Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.
***

“Selesai!” seru Agnia lantang sembari tersenyum bangga.

Gadis rambut merah itu berhasil meracik ramuannya untuk Ryan dan Theo dalam bentuk bubuk. Ia bersyukur bahwa pekerjaannya selesai lebih cepat dari yang ia rencanakan. Tinggal mengeringkan ramuannya saja, dan jadilah.

Sebenarnya, Agnia ingin cepat-cepat kembali ke Majapahit, tapi rasa kantuk menghalanginya untuk pulang malam ini. Hampir 10 jam non stop ia memeras otaknya, bereksperimen semalam suntuk. Fisik dan otaknya memang perlu diistirahatkan untuk mengembalikan staminanya esok.

“Uhm … sepertinya aku baru bisa pulang besok pagi … hoam!” gumam Agnia sembari menguap. Sebelum beranjak dari meja, Agnia memandang dua botol berisi obat di dalamnya. “Akhirnya aku bisa menyelamatkan kalian berdua. Theo. Ryan.” Ujar Agnia sembari menitikkan air mata. Agnia dulu pernah berjanji pada dirinya sendiri bahwa suatu hari nanti dia bisa menyelamatkan dua orang rekannya tersebut.

Seperti pesan terakhir seorang penyihir kenalannya padanya, “Agnia, kali ini tolonglah orang yang kau anggap berharga bagimu. Dan bukan orang yang sekarat. Kau mirip sekali denganku. Karena tak banyak perempuan yang memiliki jiwa ksatria seperti itu. Kau pasti akan menjadi penyihir hebat melebihi bibimu … sekarang kau adalah … Witch … Reaper ….”

Dan sekarang, Agnia bertekad untuk menepatinya. Kali ini ia tidak boleh gagal seperti kemarin. Agnia tak mau membayangkan bagaimana kalau hasil racikannya gagal menyembuhkan luka Ryan dan Theo. Ia berpikir se-optimis mungkin.

Lantas, Agnia pun melenggangkan kakinya ke tempat tidur yang telah tersedia di laboratorium. Perlahan, ia membuka jendela, melihat langit malam yang terlihat pucat, tak menampakkan keindahannya. Tak ada rembulan dan tak ada bintang yang menampakkan keindahannya. Gak ada rembulan dan tak ada bintang yang biasa bertaburan.

Mengapa malam seakan tak bergembira untuknya? Padahal hatinya kini sedang menanti kebahagiaan di esok hari. Kebahagiaan melihat dua orang yang berharga baginya bisa berkumpul lagi bersama-sama seperti yang telah lama diharapkan.

Nyatanya, masa depan tak selalu seirama dengan apa yang kita inginkan, bukan?

Agnia pun menutup jendela dan segera membaringkan diri di atas tempat tidur.
Ia sangat kelelahan, dan dalam waktu sekejap saja Agnia langsung pergi ke alam mimpi.

***

Awan hitam telah datang, tapi masih segan membagi hujan pada bumi yang telah menantinya sejak lama. Ia hanya mendatangkan angin kencang yang mulai berhembus di Kerajaan Majapahit.

Sentuhannya membuat kulit merinding. Malam itu terlihat lengang, penduduk desa jarang terlihat berlalu lalang di jalan. Mereka telah kembali ke rumahnya masing-masing sejak pukul 8 malam.

Angin kencang yang nyaris bisa disebut sebagai angin ribut itu memang membuat para penduduk enggan keluar dari rumahnya. Suasananya cepat membuat kantuk.

Tapi tidak bagi Theodore Wirabhumi. Ia beberapa kali mencoba memejamkan mata untuk terlelap, namun tidak bisa. Menghitung domba pun tak menghasilkan efek apa-apa. Bisa jadi sia sangat tegang karena operasi 2 jam lagi akan dilaksanakan.

Theo sedikit was-was. Takut operasinya gagal atau tak berjalan dengan lancar.

Sejurus kemudian, Theo memandang ke arah jendela. Rasa-rasanya ia ingin melenggang ke sana dan memandang bintang yang biasanya selalu menampakkan pesonanya di kala malam menjelang.

Tapi apa daya, kakinya tak mampu untuk melangkah. Bisa Theo rasakan kedua kakinya lumpuh, mati rasa. Mungkin efek jangka panjang Annihilate yang membuatnya seperti ini. Efek serangan itu memang belum hilang dari tubuhnya.

Namun, Theo tak memberitahukannya pada Rani Asura karena disembuhkan pun tak ada gunanya. Untuk apa? Toh sebentar lagi k akan meninggalkan dunia yang fana ini.

Tok! Tok! Tok!

“Anu, permisi, Theo.”

Theo mendongakkan kepalanya ke arah pintu, lalu segera bangkit untuk duduk. Seseorang ternyata mengunjunginya.

“Ya, silahkan masuk,” jawab Theo. Seseorang itu pun membuka pintu ruangan secara perlahan.
“Oh, Kak Ravalda. Ada apa? Apa operasinya akan segera dimulai?”

“Masih 2 jam lagi, tapi aku mau check keadaanmu dulu. Lagi pula ada yang ingin mengunjungimu, Theo.”

“Siapa?”

Ravalda mempersilahkan seseorang yang lain yang bersembunyi di balik tembok untuk masuk ke dalam ruangan.

Muncullah sesosok gadis berambut ungu kebiru-biruan yang sedang menatap Theo dengan bimbang. Seseorang yang tak Theo sangka-sangka kehadirannya. Theo sedikit terkejut dengan kedatangan seorang gadis yang belakangan ini selalu berada di sampingnya.

Namanya Elle Ayu Kertabhumi, bergelar Azure Moon Empress.

Gadis itu adalah seorang ningrat, darah biru, gadis kelas atas, dan pewaris sah trah Kertabhumi.

Ya, benar adanya jikalau Elle adalah satu-satunya gadis yang tak pernah meninggalkan Theo barang sedikit pun.

Pikiran Theo pun mengulang kejadian tempo dulu saat dia dan Elle bertarung melawan Bathory. Tapi terinterupsi karena sapaan pewaris trah Kertabhumi itu.

“Se-selamat malam, Theo,” ucap Elle terbata-bata.

Theo tersenyum simpul. “Selamat malam, Elle. Masuklah.”

Elle melangkahkan kakinya masuk ke dalam ruangan, berikut Theo mempersilahkannya untuk duduk.

“Terima kasih, Theo,” ucap Elle setelahnya.

Ravalda masih berdiri di luar, pintu dibiarkan terbuka. Sang tangan kanan Rani Asura itu tidak ada niat untuk mendengarkan percakapan antara Theo dan Elle. Untuk itu, ia pergi sebentar ke ruangan di mana tim dokter sedang berkumpul. Ravalda berencana 30 menit lagi ia akan kembali ke ruangan Theo.

Cukup lama Theo dan Elle saling membisu. Tak ada satu pun kata yang keluar dari mulut mereka berdua.

Theo sendiri bingung ingin membicarakan apa, tapi pada akhirnya ia mempunyai suatu hal yang ingin ia bicarakan. “Kau pasti sudah tahu, kan, Elle?”

Elle langsung mengedarkan pandangan ke wajah Theo. Namun, tidak berani menatap Theo lama-lama. Ia pun hanya bisa mengangguk sembari menunduk.

Theo menyadari suasana yang tidak mengenakkan di antara mereka berdua. “Ah, Elle. Hahaha … apa boleh buat, kan? Ryan dalam keadaan sekarat karena dia melindungiku. Dan aku tak bisa diam saja melihat dia dalam keadaan yang seperti itu.” Theo menggaruk-garuk belakang kepalanya sembari terkekeh-kekeh, dia tahu sebenarnya ini bukanlah hal lucu, Theo hanya ingin mengurangi ketegangan yang menyelimuti mereka berdua.

“Aku mengerti, Theo,” sahut Elle, sambil menatap Theo lekat-lekat.

Theo tertegun melihatnya. Elle kelihatan sangat tegar. Biar Theo menyadari mata Elle mulai berair, tapi gadis itu menahannya agar tidak jatuh. Ia memberikan senyuman penuh ketulusannya pada Theo. Dan anehnya kali ini dia tidak terbata-bata.

Theo pun membalas senyuman Elle, ia teringat ada perihal penting yang sebaiknya harus diselesaikannya sebelum ia pergi. “Elle, waktu itu … terima kasih karena telah menolongku dari serangan Bathory. Aku sangat khawatir dengan keadaanmu.”

“Sama-sama, Theo. Soal itu, Agnia langsung menyembuhkan lukaku. Mungkin aku terlalu nekat, tetapi aku tidak bisa melihat kau dibawa lari oleh Bathory.”

“Jadi Agnia yang telah menyelamatkanmu? Aku baru mengetahuinya.” Theo tersenyum sembari membayangkan gadis tsundere itu.

“Ya. Tentunya juga menyembuhkan lukamu, Theo,” sahut Elle yang sedang mengarahkan pandangan ke kedua kaki Theo yang tertutup selimut.

Air muka Theo seketika berubah. Ia sangat yakin Agnia pasti bisa menyembuhkannya, tapi untuk seseorang yang lain.

“Itu pasti, Elle,” balas Theo, “tapi … ada satu orang yang dia ingin sembuhkan, namun itu terlihat mustahil baginya. Karena itu aku yang akan menyembuhkan orang itu.”

Elle tertegun. Sedikit banyak ia tahu perasaan terpendam Theo pada Agnia. Dari sikapnya yang bersikeras ingin membawa Ryan pulang. Sebab, siapa yang sudi melepaskan sahabat sejati begitu saja?

Bagi Theo, Ryan adalah darahnya, bagian dari kehidupannya. Teman seperjuangan, senasib sepenanggungan.

Sedangkan Agnia adalah jantungnya, cinta matinya. Sayang, gadis berambut merah itu mencintai orang lain yang tak lain dan tak bukan adalah sahabat Theo sendiri.

Lalu, apalagi yang harus ditanyakan?

“Ryan?”

“Ya,” jawab Theo sembari mengangguk pelan.

“Kau sangat mencintai Agnia, ya, Theo?” Elle bertanya pelan.

Theo tercenung mendengarnya. “Ka-kau tahu, Elle?”

“Ya,” jawab Elle sembari menundukkan kepalanya.

“Maaf, Elle. Aku tidak bermaksud.”

“Tak apa, Theo.” Elle kemudian memalingkan wajahnya dari Theo. Mukanya bersemu merah. “Kau mengetahui perasaanku sebenarnya saja sudah sangat membuatku senang.”

Theo tertegun. “Eh?”

Elle tersenyum kecil. “Aku juga pernah nyaris mengorbankan diriku untukmu. Lalu kau hendak mengorbankan dirimu untuk dua orang yang sangat berharga bagimu. Aku … sangat memahami hal itu, Theo.”

“Begitu, ya?”

“Memang benar ada sebagian dari diriku yang tak ingin menginginkan kau pergi. Tapi pada akhirnya aku mengerti, yang harusku lakukan adalah merelakan kau pergi. Aku tak punya hak untuk memaksamu.”

Theo nyaris menggigil mendengar pernyataan Elle. Baru kali ini Theo lihat ada seorang gadis yang memiliki perasaan sedalam itu kepadanya, tentu Theo sangat senang, tapi sayangnya perasaan Theo tidak seirama dengan perasaan Elle terhadapnya.

“Elle, aku yakin suatu hari nanti kau akan mendapatkan lelaki yang baik. Semoga dia bisa membuat kau bahagia sampai kau menutup mata.”

“Ya, Theo,” ucap Elle yang tiba-tiba tersedu-sedu .Air mata mulai turun membasahi pipi gadis itu yang seputih langit Arcapada. Bagaimanapun, hal ini tak mudah bagi Elle. Ia sendiri tidak yakin apakah bisa berpindah ke lain hati. Elle hanya ingin menghibur Theo di saat-saat terakhirnya, untuk itu Elle berusaha setegar mungkin.

Theo menggenggam tangan kanan Elle dengan kedua tangannya. “Terima kasih telah mencintaiku, Elle.” Theo tak mampu berucap lebih dari itu. Begitulah kata hatinya. Theo tidak bisa membohongi perasaannya sendiri. Pemuda itu menyadari ada sesuatu yang beda pada diri Elle. “Aku lihat sepertinya kau tidak gagap lagi, Elle.”

Elle menyeka air mata. Ia tersenyum kecil. “Ya, Theo. Sejak saat kejadian itu, tak tahu mengapa aku bisa mengontrol kegagapanku. Walaupun hanya sedikit.”

Elle lalu memperhatikan jam dinding di ruangan Theo. Ia menyadari waktu kesempatan menjenguk sudah habis. Barusan, ia diizinkan oleh Rani Asura untuk menjenguk Theo dan ia berjanji hanya 30 menit untuk menengok si pemuda berambut putih.

Malam sudah larut, niatnya Elle memang ingin bermalam di rumah sakit mengikuti perkembangan operasi.

Sebelum Elle pergi, ia mengeluarkan sebuah kalung ber-pendant batu aquamarine di tengahnya. “Theo, ini adalah kalung ibuku. Ini adalah jimat keberuntunganku. Aku percaya dia selalu melindungiku di kala aku sedang dalam keadaan bahaya. Aku ingin kau memakainya.”

Batu biru laut aquamarine terlihat berkilauan di tangan Elle.

Theo memperhatikannya secara saksama benda itu, ia merasa enggan untuk menerimanya. “Anu, Elle. Sepertinya kalung itu sangat berharga bagimu. Aku tidak ingin mengambilnya. Aku tak bisa memakainya.”

Elle menatap mata azure Theo penuh harap. “Kumohon, Theo. Tidak apa-apa. Aku ikhlas memberikannya padamu.”

“Bukannya aku tak ingin menerimanya. Rasanya kalung itu tak pantas terkubur bersamaku. Kalau itu memang kalung bertuah yang bisa menyelamatkan seseorang, aku berharap kalung itu dapat menyelamatkan Ryan.”

Elle tertegun. “Untuk … Ryan?

Theo mengangguk.

Elle terlihat berpikir sejenak. Ia memang tidak terlalu mengenal Ryan, tapi kalung itu turun-temurun diwarisi di keluarga Kertabhumi. Tidak boleh diberikan ke sembarang orang. Si gadis kalem ingin memberikan kalung itu pada Theo karena perasaan spesialnya pada sang pangeran hatinya. Namun, jika untuk Ryan … Elle ragu.

Theo menyadari kebimbangan Elle. “Elle, aku tahu Ryan masih sangat asing bagimu. Untuk itu, boleh aku memberitahukan suatu hal padamu?”

“Tentang apa, Theo?”

“Tentang dibalik pembantaian trah Amurwabhumi.”
 
Terakhir diubah:
wahh, tak bisa aku berhenti dan meninggalkan tulisanmu ini hu...

luar biasa
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
***

Operasi transplan jantung Theo untuk Ryan dilakukan secara diam-diam. Meski rumor telah tersebar, rekan-rekan penyihir yang seangkatan sudah tahu perihal ini. Terutama Tim Panser yang beranggotkan Pandu Rakabuming Hariwangsa, Steven Tohjaya, dan Elle Ayu Kertabhumi.

Namun, mereka sulit sekali mendapatkan izin dari Ratu Asura untuk menjenguk Theo.

Theo memang tak memiliki banyak waktu karena operasi ini terlalu mendadak dilaksanakan. Tapi apa mau dikata, mereka ingin bertemu dengan Theo untuk terakhir kali.

Elle tidak memberitahu pada Theo kalau sebenarnya teman-teman yang sedang dalam perjalanan menuju ke rumah sakit, mengendap-endap seperti pencuri, memasuki rumah sakit dari pintu belakang yang terpencil, tidak banyak dilalui orang … apalagi malam-malam begini tempatnya sangat menyeramkan.

“Duh! Kenapa kita ingin menjenguk Theo harus diam-diam seperti maling begini, sih? Lagipula aku tak menyukai tempat ini!” Bulan Dyah Pitaloka menggerutu seraya memeluk kedua bahunya sendiri sembari melihat di sekeliling jalan pintu masuk.

“Apa boleh buat. Memang merepotkan, sih. Tapi kalau ketahuan Rani Asura bisa lebih merepotkan lagi. Hoam!” timpal Arlan Bagus Linggabhumi -sahabat dekat Theo- yang terlihat mengantuk.

Sontak Bulan langsung memukul kepala pemuda itu. “Kau jangan tidur, Arlan!”

“Huh, aku belum tidur seharian, tahu!” dengus Arlan malas.

“Ssstt! Sudahlah, kalian jangan bertengkar,” Kevin Pamungkas Pakubhumi -pemuda tambun yang paling dewasa di antara keduanya- melerai pertengkaran mereka, ia jengkel melihat kedua teman se-timnya adu mulut. Itu karena Kevin tipikal penyihir yang tidak enakan. Semua rela tidak tidur malam ini hanya untuk menjenguk Theo. Jadi, tidak ada salahnya kan mereka tidak tidur hanya sehari? Toh, mereka hanya punya waktu 30 menit sebelum operasi dimulai.

Kadang Kevin ingin menjitak si pemalas ini juga karena ke-masa-bodohannya. Ya, bisa Kevin mengerti bukan maksud Arlan bersikap seperti itu. Arlan hanya kesal pada Rani Asura yang tidak mengizinkan mereka semua untuk menjenguk Theo. Di sisi lain, penyihir kelas A itu juga bingung mengapa hanya Elle yang diizinkan, padahal mereka juga temannya Theo. Menyebalkan.

Saat ini, mereka telah memasuki koridor utama. Kevin, Arlan, dan Bulan berjalan paling depan.

Bintang Kertabhumi -sepupu Elle-, Novaria Alice Pramodawardhani, dan Bobby Jayawarman mengikuti di tengah-tengah. Sedangkan Pandu Rakabuming Hariwangsa dan Steven Tohjaya berada di belakangnya.

“Misi, geng. Aku tidak mengerti mengapa Theo mendonorkan jantungnya untuk Ryan?” Alice memecahkan keheningan di antara mereka bertujuh. Semuanya serempak menatap Alice. “Setahuku luka di kakinya masih bisa disembuhkan. Dan Ryan … Ryan adalah seorang buronan yang diincar-incar oleh kerajaan tetangga. Lalu kenapa dia yang dipertahankan oleh Rani Asura?” imbuhnya dengan nada serius.

Satu per satu dari mereka pun menjawab dengan persepsinya masing-masing.

Yang pertama berkata adalah Bobby, “Aku juga tidak mengerti. Tapi mungkin, bisa jadi ya, karena trah Amurwabhumi adalah salah satu trah hebat di Majapahit. Tapi kalau begitu, aku sangat iba terhadap Theo,” yang matanya mulai berkaca-kaca, sesekali penyihir kelas B itu mengusap matanya dengan bajunya.

Bintang dan Alice hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah Bobby. Bobby memang lelaki yang sensitif.

“Bisa jadi kau benar, Bob. Tapi menggerayangi otaknya, kurasa Theo ingin merubah takdir Ryan. Aku dulu pernah berargumen dengannya tentang takdir, dan dia tampak optimis sekali bahwa takdir itu bisa dirubah. Yang tak habis pikir, mengapa Theo tidak mengubah takdirnya sendiri? Dia justru ingin merubah takdir si keparat itu!” sambung Bintang sedikit emosi.

“Hhh … si bodoh itu terlalu memikirkan orang lain sampai dirinya sendiri saja tidak dia pedulikan!" tukas Steven yang menyilangkan kedua tangannya di dada. Kata-kata yang diucapakannya memang seakan menunjukkan bahwa dia tak peduli, tapi jauh di lubuk hatinya, ia sangat kehilangan sosok Theo yang diam-diam menginspirasinya.

Sedangkan Pandu tidak ikut berkomentar. Ia hanya mengernyitkan dahi, dan itu cukup untuk menginterpretasikan bahwa dirinya juga turut sedih dengan kejadian ini.

“Menurutku, Theo terlalu gegabah dan tidak memikirkan yang lainnya,” ujar Bulan tiba-tiba.

Seketika Arlan langsung menatap tajam teman se-timnya itu.

“Dia tidak memikirkan perasaan Agnia. Aku tak berani membayangkan bagaimana reaksi Agnia nanti. Menurutku ini terlalu berlebihan!” sambung Bulan, suara Princess of Ethereal agak meninggi.

“Lalu bagaimana denganmu sendiri, Bul?” tanya Arlan yang dari nadanya terlihat menyindir, suaranya terdengar geram seraya menatap nanar Bulan.

“Ke-kenapa kau menatapku seperti itu, Ar?” Bulan merasa tersinggung dengan tatapan aneh Arlan.

Arlan memutar bola matanya malas. “Kau tidak senang Ryan bisa hidup kembali?”

Bulan terkesiap. “A-apa maksudmu, Arlan? A-aku …”

“Kau tidak tahu, Bulan, kalau hati laki-laki itu lebih patah dari hati perempuan! Itulah mengapa aku selalu bilang perempuan adalah makhluk yang merepotkan! Mereka ingin dimengerti, tapi sendirinya tak mau mengerti perasaan laki-laki!” bentak Arlan, curhat. Sontak membuat yang lainnya kaget, suara Arlan terdengar seperti tamparan bagi para kaum hawa.

“Su-sudahlah, Ar. Ini sudah malam, tidak baik jika-”

“Tutup mulutmu, Kev!” Arlan mulai naik pitam. “Aku hanya ingin mengeluarkan apa yang ada di benakku, yang terkurung selama bertahun-tahun!” Arlan kembali menghadap Bulan. “Kau tidak mengerti apa-apa tentang Theo, Bul.”

Mata Bulan mulai berkaca-kaca, dia tak mengerti mengapa sang Witch of Thorns itu menjadi beringas.

“Bukannya kau galau mendengar Ryan-mu terlibat dalam Ranggalawe? Bukannya kau menangis, Bulan? Harusnya kau berterima kasih pada Theo karena pada akhirnya Ryan-mu akan hidup kembali!”

Bulan hanya diam membisu, dia menundukkan kepalanya, kali ini dia tak dapat menahan tangisnya.

“Jawab aku, Bulan!” bentak Arlan yang semakin kalap.

Alice melangkah ke sebelah Bulan mencoba menenangkan si rambut blonde dengan menyentuh bahunya. “Ar, aku kira Bulan tidak bermaksud untuk-”

“Maaf, Alice! Urusanku kali ini dengan Bulan.” Arlan menarik tangan Bulan menjauh dari yang lainnya. Bulan tetap menunduk, tapi Arlan menyentuh dagu gadis itu dengan tangan kanannya agar dia menatapnya. “Tatap aku, Bulan.”

Bulan pun mengangkat kepalanya. Seketika itu i menggermang. Bisa dilihatnya air muka Arlan. Kesedihan seakan merambat ke seluruh urat nadinya. Menipiskan kulit jangat, menyembul memperlihatkan gurat-gurat amarah yang kian tegang. Bulan menggigit bibirnya sendiri. Ini kedua kalinya Bulan melihat wajah Arlan seperti itu. Pertama kali saat mendiang kapten mereka -Oliver Prabakarsa- tewas di tangan Ranggalawe.

“Mengapa kau menganggap hal itu berlebihan?!” Arlan mulai menginterogasi Bulan.

“Arlan, a-aku … kau salah mempersepsikan kata-kataku. A-aku hanya tak bisa membayangkan bagaimana Agnia nanti.”

Arlan menjawab santai, “Mungkin saja dia berteriak kegirangan karena Ryan bisa hidup kembali.”

“Tidak, Arlan! Tidak! Agnia tidak mungkin se-egois itu!” Bulan mulai menangis tersedu-sedu.

“Ck, merepotkan.” Arlan kemudian berjalan menuju jendela yang letaknya tak jauh dari tempat dia berpijak.

“Arlan,” panggil Kevin, mengeluarkan mana-zone, mencoba memperingatkan rekan se-timnya itu. Kevin mengerti mengapa Arlan tiba-tiba bersikap seperti ini.

Arlan menatap Kevin nyalang, pemuda yang sedang terbakar emosi itu juga mengeluarkan mana-zone-nya.

Keduanya beradu pandang.

Bersiap melepaskan sihir masing-masing.

Bulan yang mengetahui keadaan mulai tidak kondusif, melerai mereka berdua.

Kedua lelaki itu seketika luluh. Namun, dalam benak Arlan masih sangat marah, bukan karena Kevin, melainkan Bulan. Ya, Bulan adalah orang yang berharga bagi Arlan.

Di sisi lain, Bulan juga racun yang tidak baik untuk kesehatan jiwa raganya. Sebenarnya Arlan bisa saja tak ambil pusing dengan kata-kata Bulan tadi, tapi Arlan merasa Bulan sangat keterlaluan, ditambah i sangat kesal pada Rani Asura yang tidak mengizinkan mereka untuk menjenguk Theo.

Dan alasan terakhir …

“Kalau kau di posisi Agnia, apa yang akan kau perbuat, hah?! Kau akan bilang itu berlebihan juga?!” todong Arlan yang semakin kalap.

Bulan menggelengkan kepalanya, isak tangisnya makin menjadi-jadi.

“Sedikit saja … coba sedikit saja kau memikirkan teman laki-laki di sekitarmu juga, Bulan. Kau terlalu terobsesi dengan si Amurwabhumi brengsek itu!”

Pikiran Arlan kembali ke masa itu …

“Theo, aku mohon kepadamu. Ini permintaan seumur hidupku. To-tolong bawa Ryan kembali. Aku sudah membujuknya, tapi tak berhasil. Hanya kau … hanya kau yang mampu melakukannya.” Agnia berkata dengan berderai air mata. Menatap penuh harap ke arah Theo.

Pikiran Arlan kembali tersadar. Entah kenapa, rasa sakit yang dirasakan Theo juga bisa dirasakan olehnya. “Kau tidak tahu apa-apa tentang Theo! Jadi jangan berkata yang macam-macam, Bulan!”

“Kau sangat mencintai Ryan, kan, Agnia? Aku mengerti perasaanmu itu.” Theo tersenyum, lantas mengepalkan tangan pada Agnia. “Tenang saja, Agnia. Ini adalah janji seumur hidupku.”

“Kau tak tahu mengapa Theo nekat mendonorkan jantungnya untuk Ryan! Itu bukan semata-mata karena Ryan sahabatnya!” Arlan mengepalkan tangannya yang menyentuh dinding, tiba-tiba ia meninju dinding tersebut. “Semua ini … semua ini gara-gara janji tidak masuk akal itu!”

Gigi Arlan bergemeretuk hebat. Tanpa ia sadari, tangannya berdarah akibat aksinya tadi.

Teman-temannya hanya bisa menatapnya lara.

Janji?

Siapa yang menjanjikan dan dijanjikan mereka sama sekali tidak tahu. Namun, pada akhirnya Bintang dan Steven menyadarinya.

“Arlan, jangan bilang karena itu ….?!" Steven berucap lirih, tak meneruskan kata-katanya.

Waktu itu, Arlan hanya menganggap pernyataan Theo hanya sebagai angin lalu. Ia tidak menyangka Theo benar-benar berniat untuk menepatinya. Lantas, Arlan mulai melangkah menjauh. Ia tidak mau menambah runyam keadaan. Sekarang saja pikirannya sangat gundah gulana.

“Arlan, kau mau ke mana?” tanya Kevin.
.
“Ke ruangan Theo. Memangnya mau ke mana lagi?” sahut Arlan, malas.

Kevin memang sangat mengerti apa yang Arlan rasakan ssaat ini. Cemburu memang sangat menguras menguras hati. Ya, Arlan sedang dilanda kecemburuan.

***

Elle melangkah pelan di koridor gelap menerawang, hanya sebagian lampu yang dinyalakan. Area rumah sakit terlihat lengang saat malam telah larut. Pembicaraannya tadi dengan Theo cukup membuatnya masih tak habis pikir. Ia tahu di dunia penyihir ini begitu banyak pertikaian. Pertikaian lalu menimbulkan rasa benci.

Kebencian sudah biasa Elle alami karena Elle sendiri juga pernah melewati masa-masa suram itu. Gadis kalem itu dibenci oleh ayahnya karena kelemahannya. Ia juga dibenci oleh Bintang, sepupunya, karena i adalah pewaris the main house-nya trah Kertabhumi. Memang benar perihal-perihal tersebut telah lama berlalu. Tapi yang Elle tidak habis pikir adalah ... kebencian ternyata bisa mengarah menuju kematian.

“Elle, Ryan hanyalah korban kebencian petinggi Majapahit terhadap trah Amurwabhumi. Konflik yang ada memang begitu rumit. Tapi penyelesaian yang mereka ambil itu terlalu sepihak Karena itu, Elle, aku berharap, kau sebagai pewaris trah Kertabhumi, bisa melindungi Ryan dari ancaman para petinggi Majapahit. Kak Kriss tidaklah kejam seperti yang kebanyakan orang kira. Dia adalah seorang Amurwabhumi sejati yang cinta akan kedamaian. Dan aku yakin sifatnya itu terdapat pula dalam diri Ryan. Kau tahu kan mengapa dia dalam keadaan seperti itu? Itu karena dia melindungiku ….”

Elle menghembuskan nafasnya kuat-kuat. Kata orang, sulit mewujudkan kedamaian di dunia seperti sekarang ini. Tapi kata-kata Theo ini begitu menggugah sanubarinya.

“Seperti kata Paman Shin, kelak kita akan mencapai masa di mana manusia bisa mengerti satu sama lain.”

Seumpama itu benar adanya, perlahan Elle bisa memahami kemelut yang terjadi. Meski pilu hatinya, Elle bisa menerima kenyataan yang ada. Dan pada akhirnya, yang gadis itu ingin lakukan sekarang adalah memenuhi permintaan terakhir dari sang pangerannya.

Kaki Elle melenggang ke ruangan tempat di mana Ryan dirawat. Dua orang Knight menjaga di depan pintu. Setelah berunding sebentar dengan mereka, Elle pun diperbolehkan masuk.

Ruangan itu begitu sesak dikarenakan bau rumah sakit yang menyengat. Belum lagi tabung-tabung besar oksigen berdiri di sana. Pernafasan Ryan masih dibantu dengan alat pernafasan, tentu saja.

Elle memperhatikan mesin EKG yang ditempatkan tidak jauh dari tempat di mana Ryan terbaring. Frekuensi detak jantung Ryan begitu rendah. Ia pun melenggangkan kakinya mendekat ke arah Ryan.

Keadaan Ryan tidak jauh beda dengan waktu kemarin. Pemuda itu seperti mayat hidup dengan wajah piasnya. Kelopak matanya menghitam dikarenakan terlalu lama mengatup.

Tiba-tiba Elle merasa iba. Kemudian, Elle mengeluarkan sesuatu dari kantungnya, menggenggam benda tersebut dan mengarahkannya pada Ryan. “Tadinya aku pikir kau hanyalah seorang yang tidak ada penting yang berbahaya bagi semua orang, Ryan.” Elle membuka kunci kalung tersebut, merentangkan rantai peraknya dan mengkalungkannya di leher Ryan. “Banyak orang yang pantas hidup, tapi mereka mati. Dan yang pantas mati malah hidup. Tapi memang hanya Dewa lah yang berhak menentukan.” Ucapnya, seraya mengkaitkan kunci kalung dan membenarkan letak pendant Aquamarine-nya di leher Ryan. “Dan aku pikir kau pantas untuk diberi kesempatan hidup, Ryan. Aku akan mendukung apa yang Theo inginkan.”

***

“Theo, kita ke ruangan operasi sekarang.” Ravalda berkata pelan sesampainya di depan ruangan tempat Theo dirawat.

Theo mengangguk pelan.

Ravalda membantu Theo untuk duduk di kursi roda. Sedetik, wanita itu hendak mendorong kursi tersebut, namun dikejutkan oleh sesosok serba hitam yang berdiri di ambang pintu. Bersandar santai di pinggirannya. Kontan saja Ravalda langsung berdiri di depan Theo.

“Ah, aku begitu salut kepadamu, Theo. Ternyata kau hendak menyelamatkan seseorang dari Dinastiku yang telah dihancurkan oleh kerajaan busuk ini. Aku merasa tersanjung karenanya. Hahahaha.”

Mata Theo melebar seketika. Suara mengerikan ini. Ia tahu siapa pemiliknya. Keringat dingin pun bercucuran di pelipis. Pun gigi ikut bergemeletuk hebat.

Theo masih mempunyai rasa dendam pada orang ini. Ingin rasanya ia menghajar orang itu habis-habisan. Tapi sayang seribu sayang … keadaan tubuhnya saat ini tak memungkinkan Theo untuk bertarung.

“Grrrr! Keluar kau!” geram Theo.

Lalu, orang itu berdiri menghadap Ravalda dan Theo. Ia memperlihatkan bola matanya yang berwarna merah darah.

“Dwi … netra?” Ravalda tergagap.

“Kau … Panji Amurwabhumi!” Theo menggenggam ganggang kursi dengan kuat.

“Panji? Ba-bagaimana bisa?” Ravalda mulai gemetar, pancaran mana dan aura sang God Slayer itu menjadi satu.

Panji menyeringai. “Hhh … aku tidak ada waktu untuk menjelaskan mengapa aku masih hidup. Lagipula aku sama sekali tak mengenalmu.”

Ravalda hendak merapalkan sebuah sihir untuk menyerang Panji.

Tapi terlambat! Panji sudah lebih dulu melesat cepat ke arah Ravalda. Mendorong Theo ke kiri hingga membentur dinding.

PRANG!!!

Ravalda terpental keluar jendela. Panji menendang perut Ravalda dengan kuat. Kaca jendela menjadi pecah berkeping-keping karenanya. Jelas, Ravalda pun langsung terkapar, terbatuk-batuk akibat tendangan tadi.

Yami yang berada tak jauh dari pekarangan segera menghampiri arah keributan. Pemuda itu tahu sebentar lagi operasi akan dimulai, sehingga berniat untuk mengamankan jalannya proses operasi.

Awalnya, dengan tenang Yami sedang duduk di pekarangan tak jauh dari kamar Theo, tapi tak dia sangka tamu tak diundang akan mengacaukan segalanya.

“Kak Ravaldaaa!” teriak Yami.

Yami membalikkan tubuh Ravalda, syukurlah dia masih hidup karena kamar Theo letaknya di lantai dasar, tapi sepertinya beberapa tulang rusuknya patah.

“Yami … cepat … tolong … Theo ….” Ravalda mengeluarkan darah segar dari mulutnya.

“Apa yang sedang terjadi, Kak Ravalda?!” Yami mulai panik.

Belum sempat Ravalda menjawab, matanya mengatup perlahan, dan sedetik ia tak sadarkan diri.

“Kak Ravalda! Kak!” Yami mencoba membangunkan Ravalda dengan menepuk-nepuk bahunya, tapi nihil.

Yami mengarahkan pandangannya ke ruangan Theo berada. Pertsms, Yami tak mau gegabah. Ia memilih mengeluarkan alat sihirnya dan mengirimkan pesan SOS untuk Rani Asura.

Setahu Yami, para penyihir kelas S seperti Kumbakarna, yang memiliki nama lengkap Raden Bagus Danang Kumbakarna, dan juga Adam sedang berunding dengan Judgment of Paladin di Menara Eyang Brawijaya.

“Amethyst: Script!” Yami membuat tulisan SOS-nya menjadi seekor burung elang, burung elang tersebut langsung melesat cepat ke Menara Eyang Brawijaya.

Theo mencoba untuk bangkit, tapi sulit karena dia merasakan lengannya mati rasa, mungkin karena benturan tadi. “Tai! Apa yang kau inginkan sebenarnya, breng-"

Sebelum Theo selesai berbicara, Panji mencengkram leher Theo. Mendorongnya ke arah dinding. Lalu, meninju perutnya hingga Theo memuntahkan darah segar.

“Argh!”

“Yang aku inginkan adalah sesuatu yang tersegel di sini,” ujar Panji, sembari menguatkan tinjunya lebih dalam ke perut Theo.

Theo ingin menjerit kesakitan, tapi tenggorokannya tak mampu mengeluarkan suara karena saking hebatnya rasa sakit yang ia terima.

Panji terkekeh mengejek, “Hehehe. Sakit, ya? Tapi tenang saja, aku tak akan membunuhmu. Bisa-bisanya kau ingin mengorbankan dirimu untuk Ryan. Hhh … aku tak akan membiarkan hal itu terjadi.”

“Si-sialan!” umpat Theo.

Theo merasakan bahwa tubuhnya remuk redam tak berdaya. Pukulan lelaki itu ke perutnya membuat sebagian dari kesadarannya hilang. Theo berusaha untuk tidak pingsan. Namun, ia tidak kuat juga. Hanya butuh beberapa detik, Theo pun perlahan kehilangan kesadarannya.

Panji menyeringai melihat pemandangan itu. “Hehehe. Kau lemah seperti biasa, Theo. Aku dulu pernah hampir membunuhmu saat pertama kali kau lahir ke dunia ini. Dan sekarang kau tidak akan lolos dari maut lagi.”

“Amethyst: Lionel!”

RAWRR!!!

Panji langsung melihat ke arah jendela. Dua ekor singa fatamorgana menyerangnya.

SRET!

Dengan cepat Panji menghindar ke kanan dengan membawa Theo bersamanya. Panji memiringkan kepalanya. “Ck, ada pengganggu rupanya.”

“Lepaskan, Theo!” seru Yami, lantang.

“Hm? Hanya satu orang? Mengapa Ratu Asura sangat bodoh begini. Dia meremehkan aku rupanya.”

“Jadi kau salah satu anggota Ranggalawe waktu itu ….” Tebak Yami, yang tak sedikit pun takut menghadapi penyihir terkejam yang pernah ada itu. Ya, Yami ingat pernah bertemu dengannya sewaktu di Kerajaan Kediri.

“Heh, aku adalah ketua. Bukan anggota.” Panji meluruskan ucapan Yami.

“Hm?” Yami mengerenyitkan dahinya. “Aku tak peduli kau anggota atau ketua Ranggalawe. Aku tak akan membiarkan kau membawa Theo!”

RAWRRR!!!!

Singa-singa fatamorgana menyerang Panji kembali.

Panji dengan mudah menghindar sembari menundukkan tubuh, dan membuat singa-singa itu kembali wujud aslinya dengan tendangannya.

“Huh? Jadi kau terbuat dari mana-skin, ya? Sihir yang unik, tapi sama sekali tak berguna.” Olok Panji, sambil berkacak pinggang. Sungguh penyihir yang teramat sangat percaya diri dan angkuh. Panji sedikit kerepotan dengan tubuh Theo di bahunya, tapi ia tak ada niatan untuk melepaskan wadah itu.

Tak kehilangan akal, Yami mengarahkan pedangnya pada Panji secara vertikal dengan melakukan salto di udara.

Panji bukanlah penyihir kaleng-kaleng. Ia lebih cepat. Menarik pedang Yami dan membanting tubuh pemuda itu ke lantai hingga ubinnya remuk.

Panji belum puas. Ia hendak menginjak Yami yang terlihat kesakitan.

Namun, dengan sekuat tenaga Yami berhasil menghindar.

Panji tak tinggal diam … BAMMMM!

Dengan tangan kanannya, Panji meninju wajah Yami hingga sang Blessing of Gladiator itu membentur dinding dengan keras.

“Ugh! Arghhhh!” Yami memuntahkan darah segar dari mulutnya.

Panji menyeringai kejam, mengambil dagger di balik jubahnya, hendak melemparkannya pada Yami.

Tapi sebelum itu …

“Thunder's Shadow!”

Seseorang berada di depan pintu kamar Theo, berdiri seraya menatap ke dalam ruangan dengan tatapan marah. Aura membunuhnya begitu kentara. Sungguh malang nasib siapa pun yang menjadi musuhnya … rumah sakit atau kuburan? Pilihlah salah satu.

Panji mendengus kesal. “Hahhhh … ternyata kau lagi, Adam. Tapi tak apa. Aku juga ingin bermain sebentar dengan seorang penyihir Majapahit yang katanya kuat ini, hehehe.”

Panji menggunakan Disapear untuk menghindar., Sedetik lelaki itu sudah berada di pekarangan rumah sakit. Dan tak disangkanya beberapa Knight, Kumbakarna, dan Rani Asura sudah berdiri di sana.

“Lepaskan Theo, Panji!” teriak Rani Asura garang, dia mengepalkan tangannya.

Sial, kenapa bajingan ini datang di saat-saat seperti ini? Aku terlalu lengah sehingga tak memprediksi kehadirannya, gerutu Ratu Asura dalam hati.

***

“Ugh! Dia menggunakan sihir itu lagi!” keluh Adam sembari memandang ke luar jendela. Sambil berjalan sempoyongan, Adam menemukan Yami yang tak sadarkan diri bersandar ke dinding. “Yami!” Adam memeriksa keadaan Yami yang tak sadarkan diri. Tulang pipi dan tulang punggungnya retak. “Lukanya tak terlalu parah. Lebih baik aku mencari pertolongan medis. Sekalian ke ruangan Ryan. Bisa jadi Panji menculiknya juga.” Adam meletakkan Yami di tempat tidur ruangan Theo dirawat. “Semoga saja si Junior dan Rsni Asura sanggup menghadang Panji.”

Kemudian, Adam langsung melesat cepat ke ruangan Ryan berada.

Di tangga menuju ke lantai dua, Adam berpapasan dengan teman-teman Theo yang sedang mengendap-endap masuk ke rumah sakit Majapahit. Mereka langsung panik ketika Adam berada di hadapan mereka.

“Kalian sedang apa di sini?” tegur Adam sembari mengatur nafasnya yang tersengal.

Para kawula muda-mudi itu terlihat kelimpungan mencari jawaban yang tepat. Hanya saja, Adam sadar bahwa sekarang bukan waktu yang tepat untuk menginterogasi mereka.

“Ah, sudahlah. Baguslah kalian ada di sini. Pandu dan Bintang. Kalian ikut aku ke ruangan Ryan. Sisanya pergi ke ruangan Theo di rawat!” perintah Adam. “Bulan, obati luka Yami dan Ravalda. Mereka tadi tak sadarkan diri karena diserang oleh Ranggalawe.”

“Ranggalawe?” tanya para penyihir itu berbarengan.

Arlan langsung mengerti apa yang terjadi, dia terbelalak kaget. “Theo … Theo dalam bahaya!” teriaknya yang langsung pergi ke ruangan Theo dirawat.

“Tunggu, Ar!” sahut Kevin yang terkejut melihat Arlan meninggalkan mereka tanpa mendengarkan penjelasan Adam hingga selesai.

“Tidak apa-apa, Kevin. Kalau gitu, Bintang, Pandu, dan Bobby ikut aku. Aku takut Panji akan menculik Ryan juga.” Adam menatap satu persatu remaja yang dipanggilnya. “Sisanya susul Arlan dan bantu Rani Asura untuk menghadang Panji. Jangan biarkan dia membawa Theo. Nanti aku segera menyusul kalian,” imbuhnya.

“Baik, kami mengerti!” sahut Steven, Bulan, Alice, dan Kevin berbarengan. Mereka langsung melesat cepat menyusul Arlan.

***

“Infiltrate!” Kumbakarna membuat sebuah kurungan dengan elemen tanah untuk menangkap Panji.

Tapi sayangnya, Panji dengan mudah berpindah tempat karena dia memiliki sihir yang mirip seperti Moonlight milik Bhre Wijaya IV.

Para Knight, Kumbakarna, dan Rani Asura sedikit kewalahan menghadapi Panji. Terlebih Ranu Asura adalah tipe penyihir jarak dekat, ia sulit menyerang Panji dengan tinju dahsyatnya.

“Kalian pasti kelelahan, kan? Hahahahaha!” ejek Panji sembari tertawa mengejek, diaa memang sengaja ingin mempermainkan penyihir-penyihir Majapahit yang menghadang. Sebenarnya, Panji bisa saja menghilang dan langsung tiba di markas rahasianya lebih cepat. Namun, hal itu tidak dilakukannya karena ada suatu hal.

“Rani Asura, kita harus melakukan formasi kosong-empat untuk menyerang Panji. Semua serangan beruntun kita dengan mudah dihindarinya. Aku tak mengerti sihir apa yang dia miliki. Tapi kalau seperti ini terus, mana kita terbuang dengan sia-sia,” saran Kumbakarna tersengal-sengal.

Rani Asura menatap garang Panji, dia sedang memikirkan taktik untuk mengalahkannya. Yang jelas, bagaimanapun caranya Rani Asura tak akan membiarkan Panji membawa Theo pergi dari Majapahit.

“Kenapa menatapku seperti itu, Yang Mulia? Hhh … tatapan matamu sedikit mengingatkanku dengan rival abadiku, Edward. Jadi kau adalah keturunannya, eh?” Panji tertawa misterius. Wajahnya begitu puas akan perubahan ekspresi yang ditunjukkan oleh Ranu Asura.

Dahi Rani Asura mengernyitkan. Ia sebenarnya tak suka mendiang kerabatnya diolok-olok Panji. Tapi, untuk sementara ia memilih untuk tidak mempedulikan ucapan Panji. Iatahan emosinya agar tidak meledak Itu hanya akan mengganggu konsentrasinya saja.

“Hm, jadi hanya segini saja kekuatan para penyihir Majapahit, ya? Heh, aku tidak menyangka kalian ... UGHHHHH!” tiba-tiba Panji merasakan tubuhnya menjadi kaku, sulit untuk dikendalikan. Tubuhnya bergetar hebat. Ia memaksakan kepalanya menunduk ke bawah, sadar ada yang aneh dengan tanah yang diinjaknya. “Ada apa dengan tubuhku? Hm, sihir ini … sihir Linggabhumi.”

“Yeah! Gravity: Locked on Single Target! Sukses.”

“Arlan!” teriak Rani Asura kegirangan.

Rani Asura sangat senang dengan kehadiran pewaris trah Linggabhumi itu di saat-saat genting seperti ini.

Rupanya, Arlan tidsk datang sendirian. Di belakangnya berdiri Kevin, Steven, dan Bobby yang siap dengan posisi menyerangnya masing-masing. Para penyihir kelas B ke atas berkumpul menjadi satu. Pemandangan yang sangat langka.

“Cih, ternyata aku ditangkap oleh anak ingusan,” ucap Panji dengan nada suara santai.

Rani Asura tidak tinggal diam, dia segera memanfaatkan hal ini dengan maju menyerang Panji.

“Kevin, steven, Bobby, cepat bantu Yang Mulia!” perintah Arlan keras. “Aku hanya bisa menahannya selama beberapa menit. Tapi kalian jangan gegabah menyerangnya!” tambahnya, yang tetap fokus dengan jurusnya.

“Hyaattt!!!” Ratu Asura hendak mengirim bogem mentah pada wajah Panji.

Namun sedetik, kala Ranu Asura melihat mata Dwinetra Panji, ada yang aneh dengan tatapannya. Rani Asura memperlambat tubuhnya untuk maju.

Praktis, Panji memiringkan kepala. “Yah, taktik yang bagus. Tapi sepertinya kalian lupa dengan kemampuanku yang lain.”

Mata Rani Asura membola. Menghindar dengan cepat ke arah kanan, sebelum itu ia meneriakkan sesuatu pada anak buahnya di belakang, “Kalian semua! Cepat menghindar!”

“Annihilate!”

Dalam sekejap, api hitam dengan cepat berkobar, membakar area pekarangan rumah sakit Majapahit yang luas.

Rani Asura memandangnya ngeri.

Arlan jadi hilang fokus terhadap sihirnya. Baru kali ini Arlan melihat api hitam layaknya api neraka yang panasnya sangat terasa di kulit. Ia langsung mengerti ini adalah jurus rahasia trah Amurwabhumi.

“Hahahaha! Aku bebas!” Panji makin mempererat genggamannya pada tubuh Theo yang ia bawa di pundaknya, memasang kuda-kuda, lalu berpindah ke dahan pohon yang menghadap ke rumah sakit.

“Ugh, sial!” umpat Arlan.

“Infiltrate: Mortar!”

ZRATT! ZRAT! ZRAT!

Kumbakarna menumbuhkan beberapa pelindung yang terbuat dari pohon di titik api hitam yang menyala-nyala.
Api itu pun padam seketika.

“Sihirmu memang mirip Edward, tapi tetap saja kau kalah jauh darinya. Hahahahaha.” Tawa Panji terpingkal-pingkal.

Kumbakarna menatap nanar Panji. Ya, memang benar ia sangat kecapaian karena tadi sudah banyak mengeluarkan sihir andalannya. Lagipula, Kumbakarna bukan keturunan murni trah Syailendra -trah seorang yang bernama Edward- jadi wajar bila ia mudah kelelahan. Tentu saja Edward adalah bukan sembarang penyihir.

Sri Syailendra Edward Respati Wijayadiningrat. Begitulah nama lengkapnya. Beliau adalah pendiri Kerajaan Majapahit. Bergelar Bhre Wijaya I. Dan dapat dikatakan bahwasanya terciptanya kerajaan besar ini tidak lain adalah peran penting Edward sebagai seorang yang dijuluki Sang Bahureksa. Bersama adiknya, Sri Syailendra Gilang Arespati Wijayadiningrat yang dijuluki Sang Penyihir es, Edward benar-benar tak terkalahkan.

Bahkan Panji yang mengaku rival abadi Edward pun sampai sekarang belum pernah mengalahkan Sang Raja Hutan itu.

Di sisi lain, para penyihir Majapahit belum menyerah. Mereka mewanti-wanti tindak tanduk apa yang akan Panji lakukan selanjutnya. Mereka sangat berhati-hati menyerang Panji karena bisa-bisa Theo ikut terkena serangan mereka juga.

***

Adam, Pandu, dan Bintang telah sampai di ruangan Ryan. Mereka terkejut melihat kehadiran Elle di sana.

“Tuan Putri Elle, apa yang sedang Anda lakukan di sini?” tanya Bintang sopan.

Elle tercenung melihat mereka. “Kak Bintang, Kapten Adam, Pandu. Aku hanya menjenguk Ryan. Ada apa? Kenapa wajah kalian terlihat panik?” sambutnya, tegang.

“Ranggalawe hendak menangkap Theo. Rani Asura dan yang lainnya sedang bertarung dengannya,” jelas Adam, mencoba mengatur suaranya setenang mungkin.

Elle refleks berdiri seraya menutupi mulut dengan kedua tangannya. “A-apa?!” Elle hendak berlari keluar dari ruangan.

Dengan cekatan bak seorang bodyguard, Bintang menahannya. “Tuan Putri, saya tidak akan membiarkan Anda berbuat seenaknya seperti waktu itu! Anda, nyaris terbunuh di tangan pemimpin Ranggalawe!”

“Ta-tapi, Kak Bintang, Theo-”

Bintang memotong, “Tidak ada tapi-tapian! Kalau ada apa-apa denganmu, Tuna Besar juga pasti akan terpukul!”

Elle mulai menangis. Ia tidak menyangka Ranggalawe akan menyerang Majapahit lagi. Sejurus, ia pun mengalihkan wajahnya ke Ryan.
Dilihatnya batu aquamarine yang berkerlip di dada Ryan, padahal tak ada satu pun sinar di sana.

Elle menjadi pesimis, apakah kekuatan kalung bertuah itu hanya isapan jempol belaka?

***

Panji menatap satu persatu penyihir yang berada di bawahnya. “Aku baru sadar ternyata banyak orang di sini. Hehehe. Aku sebenarnya ingin bermain-main sebentar, tapi rasanya capai juga. Sudah waktunya untuk pulang kalau begitu.”

“Jangan lari, Panji!” teriak Rani Asura. Sang Maharani memandang iba Theo. Pikirannya kini berkecamuk. Rani Asura tak tahu harus berbuat apa. Terlebih, Sang Paladin sangat mengerti kapasitas Panji yang seorang penyihir memilik kemampuan tingkat tinggi tidak sebanding dengan dirinya.

“Hahahaha. Rani Asura. Setelah aku mengekstrak Naga Besukih, kerajaan kalian ini akan kuhancurkan menjadi debu dengan Beast Divine Spirit yang telah kukumpulkan. Aku tidak akan lari! Kali ini rencanaku pasti berhasil. Bersiaplah! Dan tak ada satu pun dari kalian yang bisa menghalangiku. Tidak akan ada seseorang yang menyelamatkan kalian seperti Bhre Wijaya IV dulu. Hahahahaha!”

Kemudian pusaran angin mengitari Panji, perlahan sosoknya menghilang dari dedaunan yang melingkarinya. Dalam sekejap mata, Panji lenyap dari pandangan mereka.

“Kalian semua akan mati tak bersisa ….”
Itu yang Panji ucapkan setelah kepergiannya.

“Bangsat! Aku akan segera melakukan pertemuan. Kumbakarna! Kumpulkan para Mayor sampai Jenderal.” Rani Asura menatap Kumbakarna seraya memberi perintah. Lalu, beralih menatap Arlan. “Kau juga, Arlan, kumpulkan Kopral sampai Kapten yang masih berada di area dalam Majapahit.”

Kumbakarna dan Arlan seketika bersimpuh di depan Rani Asura.

“Panggil mereka ke atap Menara Eyang Brawijaya. Majapahit akan kuumumkan siaga 1! Aku tidak akan membiarkan rencana Ranggalawe berjalan lancar!” titah Rani Asura, yang langsung melesat cepat pergi entah ke mana.

***

Sementara itu, di sebuah tempat di mana sungai kecil mengalir di antara dua tebing tinggi yang ditumbuhi pepohonan, seorang wanita cantik sedang menatap dahan mawar yang bunga-bunganya berguguran, menghitam ke tanah.

“Kak, ada apa? Kau terlihat aneh.” Mata diamond itu memandang nadir wanita di sebelahnya dengan wajah mengkisut. Bisa ia rasakan jantungnya berdetak cepat. Ia mengerti pertanda ini.

“Theo … dia dalam bahaya!” wanita itu berbalik arah.

“Kak, kau mau ke mana?” tanya gadis itu yang nampak panik.

“Ikuti aku! Kita harus menyelamatkan Theo!”
 
Terakhir diubah:
***

Di sisi lain, Agnia sudah kembali ke Kerajaan Majapahit. Tak mau membuang waktu, Agnia langsung menuju ke Rumah Sakit Majapahit. Ia berjalan di lorong rumah sakit yang terlihat lengang dari biasanya.

Sunyi. Sepi. Hanya Agnia sendiri yang berada di sana. Agnia tak mengerti mengapa langkahnya begitu berat. Mungkin karena ia masih kecapaian. Dentuman kakinya ke lantai bergema di penjuru koridor.

Tetiba, ada suara dentuman lain yang lebih cepat ritmenya. Dari kejauhan, Agnia melihat Bulan sedang berlari ke arahnya.

“Oi, ceri! Kau sudah kembali rupanya!” teriak Bulan yang membungkuk bertumpu pada kedua lutut sembari mengatur nafas sesampainya ia di hadapan Agnia. Ia terlihat kelelahan sehabis berlari.

Agnia memukul kepala Bulan pelan. “Berisik, bubul! Ada apa? Kau terlihat senang sekali.”

Bulan menatap Agnia dengan wajah sumringah. “Kau pasti tidak percaya, Agnia. Ryan … Ryan, Agnia!”

“Ryan? Memangnya ada apa dengannya?” Agnia semakin tidak paham.

“Ayo, ceri. Kau harus ikut aku!” ajak Bulan sembari menarik tangan Agnia.

Agnia tercenung. “Kita mau ke mana, Bulan? Aku harus menjenguk Theo dulu. Aku mau mengobati kakinya!” bentaknya.

“Tidak. Kita ke kamar Ryan dulu, ceri! Ada kejutan untukmu.”

Agnia tak mengerti apa maksud Bulan, tapi dia tak lagi menggertak, hanya bisa menuruti Bulan yang membawanya ke kamar inap biasa.

“Tu-tunggu … harusnya Ryan berada di ICU, kan? Kenapa kau mengajakku ke sini?” tanya Agnia, lola.

Bulan terus berjalan, mengacuhkan pertanyaan sahabatnya.

Tak lama, sampailah mereka sampai di sebuah ruangan yang pintunya terbuka.

Betapa kagetnya Agnia melihat sosok yang duduk di atas ranjang rumah sakit. Sosok itu hidup, matanya membuka tak mengatup seperti kemarin. Sosok itu bernafas, wajahnya terlihat sayu, tapi tak sepucat kemarin. Sosok yang selalu mengisi relung hatinya, tampak sehat dibandingkan hari terakhir Agnia menjenguknya. Namun, Agnia masih sulit untuk percaya.

“Eh, ba-bagaimana bisa?”

“Agnia, lihat! Itu Ryan! Kau tahu? Dua hari yang lalu ada yang mendonorkan jantungnya pada Ryan. Karena pendonor itu, Ryan bisa hidup kembali, Agnia. Aku tak percaya ada orang baik yang rela mendonorkan jantungnya untuk Ryan!” seru Bulan dengan suara tertahan, tangannya menyeka air matanya. Ia menangis karena hatinya trenyuh.

Agnia menatap Ryan lagi. Gadis itu tak menyangka ada seorang dermawan yang rela mendonorkan jantungnya untuk The Last Amurwabhumi.

Berhari-hari yang lalu, Agnia terus mencari orang yang rela mendonorkan jantungnya untuk Ryan, namun usahanya selalu saja tak membuahkan hasil. Untuk itu hal ini masih seperti delusi baginya. Tapi sesaat, mata emerald-nya berpendar. Melihat Ryan terjaga saja baginya adalah sebuah anugrah yang tak ternilai.

Tanpa pikir panjang lagi, Agnia langsung masuk ke ruangan tersebut. “Ryan!”

Ryan, Rani Asura, dan Adam mengalihkan pandangannya ke ambang pintu. Mereka terlihat kaget akan kehadiran Agnia di sana.

“Agnia,” ucap Ryan lirih tanpa ekspresi.

Tangis bahagia jatuh dari mata Agnia yang berkaca-kaca. Ia langsung menerjang tubuh Ryan, mendekap lelaki itu ke dalam rengkuhannya. Dan siapa yang menyangka Ryan membalas pelukannya.

“Syu-syukurlah kau telah sadar, Ryan. A-aku dan Theo selalu mengharapkan kesembuhanmu. Syukurlah ….” Agnia menangis terisak-isak.

Agnia menatap lelaki bermata onyx itu, menyentuh wajah pucatnya dengan kedua tangannya yang gemetaran.

Benarkah ini Ryan?

Benarkah ini lelaki idamannya itu?

“Kau Ryan, kan?” beo Agnia dengan suara serak.

“Hm,” jawab Ryan seperti biasa.

Agnia cukup tahu ucapan khas Ryan itu, dia tersenyum sembari memeluk Ryan lagi.

Yang tak diketahui oleh Agnia, dua orang lain yang berada di sana tampak tak menunjukkan kebahagiaannya seperti Agnia.

Cukup lama mereka berpelukan.

Sedetik, Agnia melepaskan rengkuhannya, dan menyeka air matanya. Sembari tersenyum, ia berkata, “A-aku akan membawa Theo ke sini. Dia pasti masih tidur, tapi aku akan membangunkannya. Theo pasti sangat senang melihatmu telah sadar, Ryan.” Agnia segera berlari keluar ruangan.

“Tunggu, Agnia!” cegah Adam.

Agnia mendengar panggilan dari kaptennya, tapi tak ia hiraukan. Agnia terus berlari hingga tiba di ruangan Theo dirawat, langsung membuka pintunya.

“Theo!”

Senyuman Agnia menguap ketika dilihatnya tempat tidur Theo kosong melompong. Agnia melangkah ke dalam, masuk ke kamar mandinya.

“Theo?”

Kosong.

Dahi Agnia mengkerut. Gadis itu bertanya-tanya ke mana si rambut putih itu pergi?

Padahal biasanya jam segini Theo masih tidur. Agnia pun mendekat ke kasur, menyentuh seprainya yang terlihat rapi.

“Di-dingin. Seperti tidak ditempati lama.”

Agnia lalu menyadari bahwa name tag pasien yang biasa diletakkan di pinggir tempat tidur menghilang.

"Apa mungkin Theo dipindahkan ke ruangan lain?”

Agnia segera beranjak dari kamar Theo menuju ke bagian resepsionis. Di sana ada seseorang yang sedang berjaga.

“Ah, Agnia. Kau sudah kembali rupanya. Ada yang bisa aku bantu?” sapa Vivian Prameswari ramah.

Agnia mengangguk. “Ya, Kak. Kamar nomor 13, pasien Theodore Wirabhumi. Dia dipindahkan ke ruangan mana?”

Senyuman Vivian itu lipur ketika mendengar nama Theo, terpaku berdiri menatap Agnia, membisu, tak dapat mengeluarkan suara.

“Ada apa denganmu, Kak? Kenapa tidak menjawab pertanyaanku?” Agnia mulai tak sabar. Gelisah, digigitnya bibir mungilnya. Ia mulai resah melihat ekspresi tak mengenakkan seniornya itu.

“Theo? Dia … i-itu … ehm … bagaimana aku menjelaskannya?” Vivian gelagapan, bingung harus berkata apa.

“Ah, dahlah, Kak!” Agnia menggerutu kesal. Lebih baik ia kembali ke ruangan Ryan saja. Rani Asura pasti tahu di mana Theo berada.

Lantas, sesampainya Agnia di ruangan Ryan, dia langsung menghampiri Rani Asura. “Bibi, barusan aku ke kamar Theo tapi dia tidak ada. Ke mana dia?” tanyanya.

Bhatari Wijaya V itu terlihat menghela nafas sejenak sebelum mengajak Agnia menjauh ke ambang pintu. Rani Asura tak mau pembicaraan mereka diketahui oleh Ryan.

Mereka kini saling berhadapan.

Rani Asura menarik nafas perlahan agar tenggorokannya tidak tercekat. Entah apa yang ingin ia katakan, tak biasanya Rani Asura terlihat sulit untuk mengeluarkan kata-kata.

“Agnia, kau tak perlu khawatir tentang Theo, dia baik-baik saja.”

“Tidak mungkin dia baik-baik saja, Bibi. Aku ingat betul luka di kakinya belum sembuh.” Kemudian, Agnia tersenyum. “Aku … aku berhasil menemukan obat untuk kakinya. Theo bisa sehat kembali, Bibi. Lihat!” Agnia menunjukkan botol kecil tempat ia menaruh obatnya.

Agnia tersenyum bangga, namun hilang ketika dilihatnya senyuman Rani Asura tak menunjukkan reaksi ара-ара.

“Bibi, mengapa wajahmu seperti itu? Kau tak senang aku berhasil menemukan obat untuk Theo? Sebenarnya aku juga menemukan untuk Ryan, Bibi. Tapi tak kusangka, ada orang yang berbaik hati mendonorkan jantungnya untuk Ryan.”

Agnia lagi-lagi menitikkan air mata bahagia dari mata merahnya. Gadis tsundere itu sangat bersyukur semua kegundahannya selama ini telah lewat begitu saja. Yang penting sekarang adalah menyembuhkan luka Theo agar dia bisa berjalan kembali.

Tiba-tiba, Rani Asura mendekat ke arah Agnia dan menyentuh kedua bahunya dengan tangannya, meremas bahu Agnia dengan lembut. “Agnia ….”

Mata orange itu terlihat begitu patah, Agnia tak mengerti di saat-saat yang baginya membahagiakan ini, bibinya malah memperlihatkan duka.

“Agnia, aku mohon kau bisa menerimanya.”

Agnia terdiam sesaat. “Me-menerima apa, Bibi? Ryan dan Theo telah lolos dari maut, apalagi yang harus aku khawatirkan? Oh iya, Bibi, Bibi tahu di mana Theo berada? Dia dipindahkan ke ruang mana?”

Tapi yang ditanya malah menunduk. Agnia menyadari butiran air mata sedikit demi sedikit mulai membasahi pipi bibinya.

“Bibi, kenapa menangis? Theo … di mana Theo berada?!” Agnia mulai menjerit, mencoba menepis pikiran negatifnya.

“Theo, dia baik-baik saja, Agnia. Dia berada di tempat yang aman, sedang dia tidur dengan nyenyaknya.”

“Ya, Bibi. Aku tahu jam segini dia masih tidur. Tapi di mana? Kumohon, Bibi. Beri tahu aku lebih detail lagi.”

Kini, Agnia jadi ikut menangis. Agnia semakin kesal karena penjelasan bibinya setali tiga uang dengan resepsionis tadi, bertele-tele tak langsung lari ke inti. Terlebih perasaannya kini jadi gundah gulana. Agnia takut sesuatu yang buruk telah terjadi pada Theo.

“Theo … Theo ….” Tangisan Rani Asura makin menjadi-jadi.

“Kenapa, Bibi? Kenapa dengan Theo?!” tanya Agnia lagi dengan penuh emosi.

Agnia terlihat berpikir. Ia mencoba menelaah apa maksudnya.
Mengapa bibi sekaligus ratunya itu tiba-tiba menangis seperti ini?

Agnia tercenung, melihat ke dalam ruangan, dialihkan pandangannya ke wajah Ryan yang terlihat sedikit pias, lalu tatapannya turun ke dada kiri Ryan. Mata Agnia terbuka lebar seketika, berpindah menatap kosong Rani Asura.

“Bibi … siapa … siapa yang mendonorkan jantungnya untuk … Ryan?” tanya Agnia pelan, suaranya lirih bergetar.

Agnia tahu kemarin-kemarin sangat sulit sekali mencari pendonor untuk Ryan. Anehnya, tiba-tiba Agnia menemukan Ryan telah sadar dari komanya.

Bagi Agnia, ini hanyalah sebuah kenyataan yang sangat sulit diterima oleh akal sehat.

Jika ada yang merelakan jantungnya didonorkan untuk Ryan, siapa orangnya?

Siapa orang yang begitu baiknya sehingga mau memberikan jantungnya untuk Ryan?

Agnia menebak satu orang yang kemungkinan besar rela melakukan semuanya itu untuk The Last Amurwabhumi.

Lagi-lagi Rani Asura menunduk, tak berani menatap Agnia.

Agnia mundur satu langkah, entah mengapa ia tak ingin mendengar jawaban dari Judgment of Paladin itu. Melihat air muka Rani Asura saja, rasa-rasanya Agnia mau pingsan.

“ini … ini tidak mungkin … kan?”

Sekujur tubuh Agnia gemetaran. Kakinya terasa lemah menahan berat badannya. Dirinya berlari, memaksakan kaki meninggalkan Rani Asura.

Agnia tak percaya akan hal ini. Ia benar-benar tidak percaya. Ia harus memastikan bahwa ini semua hanya kebohongan belaka. Orang yang dicarinya menghilang seketika, tak seorang pun memberikan informasi yang jelas di mana Theo berada.

Agnia mau memeriksanya di tempat tersebut, walau sebenarnya lubuk hatinya berkata tak ingin Theo berada di tempat seperti itu. Agnia berlari ke bangsal mayat yang letaknya di lantai dasar. Nafasnya memburu manakala ia sampai di ambang pintu.

Di sana, gadis berambut merah itu melihat sesosok manusia terbaring, seluruh tubuhnya diselimuti dengan kafan putih.

Agnia melihat seisi ruangan. Hanya ada Yami dan Arlan di sana. Mereka terlihat sedang memanjatkan doa dengan khusyuk.

Kemudian, Yami yang pertama kali menyadari kehadiran Agnia. “Agnia, kau sudah kembali?” sapanya pelan.

Yami sedikit terkejut dengan kehadiran Agnia di tempat itu. Agnia tak sekali pun menoleh padanya. Pendar matanya hanya tertuju pada sosok tak bernyawa, yang berada di depannya. Agnia menggigil saat masuk ke dalam, bau dupa menjalar di seluruh bangsal mayat.

Agnia memang belum mengetahui siapa sosok yang sedang tertidur beralaskan kafan itu, tapi dia tak berniat menanyakannya pada Yami ataupun Arlan. Biarlah ia yang memastikannya sendiri.

Dengan langkap yang sedikit ragu, Agnia melangkahkan kaki mendekat ke arah mayat, melangkah perlahan, perlahan hingga ia berdiri di sampingnya.

Agnia mengambil nafas dalam-dalam, terlebih dahulu ia tatap mayat itu dari ujung kepala hingga ujung kakinya. Ia singkap perlahan kafan yang menutupi wajah mayat tersebut. Agnia takut bukan main, tapi entah mengapa tangannya menuntunnya untuk menyingkap kain itu.

Dengan perlahan, Agnia membukanya walau tangannya bergetar hebat. Lalu, muncul sekelebat rambut berwarna putih. Tenggorokannya mengering seketika. Genggaman tangannya pada kain melunak.

Tidak boleh! Agnua tidak boleh berburuk sangka. Orang ini bukan seseorang yang Agnia kenal.

Perlahan, tampaklah matanya yang mengatup, kemudian hidungnya, lalu pipinya yang memiliki guratan bekas pertarungan … kenapa orang ini sangat mirip dengan … Theo?

Agnia mulai menangis lagi. Jantungnya berdegup kencang seperti bunyi tabuh genderang. MmTampaklah bibirnya hingga terlihat wajah mayat itu seutuhnya. Agnia nyaris jatuh andai ia tak menahan tubuhnya ke pinggir ranjang.

“Theo … Theooo … ke-kenapa?!” Agnia memandang ngeri sosok yang tertidur di depan matanya.

Wajah Theo begitu damai. Ia tersenyum seakan ia tak memiliki beban lagi dalam hidupnya.

“Kenapa kau tidur di sini, bodoh?! Kau tidak seharusnya tidur di ruangan ini! He!” Agnia mulai panik. Ia hendak mendorong keluar ranjang Theo dari bangsal mayat. Mengembalikannya ke kamar yang sejak kemarin ia tempati. Agnia ingin mengganti kafan itu dengan selimut biasa.

“Hentikan, Agnia!” teriak Arlan.

Terlambat. Agnia terlanjur membuka kafan hingga bagian dada Theo. Sejurus, mata emerald-nya melebar, Agnia menutup mulutnya dengan tangan. Ia merasakan aliran darahnya berhenti karena pemandangan yang dilihatnya.

Air mata yang jatuh kini semakin deras mengalir melewati pipi putihnya yang memerah.

Agnia mengerang pilu saat melihat goresan bekas sayatan pisau yang cukup panjang di bagian dada kiri Theo.

Agnia nyaris tak bisa bernafas. Ia lenguhkan nama Theo untuk mengeluarkan segala duka nestapanya.

“THEOOOOOO!”

Agnia terbangun dari berkesperimen kemarin .Keringat dingin menjalar ke seluruh tubuh, Agnia duduk meringkuk sembari menyentuh kepala dengan kedua tangannya.

Tersadar, Agnia masih berada di laboratorium tempatnya berada.

Hah … hah … hah …

Mimpi tadi terasa begitu nyata baginya .Agnia menunduk sembari menangis tersedu-sedu. Belum pernah sekalipun seorang Agnia Samara Tunggadewi bermimpi seburuk itu dalam hidupnya.
Ia terlihat linglung melihat ke sana ke mari.

“Kenapa … kenapa aku bermimpi seperti itu?” ungkap Agnia sembari menutup wajahnya dengan kedua tangannya.

“Theo, kenapa dia sampai melakukan itu?” tanya Agnia pada dirinya sendiri. Kepalanya terasa pening, rupanya sinar mentari pagi telah masuk dari celah jendela yang ditutup gorden .Agnia langsung melirik ke arah jam dinding di seberang tempat tidur. Tepat pukul 6 pagi. “Aku harus kembali ke Majapahit sekarang!”

Tanpa pikir panjang, Agnia segera membereskan ranselnya, dan memasukkan obat yang diraciknya kemarin ke dalam.

Dengan mantap, Agnia pun mengambil langkah seribu agar cepat sampai ke kampung halamannya.

***

Pikiran Agnia jadi tak menentu. Ia tak mau percaya dengan mimpinya tadi, ia tak ingin hal itu terjadi dalam hidupnya. Agnia menggoyangkan kepalanya ke kiri dan kanan untuk menghilangkan pikiran buruk tersebut.

“Theo … dia tidak mungkin senekat itu. Ya, dia tak mungkin senekat itu. Dia masih memiliki cita-cita untuk menjadi raja,” ucap Agnia menghibur diri.

Gadis dengan mata yang berkelip itu menghela nafas dalam-dalam. Pandangannya tertuju lurus ke depan, dia menambah kecepatannya agar bisa cepat sampai ke Majapahit. Agnia merasa ada yang aneh dengan hutan yang dilewatinya.

“Kenapa ada beberapa Knight pengintai di sini?” Agnia keheranan.

Akhirnya, setelah satu jam perjalanan Agnia sampai ke gerbang Kerajaan Majapahit. Agnia memperhatikan gerbang itu yang masih tertutup rapat.

“Aneh, seharusnya jam segini gerbang telah dibuka. Mengapa mereka menutupnya?” tanyanya yang semakin keheranan.

“Agnia?”

Agnia menengadah ke atas gerbang. Ada yang memanggilnya. Rupanya itu Nicolas.

Tunggu … eh?!

BAGAIMANA BISA ADA SEORANG PALADIN YANG BERADA DI ATAS GERBANG MASUK KERAJAAN DENGAN SANTAINYA MENYAPA AGNIA?!

Ya!

Dialah Nicolas Sanjaya. Emperor of Paladin yang asli!

“Ko-ko-komandan Nicolas …?!” Agnia berteriak tak percaya.

“Sssssttt! iya, iya, santai aja kali!” balas Nicolas dengan wajah iseng. Ia langsung turun ke bawah membukakan pintu gerbang untuk Agnia.

Agnia pun masuk dengan kaki gemetar. “Ehm … anu, Komandan Nicolas, maaf kalau bo-boleh bertanya, kenapa pintu gerbang kerajaan ditutup?” tanyanya gugup. Gugup karena aura yang dipancarkan orang itu seakan membuatnya tersihir. Setelah beberapa saat, Agnia mulai tenang, dia melanjutkan, “dan tadi aku lihat beberapa Knight menjaga di luar kerajaan. Apa yang sedang terjadi?”

Nicolas mengernyitkan dahinya, menengadah sejenak, lalu menatap Agnia lagi. “Tadi malam Ranggalawe datang. Mereka memang tidak membuat kerusakan, tapi yang kudengar dia berhasil mengambil apa yang dia inginkan. Oleh karena itu, Ratumu menaikkan tingkat keamanan desa menjadi siaga 1.”

Agnia terbelalak. “Ranggalawe?! Apa yang mereka lakukan?!”

“Mereka menculik Theo.” Nicolas menjawab tanpa basa-basi.

“A-apa?!” Agnia kemudian beranjak dari tempat itu.

Nicolas memegang bahu Agnia. “Jangan gegabah. Tetaplah percaya jika Theo masih hidup.”

Agnia mengangguk, lalu membungkukkan badannya. Secepat kilat, Agnia langsung berlari menuju ke Menara Eyang Brawijaya. Ia harus mengunjungi Rani Asura di sana.

Kenapa … kenapa jadi begini?

***

Sementara itu, di persembunyian rahasia Ranggalawe …

“Aku pulang!” Panji berteriak ceria.

“Tuan Panji, Anda telah tiba rupanya. Wah, sepertinya anda berhasil.” Gendrayana, si monster lidah buaya, menyambut tuannya di pintu gerbang markas, dia menyeringai ketika dilihatnya Theo yang tak berdaya di pundak Panji.

“Ya, hahahaha. Pertahanan mereka sangat payah. Kebetulan wadah ini sedang dalam kondisi tak bagus untuk bertarung. Baiklah tak usah menunggu lagi. Kita jalankan rencananya sekarang.”

“Baik!” jawab Gendrayana.

Mereka segera masuk ke dalam dan membuat kekkai di sekitar tempat persembunyian.
 
Terakhir diubah:
Bimabet
Mantabbbb suhuu....top bgt²
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd