai.

Kamu kotak, kamu maniz.
Kamu coklat, kamu gurih.
Kamu keju, kamu kuning,
Kamu vanila, kamu putih.
Kalau lava, warnamu merah jambu.
Oh, kamulah kezayanganku.
Kamulah... waferku
.”

Cewek itu menatap Hageng dengan tatapan tak percaya. Dia mencubit diri sendiri. Ini beneran kan? Yang ada di depannya ini beneran orang kan? Dia tidak sedang berhadapan dengan jin? Dengan orang yang suka nge-prank? Dengan salah satu personil OVJ?

Dia masih bernapas kan?

Puisi apaaaaaaan!? Apaan yang baru saja dia dengarkan? Tali tambang mana tali tambang? Pengen gantung diri di jembatan rasanya.

“Kalau zuka harap like dan follow youtube aku, Mbak.”

Serius? Dia benar-benar serius menjalani karir sebagai seorang penulis sajak? Sebagai poet? Dengan puisi wafernya ini? Yakin bisa dapet follower?

“Masnya punya akun Youtube? Buat nuangin puisi-puisi mas?”

“Baru rencana.”

“Heleh.”

“Tadi yang pertama buat pemanazan. Ini puizi aku yang kedua.”

“Sudah! Sudah stop! Sudah cukup!” Cewek itu menggeleng.

“Ini lebih epik.”

“Bodo amat!”

“Ini mengharubiru.”

“Ga ada urusan.”

“Pasti menghibur.”

“Biarin.”

“Digoreng dadakan.”

“Emang tahu bulet?”

“Ga pake ketan.”

“Emang cendol dawet?”

“Ini ya...”

Hageng kembali bersiap untuk mengeluarkan puisi terbaiknya. Dia sempat begadang dua hari dua malam ga ngemil apapun demi merampungkan deretan puisi berikut ini. Dua hari dua malam ga ngemil coba bayangkan betapa pengorbanannya begitu dahsyat!

Si cewek kembali bersiap untuk bunuh diri.

Wahai kamu janganlah zuka cemberut,
Wajah imutmu jadi berkerut.
Nanti orang zakit perut,
bukannya nakzir, malah kepengen kentut.
Wahai kamu zi cantik jelita,
tahukah apa bedanya kamu dan rumuz matematika?
Kalau rumuz zuzah dihapalin.
Kalau kamu zuzah dilupain.
Anjay
.”

Hageng membungkukkan badan, sambil tersenyum lebar. Seakan-akan ia baru saja mengucapkan kalimat-kalimat terdahsyat yang tidak pernah terpikirkan oleh almarhum Sapardi Djoko Damono sekalipun. Ya kali.

Plak. Sekali lagi telapak tangan si cewek nangkring di jidatnya. Really? Yang beginian ini yang menemuinya di tengah malam di middle of nowhere begini? Sang cewek pun berpikir apakah dia bisa mengubah air minum kemasan yang ada di dalam mobil menjadi racun serangga.

Hageng tiba-tiba menyebutkan deretan nomor hp sangat cantik yang teramat mudah untuk dihapal.

“Eh?” cewek itu bertanya-tanya.

“Itu nomorku. Aku tidak tahu apakah Mbak-nya percaya atau tidak zama aku. Yang jelaz aku hanya datang untuk menghibur zaja. Kalau nanti ada apa-apa, hubungi zaja nomor itu. Aku pazti akan langzung datang, kayak jin-nya Aladdin. Aku akan datang sambil bawa gendang untuk menghibur dan berdendang. Ah ha haha ah ha ha. Namaku Hageng.”

“...Ha-Hageng.”

“Zemoga baik-baik zaja nanti ya, Mbak cantik. Daerah zini mazih cukup aman kok. Tapi kalau ada apa-apa, hubungi zaja nomerku.” Hageng tersenyum, mengangkat dua jempolnya.

Secepat kedatangannya, Hageng pun berlalu untuk kembali ke kost-an dengan menenteng tas kreseknya. Ia meninggalkan cewek itu seorang diri terpekur di tengah jalan dengan pandangan muka bingung. Udah? Begitu saja?

Apaan sih yang barusan?

Cewek itu terbengong-bengong. Tapi satu hal yang pasti, ia mulai tahu kenapa dinosaurus punah.

Tentu saja ada alasan lain kenapa Hageng memutuskan untuk buru-buru meninggalkan cewek itu sendirian. Alasan utama Hageng pulang? Dia sudah laper berat tentu saja. Prinsip Hageng kan no women no cry, no ngemil barulah cry hard.

Untungnya tak lama setelah kepergian Hageng yang pulang ke kost-an, motor sang montir datang. ia berboncengan dengan salah satu rekannya dan tergopoh-gopoh menghampiri sang cewek. Laki-laki ini bekerja di salah satu usaha bengkel yang sebagian besar sahamnya dimiliki oleh si cewek – jadi bisa dibilang montir ini salah satu karyawannya. Melihat kedatangan sang montir yang baru datang setelah cukup lama menunggu, wajah cewek cantik itu pun sudah berubah menjadi ga enak banget. Ditekuk-tekuk sampai kucel.

“Ma-maaf, Mbak. Saya kelamaan ya? Tadi anak saya ga mau saya tinggal...”

“Bodo amat! Kalau sudah saya minta dateng ya dateng! Gimana sih? Nyebelin banget! Kalau saya gimana-gimana, apa Bapak mau tanggung jawab? Tahu nggak sih bahayanya cewek sendirian di tengah jalan malam-malam begini?”

“Ma... maaf, Mbak. Lain kali...”

“Ga ada lain kali! Malah doain mobil saya mogok lagi itu namanya! Awas aja kalau mobil saya sampai ga beres begini lagi! Bikin malu aja!”

“I... iya, mbak...”

“Ya udah benerin nih mobil saya kenapa!” bentak cewek itu galak. Sebel ih, tegang berjam-jam ternyata cuma gara-gara si montir ngelonin anak. Kan ada istrinya? Bisa kek bantuin bentar – ini lho ada cewek di tengah jalan di tengah malam. Ga kepikiran nuraninya? Kalau diculik orang gimana? Kalau diperkosa orang gimana?

Sebel ih! Malesin!

Jadi inget...

Waferku...

Lah? Kenapa tiba-tiba ingat puisi itu ya? Cewek itu pun tertawa geli sedikit. Bener juga ya, puisinya si Hageng bikin dia jadi los dol, urat-urat tegangnya lepas. Dari semua pria yang ia kenal, mungkin baru kali ini ada yang dirinya terhanyut dalam kesantaian.

Waferku...

Cewek itu cekikikan sendiri. Ah... ketegangannya terurai berkat Hageng. Sebenarnya kalau dilihat-lihat, si kribo itu manis juga kok.

Si montir melirik dari balik kap mobil yang baru saja dibuka, kenapa sih ni cewek yang barusan galak jadi cekikikan? Ini beneran majikannya kan? Bukan si manis jembatan kali mambu? Wajahnya pun berubah menjadi ketakutan saat melihat cewek itu menatapnya galak. “Apa liat-liat!? Cepetan benerin! Jam berapa ini? Aku udah pesen taksi online nih! Mau aku tinggal aja! Untung ada yang masih jalan! Awas kalau besok masih belum bener!”

“I-iya Mbak Eva.” Wew. Mending ketemu mbak Kunti beneran daripada ketemu cewek ini. Cakep tapi galak. Udah dibantuin bukannya terima kasih malah ngamuk. Huh. Untung aja cakep.

Cewek itu mencibir. Ia mengetukkan jemari lentiknya di ponsel mahal belasan juta yang ia gunakan. Nomer ponsel Hageng ia masukkan.

Hageng...

Kamu menarik...





.::..::..::..::.





Kepergian Kinan membebaskan Nanto dari bebannya. Sambil tersenyum, si bengal mengambil ancang-ancang ringan. Ia menurunkan badan hingga lutut bertekuk sedikit, tangan terangkat dengan telapak tangan tegak membentuk garis sejajar di depan dada. Tangan kanan lebih di depan daripada tangan kirinya. Kuda-kuda yang sangat ia sukai.

“Ayo maju.” ucap si bengal menantang dengan suara lantang. Matanya nyalang menatap satu persatu anggota lawan. “Mau sampai kapan kita prasmanan begini? Kalian nunggu sampai sekaten dibuka?”

Salah satu anggota slayer biru menyerang dari sisi kanan, dengan kecepatan tinggi, Nanto melontarkan kakinya ke samping. Lantang menerjang kaki dipancang, bak tongkat panjang, menghentak menusuk membuat lawan melayang. Sodokan kaki Nanto berhasil masuk ke dada lawan di kanan. Tubuh lawannya terlontar hingga dua meter ke belakang.

Bbkgghhh!

Tubuh lawan berguling, menggelinding, di samping.

Dua lawan lain maju bersamaan, Nanto hanya diam saja saat keduanya melontarkan senjata mereka. Satu memegang rantai, satu lagi tongkat kayu. Si bengal hanya terdiam, menatap ke depan seolah aksi yang dilakukan kedua orang tersebut tidak ada arti baginya. Ia menarik napas, lalu menghembuskannya lepas melalui mulut, menarik napas lagi, lalu menghembuskannya, sekali lagi ia tarik napas dan hembuskan. Tiga kali.

Nanto menundukkan kepala, lalu membuka mulutnya sedikit. Deretan kata dalam Bahasa Jawa terucap dari bibirnya. Begitu lirih suaranya, sehingga tak akan terdengar dari sisi lawan. Energi tak kasat mata menyelubungi badannya, memberikan kehangatan yang berbeda, memberikannya kepastian, dan kepercayaan diri yang lebih meningkat.

Kalis ing rubeda, nir ing sambikala.”

Gerbang ketiga dibuka.

Si bengal tersenyum sinis, memaksa dua lawannya yang panas hati untuk menjala emosi.

“Heaaaaaaaaaaaaaa!!”

“Woryaaaaaaaaaaaaaa!!”

Bddpp. Bpp.

Baik rantai maupun tongkat kayu itu mental bahkan sebelum mencapai sasaran. Nanto terlindung oleh sesuatu – sesuatu yang bagaikan selubung ajaib yang tak nampak. Kedua orang yang menyerangnya saling bertatapan. Apa-apaan ini? Bagaimana mungkin serangan mereka bisa mental? Kena saja belum! Wasuuuuuu!! Jingaaaaaaaan! Nganggo elmu kok, Nyuuuuukkk!!

“Heaaaaaaaaaaaaaa!!”

“Woryaaaaaaaaaaaaaa!!”

Sekali lagi!

Bddpp. Bpp.

Lagi-lagi senjata yang dilontarkan keduanya tak dapat menembus benteng pertahanan Nanto yang entah muncul dari mana asalnya dan bagaimana bentuknya. Senjata mereka terpental bak bertemu kasur raksasa yang tak nampak di tengah udara.

Si bengal mundur beberapa langkah dan mengambil ancang-ancang membaca lawan. Ia terengah-engah, gerbang ketiga ini sangat melelahkan untuk dieksekusi, jangka waktunya juga tidak bisa panjang. Jinguk – gara-gara kurang latihan ya begini nih. Yang penting dia tidak kelihatan kewalahan di mata lawan. Sebelum tenaganya terkuras habis, ia harus menuntaskan semua lawan. Nanto pun buru-buru masuk ke area pertahanan dua lawan yang terkaget-kaget melihat keajaiban di depan mata.

Nanto memilih yang memegang rantai sebagai sasaran pertama.

Tangan si bengal berkelebat cepat menghantam pergelangan tangan si pemegang rantai. Melepaskan senjata yang dipegang cecunguk itu ke tanah. Kaki Nanto bergerak cepat, menendang ke bawah kedua kaki lawan yang secara reflek bergerak naik ke atas. Gerakannya terbaca, lawan Nanto gelagapan dengan tubuh goyang karena kakinya tidak menapak dengan seimbang.

Nanto memutar pergelangan tangan lawan. Menguncinya.

Setelah lawan tak bisa lepas, tangan kanan si bengal bergerak cepat bak kaki kuda menjejak tanah, berulang berderap menghantam satu area target sasaran: bagian tengah dada.

Bkkkghhh! Bkkkghhh! Bkkkghhh! Bkkkghhh! Bkkkghhh! Bkkkghhh!

“Haaaaakgghhhhhh!” lawan melangkah tertatih ke belakang, terpukul mundur, dan terdesak. Napasnya tersengal satu dua, dadanya terasa tersengat dan remuk dihajar hantaman tangan kanan si bengal.

Awas, samping.

Bisikan pelindung muncul. Nanto menarik tubuh si pembawa rantai yang sudah hampir pingsan itu dan memutar tubuhnya sehingga badan sang lawan dapat ia pajang di depan dada, bagaikan tameng hidup yang hidup segan mati tak mau.

Bruaaaaakkkghhhh!

Tongkat kayu menghantam salah sasaran. Yang tadinya cuma mau pingsan, akhirnya pingsan beneran setelah kepalanya tersambar.

“Wassuuuuuuuuuuu!!” teriak si pemegang tongkat yang terkejut karena ternyata gerakannya terbaca dan Nanto justru menggunakan tubuh temannya sebagai tameng. Alih-alih mengenai si bengal, dia justru menghajar temannya sendiri!

Nanto melemparkan tubuh si pemegang rantai yang sudah tidak sadarkan diri ke samping. Ia pun berdiri tegap kembali sambil menyabet kencang pergelangan tangan dan kiri si pemegang tongkat yang terkejut, tongkatnya jatuh ke tanah, tangannya bak kesemutan. Nanto melompat ke atas sambil mengunci pergelangan tangan lawan, dan dengan satu sentakan hebat kepala si bengal menanduk kepala si pemegang kayu!

Jduaaaaaakghhhh!!

Dua kepala teradu, satu siap, satu tidak. Dua-duanya terlontar setelah bertabrakan kencang, dan rasa pusing hebat mendera kedua pria yang lantas kliyengan. Tapi Nanto masih berada di atas angin karena ki gerbang ketiga melindungi, begitu tapak kakinya tegap berpijak, ia melompat dan memutar badan di udara. Kakinya bagaikan kelebatan cahaya terang di tengah langit yang gelap gulita.

Sblgkkkhhhh!

Kepala lawan tersambar, badan terlontar, menyambar tumpukan tong sampah jalan yang langsung tersebar, sementara tubuhnya akhirnya tepar saat terkapar.

Satu, dua, tiga, empat. Empat lawan terbilang.

Nanto mendengus, mengelus keringat di hidung dengan punggung tangan. Ia merasakan selubung hangat yang tadinya melindunginya mulai berkurang sedikit demi sedikit. Dia harus menyelesaikan ini semua sebelum pertahanannya benar-benar paripurna. Tenaganya sudah hampir dihabiskan oleh gerbang ketiga. Kalau begini caranya, dia bakal tepar terlebih dahulu sebelum mampu membuka gerbang keempat.

Lawan-lawan Nanto tentunya tidak ambil pusing dengan gerbang atau gapura atau apalah, tau aja tidak. Empat lawan bergerak bersamaan. Asem ik. Mbok ya satu-satu gitu lho. Berani ne kok keroyokan. Dasar monyet bau, kadal bintit, muka gepeng, kecoa bunting, babi ngepet, dinosaurus, brontosaurus, kirik...!!

Empat orang berwajah seram maju serentak, wajah mereka keras dan tanpa ampun – mirip seperti prajurit terracotta yang berjajar dengan pandangan dingin. Ada yang pegang senjata, ada yang hanya tangan kosong. Tapi tidak ada yang gentar sedikitpun – yang begini ini yang merepotkan. Si bengal mengatur napas yang mulai berat.

“Heaaaaaaaaa!!”

“Haaaaaaaaarrrghhhh!”

Dua maju bersamaan, salah satunya mengayunkan pipa besi. Pipa itu berputar di tangan, kecepatan tinggi. Tidak akan menjadi hal yang indah jika pipa itu menghantam wajah si bengal. Otak buyar sudah tergambar di bayangan ambyar.

Bddpp! Bpp!

Selubung aneh masih melindungi si bengal. Pipa itu mental saat hampir mampir ke wajah Nanto – padahal jarak masih sekitar tiga kepal jaraknya. Mental semental-mentalnya. Si pembawa pipa bahkan terlontar ke belakang karena tenaga yang ia keluarkan untuk melontarkan serangan ternyata berbalik melemparkan tubuhnya ke belakang.

Teman yang ada di sampingnya tidak sempat melihat karena hanya dalam sekelebat mata saja, si bengal tiba-tiba sudah berada tepat di depannya. Kepalan Nanto bergerak bergantian menyasar wajah sang lawan. Berderap menghantam muka, hidung, pipi, dan mulut. Membongkar wajahnya yang sudah tidak tampan menjadi lebih parah ampun-ampunan.

Bdkkgkhh! Bdkkgkhh! Bdkkgkhh! Bdkkgkhh!

Laki-laki sial itu terlontar ke belakang dengan wajah bengap, antara pingsan beneran dan ingin pingsan saja.

Nanto mendengus, napasnya makin berat. Enam lawan sudah ia lalui. Entah berapa lagi yang akan... huff. Ia bisa merasakan denyut nadinya makin memanjat, kian melompat. Rasa hangat yang sebelumnya hadir, perlahan mulai surut, makin hilang ditelan gemulai angin dingin yang semakin bisa ia rasakan merasuk membelai kulitnya.

Tompel kadal burik.

Butuh waktu lama untuk memulihkan tenaga demi menghadirkan kembali gerbang ketiga. Ia kini hanya bisa mengandalkan apa yang ia punya. Si bengal kembali mengambil kuda-kuda khasnya. Tubuh sedikit merunduk dengan tangan sejajar di depan dada. Pandangan matanya tajam menatap ke depan, tidak ingin melepas perhatian dari sasaran. Mudah-mudahan ia masih cukup punya sisa tenaga untuk menghadapi semua lawan ini.

Dari kiri.

Bisikan itu datang tiba-tiba tanpa diminta. Nanto memundurkan kepalanya secara reflek, benar saja... satu sepakan kencang datang dari arah kiri. Beruntung dia selamat, dengan terpaut beberapa sentimeter saja kaki sang lawan akan menyambar kepalanya. Nanto melingkarkan tangan kiri ke kaki sang penyerang, sementara tangan kanannya dilontarkan ke atas untuk menghajar tiap tulang yang ada di kaki sang lawan!

Lawan si bengal berteriak kencang karena rasa sakit yang tak kepalang mendera tulang di sekujur kaki.

Bagaikan memegang balok kayu, si bengal mencengkeram erat kaki sang lawan yang kerempeng dan dengan sekuat tenaga melemparkan tubuh pria sial itu ke arah kawan-kawannya sendiri yang hendak menyerang. Begitu tubuh lawan ia lempar, dua temannya ikut ambruk menerima lontaran tubuhnya.

Tapi tidak dengan yang satu lagi.

Ada satu sosok yang tak bergeming dan beringsut santai untuk menghindari terkena lontaran tubuh kawannya. Nanto menyergapnya, satu sepakan ia lancarkan. Tapi laki-laki itu bahkan tak mencoba menghindar – dengan mudah ia menyentakkan serangan yang datang itu dengan satu tangan. Ia membalas mengincar Nanto dengan pandangan tajam tak terbias. Sosoknya menyeramkan bak barbar, tubuh besar, badan kekar, wajah sangar, dan menyeringai gahar – gek rupane yo ambyar. Paket komplit.

Nanto melepaskan dua tiga pukulan susulan.

Dpp! Dpp!

Kedua pukulannya terhenti tepat dalam sergapan telapak tangan yang menaut.

Eh!?

Om Kimpling yang masih menyaksikan pertarungan Nanto dan kawan-kawannya dari atas motor akhirnya menyilangkan tangannya di dada dan tersenyum, nah ini dia.

Akhirnya sang raksasa turun tangan juga. Yang sedang dihadapi Nanto saat ini adalah salah satu andalan unit slayer biru yang ganas, cepat, dan mematikan. Selain tubuhnya bongsor, ia juga memiliki kecepatan mengagumkan yang tidak biasa dimiliki oleh makhluk dengan ukuran sepertinya. Jadi pertarungan ini pasti bakal menarik! Bocah sok itu tidak akan pernah menduga akan berhadapan orang seperti ini.

Salah satu enforcer milik Dinasti Baru ini bernama Joko Tun Jenal – lebih populer dipanggil Jotun.

Nanto sempat kaget dengan kemampuan Jotun yang menurutnya tidak main-main, si bongsor ini ibarat tembok raksasa yang berdiri tegar tepat dihadapannya tanpa bergeming dan mampu menahan serangan. Tidak hanya itu saja, dia juga dapat dengan cepat berpindah dari satu posisi ke posisi lain dengan gerakan yang nyaris tanpa suara – apakah dia juga menguasai ki?

Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh! Bkkghh!

Tiap-tiap serangan si bengal berhasil dimentahkan oleh Jotun. Dari kanan, kiri, tengah, tengah, kanan, kiri kanan, tengah, tengah. Semua mentah! Nanto geregetan. Sompret terwelu! Diantem malah meleset sungguh terlalu!

Si tubuh bagor tersenyum melihat Nanto sepertinya mulai bingung mencari celah. Ia mengunci tangan si bengal, memelintirnya, dan melontarkan pukulan kencangnya.

Kepala. ke kiri.

Secepat kilat Nanto menuruti ucapan itu.

Ia berhasil menghindari serangan yang dilancarkan Jotun. Nanto memutar badan untuk membenahi posisi tangan yang dipelintir Jotun, ia kini membelakangi si bagor. Sembari menurunkan badan, kaki Nanto naik hingga hampir mencapai dagu sang lawan.

Jotun melepaskan pegangannya sambil terkekeh.

Nanto kembali membalikkan badan untuk menghadapi Jotun. Ia terengah.

Si bengal menggemeretakkan gigi dengan sengit. Gerbang-gerbang yang sudah ia buka mulai menyurut. Sial, kenapa juga dia harus mengeluarkan gerbang ketiganya terbuka tadi tanpa persiapan, tenaganya jadi terkuras habis dengan cepatnya. Kalau dibiarkan begini terus, bisa-bisa dia kewalahan menghadapi lawan yang sekuat ini – dia juga sudah tidak mungkin membuka gerbang keempat.

Pindah kiri.

Swooosh!

Sekali lagi serangan Jotun berhasil dielakkan oleh si bengal, namun kali ini sambaran pukulannya sempat mengenai badan Nanto sedikit. Gawat, gerakannya jadi lebih lambat. Huff. Nanto mengamati sekitar, ia mundur selangkah dan kembali memasang kuda-kuda. Lawan yang lain mulai bangkit untuk membantu Jotun.

Dua, tiga, empat, lima.

Tae kocheng, mosok yo dikeroyok limo. Satu lawan lima? Ra mutu ik.

Ternyata enam. Ada satu serangan datang dari arah belakang, pipa besi terlontar deras ke arah kepala si bengal.

Tap.

“Apa yang kalian lakukan?”

Tangan pembawa pipa yang menyerang Nanto terhenti di tengah jalan. Seseorang mencengkeram dengan erat pergelangan tangan pemuda itu. Pembokong Nanto kini berhadapan dengan raksasa yang besar dan tinggi – badan kekar yang sebelas dua belas dengan Jotun.

“BERHENTI SEMUANYA!!”

Suara berat itu menyiutkan nyali anggota Dinasti Baru yang baru saja mengeroyok Nanto. Meski jumlah mereka lebih banyak, tapi tak ada satupun anggota kelompok geng itu yang berani terhadap sosok yang baru saja datang.

Nanto mendengus dan memutar badan. Asem ik. Gerbang kewaspadaannya sudah tertutup, tidak ada bisikan yang memperingatkannya dari serangan yang baru saja dilakukan untuk membokongnya. Untung saja ia diselamatkan oleh orang yang... orang ini...

Amar Barok.

Kowe ra popo?” tanya penggede Dinasti Baru itu pada Nanto.

Pakaian Mas Amar masih lengkap dengan jaket jeans, helm penerbang, rokok di tepian mulut, celana jeans belel, sepatu boot, dan wajah sangar tapi tampan yang mulai terlihat ketika ia membuka slayer warna merahnya. Keringat di badan, debu perjalanan, dan knalpot motor yang masih mengebul bagaikan pertanda kalau kakak Deka itu baru saja pulang dari bepergian jauh.

“Mas Amar.” Nanto menggeleng. “Ga apa-apa, Mas.”

Ya wes. Aku beresin mereka. Kamu pergi. Lupakan semua ini.”

Suwun, Mas.”

Amar mengangguk.

Jotun tertegun.

Om Kimpling apalagi.

Tak perlu dua kali diucapkan dan tak perlu aba-aba. Nanto mengangguk dan buru-buru melesat pergi. Meninggalkan Amar berhadapan dengan para anggota NWO seorang diri.





.::..::..::..::.





Jantung Asty bertalu-talu bagai sedang ditabuh menggunakan palu Mjolnir milik sang dewa petir. Degup di dadanya menghentak sekali, dua kali, tiga kali, lebih cepat lagi, lagi, dan lagi. Gawat... gawat... perasaan dia sudah bersihkan semuanya kemarin. Sudah dia cek satu dua tiga, cek satu dua tiga. Kenapa masih juga ada yang kelewat? Apakah kemarin dia kelewatan membersihkan kolong meja itu? Haduh Nanto... apa yang sekarang harus ia lakukan? Alasan apa yang akan ia gunakan?

Keringat dingin menetes di dahi sang guru muda jelita.

Asty sekali lagi mengamati bungkus kondom yang ada di tangan Adrian. Ia memicingkan mata.

“Loh, bukannya itu yang pernah Mas pakai dulu?”

“Ha?” Adrian mengerutkan kening, mencoba mengamati bungkus yang ia pegang sekali lagi. “Masa sih? Masa aku pernah pakai merk ini?”

“Iya. Kapan itu kan, di Indom@ret merk yang Mas biasa beli habis, terus Mas beli yang itu.” Asty menghela napas. Ternyata aman, dia yakin benar jejak-jejak Nanto sudah tidak ada lagi di kamar ini. Si bengal brengsek itu saja yang akhir-akhir ini tidak ada kabarnya. Nyebelin. Ish.

“Masa sih?” Adrian masih belum percaya.

“Iya. Inget-inget lagi deh.”

Adrian menyelami kesadarannya, mencoba kembali ke suatu waktu yang telah lampau, yang sudah tak lagi ia ingat a, b, dan c-nya. Masa sih dulu dia pernah pakai kondom merk yang ini? Dia sudah benar-benar lupa. Semua masalah yang ia hadapi rupanya membuat ia pikun lebih awal dari seharusnya.

Asty menggerutu dan cemberut, “logika saja deh, Mas. Kalau bukan Mas yang pakai, terus siapa lagi? Mas pikir ada laki-laki lain yang pernah masuk ke kamar ini terus buang kondomnya sembarangan? Yang bener aja! Emangnya aku apaan!”

“Eh, bukan begitu maksudku.” Adrian gelagapan, wah gawat kalau Asty sampai marah dan bad mood. Bisa-bisa tidak dapat jatah! Mana lagi engas maksimal pula, bisa error 404 kalau begini namanya. “Aku cuma penasaran aja, kapan aku pernah beli kondom ini, bener-bener ga inget.”

“Ya udah diinget-inget dulu. Besok pagi kasih tau kalau sudah inget. Aku mau tidur!”

Asty merengut dan membalikkan badan, ia menarik selimutnya tinggi sampai hampir sedagu. Adrian hendak memprotes, tapi apa daya – ia hanya dapat memandangi punggung istrinya dengan batang bawah ngilu karena tidak jadi dipakai.

Woalah nasibe dadi wong lanang.

Sepertinya malam ini dia terpaksa harus ke kamar mandi dulu untuk meredakan yang tegang-tegang sambil bersalaman agar terjalin keakraban yang lebih signifikan antara jari jemari dan si otong. Kasih tak sampai ini namanya.

Cuma gara-gara sebungkus kondom.

Yungalah.





.::..::..::..::.





Rao melemparkan puntung rokok ke selokan yang ada di samping trotoar tempatnya duduk. Di belakang sang hyena gila, salah satu warung angkringan langganannya sudah mulai berkemas-kemas hendak kembali ke peraduan karena barang dagangannya laris manis tanjung kimpul. Duduk sendirian di tepian jalan, menikmati kesenyapan yang menggelayut di anjungan malam, bintang gemintang berkerlap-kerlip memadati langit yang menyebarkan selimut gelapnya. Dingin rasanya malam ketika bungkus rokok pun sudah tak lagi padat dengan hanya menyisakan serpihan bubuk tanpa batang.

Ahhh... nampaknya sudah tiba juga waktunya untuk tidur.

Tidur di mana ya malam ini? Kost-an? Kandang walet? Rumah temen? Rumah-rumah kembang selatan stasiun? Di mana enaknya? Ada yang mau usul?

Belum sempat pertanyaan simpel namun sulit itu terjawab, deru motor YZF R25 warna biru gelap terhenti tepat di depan sang pimpinan DoP. Helm full face dengan warna senada yang dikenakan sang penunggang membuatnya nampak lebih misterius dari seharusnya. Tubuh tinggi tegap terbungkus jaket kulit dan celana jeans ketat warna biru gelap, tangannya mengenakan sarung tangan warna gelap sehingga ia benar-benar tampil misterius.

Rao mengamati orang itu sesaat.

Keduanya berpandangan lama dalam diam. Sang penunggang motor merogoh jaket kulitnya dan mengeluarkan sebungkus rokok. Ia memberikannya pada Rao.

Sang hyena tersenyum dan mengambil sebatang.

Orang itu tak perlu membuka helm karena Rao bisa mengenalinya dengan mudah.

“Kayak hantu, sampeyan dab. Jangan khawatir, aku tidak akan membunuh orang itu. Aku hanya ingin menjajal kemampuannya saja.” ucap Rao sambil menyalakan rokoknya. Asap mengebul tinggi, hendak menuntaskan asa meraih bintang yang tak mungkin ia dapatkan. “lain kali jangan menghubungi aku lewat ponsel, aku jarang angkat. Beruntung aku kenal nomermu.”

“Aku tidak ingin ada satu orang pun yang tahu. Termasuk Kori, Remon, atau siapapun yang ada di lingkaran petinggi DoP. Kita tidak bisa percaya siapapun saat ini.” jawab sang penunggang motor yang masih juga belum turun dari motornya. “Kita harus menyelesaikan semuanya dengan segera – dengan perencanaan yang matang dan persiapan ekstra. Tidak bisa yang seperti ini dibiarkan berlarut-larut. Kami kehilangan banyak anggota karena ulah bajingan-bajingan itu dan saya yakin sampeyan juga mengalami hal yang sama..”

“Setuju, dab. Kita harus selesaikan secepatnya.”

“Bagaimana dengan kesepakatan kita?” tanya sosok itu lagi.

“Setuju juga.” Rao berdiri, mengebulkan asap, dan tersenyum. Dia mengambil sesuatu yang sejak tadi berada di belakang tempatnya duduk, sebotol minuman bertutup merah. Ia menawarkannya ke penunggang motor. “Tujuanku cuma satu. beresin masalah dan setelah ini semua selesai – aku pasti akan datang untuk menghancurkanmu. Kekekekek.”

Tawa sang hyena memang tidak pernah nyaman didengar.

Sang penunggang motor menggeleng, dia tersenyum di balik helmnya.

“Aku ra lotse, dab. Aku nggak minum.”

“Cih. Ra well. Ngombemu opo? SGM? Cap beruang?”

“Heheh. Semua demi persiapan untuk membunuh seekor hyena yang terlalu liar untuk dibebaskan berbuat semaunya di tengah kota.”

“Kekekekekek.”

“Aku pergi dulu.”

“Ini masih sore.” Sekali lagi Rao menawarkan minumannya. “Yakin ga mau?”

“Terima kasih, tapi tidak.” Si penunggang motor memberikan hormat dengan dua jari digerakkan ke depan dari posisi di depan dahinya. “Rao.”

Rao mengangguk. “Simon.”

Motor itu pun melesat menderu membelah malam..

Meninggalkan Rao yang berjalan gontai tanpa tujuan, dia masih belum tahu akan tidur di mana, yang pasti ia tahu sang botol akan menjadi sahabatnya malam ini. Rao menyalakan ponselnya untuk memutar lagu kesayangan sambil menemaninya berjalan ke sebuah tujuan yang belum terpikirkan.

Jangan kau takut pada gelap malam.
Bulan dan bintang semuanya teman.
Tembok tua, tikus-tikus liar.
Iringi langkah kita menembus malam.






.::..::..::..::.





Ketika si bengal sudah benar-benar hilang dari pandangan, suasana riuh. Ramai anggota New World Order memprotes dan mendatangi Amar Barok. Kenapa aksi mereka dihentikan? Beberapa anggota mereka lebih dulu dibikin pingsan! Eye for an eye! Moso yo ora dibales? Apa ya tidak dibalas?

Tapi pria bertubuh kekar itu sama sekali tidak bergeming. Ia tetap berdiri di tengah jalan dengan jumawa. Amar membalikkan badan sambil menyilangkan tangan di depan dada, menatap anggota Dinasti Baru yang memprotesnya satu persatu. Sudah lama sekali ia tidak menghadapi anak buahnya sendiri seperti ini.

Satu persatu maju dan mengutarakan opini mereka.

“Dia bikin rusuh, Bang! Dia udah bikin tepar Santoso dan si Genjik!! Saatnya kita balas, Bang!”

“Iya Bang! Mau ditaruh di mana muka kita?”

“Habisin dia, Bang!”

“Habisin, Bang!!”

“GOBLOOOOOOGGGG!! DIAAAAAM!” Amar Barok menyentakkan dua kata kerasnya pada anggota unit Slayer Biru dari Dinasti Baru yang membuat kepalanya pusing dengan kalimat sambung menyambung yang mereka ucapkan berbarengan. “Bisa tidak kalian diam dulu? Aku melepaskan dia, karena aku tahu apa yang tidak kalian ketahui! Kalian tidak percaya sama aku, he? Ganda nyawa kalian?”

“Ampun, Bang...”

“Siap, Bang...”

“Percaya, Bang.”

“Siap...”

Jotun termasuk yang mundur teratur tanpa suara, ia hanya bersidekap di belakang Om Kimpling. Sejak awal dia bahkan tidak protes.

Setelah semuanya tenang, barulah Amar melangkah di depan orang-orang itu. Dia mondar-mandir sambil mengamati satu persatu wajah anggota NWO. “Utek kok koyo torpedo wedhus! Kalian lupa siapa aku, he!? Wani-wanine protes sama aku!! Ga percaya kalian? Kalian pikir kalian bakalan mampu berhadapan dengan dia? Kalian belum melihat apa-apa yang bisa orang itu lakukan!! Aku tidak menyelamatkan dia, aku justru sedang menyelamatkan kalian!! Ngerti kalian!?”

Semua anggota NWO saling berpandangan dan menunduk. Menyelamatkan mereka? Bagaimana bisa? Lawan mereka kan hanya seorang diri saja? Seorang pemuda biasa saja, kan? Memangnya siapa orang itu? Kenapa Amar Barok yang perkasa saja sampai menghormatinya? Tentu saja mereka tidak ada yang berani melawan apa titah Amar.

Amar lalu lalang lagi sambil mengamati satu persatu wajah yang menunduk. Tidak ada yang berani menatap matanya.

Setelah memastikan protes mereda, barulah Amar melangkah ke depan Om Kimpling dan menepuk pundak pimpinan unit Slayer Biru itu. “Rasah dipikir, Om. Digowo santai wae. Tidak perlu dipikir terlalu panjang, santai saja. Lupakan urusan dengan bocah tadi, aku jaminannya.”

Awakmu kenal bocah mau?” Om Kimpling mengambil sebungkus rokok dari dalam kantong jaket dan menawarkannya pada Amar. Komandan unit slayer biru itu sendiri lebih memilih ngebul dengan vape. Ia memang selalu membawa bungkus rokok kemana-mana, meski bukan untuk dirinya sendiri.

“Kenal. Koncone SMA adiku.” Amar Barok mengambil sebatang rokok dari bungkus yang ditawarkan. Dia mengambil korek api gas dari dalam saku celananya sendiri lalu menyalakan ujung batang rokok yang sudah ia sematkan di bibir.

“Sehebat yang kamu omongin?”

“Mungkin lebih. Dulu di SMA dia tidak terkendali padahal baru menguasai ki sambil lalu saja, sekarang sekilas lihat dia sudah bisa mengatur kemampuannya. Itu menjadikannya lebih berbahaya. Sia-sia habisin tenaga hadapin dia malam ini.”

Weladalah. Emange sopo bocah kae? Siapa bocah itu?”

“Kalau kehidupannya lurus-lurus aja, dia hanya akan menjadi bocah biasa yang tidak akan menjadi masalah besar buat kita di kemudian hari. Mung kerikil, Om. Tapi kalau ada yang memprovokasi kemampuannya... dia bakal jadi bom waktu.” asap mengepul dari batang rokok di bibir Amar. Pria itu melirik ke arah Om Kimpling, “aku tidak ingin Dinasti Baru menjadi pihak yang mengomporinya.”

“Begitu...” Om Kimping manggut-manggut, dia mencibir. Masih belum melihat yang istimewa dari Nanto – kenapa Amar begitu mengaguminya? Tapi dia percaya seratus persen pada sang punggawa. “Yo wes lah kalau begitu. Aku manut opo karepmu aja.”

“Ada satu lagi, Om.”

Opo?

Komando Samber Nyowo bentukan Lek Suman.”

“KSN?” Om Kimpling mengernyitkan dahinya. “Kenapa dengan KSN?”

“Kita sama-sama berkutat di wilayah utara, cepat atau lambat KSN dan Dinasti Baru pasti bakal bentrok. Kawasan utara tidak seluas samudera.” Amar mendengus, “Darsono itu licik, sebelas dua belas liciknya kalau disandingkan dengan Lek Suman. Bukan masalah cepat atau lambat mereka bergerak ke arah kita – hanya tinggal masalah kapan.”

“Darsono si pengkhianat wasu.” Om Kimpling kembali mencibir, Darsono memang sempat berafiliasi dengan Dinasti Baru pada suatu ketika, bahkan sempat menjabat sebagai pimpinan salah satu unit. Sayang karena ulahnya yang kurang ajar dan tidak menghormati pimpinan, Darsono dikeluarkan dan berpindah-pindah kelompok sampai akhirnya memimpin KSN.

“Gimana menurut pendapat Om?”

“Pastikan kita tidak kena tusbol duluan. Aku mau kita siap menghadapi siapapun, kapanpun, dimanapun. Kalau memang sudah ada tanda-tanda langit mulai merah, kita yang harus gerak duluan. Kita basmi KSN.”

“Itu juga yang diinginkan pimpinan kita. Kita akan menyerang duluan di waktu yang tidak disangka-sangka. Lebih baik menggigit sebarin racun daripada dipatil terlebih dahulu. Perebutan wilayah utara dimulai dari sekarang.”

“Setuju. Kita harus jadi yang terbesar. Mau mereka mandiri, mau didukung PSG, bodo amat.”

Amar tersenyum.





BAGIAN 28 SELESAI.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 29
Akhirnya suhu is back.......iki kudu am tm joss
 
Status
Please reply by conversation.

Similar threads

Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd