Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.
***

Di dalam ruangan Theo berbaring, Rani Asura memperhatikan wajah pemuda itu dengan lembut. Anak ini telah menjadi idola Kerajaan Majapahit sekarang.

Dilihatnya di sekeliling meja ruangan itu ada banyak sekali bunga di sana. Dari melati yang berwarna kuning keputihan, azalea yang berwarna pink kemerahan, mawar biru delapan tangkai, dan masih banyak lagi.

Rani Asura sendiri takjub melihat pemandangan itu. Jelas saja bibirnya melengkung senyum manis.

Semua orang di Majapahit mengharapkan kesembuhan sang Penyihir Putih.

Dan Rani Asura menyadari pula bahwa semakin Theo beranjak dewasa, semakin anak itu terlihat mirip dengan ayahnya.

Ratu Asura kemudian mengarahkan pandangannya ke kaki Theo. Kakinya telanjang, sama sekali tidak dilapisi sehelai kain pun. Pemuda itu hanya memakai celana pendek sebatas paha. Luka bakarnya nyari meraih lututnya.

Sebenarnya, luka Theo sudah kering, namun entah mengapa, setiap Rani Asura mengeluarkan sihirnya, luka itu sama sekali tidak menunjukkan reaksi apa pun. Sel-selnya lambat sekali beregenarasi.

Memang pada dasarnya hanya Dwinetra-lah yang bisa menangkal serangan sihir Annihilate. Orang biasa yang terkena sihir tersebut dapat dipastikan langsung rusak saraf-sarafnya. Pun aliran darah di sekitar luka akan berhenti dikarenakan pembuluh darah yang rusak. Sehingga, untuk mengantisipasi hal yang tidak diinginkan, bagian yang terluka harus diambil … alias diamputasi.

Beruntung, hal-hal buruk yang menimpa Theo tidak terjadi dengan cepat. Mungkin karena Naga Besukih yang ada di dalam tubuhnya menjadi faktor luka yang didapat tidak menyebar.

Ya, setidaknya Theo masih bisa mengerak-gerakkan kakinya sedikit, tapi keadaan baik itu tidak akan berlangsung lama.

Rani Asura memperkirakan seminggu efek dari Annihilate akan terlihat.
Jadi, jangan heran jika Ratu Asura begitu memaksa Agnia untuk melakukan tugasnya. Karena waktu yang tersisa hanya … lima hari.

Rani Asura sebenarnya tidak egois. Ia juga ikut melakukan eksperimen untuk menemukan obat luka bakar yang tepat agar kedua kaki Theo bisa kembali normal. Tentunya, orang yang menjadi raja di masa depan harus sehat secara jasmani dan rohani, bukan?

Yang tidak diketahui Rani Asura, Theo sedang bermimpi dalam tidurnya.

Theo berdiri di kegelapan yang pekat. Ia sendiri tidak tahu mengapa suasana menjadi begitu gelap. Apakah karena malam, atau karena hilangnya sinar rembulan? Entahlah. Yang Theo tahu, ada sekumpulan kelopak bunga mawar berwarna putih yang mengelilinginya. Mereka mengeluarkan suara-suara yang tidak Theo mengerti apa maksudnya.

“Kau, Theodore Wirabhumi, aku datang untuk menolongmu. Dengarkan suaraku ….”

Theo menerka-nerka. Sepertinya ini adalah suara seorang wanita.
Tapi, baru kali ini Theo mendengar suara layaknya seorang bidadari surga, sekalipun Theo belum pernah mengunjunginya.

Entah mengapa, suara itu pernah Theo kenali sebelumnya. Suara yang lembut, namun tak menunjukkan kelemahan. Seperti sebuah nyanyian yang Theo sering dengar di antara bunga-bunga mawar yang tumbuh di Kompleks Trowulan.

Walau hanya semilir angin yang berhembus, Theo bisa mendengar suara-suara yang indah dibaliknya. Theo mencoba mencari tahu pemilik suara indah itu.

"Siapa kau?"

“Seseorang yang akan menyelamatkanmu. Kembali ke cahaya. Ayo kemarilah, waktunya telah tiba.” Sekumpulan kelopak bunga mawar yang beterbangan itu pun menjauhinya. Sepertinya mereka menginginkan Theo mengikuti kemana mereka pergi.

“Siapa? Dan apa maksudmu telah tiba? Aku tak mengerti!” teriak Theo, sembari berjalan mengikuti sekumpulan bunga itu menuntunnya.

Lantas bunga-bunga tersebut berkumpul, membentuk satu sosok solid seorang … wanita.

Namun, tetap saja Theo tak mengenalinya karena ia tak menunjukkan rupanya. Theo hendak menyentuh ia yang tak diketahui wujudnya, tapi secara tiba-tiba, sekumpulan kelopak bunga mawar itu kembali menyebar, mengelilingi Theo. Pandangan Theo jadi kabur karenanya. Kepalanya terasa berat dan saat itu juga ia pingsan di tempat.

“Theo!”

Theo mulai terbangun dari alam mimpinya. Ia bisa merasakan sebuah cahaya menerpa wajahnya. Dan kini ada yang memanggilnya kembali, namun suara itu sangat berbeda dengan suara yang berada di mimpinya. Suara wanita ini sungguh kasar sekaligus … menakutkan.

“Hmmm ….” Gumam Theo sembari membuka matanya perlahan.

“Theo!” teriak wanita itu lagi.

Sedetik, mata Theo terbuka seutuhnya. “Ini … di mana?” tanyanya bingung.

“Hei, Theo, kau tidak apa-apa? Kau sedang berada di rumah sakit. Bagaimana kau bisa lupa?”

Theo mengernyit. “Ah, aku masih di sini rupanya.” Theo mengarahkan pandangannya ke kedua kakinya, ternyata masih sama dengan sebelumnya, padahal tadi ia bermimpi bisa berjalan normal. Aneh, batin Theo.

“Tentu saja, bocah. Sepertinya kau sedang mimpi buruk, ya? Kau membuatku ketakutan saja,” omel Rani Asura dengan suaranya yang khas.

Theo terperanjat. “Tante Asura? Sejak kapan kau ada di sini? Di mana Agnia?” Theo menyadari bahwa Agnia sudah tidak ada di sampingnya. Ia mengacuhkan pertanyaan Rani Asura.

“Agnia sedang membelikan donat untukmu.” Rani Asura berkata lembut. “Kau kenapa, Theo? Aku kaget melihat ekspresimu pada saat kau tidur. Kadang seperti ketakutan, kadang kau nyengir sendiri. Kau bermimpi apa?” tanyanya seraya memegang dahi Theo.

Theo memejamkan matanya rapat. “Yah, aku tidak apa-apa. Hanya mimpi biasa,” jawabnya pelan.

Sedetik, Theo mencoba bangun perlahan untuk duduk. Rani Asura membantunya dengan telaten.

“Begitukah? Lalu bagaimana keadaanmu, Theo? Masih sakit?” tanya Rani Asura.

Theo menggeleng pelan. Ya, kakinya semakin hari semakin bisa digerakkan, dan ia bersyukur karenanya. Tapi, entah kenapa Theo merasa masih belum sanggup untuk berdiri maupun berjalan.

“Aku bisa sembuh total, kan, Tante?” tanya Theo pelan.

Entah mengapa, Theo merasa pesimis kali ini. Ia tahu betul Annihilate bukanlah sihir sepele yang bisa disembuhkan dalam waktu singkat. Ia paham akan efek paling menakutkan dari sihir itu adalah … kematian.

Rani Asura memegang bahu Theo untuk menenangkannya. “Tentu saja, Theo. Kenapa kau jadi pesimis begini? Seperti bukan kau saja.” Sang Rani menatap Theo dengan ekspresi khawatir.

“Aku bukannya pesimis, Tante Asura. Aku hanya memikirkan kedepannya. Kalau kakiku diamputasi, aku pasti akan merepotkan banyak orang.”

BLETAK!!!

“Aduh! Kenapa kau memukulku, Nenek sialan?!” umpat Theo kesakitan.

Rani Asura melotot marah. “Kau bodoh, bocah. Kau akan sembuh, kau harus ingat itu. Agnia sedang berusaha meramu obat untuk kakimu!” omelnya panjang lebar. Lantas, ia menggigit jarinya sendiri, kenapa Theo jadi berpikir seperti ini?

“Ya, ya, aku mengerti. Kau tak perlu marah-marah begitu, Tante,” ujar Theo jengkel, seraya mengusap-usap kepalanya. Huh, bibi dan keponakan ini memang tak ada bedanya, wanita-wanita yang menyeramkan, batinnya.

Tok! Tok! Tok!

Pintu ruangan diketuk oleh seseorang.

Rani Asura dan Theo langsung menoleh ke sumber suara.

“Anu, selamat sore.” Rupanya orang itu adalah Yami. Yami Dirgantara.

“Silahkan masuk, Yami,” sambut Rani Asura ramah.

Terlihat Yami mengenggam keranjang buah dan sayur-mayur di tangan kirinya.

Theo menautkan kedua alis, berdoa semoga itu bukan oleh-oleh untuknya, mengingat buah-buahan dan sayur-mayur adalah dua hal tabu di dalam list ‘yang tidak disukainya’.

“Theo, ini saya bawakan oleh-oleh untukmu.” Yami menyodorkan keranjang itu dengan ekspresi watados, wajah tanpa dosa. Mimik wajahnya yang khas itu membuat Theo berpikir bahwa tak ada ketulusan dalam hati Yami. Padahal, sudah lumayan lama Yami berada di Tim ART menggantikan kekosongan Ryan, tapi tetap saja, ekspresinya itu sering kali membuat Theo salah paham.

Theo menggeleng cepat. “TIDAK MAU!” teriaknya spontan seperti anak kecil.

Sontak membuat Rani Asura kembali naik pitam. Ia menjewer telinga Theo. “Berhenti bertindak seperti anak kecil, bocah. Buah dan sayuran itu bagus untuk kesehatanmu. Apalagi kau sangat memerlukannya saat ini.”

“Aduh-duh! Iya, aku mengerti! Lepaskan tanganmu dari telingaku, Tante Girang!” seru Theo sebal.

Rani Asura melepaskan jewerannya dari telinga Theo.

Ah, Theo bisa bernafas lega.

Begitulah Rani Asura, tidak pernah memanjakan Theo, baik dikala ia sakit, maupun sehat. Theo memang telah ia anggap sebagai adiknya sendiri, bukan keponakan.

“Baguslah kalau begitu.” Rani Asura tersenyum simpul. Silihatnya Yami yang hanya memeloti mereka berdua dengan air muka datar. Benar-benar pemuda yang sulit dimengerti jalan pikirannya, batin Ratu Asura. “Baiklah. Yami, kau temani Theo dulu, ya? Aku ingin memeriksa pasien lain. Dan kau, Theo, kau harus menghabiskan buah dan sayuran yang Yami berikan. Jangan sampai ada yang tersisa!” perintah Rani Asura yang tak ingin dibantah.

“Ta-tapi, Tan-" Theo hendak protes, tetapi terhenti tatkala Rani Asura memasang tatapan death glare-nya pada Theo. Pemuda berambut putih itu langsung ciut seketika. “Baiklah, baiklah,” ujar Theo lemas.

Rani Asura nyaris terpingkal melihat wajah masam Theo. “Kalau begitu, aku permisi dulu.”

Yami membungkukkan badan sedikit ketika Ranu Asura lewat di sampingnya, setelah itu ia mendekat ke arah Theo. “Bagaimana keadaanmu, Theo?” tanyanya datar.

“Hmm? Hahaha, ya … keadaanku begini-begini saja, Yami. Tak ada perbuahan. Tapi kakiku sudah bisa digerakkan sedikit demi sedikit,” jelas Theo, dibarengi tertawa renyah. Ia bermaksud tegar, tapi entah mengapa dia sedikit khawatir juga dengan kondisinya.

“Syukurlah kalau begitu.”

Tiba-tiba, angin berhembus kencang membuka paksa jendela ruangan yang tidak terlalu tertutup rapat, berhembus masuk ke dalam ruangan.

Theo memperhatikan bunga mawar pemberian Mira yang mulai bergoyang-goyang tangkainya, lalu kelopaknya mulai berguguran.

“Kau, Theodore Wirabhumi, waktunya telah tiba. Ikutlah bersamaku. Tidak ada yang bisa kau lakukan di sini.”

Suara itu lagi.

Theo bergidik ketakutan. Theo tidak mengerti karena ia beranggapan mimpinya tadi hanyalah sebuah mimpi biasa. Suara yang terdengar seperti bidadari kahyangan itu kembali menghantuinya.

Tapi kenapa pada saat Theo sedang terjaga seperti ini?

Adakah suata pertanda dari suara itu?

Lantas pikiran kalutnya buyar ketika Theo melihat Yami beranjak ke arah jendela dan menutupnya rapat-rapat.

“Anginnya dingin. Kututup tidak apa-apa, kan?”

“Eh? Ya-ya, tidak apa-apa.” Theo mengepalkan tangannya, dia mulai merasa aneh. Sebenarnya dia takut sekali akan makhluk astral, tapi ditepisnya jauh-jauh pikiran konyol yang bersemayam. Bukankah aku tidak terlalu percaya dengan hal-hal ghaib?

“Agnia apa sudah kembali, Theo? Aku mendengar dari para Knight dia sudah tiba di kerajaan, tapi aku belum bertemu dengannya.” Yami membuka percakapan.

“Dia sudah kembali dari tadi pagi. Sekarang dia sedang membelikan donat untukku,” jawab Theo, seraya tersenyum kecil mengingat hal yang terjadi pagi barusan.

Ah, masih membekas di ingatan Theo … Agnia tertidur di sampingnya dan menggenggam tangannya mesra. Ugh! Sungguh moment yang langka. Rasanya hampir melayang Theo dibuatnya.

Namun terhenti tatkalah Theo mengingat apa yang Agnia gumamkan dalam tidurnya. “Ryan ….”

Theo menjadi was-was. Apa yang sebenarnya terjada pada sahabatnya itu? Pikirannya jadi teringat akan Ryan.

Yang kemudian, Theo menatap Yami tajam. “Yami, bisakah kau menolongku?”

Yami mengernyit. “Ya, tentu saja. Ada apa?”

“Aku ingin menjenguk Ryan.”

Mata Yami membola. “A-apa? Kau belum bisa berjalan, Theo. Bagaimana caranya menjenguk Ryan coba?” sahutnya seraya menghembuskan nafas pelan.

Dalam hati, Yami mulai panik kalau-kalau Theo nekat mengunjungi rekan setimnya.B isa-bisa si Penyihir Putih tahu keadaan Ryan yang sebenarnya, sementara Agnia telah meminta Yami untuk tutup mulut.

“Aku bisa memakai kursi roda.” Theo menunjuk ke arah kursi roda di sebelahnya. “Aku mohon, Yami, aku ingin Ryan sebentar saja."

Yami yang merasa bersalah karena telah menutupi kebenaran mencoba berpikir realistis. Ryan adalah orang yang sangat berharga bagi Theo. Sahabat yang Theo perjuangan mati-matian dengan tetesan darah dan linangan air mata. Theo selalu optimis dan yakin bahwa suatu saat Ryan akan kembali ke pangkuan Majapahit.

Dan usahanya terbukti, bukan?

Meski yang Theo harapkan itu berbeda, tapi setidaknya Theo tahu keadaan Ryan yang sebenarnya.

Yami pun mengiyakan. Ia mengambil kursi roda, lekas menuntun Theo untuk duduk di atasnya. Yami mengutuk dirinya sendiri, semoga yang ia putuskan ini benar.

Namun, belum sempat Theo beranjak dari ranjangnya, ia berkata, “Kemarilah, Yami, ada yang ingin aku beritahukan padamu.”

Yami mendekat. Memasang wajah tegang sembari menunggu Theo melanjutkan ucapannya.

“Ini soal empat pilar.”

***

Agnia Samara Tunggadewi menatap cinta pertamanya itu dengan penuh lara.

Sungguh menyedihkan keadaan seorang Ryanata Jayadrata Amurwabhumi. Pernafasannya dibantu dengan alat, tabung-tabung besar oksigen mengelilingi ruangannya. Alat pendeteksi detak jantung juga ada di sana.

Terlihat sekali betapa lemahnya jantung Ryan bekerja, jeda detak jantung yang berdenyut cukup lama dibandingkan dengan kinerja jantung normal. Begitu pula dengan kesadaran The Last Amurwabhumi itu. Mungkin saja sekarang Ryan sedang berkelana dalam tidurnya.

Agnia kemudian duduk di bangku yang berada di sebelah tempat tidur Ryan. Digenggamnya tangan Ryan perlahan dengan kedua tangannya. Gadis itu menatap wajah Ryan lekat-lekat.

Air mata Agnia perlahan jatuh melihat keadaan Ryan yang mengoyak hatinya. Muka sang pemilik Dwinetra tampak pucat pasi nyaris seperti mayat. Di bawah matanya ada lingkaran hitam yang kontras sekali terlihat. Sang Demon Slayer seperti orang yang tak memiliki jiwa dalam tubuhnya.

Agnia mengingat-ingat apa yang sebelumnya ia bicarakan dengan Rani Asura.

Dalam hati, sungguhlah berat bagi Agnia membiarkan Ryan pergi dari kehidupannya.

Sejak dulu, Agnia telah berlatih menjadi sosok wanita yang kuat sekaligus seorang penyihir medis yang ahli dalam menyembuhkan penyakit apapun.

Tapi … mengapa kali ini Agnia merasa semuanya itu sia-sia?

Mengapa di momen krusial ini Agnia tidak bisa mengobati satu nyawa yang sangat berarti baginya?

Dan Agnia juga menyadari betapa sia-sia pula perjuangan Theo. Agnia tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi Theo jika mengetahui Ryan sedang dalam keadaan sekarat seperti ini. Pastinya Theo tak kalah sedihnya.

Agnia kemudian membawa tangan Ryan ke pipi kirinya. Membelainya lembut sembari tersedu-sedu.

Dan yang tak Agnia sadari adalah kehadiran dua orang yang baru saja tiba di daun pintu ruangan tempat Ryan dirawat.

Ugh! Sial! Kenapa Agnia ada di sini? Umpat Yami dalam hati. Yang kemudian, membujuk agar Theo kembali ruangannya dengan alasan bahwa yang menjenguk Ryan harus perorangan.

“Tunggu, Yami. Kenapa Agnia menangis?” tanya Theo heran. Ia menahan tangan Yami, tapi pandangannya tak lepas dari Agnia. Ia sungguh ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan Ryan.

Yami menggerutu dalam hati. Harusnya Yami tolak saja tadi permintaan tolong Theo. Sekarang masalah akan bertambah runyam.
Bukan salah Yami juga, tadi Rani Asura mengatakan bahwa Agnia sedang membelikan donat untuk Theo. Artinya, Agnia berbohong kepada Rani Asura. Terlebih sekarang mereka memergoki Agnia sedang menangis sembari menggenggam mesra tangan Ryan. Ini bisa menjadi bencana untuk Theo!

“Aku … maafkan aku, Ryan,” ujar Agnia parau.

Theo menatap Agnia tanpa berkedip. Tegang, Theo memasang telinganya baik-baik untuk mendengar apa yang akan Agnia utarakan.

“Ma-mafkan aku … aku ti-tidak bisa … menyelamatkanmu … aku tidak bisa menemukan … pendonor jantung … untukmu.”

Pendonor jantung? Tanya Theo terkaget-kaget dalam hati. Separah itukah luka Ryan sehingga memerlukan jantung baru? Dan kenapa … kenapa Agnia berbohong padaku?

Kemudian, Theo mengingat kembali kejadian itu. Kejadian di mana Ryan menyelamatkannya dari serangan Panji Amurwabhumi.

Theo memang melihat Pedang Nagapasa menembus dada kiri Ryan. Ia berpikir bahwa kemarin Agnia berhasil mengobati luka Ryan. Tapi, kenyataan yang ada ternyata sangatlah berbeda, tak seperti yang ia dibayangkan sebelumnya.

Yami menatap Theo dengan perasaan was-was. Ia takut melihat rekasi Theo setelah mendengar semua ini. Meskipun telah lama Yami berusaha memahami perasaan orang lain, tetap saja ia merasa simpati pada rekannya tersebut.

“Aku mencintaimu, Ryan. Kau tak akan terganti untukku. Meskipun kita akan berpisah … cintaku akan selalu ada untukmu.”

Mendengar hal itu, Theo menutup matanya rapat-rapat. Dalam hati, Theo merasakan perih yang teramat sangat.

Harusnya Theo tahu. Harusnya Theo mengerti bahwa perasaan Agnia pada Ryan akan kekal abadi selamanya. Harusnya Theo tidak berharap lebih sehingga hatinya tak merasakan sakit yang tak berdarah seperti ini.

“Maaf jika aku lemah … seandainya aku … lebih kuat ….” Tangisan Agnia semakin menjadi-jadi. Ia meletakkan kepalanya di atas dada Ryan, bahunya naik turun saking terisaknya.

Nafas Theo sesak seketika. Ia sangat tahu apa penyebab keadaan Ryan menjadi buruk. Bukankah seharusnya yang tergeletak di tempat tidur itu adalah dirinya?

Theo mulai berandai-andai. Kalau saja waktu itu Ryan tidak menyelamatkannya, pasti tidak akan begini jadinya. Dan juga Agnia pasti tidak akan menderita.

Semua ini salahnya … salahnya. Theo tidak bisa mengantisipasi tindakan dari pemimpin Ranggalawe, dan salahnya karena ia tidak cukup kuat. Perbedaan kekuatan yang teramat jauh membuatnya sadar akan posisinya.

Theo mempererat genggaman di bahu kursi rodanya. Kalau saja kursi roda itu tidak terbuat dari besi, pastilah langsung remuk seketika.

Mata Theo kembali memandangi Agnia yang sedang membelai lembut wajah Ryan. Sakit tapi tak berdarah. Theo mengerjap, berharap ini adalah mimpi ketika Agnia hendak mencium tipis bibir Ryan. Tolong, Theo tak ingin melihatnya, ia langsung menundukkan kepala.

“Yami, bawa aku kembali ke kamarku,” perintah Theo.

Yami mengerti, tak bertanya lagi. Dilihatnya Agnia yang masih tersedu-sedu dalam ratapannya.

Kemudian mereka berdua menjauhi ruangan tersebut secara perlahan.
 
Terakhir diubah:
***

Malamnya, Theo kembali memandangi langit-langit di ruangannya, hampa. Terpaku dalam waktu yang terus bergulir tiada henti. Kenangan-kenangan indah itu akankah terlewat begitu saja?

Barusan, Yami akhirnya mau membeberkan semuanya setelah mereka kembali ke ruangannya. Akhirnya Theo mengetahui ke mana saja Agnia pergi saat ia tidak menjenguknya. Juga alasan mengapa Agnia tidak memberi tahu hal yang sebenarnya.

“Agnia mengelilingi kerajaan tetangga untuk mencari seseorang yang mau mendonorkan jantungnya untuk Ryan. Dia tidak mau memberi tahu hal ini kepadamu karena dia tidak ingin membebanimu. Lagi. Selama ini Agnia berpikir jika dirinya selalu merepotkanmu saja, Theo. Karena itu, dia berusaha sendiri untuk menyembuhkan kalian berdua sekaligus. Tapi sepertinya hal itu terlalu sulit dia kerjakan dalam waktu yang bersamaan. Menurutku dia juga sangat khawatir dengan keadaanmu.”

Yami juga menjelaskan bahwa serangan Panji kemarin mengenai bagian bilik kiri jantung Ryan, sehingga suplai darah ke seluruh tubuh menjadi lambat. Ryan juga memerlukan alat bantu untuk pernafasannya karena organ tubuh yang bersangkutan tak mampu untuk mengambil oksigen dari luar. Maka dari itu, Ryan membutuhkan transplantasi jantung secepatnya. Tapi dengan ketenarannya sebagai seorang penyihir yang sudah di blacklist seluruh dunia, tak ada seorang pun yang sudi membantunya.

Theo nyaris menangis mendengar hal ini. Apa yang harus aku lakukan? Batinnya, gelisah.

Sejurus, mata Theo terpejam sejenak.

“Bayangan kegelapan belum menggoyangkan dirimu, Theo. Dia tidak akan menguasaimu. Tidak pada dirimu, dan tidak pada diriku. Kenapa kau biarkan kepedihan menghantuimu?”

Theo sontak membuka mata. Suara itu lagi. Sedikit takut, Theo melihat jendela ruangan yang telah terbuka, padahal ia ingat sekali tadi Yami sudah menutupnya.

Diperhatikannya kembali bunga mawar pemberian Mira yang kali ini berguguran seluruhnya.

Sungguh aneh. Angin begitu kencang berhembus, tapi bunga mawar itu saja yang kelihatan goyah.

“Siapa kau? Tunjukkan dirimu!” teriak Theo.

Bulu kuduk Theo mulai meremang. Siapa sih sebenarnya wanita ini? Kenapa dia selalu menganggunya?

“Orang yang mengenalimu, tapi kau tidak pernah tahu siapa diriku.”

“Apa maksudmu? Berhenti mengangguku!” kontan saja Theo melemparkan vas bunga ke arah dinding sekitar jendela. Vas bunga itu pun hancur berkeping-keping bersamaan dengan hilangnya angin dan suara wanita aneh itu. Nafas Theo tersengal-sengal jadinya. Ia benar-benar ketakutan.

Apakah wanita itu adalah hantu?

Jika memang hantu, kenapa seharian ini dengan hantu yang sama?

Theo terusik. Ia tahu Panji masih hidup dan berkeliaran di luaran sana. Dan kalaupun Panji juga adalah penyihir yang memakai sihir tertentu, tetap saja Theo tidak bisa melawannya dengan keadaanya yang seperti ini.

Mengapa masalah tidak pernah berhenti menghampirinya?

“Theo.” Suara itu kembali mengusik lamunan Theo. Rupanya pemilik suara belum beranjak dari sana. “Nda sàkûaóa haneka nuûa ya katon kaparëki kahanan nareúwara, bangun mëtu sakeng samudra langönya kadi wahu datëng sakeng tawang, bukurnya ri samipaning bhujangga puûpa padha winilëting wëlass arëp, limutnyakuseng pucang gadhing awaróa saputi susuning sëdhëng rara.” (Bersamaan dengan itu terlihat sebuah pulau dekat dengan sang raja, keindahannya bagaikan datang dari laut seperti baru turun dari angkasa, kuilnya di samping bunga nagasari yang terlilit daun-daunan berbelas kasihan, kabutnya menutup pohon pinang gading bagaikan selendang menutupi payudara seorang gadis.) Kini wanita misterius itu berujar dengan bahasa yang sama sekali Theo tidak mengerti. Bahasa Sansekerta Kuno, mungkin?

“Apa yang kau bicarakan? Aku tak mengerti!” teriak Theo lagi sembari melihat sekelilingnya.

Kumpulan kelopak bunga mawar pemberian Mira yang berguguran mulai bertebaran tak tentu arah.vMata biru Theo menelisik ke mana arah kelopak mawar itu pergi.

“Wes wayahe awakmu ngerti.” (Sudah waktunya kamu ngerti.)

Theo menutup kedua telinganya. Ia sudah cukup pusing dengan segala masalah yang menimpanya, dan kini ada seorang wanita misterius yang selalu mengusiknya. “Berhenti … berhentilah mengangguku!” teriaknya tak karuan. Mata Theo kembali melirik ke arah kumpulan kelopak bunga mawar itu pergi. Dilihatnya mereka berkumpul membentuk sesosok tubuh manusia.
Perlahan sosok itu mulai menampakkan wujudnya.

Theo terpana melihat apa yang dia lihat di hadapannya. Sesekali Theo mengusap matanya, barangkali ia salah lihat. Takutnya sosok itu berubah jadi hantu donat.

Tapi pada akhirnya, tak sedikit pun Theo mengedipkan mata. Dalam pekat kegelapan malam dan kerlipan cahaya rembulan, muncullah sesosok wanita cantik jelita di hadapan Theo dalam balutan bayangan. Ya, dalam bayangan mungkin. Karena Theo tahu jika ia menyentuhnya, pastilah sosok itu dapat ditembus olehnya.

Tak mengerti apa yang ada di depannya, Theo bertanya-tanya dalam hati, siapa gerangan wanita ini sebenarnya?

Jikalau diperhatikan dengan seksama, perawakan wanita itu seperti bukan manusia pada umumnya. Wanita yang berdiri di hadapannya itu sungguh cantik rupawan. Cahaya putih yang sangat terang mengelilinginya. Kulit halus terpendam dalam balutan baju layaknya seorang brahmani dengan corak bunga mawar di bagian bawah gaunnya. Putih silver rambutnya terbelah pinggir memanjang hingga ke bagian pinggul. Matanya yang juga berwarna putih terlihat sayu tanpa kornea, nyari seperti mata zombie. Tapi yang berbeda, mata itu penuh kerlipan buih-buih permadani di dalamnya .Memandang Theo lembut dengan seulas senyum menawan. Kedua telinganya sedikit runcing di ujung daunnya. Kelopak bunga mawar berwarna putih suci yang bertebaran perlahan mengelilingi wanita itu, menciptakan pemandangan eksotik layaknya di padang dengan hamparan bunga mawar.

Sosok wanita misterius itu tidak muda maupun tua. Warna putih identik dengan dirinya, memang sangat kontras dengan wanita itu. Membuat yang memandangnya berhalusinasi, bahwa ia laksana seorang peri dari negeri dongeng yang Theo pernah dengar ceritanya.

“Kau … siapa?” gemetar suara Theo ketakutan.

Melihat wajah Theo yang pucat pasi, wanita itu pun mendekat. Theo refleks bergerak ke belakang menjauhi wanita itu, namun si wanita misterius tiba-tiba meraih kedua bahu Theo.

“Tenanglah. Aku tak akan menyakitimu.” Wanita itu tersenyum simpul sembari meremas pelan bahu Theo.

Theo nyaris loncat dari tempat tidurnya. Karena apa? Karena walaupun wanita itu kelihatan transparan, ternyata sentuhannya itu nyata.

Wanita itu sedikit membungkuk, membelai wajah Theo dengan kedua tangan indahnya. Mata wanita itu sedikit berair. Ada perasaan aneh dibenak Sang Penyihir Putih itu, rasa-rasanya dia mengenal belaian sayang ini. Namun, siapa pemiliknya Theo sama sekali tidak ingat.

“A-a-apa maksudmu tadi? Aku tak mengerti apa yang kau ucapkan. Lalu … apa maumu?” Theo memberanikan diri bertanya, masih dengan suara bergetar. Teka-teki di kegelapan yang Theo ingin segera tahu jawabannya.

“Kau tidak mengerti bahasamu sendiri?” wanita itu balik bertanya, menatap Theo lembut.

“Ba-bahasaku?” Theo berpikir sejenak, dia ingat betul tidak pernah mendengar bahasa asing itu, apalagi berbicara dengan dialeknya yang sangat aneh. "Aku tidak pernah tahu bahasa itu. Kau siapa? Apa kau malaikat?”

Hahahahahaha!

Wanita itu tertawa renyah mendengar pertanyaan Theo.

Ya ampun! Tawanya saja sungguh sangat merdu. Mana ada manusia yang memiliki gelak tawa seperti ini?

Tunggu … tunggu dulu! Apakah wanita itu malaikat maut yang akan menjemput ajalku? Theo membatin.

“Apa aku terlihat seperti malaikat di matamu?” Wanita itu kini balik bertanya.

Theo menganga, lalu menganggukkan kepalanya. “Karena kau terlalu cantik untuk dibilang setan.”

Eh? Pikiranku dibaca?! Theo semakin kalap, ketakutan luar biasa menerpanya.

Wanita itu kembali terpingkal. Theo keheranan melihatnya, karena apa yang diutarakan olehnya sama sekali bukan maksud untuk melucu.

“Kalau aku memang setan, lalu apa yang akan kau lakukan?” tanya wanita itu kembali.

“Kalau kau berubah menjadi setan, ehm … aku pasti langsung pingsan.” Theo menekan ludahnya sendiri. Pernyataan bodoh, begitu yang ada dibenaknya. Bagaimana jadinya kalau wanita ini benar-benar setan dan menampakkan wajah aslinya di depan Theo? Theo pasti tidak sanggup membayangkan wajah elok itu berubah menjadi seram.

“Begitukah?” wanita itu tersenyum.

“Ya.” Theo menjawab ragu sembari menganggukkan kepalanya perlahan. Sepertinya wanita ini adalah orang baik-baik. Theo mulai sedikit tenang. Namun, siapa wanita ini sebenarnya, Theo sungguh penasaran.

“Kau sudah besar, Eo.” Wanita itu berkata lembut.

Theo terkesiap. Belum ada orang yang selama ini memanggilnya begitu. Bahkan orang-orang terdekat seperti Shin, Adam, Ryan, Agnia, Rani Asura, sampai Yami pun tidak ada yang memanggilnya seperti itu.

Dari ucapannya, mengapa wanita ini seolah telah mengenali Theo? Apakah ...?!

“Dan sifatmu yang ingin tahu ini, sangat mirip denganku, Eo.” Lanjut wanita itu yang kini kedua matanya kembali berair. Wanita itu memandang lekat seluruh bagian tubuh Theo, lalu tatapanya berhenti di bagian kaki. Wanita itu menatap miris bagian itu.

“Ke-kenapa kau menangis?” tanya Theo bingung.

Belum sempat wanita itu menjawab, derap langkah kaki seseorang terdengar berjalan menuju ruangan Theo.

“Eo, sepertinya ada yang datang. Aku harus pergi.”

“Tapi kau belum menjawab-”

“Tenang saja. Aku akan mengunjungimu lagi. Disapear!” sekejap mata, wanita itu pun menghilang bersamaan dengan kemunculan orang lain di daun pintu ruangan Theo.

Orang yang memasuki ruangan Theo tak lain adalah … Agnia.

Theo menggerutu dalam hati. Ia sedang tidak ingin melihat Agnia saat ini. Jika melihat wajahnya yang sendu, itu hanya membuat Theo semakin sakit. Theo masih terbayang-bayang pemandangan yang baru ia saksikan di ruangan Ryan.

“Eh, kau sudah bangun rupanya.” Agnia melangkah masuk ke dalam ruangan Theo.

Theo memerhatikan bawaan Agnia di tangan kanannya. Ternyata Agnia membawa sebungkus bakso, dan satu bungkus lainnya yang bisa ditebak itu adalah … donat.

Theo meneguk ludah. Perutnya tiba-tiba bernyanyi merdu.

“Kau belum makan kan seharian ini? Nih, aku bawakan bakso urat sama donat untukmu. Aku suapi, ya?” Agnia membuka bungkusan bakso tersebut yang sudah dimasukkan ke dalam mangkuk.

Yang Agnia tidak sadari, sekarang Theo sedang menatap gadis itu nanar. Pemuda itu membawa matanya menelisik wajah Agnia. Isak tangisnya yang Theo lihat di ruangan Ryan barusan, terlihat memberi jejak nelangsa di wajah penyihir cahaya itu.

Masih Theo ingat dalam benaknya jeritan hati si dara cantik, yang kemudian membuatnya berpikir bahwa dialah pelaku utama penyebab komanya Ryan.

Theo nyaris pingsan, padahal sebenarnya ia butuh banyak waktu untuk mencari jalan keluar agar Agnia-nya tidak meratap lagi.

Theo ingin mengakhiri kesedihan gadis yang dicintainya itu sedini mungkin. Namun, ternyata gadis itu malah secepat ini menghampirinya.
Theo tahu betul Agnia pasti sangat kerepotan karena mengurusi dirinya dan Ryan.

“Aku sedang tidak selera makan, Nia,” ucap Theo, dingin. Theo menatap lurus ke arah depan dengan sorot acuh.

Mangkuk di tangan Agnia nyaris terjatuh dari genggamannya ketika ia mendengar Theo memanggilnya 'Nia'. Tidak seperti yang biasa Theo lakukan. Suaranya begitu pelan dan dingin. Hal teraneh yang lain, Theo menolak semangkuk bakso?

“Donat nggak mau?” tawar Agnia, sambil menggoyang-goyangkan bungkusan satunya.

Theo menggeleng.

Aneh, padahal baru tadi pagi Theo merengek minta dibelikan donat. Ini seperti bukan Theo yang Agnia kenal. Agnia berusaha mengacuhkannya dan bersikap tenang, sebelum berujar, “Hm. Jau belum makan seharian, kan? Aku akan membantumu.” Agnia melanjutkan pekerjaannya lagi.

Tersadar, Agnia melihat kalau Theo menatapnya dengan tatapan angkara murka. Agnia bergidik dibuatnya .Belum pernah Theo memandanginya dengan tatapan tajam seperti ini.

“Tidak perlu, Nia. Nanti aku memakannya sendiri.” Theo melanjutkan kalimat verbalnya. Sementara Agnia meletakkan donat dan mangkuk berisi Don yang ada di sebealh tempat tidur Theo. "Yang paling penting sekarang, ada sesuatu yang ingin kubicarakan denganmu,” imbuh Theo, suaranya terdengar serius.

Mata Agnia sedikit terbuka lebar. Air mukanya berubah seketika. Agnia menjadi was-was dengan apa yang ingin Theo utarakan. Tiba-tiba perasaannya menjadi sangat tidak enak .Padahal baru saja ia menangis di ruangan Ryan yang tak kunjung membuka matanya.

“A-ada apa, Theo? Kau jadi sangat aneh,” dengus Agnia dengan terus memandangi mata gelap yang tak kunjung menjauhinya.

Ada yang lain dalam diri Theo yang tak Agnia bisa tebak apa isinya .Lain kata, lain perasaan. Agnia berusaha menyembunyikan ketegangannya dengan senyuman palsu seperti yang sudah-sudah.

Theo malah semakin menatap Agnia beringas, senyum palsu gadis itu terbaca olehnya. “Aku tidak butuh senyum palsumu!”

Agnia tersentak, terkejut dengan kata-kata yang Theo utarakan. Gadis itu kalut, takut senyuman palsunya disalahartikan oleh Theo. Padahal bukan maksudnya untuk mengecewakan hati Sang Penyihir Putih itu, kan? Lalu mengapa Theo menjadi naik pitam seperti ini?

“Ma-maaf, Theo. Aku tidak bermaksud apa-apa. A-aku hanya kecapaian seharian ini.” Agnia menggigit jari. Ia tak mau bilang penyebab yang sebenanrya mengapa ia sangat kelelahan hari ini. Beban yang Agnia pikul sangatlah berat, biarlah dirasakannya sendiri, ia tak ingin membebani Theo lagi dengan segala macam kesulitannya.

“Ya, aku tahu kau kecapaian. Karena itu ....” Theo berhenti sejenak, mengedarkan matanya ke arah lain, menghindari tatapan Agnia.

“Karena itu apa, Theo?” tanya Agnia parau.

“Karena itu … bisakah kau tidak mengurusiku lagi?” pinta Theo, dingin.

Agnia mengernyitkan dahinya. “Apa maksudmu, Theo? Tentu saja aku tak bisa begitu. Kau teman baikku. Bagaimana bisa aku mengabaikanmu begitu saja?” Agnia mencoba berdalih, Ia kaget bukan main dengan permintaan tiba-tiba Theo tersebut.

“Aku tidak apa-apa. Tak perlu khawatir. Meski tak bisa menjadi penyihir lagi, tanpa kaki aku masih bisa hidup.” Theo menatap kedua kakinya. “Tapi Ryan … tanpa jantungnya, dia akan mati.”

Agnia tersentuk dibuatnya. “A-apa maksudmu, Theo? Ryan memang terluka parah, tapi sekarang dia-”

“Berhenti membohongiku." Theo memotong kalimat Agnia tiba-tiba. “Berhenti berbicara omong kosong.” Ditatapnya Agnia penuh kepedihan. Theo memutuskan mengatakan semua perasaan pahit yang sebenarnya ia rasakan sejak lama. “Kau memang berbohong dengan maksud baik. Tapi itu hanya menambah rasa sakit di hatiku.”

Agnia langsung mematung, giginya bergemeletuk menahan dinginnm ucapan Theo. “Theo … apa kau-”

Theo menganggukkan kepalanya. “Ya. Aku tahu keadaan Ryan. Aku tahu keadaan dia yang sebenarnya.” Theo mengambil nafas sejenak. Ia tahu ini adalah keputusannya yang terkesan terburu-buru. Hanya saja ia sedang dilema karena semua masalah yang menimpanya. “Kau pasti menyadarinya kalau Ryan lebih membutuhkanmu daripada aku, kan, Agnia Samara Tunggadewi?”

Butiran air mata mulai membasahi pipi Agnia. Ia tidak ingin menyakiti Theo, tapi mengapa yang semua ia putuskan nyaris selalu menggores hati teman baiknya itu?

“Tapi, Theo, kau ….”

“Aku akan baik-baik saja, Agnia.” Theo berkata cepat. Ia tidak ingin pembelaan dari mulut Agnia.

“Aku tahu kau sangat mencintai Ryan. Maka dari itu … lupakanlah aku.” Theo tersenyum tipis, “berhentu mencari obat untukku. Fokuslah mencari pendonor jantung untuk Ryan. Kau pasti bisa menemukannya.” Tangan Theo terkepal erat. Rasa-rasanya ia benci dengan dirinya sendiri.

“Tidak … tidak, Theo! Kenapa …?!” Agnia menggelengkan kepalanya, berusaha untuk menahan air matanya agar tak keluar.

“Mulai besok, jangan injakan kakimu di ruanganku lagi.” Theo berkata serius. Ia ingin mengakhiri semua. Ia ingin Agnia pergi dari hadapannya, dia tak sanggup melihat Agnia terus menangis.

“Theo, please, meski aku mencintai Ryan, tapi aku ju-”

“Cukup, Agnia! Cukup!” Theo menatap nyalang. “Aku tahu … aku tahu yang kau katakan tentang perasaanmu waktu itu adalah … KEBOHONGAN!”

PLAK!

Agnia melayangkan tamparan keras di pipi kanan Theo. “Kau bodoh! Meski aku mencintai Ryan, bukan berarti aku harus mengabaikanmu!” umpatnya, yang entah kapan pipinya berlinang air mata.

Theo menatap Agnia nanar. Kecewa. Ia tak habis pikir mengapa Agnia malah menamparnya.

Kalut, gadis dengan kuncir kuda yang melekat di rambutnya itu bergegas pergi dari ruangan Theo.

Reflek Theo nyaris mengejar Agnia, namun ia mengurungkan niatnya tatkala dia ingat keadaannya sendiri. Sial.

Apa boleh buat, memang ini yang diinginkannya, tapi sampai sekarang memang Theo tidak bisa sepenuhnya mengerti tentang kaum hawa. Merepotkan.

Meskipun Theo telah lama mengenal secara personal dan menjalankan banyak misi dengan Shin, yang memiliki nama lengkap Basudewa Shin -salah satu dari tiga Paladin terkuat di Arcapada yang dijuluki God of War- tetap saja baginya mengerti perasaan seorang wanita adalah hal yang paling sulit di dunia ini.

Theo sudah muak dengan segala hal yang terjadi di hidupnya. Tiba-tiba, terbesit sesuatu di dalam pikirannya. Yang mana ia terka hanya ada satu cara untuk menyelamatkan Ryan.

Tapi … tapi Theo cukup lelah untuk berpikir terlalu jauh, sedetik ia tumbang dalam alam mimpinya.
 
***

BRAK!!!

Tanpa tedeng aling-aling, Agnia mendobrak pintu rumah kala sampai di sana.

Gadis berambut merah itu tak peduli omelan ibunya yang sudah lama menunggu kedatangannya karena anaknya sudah cukup lama meninggalkan rumah.

Agnia langsung berlari ke kamar dan mengunci pintu rapat-rapat. Rasa sesak di dada membuat Agnia sontak menjatuhkan badannya ke tempat tidur. Menangis sejadi-jadinya.

Tak lama, Agnia menatap jendela kamar yang tertutup rapat. Perlahan ia beranjak dari ranjang, lalu membuka jendela. Semilir angin dingin menyusup ke dalam kamar. Diperhatikannya rembulan yang menghiasi langit kelam di atas sana.

Semuanya nyaris sama seperti saat itu ... saat di mana Ryan meninggalkan Majapahit dan mengkhianati para sahabatnya.

Malam itu Agnia hendak menyatakan perasaannya yang sebenarnya. Sayang, jalan mulus memang tak mudah digapai. Ryan tak menjawab perasaannya dan malah meninggalkan dirinya yang pingsan di bangku jalan. Hanya ucapan terima kasih yang keluar dari mulut pemuda dingin itu. Agnia yang gagal membujuk Ryan untuk tidak pergi, merasa tak mampu meraih butir-butir harapannya.

Karena itu … karena itu Agnia meminta tolong Theo untuk mengabulkan keinginannya. Keinginan terbesar dalam hidupnya, yang Agnia tahu, tak mudah untuk digenggam dengan tangannya sendiri.

Namun, kini semuanya hampir mencapai puncak klimaks. Ryan yang ia cinta dengan sepenuh hati memang telah kembali ke Majapahit. Tetapi, goresan takdir siapa yang tahu. Ryan justru kembali dalam keadaan kritis yang Agnia tak mampu untuk menyembuhkannya.

Hanya menunggu waktu, Ryan akan pergi lagi dalam hidup Agnia. Gadis itu memahami betul bahwasanya tidak mudah bagi Ryan untuk kembali ke pangkuannya. Berkumpul seperti sedia kala. Tertawa bersama. Menangis bersama. Senasib sepenanggungan.

Masa-masa penuh warna pada saat Tim ART -Agnia Ryan Theo- berkumpul dulu.

Secepat inikah akan berakhir?

Satu-satunya cara adalah transplantasi jantung. Namun, itu pun juga sulit untuk direalisasikan.

Rasa frustasi mengingat tak ada seorang pun yang secara sukarela mendonorkan jantungnya membuat Sang Witch Reaper memutuskan ingin mendonorkan jantungnya sendiri kepada Sang Demon Slayer.

Tapi setelah dipikir matang-matang, jantung Agnia yang seorang perempuan tidaklah cocok untuk Ryan dikarenakan ketebalan katupnya yang sedikit berbeda. Oleh karenanya, Agnia mengurungkan niat dan memulai misi pencarian.

Saat ini, Agnia sedang dalam keadaan dilema. Niat hati ingin menyelamatkan Ryan, namun terkendala dengan kehilangan waktu untuk menyelamatkan Theo. Ya, hanya Theo yang memiliki kesempatan untuk hidup.

Bukan maksud hati Agnia mengabaikan Theo yang sudah ia anggap teman baiknya. Ya, hanya teman. Agnia hanya tak ingin kehilangan mereka berdua.

Agnia tentu saja sulit untuk memilih dalam keadaan seperti ini. Kalau saja mereka berdua baik-baik saja, akan lebih mudah baginya untuk menentukan sebuah pilihan.

Tapi … masalah yang sedang Agnia hadapi sungguh berbeda. Dua orang yang sangat penting itu sudah mengisi ruang hatinya yang paling dalam. Meskipun tak pasti, Agnia mulai menyadari perasaannya terhadap Theo semakin lama semakin berlabuh mendekati dermaga kalbu.

Ya, Agnia mencintai keduanya.

Namun, cinta itu sangat sulit ia bagi seutuhnya kepada seorang raja yang kelak akan memperlakukannya bak seorang ratu.

Karena apa? Karena mereka berdua jatuh di dua belahan hatinya.

Agnia mengambil foto Tim ART di meja kecil yang berada di sebelah tempat tidurnya. Diamatinya teman-teman seperjuangan: Kapten Adam, Ryan, dan juga Theo.

Agnia tidak bisa membayangkan apabila salah satu di antara mereka pergi untuk selama-lamanya. Agnia menyadari bahwa ia belum siap menghadapi semua ini.

“Aku … tidak bisa mengabaikan kalian berdua,” ujar Agnia lirih.

Agnia meletakkan bingkai foto itu dalam pelukannya. Tak lama, Agnia kemudian tertidur lelap ditemani desiran angin kalap yang masuk melalui jendela kamarnya yang terbuka lebar.

Gadis itu perlu menghilangkan penat yang selama ini menimpanya.

Kepalan tangan Agnia begitu erat. Ia sudah memutuskannya dengan mantap. Kejadian tadi di ruangan Theo, membuatnya sadar akan satu hal. Mungkin ia harus merelakan Ryan-nya pergi dari kehidupannya. Bukankah manusia memiliki batas kemampuannya untuk melawan takdir?

Tapi, ada yang Agnia tidak ketahui. Ia akan mengalami satu hal yang paling menyakitkan dalam hidupnya. Rasa perih itu akan lama menggerogoti. Melebihi perihnya ketika Ryanata Jayadrata Amurwabhumi saat meninggalkan Kerajaan Majapahit. Hari-hari itu akan seperti neraka baginya.

Ya, neraka kegelapan yang tak ada sepercik cahaya menerangi.

***

Theo tiba-tiba terbangun dalam tidurnya.

Pemilik manik mata biru cerah itu terjaga di tempat yang berbeda yang sama sekali tak dikenalinya. Terbaring di atas dipan empuk di dalam paviliun terbuka yang dikelilingi pohon-pohon berwarna-warni membuat jiwa Theo sedikit damai. Dedaunan yang elok berserakan di sekitar paviliun. Sepertinya musim gugur sedang melanda tempat ini.

Theo melihat ke sekeliling. Kidungan burung pagi terdengar di penjuru tempat tersebut. Cahaya keemasan matahari menyelimuti area, sungguh menyejukkan mata walaupun terlihat semu.

Theo bangkit dari dipan, dan menemukan bahwa kakinya bisa digerakkan, mungkin bila mencobanya dia juga bisa berjalan, tapi Theo malah menggerutu, dia tahu pasti ini hanya sebuah mimpi.

Theo mulai beranjak dari sana, berjalan pelan menikmati pemandangan di sekitarnya.

Tampaknya Si Penyihir Putih berada di atas salah satu tebing yang mengapit sebuah lembah yang ditumbuhi pohon-pohon rindang nan lebat.

Jika dibandingkan dengan pepohonan yang ada di Kerajaan Majapahit, pepohonan di sini jauh lebih besar dan tinggi.

Jeram-jeram kecil menghiasi tembok-tembok kokoh dua tebing. Jeram-jeram itu jatuh di sungai di bawahnya.

Theo memperhatikan seluruh area di bawah kakinya. Ternyata di sana pemandangannya lebih elok lagi. Sebuah bangunan besar berdiri menantang menjulang nyaris menyaingi tinggi tebing di kakinya. Sepertinya bangunan itu adalah sebuah istana yang nampak keramat dan penuh aura yang misterius, karena bangunan itu terlalu besar jika disebut sebagai rumah.

Theo mengamati lebih teliti. Istana itu dikelilingi oleh paviliun-paviliun kecil yang nyaris sama bentuknya dengan paviliun di mana ia berbaring tadi.
Pahatan dedaunan yang terukir di dinding pualam istana tampak indah.
Altarnya tinggi dengan sebuah karpet merah yang digelar di tengah-tengahnya.

Theo mulai berkhayal, putri modelan yang bagaimana tinggal di istana megah itu?

Theo tak peduli lagi apakah ini hanya mimpi atau kenyataan, yang jelas semua pemandangan yang diberikan oleh tempat ini sangat menghibur hatinya.

“Lembah yang indah,” bisik Theo.

Di sisi lain, ada yang masih membuat Theo penasaran. Ia mulai merasakan wangi sedap bunga mawar yang menyengat hidungnya. Ya, Theo mengenal bau ini.

“Hm, ini bau wanita itu,” gumam Theo.

Sedetik, Theo langsung mencari di mana bau itu berasal. Theo berlari dan terus berlari hingga terdengar olehnya suara gemercik air yang cukup berisik.

Melangkah perlahan ke depan, Theo membuka matanya lebar-lebar. Rupanya di sana terbentang luas sebuah lautan biru yang tak ada ujungnya.

Takjub.

Angsa-angsa putih berterbangan ke sana kemari seakan menari menyambut kedatangan dirinya. Yang Theo sadari ada tiga pusaran air yang berputar menyatu dengan langit, nyaris seperti badai taifun. Pusaran air itu berputar ke sana kemari tak tentu arah. Angsa-angsa itu mengikuti ke mana pusaran air itu pergi.

Sungguh aneh. Theo tahu ke mana pusaran air itu pergi. Semakin aneh, Theo tahu pusaran air itu laksana badai, tapi sama sekali tak terlihat menakutkan bagi angsa-angsa tersebut. Mungkin mereka sedang mencari ikan segar di dalamnya.

Kemudian, Theo mengalihkan pandangannya ke sebelah kiri. Ia temukan sosok itu berdiri di ujung tebing sembari memandangi lautan biru yang membentang di balik dua tebing kokoh.

Theo menyebutnya Sang Mawar Putih karena ia tak mengetahui nama wanita itu.
Theo pun berjalan mendekatinya.

Sang Mawar Putih lantas menoleh ke arah Theo, tersadar akan kehadiran Si Penyihir Putih, ia pun tersenyum simpul. “Eo, aku sudah lama menunggumu, senang bertemu denganmu lagi,” ujar wanita itu ceria, yang masih tetap berada dalam balutan gaun putih brahmani-nya, sangat cocok dengan warna rambut panjangnya yang digerai indah.

“Sudah kubilang padamu, aku tak mengerti maksudmu,” balas Theo, mencoba bersikap santai. Rasa-rasanya Theo tak perlu santun kepada orang yang tak jelas asal usulnya ini.
Kalau ada Agnia, ia pasti langsung meninju Theo karena ketidaksopanan sikapnya.

“Aku sudah lama menunggumu, senang bertemu denganmu lagi, Eo.” Ulang wanita itu kembali tersenyum, seraya menatap laut biru yang berada di depanbsana.

Kesunyian menyelimuti mereka.

Ada banyak hal yang sebenarnya Theo ingin tanyakan pada wanita itu, namun Theo bingung untuk menanyakan hal mana dulu. “Kau yang membawaku ke sini, kan? Apa tujuanmu sebenarnya?” tanyanya kemudian.

Wanita itu menghela nafas perlahan. “Karena aku tahu, kau sedang dalam kesedihan yang mendalam,” jawabnya, lalu memejamkan mata.

Deburan ombak menerjang tebing yang melindungi lembah .Saling menyeru satu sama lain, membentuk sebuah instrumen abstrak namun sangat merdu didengar.

Theo tahu wanita ini pasti sedang asyik mendengarkan suara-suara indah ini.

“Bagaimana kau bisa tahu aku sedang punya masalah?” Theo kembali menginterogasi. Mata azure-nya tak pernah lepas menatap mata putih wanita yang masih membuatnya penasaran dengan segala kemisteriusannya.

“Hm? Aku hanya mengikuti kata hatiku saja,” jawab Sang Mawar Putih sambil tetap lurus menatap ke depan.

“Jadi, kau mengenalku sebelumnya?” tanya Theo lagi.

“Ya, tentu saja.” Sang Mawar Putih mengedipkan sebelah mata, "kenal sekali."

Theo malah tambah pusing dengan jawaban-jawaban yang diberikan wanita yang dia tak ketahui asal-usulnya itu. Sisi positifnya, Theo cukup terhibur dengan kehadiran Sang Mawar Putih.

Karena ya, wanitabitu telah membawa Theo ke alamnya yang indah. Rasa-rasanya Theo betah dan ingin selamanya berada di sini. Di tempat ini, beban yang memberatkan pundaknya terasa lenyap. Tapi, jika dirinya pergi dari Majapahit, apakah ia bisa selamanya tinggal di sini?

Atau inikah surga yang Dewata janjikan bagi orang-orang yang mulia semasa hidupnya?

“Tempat ini sangat indah. Aku jadi ingin sekali tinggal di sini,” gumam Theo takjub.

Wanita itu berbalik memandangi Theo. Ekspresi wajahnya begitu tenang penuh perhatian. Membuat Theo ingin menumpahkan semua kelu kesahnya pada wanita itu.

“Benarkah? Kau tak rindu akan kampung halamanmu?” goda wanita itu sambil mengedipkan sebelah matanya. Lagi.

“Tentu saja aku akan selalu merindukannya," cetus Theo. Ia mungkin sedikit hiperbola karena wanita itu tetap tenang menghadapinya. “Em-maksduku … aku hanya berpikir jika aku mati nanti, apa aku bisa tinggal di sini?”

Sang Mawar Putih tersenyum. “Mati? Kenapa kau berpikir begitu?”

“Apa kau malaikat yang akan menjemputku ke surga nanti?” tanya Theo polos.

HAHAHAHAHA!

Sang Mawar Putih tertawa terbahak. Walau begitu, tawa lepasnya tetap saja sangat merdu didengar. “Aku? Malaikat? Tidak, Eo. Aku tidak jauh beda denganmu.” Sang Mawar Putih kembali menatap laut lepas di depannya. “Jadi kau berpikir bahwa kau akan mati karena ada aku yang sehari semalam mengganggumu? Kau pikir ini adalah surga?"

Theo mengangguk kecil. Entah mengapa Theo merasa pernyataannya barusan sangat konyol untuk diucapkan pada sang Mawar Putih. Namun, Theo tidaklah asal sebut. Kematian adalah hal yang terngiang-ngiang di benaknya seharian ini.

“Tapi aku memang berniat untuk mati, sih.” Theo berkata lirih sembari menundukkan kepalanya.

Sang Mawar Putih segera mendekat ke arah Theo. Mereka saling berhadapan satu sama lain, disentuhnya dagu Theo dengan jemari lentiknya, mengangkat bagian itu secara perlahan. “Kenapa kau begitu putus asa?” tanyanya pelan.

Theo mulai mengingat insiden ketika terakhir kali dia bertarung dengan Ryan. Insiden yang membawa sahabatnya nyaris jatuh ke dalam jurang kematian. Kemudian, tangisan Agnia yang mengharapkan Ryan sebagai pelipur laranya kembali.

Theo tahu, hanya kepulangan Ryan lah yang akan membawa kebahagiaan untuk gadis yang dicintainya.

Tapi kini, Theo mengerti kalau janji seumur hidupnya dulu, tidak akan pernah bisa ia tepati jika ia hanya terpaku di atas tempat tidur.

Theo tak mampu menjawab secara verbal pertanyaan sang Mawar Putih. Linglung, Theo langsung jatuh ke dalam ratapannya. Air matanya turun ke gundukan tanah hijau, tempat di mana ia memijakkan kaki. Wajahnya tertunduk lesu. Bahunya naik turun saking terisaknya.

Dalam hati, Theo memaki dirinya sendiri. Sebagai seorang laki-laki yang digadang-gadang penyihir muda berbakat yang masuk ke jajaran kelas S, Theo seharusnya tidak mudah mengeluarkan air mata di depan seorang wanita, apalagi wanita ini sama sekali tidak pernah ia kenal sebelumnya.

Tiba-tiba, kilatan cahaya membangunkannya .Theo mendongakkan kepala memandang wanita itu sembari membuka matanya lebar-lebar. Nampak di matanya Sang Mawar Putih seperti mengucapkan sebuah mantra dari bibirmya.

“Ini bukan akhir dari segalanya, ini adalah permulaan. Kau tidak perlu melakukannya. Jika tak ada lagi yang bisa kau percaya, percayalah pada ini.” Wanita itu berkata sembari menyentuh dada kiri Theo.

Namun, entah mengapa tiba-tiba Theo jadi mengerti apa yang wanita itu ucapkan. "Maksudmu aku harus percaya pada kata hatiku sendiri?” tanyanya, lola.

Wanita itu mengangguk pelan. “Ya, Eo. Ketika malam akan berakhir, kau mungkin akan menemukan terbitnya sang surya.”

Cahaya kembali terpancar mengelilingi mereka. Wanita itu ternyata kembali membawa Theo ke dunia aslinya. Dunia di mana saat ini Theo sedang terlelap dengan nyenyaknya.

Hingga beberapa saat, Tubuh Theo gemetaran. Sang Mawar Putih mengenggam tangan Theo dengan erat sembari mengeluarkan kata-kata vang membuat hati Theo tenang.

“Ssttt! Eo, tidurlah,” bisik Sang Mawar Putih lembut sembari mengusap dahi Theo secara perlahan.

Tubuh gemetar Theo perlahan menghilang karena sentuhan lembut wanita itu. Tadinya, Sang Mawar Putih ingin sekali memberitahukan siapa dirinya yang sebenarnya kepada Theo. Namun ...

“Belum saatnya kau tahu siapa aku, Eo,” ucap Sang Mawar Putih sembari berdiri hendak beranjak dari ruangan Theo berada. “Kalau itu pilihanmu, tentu saja aku tak bisa menghentikannya.” Dirinya pun nyaris menghilang dalam bayangan, tapi sebelum pergi, dia berujar, “Tetapi … setiap Ibu mempunyai kekuatan untuk melindungi anaknya.”

Meninggalkan sejuta pertanyaan, Sang Mawar Putih pun lenyap bersama datangnya surya di ufuk timur.
 
***

Pagi sekitar pukul sepuluh, Rani Asura mengunjungi Theo kembali. Kali ini Sang Maharani sendirilah yang bertugas memeriksa keadaan Theo karena Agnia telah memulai aktivitasnya untuk meracik obat.

Hanya memiliki waktu 4 hari sebelum luka di kaki Theo bertambah parah, Rani Asura mempercayakan perihal ini kepada Agnia. Meskipun rasanya berat sebelah, tapi hanya Theo yang memiliki kesempatan untuk hidup.

Rani Asura berjalan memasuki ruangan di mana Theo berada. Rupanya Sang Penyihir Putih sudah bangun, duduk di atas kasurnya dengan tatapan kosong. Mata biru si bengal memandang langit di luar jendela yang kala itu berawan. Sepertinya musim hujan akan tiba.

“Selamat pagi, Theo,” sapa Rani Asura.

Theo langsung menoleh ke arahnya. “Pagi, Tante Asura,” balasnya sembari tersenyum lemah.

Rani Asura sedikit tercengang melihatnya. Keadaan Theo sedikit berantakan dibandingkan dengan hari kemarin, lesu tak ada gairah. Namun, keadaan kamarnya lebih parah lagi. Wanita paruh baya itu melihat pecahan vas bunga berserakan di bawah jendela. Ia nyaris shock melihat pemandangan di ruangan Theo. Kelopak bunga mawar putih bertebaran di lantai.

“Theo, kenapa kamarmu berantakan begini?” Rani Asura bertanya sembari perlahan mendekatinya.

“Eh?” Theo mengerjap sebentar. Berusaha tenang. “Ehm .. itu ... semalam jendela kubiarkan terbuka, sih. Angin besar tiba-tiba masuk. Lalu vas bunga itu pun terhempas dan bunga mawarnya jadi jatuh,” paparnya, seraya menunjuk ke arah kepingan vas bunga.

“Begitukah?” Rani Asura sedikit bingung. Padahal, seingatnya tidak ada badai tadi malam meskipun hari ini agak mendung. “Ya sudah, nanti kupanggilkan penjaga untuk membersihkannya.” Rani Asura membuka mangkuk berisi bubur di tangannya. “Kau sarapan dulu, ya, Theo.”

Theo menggelengkan kepala. “Nanti saja, Tante, aku sudah kenyang. Baru saja aku menghabiskan buah-buahan dan sayuran yang diberikan Yami. Dan juga Agnia tadi malam membelikan aku bakso dan donat, hehehe.”

Rani Asura memperhatikan bungkusan bekas buah-buahan, bakso, dan donat yang tergeletak di meja sebelah Theo. Dan benar saja, semua isinya telah tandas.

Rani Asura menatap Theo dengan raut muka penuh rasa heran. Theo sedikit aneh hari ini.

“Baiklah kalau begitu.” Rani Asura meletakkan bungkusan yang dibawanya ke meja satu lagi. Memang ada dua meja yang mengapit kasur Theo, ia keluarkan semua isi bungkusan di dalamnya.

“Tante Asura, ada yang ingin kubicarakan padamu,” ujar Theo sembari menatap Rani Asura di sampingnya.

Sementara yang disebut namanya sedang sibuk dengan aktivitasnya sendiri. “Apa, Theo? Katakan saja,” sahutnya, ringan. Ternyata, Sang Maharani membawa obat luka bakar untuk Theo dari racikannya sendiri. Rani Asura menyimpannya ke dalam botol. Satu persatu dari tiga botol ja letakkan rapi di atas meja. Namun, ketika hendak meletakkan botol terlakhir …

“Aku … ingin mendonorkan jantungku untuk Ryan.”

PRANG!!!

Botol obat yang Rani Asura bawa terlepas dari genggaman tangan. Ia langsung menatap Theo dengan tubuh gemetaran. Bagai petir yang menyambar, Rani Asura tak bergeming. Seumur hidup, baru ini rasa kehilangan yang tinggal menunggu waktu begitu mendalam menerpa hatinya. Seseorang yang memiliki ambisi, pendirian, dan cita-cita besar seperti Theo benar-benar membuat Rani Asura terpukul. Sedari dulu, tak ada seorang pun yang bisa mengintervensi keputusan Theo.

Rani Asura sangat mengetahui hal ini. Pikirannya mulai nenerawang jauh, hingga sampai pada memori di mana pertemuan pertama Rani Asura dengan Theo. Pertemuan fenomenal saat Rani Asura menjabat sebagai seorang raja sekaligus ratu yang nama gelar abhisekanya ialah Bathari Wijayatunggadewi Maharajasa Jayawisnuwardhani.

Dan tepat di tahun 2023 Saka, atau 2101 Masehi, di Petirtaan Narayana, peristiwa yang menggemparkan dunia pun terjadi.

***

Aku bukannya putus asa atau takut menghadapi kelamnya dunia.

Aku hanya meragukan kemampuanku tuk membuat seulas senyum manismu memantul kembali di kornea mataku.

Mungkin hanya kau yang paham maksudku untuk melakukan hal tergila dalam hidupku ini.

Dan tentu aku takkan pernah menyesalinya.


***

PRANG!!!

Sebuah tabung reaksi lepas dari genggaman tangan Agnia. Ia terkejut bukan main. Masalahnya, Agnua yakin kalau tadi ia sangat berhati-hati mengenggam tabung reaksi itu.

Baru saja dua jam di laboratorium, Agnia telah berbuat gaduh.

Agnia menggerutu kesal, padahal ini masih pagi tapi ia sudah hilang konsentrasi. Ia pun segera membereskan pecahan tabung reaksi tersebut dan mengambilnya satu persatu secara tergesa-gesa.

“Aduh!” pekik Agnia.

Ternyata pecahan tabung yang Agnua ambil menggores jari telunjuknya. Dengan cekatan Agnia mengeluarkan sihir.

Masih pagi juga tapi Agnua sudah mendapatkan hal buruk bertubi-tubi. Di sisi lain, perasaannya tak enak pula, layaknya ada sesuatu hal buruk akan terjadi. Lantas terbersit titik gelap dalam benaknya. “Mungkinkah, Ryan …?!”

***

Pecahan botol berserakan ke lantai, mengusik ruangan yang diselimuti atmosfir suram.

Bagaimana tidak? Rani Asura teramat kaget dengan permohonan Theo yang tiba-tiba, dan alasan Theo memutuskan itu? Ratu Asura perlu tahu dulu.

Seperti abu di atas tanggul.

Dari matanya saja, Rani Asura bisa menebak bahwa Theo sedang dalam keadaan mencekam. Sang Rani menyelam jauh ke dalam mata biru yang begitu pekat sendu itu. Tak ada lagi gairah di dalamnya, yang tersisa hanya puing-puing durja yang terpantul dari mata azure nan cerahnya.

Namun, Rani Asura tidaklah gamang, dia tetap menepis buruk sangka yang terukir ketika dilihatnya binar-binar luka yang menjerat Theo. Rani Asura hanya bisa tertawa getir. “Hahaha. Apa yang barusan kau katakan, Theo? Maksudmu kau mengkhawatirkan Ryan, kan? Kau tak usah cemas, dia sedang dalam perawatan intensif aku dan Ravalda. Hahhhh … Theo, aku pikir itu terlalu berlebihan.” Sang Maharani mencoba memaparkan fakta yang ada, memandangi lagi mata Theo ***panya Theo sama sekali tak bergeming.

Setetes peluh meluncur dari pelipis Rani Asura .Apakah kebohongannya terbaca oleh Theo?

Theo terkekeh-kekeh seperti sehabis menonton panggung lawak yang sering ada di festival Kerajaan Majapahit.

Bukan rasa lucu yang Rani Asura dapat. Malah ketakutannya makin mencuat kala melihat Theo terpingkal hebat.

"Tante, kau tak usah berakting layaknya sedang pentas di sebuah drama.” Alis Theo menukik tajam. Air mukanya berubah menjadi serius. “Aku tahu keadaan Ryan sedang di antara hidup dan mati.”

Tak lagi bisa disangkal, pikiran Rani Asura langsung porak poranda. Ia mengerti, bahwa lambat laun Theo akan mengetahui perihal yang memang sengaja dipendam untuknya.

Lantas, Rani Asura mencoba berkelit. Mana sudi ia mengizinkan Theo mendonorkan jantung untuk Ryan. Ya, pernah sepintas Rani Asura berpikir hal ini mungkin akan terjadi, tapi ia sama sekali tak menyangka hal ini benar-benar menjadi kenyataan.

The Last Amurwabhumi tak pantas untuk diberi kesempatan hidup, itu pendapat Rani Asura yang mewakili mayoritas rakyat Kerajaan Majapahit. Sang pengkhianat yang bergelimang dosa, membuat repot semua orang dengan tindak-tanduknya. Bukan maksud Rani Asura untuk tidak berperasaan, ia hanya mencoba menggunakan logika berpikir. Semua orang pasti setuju dengan pendapatnya tersebut.

Sedangkan Theo lebih pantas untuk mendapat kesempatan untuk hidup dibandingkan dengan keturunan terakhir trah Amurwabhumi.

Lalu, mengapa Theo begitu keras kepala hingga melakukan hal yang menurutnya gila ini?

Mengapa bocah baru gede itu rela menderita untuk mempertahankan seonggok daging pongah yang mengkhianatinya?

“Theo, tidakkah kau pikir kau sudah tidak waras? Aku tahu Ryan adalah teman baikmu. Aku dan Shin pernah mengalami hal yang sama, dan untuk itu kami tidak keras kepala.” Rani Asura merengkuh kedua pundak Theo. “Theo, kau tak bisa menegakkan benang yang sudah basah.”

Theo memandang Rani Asura dengan menyala-nyala, ia menghela nafas panjang. “Ryan tidak seperti Paman Nicolas. Aku tahu ada sisi lain dari Ryan yang tak dapat ditembus oleh kegelapan pikirannya. Kau tahu kenapa dia sampai koma seperti itu sekarang? Itu karena dia menyelamatkanku. Lagipula hal ini bukanlah hal mustahil yang tidak dapat kau lakukan sebagai seorang penyihir medis tangguh, Yang Mulia.”

Rani Asura terpaku, mulutnya membisu. Anak ini memang lain dari yang lain. Pola pikirnya sulit ditebak. Kadang sulit dterka oleh akal sehat lantaran saking keras kepala pola pikirnya tersebut. Maksud hati Ratu Asura ingin mempertahankan apa yang layak Theo dapatkan.

“Theo, coba sekali waktu saja kau pikirkan dirimu. Berhenti memikirkan orang lain!” Rani Asura mulai kehilangan kesabaran.

Theo semakin murka. “Mana bisa aku begitu, Tante?! Ryan bukan orang lain, tapi sahabatku! SAHABATKU!” alih-alih Theo menjadi naik pitam, ia menatap tajam Rani Asura. Perlahan ekspresinya melunak, namun masih menyimpan kemarahan yang disembunyikan. “Aku … sejak kecil tak ada yang memperhatikanku … aku hidup sendiri tanpa laki-laki dan wanita yang seharusnya aku panggil ayah dan ibu. Semua orang di Majapahit menjauhiku karena naga sialan yang tersegel dalam perutku ini. Semuanya membenciku …” Theo memandang perutnya sejenak. Seekor Beast Divine Spirit, yang sedang terlelap, tersegel di sana. “Tak ada yang tahu. Tak ada yang bisa mengerti bahwa hari-hari itu bagai neraka bagiku. Tapi, mereka hadir ke dalam hidupku yang kala itu tak terperi bengisnya. Mayor Tristan, Kapten Adam, Agnia, dan Ryan. Merekalah yang pertama kali menyirami hari-hariku yang layu lagi suram.”

Rani Asura tercenung. Ia mafhum bahwa hari-hari penuh penderitaan itu tak akan bisa dilupakan oleh Theo. Wanita itu tak akan pernah mencoba untuk membayangkannya, karena duka nestapa berbalut kesedihan terlalu menyakitkan untuk dibayangkan.

“Setelah itu aku memutuskan … orang-orang yang aku cintai akan kulindungi dengan segenap nyawaku. Karena itu adalah caraku sebagai seorang penyihir untuk mempertahankan hidup. Aku hidup dengan melindungi orang-orang yang berharga bagiku.”

“Theo ….” Rani Asura mulai berkaca-kaca.

Gigi Theo bergemeretuk kuat. Ia mengatupkan mata rapat-rapat ingin menahan tangis yang nyaris tumpah mengalir.

“Theo, Ryan dalam keadaan seperti itu bukan karena salahmu.”

Theo langsung memalingkan wajah ke arah Rani Asura. “Bukan salahku? BUKAN SALAHKU, KATAMU?! Kau tidak tahu apa-"Theo menghentikan lontaran amarahnya. Ia kembali tertunduk, Theo tahu tidak seharusnya ia membentak Rani Asura yang belum mengerti kenapa dia begitu bersikeras untuk menyelamatkan Ryan. “Aku tahu semua orang tak mengerti kenapa aku mati-matian ingin membawa Ryan pulang ke Majapahit.” Lantas, terbersit sesuatu dalam pikiran Theo yang sebenarnya telah lama ingin ia sampaikan pada Rani Asura. “Yang Mulia, bolehkah aku menceritakan sebuah kisah padamu?”

Rani Asura terlihat berpikir sejenak, entah apa yang ada di benaknya, tapi akhirnya ia pun mengangguk.

Theo pun memulai ceritanya. “Dahulu kala, ada seorang anak yang bercita-cita untuk menjadi penyihir. Dia bukan anak yang istimewa, malah terlihat tolol dibandingkan dengan teman-temannya.”

Rani Asura mengambil kursi dan duduk di atasnya, menyimak sebuah kisah yang sedang diceritakan oleh Theo.

“Tapi walaupun begitu, dengan segenap keyakinannya, dia lulus dalam ujian dan berhasil masuk ke tim yang dipimpin oleh penyihir hebat. Dalam tes berikutnya, dia yang paling sering masuk dalam jebakan yang dibuat oleh penyihir hebat itu.” Theo tersenyum, ada sesuatu hal yang dia ingat yang menurutnya sulit untuk dilupakan waktu.

Rani Asura menginterupsi. “Theo, apakah kau sedang menceritakan dirimu sendiri?”

Theo tersenyum kecil, lalu menggelengkan kepala. “Bukan. Dengarkan dulu ceritaku sampai selesai, dong.”

"Baiklah."

“Kala itu, dia diejek habis-habisan oleh teman perempuan yang satu tim dengannya. Mereka pun akhirnya saling ejek satu sama lain.”

Entah mengapa, Rani Asura merasa familiar akan cerita yang Theo utarakan ini, tapi ia biarkan dulu Theo menyelesaikan ceritanya.

“Sebenarmya anak tersebut jatuh cinta pada perempuan itu, oleh karenanya dia sering menggoda kawan se-timnya yang cantik lagi pintar tersebut. Sayangnya, si temannya itu sama sekali tidak mengetahui perasaan dia yang sebenarnya. Hingga suatu saat … suatu saat perempuan itu kehilangan adik semata wayangnya. Kala itu anak tersebut telah beranjak dewasa bersama rekan-rekan timnya. Mungkin kita bisa menyebutnya sebagai pemuda. Pemuda itu, dia berusaha menghibur gadis yang dicintainya dengan segala lelucon konyolnya. Tapi tetap saja gadis itu tidak mempedulikannya.”

Ranu Asura tercekat, mungkinkah Theo menceritakan …?!

“Theo, kau? Maksudmu, itu ….”

“Sssttt! Tante, dengarkan ceritaku dulu.” Theo tersenyum simpul, kemudian ia melanjutkan ceritanya lagi. “Ya, gadis itu begitu terpukul. Semenjak kejadian itu, dia pun bertekad untuk menjadi seorang penyihir yang tangguh.”

Rani Asura terkesiap, dugaannya benar. Sekali lagi, ia biarkan dirinya hanyut mendengarkan cerita Theo. Rasa penasaran masih menyelimuti pikirannya.

“Karena setelah kesedihan pastilah ada kebahagiaan. Perempuan itu bertemu dengan seorang pemuda tampan. Ketampanannya melebihi teman se-timnya. Lantas dia jatuh cinta pada pemuda tampan itu, yang kutahu dia bernama Hayama.” Theo memandang semu mata Rani Asura.

Sementara Rani Asura merasa tenggorokannya mongering seketika. Masa-masa itu adalah masa tersulit dalam hidupnya.

“Ya, kami berpacaran. Tapi itu tidaklah lama, karena-”

Theo memotong kalimat Ratu Asura, “Karena Paman Hayama tewas saat perang, dan kau menjadi sedih berkepanjangan karenanya. Benar, kan, Tante?”

Rani Asura terpekur. “Bagaimana kau bisa tahu, Theo?”

“Aku pernah tak sengaja membaca buku harian Paman Shin, namun ketahuan olehnya dan dia langsung membakar buku hariannya itu, tak tahu mengapa.”

“Theo, jadi kau …?!” Rani Asura tak bisa berkata apa-apa.

Yah, Hayama Wisanggeni adalah mantan kekasih Rani Asura semasa muda. Hayama tewas mengenaskan di medan peperangan beberapa tahun silam. Walaupun bergelar raja sekaligus ratu, namun Nimas Ayu Asura tetaplah seorang wanita. Ia juga memiliki sisi feminin.

Terlepas dari kedua rekannya sekaligus seorang Paladin -Nicolas Sanjaya dan Basudewa Shin- hari-hari Rani Asura begitu suram. Hanya dihabiskan untuk meratap dan menangis. Luka di hatinya tak kunjung sembuh.

Dari cerita Theo, Rani Asura tak menyangka jika seorang Shin yang keras kepala … pria itu …?!

ARGH!

Ketika Rani Asura sedang menyelam ke dalam kenangan, tiba-tiba Theo kembali berkata, “Ya, Tante Asura. Aku sedang menceritakan masa lalumu yang kau bingungkan. Ekspresi apa yang harus kau pasang ketika memutarnya ulang di dalam pikiranmu karena kau belum tahu sebenarnya siapa yang benar-benar kau cintai dalam hidupmu.”

Theo memalingkan wajahnya ke depan, memandang bunga daffodil dari Agnia, yang dulu sering dibawakannya untuk Ryan ketika dirawat di rumah sakit. Theo tidak tahu maksud Agnia menaruh bunga itu di antara bunga lainnya, di ruangannya. Dan tentulah Theo menginterpretasikannya secara berbeda. Bukan sebagai perasaan yang tulus dari seorang anak manusia yang mengharapkan balasan cinta.
Padahal bunga daffodil memiliki banyak arti selain arti yang indah-indah itu.

Theo sadar Agnia salah menaruh bunga. Menghirup udara dan menghembuskannya perlahan, Theo kembali melanjutkan ceritanya, “Pada akhirnya aku bisa mengetahui masa lalu Paman Shin. Terutama tentang perasaannya padamu.”

Rani Asura menelan ludahnya sendiri, rasa-rasanya dia sama sekali tak enak hati untuk mengulang masa lalu yang baginya cukup suram. Ada perasaan bersalah yang masih terkurung dalam kalbunya yang tak ia singkap kepada siapa pun.

Rani Asura bukannya tak mengetahui perasaan Shin yang sebenarnya padanya, hanya saja Sang God of War tak pernah serius dengannya. Yang pria itu lakukan di depannya, hanyalah melakukan lelucon-lelucon mesum. Praktis membuat Ranj Asura menghajarnya hingga babak belur.

Lantas untuk apa Theo menceritakan dirinya dengan Shin?

“Kalau begitu, kau sudah tahu kan siapa yang aku maksud? Lalu apa kau tahu, Tante? Waktu itu Paman Shin sangat menyesalinya …” Theo menatap Rani Asura dengan lembut. “Dia menyesal karena tidak bisa menyelamatkan keluargamu dan Paman Hayama, padahal Paman Shin ada di tempat kejadian saat itu.”

Rani Asura menggigit bibirnya sendiri. Kenapa Shin berpikir seperti itu? Padahal yang menyesal adalah aku karena tidak bisa menyembuhkan mereka berdua, ungkap Ratu Asura dalam hatinya.

“Tante, kau dan Paman ashin itu hampir sama dengan Agnia dan aku.”

Rani Asura sekali lagi terperanjat. Sesuatu hal secepat kilat menyambar pikirannya. Ia ingat kalau Theo mempunyai perasaan melebihi kata teman pada keponakannya, Agnia Samara Tunggadewi.

“Syukurlah, Ryan. Syukurlah kau baik-baik saja,” ucap Agnia sembari memeluk Ryan yang telah siuman dari tidurnya akibat serangan Kriss.

Dan saat itu Theo melihatnya, melihat gadis kecil yang dicintainya memeluk sahabatnya sendiri. Theo hanya bisa tersenyum getir dan segera meninggalkan ruangan.

Rani Asura tidaklah keliru waktu itu. Ia tahu Theo memendam perasaannya pada Agnia. Namun, gadis itu acuh tak acuh terhadapnya.

Dan Theo? Nihil, tak punya usaha apa-apa untuk menyampaikan perasaannya. Ia lebih banyak berbuat ketimbang mengutarakannya dengan kata-kata. Persis seperti Shin yang kerap melakukan kelakar-kelakar konyol di depan Rani Asura.

Rani Asura menyadari apa yang Theo maksud dengan menceritakan semua hal ini. Ia tak tahu mengapa ia bisa menerka bahwa akhir dari semuanya akan terasa begitu menyakitkan.

“Tante, Pamen Shin tidak pernah mengatakan perasaannya terhadapmu dengan serius, kan? Sebagai seorang lelaki, tentulah dia mempunyai keberanian untuk mengungkapkan segala isi hatinya untuk seorang wanita yang dia puja. Tapi, kau tahu mengapa dia tak pernah melakukannya?” tanya Theo, misterius.

Rani Asura menatap Theo dengan saksama, sekujur tubuhnya bertambah dingin, ia menggelengkan kepala pelan.

"Karena dia gagal menyelamatkan Paman Hayama yang pada perang itu satu regu dengannya,” jawab Theo.

Rani Asura terperangah. Hal ini masih tak masuk akal baginya. Kenapa Shin sampai nekad mengambil keputusan seperti itu? Batin Ratu Asura resah.

“Tante, saat itu tempat persembunyian mereka saling berdekatan. Paman Shin mengetahui ada penyihir musuh yang menyerang Paman Hayama dari arah belakang, hendak memperingatkan. Tapi … kesempatan itu raib begitu saja. Aku masih ingat kata-kata Komandan di buku hariannya: pemandangan selanjutnya tak sanggup untuk kulihat. Kau meratap hebat kala Paman Hqyama meregang nyawa dan sihirmu tak mampu untuk menghidupkannya. Aku mungkin seharusnya … senang Hayama telah tewas, karena aku memiliki kesempatan untuk memilikimu. Tapi entah mengapa hal tersebut malah membuat hatiku makin tertusuk dari dalam, tertohok hingga otakku ingin kukeluarkan dan kubelah saja. Agar kejadian ini tak terngiang lagi dalam pikiranku. Namun rupanya dia terus menghantui, tak mau pergi.”

Rani Asura menggerang seketika. Sampai seperti itukah? Sampai sedalam itukah Shin mencintainya? Rani Asura tak pernah memandangnya … tak pernah mempedulikannya. Karena ia tak tahu apa-apa saja yang Shin pendam dalam otaknya, yang Rani Asura pikir telah membusuk karena isinya hanyalah hal-hal nista.

Shin selalu tertawa dalam sedihnya, tersenyum di balik penderitaannya. Memang dari sewaktu kecil hingga remaja mereka sering bersama-sama.

Dan tatkala kejadian-kejadian penuh lara itu datang, Rani Asura memutuskan untuk lari dari kenyataan. Ia terperangkap dalam kabungnya selama bertahun-tahun dan pergi mengasingkan diri dari Kerajaan Majapahit. Mereka rupanya belum saling mengerti satu sama lain.

“Aku hafal dengan kalimat-kalimat itu. Karena aku begitu tersentuh ketika membacanya. Maksudku … aku tak pernah menyangka Komandan memiliki perasaan sedalam itu pada seorang wanita. Lantaran aku sering melihatnya keluar-masuk pub-pub mesum, bermain dengan para wanita di sana, atau menulis novel dengan bahasa-bahasa vulgar khasnya, hehehe.” Theo tertawa kecil. Begitulah, Theo menyangka bahwa Shin tidak pernah jatuh cinta pada satu orang wanita. Shin memanglah pecinta wanita. Tapi untuk hal yang lebih dalam, dari mukanya saja tidak kelihatan bahwa ia pernah melabuhkan satu cintanya kepada satu wanita.

Kedua mata Rani Asura mulai berair.
Dengan tenang, Theo menghela nafas sebentar.

Pandangan Theo begitu sendu, menatap Rani Asura dengan sorot tak terbaca. “Paman Shin selalu berpikir bahwa hidupnya tidak pernah berhasil. Dia gagal untuk menyelamatkan Bhre Wijaya III ketika maut menjeratnya. Gagal menyelamatkan anak dari sahabatnya, Bhre Wijaya IV, yang waktu itu tewas karena menyegel Naga Besukih ke dalam tubuhku. Lalu dia gagal membawa salah satu rekan Paladin kalian, Paman Nicolas untuk kembali ke Kerajaan Majapahit. Dan yang terakhir … Paman Shin gagal untuk memenangkan hatimu. Dia membawa semua penyesalan itu hingga akhir hayatnya, Tante Asura.”

Rani Asura menghadap bumi. Ia tidak lagi menatap Theo yang sedang memandangnya dengan senyuman getir penuh haru.

“Namun aku tahu, Tante. Di saat-saat terakhirnya dia tersenyum, karena dia tahu akan ada generasi yang melanjutkan perjuangan-perjuangannya. Aku tahu yang diharapkannya adalah aku. Tapi dengan tubuh seperti ini … aku tak akan mampu untuk melanjutkan perjuangan itu.”

Rani Asura langsung menyeka air matanya. “Tidak, Theol Agnia pasti bisa menyembuhkanmu! Dia sedang berusaha menyembuh-" hardikan Rani Asura yang langsung terhenti ketika dilihatnya Theo menatapnya dengan tatapan pedih. “Ka-kau kenapa, Theo?”

Theo tersenyum simpul. “Begitulah kesudahannya, Tante. Mungkin aku bisa saja sembuh seperti sedia kala. Menjadi penerusmu yang paling sakti mandraguna di tahta dunia sihir ini. Tapi aku tidak mau egois. Menurutmu, bagaimana dengan Agnia? Dengan memutuskan untuk merelakan Ryan mati, baginya itu sangatlah berat. Aku tidak ingin peristiwa yang dialami Tante terulang pada Agnia.”

Untuk kesekian kalinya, Rani Asura membeku, lama-lama ia makin mengerti apa yang Theo inginkan.

“Aku tidak ingin mempunyai penyesalan yang sama seperti Paman Shin. Kau pasti ingat, Tante, jikalau kalian berpisah begitu lama. Karena kalian berdua lari dari kenyataan yang ada dan enggan menghadapinya bersama-sama. Sedangkan aku tidak mau akhir yang memilukan seperti itu.”

“Theo, Agnia dan aku tidaklah sama! Kalau kau mati, dia akan sangat merasa kehilangan! Agnia pasti akan sedih berkepanjangan dan menangis-”

“Agnia tidak akan menangis meratapi kematianku dibandingkan jika Ryan yang meninggalkannya. Dia … tidak mungkin bersedih sampai seperti itu,” potong Theo tenang.

Ratu Asura kembali tercenung. Kenangan akan masa lalu menghampiri Ratu Asura kembali. Mengetuk pintu pikirannya perlahan-membuka memori saat Shin berpamitan dengannya pergi ke Kerajaan Kediri.

“Shin, kalau kau mati … aku ….”

“Eh? Apakah kau akan menangis untukku? Hahaha, terima kasih Asura. Aku merasa tersanjung.”

“Bodoh!”

“Tapi tidak akan seperti ketika Hayama meninggal, kan?”

“Huh?”

“Hahaha, bercanda! Aku bercanda, Asura!”


Sekilas percakapan terakhir Rani Asura dengan Shin.

Waktu itu, Shin seperti biasanya berkelakar sebagaimana dirinya. Santai dan tak peduli alam sekitar. Dan seperti biasa, Ratu Asura tidak begitu menanggapinya dengan serius. Namun, kali ini entah mengapa hatinya remuk redam. Ia merasa ditampar bolak-balik di kedua pipinya.

Ya, Ratu Asura memang sangat bersedih saat ia tahu Shin tewas di tangan Bathory, salah satu ras vampir yang tergabung ke dalam tubuh Ranggalawe.

Tapi … Ratu Asura baru menyadari, ratapannya ketika Shin dan Hayama tewas adalah berbeda jauh adanya.

Lalu anak ini, si Theo ini … hanya demi gadis yang yang dicintainya, ia rela mengorbankan nyawanya sendiri.

“Aku tidak ingin memiliki penyesalan yang sama.”

Kalimat Theo itu berulang kali terngiang di otak Rani Asura. Kali ini Rani Asura berada dalam dua pilihan sulit.

Membiarkan Theo mati dengan mencuatnya kemarahan seluruh penduduk Kerajaan Majapahit, karena jika dipikir hal ini tidaklah masuk akal bagi seorang pengkhianat tiada tanding untuk memiliki kesempatan hidup yang mungkin tidaklah adil bagi seorang pahlawan besar seperti Theo.

Rakai Panangkaran IV -raja dari Kerajaan Medang Kamulan- saja menginginkan Ryan dihukum mati lantaran pernah menculik Rakai Teguh Dharmawangsa, saudara angkatnya, sekaligus wadah seekor Beast Divine Spirit -Hydra- yang nyaris terbunuh di tangan Ranggalawe.

Dan jika Ryan dibiarkan mati, itu akan menjadi hal yang berat bagi Theo yang telah Ratu Asura anggap seperti sambungan nafasnya sendiri untuk tetap berdiri tegak memimpin Kerajaan Majapahit.

Rani Aaura tak rela jika Theo mengalami penyesalan seumur hidup yang sama seperti Shin. Bahkan ketika wanita paruh baya itu mengetahui persepsi Shin akan alur hidupnya sendiri, Rani Asura menjadi terenyuh yang teramat sangat. Karena sesungguhnya, ada penyesalan yang Rani Asura kubur dalam-dalam di memorinya.

Rani Asura tidak perlu lagi menerjemahkan kalimat-kalimat Theo ke dalam kalimat yang lebih sederhana. Karena dari air mukanya, dapat Rani Asura terka dengan jelas, bahwasanya Theo tidak pernah main-main dengan keputusannya. Bukan maksud juga untuk berkompilasi, Rani Asura tahu semuanya telah dipikir oleh Theo dengan akal sehatnya sendiri.

Lantas, benarkah akan seperti itu jadinya kelak?

Benarkah Agnia akan tersenyum lebar kala dia mengetahui Ryan memiliki kesempatan hidup?

Dan Theo? Tetes air mata tanpa sadar mengalir di kedua pipi Rani Asura yang halus. Pun, Theo telah menggenggam kedua tangannya dengan lembut.

“Kalau aku mati, naga di dalam tubuhku juga akan mati. Otomatis perdamaian dunia akan semakin nyata adanya. Dunia akan kembali damai karena Ranggalawe tidak berhasil melaksanakan misinya. Ini kesempatan yang baik, Tante. Kematianku akan membawa perdamaian untuk semuanya."

Rani Asura masih bimbang untuk memutuskan perihal tersulit yang dihadapinya selama dia menjadi seorang maharani.

Tapi bagaimanapun juga, Theo tidak akan berhenti memohon begitu saja. “Yang Mulia Bhatari Wijaya Nimas Ayu Asura, tolong periksa jantung saya apakah cocok untuk Ryan atau tidak.” Sebuah kata langka terlontar begitu saja dari mulut Theo.

Rani Asura tahu betul, belum pernah Theo se-formal itu memanggilnya. Ia sungguh mengerti apa maksudnya, Theo menginginkannya untuk segera menentukan sebuah pilihan karena ia adalah seorang maharani.

Selama ini, Theo memanggilnya tante atau panggilan kurang ajar lainnya, karena ada ikatan yang mereka miliki, tak akan tergantikan.

Karenanya, Rani Asura membiarkan Theo memanggilnya seperti itu. Dan kali ini, Theo memohon kepadanya sebagai seorang penyihir yang ingin mengorbankan dirinya untuk tanah tumpah darahnya. Untuk kedamaian dunia yang berjuta-juta orang menginginkannya.

Ya, semuanya makin masuk akal.

Tapi, ya ampun! Mengapa anak ini yang lagi-lagi harus menjadi tumbal kebengisan dunia penyihir?

Seorang anak yang telah susah payah berjuang agar dirinya bisa diterima di tengah-tengah rakyat Kerajaan Majapahit karena ia bukanlah seorang anak normal seperti yang lainnya.

Seorang anak yang mati-matian ingin membawa sahabat karibnya untuk pulang kembali ke kerajaan tercinta.

Seorang anak yang begitu percaya diri bahwa kelak dia mampu untuk meraih gelar Bhre Wijaya selanjutnya, gelar yang pastinya diidam-idamkan olehnya.

Lalu apakah perjuangannya akan sia-sia begitu saja?

Dengan kalimat apalagi Rani Asura harus berkelit

Sejurus, Ratu Asura menatap lekat-lekat mata azure yang berpijar membara menunjukkan bahwa keputusannya sudah bulat dan ia butuh ketegasan dari Rani Asura.

Sedetik, Rani Asura mengatupkan matanya rapat-rapat.

“Seorang lelaki sejati tidak pernah menarik kata-katanya.”

Theodore Wirabhumi … siapa yang bisa bertahan dengan otak batok kelapanya yang kerasnya tak terperi?

Semua orang selalu angkat tangan ketika kata-kata itu terlontar dari Si Penyihir Putih. Mungkin kalian bertanya-tanya, kenapa Theo dijuluki Penyihir Putih?

Itu karena …

“Saya tidak akan mati sia-sia, Rani Asura. Semua orang akan hidup dalam kedamaian, Ryan berhasil saya selamatkan. Dan Agnia akan tersenyum seperti sedia kala. Dan Yang Mulia Maharani tidak perlu repot lagi memarahi saya karena sikap saya yang terkadang kurang ajar terhadap Anda.”

Pertahanannya tumbang, Ranj Asura langsung memeluk Theo erat-erat. Wanita itu terisak-isak. Matanya terpejam, namun begitu banyak air yang mengalir dari sana.

Theo tersenyum getir, semoga keputusannya diterima oleh Rani Asura. Ia pun membalas pelukan Ratu Asura, tapi malah menambah ratapan Sang Rani. Bahunya sampai naik-turun.

“Maafkan aku … maafkan aku, Theo ….” Ranj Asura berkata lirih sembari tersedu-sedu.

“Ya. Kau tidak akan salah memilih. Trah Amurwabhumi adalah trah hebat, kau pasti tidak akan menyesal mempertahankannya.”

Theo melihat lurus ke masa depan. Mungkin masa depan adalah hal yang tidak tembus pandang dari matanya karena dia tidak bisa menebak apa yang akan terjadi di sana. Theo berpikir kalau Ryan hidup pastilah ia akan menikah dengan Agnia. Lantas, trah Amurwabhumi yang baru akan terbentuk.

Betapa Theo ingin melihat langsung hal tersebut terjadi.

“Di mata Agnia, aku memang tidak sebanding dengan Ryan. Tapi, Tante, aku ingin mengutarakan perasaanku yang sebenarnya pada Agnia. Selama ini aku selalu besar mulut, tapi tidak pernah berhasil membuktikan kata-kataku. Karenanya, aku harus menepati janjiku dulu. Yah, meskipun dia tidak akan pernah membalasnya, sih.”

Jadi karena itu? Karena Theodore Wirabhumi adalah orang yang selalu menepati janjinya.

Mati pun dia rela.

Rani Asura sudah cukup tahu karena Theo pernah membuktikannya ketika bertarung dengannya dulu.

Sembari mengusap-usap punggung Ranj Asura, Theo memintanya untuk memeriksa ulang kasus pembantaian trah Amurwabhumi dulu. Hal itu bisa menjadi bukti mengapa trah Amurwabhumi pantas untuk dipertahankan.

Theo berharap Ratu Asura dapat menyelesaikan perkara rumit tersebut.

Rani Asura mengangguk pelan, semuanya lekas ia runtut dan pahami reka kejadiannya. Kalau memang begitu adanya, Rani Asura akan melindungi Ryan dengan kekuatan politiknya.

Ya, mungkin saja sehabis ini Ryan akan menjadi mangsa musuh-musuhnya terdahulu.

Theo menitipkan semuanya pada Rani Asura. Ia meminta agar Sang Rani menjaga jantungnya yang nanti akan tertanam di tubuh Ryan. Karena dengan itu Theo bisa menjaga dua orang yang sangat berarti baginya sekaligus.

“Mereka berdua pasti akan bahagia. Tenang saja, Tante. Semua ini akan cepat berlalu, seperti pasir yang bertebaran ditiup angin. Semuanya akan menghilang begitu saja. Keputusanmu tidaklah salah, Tante.”

Rani Asura lantas memanggil Ravalda yang kebetulan melintas di depan koridor ruangan Theo.

Sembari menyeka air matanya, Rani Asura melenggang ke arah Ravalda. Ia meminta Ravalda untuk memeriksa jantung Theo apakah cocok dengan Ryan.

Ravalda jelas saja terkesiap dan hendak berargumen. Sontak Rani Asura langsung mengiterupsi dengan lontaran khasnya yang tegas, tak ingin mendapatkan bantahan atas keputusannya. Ravalda pun langsung menuruti.

Dalam hati sebenarnya Rani Asura berdoa, semoga saja jantung Theo tidak cocok ditransplan untuk Ryan. Dalam hati Rani Asura bergumam pula, bahwa perihal ini tidak akan lipur begitu saja dari memorinya. Karena Theo sangatlah nirmala, ia begitu mirip dengan mendiang ayahnya, Bhre Wijaya IV. Perjuangan yang sama, akhir cerita cinta yang sama.

Rani Asura memandang ke arah luar jendela di koridor utama. Hujan rintik-rintik membasahi bumi, segala kuntum mengatup melindungi diri dari terpaan angin. Daun-daun layu meranggas meninggalkan rantingnya. Dan semua persis seperti waktu terakhir kali Rani Asura menunggu kabar dari Shin sembari memandang derasnya hujan yang tumpah membasahi desa yang dipimpinnya.

“Kau tidak tahu, Shin. Waktu itu … waktu itu aku bersedia menjadi seorang teman hidupmu. Tapi kau malah pergi dan tak pernah kembali,” ungkap Rani Asura lirih.

Dan itu adalah sebuah penyesalan yang Rani Asura sembunyikan, menimbulkan luka yang cukup dalam di hatinya.
 
Terakhir diubah:
***
Agnia larut dalam eksperimennya. Beberapa kali ramuan yang gadis itu racik mengalami kegagalan, sehingga harus mengulang takaran yang harus dijadikan satu senyawa yang sepadan, dan tidak kontradiktif.

Agnia tidak mengerti mengapa kerjaannya jadi kelut-melut seperti ini. Barangkali karena ada sesuatu hal yang menganggunya sejak pagi. Mungkin saja Ryan telah menghembuskan nafas terakhirnya beberapa saat yang lalu. Dan tentunya Agnia berusaha bersikap setenang mungkin. Ia tak mau pikirannya kalut-malut hingga berakibat fatal pada ramuannya.

Tapi, entah mengapa Agnia tidak terlalu memusingkan perihal meninggalnya Ryan. Ya, Ryan adalah cinta pertamanya sekaligus teman satu timnya. Ya, Ryan juga cinta pertamanya sekaligus orang yang dapat ia selamatkan. Agnia cukup berhasil untuk bersikap se-positif mungkin dengan intuisinya sendiri. Ia berpikir kalau Ryan telah meninggal, barulah ia akan berkabung 3 hari setelahnya karena ia tidak dapat meninggalkan tugas ini begitu saja.

Di sisi lain, Agnia juga harus memikirkan Theo, sahabat karibnya. Karena setidaknya satu nyawa mati, tapi yang lainnya tetap selamat.

Agnia langsung menepis jauh pikiran buruk tersebut, dan melanjutkan pekerjaannya. Ia hendak mengambil salah satu buku di tumpukan tepat di atas meja-tempat ia bereksperimen, sedikit ricuh dan terburu-buru mengambil buku yang ia cari, sampai ...

BRAK!!!

Semua tumpukan buku jatuh berserakan ke lantai. Agnia menggerutu dan langsung membereskan tumpukan buku dengan mengambilnya satu per satu. Alih-alih satu buku terselip muncul di hadapannya, Agnia tidak tahu menahu akan buku tersebut karena seingatnya, ia sama sekali tak pernah menyentuhnya.

Barangkali terselip karena kemarin Agnja buru-buru mengambilnya dari lemari di ruang kerja tempat Rani Asura menyimpan buku-buku obat favoritnya.

Agnia menggenggamnya perlahan-lahan dan membalikkannya. Niatnya melihat judul apa yang terpampang, “Segenggam cinta dariku, Abimanyu Bamantara.”. Begitulah yang tersirat di sampul depan buku tersebut.

Mata Agnia menyipit. “Abimanyu Bamantara? Bukankah dia adalah mendiang Bhre Wijaya IV? Hm! Ini pasti dokumen sangat rahasia. Harus cepat kukembalikan sebelum Bibi tahu.”

Namun, entah mengapa langkah Agnia terhenti ketika halaman pertama sedikit terbuka. Agnia menyingkapnya perlahan dan membaca bahasa aneh yang tergurat di dalamnya.

Agnia mengejanya terbelit-belit, bahasa yang sangat aneh namun memiliki arti yang indah. "Mawar Putih Majapahit? Aku baru mendengarnya.”

Kemudian ...

“Kau telah jatuh. Dan aku tak mampu untuk menggapainya. Setiap langkah aku mengharapkanmu. Setiap ingatan yang membawamu kepada waktu sekarang. Kau tidak akan pernah meninggalkan ingatanku. Tidak di satu waktu. Tidak untuk selamanya.”

Rasa penasaran Agnia jelas saja langsung mencuat, buku apakah ini?

Sejurus kemudian, Agnia membuka halaman pertama dan mulai membacanya dengan dada berdebar.
Dan dari sinilah, sebuah kenyataan mulai tersingkap dari tabir yang selalu menutupinya sekian tahun lamanya.

***

“Rani Asura, hasilnya sudah keluar.” Ravalda berkata pelan kepada Rani Asura.

Degub jantung Rani Asura berdetak cepat. “Ba-bagaimana?”

“Jantung Theo cocok di transplan untuk Ryan.”

“Begitu?”

“Ehm … Rani Asura, apa Anda benar-benar akan melakukan operasi ini?” Ravalda bertanya, ragu.

“Tidak. Kau yang memimpin operasi ini, Ravalda. Tim dokter sudah siap, kan?”

“Apa? Rani Asura … mengapa aku yang-"

“Kau yang memimpin jalannya operasi, Ravalda. Titik.”

“Rani Asura ….”

“Lebih cepat, lebih baik. Lagipula semuanya sudah siap, kan, Ravalda? Tak perlu menunggu Agnia pulang.”

“Ta-tapi … bukankah lebih baik jika Anda yang memimpin, Rani Asura? Karena kemampuan saya tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan Anda.”

Rani Asura terlihat berpikir sejenak, lalu berjalan perlahan meninggalkan Ravalda. Lantas berbisik, tak mampu berbicara lantang. Seolah ada sesuatu yang menghalangi tenggorokannya untuk mengeluarkan suara. “Aku tak mampu melakukannya.”

Sedetik, Rani Asura melangkahkan kaki jenjangnya.

Gelap koridor rumah sakit membuat kian gelap relung hatinya. Hujan pun tak pelak menambah suramnya hari nan pilu. Hari di mana semua akan berubah kelabu seperti awan nimbus yang sebentar lagi akan datang yang niscaya tak henti-hentinya menumpahkan air hujan di dataran gersang.

Dan Ravalda hanya bisa menatap sedih Sang Rani-nya. Enggan berargumen, karena ia rasa hal itu takkan berguna.

***

Agnia tercenung memandang sebuah buku yang ia genggam di tangannya. “Mawar Putih Majapahit? Apakah dia seorang penyihir?” dengan tangan gemetar, Agnia membuka halaman berikutnya. “I-ini siapa? Cantiknya!”

Di sana, terpampang foto seorang penyihir yang rambut putihnya tergerai indah memanjang hingga betis berpose menyamping sembari tersenyum simpul. Wanita itu memakai gaun berwarna putih susu dengan permata menghiasi dahi. Gaun yang dikenakan memanjang hingga bagian paha, selebihnya ia memakai kaus hitam ketat hingga meraih atas paha. Dari bagian kaki, ia memakai high heels kristal. Anting berbentuk mawar putih berkilauan di telinganya. Ia terlihat berkharisma, tapi sisi feminimnya tetap ada.

“Dia pasti kekasih Raja Abimanyu. Seleranya begitu tinggi.” Agnia tersenyum. Wanita ini mengingatkannya pada Rani Asura, bibinya sendiri. “Sepertinya dia sangat menyukai bunga mawar,” gumamnya.

Agnia memperhatikan lagi foto itu. Di sekitar pinggangnya dililit kain dan terdapat katana di bagian kiri. Pastilah ia mahir menggunakan katana layaknya Ryan.

Lalu, Agnia mengarahkan pandangannya pada tulisan yang tertera di bawah foto tersebut, ‘Ratna, Sang Mawar Putih Majapahit’.

“Ratna, Sang Mawar Putih Majapahit. Julukan yang indah. Tapi aku tidak pernah mendengarnya. Dia pasti seorang penyihir yang hebat sampai mendapatkan julukan indah seperti itu,” ujar Agnia terkagum-kagum.

Yang kemudian, Agnia melanjutkan membuka halaman berikutnya. Ia sebenarnya sedikit ragu, tidak patut untuk membaca buku seseorang yang ia tidak kenal. Apalagi buku ini sepertinya buku milik Bhre Wijaya IV. Bisa jadi Agnia telah lancang, tetapi nalurinya mengatakan untuk menelusuri buku itu lebih dalam.

Agnia mematung. Ia menemukan bunga Mawar Putih yang terselip di sana.

Anehnya, bunga mawar itu kelihatan masih segar dan tak menghitam, walau bentuknya sudah tidak karuan lantaran sekian lamanya terselip di buku yang penuh debu.

“Hmm .... aneh. Kenapa dia tidak layu?” Agnia menciumi bunga mawar tersebut. “Harumnya masih terasa, sepertinya jenis dari Rose Canina. Bukankah itu termasuk bunga langka di sini?”

Agnia menciuminya sekali lagi. Entahlah. Perasaannya menjadi tentram kala harum bunga mawar menusuk-nusuk hidung. Mawar itu tidak berduri pula. Mungkin durinya telah dipangkas dari tangkai.

Agnia lalu menuju ke halaman berikutnya. Barulah di sana Agnia menemukan deretan tulisan yang penuh dengan teka-teki. Ia tak mengerti apakah buku ini semacam diary atau bukan.

Karena kalaupun buku diary, tak ada tanggal dan hari yang tertera.

Lantas, Agnia membacanya perlahan agar tidak satupun kata terlewat dari pandangannya.

Manisku…

Kata orang kau seperti buah durian. Ada juga yang bilang kau seperti cabai merah dari Alengka yang pedasnya minta ampun.

Tapi bagiku, kau adalah bunga mawar putih yang tumbuh di padang sabana Jonggring Saloka. Yang orang-orang beranggapan hanya ada ilalang di sana.

Kaulah wanita yang paling indah sejak dunia tercipta.
Aku yakin itu, dan tak bisa aku mengelaknya.

Agnia tertawa geli. Bahasa orang kasmaran memang terdengar mengerikan. Tutur kata yang elok dan semanis madu, tertulis cabai merah dan buah durian di dalamnya.

Durian dan cabai merah keduanya memiliki kesamaan … sama-sama terlihat buruk di mata orang yang tak pernah tahu akan esensi dua buah tersebut.

Lantas mengapa penjabarannya begitu jauh berbeda?

Padahal mereka itu tak serupa dan tak pula sama.

Agnia mengerti.

Mungkin beginilah orang yang sedang di mabuk kepayang oleh asmara. Bahasanya klise dan terkesan memaksa. Ya, barangkali isi hati Sang Raja yang tertera di sini. Mungkin juga ada sesuatu hal yang membuatnya menulis seperti itu.

Dan Ratna -Sang Mawar Putih Majapahit- ini adalah kekasihnya, dan bisa jadi telah menjadi istrinya sekarang.

Kita akan menghadapi semua bersama-sama. Itulah yang kau ucap berulang kali di telingaku.

Perang Paregreg akan segera dimulai. Semuanya luluh lantak. Rakyat Majapahit banyak yang terluka. Obat-obatan habis tak ada yang tersisa.

Tapi kamu … kamu cintaku, aku tahu kau memiliki beribu-ribu kekuatan yang masih kau pendam.

Dengan Karimunjawi, kau tumbuhkan berjuta-juta Mawar Putih yang bisa menyembuhkan luka rakyat kita.
Meski kau tak tahu bagaimana cara meraciknya menjadi obat … ya, biarkan Kak Asura yang melakukannya.

Agnia jelas saja terhenyak. Bunga ajaib itu dulu sangat terkenal karena penemuan obat mujarab itu pada saat perang Paregreg terjadi sangat berguna.

Tapi untuk perihal Mawar Putih yang merupakan bahan utama obat mujarab itu, tak pernah singgah di telinga Agnia. Selama Agnia belajar ilmu medis pada Rani Asura, tak pernah sekalipun Sang Rani menceritakan padanya perihal tentang Mawar Putih yang disebutkan di buku.

Kalau memang pernah ada berjuta mawar putih di Kerajaan Majapahit, mengapa dari kecil sampai sekarang Agnia tak pernah melihatnya?

Ke manakah bunga ajaib itu sekarang?

Dan yang lebih penting, ke manakah Sang Mawar Putih?

Lantas muncullah seberkas sinar di pikirannya.

“Mu-mungkinkah mawar ini yang disebutkan di dalam buku?” Agnia memperhatikan bunga mawar itu dengan teliti. Matanya mulai berair takjub dengan apa yang dia temukan. Agnia kembali membaca paragraf berikutnya.

Lalu, karena itu mereka menjulukimu Sang Mawar Putih Majapahit. Dulu, mereka mengenalmu sebagai seorang wanita albino dan bermulut pedas.
Tapi mereka tak tahu kalau kau adalah orang yang sama.

Katamu, kau tak ingin memberitahu mereka identitasmu yang sebenarnya. Tapi hanya aku, Kak Shin, Kak Asura, dan anggota timku saja yang tahu tentangmu, Ratna.

Oh ya, tak lupa Freya Pambayun yang sempat akan kunikahi dulu. Namun, kau mengacaukan pernikahanku dengannya. Hahaha. Kau adalah wanita ternakal yang pernah aku temui, Ratna.

Tapi sungguh kasihku, aku sangat mencintaimu, sebelum aku tahu kau adalah seorang peri, aku sudah mencintaimu. Bukan karena kau adalah seorang makhluk perkasa melebihi manusia. Karena belum pernah aku melihat rambut indah seperti yang kau miliki. Kau yang keras kepala, kau yang cerewet bukan main.

Maafkan aku karena pernah meragukan cintamu, cinta kita. Aku tak menyangka kau membatalkan perjalanan terakhirmu ke Saptaprala. Persinggahan terakhir trahmu, orang-orang terlupakan yang menepi ke selatan. Mengikat jiwamu kepadaku. Menjadikanmu tak abadi lagi seperti trahmu.

Pada akhirnya, aku berhasil mendapatkan satu Mawar Putih yang tersisa.Kupikir aku tidak bisa bertemu lagi denganmu. Jadi aku curi satu tangkai ketika banyak orang yang membutuhkannya. Oleh karenanya kuharap ia bisa berguna nanti.
Mungkin untuk anak kita kelak kalau dia sakit.

Entah mengapa, aku sudah memikirkan memiliki anak, Ratna. Padahal menikah saja kita belum .Atau juga untuk seorang penyihir kuat yang sedang diambang kematian .Karena kita terlalu banyak kehilangan penyihir-penyihir muda dan tangguh.

Aku sangat terpukul kehilangan salah satu anggota terbaikku, Haikal Jayanaga Amurwabhumi, Ratna. Dia mati muda, padahal aku rasa dia bisa menjadi penyihir yang hebat nantinya.

Karena dia adalah keturunan trah terhebat di kerajaan kita tersayang ini.

Amurwabhumi …?!
Agnia terbelalak kaget. Tubuhnya gemetaran, pandangan matanya tak ia lepas sedetik pun dari kalimat terakhir paragraf yang baru saja dibacanya.

Mati muda …?! Agnia langsung teringat pada satu sosok yang selalu ada di mimpi-mimpi malamnya. Dambaan hatinya, cinta matinya, yang selama ini ia dan Theo perjuangkan agar bisa kembali bersenda gurau bersama.

Dan kini, Ryan telah kembali, namun dalam keadaan yang sama sekali tak Agnia harapkan terjadi.

Apa harus secepat ini Ryan meninggalkannya?

Agnia tak menyangka perjuangan akan sia-sia. Agnia memejamkan mata. Kali ini ia tahan sebisa mungkin air matanya agar tidak tumpah. Kemudian, ia menyeka air mata yang sudah terlanjur keluar. Kembali membaca halaman itu, lalu kalimat-kalimat ini menarik perhatiannya.

Oleh karenanya kuharap dia bisa berguna nanti. Atau bisa jadi untuk seorang penyihir kuat yang sedang diambang kematian.

“Mu-mungkinkah?” Agnia pun tersenyum lebar.

Buku ini seperti mukjizat.

Agnia merasa memang telah ditakdirkan untuk menemukan buku tersebut.

Jikalau benar adanya bahwa Mawar Putih inilah yang menyembuhkan luka para penyihir kala perang Paregreg tempo dulu, mungkin saja ia bisa menyembuhkan luka di kaki Theo. Dan tak menutup kemungkinan pula bisa menyembuhkan jantung Ryan yang rusak.

Agnia nyaris kegirangan. “Apakah aku bisa menyelamatkan mereka berdua?” tanyanya pada diri sendiri. Kemudian, Agnia menggelengkan kepalanya. “Tidak! Aku pasti bisa! Aku sudah berjanji pada diriku sendiri sejak lama!” serunya, lantang.

Ya, semoga saja begitu. Karena rasa-rasanya meracik obat dari tumbuhan sudah sangat sering Agnia lakukan. Ia berharap eksperimennya akan berhasil.

Kalau begitu, itu artinya Agnia tidak apa-apa kan mengambil bunga itu untuk ramuan obatnya, kan?

Karena obat itu untuk dua orang penyihir yang masih terbilang muda, namun begitu hebat di kalangannya.

Agnia pun langsung kembali bereksperimen .Lantaran waktu berlalu sangat cepat dan enggan untuk berhenti sejenak. Tak ada yang lain yang ia pikirkan selain dua orang rekannya. Mereka yang sangat berarti bagi dirinya. Mereka berdua yang mengisi relung hatinya. Agnia tak mau kehilangan salah satu dari mereka.
Dan semoga saja Agnia tidak dianggap pencuri oleh Rani Asura karena tak sengaja mengambil arsip rahasia di rak bukunya.

Agnia tak lagi membaca buku itu. Hal tersebut langsung terlupakan olehnya. Meskipun sebenarnya masih banyak misteri yang belum terkuak-yang tersirat di dalam sana.

***

Theo memandang langit-langit di ruangannya. Wajah pemuda itu begitu lesu, menyelimuti ke mana pun alam pikirannya pergi. Ia tak begitu yakin apakah hal yang dilakukannya ini benar atau salah.

Akankah Agnia kembali tersenyum?

Akankah rakyat Kerajaan Majapahit menerima dengan mudah kembalinya Ryan kelak?

Dan yang lebih Theo takutkan, akankah dunia berubah menjadi damai dan tentram?

Semua itu masih menghantuinya hingga saat ini.

Di sisi lain, Theo tetap yakin hanya inilah jalan yang tepat. Jalan keluar satu-satunya yang ia ambil, padahal masih banyak hal yang ingin ia lakukan.

Theo mengatupkan matanya rapat-rapat.

Kelopak mawar berterbangan ke sana-ke mari, lautan lepas membentang hingga batas cakrawala. Burung camar menari mencari ikan segar di atasnya. Ombak bergulung-berlomba menuju pesisir yang terhubung dengan sungai kecil dibalik lembah yang berhalimun. Semua pemandangan itu masih terekam di otaknya.

Theo berdoa dalam hati. Semoga saja Sang Mawar Putih adalah benar-benar seorang malaikat, sehingga ia bisa tinggal di tempat asri nan elok itu. Tempat yang tak memiliki nama. Atau memang dia bernama, namun Theo tak mengetahui namanya. Ya, cukup di sana. Benar, cukup di sana ia tinggal. Ia tidak mau lekas ke akhirat.

“Hei, kadal!” sapa Theo dari alam bawah sadarnya ke iblis yang tersegel di perutnya.

Cukup lama Theo tak berbincang-bincang dengan Beast Divine Spirit paling angkuh di antara kedelapan teman sesama Binatang Suci.

“Grrrr! Ada apa, serangga? Mengganggu tidurku saja!” umpat Naga Besukih, seraya membuka sebelah mata.

Theo tertawa kecil. “Huh, dasar kadal pemalas!”

“Sialan! Kau yang menyebabkan aku jadi begini. Kalau aku baik-baik saja, sudah kucincang kau sejak lama! Lagipula harusnya kau berterima kasih padaku. Jika tak ada aku, kau pasti langsung modar ketika Panji menyerangmu dengan Annihilate!”

“Jadi kau kehilangan kekuatanmu, ya? Ternyata kau sangat lemah, hehehe.” Theo terkekeh-kekeh.

Naga Besukih hanya mendengus kesal, malas menanggapi. Kekuatan Annihilate menggerogoti tubuhnya pula. Hal ini terjadi lantaran ia mencegah efek Api Hitam itu agar tidak menjalar ke organ vital Theo lainnya. Baru kali ini Naga Besukih bekerja keras membantu Theo agar tetap hidup, tapi anak itu malah memilih mati. Sungguh terlalu.

Theo diam sejenak, lalu kembali berbicara, “Hei.”

“Apa?”

“Kalau kau mati nanti, kau akan ke mana?” tanya Theo.

“Aku? Untuk apa kau tahu?”

“Dasar sombong. Aku hanya ingin bertanya!”

Naga Besukih kembali meringkuk, hendak tidur. “Aku … aku hanya ingin kembali ke Tuanku saja. Aku merindukannya.”

“Eh? Tuanmu? Maksudmu Panji?”

“Jangan bercanda, bocah! Tuanku bukan sembarang orang. Dia paling istimewa di antara yang istimewa. Sampai mati pun aku tak sudi tunduk pada trah Amurwabhumi tak tahu diuntung itu!”

“Bukankah Panji yang mengendalikanmu pada saat kau menyerang Kerajaan Majapahit 20 tahun yang lalu? Kukira dia Tuanmu. Aku tak mengerti.”

“Dia mengendalikanku dengan Illusion Magic Art terhebatnya. Sudah! Aku ingin tidur. Berhenti mengajakku berbicara!”

“Cih!” cibir Theo. Namun tiba-tiba dia tertawa terpingkal. “Tak kusangka kau ini hewan peliharaan juga, kadal. Seperti burung perkutut.”

“Grrrrhhhhh!!!”

Tiba-tiba …

“Anu, halo, Theo.”

Theo segera mendongakkan kepalanya ke arah sumber suara. Ternyata itu Yami yang berdiri di tengah pintu ruangan yang terbuka.

“Yami? Masuklah,” ujar Theo, sembari tersenyum.

Yami melangkah ke arahnya.

Theo memandang Yami dengan saksama. Entah penglihatannya yang salah apa bukan, bisa dilihat olehnya sebongkah ekspresi dari air muka Yami yang selama ini sulit untuk dipersepsikan secara benar. Wajahnya begitu sendu, begitu yang Theo lihat. Mungkin saja ia sudah tahu perihal keputusan bulat Theo mendonorkan jantungnya untuk Ryan.

“Jadi, kau sudah tahu, Yami?” tanya Theo.

Yami mengangguk pelan. “Ya, Kak Ravalda yang memberitahuku.”

“Yang lain?” tanya Theo lagi.

“Sepertinya kabar ini belum menyebar luas,” jawab Yami.

“Baguslah!” tukas Theo acuh tak acuh. Ia memang tidak ingin perihal ini langsung menyebar dalam waktu 12 jam. Bisa-bisa ada yang mengganggu jalannya operasi nanti.

Theo melihat ke arah jam dinding. Ia masih memiliki banyak waktu. Namun, ada sesuatu yang ia ingin lakukan sebelum waktu itu tiba.

“Yami, aku ingin meminta tolong padamu.”

“Apa?”

“Aku ingin ke Kompleks Trowulan sebentar. Kau mau mengantarkanku ke sana?”

Yami terlihat berpikir. Permintaan terakhir Theo tidak sepatutnya ia tolak. “Baiklah.” Yami melangkahkan kakinya ke arah jendela. “Amethyst!” dan seekor burung elang jawa muncul dari sihir yang dikeluarkan olehnya.

Yami memutuskan memilih jalan udara karena menurutnya lebih baik ketimbang jalan darat, meskipun tempatnya tak terlalu jauh dari rumah sakit.

***

“Hmm … segarnya!” Theo memejamkan matanya lekat-lekat, menghirup udara yang sebenarnya kian dingin menyengat.

Yami hanya membisu, sebenarnya ia ingin mengatakan bahwa udara terlalu dingin untuk dinikmati. Tapi apa boleh buat, Theo terlalu keras kepala untuk dinasihati.

Mereka dalam waktu singkat tiba di Kompleks Trowulan. Tak lupa Amethyst membawa kursi roda yang telah ia benarkan bentuknya.

Theo pun duduk di atasnya sembari memandangi pemandangan sekitar. Lalu, pandangannya tertuju pada pohon mawar yang letaknya tak jauh dari sana. Bunganya berserakan di tanah karena terpaan angin yang mengganas. Ia hampir gundul tak berbunga. Layu seperti seorang gadis yang Theo cinta sejak lama. Terlalu lama ia layu hingga tak menampakkan indah pesonanya. Terlalu lama ia sembunyikan senyuman manis di bibirnya.

“Theo, pohon mawar ini begitu rapuh dan layu. Mengapa kau begitu senang memandangnya?” Tanya Yami.

“Karena pohon mawar ini mengingatkan aku akan dia,” jawab Theo sembari tersenyum simpul. “Karena warnanya merah … semerah rambutnya.”

Yami terperangah.

Agnia. Agnia Samara Tunggadewi kan yang dia maksud?

Perasaan Theo pada Agnia sudah tak asing bagi Yami. Waktu itu, Yami tak tahu apakah yang dikatakannya sewaktu dulu pada Agnia adalah hal yang tepat atau tidak. Ia berbuat seperti itu pada dasarnya untuk kebaikan Theo. Janji seumur hidupnya pada Agnia yang membuatnya hidup dalam kutukan tiada akhir. Bagi Yami, itu adalah beban yang sangat berat untuk Theo pikul sendiri.

“Tapi aku tak pernah berharap dia membalas perasaanku,” lanjut Theo.

Pada dasarnya kejujuran adalah hal rumit yang baik untuk dikatakan, tapi kenyataan yang ada … terlalu menyakitkan untuk diterima. Ada sebongkah perasaan bersalah yang Yami pendam selama ini.

Kalau saja waktu itu Yami tidak mengatakan perasaan Theo yang sebenarnya pada Agnia, mungkin gadis itu tak akan berbohong pada Theo. Sebab, hanya rasa sakit hati yang Theo dapat.

Dan kalau saja Yami tidak menuruti Theo untuk menjenguk Ryan, tentunya Theo tidak akan pernah tahu Ryan dalam keadaan sekarat. Pun Theo tidak akan pernah tahu bahwa Agnia begitu sengsara ketika gadis itu harus merelakan cinta pertamanya itu pergi untuk selamanya.

Dan pada akhirnya … Theo tidak akan mendonorkan jantungnya untuk sahabat sekaligus rival sejatinya.

Tapi apa mau dikata, Theo begitu keras kepala. Tak peduli apa kata orang nantinya, baginya hidup adalah untuk melindungi orang-orang berharga. Lantaran tanpa hal itu ia serasa mati tanpa nama.

Entah mengapa Yami menjadi se-emosional ini. Sejak berteman dengan Theo, lambat laun ia menjadi mengerti bagaimana ekspresi-ekspresi yang sepatutnya ia keluarkan saat senang, sedih, jengkel, dan sebagainya.

Artinya, Yami jadi mengerti ekspresi apa yang harus ia ukir di saat-saat seperti ini.

Tapi, Yami terlampau malu untuk menunjukkannya, karena itu i kemudian menjauh dari Theo duduk di bangku yang telah tersedia di sana.

Yami mengeluarkan buku sketsa yang biasa ia bawa ke mana pun ia pergi. Sedetik, Yanu pandangi Theo yang berada di bawah pohon mawar, yang sedang mengulurkan tangan kanan mengambil kelopak-kelopak bunga mawar yang berguguran di tiup angin. Tak ada yang berhasil Theo genggam, tapi Theo tetap tersenyum riang.

Yami berniat mengabadikan pemandangan itu di bukunya. Lantas pemuda dengan manik coklat itu mulai menggerakkan kuas pada buku. Kendati pilu hatinya, Yami tetap menggambar dengan sepenuh hati.

“Ia memang layu dan rapuh, Yami. Tapi tak usah khawatir, sebentar lagi ia akan mekar. Lebih berseri dari waktu dulu. Kupu-kupu tak akan ragu lagi menari mengitarinya. Ia akan tersenyum seperti sedia kala. Rakyat Kerajaan Majapahit akan merawatnya karena sebenarnya ia terlalu indah untuk ditelantarkan,” tutur Theo ,yang sesekali memandangi Yami. Theo tidak tahu apakah Yami mendengar ocehannya atau tidak, Theo hanya sibuk memandang butiran-butiran air mata yang jatuh dari mata coklat kehitaman milik Yami disadari olehnya.

Theo tersenyum tipis. Rasanya ia ingin tertawa sekencang-kencangnya melihat raut muka Yami yang baru kali ini ia lihat.

Tapi Theo tak ingin menambah kesedihan seseorang yang telah ia anggap sebagai bagian dari Tim ART. Untuk itu, Theo berkelakar seperti biasanya, “Tak kusangka seperti itu mukamu yang seperti cumi bakar jika kau menangis, Yami,” candanya sembari cekikikan.

Theo berusaha sebisa mungkin untuk menahan tawa, tapi sedikit gagal walaupun tidak gagal total. Dalam hati, Theo merasa senang akhirnya Yami memiliki emosi seperti yang dimiliki manusia normal pada umumnya.

Dulu sekali, Yami tidak mengetahui ekspresi apa yang harus ia pasang ketika kakak seperguruan di padepokan meninggal karena sakit.

“Ekspresi seperti itulah yang harusnya kau keluarkan pada waktu dulu kakakmu meninggal, Yami,” ujar Theo lagi.

Namun, Yami tetap diam membisu. Fokus terhadap apa yang sedang ia gambar walaupun hatinya lara bukan main, air mata tetap mengalir di pipi pucatnya.

“Hmm … musim hujan akan tiba. Rasa-rasanya bumi seperti menangis mengiringi kepergianku. Hahahaha .”Theo kembali tertawa sumbang sambil mengusap belakang kepalanya.

Sedangkan Yami tetap larut dalam aktivitasnya. Pemuda itu menahan sebisa mungkin emosinya agar tidak mengganggu hasil proses menggambar. Sedikit lagi akan rampung, tinggal kelopak bunga-bunga mawar yang berjatuhan yang belum ia tuangkan. Sedikit lagi … sedikit lagi Yami bisa menumpahkan apa yang ia rasakan.

Theo kembali memejamkan mata.

Kali ini tinggal satu kelopak bunga mawar yang harus Yami gambar .Dan yang satu ini bisa Theo genggam.

“Tak perlu bersedih, Yami. Karena pada umumnya kematian adalah hal yang akan dialami oleh setiap manusia.”

Akhirnya gambar itu pun selesai .Yami buru-buru meletakkan buku di sampingnya. Ia tidak mau hasil kerjanya rusak terkena air mata yang kini mengalir deras tak terbendung, yang jatuh di atas buku.

Kini tak Yami tahan lagi perih hatinya. Pemuda itu menunduk dalam, giginya bergemeretuk hebat. luka akan kehilangan orang yang telah ia anggap sebagai teman terdekatnya, barulah ia mengerti sekarang.

Dan tak Yami sangka … seperti inilah rasanya. Jikalau seperti inilah kenyataannya, maka sesungguhnya Yami lebih memilih untuk tidak mempunyai emosi.

Theo menghampiri Yami dengan menggerakkan kursi rodanya, kemudian mengambil buku yang ada di sebelah Yami. Senyum cerah Theo terbit memandang bergantian ke arah hasil gambar dan wajah Yami. “Seperti biasa. Gambarmu selalu bagus.”

Namun, Yami makin menunduk. Tak mau melihat ekspresi apa yang sedang Theo pasang saat ini. Karena senyuman getir Theo benar-benar mengoyak-ngoyak hatinya.

“Aku ada satu permohonan lagi padamu, Yami.”

Yami menelan ludahvagar ia dapat mengeluarkan suara, meski ia masih terdengsr terisak. “Apa?”

“Aku titipkan Agnia dan Ryan padamu. Aku tak bisa melindungi mereka lagi nanti.”

Air mata Yami semakin deras mengalir. Ia mengangguk pelan.

Sedangkan Theo tak berusaha untuk menghibur Yami. “Thanks, Yami.” Hanya kalimat itu yang keluar dari mulutnya.

***

“Jadi begitu? Hampir saja aku kehilangan informasi. Aku harus cepat melaporkannya ke Panji.”

Theo dan Yami tidak menyadari bahwa ada yang memperhatikan pembicaraan mereka.

Gendrayana Eka Dewantara, si mata-mata Ranggalawe yang lihai dalam penyelidikan, terlihat bersembunyi di balik pepohonan rindang. Ia segera pergi dari area Kompleks Trowulan untuk menghadap Panji Amurwabhumi di markas rahasia Ranggalawe. Markas baru yang tersembunyi di perbatasan Kerajaan Kediri dan Kerajaan Singasari.

“Tuan Panji, aku mendapatkan kabar baik untukmu,” ucap seseorang yang tiba-tiba muncul di sebelah Panji.

Rupanya Panji sedang duduk manis memandang hutan di sekitarnya. “Oh, rupanya kau. Aku sedang menunggumu. Ada apa, Gendrayana?”

“Sepertinya Ryan sedang sekarat, tapi Theo akan menolongnya.”

“Maksudmu?” Panji menatap tajam bawahannya.

“Yang aku dengar dia mau mendonorkan jantungnya untuk Ryan.”

“Eh? Serius? Baik sekali bocah itu!” sarkas Panji. “Tapi kau tak salah dengar, kan?”

“Tidak, Tuan Panji. Karena aku sudah mencari informasi dari dua hari yang lalu. Aku terus memperhatikan tindak-tanduk Theodore Wirabhumi, tentunya aku pastikan tidak ada orang yang menyadari kehadiranku.”

“Bagus, kau tahu kapan operasi itu akan dilakukan?”

“Jam 3 malam, dan yang aku dengar lagi, Rani Asura tidak ikut dalam proses operasi."

“Hahaha. Ini kesempatan bagus. Baiklah, nanti kita akan menculik Theo. Dia tidak boleh mati. Jika dia mati, kesempatan kita untuk mengumpulkan Beast Divine Spirit akan lenyap begitu saja,” ucap Panji, seraya tersenyum puas.

“Hanya Theo saja? Bagaimana dengan Ryan?”

Panji menyeringai. “Bocah itu biarkan saja. Dia sekarat, tak lagi berguna bagiku. Yang penting sekarang aku bisa mendapatkan Naga Besukih,”

Inikah akhir dari perjalanan Theodore Wirabhumi?

Kalau operasi itu digagalkan, Ryan juga dalam bahaya.

Sepertinya Rani Asura terlalu bersedih hingga melupakan ancaman terbesar yang seperti menghilang, tak terdengar kabarnya. Semuanya akan menjadi sesuatu hal yang tak terduga. Panji masih menjadi ancaman paling berbahaya yang harus dikalahkan.
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd