***
Rani Asura sedang mengumpulkan tim untuk melakukan penyergapan ke markas Ranggalawe. Mereka ditugasi misi membawa pulang Theo kembali dalam keadaan hidup-hidup.
“Beruntung Yami berhasil merobek sebagian kecil dari baju yang Theo pakai. Aku membagi kalian dalam dua tim yang masing-masing beranggotakan empat orang. Adam, kau yang memimpin jalannya misi.”
“Baik, dimengerti.”
“Baiklah, kalian bo-”
BRAK!!!
“Maaf, mengganggu!”
Tiba-tiba pintu aula terbuka.
Dua orang Patih Kerajaan Majapahit ternyata yang datang.
“Ruby, Ruka! Seharusnya kalian menunggu izin dariku untuk masuk. Kalian bahkan tak mengetuk pintu terlebih dahulu!” teriak Rani Asura yang tidak senang dengan sikap kedua Patihnya. Keadaan memang sedang kacau, kedatangan mereka hanya menambah permasalahan saja.
“Maaf, Rani Asura. Kami sedang buru-buru. Ada yang harus kita bicarakan sekarang.”
Rani Asura langsung mengerti apa yang mereka ingin diskusikan. “Tunggu sebentar, aku belum menyelesailan urusanku dengan anak buahku,” sahutnya tidak peduli.
Ruby Barada sedikit kesal dengan alasan Sang Maharani. Ia tahu urusan Rani Asura dengan anak buahnya telah selesai.
“Berhenti berdalih, Rani Asura! Kerajaan sekarang dalam keadaan gawat. Ini karena kau yang lalai dalam melaksanakan tugasmu!”
BRAK!!!
Ratu Asura memukul keras meja di depannya, membuat semua orang di sana terkejut. “Aku masih banyak urusan! Aku tidak punya waktu untuk mendengarkan omelan kalian!”
Ruka Gandring menepuk bahu rekannya, menggeleng untuk mencoba menahan diri. Namun, tiba-tiba …
“Bibi!”
“Agnia …?!”
Semua orang yang ada berada di aula terkejut melihat Agnia yang tiba-tiba masuk. Terlebih Rani Asura lupa akan keponakannya yang satu ini. Sepertinya masalah akan bertambah menjadi runyam.
“Bibi, aku dengar Theo diculik oleh Ranggalawe. Ba-bagaimana bisa?” berondong Agnia tanpa basa-basi.
Rani Asura memandang iba keponakannua yang terlihat panik. Bisa dilihatnya baju Agnia yang terlihat basah karena peluh mengguyur tubuhnya.
Rani Asura pun mencoba menenangkan Agnia. “Aku belum bisa menjelaskannya padamu sekarang, Agnia. Tenang saja, aku telah membentuk tim khusus untuk menyelamatkan Theo.”
Agnia mengedarkan pandangan pada orang-orang yang berada di sana. Ia tak ingin berdiam diri. Ia harus ikut juga dalam misi penyelamatan Theo. “Bibi, aku mohon tolong masukkan aku juga ke dalam tim.”
“Tapi kau baru saja sampai, Agnia. Kau pasti kele-”
“Tidak, Bibi! Aku harus menyelamatkan Theo! Aku telah menemukan obat untuk menyembuhkan lukanya.” Agnia kemudian mendekati Ranu Asura. Ia menatap bibinya itu dengan mantap. “Kumohon, Bibi.”
Sejurus, Rani Asura terlihat berpikir. Rasa-rasanya tak baik jika i menolak permintaan Agnia, gadis itu ingin menyelamatkan teman se-timnya. Jadi tak ada salahnya apabila Agnia juga ikut dalam misi.
“Baiklah, Agnia. Kau masuk ke dalam tim. Bulan, Agnia yang menggantikan posisimu sebagai penyihir medis dalam tim.”
Bulan pun mengangguk.
Kemudian, Agnia menghampiri Bunda yang wajahnya setegang kanebo. “Bulan, tolong berikan obat ini pada Ryan.” Agnia menunjukkan pada Bulan sebuah botol obat hasil racikannya kemarin.
Semua orang di ruangan memandang Agnia dengan rasa penasaran.
“I-ini obat apa Agnia?” tanya Bulan.
Rani Asura pun jadi ikut bertanya, “Kau menemukan ramuan apa, Agnia?”
Agnia lantas mengeluarkan sebuah buku bersampul putih dari ranselnya. “Aku menemukan tanaman ajaib dari buku ini, Bibi. Maafkan aku, buku itu tidak sengaja terselip di buku obat milik Bibi.”
Ranu Asura lantas membuka lembaran buku tersebut. Ia terbelalak kaget ketika melihat isi dari buku tersebut. “Agnia, ka-kau?”
“Tenang saja, Bibi. Aku hanya membaca sampai di halaman tentang bunga Mawar Putih itu. Sisanya belum aku sentuh sama sekali. Maafkan kelancanganku, Bibi.”
Rani Asura menghembuskan nafasnya perlahan. Ia cukup lega karena rahasia penting di dalam buku itu tidak diketahui oleh Agnia. Rani Asura sendiri tidak tahu buku itu tersimpan di rak buku obatnya.
“Ya, sudahlah. Kau kumaafkan, Agnia. Baiklah, kalian boleh pergi.”
Para penyihir yang berada di sana membungkukkan badan pada Rani Asura, lalu segera meninggalkan ruangan.
Namun, Agnia belum juga beranjak dari tempatnya, ia masih terpaku pada Bulan. “Hm, aku belum yakin apakah obat ini bisa menyembuhkan Ryan atau tidak, tapi tolong coba kau campurkan bubuknya dengan air, lalu oleskan pada luka di dada kiri, Ryan. Ramuannya bisa menyerap sampai ke dalam pembuluh darah. Aku menyediakan satu botol lagi untuk Theo.”
“Ba-Baiklah,” sahut Bulan, menyanggupi.
Rani Asura hanya menatap tak percaya apa yang ditemukan keponakannya. Ia tahu betul bunga Mawar Putih itu, dan ia sendiri telah mengetahui lebih dulu keajaiban yang dimilikinya.
Rani Asura menjadi lebih optimis. Dengan begitu, tanpa pendonor jantung sekali pun, Ryan bisa hidup kembali, sehingga Theo tak perlu lagi mendonorkan jantungnya untuk keturunan Amurwabhumi terakhir itu. Dan semoga saja tim penyelamat bisa membawa Theo pulang kembali, karena pemuda itu memiliki kesempatan untuk sehat sedia kala.
“Agnia, ayo kita pergi,” ajak Kumbakarna yang menunggu Agnia di daun pintu.
Agnia mengangguk.
Ketika Agnia hendak beranjak dari sana, namun Bulan memanggilnya, “Agnia.”
“Ya?”
“Kau pasti bisa menyelamatkan Theo.” Bulan berkata penuh keyakinan.
Agnia tersenyum. “Ya, thanks, bubul.”
Bulan tidak membalas ejekan Agnia, ia justru memandang lara sahabat sekaligus rivalnya itu.
Dari ekor matanya, Bulan menyadari Arlan sedang menatapnya tanpa ada ekspresi di wajah. Belum sempat Bulan berkata apa-apa, Arlan sudah beranjak untuk pergi menjalankan misi.
Bulan menundukkan kepala. Gadis itu masih tidak enak hati dengan Arlan karena kejadian tadi malam. Walau situasi sedang kacau balau seperti ini, Bulan segera meninggalkan aula untuk menuju ke Rumah Sakit Majapahit.
Kini yang ada di ruangan itu hanya tinggal Ruby, Ruka, dan Rani Asura.
“Baiklah, Ratu Asura. Langsung saja, kami ingin meminta pertanggungjawabanmu atas tertangkapnya Theodore Wirabhumi ke tangan Ranggalawe.”
Rani Asura menatap tajam Ruby dan Ruka, ia sama sekali tidak takut menghadapi ceceran dua patih tua Majapahit.
***
Panji berdiri di sebuah tanah luas, meletakkan Theo di atasnya. “Summon: Apocalyspe!”
Panji me-summon sebuah patung monster berwujud kelabang yang biasa Ranggalawe gunakan untuk mengekstrak
mana para Beast Divine Spirit dari wadahnya. Mereka telah berhasil mengambil kedelapan Beast Divine Spirit. Oleh karenanya memang hanya Naga Besukih yang tersisa.
Beberapa waktu yang lalu, Samuel Wijaya dibantu Draken Aryeswara berhasil menangkap Hydra dengan perjuangan yang cukup merepotkan. Namun sayang, Draken justru terbunuh di tangan Teguh, wadah dari Hydra. Menyisakan Samuel yang masih hidup dengan luka yang tak bisa dianggap kecil.
Di sisi lain, rekan-rekannya banyak tumbang di medan pertempuran hanya demi mengumpulkan 9 ekor Beast Divine Spirit. Resiko yang tidak sepadan dengan ganjarannya. Tetapi, begitulah Ranggalawe yang beranggotakan penyihir tingkas S. Seluruh anggotanya ini dari awal rela mempertaruhkan nyawanya demi tercapainya tujuan mereka yang satu.
Dimulai dari Erwin Anusapati dan Tsukasa Garasakan yang gugur di Kerajaan Panjalu, namun nyawa mereka terbayarkan dengan membawa pulang Beruang Baluku.
Setelah Erwin dan Tsukasa tewas, proses penaklukan Beast Divine Spirit selanjutnya -Macan Anggaraksa- diserahkan kepada Bathory Hamangkurat seorang diri yang sukses tanpa hambatan.
Bathory sendiri adalah penyihir kelas S yang setara dengan Panji Amurwabhumi, tapi kelemahan lelaki itu adalah tidak tega membunuh perempuan … sampai akhrinya, Bathory meregang nyawa di tangan Elle Ayu Kertabhumi.
Kala itu Bathory bersama rekannya -Gusti Ayu Mirajane- sedang dalam misi penaklukan Beast Divine Spirit yang ketiga -Kura-Kura Akupara Tantrikamandaka- di Kerajaan Daha. Kebetulan Tim ART bersama Elle sedang menjalankan misi, dan berakhir dengan kematian Bathory Sang Iblis Darah.
Tidak sampai di situ, penaklukan Beast Divine Spirit -Kera Wanara- juga berakhir dengan kematian kakak tercinta Ryan, Kriss Prawira Diraja Amurwabhumi.
Mengingat banyaknya pasukan Ranggalawe yang gugur, penaklukan Kuda Aswatama, Lembuswana, dan Ular Raksasa Daksa diserahkan kepada Ivan Gajayanalingga dan Sang Mokteng Mahamerwacala.
Dan ya, prestasi kedua penyihir hitam itu menorehkan rekor terbaik sekaligus tersadis. Berujung keduanya berakhir di penjara Kekaisaran Jawadwipa.
Dan yang terakhir adalah Naga Besukih, yang saat ini dalam genggaman Panji Amurwabhumi. Panji adalah seorang penjahat, leader, sekaligus calon penghuni neraka.
Meski begitu, semua ini demi … revolusi!
Ranggalawe yang sekarang memang hanya tinggal bertiga, namun Ranggalawe sudah tak bisa lagi dibendung. Bahaya tetap saja akan mengancam kehidupan dunia penyihir
.
“Sebentar lagi … sebentar lagi … aku akan membalaskan dendamku pada Arcapada. Dunia penyihir akan bertekuk lutut kepadaku, akan kuciptakan kedamaian mengerikan untuk mereka. Hehehe.” Panji membayangkan mimpi-mimpi lamanya yang sampai saat ini belum terwujud. Pandangan Panji memperhatikan Gendrayana dan Samuel. Tampaknya mereka sudah siap.
“Baiklah, karena kita tinggal bertiga, mungkin butuh waktu 3 hari untuk mengekstraknya. Gendrayana, jangan lupa dengan tugas mengintaimu. Aku telah mengatur penghalang di luar goa dengan Demonic Protection. Mereka bisa terbakar ketika menyentuh penghalang itu. Kalian siap?” Panji memberi instruksi seraya memejamkan matanya. “Dark Inca-”
ZRAT!!!
Belum selesai Panji merapalkan sihirnya, matanya menangkap sosok hitam yang bergerak sangat cepat melintas di depan matanya.
Majapahit?
Tidak mungkin mereka akan sampai secepat itu, karena Panji sendiri menggunakan Disapear untuk kembali ke markasnya.
Lagipula, Gendrayana akan melapor jika ia menemukan ada tamu tak diundang yang akan mengganggu aktifitas mereka pada radius 5 km.
“Ugh!” Gendrayana menggenggam tangan kiri. Setangkai Mawar Putih menusuk telapak tangan. Belum sempat lelaki itu mencabut tangkai mawar itu, ia langsung jatuh ke tanah tak sadarkan diri … atau mati, mungkin?
“Eh?!” Panji terkejut dengan kejadian itu.
Sontak saja Panji melihat ke sekeliling, tapi tak ada siapa-siapa.
Samuel yang mencium aroma
geger geden, menyiapkan Pedang Sangkelat untuk menyerang.
Kemudian, Panji memeriksa keadaan Gendrayana. Saat Panji hendak mengambil Mawar Putih yang tertancap di telapak tangan penyihir pengintai tersebut, ia tertegun,
ini mawar beracun, ungkapnya dalam hati.
Panji pun kembali memperhatikan area di sekelilingnya. Tapi tetap tak menemukan apa-apa. Dwinetra-nya aktif. Matanya terbuka lebar tatkala melihat Theo tidak ada di tempat, di mana seharusnya dia berada.
“Apa ini? Seorang Whisper of Darkness lengah dari penjagaannya.”
Panji menoleh ke sembarang arah. Suara itu bergema, sehingga Panji belum bisa memastikan dari mana asalnya. Suara seorang wanita, yang suaranya begitu halus bak bidadari. Merayu, tapi juga terdengar nakal.
“Siapa kau?!”
“Hmmm? Akan kuberi tahu. Tapi aku ingin memberimu hadiah dulu, Panji.”
“Huh?”
“Tuan Panji, dia ada di sana!” seru Samuel sembari menunjuk ke arah lapangan.
Suara itu samar-samar terdengar berasal dari sana.
Samuel hendak mengeluarkan sihirnya, namun Panji menahan Samuel dengan isyarat tangan.
“Tak kusangka kau bisa mengumpulkan ke-delapan Beast Divine Spirit dengan merekrut para penyihir kriminal papan atas untuk membantumu. Tapi yang terakhir … heh, tidak akan kubiarkan.”
Sedetik, Panji melihat kelopak bunga mawar berterbangan di sekelilingnya.
“Siapa kau sebenarnya?! Tunjukkan dirimu!”
Tiba-tiba, terdengar suara seperti burung elang yang menggelegar di pantulkan oleh tebing-tebing goa.
Mata Dwinetra Panji melebar seketika. “Suara hewan ini …?!”
Sosok yang Panji terka pun muncul memperlihatkan wujudnya. Duduklah seorang wanita di atas phoenix besar yang tingginya sekitar empat meter. Sebagian wajahnya tertutup sampai bagian hidung. Rambut putihnya diurai menjuntai. Mata diamond-nya yang mengkilap menatap tajam Panji. Wanita itu menggenggam sebilah pedang, aura putih menyelimuti pedang di tangan kanannya. Itulah pedangnya sang Brahmani. Pedang Nagasasra. Pedang dengan gagang putih yang tak lekang oleh zaman.
Terdapat ornaman kepala naga di kedua sisi gagang.
Yah, ini adalah penyucian.
Kalabendu akan sirna, dan kalaseba akan menerangi kegelapan yang menyelimuti Jagat Arcapada yang kelam.
Wanita itu dengan gagah berani berdiri tanpa rasa takut di hatinya. Posenya sungguh memukau. Dengan posisi menyamping, sosok wanita itu menekuk kaki kanannya ke punggung phoenix. Penampilannya membuat siapa pun yang melihatnya terpikat. Walau wanita itu memakai boot hingga betis, pahanya yang putih mulus terpampang dengan indah.
Samuel sendiri langsung salah tingkah melihat penampilan wanita itu. Bidadari atau iblis yang menjelma, dia tak tahu. Yang jelas, wanita ini sangatlah menarik. Andai wanita itu menunjukkan wajahnya yang tertutup, Samuel tak bisa membayangkan apa reaksinya nanti.
“Familiar dengan ini, Panji?” tanya wanita itu.
Setelah berucap demikian, seketika bulu phoenix itu terlihat menyala-nyala terbungkus api merah, membentangkan sayapnya. Cahaya yang panas membara menerangi goa yang redup. Dari mahkota di kepalanya, lalu bulu-bulu panjang di ekornya, Panji langsung mengetahui hewan apa itu. Ya, hewan itu bukanlah hewan summon biasa.
“Pelindung api … penjaga selatan Arcapada … Sang Jatayu Maha Dibya, titisan Dewa Api Brahma. Tapi kupikir dia tak sekecil itu,” ejek Panji.
Wanita itu memincingkan matanya. “Apa boleh buat, goa ini terlalu sempit untuk Yang Mulia Jatayu.”
Cih, Jatayu yang asli sangatlah besar. Konon sayapnya membentang dari ujung bumi hingga ke ujung lain sampai bertemu. Lelucon apa ini? Hewan itu tak mungkin ada di sini.
Panji sangat mengenal hewan itu.
Karena saat perang Paregreg dulu, Panji berambisi untuk dapat mengendalikan hewan buas tersebut, yang ia dengar buasnya melebihi para Beast Divine Spirit.
Tapi satu. Hewan legenda itu tidak mudah untuk ditundukkan. Hanya orang-orang yang dipilih langsung oleh Sang Danyang-lah yang bisa menaklukannya.
“Dulu sekali, kau sangat ingin bisa mengendalikannya, kan, orang lama? Tapi apa boleh buat, Yang Mulia Jatayu tidak menginginkan kau menjadi tuannya. Ia menginginkan seorang Amurwabhumi yang lain.”
Panji mencoba menebak siapa wanita ini. “Kau … seorang Wirabhumi?”
Seingat Pamji, hewan-hewan titisan Dewata tersebut adalah milik trah Wirabhumi. Tetapi ada rumor bahwasanya trah Wirabhumi juga tak bisa mengendalikan hewan itu. Mereka hanya dijadikan para penjaga kerajaan mereka yang tertutup untuk orang asing.
Wanita itu tertawa pelan. “Hahaha, begitulah.”
Panji berpikir sejenak. “Seorang Amurwabhumi yang kau harapkan bisa mengendalikan Jatayu sudah lama mati! Lagipula mustahil bagi trah mana pun untuk mengendalikan hewan buas itu!”
“Kau pikir begitu? Kau salah, Panji. Kau bisa memperhatikannya, Yang Mulia Jatayu menurut kepadaku tuh!” wanita itu membelai bulu hewan itu dengan perlahan.
“Aku tak peduli dengan omong kosongmu! Trah Wirabhumi telah punah, itu yang aku tahu! Dan satu lagi yang tersisa. Hhh … aku tak tahu apa dia benar-benar Wirabhumi atau bukan,” papar Panji seraya menyeringai seram.
Wanita itu mengerti apa yang dimaksud 'Wirabhumi yang tersisa' oleh Panji. “Theo adalah bagian dari Wirabhumi. Darah yang mengalir di dalam tubuhnya tak jauh berbeda dengan darah yang mengalir dalam tubuhku.”
Panji menaikkan sebelah alisnya. “Hah?”
“Masih banyak rahasia dari trahku yang kau tidak mengetahuinya. Sebenarnya trahku belum hancur sepenuhnya, Panji. Kami akan kembali menyelesaikan tugas kami yang belum terselesaikan.”
“Tugas?”
“Keempat Danyang telah bangkit. Para Beast Divine Spirit itu akan dikembalikan ke tempat asalnya. Kau tidak akan pernah berhasil melaksanakan misi gilamu.” Setelah berkata demikian, wanita itu menyingkap penutup mulutnya.
Panji mengenal siapa wanita itu, sontak dia meneriakinya, “Ratna?! Bagaimana kau masih hidup, hei, Fiery Empress? Seharusnya kau sudah mati, sialan!”
Ratna memasang senyum simpul di wajah ayunya. “Aku hanya ingin menyelamatkan anakku yang kau tangkap itu. Lagipula aku abadi sepertimu, Panji Amurwabhumi.”
“Ja-jadi … wadah Naga Besukih itu …!” Panji tersentak kaget, berarti dulu Bhre Wijaya IV menyegel Naga Besukih ke tubuh anaknya sendiri. “Dan kau ini abadi? Aku tak mengerti apa yang kau maksud!”
Selesai Panji berbicara, Ratna tiba-tiba muncul di sebelahnya. “Kalau begitu, akan kubuat kau mengerti.” Seraya mengayunkan pedangnya pada Panji dari bawah ke atas.
Panji terkesiap. “A-apa? Sejak kapan …?!”
ZRAT!!!
“Ugh!” Panji berhasil menghindar, tetapi bahunya sedikit tergores oleh pedang itu.
“Kau lupa mengaktifkan mana-zone-mu, Panji.” Ratna melesat cepat ke arah Panji lagi, lalu mengayunkan pedangnya ke kanan dari kiri bawah.
TRANG!!!
Panji berhasil menangkis serangan Ratna dengan dagger di tangannya. “Hhh, kalau itu maumu, kita bisa bermain-main sebentar,” balasnya sembari tersenyum.
“Siapa takut?” tantang Ratna yang tak gentar menghadapi Panji.
Ratna memutar pedangnya, menghunus pedang itu ke arah pinggang Panji.
Namun, tiba-tiba Panji menghilang.
Ratna langsung melihat ke arah kiri dan kanannya.
Panji lalu muncul di sebelah kiri Ratna. "Aku di sini, Nyonya manis.”
Panji hendak menggores bahu Ratna dengan dagger di tangan kirinya. Sepertinya ia memang ahli dalam pengendalian mana-zone, gerakan-gerakannya tampak dibuat indah seperti menari.
Aku harus hati-hati kalau begitu agar tak hilang konsentrasi, keluh Panji dalam hati.
Ratna yang mengetahuinya segera melempar pedangnya ke atas, lalu salto dua kali ke arah kanan dengan cepat. Ia mengambil pedangnya kembali, berjongkok sembari menyentuh tanah di bawahnya.
"Sense-mu cukup tajam juga ternyata."
Ratna tahu Panji akan melakukan Disapear lagi, tapi sebelum itu ,dengan cepat Panji melontarkan sesuatu ke arah tangan kanan Panji yang sedang menggenggam dagger.
“Apa?!” Panji tersentak.
Dagger-nya seketika jatuh ke tanah. Panji memperhatikan tangannya yang tiba-tiba mati rasa. Sedetik, ia terbelalak kaget melihat setangkai Mawar Putih tertancap di tanah dekat kakinya.
“Hm? Sedikit meleset, ya? Beruntung kau hanya tergores oleh tangkai durinya. Kalau menembus tanganmu bisa-bisa kau seperti anak buahmu yang tidak akan terbangun selama seminggu.”
“Grrrr! Ka-kau!” geram Panji. Mawar Putih beracun itu melukai tangan kanan Panji.
“Dan tampaknya, kau tidak akan bisa menggerakkan tanganmu itu selama seminggu,” lanjut Ratna sembari tersenyum.
Ratna kembali melesat ke arah Panji.
Melihat tuannya terpojok, Samuel tidak tinggal diam. “Bullet Storm!” Samuel mengeluarkan ledakan berlemen air dari mulutnya ke arah Ratna.
Ratna menoleh ke arah belakangnya. “Eh? Aku tak menyadari keberadaanmu.” Ratna melayang di udara, menggunakan mana-nya untuk hinggap di langit-langit goa. Ia menatap nanar peluru air yang akan menyerangnya, lalu menancapkan pedangnya dengan cepat ke atap goa, kebetulan Ratna juga ahli dalam sihir air.
Dengan cepat, Ratna membuat segel tangan secara berurutan. “Lotus's Protection-”
Namun, belum selesai Ratna merapalkan sihirnya, ternyata sebuah tembok tanah muncul di depannya.
“Calvados!”
Peluru air yang menyerang Ratna terhalang tembok tanah, kemudian peluru air itu bercampur dengan tanah dan melumer ke bawah.
Ratna memadang ke sebelah kirinya, ia tersenyum melihat siapa yang berdiri di sana. “Kau datang di saat yang tepat, Luna.”
“Cih, ada yang lain rupanya. Samuel! Berdiri di sampingku!” perintah Panji sembari melihat sosok yang tiba-tiba datang.
Dan untuk kesekian kali, Panji dibuat tak berkutik karena sesuatu hal yang tak disangka-sangka muncul di depan matanya.
“Kakak, di mana Yang Mulia Jatayu? Bukankah tadi dia bersamamu?” sapa seorang gadis yang dipanggil Luna oleh Ratna.
“Ya, seperti biasa. Dia pasti kabur ketika berhadapan dengan air, hihihi,” ujar Ratna sembari cekikikan.
Gadis itu, Luna, penampilannya tak jauh berbeda dengan Ratna. Ia memakai gaun hitam tanpa lengan. Rambutnya yang panjang diikat rapi menyerupai ekor kuda.
Tapi bukan hal itu yang membuat Panji terkejut. Melainkan seekor harimau putih yang ditunggangi oleh wanita bermata coklat tersebut.
RAWR!!!
Harimau itu mengaum dengan kerasnya, memasang posisi ingin menerkam. Di bagian dahinya terdapat permata hitam yang berkilauan.
“Pelindung Tanah … penjaga bagian barat Arcapada … Sang Maung Cindaku, titisan Dewa Tanah Sambu.” Panji menelan ludahnya sendiri. “Ka-kalian … siapa kalian sebenarnya? Setahuku hewan-hewan itu tidak bisa di summon oleh manusia biasa!” Panji menatap dengki ke arah Ratna.
Dulu sekali, salah satu seorang keturunan Wirabhumi yang dikenalnya menawarkan Jatayu untuk dikendalikan olehnya .Namun apa daya, hewan itu begitu angkuh hingga tak mau tunduk pada siapa pun.
“Ini peringatan untukmu, Panji. Kita akan bertemu di perang selanjutnya. Persiapkan pasukanmu!” Ratna melayang rendah di udara.mendarat ke tempat sebelumnya ia berpijak.
Panji terlihat muak dengan keadaannya ini, amarahnya seketika memuncak. “Tak perlu menunggu sampai nanti, sekarang juga kalian akan aku hancurkan!”
Mendengarnya, Ratna sontak memperhatikan gerak-gerik Panji. Dwinetra di matanya melebar, Panji akan mengeluarkan sihir pamungkasnya.
“Annihilate!” Panji meneriakkan sihir andalannya. Dalam sekejap, api hitam itu melalap Ratna.
“Kakak!” teriak Luna. Luna ingin menolong kakaknya itu, tapi Cindaku malah membawanya lari menjauh dari kobaran api hitam Annihilate itu. “Yang Mulia Cindaku, kenapa menghindar?” tanya Luna heran bercampur khawatir.
Panji menyeringai kejam, ia yakin Ratna takkan lolos dari serangan Annihilate-nya. Namun, Panji melihat ada yang salah dari Annihilate yang dikeluarkannya.
Lambat laun, api hitam itu mati, dan digantikan dengan kehadiran api lain.
Panji tak melihat sosok Ratna di sana. Yang dilihatnya adalah sayap api menyala-nyala membentang dengan gagahnya.
Jatayu mengeluarkan suara melengking tajam, membuat goa berguncang hebat. Batu-batu kecil maupun besar berjatuhan dari langit-langitnya. Perwujudan Danyang berupa phoenix itu kelihatan murka, hewan mulai memperlihatkan kekuatannya.
Panji mengembalikan Apocalyspe kembali ke tempatnya sembari menutup telinga. Bisa-bisa patung berbentuk kelabang yang terdapat kedelapan Beast Divine Spirit di dalamnya hancur terkena reruntuhan langit-langit goa.
Suara lengkingan Jatayu membuat gendang telinga panji nyaris pecah.
Ugh, sepertinya dia memang Jatayu sungguhan. Kalau bukan, hewan itu, tak akan bisa mematahkan sihir Annihilate dan Demonic Protection-ku. Pantas saja wanita itu dengan mudah masuk ke sini tanpa sepengetahuanku.
Samuel segera membawa Gendrayana ke tempat aman, lelaki itu tak berkutik melihat markas rahasia organisasinya luluh-lantak, wanita misterius itu tak bisa dianggap remeh ternyata.
“Jadi, itu saja kekuatanmu?” tanya Ratna yang berdiri di depan Jatayu, menantang Amurwabhumi itu dengan berani.
Gemuruh goa lambat laun mulai hilang. Panji kembali menatap Ratna, lalu memandang iri hewan buas yang ada dalam kendali si rambut putih itu.
Harusnya dulu aku bisa mengendalikannya. Sial! Umpat Panji dalam hati.
“Baiklah, urusanku padamu hari ini telah selesai. Aku telah mendapatkan yang aku mau. Maaf ya, markasmu jadi hancur begini, hahahaha.” Ratna berujar sembari tertawa terpingkal.
Panji hanya bisa menatap muak wanita cantik namun menyebalkan itu. Kali ini tampaknya ia harus menyerah. Tangan kanannya tak bisa digerakkan, ia tak akan bisa bertarung menggunakan segel tangan untuk sementara ini.
“Ah, ya. Kau ingin tahu kan mengapa aku tidak mati waktu itu? Akan aku tunjukkan kalau begitu ….”
Kemudian, cahaya putih berpendar di sekitar Ratna. Lamat-lamat cahaya itu meredup, memperlihatkan wujud aslinya.
Sekarang, yang dilihat Panji adalah sosok manusia yang kedua matanya penuh kerlipan bintang, tak memiliki kornea seperti penyihir Dinasti Kertabhumi. Telinganya sedikit runcing di ujung daun. Auranya yang kuat membuat bulu kuduk berdiri ketika melihatnya. Bukan karena takut atau mengerikan, melainkan karena begitu mempesonanya makhluk itu.
“Ca-cantiknya ….” Samuel tersihir oleh kecantikan makhluk itu, dari wujudnya saja Samuel bisa menyimpulkan bahwa Ratna bukanlah manusia biasa.
“Ka-kau … Elf?!” suara Panji tergagap-gagap.
Ratna mengangguk. “Kau pasti tahu tentang legendanya, kan, Panji?” suaranya lembut menggoda.
Panji tak berkutik dibuatnya, tapi dalam hati ia merutuk. Lelaki itu sangat mengetahui legenda makhluk yang bernama Elf itu, dan kali ini ia sadar bahwa rencananya kali ini tidak semulus yang dia perkirakan. Ada campur makhluk yang telah ditelah bumi 400 tahun lamanya. Ini benar-benar bukan suatu yang bagus untuk Panji.
Sedetik, Panji manggu-manggut. “Sekarang aku mengerti untuk apa kalian memamerkan hewan-hewan itu di hadapanku.”
“Ya, para Beast Divine Spirit itu akan kembali ke tuan mereka masing-masing.” Rambut putih Ratna yang terurai, berkibar karena angin yang masuk ke dalam goa. Anting Mawar Putihnya terlihat berkilauan ketika ia mengatakan hal itu.
“Cih, aku tak tahu kalau kalian adalah bagian dari trah Wirabhumi.”
“Tentu saja. Trah Wirabhumi adalah Dinasti yang ahli dalam Seal Magic Art. Elf atau Wirabhumi … mereka adalah eksistensi yang sama.”
Begitu rupanya. Aku kurang informasi. Setelah ini aku akan mengumpulkan informasi tentang mereka, ujar Panji dalam pikirannya.
Ratna menyarungkan katana-nya kembali ke pinggang kiri. “Dah ya. Aku masih punya banyak urusan. Sayonara, Panji. Sampai jumpa di lain waktu.”
Ratna pun menghilang dari hadapan Panji. Diikuti dengan Luna dan kedua hewan titisan Dewata yang lipur bersama hembusan angin.
Panji mengepalkan tangannya melihat kepergian para pengganggu .Padahal sedikit lagi Panji dapat mengumpulkan kesembilan Beast Divine Spirit, namun ada saja yang menghalanginya.
“SIAL!!!”