Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Hak Asasi Money 21+ [On Going]

Ninggalin jejak dulu, seru cerita nya. Rodo nggateli tapi gayeng cuukkk
 
***
13
Kejutan

Hari ini, inti Rantai Hitam berkumpul dengan formasi lengkap.

Datangnya Electra Sugureta ke kostan, setelah dibuat sibuk seminggu full di kampus guna persiapkan acara PKKMB yang dijadikan satu dengan LKMM-TD bulan depan, membuat semua orang di dalam ruangan menahan nafas.

Bukannya mengeluh, tapi saat ini kehadiran Elle benar-benar tidak diharapkan semua orang. Termasuk Bara. Hari masih pagi, namun para singa betina berkumpul secara kebetulan di dalam satu frame. Dimulai dari Sarah, Dira, Novia, dan sekarang Elle. Tak ada yang melarang. Sebab, semua wanita punya kepentingan masing-masing. Tak jauh berbeda dengan Elle yang notabene penghuni kostan. Tapi ... ah, sudahlah! Bajingan!

Yang menjadi sorotan bukanlah hal remeh seperti itu. Akan tetapi, ruang tamu kostan Rantai Hitam semakin ramai, berikut ketegangan yang dirasa mengkhawatirkan. Bukan tanpa alasan. Sesaat setelah Bara selesai menyanyikan sebuah lagu, Elle berhambur memeluknya. Memberikan ciuman hangat di bibir si sableng.

Bara diam tak berkutik. Masih shock karena serangan mendadak gadis blesteran bule ini. Motif Elle melakukan ini masih menyimpan tanda tanya. Tak hanya di kepala Bara, tapi di kepala para batangan yang melongo melihat Queen of Rantai Hitam memberi ciuman untuk pemuda yang baru dikenalnya.

"Bara. Aku kangen banget sama kamu. Selamat ya kamu udah diterima di sini. Jadi kita bisa setiap hari ketemu." Elle mengalungkan kedua tangan di leher Bara. Si bule menatap penuh cinta kepada Bara yang hanya menatapnya datar.

PLAK!

Belum sempat Bara buka mulut, gamparan keras mendarat di pipi Bara. Tangan putih mulus milik Novia berhasil membuat si sableng oleng ke samping. Hampir saja Bara terjatuh dari tempat duduknya andai Elle tak sigap memeganginya.

Sejurus, tatapan tajam Elle tujukan kepada Novia. Seraya melepaskan pelukan pada Bara, Elle mendekati Novia yang tengah meremas tangannya. Mempersiapkan serangan untuk yang kedua kalinya.

"Sopankah Anda menampar Bara di saat saya sedang bicara dengannya, hei, Dosen Kampungan?" tanya Elle, dingin.

"Sopan nggak, saya yang lebih dulu bicara sama Bara, kamu tiba-tiba datang dan langsung menciumnya? Di mana otakmu, Bule Abal-Abal?" jawab Novia, tak kalah dingin.

"Dasar Mak Lampir. Ganjen banget Anda ini. Bara itu nggak suka sama yang tua-tua. Sadar diri, dong. Yang muda biar sama yang muda, setan." Elle mulai memprovokasi. "Dan masih kenceng. Ya, kan, Bar?"

Bara menjawab dengan gelengan. Ia menatap nanar sosok Novia yang tengah mengepalkan tangan. Nafasnya memburu. Matanya tajam mengerikan memandang Elle penuh perhitungan.

Tak ingin membuat situasi semakin runyam, Bara berdiri. Mengembalikan gitar ke tempat semula, lantas menghampiri Aura. Menggendongnya di punggung, lalu berjalan ke pintu utama kostan. Tanpa berpamitan, Bara pergi dari sana. Meninggalkan semua orang yang semakin dibuat penasaran oleh sikap si sableng.

***

Bara putuskan untuk berjalan kaki. Maksud hati sekalian mengajak Aura olahraga, Aura justru menolak turun. Sudah terlanjur nyaman digendong Bara.

Tak hanya itu, dua singa betina justru turut ikut mengekor di belakang Bara. Berjalan sambil adu mulut tiada henti. Sungguh, inilah yang Bara benci. Berurusan dengan wanita menguras kesabarannya. Dira dan Aura saja sudah menyibukkan Bara, apalagi ditambah dua wanita berparas cantik bak ratu di belakangnya. Bajingan.

Bukan minimarket yang Bara tuju. Ia menghampiri penjual ice cream keliling, yang kebetulan sedang membuka lapak di pinggir jalan. Di kanan-kirinya terdapat penjual telur gulung dan cimol.

Tiba di sana, Bara perhatikan mata Aura berbinar cerah. Si bocil ngiler, menetes di tangan Bara. Tak apalah. Toh, air liur bocil itu wangi. Sebab, mulut mereka belum terkontaminasi makanan atau minuman aneh-aneh.

"Papa. Tu, tu! Totat, Papa." (Papa. Itu, itu! Coklat, Papa.) Tunjuk Aura, seraya bergerak tak karuan. Heboh sendiri.

"Iya, Sayang." Bara menggeser gendongan pada Aura di samping badan. Lantas, mengambil sejumlah uang, dan memberikannya ke penjual. "Lima, Mas."

"Yang mana aja, Mas?" tanya si penjual ice cream.

"Coklatnya dua. Vanilla-keju satu. Strawberry dua."

"Monggo." (Silahkan.) Sebungkus plastik diberikan oleh si penjual ice cream. Berikut uang kembalian. "Ini uang sampeyan kan 100, kembaliannya 50 ribu, ya, Mas."

Bara mengangguk, Sembari mengambil dua barang sekaligus dari tangan si penjual ice cream. "Suwun." (Makasih.)

"Sami-sami, Mas." (Sama-sama, Mas.) Si penjual ice cream membalas sopan. Sampai di mana matanya menangkap dua singa betina yang juga tengah menatapnya tajam. Lantas, kembali ia berkata, "Es krimnya, Mbak."

"Bara, aku mau satu, dong." Elle menggelendot di lengan Bara. Binar matanya mengisyaratkan jika menolak, mood gadis bule itu akan melayang.

"Saya juga mau." Yang ini Novia. Tak kalah imut, meski umurnya sudah kepala tiga. Dasar, wanita itu selalu memperlihatkan sisi manisnya bila berada di samping orang yang ia suka. Meski rasa sukanya baru saja tumbuh pagi ini, Novia merasa telah mengenal Bara dalam waktu yang lama. Ruwet.

"Tinggal ambil," ujar Bara, acuh.

Sejurus, Bara kembali memberikan sisa kembalian sebelumnya kepada si penjual ice cream, lantas mengendik. Pergi ngeloyor dari sana menuju ke bahu jalan. Duduk di bawah pohon asam sambil makan ice cream berdua bersama Aura. Bagai bapak dan anak, Aura nampak nyaman dan manja duduk di pangkuan Bara. Sesekali si imut menggigit ice cream vanilla-keju milik Bara.

"Enak, Sayang?" tanya Bara.

"Lacana ndak enak." (Rasanya tidak enak.) Aura menggeleng lucu. Kembali ia fokus menjilati ice cream coklat miliknya sendiri, diiringi mulutnya yang tak berhenti bercerita soal satu minggu ini yang tak pernah bertemu Bara. Apalagi Aura terlihat sedih saat ia berkata jika Bara tidak menyayangi Aura karena tidak pernah datang ke rumah.

"Emang Papa boleh ke rumah Aura?"

"Boyeh! Aula ngen Papa. Mama cuka cedih cetiap hayi kalau ndak da Papa. Peynah Aula dengal Mama nggil nama Papa. Bala, Bala, Bala. Gitu, Papa." (Boleh! Aura kangen Papa. Mama suka sedih setiap hari kalau tidak ada Papa. Pernah aura dengar Mama manggil nama Papa. Bara, Bara, Bara. Gitu, Papa.)

"Hah? Emangnya Mama manggil Papa sambil ngapain?"

"Cambil ndak pakai baju, Papa. Teyus Mama teyiak-teyiak lagi. Bis gitu Aula dipeyuk Mama. Tidul, deh." (Sambil tidak pakai baju, Papa. Terus Mama teriak-teriak lagi. Habis gitu Aura dipeluk Mama. Tidur, deh.)

Bara garuk-garuk kepala. Bingung juga ia harus berkata apa. Masalahnya, setelah Bara menceritakan sedikit tentang sedikit latar belakangnya, ia merasa Dira menjaga jarak. Entah perasaan Bara saja, atau Bara memang paranoid karena kerap mendapat kegagalan soal menjalin asrama.

Di tengah lamunan Bara yang mulai memasuki tahap pendekatan lebih intens dengan Dira, dua singa betina yang tidak jelas tujuannya datang menghampiri. Novia mengambil duduk di kanan, sedang Elle di sisi yang lain.

"Bar, ini kembaliannya ice cream." Elle memberikan uang pecahan 10 ribu tiga lembar kepada Bara. Setelah itu, membuka ice cream rasa vanilla-susu. Menjilatnya, lalu mengigit kecil ujungnya.

Bara menerimanya tanpa banyak komentar. Meski sebentar, Bara bisa melihat Elle melakukan hal yang membuat otak Bara travelling. Apa Elle ingin menggodanya?

"Kamu suka keju, ya?" Novia nyeletuk. "Boleh incip dikit, nggak?"

Bara memutar bola matanya jengah. Rasanya ia ingin menendang dua wanita sialan ini, andai ia tak ingat jika mereka berdua adalah perempuan. Jalan ksatria Bara menolak menjadi lelaki brengsek, sekali pun perempuan itu bodohnya tak tertolong lagi.

"Sek dulu. Tujuan kalian ngintilin aku sampai sini itu ngapain, sih?" tanya Bara, curiga.

"Kalau aku ya pengen liat kamu, lah. Satu minggu lamanya kita nggak ketemu. Apalagi aku merasa bertanggung jawab soal kamu yang aku tawarin masuk ke kostan yang isinya ... you know what i mean." Papar Elle tanpa dibumbui ucapan drama. "Gara-gara nurutin permintaan senior di kostan, kamu jadi harus mengotori tanganmu."

"Aku nggak keberatan. Cuma aku menyayangkan soal kamu."

Mata Elle kembali bersinar terang. "Kamu sayang aku? Sama, dong. Aku juga sayang kamu, lho, Bar, hihihi."

Bara mencebik. "Bukan itu maksudku, hei."

"Iya, iya. Bercanda aja kok aku."

Elle meluruskan pandang ke arah jalan. Menatap lalu lalang mahasiswa Kampus Ub yang beraktifitas seperti biasa. Setelahnya, Elle melirik ke arah Bara. Seidkit mendongak, karena Bara tergolong lelaki jangkung. Ia mulai bercerita jika mahasiswa baru angkatan Bara yang her-registrasi di gelombang pertama sedikit rusuh. Ada bentrok dengan gabungan anak-anak SEMA-F alias Senat Mahasiswa Fakultas, yang tergabung ke dalann satu organisasi bernama kepanitiaan penerimaan mahasiswa angkatan 65.

Masalahnya cukup serius: salah satu maba perempuan dari Fakultas MIPA mendapat perlakuan rasis dari panitia Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Mengapa seserius itu? Tentu saja karena Kampus UB memiliki masalah sosial perihal mahasiswanya yang kerap rasis membawa suku, ras, agama, dan antar golongan. Rasis antar fakultas, bahkan mulai menyebar di kampus lain. Untuk solusinya, masih belum ditemukan. Itu karena pelopor rasisme berasal dari Rantai Hitam itu sendiri. Tentunya, kebiasaan ini akan menjadi bumerang untuk Rantai Hitam jika mencoba menyerukan secara terang-terangan 'say no to rasisme'.

Itu baru soal rasis. Belum lagi soal LGBT yang diprakarsai oleh kelompok tulang lunak pecinta goyang ngebor dubur, Bomawari, alias Bondo Manuk Wani Perih. Kelompok ekstrimis ini mulai menginvasi Kampus UB. Kampanye sampah memperjuangkan kebebasan bertajuk mengekpresikan diri, tentu saja membuat geram siapa saja. Termasuk Rantai Hitam.

Maka dari itu, untuk dua urusan yang terbilang dapat diatasi tanpa perlu banyak partisipan ini diserahkan sepenuhnya kepada Elle dan bawahannya sendiri. Hampir seluruh bawahan Elle wanita semua. Mereka menamai kelompok ini dengan nama Viper.

"Terus, apa masalah rasis sama LGBT ini udah kelar?" Bara bertanya, setelah mendengarkan detail panjang alasan Elle tak pernah pulang ke kostan selama satu minggu ini.

"Untuk saat ini udah kondusif. Tapi, nggak ada jaminan mereka berulah lagi. Terutama kaum pelangi yang merusak citra pelangi. Yang harusnya nampak indah di langit, justru buruk di mata orang."

"Kenapa nggak dibantai aja?"

Pertanyaan Bara sukses membuat Elle dan Novia tersedak ludah mereka sendiri. Frontal dan to the point, itulah Bara. Entahlah. Tak ada yang bisa menebak jalan pikiran si sableng. Terlalu mengerikan nan membahayakan diri sendiri serta sekitar.

"Kita semua sepakat lah ya kalau orang normal itu menerima perbedaan, bukan penyimpangan. Mau islam kek, kristen kek, hindu, budha, dan macam-macam, kalau bisa menghindari rasis dan penyuka sesama jenis, kamu aman. Ditambah good looking, lebih aman lagi."

"Kalau yang ini, saya sependapat sama kamu, Bar. Saya mengutuk keras rasisme dan LGBT. Tapi, saya kurang setuju kalau mereka harus dibantai seperti yang kamu harapkan. Saya rasa, mereka masih memiliki HAM meskipun orientasi seksual mereka melenceng jauh dari jalur." Novia ikut berkomentar.

"HAM? Aku yang belum lama di sini sudah paham HAM seperti apa yang ditegakkan di kota ini, Mbak Novia."

"Maksudmu?"

"Katakanlah kota ini terlampaui damai. Otomatis nggak ada penjahat yang berkeliaran. Nah, di sinilah aku tau peran Rantai Hitam itu seperti apa."

Senyum seringai di bibir Elle terbit. Ia sambut ucapan Bara dengan wajah cerah sumringah. Tanpa perlu dijelaskan, Elle salut akan pemikiran Bara yang satu langkah lebih jauh dibanding orang biasa. Pantas saja Loki langsung mengiyakan permintaan Elle untuk dimasukkan ke inti. Ternyata Bara menyimpan sisi yang tidak biasa. Sisi bajingan anti-hero.

"Kalau nggak ada yang mau bergerak membereskan mereka, biar aku yang akan mengambil alih," imbuh Bara.

"Mereka nggak pernah nyakitin kamu. Mereka juga nggak pernah ngusik kamu. Tapi kenapa kamu repot-repot ingin membantai mereka? Harusnya kamu nggak punya alasan kuat untuk terlibat lebih jauh."

"Biar aku katakan sekarang. Alasanku datang ke kota ini, selain untuk bekerja dan kuliah, aku sedang mencari seorang pembunuh." Bara berhenti sebentar. Menarik nafas panjang, lalu menghembuskannya perlahan. "Pernah dengar raja preman dari Kota Apel? Namanya Lele. Beliau papa angkatku. Meninggal dibunuh oleh sekelompok orang sadis. Dikuliti, disodomi, sampai dimutilasi."

"Aku turut berduka. Tapi, kamu nggak berpikir kan pembunuh papa angkatmu ada di sini, di kota ini?" tanya Novia, kritis.

Bara mengangkat kedua bahu. Menjilati ice cream miliknya yang mulai meleleh sampai habis, sebelum menjawab, "Aku hanya mengandalkan intuisi saja. Selebihnya tergantung hoki." Seraya membuang stick ice cream, lantas mengambil rokok dari saku dan menyulutnya. Asap tembakau memenuhi udara. Membawa serta aroma rokok Surya menyatu dengan sepoi angin di pagi hari. Sedetik, Bara menoleh ke arah Novia, lalu bertanya, "Kayaknya kamu perhatian banget sama kaum pelangi. Apa mungkin kamu support system mereka?"

"Saya hanya melihat dari sisi kemanusian aja. Bukan berarti saya pro sama mereka."

"Kalau gitu, jangan duduk di sebelahku. Kamu terpantau sedang bersama calon pembunuh."

"Keren. Anak jaman sekarang lebih bangga jadi pendosa daripada pengepul kebajikan."

"Ayolah. Jauh di lubuk hati terdalam, manusia menginginkan perang. Jangan munafik."

"Menggelikan." Novia terkekeh. "Pantas aja Rantai Hitam merekrutmu. Jadi ini toh alasan mereka mengumpulkan orang-orang sinting demi sebuah ambisi dan pengakuan. Jelas sekali kalau kalian hanya ingin menjadi penguasa tunggal tanpa ikut campur orang-orang pemerintahan dan penegak keadilan."

Bara tertawa sumbang. "Terlalu jauh cara berpikirmu, Mbak. Yah ... meskipun ada benarnya juga, sih. Cuma, aku nggak peduli soal puncak. Tujuanku masih sama, mencari orang yang bertanggung jawab atas kematian papa angkatku. Just it."

"Apa harus dengan jalan kekerasan?"

Kali ini Bara memfokuskan pandangan penuh pada Novia. Sorot tajam, buas, dan dingin. Seolah pedang yang menusuk tajam dan mengoyak ganas hewan buruan. Yang kemudian, Bara menyeringai. "Harusnya Mbak sudah tau kalau sistem dunia ini hanya memiliki dua cara dalam menyelesaikan masalah. Uang dan kematian."

Bulu kuduk Novia meremang. Berikut badannya sedikit bergetar. Hawa membunuh yang dipancarkan Bara sungguh mencekam. Novia sampai bisa merasakan berbagai macam emosi yang terkumpul menjadi satu di dalam sorot mata Bara. Kesedihan, kemarahan, dan kehampaan. Sedikit tertolong oleh cinta dari si imut Aura. Selebihnya Bara tetap mempertahankan diri untuk tak tergiur ke dalam jurang kesenangan sesaat.

Di sisi lain, Elle pun merasakan hal yang sama. Ia begitu bergairah mendengar penuturan Bara. Dari caranya mengutarakan isi hati, tindakan nyata yang sudah dibuktikan dengan suksesnya Bara menjalankan misi pertama, hingga sanggup mengontrol emosi tingkat tinggi dengan baik. Hebat. Elle semakin menyukai Bara. Juga semakin ingin membunuh si sableng.

"Tidak peduli alasan apa yang kamu pakai, membunuh orang bukan jalan satu-satunya menyelesaikan dendam. Saya tau kok, kamu pernah membunuh orang. Tapi, saya ingin kamu tidak melakukan hal itu saat kamu sudah resmi jadi mahasiswa. Camkan baik-baik di otak kosongmu itu, Bara!" Novia berkata tegas, lugas, dan ngegas.

"Jangan pernah memberiku perintah." Bara mendesis, "dan jangan pernah menyuruhku berubah." Wajah Bara kian mendekat ke arah Novia. Sedikit lagi, sampai kedua bibir mereka bertemu. Namun, Bara justru mendekatkan bibir di telinga Novia, lalu berujar, "Aku bisa aja menuruti, tapi dengan dua syarat. Pertama, katakan apa yang Mbak tau soal Bomawari. Setelah itu, tergantung kebenaran apa yang Mbak sampaikan nantinya, akan mempengaruhi sikap yang akan aku ambil."

Wajah Novia merah padam. Ia tak suka cara Bara berbisik di telinganya. Ini berbahaya untuk jantung dan segitiga bermudanya. Gawat. Jika dibiarkan, bisa-bisa Bara seenak hati menyetir Novia. Ini tidak boleh dibiarkan!

Serta merta Novia mencengkeram kaos Bara bagian kerah, lalu mendorongnya kuat. Tenaganya cukup besar untuk sekaliber wanita kutu buku.

"Cukup! Kamu bukan tandingan mereka. Nggak ada informasi apapun dariku sampai kamu berjanji kepadaku untuk berhenti menjadi sinting."

"Sabar dulu. Aku baru mengajukan satu syarat. Lagian, aku bakal janji seperti apa yang kamu ucapkan barusan kalau kamu nggak keberatan mengikuti permainanku."

"Oke. Coba katakan."

"Aku ingin kamu nggak usah sok kenal, sok deket, sok care, sama aku. Kita nggak saling kenal. Jadi, aku harap kamu tau batasan. Ah, Elle sebelumnya bilang kamu seorang dosen, kan? Jadi pas banget kamu harus menjaga citra seorang dosen dan mahasiswanya."

Raut muka Novia seketika berubah muram. Ia ingin menangis akan ucapan yang disampaikan Bara. Begitu menohok dan sedikit banyak melukai hatinya. Awalnya, Novia tebak jika syarat yang diajukan Bara adalah tidur dengannya. Namun, siapa yang menyangka jika pemuda gila di sebelahnya ini tak semesum kebanyakan lelaki di luar sana. Untuk satu ini, Novia memberi nilai A untuk Bara. Hanya saja soal mulut Bara yang setajam silet, Novia beri nilai D. Bara remidi!

"Berhenti penasaran sama orang sebelum kamu terluka," pesan Bara, sebelum akhirnya berdiri. Berjalan menjauh dari sana sambil menggendong Aura. Di sampingnya ada Elle yang menoleh ke belakang dan memberikan senyuman mengejek ke arah Novia.

Bara. Meski ucapan terakhir Bara seolah kode untuk tidak di luar batas, Novia memilih ngeyel. Ini menjadi awal dari tekad kuat Novia untuk meruntuhkan pertahanan absolut hati keras Bara. Pria misterius yang menyita seluruh perhatiannya.

"Gila, ya, Bu?"

Sebuah suara menggagetkan Novia. Sontak dosen muda itu menoleh ke sumber suara. Di sebelah kanan, tepatnya di balik pohon asam, berdiri bersandar sesosok wanita cantik berdarah Bali. Rambut gadis itu hitam panjang nan lurus, berkibar tertiup angin seiring wajah cantiknya menoleh balik ke arah Novia.

"Kamu, kan ...?!"

"Saya Dayu. Mungkin Ibu lupa sama saya. Tapi, mari saya bantu Ibu mengingat memori yang sengaja ingin Ibu kubur dalam-dalam. Memori mantan pacar Ibu yang dulunya seorang penyuka sesama jenis. Laki-laki yang telah merenggut nyawa papa angkat Bara. Laki-laki itu adalah kakak saya, Gabriel Putra Pamungkas. Atau nama aslinya ..."
























I PUTU GEDE JULIAN DEWANTARA!
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd