Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.
***

Rani Asura sedang mengumpulkan tim untuk melakukan penyergapan ke markas Ranggalawe. Mereka ditugasi misi membawa pulang Theo kembali dalam keadaan hidup-hidup.

“Beruntung Yami berhasil merobek sebagian kecil dari baju yang Theo pakai. Aku membagi kalian dalam dua tim yang masing-masing beranggotakan empat orang. Adam, kau yang memimpin jalannya misi.”

“Baik, dimengerti.”

“Baiklah, kalian bo-”

BRAK!!!

“Maaf, mengganggu!”

Tiba-tiba pintu aula terbuka.

Dua orang Patih Kerajaan Majapahit ternyata yang datang.

“Ruby, Ruka! Seharusnya kalian menunggu izin dariku untuk masuk. Kalian bahkan tak mengetuk pintu terlebih dahulu!” teriak Rani Asura yang tidak senang dengan sikap kedua Patihnya. Keadaan memang sedang kacau, kedatangan mereka hanya menambah permasalahan saja.

“Maaf, Rani Asura. Kami sedang buru-buru. Ada yang harus kita bicarakan sekarang.”

Rani Asura langsung mengerti apa yang mereka ingin diskusikan. “Tunggu sebentar, aku belum menyelesailan urusanku dengan anak buahku,” sahutnya tidak peduli.

Ruby Barada sedikit kesal dengan alasan Sang Maharani. Ia tahu urusan Rani Asura dengan anak buahnya telah selesai.

“Berhenti berdalih, Rani Asura! Kerajaan sekarang dalam keadaan gawat. Ini karena kau yang lalai dalam melaksanakan tugasmu!”

BRAK!!!

Ratu Asura memukul keras meja di depannya, membuat semua orang di sana terkejut. “Aku masih banyak urusan! Aku tidak punya waktu untuk mendengarkan omelan kalian!”

Ruka Gandring menepuk bahu rekannya, menggeleng untuk mencoba menahan diri. Namun, tiba-tiba …

“Bibi!”

“Agnia …?!”

Semua orang yang ada berada di aula terkejut melihat Agnia yang tiba-tiba masuk. Terlebih Rani Asura lupa akan keponakannya yang satu ini. Sepertinya masalah akan bertambah menjadi runyam.

“Bibi, aku dengar Theo diculik oleh Ranggalawe. Ba-bagaimana bisa?” berondong Agnia tanpa basa-basi.

Rani Asura memandang iba keponakannua yang terlihat panik. Bisa dilihatnya baju Agnia yang terlihat basah karena peluh mengguyur tubuhnya.

Rani Asura pun mencoba menenangkan Agnia. “Aku belum bisa menjelaskannya padamu sekarang, Agnia. Tenang saja, aku telah membentuk tim khusus untuk menyelamatkan Theo.”

Agnia mengedarkan pandangan pada orang-orang yang berada di sana. Ia tak ingin berdiam diri. Ia harus ikut juga dalam misi penyelamatan Theo. “Bibi, aku mohon tolong masukkan aku juga ke dalam tim.”

“Tapi kau baru saja sampai, Agnia. Kau pasti kele-”

“Tidak, Bibi! Aku harus menyelamatkan Theo! Aku telah menemukan obat untuk menyembuhkan lukanya.” Agnia kemudian mendekati Ranu Asura. Ia menatap bibinya itu dengan mantap. “Kumohon, Bibi.”

Sejurus, Rani Asura terlihat berpikir. Rasa-rasanya tak baik jika i menolak permintaan Agnia, gadis itu ingin menyelamatkan teman se-timnya. Jadi tak ada salahnya apabila Agnia juga ikut dalam misi.

“Baiklah, Agnia. Kau masuk ke dalam tim. Bulan, Agnia yang menggantikan posisimu sebagai penyihir medis dalam tim.”

Bulan pun mengangguk.

Kemudian, Agnia menghampiri Bunda yang wajahnya setegang kanebo. “Bulan, tolong berikan obat ini pada Ryan.” Agnia menunjukkan pada Bulan sebuah botol obat hasil racikannya kemarin.

Semua orang di ruangan memandang Agnia dengan rasa penasaran.

“I-ini obat apa Agnia?” tanya Bulan.

Rani Asura pun jadi ikut bertanya, “Kau menemukan ramuan apa, Agnia?”

Agnia lantas mengeluarkan sebuah buku bersampul putih dari ranselnya. “Aku menemukan tanaman ajaib dari buku ini, Bibi. Maafkan aku, buku itu tidak sengaja terselip di buku obat milik Bibi.”

Ranu Asura lantas membuka lembaran buku tersebut. Ia terbelalak kaget ketika melihat isi dari buku tersebut. “Agnia, ka-kau?”

“Tenang saja, Bibi. Aku hanya membaca sampai di halaman tentang bunga Mawar Putih itu. Sisanya belum aku sentuh sama sekali. Maafkan kelancanganku, Bibi.”

Rani Asura menghembuskan nafasnya perlahan. Ia cukup lega karena rahasia penting di dalam buku itu tidak diketahui oleh Agnia. Rani Asura sendiri tidak tahu buku itu tersimpan di rak buku obatnya.

“Ya, sudahlah. Kau kumaafkan, Agnia. Baiklah, kalian boleh pergi.”

Para penyihir yang berada di sana membungkukkan badan pada Rani Asura, lalu segera meninggalkan ruangan.

Namun, Agnia belum juga beranjak dari tempatnya, ia masih terpaku pada Bulan. “Hm, aku belum yakin apakah obat ini bisa menyembuhkan Ryan atau tidak, tapi tolong coba kau campurkan bubuknya dengan air, lalu oleskan pada luka di dada kiri, Ryan. Ramuannya bisa menyerap sampai ke dalam pembuluh darah. Aku menyediakan satu botol lagi untuk Theo.”

“Ba-Baiklah,” sahut Bulan, menyanggupi.

Rani Asura hanya menatap tak percaya apa yang ditemukan keponakannya. Ia tahu betul bunga Mawar Putih itu, dan ia sendiri telah mengetahui lebih dulu keajaiban yang dimilikinya.
Rani Asura menjadi lebih optimis. Dengan begitu, tanpa pendonor jantung sekali pun, Ryan bisa hidup kembali, sehingga Theo tak perlu lagi mendonorkan jantungnya untuk keturunan Amurwabhumi terakhir itu. Dan semoga saja tim penyelamat bisa membawa Theo pulang kembali, karena pemuda itu memiliki kesempatan untuk sehat sedia kala.

“Agnia, ayo kita pergi,” ajak Kumbakarna yang menunggu Agnia di daun pintu.

Agnia mengangguk.

Ketika Agnia hendak beranjak dari sana, namun Bulan memanggilnya, “Agnia.”

“Ya?”

“Kau pasti bisa menyelamatkan Theo.” Bulan berkata penuh keyakinan.

Agnia tersenyum. “Ya, thanks, bubul.”

Bulan tidak membalas ejekan Agnia, ia justru memandang lara sahabat sekaligus rivalnya itu.

Dari ekor matanya, Bulan menyadari Arlan sedang menatapnya tanpa ada ekspresi di wajah. Belum sempat Bulan berkata apa-apa, Arlan sudah beranjak untuk pergi menjalankan misi.

Bulan menundukkan kepala. Gadis itu masih tidak enak hati dengan Arlan karena kejadian tadi malam. Walau situasi sedang kacau balau seperti ini, Bulan segera meninggalkan aula untuk menuju ke Rumah Sakit Majapahit.

Kini yang ada di ruangan itu hanya tinggal Ruby, Ruka, dan Rani Asura.

“Baiklah, Ratu Asura. Langsung saja, kami ingin meminta pertanggungjawabanmu atas tertangkapnya Theodore Wirabhumi ke tangan Ranggalawe.”

Rani Asura menatap tajam Ruby dan Ruka, ia sama sekali tidak takut menghadapi ceceran dua patih tua Majapahit.

***

Panji berdiri di sebuah tanah luas, meletakkan Theo di atasnya. “Summon: Apocalyspe!”

Panji me-summon sebuah patung monster berwujud kelabang yang biasa Ranggalawe gunakan untuk mengekstrak mana para Beast Divine Spirit dari wadahnya. Mereka telah berhasil mengambil kedelapan Beast Divine Spirit. Oleh karenanya memang hanya Naga Besukih yang tersisa.

Beberapa waktu yang lalu, Samuel Wijaya dibantu Draken Aryeswara berhasil menangkap Hydra dengan perjuangan yang cukup merepotkan. Namun sayang, Draken justru terbunuh di tangan Teguh, wadah dari Hydra. Menyisakan Samuel yang masih hidup dengan luka yang tak bisa dianggap kecil.

Di sisi lain, rekan-rekannya banyak tumbang di medan pertempuran hanya demi mengumpulkan 9 ekor Beast Divine Spirit. Resiko yang tidak sepadan dengan ganjarannya. Tetapi, begitulah Ranggalawe yang beranggotakan penyihir tingkas S. Seluruh anggotanya ini dari awal rela mempertaruhkan nyawanya demi tercapainya tujuan mereka yang satu.

Dimulai dari Erwin Anusapati dan Tsukasa Garasakan yang gugur di Kerajaan Panjalu, namun nyawa mereka terbayarkan dengan membawa pulang Beruang Baluku.

Setelah Erwin dan Tsukasa tewas, proses penaklukan Beast Divine Spirit selanjutnya -Macan Anggaraksa- diserahkan kepada Bathory Hamangkurat seorang diri yang sukses tanpa hambatan.

Bathory sendiri adalah penyihir kelas S yang setara dengan Panji Amurwabhumi, tapi kelemahan lelaki itu adalah tidak tega membunuh perempuan … sampai akhrinya, Bathory meregang nyawa di tangan Elle Ayu Kertabhumi.

Kala itu Bathory bersama rekannya -Gusti Ayu Mirajane- sedang dalam misi penaklukan Beast Divine Spirit yang ketiga -Kura-Kura Akupara Tantrikamandaka- di Kerajaan Daha. Kebetulan Tim ART bersama Elle sedang menjalankan misi, dan berakhir dengan kematian Bathory Sang Iblis Darah.

Tidak sampai di situ, penaklukan Beast Divine Spirit -Kera Wanara- juga berakhir dengan kematian kakak tercinta Ryan, Kriss Prawira Diraja Amurwabhumi.

Mengingat banyaknya pasukan Ranggalawe yang gugur, penaklukan Kuda Aswatama, Lembuswana, dan Ular Raksasa Daksa diserahkan kepada Ivan Gajayanalingga dan Sang Mokteng Mahamerwacala.

Dan ya, prestasi kedua penyihir hitam itu menorehkan rekor terbaik sekaligus tersadis. Berujung keduanya berakhir di penjara Kekaisaran Jawadwipa.

Dan yang terakhir adalah Naga Besukih, yang saat ini dalam genggaman Panji Amurwabhumi. Panji adalah seorang penjahat, leader, sekaligus calon penghuni neraka.

Meski begitu, semua ini demi … revolusi!

Ranggalawe yang sekarang memang hanya tinggal bertiga, namun Ranggalawe sudah tak bisa lagi dibendung. Bahaya tetap saja akan mengancam kehidupan dunia penyihir
.
“Sebentar lagi … sebentar lagi … aku akan membalaskan dendamku pada Arcapada. Dunia penyihir akan bertekuk lutut kepadaku, akan kuciptakan kedamaian mengerikan untuk mereka. Hehehe.” Panji membayangkan mimpi-mimpi lamanya yang sampai saat ini belum terwujud. Pandangan Panji memperhatikan Gendrayana dan Samuel. Tampaknya mereka sudah siap.

“Baiklah, karena kita tinggal bertiga, mungkin butuh waktu 3 hari untuk mengekstraknya. Gendrayana, jangan lupa dengan tugas mengintaimu. Aku telah mengatur penghalang di luar goa dengan Demonic Protection. Mereka bisa terbakar ketika menyentuh penghalang itu. Kalian siap?” Panji memberi instruksi seraya memejamkan matanya. “Dark Inca-”

ZRAT!!!

Belum selesai Panji merapalkan sihirnya, matanya menangkap sosok hitam yang bergerak sangat cepat melintas di depan matanya.

Majapahit?

Tidak mungkin mereka akan sampai secepat itu, karena Panji sendiri menggunakan Disapear untuk kembali ke markasnya.

Lagipula, Gendrayana akan melapor jika ia menemukan ada tamu tak diundang yang akan mengganggu aktifitas mereka pada radius 5 km.

“Ugh!” Gendrayana menggenggam tangan kiri. Setangkai Mawar Putih menusuk telapak tangan. Belum sempat lelaki itu mencabut tangkai mawar itu, ia langsung jatuh ke tanah tak sadarkan diri … atau mati, mungkin?

“Eh?!” Panji terkejut dengan kejadian itu.

Sontak saja Panji melihat ke sekeliling, tapi tak ada siapa-siapa.

Samuel yang mencium aroma geger geden, menyiapkan Pedang Sangkelat untuk menyerang.

Kemudian, Panji memeriksa keadaan Gendrayana. Saat Panji hendak mengambil Mawar Putih yang tertancap di telapak tangan penyihir pengintai tersebut, ia tertegun, ini mawar beracun, ungkapnya dalam hati.

Panji pun kembali memperhatikan area di sekelilingnya. Tapi tetap tak menemukan apa-apa. Dwinetra-nya aktif. Matanya terbuka lebar tatkala melihat Theo tidak ada di tempat, di mana seharusnya dia berada.

“Apa ini? Seorang Whisper of Darkness lengah dari penjagaannya.”

Panji menoleh ke sembarang arah. Suara itu bergema, sehingga Panji belum bisa memastikan dari mana asalnya. Suara seorang wanita, yang suaranya begitu halus bak bidadari. Merayu, tapi juga terdengar nakal.

“Siapa kau?!”

“Hmmm? Akan kuberi tahu. Tapi aku ingin memberimu hadiah dulu, Panji.”

“Huh?”

“Tuan Panji, dia ada di sana!” seru Samuel sembari menunjuk ke arah lapangan.

Suara itu samar-samar terdengar berasal dari sana.

Samuel hendak mengeluarkan sihirnya, namun Panji menahan Samuel dengan isyarat tangan.

“Tak kusangka kau bisa mengumpulkan ke-delapan Beast Divine Spirit dengan merekrut para penyihir kriminal papan atas untuk membantumu. Tapi yang terakhir … heh, tidak akan kubiarkan.”

Sedetik, Panji melihat kelopak bunga mawar berterbangan di sekelilingnya.

“Siapa kau sebenarnya?! Tunjukkan dirimu!”

Tiba-tiba, terdengar suara seperti burung elang yang menggelegar di pantulkan oleh tebing-tebing goa.
Mata Dwinetra Panji melebar seketika. “Suara hewan ini …?!”

Sosok yang Panji terka pun muncul memperlihatkan wujudnya. Duduklah seorang wanita di atas phoenix besar yang tingginya sekitar empat meter. Sebagian wajahnya tertutup sampai bagian hidung. Rambut putihnya diurai menjuntai. Mata diamond-nya yang mengkilap menatap tajam Panji. Wanita itu menggenggam sebilah pedang, aura putih menyelimuti pedang di tangan kanannya. Itulah pedangnya sang Brahmani. Pedang Nagasasra. Pedang dengan gagang putih yang tak lekang oleh zaman.
Terdapat ornaman kepala naga di kedua sisi gagang.

Yah, ini adalah penyucian.

Kalabendu akan sirna, dan kalaseba akan menerangi kegelapan yang menyelimuti Jagat Arcapada yang kelam.

Wanita itu dengan gagah berani berdiri tanpa rasa takut di hatinya. Posenya sungguh memukau. Dengan posisi menyamping, sosok wanita itu menekuk kaki kanannya ke punggung phoenix. Penampilannya membuat siapa pun yang melihatnya terpikat. Walau wanita itu memakai boot hingga betis, pahanya yang putih mulus terpampang dengan indah.

Samuel sendiri langsung salah tingkah melihat penampilan wanita itu. Bidadari atau iblis yang menjelma, dia tak tahu. Yang jelas, wanita ini sangatlah menarik. Andai wanita itu menunjukkan wajahnya yang tertutup, Samuel tak bisa membayangkan apa reaksinya nanti.

“Familiar dengan ini, Panji?” tanya wanita itu.

Setelah berucap demikian, seketika bulu phoenix itu terlihat menyala-nyala terbungkus api merah, membentangkan sayapnya. Cahaya yang panas membara menerangi goa yang redup. Dari mahkota di kepalanya, lalu bulu-bulu panjang di ekornya, Panji langsung mengetahui hewan apa itu. Ya, hewan itu bukanlah hewan summon biasa.

“Pelindung api … penjaga selatan Arcapada … Sang Jatayu Maha Dibya, titisan Dewa Api Brahma. Tapi kupikir dia tak sekecil itu,” ejek Panji.

Wanita itu memincingkan matanya. “Apa boleh buat, goa ini terlalu sempit untuk Yang Mulia Jatayu.”

Cih, Jatayu yang asli sangatlah besar. Konon sayapnya membentang dari ujung bumi hingga ke ujung lain sampai bertemu. Lelucon apa ini? Hewan itu tak mungkin ada di sini.

Panji sangat mengenal hewan itu.
Karena saat perang Paregreg dulu, Panji berambisi untuk dapat mengendalikan hewan buas tersebut, yang ia dengar buasnya melebihi para Beast Divine Spirit.

Tapi satu. Hewan legenda itu tidak mudah untuk ditundukkan. Hanya orang-orang yang dipilih langsung oleh Sang Danyang-lah yang bisa menaklukannya.

“Dulu sekali, kau sangat ingin bisa mengendalikannya, kan, orang lama? Tapi apa boleh buat, Yang Mulia Jatayu tidak menginginkan kau menjadi tuannya. Ia menginginkan seorang Amurwabhumi yang lain.”

Panji mencoba menebak siapa wanita ini. “Kau … seorang Wirabhumi?”

Seingat Pamji, hewan-hewan titisan Dewata tersebut adalah milik trah Wirabhumi. Tetapi ada rumor bahwasanya trah Wirabhumi juga tak bisa mengendalikan hewan itu. Mereka hanya dijadikan para penjaga kerajaan mereka yang tertutup untuk orang asing.

Wanita itu tertawa pelan. “Hahaha, begitulah.”

Panji berpikir sejenak. “Seorang Amurwabhumi yang kau harapkan bisa mengendalikan Jatayu sudah lama mati! Lagipula mustahil bagi trah mana pun untuk mengendalikan hewan buas itu!”

“Kau pikir begitu? Kau salah, Panji. Kau bisa memperhatikannya, Yang Mulia Jatayu menurut kepadaku tuh!” wanita itu membelai bulu hewan itu dengan perlahan.

“Aku tak peduli dengan omong kosongmu! Trah Wirabhumi telah punah, itu yang aku tahu! Dan satu lagi yang tersisa. Hhh … aku tak tahu apa dia benar-benar Wirabhumi atau bukan,” papar Panji seraya menyeringai seram.

Wanita itu mengerti apa yang dimaksud 'Wirabhumi yang tersisa' oleh Panji. “Theo adalah bagian dari Wirabhumi. Darah yang mengalir di dalam tubuhnya tak jauh berbeda dengan darah yang mengalir dalam tubuhku.”

Panji menaikkan sebelah alisnya. “Hah?”

“Masih banyak rahasia dari trahku yang kau tidak mengetahuinya. Sebenarnya trahku belum hancur sepenuhnya, Panji. Kami akan kembali menyelesaikan tugas kami yang belum terselesaikan.”

“Tugas?”

“Keempat Danyang telah bangkit. Para Beast Divine Spirit itu akan dikembalikan ke tempat asalnya. Kau tidak akan pernah berhasil melaksanakan misi gilamu.” Setelah berkata demikian, wanita itu menyingkap penutup mulutnya.
Panji mengenal siapa wanita itu, sontak dia meneriakinya, “Ratna?! Bagaimana kau masih hidup, hei, Fiery Empress? Seharusnya kau sudah mati, sialan!”

Ratna memasang senyum simpul di wajah ayunya. “Aku hanya ingin menyelamatkan anakku yang kau tangkap itu. Lagipula aku abadi sepertimu, Panji Amurwabhumi.”

“Ja-jadi … wadah Naga Besukih itu …!” Panji tersentak kaget, berarti dulu Bhre Wijaya IV menyegel Naga Besukih ke tubuh anaknya sendiri. “Dan kau ini abadi? Aku tak mengerti apa yang kau maksud!”

Selesai Panji berbicara, Ratna tiba-tiba muncul di sebelahnya. “Kalau begitu, akan kubuat kau mengerti.” Seraya mengayunkan pedangnya pada Panji dari bawah ke atas.

Panji terkesiap. “A-apa? Sejak kapan …?!”

ZRAT!!!

“Ugh!” Panji berhasil menghindar, tetapi bahunya sedikit tergores oleh pedang itu.

“Kau lupa mengaktifkan mana-zone-mu, Panji.” Ratna melesat cepat ke arah Panji lagi, lalu mengayunkan pedangnya ke kanan dari kiri bawah.

TRANG!!!

Panji berhasil menangkis serangan Ratna dengan dagger di tangannya. “Hhh, kalau itu maumu, kita bisa bermain-main sebentar,” balasnya sembari tersenyum.

“Siapa takut?” tantang Ratna yang tak gentar menghadapi Panji.
Ratna memutar pedangnya, menghunus pedang itu ke arah pinggang Panji.

Namun, tiba-tiba Panji menghilang.

Ratna langsung melihat ke arah kiri dan kanannya.

Panji lalu muncul di sebelah kiri Ratna. "Aku di sini, Nyonya manis.”

Panji hendak menggores bahu Ratna dengan dagger di tangan kirinya. Sepertinya ia memang ahli dalam pengendalian mana-zone, gerakan-gerakannya tampak dibuat indah seperti menari. Aku harus hati-hati kalau begitu agar tak hilang konsentrasi, keluh Panji dalam hati.

Ratna yang mengetahuinya segera melempar pedangnya ke atas, lalu salto dua kali ke arah kanan dengan cepat. Ia mengambil pedangnya kembali, berjongkok sembari menyentuh tanah di bawahnya.

"Sense-mu cukup tajam juga ternyata."

Ratna tahu Panji akan melakukan Disapear lagi, tapi sebelum itu ,dengan cepat Panji melontarkan sesuatu ke arah tangan kanan Panji yang sedang menggenggam dagger.

“Apa?!” Panji tersentak.

Dagger-nya seketika jatuh ke tanah. Panji memperhatikan tangannya yang tiba-tiba mati rasa. Sedetik, ia terbelalak kaget melihat setangkai Mawar Putih tertancap di tanah dekat kakinya.

“Hm? Sedikit meleset, ya? Beruntung kau hanya tergores oleh tangkai durinya. Kalau menembus tanganmu bisa-bisa kau seperti anak buahmu yang tidak akan terbangun selama seminggu.”

“Grrrr! Ka-kau!” geram Panji. Mawar Putih beracun itu melukai tangan kanan Panji.

“Dan tampaknya, kau tidak akan bisa menggerakkan tanganmu itu selama seminggu,” lanjut Ratna sembari tersenyum.

Ratna kembali melesat ke arah Panji.

Melihat tuannya terpojok, Samuel tidak tinggal diam. “Bullet Storm!” Samuel mengeluarkan ledakan berlemen air dari mulutnya ke arah Ratna.

Ratna menoleh ke arah belakangnya. “Eh? Aku tak menyadari keberadaanmu.” Ratna melayang di udara, menggunakan mana-nya untuk hinggap di langit-langit goa. Ia menatap nanar peluru air yang akan menyerangnya, lalu menancapkan pedangnya dengan cepat ke atap goa, kebetulan Ratna juga ahli dalam sihir air.

Dengan cepat, Ratna membuat segel tangan secara berurutan. “Lotus's Protection-”

Namun, belum selesai Ratna merapalkan sihirnya, ternyata sebuah tembok tanah muncul di depannya.

“Calvados!”

Peluru air yang menyerang Ratna terhalang tembok tanah, kemudian peluru air itu bercampur dengan tanah dan melumer ke bawah.

Ratna memadang ke sebelah kirinya, ia tersenyum melihat siapa yang berdiri di sana. “Kau datang di saat yang tepat, Luna.”

“Cih, ada yang lain rupanya. Samuel! Berdiri di sampingku!” perintah Panji sembari melihat sosok yang tiba-tiba datang.

Dan untuk kesekian kali, Panji dibuat tak berkutik karena sesuatu hal yang tak disangka-sangka muncul di depan matanya.

“Kakak, di mana Yang Mulia Jatayu? Bukankah tadi dia bersamamu?” sapa seorang gadis yang dipanggil Luna oleh Ratna.

“Ya, seperti biasa. Dia pasti kabur ketika berhadapan dengan air, hihihi,” ujar Ratna sembari cekikikan.

Gadis itu, Luna, penampilannya tak jauh berbeda dengan Ratna. Ia memakai gaun hitam tanpa lengan. Rambutnya yang panjang diikat rapi menyerupai ekor kuda.

Tapi bukan hal itu yang membuat Panji terkejut. Melainkan seekor harimau putih yang ditunggangi oleh wanita bermata coklat tersebut.

RAWR!!!

Harimau itu mengaum dengan kerasnya, memasang posisi ingin menerkam. Di bagian dahinya terdapat permata hitam yang berkilauan.

“Pelindung Tanah … penjaga bagian barat Arcapada … Sang Maung Cindaku, titisan Dewa Tanah Sambu.” Panji menelan ludahnya sendiri. “Ka-kalian … siapa kalian sebenarnya? Setahuku hewan-hewan itu tidak bisa di summon oleh manusia biasa!” Panji menatap dengki ke arah Ratna.

Dulu sekali, salah satu seorang keturunan Wirabhumi yang dikenalnya menawarkan Jatayu untuk dikendalikan olehnya .Namun apa daya, hewan itu begitu angkuh hingga tak mau tunduk pada siapa pun.

“Ini peringatan untukmu, Panji. Kita akan bertemu di perang selanjutnya. Persiapkan pasukanmu!” Ratna melayang rendah di udara.mendarat ke tempat sebelumnya ia berpijak.

Panji terlihat muak dengan keadaannya ini, amarahnya seketika memuncak. “Tak perlu menunggu sampai nanti, sekarang juga kalian akan aku hancurkan!”

Mendengarnya, Ratna sontak memperhatikan gerak-gerik Panji. Dwinetra di matanya melebar, Panji akan mengeluarkan sihir pamungkasnya.

“Annihilate!” Panji meneriakkan sihir andalannya. Dalam sekejap, api hitam itu melalap Ratna.

“Kakak!” teriak Luna. Luna ingin menolong kakaknya itu, tapi Cindaku malah membawanya lari menjauh dari kobaran api hitam Annihilate itu. “Yang Mulia Cindaku, kenapa menghindar?” tanya Luna heran bercampur khawatir.

Panji menyeringai kejam, ia yakin Ratna takkan lolos dari serangan Annihilate-nya. Namun, Panji melihat ada yang salah dari Annihilate yang dikeluarkannya.

Lambat laun, api hitam itu mati, dan digantikan dengan kehadiran api lain.

Panji tak melihat sosok Ratna di sana. Yang dilihatnya adalah sayap api menyala-nyala membentang dengan gagahnya.

Jatayu mengeluarkan suara melengking tajam, membuat goa berguncang hebat. Batu-batu kecil maupun besar berjatuhan dari langit-langitnya. Perwujudan Danyang berupa phoenix itu kelihatan murka, hewan mulai memperlihatkan kekuatannya.

Panji mengembalikan Apocalyspe kembali ke tempatnya sembari menutup telinga. Bisa-bisa patung berbentuk kelabang yang terdapat kedelapan Beast Divine Spirit di dalamnya hancur terkena reruntuhan langit-langit goa.

Suara lengkingan Jatayu membuat gendang telinga panji nyaris pecah.

Ugh, sepertinya dia memang Jatayu sungguhan. Kalau bukan, hewan itu, tak akan bisa mematahkan sihir Annihilate dan Demonic Protection-ku. Pantas saja wanita itu dengan mudah masuk ke sini tanpa sepengetahuanku.

Samuel segera membawa Gendrayana ke tempat aman, lelaki itu tak berkutik melihat markas rahasia organisasinya luluh-lantak, wanita misterius itu tak bisa dianggap remeh ternyata.

“Jadi, itu saja kekuatanmu?” tanya Ratna yang berdiri di depan Jatayu, menantang Amurwabhumi itu dengan berani.

Gemuruh goa lambat laun mulai hilang. Panji kembali menatap Ratna, lalu memandang iri hewan buas yang ada dalam kendali si rambut putih itu.

Harusnya dulu aku bisa mengendalikannya. Sial! Umpat Panji dalam hati.

“Baiklah, urusanku padamu hari ini telah selesai. Aku telah mendapatkan yang aku mau. Maaf ya, markasmu jadi hancur begini, hahahaha.” Ratna berujar sembari tertawa terpingkal.

Panji hanya bisa menatap muak wanita cantik namun menyebalkan itu. Kali ini tampaknya ia harus menyerah. Tangan kanannya tak bisa digerakkan, ia tak akan bisa bertarung menggunakan segel tangan untuk sementara ini.

“Ah, ya. Kau ingin tahu kan mengapa aku tidak mati waktu itu? Akan aku tunjukkan kalau begitu ….”

Kemudian, cahaya putih berpendar di sekitar Ratna. Lamat-lamat cahaya itu meredup, memperlihatkan wujud aslinya.

Sekarang, yang dilihat Panji adalah sosok manusia yang kedua matanya penuh kerlipan bintang, tak memiliki kornea seperti penyihir Dinasti Kertabhumi. Telinganya sedikit runcing di ujung daun. Auranya yang kuat membuat bulu kuduk berdiri ketika melihatnya. Bukan karena takut atau mengerikan, melainkan karena begitu mempesonanya makhluk itu.

“Ca-cantiknya ….” Samuel tersihir oleh kecantikan makhluk itu, dari wujudnya saja Samuel bisa menyimpulkan bahwa Ratna bukanlah manusia biasa.

“Ka-kau … Elf?!” suara Panji tergagap-gagap.

Ratna mengangguk. “Kau pasti tahu tentang legendanya, kan, Panji?” suaranya lembut menggoda.

Panji tak berkutik dibuatnya, tapi dalam hati ia merutuk. Lelaki itu sangat mengetahui legenda makhluk yang bernama Elf itu, dan kali ini ia sadar bahwa rencananya kali ini tidak semulus yang dia perkirakan. Ada campur makhluk yang telah ditelah bumi 400 tahun lamanya. Ini benar-benar bukan suatu yang bagus untuk Panji.

Sedetik, Panji manggu-manggut. “Sekarang aku mengerti untuk apa kalian memamerkan hewan-hewan itu di hadapanku.”

“Ya, para Beast Divine Spirit itu akan kembali ke tuan mereka masing-masing.” Rambut putih Ratna yang terurai, berkibar karena angin yang masuk ke dalam goa. Anting Mawar Putihnya terlihat berkilauan ketika ia mengatakan hal itu.

“Cih, aku tak tahu kalau kalian adalah bagian dari trah Wirabhumi.”

“Tentu saja. Trah Wirabhumi adalah Dinasti yang ahli dalam Seal Magic Art. Elf atau Wirabhumi … mereka adalah eksistensi yang sama.”

Begitu rupanya. Aku kurang informasi. Setelah ini aku akan mengumpulkan informasi tentang mereka, ujar Panji dalam pikirannya.

Ratna menyarungkan katana-nya kembali ke pinggang kiri. “Dah ya. Aku masih punya banyak urusan. Sayonara, Panji. Sampai jumpa di lain waktu.”

Ratna pun menghilang dari hadapan Panji. Diikuti dengan Luna dan kedua hewan titisan Dewata yang lipur bersama hembusan angin.

Panji mengepalkan tangannya melihat kepergian para pengganggu .Padahal sedikit lagi Panji dapat mengumpulkan kesembilan Beast Divine Spirit, namun ada saja yang menghalanginya.

“SIAL!!!”
 
Terakhir diubah:
astaga, bahkan aku tak menyadari marathon update yang sudah hadir...

memukau suhu,
memukau...
 
***

“Theo ….” Ratna membaringkan Theo di tepi sungai, di bawah jembatan dekat Kerajaan Kalingga.

Ratna sengaja membawa lari Theo sampai sejauh itu agar jejaknya tak tercium oleh Panji.

Energi kehidupan Ratna nyaris habis, ia memang tak bisa lama-lama berada di luar kerajaannya.

Tak ingin membuang-buang waktu, Ratna mengguncang bahu Theo perlahan, ia belai rambut putih wadah Naga Besukih itu dengan perlahan.

“Bangunlah, Theo,” ucap Ratna lirih.

Bercak-bercak darah terlihat di sekitar bibir Theo.

Ratna memperkirakan bahwa Panji sempat menghajarnya sebelum berhasil menangkapnya. Ratna jadi menyesal mengapa tadi tidak menghajar Panji hingga remuk-redam.

Ratna berlaih menatap Luna. “Luna, tolong periksa keadaannya.”

Beruntung adik angkatnya itu adalah seorang penyihir medis yang cukup handal.

Ratna sendiri tidak ahli dalam obat-mengobati.

Dengan cekatan, Luna melakukan pemeriksaan luka di tubuh Theo. Dan hasilnya …

“Tulang iga dan tiga tulang rusuknya patah. Dinding lambung robek. Lalu … Kakak! Lihat kakinya!” papar Kuna seraya berteriak.

Ratna memperhatikan luka di kedua kaki Theo.

Sontak Ratna mengatupkan kedua matanya, tak berani melihat pemandangan itu.

“Kak, kedua kakinya harus diamputasi. Bagaimana ini?” tanya Luna, prihatin.

Luka di kedua kaki Theo memang semakin parah. Nyaris membusuk. Sehingga, mau tak mau Luna memutuskan mengatakan hal mengerikan seperti itu tanpa menutupi fakta yang ada.

Ratna membuka matanya kembali. Ia harus melakukan sesuatu untuk menyelamatkan Theo sekarang.

Sampai akhirnya, Ratna menghembuskan nafas sebelum berucap dengan suara bergetar, “Apa boleh buat? Aku akan membuka segel itu.”

“Kau serius, Kak?! Tapi nanti dia-”

“Aku tak mempunyai pilihan lain, Luna. Hanya itu yang bisa kulakukan untuk menyelamatkannya.”

“Kau yakin itu, Kak? Theo sudah terbiasa hidup bersama manusia biasa. Apa nanti mereka bisa menerima Theo yang berbeda dari mereka?” Luna mencoba berpikir logis.

Ratna menggeleng lemah. “Theo sudah terbiasa hidup sebagai seorang wadah, Luna.”

Luna terkesiap mendengarnya. Ya, dia lupa Theo adalah seorang wadah. Wadah dari Naga Besukih yang melegenda. Ia tahu betul perlakuan apa yang diterima oleh kebanyakan wadah, karena Ratna -kakak angkatnya sendiri- pernah mengalami hal yang serupa.

Ratna menatap lembut Theo. “Theo tetap bisa hidup bersama orang-orang yang berharga baginya, terlebih jika salah satunya ada yang mencintainya. Dan Theo juga mencintai orang itu tanpa mempermasalahkan perbedaan yang ada.”

Luna tampak merenung, teringat seorang temannya dulu yang telah lama tak ia jumpai.

“Ayo, Luna, kita pulang. Aku akan melakukan ritual pelepasan segel di Wirabhumi.”

Luna menepuk bahu Ratna. “Kak, bagaimana dengan penyihir Majapahit? Mereka pasti sedang mencari Theo.”

“Biarkan saja Theo dianggap menghilang atau mati sekali pun oleh Majapahit. Kalau sudah waktunya, kita akan menampakkan diri. Yang penting sekarang, aku harus merawat Theo hingga lukanya sembuh.” Ratna lalu mengusap pelan lekuk wajah Theo. “Setidaknya dia tahu, jika dia masih memiliki seorang ibu.”

“Baiklah kalau begitu.” Luna membentuk segel tangan secara berurutan.Terlihat cahaya kuning berbentuk lingkaran di depan mereka berdua.

Mereka pun masuk ke dimensi lain yang langsung mengantarkan mereka ke tempat asalnya: Kerajaan Wirabhumi.

***

“Tuan Panji, aku tak mengerti apa yang tadi wanita itu bicarakan.” Samuel berkata seraya menggaruk belakang kepalanya.

Panji mendengus keras. “Hahhh! Nanti saja kuceritakan padamu. Sekarang kita harus membuat rencana untuk menghadapi penyihir Majapahit yang akan menyelamatkan Theo. Mereka pasti akan segera datang. Satu tanganku tak bisa digerakkan, jadi aku tak bisa bertarung menghadapi mereka kalau seperti ini.”

“Apa rencana Anda sekarang, Tuan Panji?” tanya Samuel.

Panji menyeringai kejam. “Aku akan melakukan manuver pada mereka. Samuel, carikan aku mayat. Atau kau bisa membunuh seseorang dan bawakan jasadnya kepadaku.”

Samuel mengernyit. “Untuk apa?”

Panji mengaktifkan Dwinetra-nya. “Nanti juga kau akan mengetahuinya.”

***

Samuel dengan santai berjalan di hutan rimba yang gelap gulita. Cahaya matahari terhalang masuk karena pepohonannya yang rindang nan lebat. Panasnya begitu terik, mungkin sebentar lagi akan turun hujan.

Seringai kejam terpampang di wajahnya yang bersisik.

Beberapa waktu yang lalu, Samuel sedikit syok karena dua orang yang tak dia kenali mengobrak-abrik markas Ranggalawe hingga hancur.
Tuannya saja -Panji Amurwabhumi- dibuat kerepotan oleh wanita rambut putih yang akhirnya ia ketahui bernama Ratna Wirabhumi.

Wanita itu seperti racun, menarik hati sekaligus berbahaya.

Baru Samuel lihat ada seorang penyihir yang berhasil mempecundangi tuannya yang merupakan penyihir kriminal papan atas.

Tapi, bukan Panji namanya kalau ia tidak bisa membalikkan keadaan yang tidak mungkin menjadi mungkin. Rencana yang dibuat Panji boleh dibilang cerdas juga. Meski terlihat konyol, memang tak ada salahnya sekali-kali mengelabui para musuh mereka dan menghilang sementara di suatu tempat untuk mempersiapkan rencana berikutnya. Maka tentunya sangatlah mudah bagi Samuel mencari mangsa untuk dibunuh.

Seperti pesan Panji padanya, Samuel diminta untuk membawakan mayat seseorang, tak peduli dia lelaki atau perempuan.

Setelah membunuhnya, Samuel membopong mayat tersebut di ujung pedang besarnya yang ia letakkan di atas pundak. Sembari menengadah ke belakangnya, ia bergumam, “Aku sebenarnya ingin menikmati tubuhmu. Tapi apa boleh buat, aku diminta Tuan Panji untuk membawamu dalam keadaan utuh, walau dengan tubuh tercabik-cabik seperti ini.”

Samuel pun mulai melanjutkan perjalanannya lagi tanpa ada rasa cemas di hatinya.

***

Sementara itu, di pinggiran hutan perbatasan antara Kediri dan Majapahit, para penyihir Majapahit yang terdiri dari Adam, Kumbakarna, Bintang, Agnia, Arlan, Alice, Steven, dan Bobby, melakukan pencarian markas Ranggalawe yang telah mereka endus keberadaannya.

Dengan bantuan Steven, mereka bisa mencium jejak Theo yang dibawa kabur oleh Panji dari robekan baju Theo yang sempat diambil oleh Yami. Mereka mengikuti ke mana arah kedua penyihir pencari jejak itu membawa mereka pergi. Melompat dari satu dahan ke dahan lain dengan kecepatan tinggi.

Saat ini prioritas mereka adalah membawa pulang Theo ke desa dalam keadaan selamat.

Agnia berada di barisan paling belakang tim. Gadis dengan pipi chubby itu memang terlihat kelelahan, namun bukan hal itu yang sedang mengganjal pikirannya untuk saat ini.

Rupanya Agnia masih memikirkan mimpinya tadi malam, dan tak menyangka Ranggalawe akan datang untuk menculik Theo. Agnia tak habis pikir jikalau Ranggalawe akan memanfaatkan keadaan Theo yang sangat tidak memungkinkan untuk bertarung, atau untuk sekedar melindungi diri.

Berarti … ada yang memata-matai Theo selama si Penyihir Putih dirawat di Rumah Sakit Majapahit.

Agnia menggigit bibir bawahnya. Ia memahami kapasitas seorang wadah yang notabene-nya hanya seorang anak manusia biasa akan tewas apabila dipisahkan dari Beast Divine Spirit yang tersegel dalam tubuhnya.

Dulu, hal ini pernah Agnia takutkan, namun lambat laun ketakutannya menghilang karena semakin hari Theo terlihat semakin kuat. Dan saking kuatnya, Theo dijuluki Penyihir Putih.

Mata Agnia terpejam sesaat. Ia tak menyangka kejadian-kejadian kemarin menimpa dirinya. Dari komanya Ryan, sampai luka bakar yang dialami Theo. Semua ini terjadi begitu cepat sehingga Agnia tak tahu mana yang harus ia prioritaskan.

Ryan atau Theo adalah orang yang sangat berharga baginya. Hanya saja, Agnua belum berani memutuskan kepada siapa hatinya tertambat.

Ya, Agnia sangat mencintai Ryan. Di lain pihak, ia juga tak ingin kehilangan Theo.

Mimpi Agnia tadi malam telah membuka matanya perlahan tentang hati kecilnya yang selama ini bersembunyi dibalik kebimbangannya. Theo mendonorkan jantungnya untuk Ryan, orang yang selalu Agnia rindukan kehadirannya. Agnia tentu saja sangat mengingat janji seumur hidup Theo yang ingin membawa Ryan pulang kembali ke Majapahit. Kembali ke pangkuannya.

Tapi haruskah sampai seperti itu?

Kepulangan Ryan … haruskah dibayar dengan hilangnya nyawa Theo?

Agnia tak mengerti mengapa ia bermimpi seperti itu. Agnia boleh bernafas lega karena semua itu hanya mimpi belaka.

Tapi … jika itu kenyataan, Agnia pasti langsung bunuh diri jika Theo mendonorkan jantungnya untuk Ryan. Karena Agnia juga menyadari, Theo melakukan hal itu karena janjinya. Janji yang membebani hingga Theo seperti hidup dalam kutukan yang bernama neraka.

Mungkin kini Agnia telah sedikit dewasa dan mengerti apa yang seharusnya ia lakukan.

Tak sepatutnya Agnia membiarkan Theo sendiri yang terbebani dengan kesengsaraan yang disebabkan olehnya ini.

Tak sepatutnya pula Agnia menuntut banyak pada Theo, sedangkan ia sendiri tak bisa melakukan apa-apa.

Agnia ingin membantu Theo, tetapi sejujurnya ia belum mampu untuk memikul beban itu di pundaknya sendiri.

Agnia mengatupkan matanya rapat-rapat. Terlalu lama Agnia memejamkan matanya hingga dia tak sadar kalau pijakannya pada dahan selanjutnya meleset.

Agnia pun terpelanting ke depan. Dahan besar siap menerjang tubuhnya yang melesat cepat ke arah sana. Ia ingin menendangkan kakinya ke dahan itu, namun entah mengapa untuk bersalto saja terasa berat ia lakukan.

“Kyaaaa!” pekik Agnia.

“Agnia!” teriak Bobby yang berada tidak jauh dari Agnia.

Adam yang mendengar teriakan Bobby, langsung menyambar tubuh Agnia dengan cepat.

Bobby sendiri tak sempat menyelamatkan Agnia karena saking terkejutnya.

Adam meraih Agnia dengan melompat ke dahan di sampingnya, lalu turun ke jalan utama diikuti dengan penyihir yang lain.

“Kau tidak apa-apa, Agnia?” tanya Adam sembari menurunkan tubuh Agnia ke tanah.

Agnia mengangguk lemah. “Ya, aku tak apa-apa. Terima kasih, Kapten.”

“Kau terlihat kelelahan, Agnia. Sebaiknya kita istirahat dulu.”

Agnia menggeleng, tidak setuju dengan keputusan kaptennya itu. “Tidak, Kapten. Aku masih bisa melanjutkan perjalanan. Tenang saja. Aku hanya sedikit melamun.”

“Tapi-”

Agnia memotong cepat, “Aku mohon, Kapten. Aku takut terjadi apa-apa dengan Theo. Aku mohon kita lanjutkan perjalanan kita. Terlambat sedikit saja Theo bisa tak tertolong lagi.”

Agnia menundukkan kepalanya. Ia merutuki dirinya sendiri, kenapa dia jadi cengeng seperti ini?

Lantas mimpinya tadi malam melintas kembali dalam benaknya.

“Tadi malam aku bermimpi buruk tentang Theo. Aku tak mau hal itu terjadi padanya. Aku tak mau dia mati.” Perlahan, butiran air mata tampak keluar dari mata jade Agnia yang terlihat sendu.

Alice menyentuh dagunya dengan tangan. Sebenarnya gadis itu ingin bertanya mimpi seperti apa yang dialami Agnia, tapi ia tak tega menanyakannya.

Di sisi lain, Steven hanya mengerutkan dahinya, tak ingin berkomentar.

Bintang, dan Kumbakarna tidak memasang ekspresi apa-apa.

Sedangkan Arlan sedang berpikir secara mendalam di alam pikirannya. Kata-kata Bulan kemarin kembali menggerayangi otaknya.

“Arlan, a-aku … kau salah mempersepsikan kata-kataku. A-aku hanya tak bisa membayangkan bagaimana Agnia nanti.”

“Mungkin saja dia berteriak kegirangan karena Ryan bisa hidup kembali.”

“Tidak, Arlan! Tidak! Agnia tidak mungkin se-egois itu!”


Sedetik, Arlan mengepalkan tangan kanannya. Ck, merepotkan! Decaknya dalam hati.

Adam menatap kosong muridnya yang sedang bersedu-sedan. “Agnia …” lelaki itu berjongkok, menyentuh bahu Agnia dengan satu tangannya, sebelum berkata, “tenang saja. Kita pasti bisa menyelamatkan Theo,” sembari tersenyum di balik maskernya.

Bobby sendiri tidak tega gadis yang dipujanya itu tampak berkecil hati. “YOSH, AGNIA! BETUL YANG DIKATAKAN KAPTEN ADAM! KITA PASTI BISA MENYELAMATKAN THEO! TENANG SAJA, ADA BOBBY DI SINI!” teriaknya dengan semangat mudanya yang membara.

“Betul, Agnia. Theo itu penyihir hebat. Dia tidak akan mati begitu saja." Alice menimpali.

“Si bodoh itu tidak akan mudah mati begitu saja, Agnia. Ingat, kita masih memiliki waktu 4 hari sebelum Ranggalawe berhasil mengekstrak Naga Besukih keluar dari tubuh Theo." Steven ikut menyemangati.

Bintang dan Kumbakarna tersenyum pada Agnia. Dari pancaran mata mereka terlihat, mereka juga ikut menyemangati Agnia.

Agnia kemudian menyeka air matanya yang kadung jatuh keluar, lalu tersenyum karena teman-temannya ada di samping dan menyemangatinya. “Thank you, guys.”

Hanya satu yang tidak Agnia sadari, Arlan menatapnya dengan wajah mengkisut. Sedari tadi, Arlan memang sedikit ruwet. Entah mengapa perasaan yang dirasakannya jadi seperti ini. Rasa-rasanya Arlan ingin kabur, karena baginya perasaan aneh seperti ini terlalu merepotkan baginya.

Semoga kau baik-baik saja, Theo, batin Arlan cemas.
 
***
Sore hari di Keraton Wirabhumi nampak hamparan lautan luas nan indah. Sebuah kerajaan yang letaknya lebih tersembunyi dari Majapahit atau Mataram itu memang tak seramai dulu. Namun, keagungannya tak pernah lekang oleh waktu.

Hutan hujan tropis dengan pepohonan yang lebat dan tingginya melebihi pepohonan di Majapahit. Lembahnya yang diapit oleh dua tebing tinggi yang di bawahnya terdapat sungai yang berujung pada Kerajaan Tirta Kamandanu, begitu nama lainnya.

Di tebingnya yang kokoh lagi tinggi berdiri sebuah bangunan cantik yang bertingkat-tingkat menjulang ke langit. Terdapat beratus-ratus paviliun kecil maupun besar di sekitarnya. Inilah sebuah peradaban kecil yang sebenarnya lebih maju dibandingkan dengan kerajaan lain di lima Kerajaan Elemental.

Di salah satu ruangan yang berdinding pualam berwarna pastel, berdiri seorang wanita berambut putih, seputih salju yang memakai lengkap baju brahmani-nya. Baju itu dulu biasa ia pakai di acara-acara besar kerajaan karena memang dialah dulu pemimpin Keraton Wirabhumi.

Kerajaan yang kini menghilang dari peradaban dunia penyihir karena keserakahan para penyihir itu sendiri. Perang Paregreg telah membuat Wirabhumi memilih mengasingkan diri. Menyembunyijan diri. Menjauh dari hiruk pikuk dunia yang dipenuhi kekerasan dan kematian.

Ruangan rahasia itu sengaja digelapkan. Namun, Ratna tak sendirian di situ. Di depannya terbaring Theo yang sejak tadi malam tak juga bangun dari tidurnya. Theo diletakkannya di atas dipan kecil yang tidak terlalu tinggi.

Melihat keadaan Theo yang seperti ini, Ratna telah memutuskan untuk membuka segel Regulus atau yang orang awam sebut dengan Yin-Yang.

Ratna sendiri sudah tak bisa lagi menumbuhkan Wijayakusuma seperti waktu perang Paregreg dulu. Wijayakusuma, bunga mawar ajaib yang sarinya bisa menyembuhkan luka seseorang.

Sewaktu menyegel Naga Besukih ke dalam perut Theo, suaminya -Abimanyu Bamantara- membagi mana iblis itu menjadi Yin dan Yang.

Yin menyegel mana iblisnya, sedangkan Yang menyegel mana Theo itu sendiri, pun kekuatan tersembunyi Theo yang hanya diketahui oleh kedua orang tuanya sendiri.

Mana Naga Besukih bagian Yang dapat berbaur dengan tubuhnya, sehingga mana inilah yang biasa Theo pakai dalam pertarungan normal. Jika Theo dalam keadaan marah, mana Yin dapat menerobos masuk mempengaruhi emosinya. Karena itulah Theo akhir-akhir ini sering kehilangan kontrol terhadap Naga Besukih jika ia bertarung dalam keadaan emosi yang kurang stabil.

Yin dan Yang dalam segel Theo memang tak lagi seimbang seperti dulu, sehingga Ratna memutuskan membuka segel mana Yang agar dapat seimbang dengan segel mana Yin pada saat Theo sedang dalam keadaan bertarung. Otomatis kekuatan tersembunyi Theo itu akan keluar, sehingga dapat menyembuhkan tubuhnya yang penuh dengan luka. Theo akan Ratna jadikan Elf seperti dirinya.

Alasan mengapa Abimanyu ikut menyegel kekuatan Elf Theo? Karena Theo perlu belajar bertahap menjadi seorang wadah dan juga Elf.

Dua kekuatan iblis dan malaikat itu sangat bertolak-belakang sehingga tak mudah untuk disatupadukan. Namun, sudah saatnya Theo belajar untuk dapat mengendalikan dua kekuatan itu.

Ratna mulai membuat segel tangan secara berurutan.

Tak lama, muncul sinar kuning terang yang menyelimuti tangan kanan Ratna.
Bergegas Ratna mendekati Theo yang terbaring di depannya, yang hanya memakai celana pendek sampai lutut.

Segel Regulus muncul di perut Theo. Dengan perlahan, Ratna meletakkan kelima jari tangannya di beberapa bagian segel, lalu memutar segel 90 derajat dengan hati-hati.

Di saat yang bersamaan, tiba-tiba muncul sinar kemerahan yang keluar dari sana. Jiwa Ratna pun masuk ke dalam segel Theo.

Naga Besukih yang sedang tidur nyenyak membuka sebelah mata. Telah lama ia dalam keadaan lesu seperti ini. Ia sebenaranya masih ingin tidur, tapi sepertinya ada yang mengunjunginya.

Merasa terusik, Naga Besukih pun menggeram kesal karena ada yang mengganggu rebahannya. “Grrrhhh! Siapa kau? Tunjukkan dirimu. Aku tahu ada yang menggangguku.”

Ratna berjalan perlahan ke arah Naga Besukih yang meringkuk di balik Seal. “Lama tak jumpa, Naga Besukih,” ucapnya sembari tersenyum.

“Ka-kau? Siapa kau?” Naga Besukih bertanya, suaranya terbata.

“Kau lupa siapa aku?” Ratna lalu mengarahkan tangannya pada Naga Besukih.

ZRAT!!!

DRRR! DRRR! DRRR!


Tiba-tiba, rantai-rantai berwarna keemasan menjerat tubuh Naga Besukih.

“GRRHHH! Apa-apaan kau ini? Tu-tunggu … kekuatan ini …” Naga Besukih mengalihkan pandangannya ke arah Ratna. “Ra-Ratna?! Eh?!” Naga Besukih menyadari ada yang lain dengan penampilan wanita berambut putih itu. “Ka-kau kembali menjadi Elf?!”

“Aku memang tidak merubah diriku menjadi manusia biasa seutuhnya, Besukih. Atau Pondra?” sahut Ratna, seraya mengedipkan sebelah mata saat memanggil naga angkuh itu dengan nama kecilnya.

“Heh, bagaimana bisa? Tapi kau dulu mati, kan?” Naga Besukih menatap tak percaya sosok di depannya.

Ratna mengambil anting mawar yang ada di telinganya. “Elf juga bisa mati. Hanya saja dia memiliki bermacam-macam kekuatan untuk hidup selama ribuan tahun lamanya. Aku hidup kembali karena ini.” Kemudian, anting itu berubah menjadi cahaya putih berbentuk bintang segi enam. “Sebelum aku ke Majapahit, ayahku memberikan hadiah berupa anting ini padaku. Dia kembali membawa tubuhku yang tak berdaya kembali ke Saptaprala, tapi tak kusangka ini adalah ….”

“Bi-bintang utara Karimunjawi,” ucap Naga Besukih memotong kalimat Ratna. “Jadi ... trah kalian akan bangkit kembali?” tanyanya kemudian.

Ratna mengangguk. “Ya, gerbang Hastabrata telah terbuka. Keempat Dewa Pelindung telah bangkit dari tidur panjangnya. Kalian para Beast Divine Spirit akan kembali ke tuan kalian.”

“Eh, benarkah? Jadi aku bisa bertemu kembali dengan Yang Mulia Jatayu?” tanya Naga Besukih yang langsung tertarik dengan apa yang sedang mereka bicarakan.

Ratna mengangguk lagi. “Tapi aku meminta bantuan padamu, Pondra.”

Naga Besukih mulai menunjukkan ketertarikannya. “Huh, apa yang kau inginkan?”

Ratna memejamkan matanya sejenak. “Aku memutar seperempat segel Regulus Theo.”

Naga Besukih tiba-tiba menjadi marah. “Kau mau membuka segel Yang Theo? Lalu tetap membiarkan aku di sini? Begitu, Ratna Wirabhumi?!”

“Belum saatnya kau keluar, Pondra. Tapi aku menjamin kau bisa kembali lagi ke tempat asalmu di lembah api bersama Yang Mulia Jatayu.”

Ratna kembali mengangkat tangannya ke depan Naga Besukih.

BRAK! BRAK! BRAK!

Ratna menambahkan 3 Seal, lantas mengepalkan kedua tangannya. “Key!” teriak Ratna.

“Grrrhhhh … kau, Ratna ….”

“Maafkan aku, Pondra. Aku akan menjadikan Theo Elf. Kau tidak akan kubiarkan mengganggu.”

“Elf? Hhh, jangan bercanda Ratna!” umpat Naga Besukih.

“Theo terluka parah, aku tak ada pilihan lain. Lebih baik kau tidur saja. Selamat Malam.”

Ratna lalu menghilang dari hadapan Naga Besukih yang terlihat memejamkan matanya perlahan.

Di saat yang bersamaan, Ratna mulai merasakan badannya lesu kembali. Sedetik, kembali ke ruangan rahasia tadi, mendekati Theo yang masih terbaring di sana.

“Theo, anakku. Waktunya telah tiba. Maafkan bila aku tiba-tiba muncul lalu seenaknya saja merubah kau menjadi Elf sepertiku. Tapi tenang saja, kau tetap bisa hidup bersama dengan manusia biasa,” ucap Ratna sembari mencium dahi Theo.

Sang Mawar Putih itu kemudian mengarahkan antingnya yang berubah menjadi bintang putih berbentuk segi enam ke pemilik wadah Naga Besukih itu. Segel Yang Theo telah Ratna buka, kini tinggal menambah energi kehidupan Elf agar dia menjadi Elf seutuhnya.

Ratna lalu mengucapkan sihir purbakala yang berasal dari leluhurnya, “Jawab panggilanku, Karimunjawi!”

***

“Itu tempatnya!” seru Steven yang sedang menunggangi Beast Summon-nya. “Baunya samar-samar, aku tak mengerti. Tapi … ya, aku yakin di sana!” Steven menunjuk ke arah goa yang pintu masuknya terbuka.

Adam memincingkan mata. Misi ini sedikit berbeda dengan misi-misi melawan Ranggalawe sebelumnya. Tak ada jebakan, tak ada kesulitan berarti yang mereka hadapi. Adam tahu walaupun Ranggalawe tinggal sedikit setidaknya pertahanan mereka tak selemah ini.

Apa yang sedang kau rencanakan, Panji? Adam terlihat berpikir dalam benaknya.

“Kangmas, apa rencanamu?” Kumbakarna yang berdiri di samping Adam memperhatikan seluruh area. Penyihir berdarah setengah iblis itu juga sedikit curiga dengan kesunyian yang meliputi mereka. Seolah ada sesuatu yang besar yang siap memukul mereka dengan keras. Kumbakarna sendiri tidak tahu mengapa perasaannya menjadi tidak enak.

“Bintang, tolong pindai daerah ini dengan Netra-mu. Apa ada jebakan yang terpasang. Kalau bisa sekalian juga kau lihat apa yang sedang terjadi di dalam goa,” perintah Adam pada Bintang.

“Baik, Kapten!” Bintang lalu mengatupkan kedua matanya dan membukanya kembali. “Vision!”

Mata Netra Bintang sedikit berbeda dari Dwinetra milik trah Amurwabhumi, matanya itu layaknya Mata Tuhan, melihat titik buta sekali pun sangat mudah bagi keturunan trah Kertabhumi.

Sedetik, Bintang melirik ke beberapa tempat yang mencurigakan, tapi ia tak menemukan ada trap ataupun penghalang yang terpasang di sekitar mereka.

"Aku menjamin, tak ada jebakan terpasang di sekitar goa ini, Kapten Adam.”

“Begitu?” Adam terlihat berpikir sejenak. Aneh, penghalang saja tidak dipasang. Apa yang Panji rencanakan sebenarnya?

“Baiklah, Bintang. Sekarang coba kau melihat ke dalam. Apa yang kau lihat?”

Mata Bintang melihat ke dalam goa dengan Netra-nya yang masih aktif.

Beberapa detik kemudian, Bintang melihat sesuatu yang janggal di dalam goa, tapi ada satu hal yang membuat bulu kuduknya merinding.

“Ugh!” raut wajah Bintang yang tadinya serius tiba-tiba berubah drastis.

Adam menyadari akan hal itu. “Apa yang kau temukan, Bintang?”

Bintang melirik Adam sebentar, lalu memalingkan wajahya ke arah goa lagi. “Sulit untuk diungkapkan dengan kata-kata. Lebih baik kita masuk ke dalam, Kapten.”

Adam langsung mengiyakan.

Sang Holy Knight memperhatikan ketujuh anak buahnya yang berdiri tidak jauh darinya. Lantas, Adam berjalan paling dulu untuk memastikan medannya.

Adam bersandar di pinggir mulut goa, mengamati ke dalam, tapi tidak bisa melihat lebih ke dalam lagi karena goa itu sangatlah gelap, cahaya matahari hanya masuk di bagian mulutnya. Pun menyuruh yang lain untuk menyusulnya masuk ke dalam dengan isyarat tangan.

***

Sementara itu di dalam goa …

“Tuan Panji, mereka datang.”

“Ya, aku tahu. Biarkan saja mereka masuk, hehehe.” Panji menyeringai kejam seraya memandang ke bawah, ke mayat yang tergeletak di lapangan luas goa. “Sihir Bathory akan menipu mereka. Beruntung aku pernah meng-copy sihir-nya dengan Dwinetra-ku.”

***

Beralih ke tim Adam.

Kedelapan penyihir Majapahit mulai masuk secara hati-hati ke dalam goa.

Adam dan Kumbakarna berada paling depan, tiba-tiba mereka berhenti berlari ketika sebuah suara muncul di sekitar mereka.

“Wah, kalian telah datang rupanya. Sudah kuduga. Hehehe.” Panji menyambut penyihir-penyihir itu hangat.

“Tunjukkan dirimu, Panji!”

“Aku di sini.”

Kedelapan penyihir Majapahit lantas mengalihkan pandangan mereka ke sebelah kanan goa. Di sana, tampak Panji dan Samuel sedang berdiri di atas patung Apocalyspe.

Adam melihat sekelilingnya. Ia menyadari bahwa goa itu tampak begitu lantak tak beraturan. Kenapa hancur seperti ini. Apa terjadi pertarungan sebelum kami sampai ke sini? Lalu, matanya mencoba menerawang ke depan. Dilihatnya seseorang tergeletak di sana. Adam langsung mengenali seseorang itu dari kejauhan. Matanya tiba-tiba terbuka lebar.

“Kangmas, itu ….”

“Tidak mungkin. Tidak mungkin itu Theo, Dimas.”

“Theo!” teriak Agnia tiba-tiba. Ia hendak menghampiri sosok Theo yang tergeletak di tanah goa.

Tpi, dengan cepat Adam langsung menahannya. “Tunggu, Agnia! Jangan gegabah! Bisa jadi ini jebakan!” serunya. Yang kemudian, Adam menatap Panji dengan tatapan penuh tanda tanya. “Katakan, sebenarnya apa yang terjadi sebelum kami datang? Aku tahu sepertinya telah terjadi pertarungan di sini. Dan menurutku tidak mungkin kau bisa mengekstrak Naga Besukih secepat itu dari tubuh Theo.” Adam lalu menyadari luka di bahu Panji.

Panji langsung menyahuti kalimat Adam, “Kau terlalu banyak berspekulasi, Adam. Ya, tadi monster kecil itu sedikit memberontak sehingga aku harus melawannya sedikit. Aku terpaksa menggunakan sharingan-ku untuk mengeluarkannya. Kau sendiri tahu, kan, Adam? Aku bisa mengendalikan Naga Besukih dengan Dwinetra-ku.”

“Maksudmu Theo berubah menjadi Naga Besukih?” tebak Adam.

Panji menyeringai. “Yah, begitulah. Dia langsung mati begitu aku mengeluarkan Naga Besukih dari tubuhnya.”

Sepertinya akting Panji berhasil dilaksanakan.

Ekspresi yang dipasang oleh para penyihir Majapahit tampak mempercayai apa yang Panji ucapkan. Mereka gusar. Tidak tenang.

“Pembohong!” hardik Agnia yang tak percaya dengan ucapan Panji.

“Kau tidak percaya? Kalau begitu, lihat ini.” Panji menunjukkan patung Apocalyspe yang kesembilan matanya terbuka. “Kau tahu apa artinya ini, kan, Adam?”

Ti-tidak mungkin …?!

“Theo sudah mati, Adam. Hahaha!”

“Theo!”

Agnia tiba-tiba berlari ke arah mayat Theo. Ia tak peduli apakah ada jebakan atau tidak.

Agnia duduk di sebelahnya, ia langsung berteriak histeris ketika dilihatnya luka-luka yang ada di tubuh temannya itu.

Ada beberapa luka bekas cakar di tangan, kaki, dan wajahnya. Bibirnya yang membiru penuh dengan bercak darah. Wajahnya yang sudah menjadi mayat penuh luka lebam yang diperkirakan disebabkan oleh pukulan yang sangat kuat.

Agnia buru-buru membuka baju mayat terduga Theo yang terkoyak-koyak, mengeluarkan sihir Heal-nya ke tubuh temannya itu.

“Ba-bangunlah, Theo!” Agnia menangis tersedu-sedu.

Cahaya kehijauan menyelimuti kedua tangannya, Agnia memeriksa beberapa titik denyut nadi Theo.

“Hahahaha! Percuma saja kau menyembuhkannya, penyihir manja!” seru Panji sambil terbahak.

Agnia langsung menoleh pada Panji, mata scarlet-nya yang berair memandang Panji dengan tajam, ingin sekali menghajar Amurwabhumi itu hingga babak-belur.

Dengan perasaan yang hanya terfokus pada mayat di depannya, Agnia menghiraukan kalimat Panji, ia berusaha mencari nadi mayat itu yang masih berdenyut. Tak apa walau lemah, Agnia berharap bisa membuat denyut nadi itu berdetak lagi.

“Aku mohon bangunlah, Theo! Kau tidak boleh mati! Kau masih harus menjadi raja!” teriak Agnia. Ia mulai menangis histeris. “Ayo! Kumohon! Aku ingin … aku ….”

Tapi yang dipanggil namanya tak memperlihatkan reaksi apa-apa. Seperti tak ingin dibangunkan dari tidur nyenyaknya.

“Hahaha, monster kecil itu sudah mati. Aku sudah bilang percuma saja kau mengobatinya,” ejek Panji.

“Diam kau, manusia busuk! Namanya Theodore Wirabhumi! Lihat saja, setelah ini aku akan menghajarmu habis-habisan, sialan!” bentak Agnia pada Panji.

Panji hanya terkekeh-kekeh mendengarnya. Gadis yang menyeramkan, ejeknya dalam hati.
Panji berniat untuk segera lari dari sana karena tak bagus juga untuk berlama-lama tinggal, meski ia sangat menikmati melihat ekspresi para penyihir Majapahit yang terlihat shock.

“Baiklah, kalau begitu aku permisi dulu. Sampai jumpa di lain waktu, Adam dan keroco-keroconya. Hahahaha.”

Sedetik, Panji pun menghilang bersama Samuel dan patung Apocalyspe.

Agnia menambahkan mana ke kedua tangannya hingga batas maksimum. “Sialan! Aku mohon bukalah matamu, Theo!” teriaknya lagi.

“Agnia ….” Lirih Kumbakarna.

Bintang, Alice, Bobby, Arlan, dan Steven hanya bisa menatap sedih pemandangan yang ada di depan mereka.

“Agnia, cukup. Kau sudah berusaha dengan keras. Bisa-bisa kau mati karena kehabisan mana,” tegur Adam yang mulai khawatir dengan tindak-tanduk bawahannya itu.

Agnia sudah terlalu banyak mengeluarkan mana .Bisa-bisa, sang Witch Reaper itu mati konyol hanya perkara kehabisan mana secara sia-sia.

“Tidak bisa, Kapten! Aku bisa menyelamatkan Ryan. Kenapa … kenapa aku selalu gagal untuk menyelamatkan Theo?!” Agnia mulai histeris lagi, tak menyangka apa yang dia takutkan berubah menjadi kenyataan.

Inikah takdir?

Inikah yang orang sebut dengan neraka?

Agnia tidak bisa menerima ini semua. Paling tidak, Theo harus berpamitan padanya jika ingin mati. Dan Agnia bisa menyusul di detik itu juga.

“Ini bukan salahmu, Agnia,” hibur Bobby. Tapi tak pelak air mata juga jatuh di kedua matanya yang beralis tebal.

Adam yang melihat hal ini tak mau diam saja. Bisa-bisa Agnia juga ikut mati karena kehabisan mana. “Arlan, tolong pisahkan Agnia dari mayat Theo.”

Agnia langsung menoleh pada Adam. “Tidak, Kapten! Jangan sebut Theo seperti itu! Dia belum mati!”

“Ayo, Agnia. Kita keluar dari tempat ini dan kembali.” Arlan secara perlahan menarik Agnia menjauh dari Theo.

Jelas saja Agnia memberontak. “Lepaskan! Aku harus menyelamatkan Theo! Theo … Theo belum mati! Dia tidak boleh mati di sini! Pergi! Lepaskan aku, Arlan!”

“Cukup, Agnia! Kau sudah kehilangan banyak mana, bisa-bisa kau ikut mati!” Arlan mulai menarik Agnia secara paksa untuk keluar goa, dia hampir ingin menggendong Agnia ala bridal style.

Tanpa diduga, Agnia justru melawan dan mendorong Arlan hingga pemuda itu jatuh terpelanting ke tanah. “Aku tak peduli kalau aku mati! Yang penting Theo bisa hidup! Lepaskan aku, Arlan!” rontanya seraya berlari kembali ke arah Theo. “Theo!” teriaknya.

Arlan mengejar Agnia dan menangkapnya lagi sebelum dia berhasil sampai ke tempat Theo.

“Kyaaa!!!” teriak Agnia sembari berontak. Ia mengayunkan kedua kakinya agar Arlan mau melepaskannya.

“Berhenti, Agnia!”

“Lepaskan aku! Aku ingin mengobati Theo!” perilaku Agnia mulai tak bisa dikontrol.

Arlan mengerti, pemuda yang bergelar Witch of Thorns itu tidak terima dengan kejadian ini. Serta merta Arlan memalingkan wajah Agnia agar menatapnya. “Berhenti, Agnia! Kau sendiri sudah tahu kan … Theo sudah mati!”

Agnia langsung diam. Menatap mata onyx Arlan yang tampak membara, sebelum membuka suara, “Ma-mati?” lirihnya yang banjir air mata. Ia menatap Arlan dengan tatapan sendu yang tak pernah ia tunjukkan sebelumnya.

Arlan mengangguk kepalanya yang terasa berat. “Aku mohon, Agnia. Aku sangat mengerti dengan apa yang kau rasakan. Tapi aku mohon, biarkan Theo pergi.”

Arlan sebenarnya tak sanggup mengatakan ini, tapi apa mau dikata, kalimat menyakitkan itu begitu mengalir saja keluar dari bibirnya. Arlan sendiri tak ingin mempercayai semua hal yang tiba-tiba saja muncul di depan matanya. Arlan ingin mencoba menganalisa semua ini dengan otak cerdasnya yang jarang ia gunakan. Tapi yang terpenting, mereka semua harus kembali ke Majapahit terlebih dahulu.

Agnia masih menangis terisak-isak. Ia memberanikan diri untuk melihat mayat Theo lagi. Dilihatnya Adam mengangkat perlahan Theo yang sudah tak berdaya ke punggungnya. Tak ada tanda-tanda kehidupan yang dilihatnya di wajah polos Theo. Agnia ingin berontak, tak terima dengan kenyataan seperti ini.

Kenapa? Kenapa? Batin Agnia pilu.

Sedetik, gadis berambut merah itu terkulai lemas di dekapan Arlan. Ia turunkan kepalanya ke dada sang pewaris trah Linggabhumi. Arlan langsung menggendong Agnia ala bridal style dan keluar dari goa lebih dulu dari yang lainnya.

Menyusul kemudian Alice, Bobby, Bintang, Kumbakarna, Steven, dan Adam.

Arlan melirik Agnia yang matanya terpejam, tapi masih terdengar isakan kecil dari bibirnya yang berulang kembali menyebut nama Theo.

“Kangmas, apa yang akan kita lakukan selanjutnya?” tanya Kumbakarna yang wajahnya menjadi sedikit muram.

“Aku akan mengirimkan pesan untuk memberi kabar pada Rani Asura. Kalian pulanglah ke Majaphit lewat ke gerbang utama. Aku akan masuk dari gerbang lain. Yang jelas kematian Theo ini jangan dulu di publish.”

Para penyihir Majapahit mengiyakan, lalu melangkah menjauhi goa.

Adam sendiri berjalan paling belakang bersama Kumbakarna. Ia memandang ke tanah di kakinya dan menyadari kalau ia telah menginjak sesuatu. Adam berhenti sejenak.

Bunga mawar? Aneh di perjalanan tadi aku sama sekali tak menemukan tanaman mawar tumbuh di sekitar hutan yang aku lewati.

Adam mengangkat kakinya dari bunga mawar itu.

“Kangmas.”

Lamunan Adam buyar ketika Kumbakarna memanggilnya. Ia menoleh pada anggota Knight tersebut.

“Ada apa, Kangmas?” tanya Kumbakarna.

“Dimas, bisakah kau mengambil bunga mawar ini?” Adam menginterupsi seraya menunjuk bunga mawar yang dimaksud.

“Hm, ada apa, Kangmas? Kenapa ingin mengambilnya? Aku rasa ini hanya mawar biasa.”

“Bukan begitu. Aku sepertinya mengenal mawar ini. Tapi aku tidak ingat mengapa aku mengenalnya.”

Kumbakarna terlihat bingung dengan pernyataan seniornya itu, tapi dia menuruti, karena dia sendiri merasa ada yang aneh dengan semua rangkaian kejadian tadi. Anggota Knight itu juga menyadari bahwa ia sendiri juga tak melihat tanaman mawar tumbuh di sekitar sana.
 
***

Sementara itu, di Rumah Sakit Majapahit, Bulan sedang mengecek keadaan Ryan yang baru saja melakukan pengobatan. Keadaan Ryan belum banyak berubah dari hari kemarin, Bulan tahu akan hal itu. Tapi yang membuatnya terkejut adalah progress dari keadaan jantung Ryan yang berubah drastis.

“Sebenarnya Agnia menemukan tanaman apa? Aku belum pernah melihat ramuan yang bereaksi secepat ini. Keadaan jantung Ryan berangsur-angsur stabil. Sungguh ajaib.” Bulan berbicara sendiri.

Hujan sudah tiba rupanya.

Bulan sangat takjub dengan apa yang ditemukan sahabat sekaligus rivalnya. Seulas senyum tersungging di bibir Bulan. Ia mengaku kalah pada Agnia dalam urusan cinta dan medis. Namun, tiba-tiba masalah lain menghinggapi otaknya.

“Semoga kau juga bisa menyelamatkan Theo, Agnia,” lirih Bulan sembari melihat ke arah luar jendela.

Gerimis mengundangnya untuk menelaah awan nimbus yang mulai tebal menutupi langit Majapahit. Musim hujan telah tiba, bersamaan dengan duka yang menyertainya.

***

Rani Asura sedang berada di aula sekaligus ruangannya, memandang hujan yang turun rintik-rintik membasahi bumi Majapahit. Sang Maharani menghembukan nafasnya kuat-kuat. Tadi, ia berhasil menang mempertahankan pendapatnya setelah adu mulut selama 3 jam lamanya dengan Ruby dan Ruka.

Hasil akhirnya adalah: Rani Asura menjamin pada mereka berdua bahwa Theo akan selamat, dan Naga Besukih tak akan berhasil Ranggalawe dapatkan.

Sungguh, Rani Asura masih ingat percakapannya tadi dengan dua patih Majapahit itu.

“Bagus kalau itu perkiraanmu, Rani Asura. Aku berharap kau bisa memperbaiki semua kekacauan ini dan memperkuat keamanan kerajaan yang akhir-akhir ini terlihat longgar,” ucap Ruby yang langsung menyatakan pendapatnya sehabis mendengar pernyataan Rani Asura yang optimis Theo akan berhasil diselamatkan oleh tim yang sedang bertugas.

“Huh, kalian terlalu berlebihan menghadapi masalah yang ada. Aku tak seperti kalian yang selalu menghadapi masalah dengan kepala panas. Sekali-kali kalian taruh batu es di kepala kalian agar sedikit dingin.”

BRAK!

Ruka menggebrak meja. “Beraninya kau berbicara seperti itu, Ratu Asura! Sebagai seorang pemimpin dan penyihir terkuat di Majapahit, tak seharusnya kau bersikap lunak seperti itu!” bentaknya murka.

Bukannya ikut marah, Rani Asura masih santai menghadapi mereka berdua. “Terserah kalian mau bilang apa. Yang jelas aku tetap mempertahankan ideologi trahku dalam memimpin kerajaan ini,” sahutnya tersenyum bangga.

Bisa dilihatnya Ruby dan Ruka mulai tidak tahan dengan sikap keras kepalanya itu.

“Kau … kau …” Ruka menahan amarahnya sebisa mungkin, lalu ia ingat masalah lain yang dia ingin utarakan. “Hhh … aku dengar si penyihir buronan, Ryanata Jayadrata Amurwabhumi, telah kembali ke Majapahit, benarkah itu?”

Rani Asura terkesiap dengan pertanyaan Ruka, lalu memasang wajah setenang mungkin. “Kalau memang benar, apa yang ingin kalian lakukan?”

“Kami akan menyidang tindak kriminalnya kalau dia keluar dari rumah sakit nanti. Untuk masalah ini, aku harap kau tak melindunginya, Rani Asura.”

Rani Asura tidak menjawab. Ia menatap sengit ke arah dua orang yang duduk di depannya.

“Kami akan mengusulkan hukuman mati untuk Ratu Amurwabhumi.”

Rani Asura lagi-lagi menghembuskan nafasnya kuat-kuat. Kepalanya sedikit pusing dengan semua masalah yang menimpa kerajaannya. Tak ada yang menemaninya untuk saat ini. Ravalda yang biasa mendampingi pun masih berada di rumah sakit karena terluka saat melawan Panji tadi malam.

Rani Asura memandang lagi hujan rintik-rintik yang jatuh membasahi bumi kerajaannya.

“Shin … andai kau berada di sini, apa yang akan kau katakan kepadaku?” lirih Rani Asura yang tetap memandang tetesan hujan di depan matanya.

***

Rani Asura duduk di ruangannya dengan perasaan cemas di hati. Berkali-kali Sang Rani berusaha menahan gejolak amarah yang menggerogoti otaknya sejak sehari yang lalu. Tapi yang ini lebih parah dari yang sebelum-sebelumnya.
Ia ingin marah, ia ingin menangis.

Kemarin sore, Rani Asura mendengar kabar tidak mengenakkan dari Tim Adam yang telah menyelesaikan misi mereka.

Memang tempat persembunyian Ranggalawe tidak jauh dari desa Majapahit, sehingga tak heran apabila misi itu berjalan sangat cepat. Tentu saja bukan dalam kategori misi yang sukses dilaksanakan, mengingat mereka tak berhasil membawa pulang Theo hidup-hidup.

Di saat yang bersamaan, Rani Asura dikejutkan dengan kehadiran monster summon berbentuk kucing milik Adam yang memberi kabar kepadanya untuk segera beranjak ke rumah sakit Majapahit karena Adam sedang menunggunya di sana.

Dan sesampainya di sana, tentu saja Rani Asura tidak percaya dengan apa yang dia lihat. Adam membawa tubuh Theo yang sudah tak bernyawa di belakangnya.

Rani Asura nyaris jatuh lantai andai ia tidak cepat-cepat mengontrol emosinya sendiri. Pun menahan air matanya untuk tidak jatuh.

Rani Asura adalah seorang Paladin sekaligus Maharani yang berwibawa yang memiliki harga diri tinggi. Tak sepatutnya ia menunjukkan kelemahannya di depan anak buahnya.
Di dalam hati kecilnya, Rani Asura masih sedikit berharap dengan kejanggalan yang ditemukan oleh Adam.

Belum sempat Judgment of Paladin itu benafas lega, tiba-tiba ada kabar lain yang membuatnya kaget setengah mati. Keponakannya, Agnia, mengalami shock berat karena peristiwa ini. Meski tak harus dirawat intensif, tetap saja membuat Rani Asura khawatir padanya.

Sejenak, Rani Asura termenung sesaat di ruangannya. Ia berpikir, apa jadinya kalau Agnia tahu perihal Theo yang ingin mendonorkan jantungnya untuk Ryan?

Terbesit di hati Ratu Asura ingin berniat untuk tidak memberitahukan pada Agnia perihal itu, dan meminta para penyihir yang mengetahui hal ini untuk tutup mulut.

Tok! Tok! Tok!

Lamunan Rani Asura buyar ketika didengarnya suara panggilan dari pintu seberang, dia langsung berdiri. “Masuk.”

“Maaf menganggu, Yang Mulia Maharani Asura.”

“Ah, Adam. Aku sedang menunggumu. Bagaimana hasilnya?” sambut Rani Asura.

Adam terlihat serius menatap Rani Asura. “Lebih baik Anda melihat langsung apa yang tim investigasi temukan. Sekalian ada yang ingin saya diskusikan dengan Anda.”

Rani Asura mengatupkan kedua matanya-menarik nafas perlahan, kemudian membukanya lagi. “Baiklah kalau begitu.”

Rani Asura dan Adam segera beranjak ke Rumah Sakit Majapahit.

***

Ryan berjalan di sebuah tempat misterius yang dia sendiri tak tahu di mana dia berpijak. Pemuda itu melihat ke sekelilingnya. Api merah menari-nari, menjulang menjilat-jilat langit. Menimbulkan warna merah menyala yang memonopoli, tak ada warna lain yang menghiasi kecuali warna bak darah tersebut.

Tempat itu begitu terang, disebabkan oleh api yang berada di sekitarnya. Di sana berjejer bangunan-bangunan aneh seperti kuil yang bertingkat-tingkat, paviliun-paviliun kecil berornamen burung elang. Tak ada pepohonan, batu, ataupun awan putih. Semuanya serba api.

Tapi, ada yang aneh dengan tempat ini. Meski dikelilingi oleh api, bangunan-bangunan itu tidak hangus terbakar olehnya.

“Di mana aku?” tanya Ryan pada dirinya sendiri.

Sang Demon Slayer berjalan ke sembarang arah. Sebab, ia sendiri tidak tahu ke mana kakinya melangkah. Hanya jalan setapak yang Ryan temukan, ia pun memutuskan untuk mengikuti jalan saja.

“Ryanata Jayadrata Amurwabhumi, ya?” lamat-lamat terdengar suara memanggil nama Ryan, suaranya sangat berat, seperti bukan suara manusia.

Ryan terkesiap karenanya. “Heh?” Ryan langsung menoleh ke arah belakang. Refleks Ryan menoleh ke sembarang tempat, tapi tak menemukan apa-apa. Yang ada hanya api merah yang menari-nari dengan eloknya.

“Akhirnya kau tiba juga di sini, Ryanata Jayadrata Amurwabhumi.”

“Si-siapa?” Ryan mewanti-wanti jika ada yang menyerangnya. Ia lalu menggerayangi tubuhnya sendiri, tapi sama sekali tak menemukan senjata untuk melindungi diri.

“Aku sudah menunggumu sejak lama.”

“Huh?”

Ryan mengerutkan dahinya.
Pemilik mata Dwinetra itu benar-benar tak mengerti apa yang sedang terjadi pada dirinya saat ini. Seingatnya, Ryan sedang terluka parah akibat serangan salah sasaran Panji tempo lalu, setelahnya dia tidak ingat apa-apa, malah tiba-tiba berada di tempat asing ini. Kalau mengingat kesalahan-kesalahannya yang dulu, ia mulai berpikir, apakah aku sedang berada di neraka?

Suara itu berdeham, terkekeh-kekeh karena menurutnya itu adalah pernyataan yang sangat lucu. “Neraka katamu? Hahahaha.”

Ryan memincingkan matanya. “Kenapa tertawa?”

“Kenapa kau mengira kau berada di Neraka saat ini, Ryan?”

Ryan diam sejenak. Ia sebenarnya tidak mengerti apa maksudnya ini. Mindset-nya terpaku pada banyaknya dosa yang telah ia perbuat selama hidupnya.

“A-aku pikir, aku pantas berada di sana,” ucap Ryan lirih sembari menundukkan kepalanya.

“Hahaha. Sudahlah, tak usah dipikirkan. Aku hanya ingin mengucapkan, selamat datang di Lembah Api, Ryanata Jayadrata Amurwabhumi.”

Ryan mendongakkan kepalanya. “Le-lembah api, katamu?”

“Ya, aku sudah menunggumu sejak lama. Kau, Ryanata Jayadrata Amurwabhumi, ingkang saka anak putu sinuwun kaping pisan, geni soko kidul Arcapada.”

Ryan menghembuskan nafasnya pelan. “Apa maksudmu? Aku tak mengerti.”

Suara itu kembali berdeham selayaknya monster. “Kau berasal dari trah hebat keturunan dari Ia yang disegani. Aku berharap kau dapat memberikan sesuatu yang menarik.”

“Huh?”

“Aku dulu berharap kakakmu yang menjadi tuanku. Tapi sayang sekali dia telah mati, jadi aku berharap padamu.”

“Maksudmu Kak Kriss? Si-siapa kau sebenarnya? Lalu untuk apa aku harus mempercayaimu?”

Tiba-tiba Ryan merasa tanah di bawahnya bergetar, dia ingin lari dari sana. Takut-takut tertimpa reruntuhan bangunan yang dikiranya akan jatuh ke bumi. Namun, Ryan dikejutkan dengan munculnya seekor burung raksasa di depan matanya sendiri.

Ryan membuka matanya lebar-lebar, memperhatikan burung itu sampai tubuhnya menggigil. Baru kali ini pemuda itu melihat makhluk indah lagi gagah ini. Burung itu membentangkan sayap, api yang menyelimuti tubuhnya pun makin berkobar.

Kepala Ryan seketika menengadah ke atas langit saat burung itu mengeluarkan suara melengking tinggi hingga ke angkasa. Ryan takjub dengan apa yang dilihatnya. Cahaya api yang menyala dari bulu-bulu burung itu sangat terang, sehingga Ryan menghalangi pandangannya sendiri dengan sebelah tangan. Ryan menyadari burung itu sedang memandanginya dengan tatapan buas. Burung itu pun menundukkan kepalanya pada Ryan.

“Aku berharap kau bisa memberikan perubahan besar pada dunia penyihir yang sangat bobrok ini, Ryanata Jayadrata Amurwabhumi. Salah satu caranya adalah kita bekerjasama.”

Lantas, burung itu terbang-melaju cepat ke arah Ryan. Tentu saja Ryan ingin buru-buru menghindar dari terjangan burung itu, tapi yang ia rasakan tubuhnya menjadi kaku. Panik menjalar ke setiap persendian. Tatapan burung itu seperti hendak menerkamnya. Ryan hanya bisa pasrah dan mengatupkan mata rapat-rapat.

***

Di ruangan Rumah Sakit Majapahit, tempat di mana Ryan dirawat.
Seorang perawat sedang memeriksa keadaan Ryan yang berangsur-angsur membaik dalam dua hari ini.
Perawat memperhatikan layar EKG yang berada di depannya.
Keadaan jantung Ryan telah stabil, meski kesadarannya masih minim.

SRET!

Perawat itu langsung menoleh ke arah lain ketika didengarnya suara aneh yang tiba-tiba muncul. “A-apa itu?”

SRET! SRET!

Perawat itu menoleh ke sekelilingnya lagi. Ia mulai merinding, karena di ruangan itu hanya ada dia dan Ryan yang masih terbaring di kasurnya.

Penyihir medis itu terlihat ketakutan, lalu hendak beranjak keluar dari sana karena merasakan hawa yang tak mengenakkan. Padahal, ia sendiri sebenarnya tidak terlalu percaya dengan yang namanya takhayul.

Sebelum keluar dari ruangan, perawat itu mengambil papan berisi laporannya, lalu memperhatikan sebentar monitor EKG yang memperlihatkan denyut jantung Ryan. Mata perawat itu pun memperhatikan monitor secara teliti.

Betapa kagetnya manakala perawat itu melihat bagian kesadaran Ryan angkanya perlahan naik. Sontak saja ia segera mengarahkan pandangan ke arah Ryan. Yang mana, tangan Ryan perlahan bergerak, bergesekan dengan seprai di bawahnya. Tak hanya itu, bola matanya terlihat berputar di balik kelopaknya yang masih mengatup.

Penyihir medis itu nampak terkejut dengan apa yang ditemukannya. “A-aku harus melapor pada Nona Bulan dan Raji Asura sekarang juga!”

***

Rani Asura dan Adam tiba di Menara Investigasi.

Memang mayat Theo tidak di periksa di rumah sakit, melainkan diotopsi di salah satu ruangan Menara Investigasi.

Di sana sudah menunggu tim forensik Rumah Sakit Majapahit, beberapa tim investigasi -William Iswarakesawalingga selaku penanggung jawab- ditemani Arlan, dan Arda Mahesa Pitaloka -ayah Bulan-.

“Rani Asura, Anda telah tiba rupanya. Silahkan masuk.” Seorang Knight yang menjaga pintu ruangan investigasi mempersilahkan Ratu Asura untuk masuk ke dalam. Menyusul di belakangnya, Adam. Knight tersebut memandang Adam sejenak sebelum akhirnya mengangguk kepadanya. Adam membalas dengan anggukan pula.

“Semuanya.” Ratu Asura menyapa mereka yang sudah hadir di dalam ruangan.

“Yang Mulia,” balas semua orang yang berada di sana. Mereka membungkuk sebagai tanda penghormatan pada sang Judgment of Paladin.

“Baiklah, kita langsung saja ke inti permasalahan. Apa yang kalian temukan?” Rani Asura membuka percakapan.

“Rani Asura, coba Anda perhatikan di sana.” Adam mendekat ke arah Ratu Asura sembari menuntunnya untuk melihat mayat yang terbaring, yang seluruh tubuhnya diselimuti kafan putih. Salah satu tim forensik membuka kafan itu hingga leher si mayat.

Ketika wajah mayat itu terlihat, Rani Asura terkesiap seketika. “I-ini? Bagaimana bisa? Jadi mayat yang kalian bawa itu ….”

“Kemungkinan ulah salah satu sihir tingkat tinggi yang Panji gunakan,” ungkap Adam.

Mengenai hal ini, Adam jadi teringat pertarungan terakhirnya dengan Kriss Prawira Diraja Amurwabhumi. Ia kira pada saat itu Kriss telah dikalahkan. Tapi yang mengejutkan, mayat Kriss yang Adam lihat seketika berubah menjadi mayat seseorang yang sama sekali tak dikenal.

“Mayat ini berubah ke wujud aslinya 6 jam setelah tim sampai di sini,” jelas Arlan.

“Jadi, ini manipulasi?” tanya Rani Asura yang masih belum mengerti apa tujuan Panji menggunakan trik kotor seperti ini.

“Ya, tadi saya sudah memeriksa memori mayat ini. Dan saya menemukan bahwa kemarin mayat ini sempat bertarung dengan salah satu anggota Ranggalawe. Coba tebak?” jelas Arda penuh teka-teki.

“Samuel?” gumam Rani Asura.

Arda menjentikkan jarinya, tanda jawaban Rani Asura benar.

Arda sendiri adalah penyihir dengan Truth or Die sebagai sihir spesialis-nya.
Hanya Arda -ah satu-satunya dari Dinasti Pitaloka yang bisa menggunakan sihir itu. Dan dari yang sudah Arda telaah, mayat itu adalah mayat seorang penyihir dari Kerajaan Kalingga.

“Lalu Theo … apakah dia-”

“Kemungkinan besar Panji tidak berhasil mengekstrak Naga Besukih dari tubuh Theo.” Adam memotong kalimat Ratu Asura.

Secara singkat Adam menceritakan tentang patung Apocalyspe yang biasa Ranggalawe gunakan untuk menyimpan Beast Divine Spirit yang telah diekstrak, yang kesembilan matanya telah terbuka.

“Saya segera menyadari bahwa Panji menggunakan Illusion Magic Art andalannya untuk mengelabui kami. Saya sebenarnya langsung ingin mematahkan Illusion Magic Art -nya. Tapi Agnia keburu histeris ketika melihat mayat Theo palsu itu.”

Rani Asura terdiam sejenak, benaknya kembali terisi dengan keponakan kesayangannya itu. Meski gadis itu bebal, Rani Asura sangat mengkhawatirkan keadaan Agnia. Sama sekali tak terpikir olehnya kalau Agnia menjadi syok seperti itu. Tak sadarkan diri sembari menyebut-nyebut nama Theo.

Beruntung obat anti depresi yang disuntikan ke tubuhnya membuat hasil yang signifikan.

Yang terpenting sekarang adalah … Agnia tidak boleh tahu dulu tentang perihal pendonoran jantung Theo untuk Ryan.

Pikiran Rani Asura kemudian berganti, tertuju pada Theo yang telah ia anggap sebagai keponakannya sendiri. Kalau memang Panji tidak berhasil mengekstrak Naga Besukih, lalu di manakah Theo saat ini?

“Soal Theo. Apakah Panji membawanya pergi?” tanya Rani Asura, menuntut jawaban.

“Aku rasa Panji tidak membawa Theo bersamanya karena Steven juga tidak mencium bau Theo di sekitar sana. Baunya samar-samar, seperti menghilang begitu saja setelah kami sampai,” jelas Arlan sembari menatap mayat penyihir Kerajaan Kalingga. “Lalu, aku menemukan sesuatu yang janggal di sana.”

“Apa itu?” Rani Asura menatap penyihir jenius itu dengan rasa penasaran di hatinya.

Kumbakarna mengambil alih atensi. “Ehem! Kami semua melihat dengan jelas di dalam goa itu luluh lantak, sangat berantakan. Seperti telah terjadi pertarungan sebelum kami sampai di sana. Anda menyadarinya juga, kan, Kangmas Adam?”

Adam mengiyakan. “Panji sempat berdalih kalau Theo berontak dan menggunakan kekuatan Naga Besukih untuk melawannya. Tapi dari yang Rani Asura pernah katakan, kekuatan Naga Besukih dalam tubuh Theo sedang dalam keadaan lemah seiring dengan lemahnya fisik Theo. Jadi aku meragukan kekuatan Naga Besukih bisa keluar pada saat itu.”

“Lalu aku juga menemukan kubangan lumpur yang sangat luas. Jika dilihat dengan teliti, seperti berasal dari sihir berelemen air dan tanah yang saling berhantaman. Aku yang pernah melatih Theo beberapa sihir elemental, tahu betul jika Theo hanya bisa menggunakan elemen angin dan cahaya dalam bertarung.” Kumbakarna menyambung.

Rani Asura terkesiap. Ia langsung mengerti apa yang Adam dan Kumbakarna maksud. “Jadi … ada orang lain yang membawa Theo pergi?”

Arlan menatap Rani Asura dengan wajah serius. “Itu adalah hal yang sangat mungkin terjadi, Rani Asura. Motif orang itu membawa Theo pergi harus diselidiki lagi. Apa itu dari penyihir dari kerajaan kita sendiri atau kerajaan lain sangat mungkin terjadi, Rani Asura.” Arlan diam sebentar, lalu melanjutkan, “yang jelas, orang itu pasti penyihir kelas S ke atas karena dengan mudah membawa Theo pergi dari cengkraman Panji. Panji lho ini.”

Adam tiba-tiba mendekati Rani Asura, membisikkan sesuatu ke telinga kanannya.

Sedetik, Rani Asura menatap Adam dengan pias, sedetik lagi kembali menatap anak buahnya. “Baiklah, kalian teruskan penyelidikan. Aku ada urusan sebentar dengan Adam.”

“Baik.” Mereka semua kompak menjawab.

Rani Asura dan Adam kemudian keluar dari ruangan. Mereka berdua berjalan menyusuri koridor hingga ke sudut perbatasan koridor lain.

Adam memastikan terlebih dahulu bahwa tak ada seorang pun yang menguping pembicaraan mereka.

“Apa yang ingin kau bicarakan, Adam?” Rani Asura memulai percakapan.

Adam merogoh kantung dagger-nya, mengambil sesuatu dari sana, menunjukkan sesuatu yang diambilnya itu pada Ratu Asura. “Saya menemukan ini di luar markas Ranggalawe, Ratu Asura.”

Rani Asura mengerenyitkan dahinya. “Bunga mawar? Apa maksudnya?”

“Saya sendiri belum mengetahui pasti, tapi ketika melihat bunga mawar ini saya jadi teringat akan sesuatu.”

“Sesuatu?”

“Masalahnya, saya juga tidak menemukan ada pohon mawar di sekitar sana. Kumbakarna juga telah memeriksa area luar markas Ranggalawe dan sama sekali tidak menemukan dahan mawar ini.”

Rani Asura memincingkan mata menatap mawar itu, lalu mengambilnya dari tangan Adam. “Jadi maksudmu, mawar ini bisa menjadi petunjuk?” seraya mengacungkannya pada Adam.

Adam terdiam, kemudian berkata agak ragu, “Saya belum mengetahuinya, Rani Asura. Tapi mawar ini ….” Adam teringat kenangan 20 tahun yang lalu, yang terjadi sebelum perang dunia penyihir hitam dimulai.

***

Flashback On

“Ah, Kapten telat!” Haikal Jayanaga Amurwabhumi kecil yang akrab dipanggil Haikal itu berteriak kesal dengan keterlambatan kaptennya dengan mengulurkan jari telunjuknya pada orang yang dipanggilnya kapten.

Adam kecil nyaris menjitak kepala teman se-timnya itu, tapi niatnya ia urungkan karena kali ini ia setuju dengan tindakan Haikal.

Padahal, kapten mereka adalah penyihir papan atas yang notabene-nya adalah seorang penyihir yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kedisiplinan.
Tapi, tumben-tumbennya seorang Abimanyu Bamantara tidak datang tepat pada waktunya.

“Ya, ya. Maaf aku terlambat. Aku ada urusan sebentar tadi. Hahaha.” Abimanyu memasang tampang tidak bersalahnya pada ketiga anak buahnya tersebut.

Sejurus, Adam menyadari Abimanyu menggenggam lima tangkai bunga mawar di tangannya. “Kapten, bunga mawar itu untuk siapa?” tanyanya kepo.

Haikal keburu menyeletuk sebelum Abimanyu menjawabnya, “Masa kau tidak tahu, Adam? Tentu saja itu untuk Bibi Ratna. Ya, kan, Kapten? Ah, Kapten pacaran terus, nih!”

Abimanyu tersipu malu dan hanya bisa tertawa terpingkal, alisnya mengerut. Sebelumnya Abimanyu diam, lalu tiba-tiba menyodorkan mawar itu pada ketiga anak buahnya. “Bukan. Mawar ini aku dapatkan dari Ratna. Coba kalian lihat. Indah, kan?” Haikal, Adam, dan Luna memperhatikan mawar itu dengan saksama. “Mawar ini berbeda dengan mawar lainnya. Dia tidak memiliki duri, bisa menjadi obat juga, Ratna bisa menumbuhkan mawar ini … unlimitied.”

Terlihat mawar itu mengkilap terkena sinat terang matahari siang. Tampak segar seperti baru mekar di awal fajar. Kilauannya berwarna merah jambu, sungguh elok jika dipandang.

Haikal tiba-tiba tertawa geli. “Hihihi. Tapi walaupun begitu, seharusnya kan Kapten yang memberikan Bibi Ratna bunga. Kok malah terbalik. Hahhhh … Kapten dan Bibi Ratna memang pasangan yang aneh! Hahahaha!”

Abimanyu langsung sweatdrop mendengarnya.

***

Flashback Off

Adam tersenyum dibalik topi yang setengah menutupi wajah. Kenangan bersama tiga orang yang paling berharga dalam hidupnya, begitu membekas di kalbunya sampai sekarang. Kalau boleh jujur, Adam masih ingin bersenda gurau dengan kapten beserta rekan-rekannya.

“Maksudmu, mawar ini kenapa, Adam?” tanya Rani Asura yang membuyarkan lamunan si Holy Knight.

Adam terperanjat sebentar, lalu kembali tenang. “Maaf, Rani Asura. Saya teringat kejadian dulu tentang mawar ini. Rasa-rasanya saya tidak asing lagi dengan bunga itu. Yang saya ingin tanyakan pada Anda, dulu sewaktu perang dunia paregreg, Anda pernah membuat obat dari bunga mawar milik Bibi Ratna, kan?”

“Ya, itu benar. Memangnya kenapa?” Rani Asura membenarkan, sekaligus bertanya.

“Apakah mawarnya seperti ini?”

Rani Asura terkejut seketika. Mata hazel-nya kembali menatap mawar putih itu dengan teliti. Tunggu dulu! Itu adalah kejadian 20 tahun yang lalu, Ratu Asura tidak bisa mengingatnya dengan jelas bentuk mawar itu secara spesifik.

“Maaf, Adam. Aku tidak ingat bagaimana bentuknya. Sebenarnya aku memiliki satu tangkai lagi, tapi juga sudah digunakan Agnia untuk membuat ramuan obat Theo dan Ryan.”

“Be-begitu?” Adam menghembuskan nafas panjang. Tadinya, Adam berharap apa yang dia temukan bisa membawa mereka untuk memecahkan teka-teki ke mana perginya Theo. Namun hasilnya, nihil.

“Jadi, teorimu mengatakan kalau Ratna yang membawa Theo pergi?” tebak Rani Asura sambil bertopang dagu.

Adam sontak menengadahkan kepalanya. “A-aku juga tidak mengerti, Rani Asura. Paman Abimanyu dan Bibi Ratna meninggal 20 tahun yang lalu. Tapi Anda pasti tahu sendiri kan kalau mayat mereka berdua tiba-tiba menghilang pada saat di makamkan? Lagipula ….”

Rani Asura menunggu dengan penasaran kalimat apa yang akan Adam sebutkan.

“Lagipula … mendiang nenek Anda dan Bibi Ratna memiliki kekuatan istimewa yang tak dimiliki oleh manusia mana pun di Jagat Arcapada ini.”

Rani Asura memejamkan matanya perlahan. “Ya, Nenek Hilda bukanlah manusia biasa.”

“Kalau begitu, apakah Anda mempunyai arsip khusus tentang trah mereka?” tanya Adam lagi yang hendak meneliti tentang sebuah trah misterius, yang sebenarnya telah menghilang dari dunia 400 tahun yang lalu.
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd