***
11
Ratu Geni
Kemelut hati Bara terdistraksi. Emosinya menyala api. Kepalan tangannya sekeras besi. Siap menghancurkan siapa pun yang mencoba mendekati.
Ya, terlepas dari alasan yang dipakai, Bara kelewat kurang ajar berdiri di atas meja sambil memandang lurus ke arah si kumis tipis. Baru ini Bara menunjukkan emosinya. Sebelum-sebelumnya Bara santai dan terkesan meremehkan kemampuan orang lain. Itu dapat dilihat dari insiden pertarungan di pelabuhan lama. Di luar dugaan, si kumis yang baru saja kena tendang di bagian ulu hati, namun tidak roboh, justru menatap Bara lempeng.
Pasalnya, setelah si manajer bernama Ratu mengaku jika Bara adalah putranya, kontan Bara jadi terguncang hingga memicu amarah di dada. Apalagi, Bara tidak suka cara wanita paruh baya itu mengatakan hal yang tidak seharusnya orang asing katakan kepadanya dengan ekspresi sedih dan bercucuran air mata. Tidak. Bara memiliki orang tua. Meski hanya orang tua angkat, Bara sudah menganggap mereka orang tua kandungnya. Lele dan Nila. Dan Abner adalah kakak Bara. Demikian si gadis tepos bernama Dysis adalah adik kesayangannya. Tidak. Ini tidak benar. Ada yang salah dengan tempat ini.
Oleh karenanya, Bara refleks mendorong Ratu hingga terjengkang. Spontan si kumis tipis melesat maju berniat melayangkan tinju, namun respon Bara lebih cepat. Lebih gesit. Lebih kuat.
"Siapkan kata-kata terakhirmu, bedebah," ujar si kumis tipis, dingin.
Bara menggeram. "Bantu aku menyiapkannya di dalam neraka!"
Bara turun dari atas meja. Dua lelaki di sana waspada. Berdiri sebelahan sambil menyiapkan diri untuk menerima serangan lanjutan dari Bara.
Benar saja.
Angin dingin berembus kencang dari arah Bara. Si sableng menerjang maju. Siapa pun yang berada di jalur pukulannya akan ia hantam. Tak peduli jika ia adalah titisan Dewa Chronos.
Bam!
Hantaman pertama Bara tertahan telapak tangan kiri si kumis tipis. Keras dan sedikit meleset dari sasaran. Niatnya Bara mengincar wajah menyebalkan si kumis tipis. Rasanya Bara jengkel sekali karena wajah ngantuk si kumis tipis seolah-olah meremehkannya.
Saat di mana Bara lengah beberapa detik, celah itu dimanfaatkan oleh si kumis tipis untuk menangkupkan telapak tangan. Ia remas kuat tinju Bara, lantas membanting badan Bara ke lantai.
Bum!
Bedebum keras bunyi beberapa tulang patah. Berikut rintihan kesakitan dari mulut Bara yang hampir tak terdengar saking lirihnya.
Sejurus, saat si kumis tipis bersiap menghantarkan tinju menggunakan tangan kanan, tetiba ada sebuah tangan halus yang mencekal pergelangan tangannya. Adalah wanita India berparas menawan. Jilbab abu-abunya berkibar seiring terpaan angin dari jendela ruangan yang terbuka. Dira. Wanita itu datang tepat waktu sebelum ada nyawa melayang karena pukulan si kumis tipis yang terkenal mematikan. Tidak percaya? Ini buktinya. Si kumis tipis memutar tangan kanan Dira. Menyentak kuat. Lantas, melayangkan pukulan kuat mengarah ke pelipis Dira. Hanya berjarak beberapa centi sebelum pukulan itu mendarat menghantam dan menghancurkan wajah Dira, tahu-tahu Bara membentuk tameng dengan kedua tangan disilangkan di depan dada.
Wush!
Brak!
Bara terlontar jauh ke belakang. Membawa serta Dira yang ikut tersungkur ke belakang. Tanpa menunggu lebaran kuda, yang pertama Bara khawatirkan adalah Dira. Mengabaikan kedua tangannya yang sedikit nyeri. Jaket levis yang dikenakan Bara sampai sobek. Entahlah. Apa manusia biasa bisa melakukan hal ini? Jawabannya ... entahlah.
"Mbak Dira ... Mbak nggak pa-pa?" Bara mendudukkan Dira yang terbatuk. Matanya terbuka sedikit saat Bara membawa Dira ke dalam pelukannya. Ada raut cemas campur gelisah di wajah Bara yang tertangkap mata Dira. Namun, ekspresi Bara yang demikian segera terhapuskan oleh kilatan api di mata hitam kelam Bara. Seolah mata Bara mengandung batu pengasah pedang. "Aku akan membunuh bajingan itu. Tunggu di sini," desisnya, seraya mengepalkan tangan.
"Bara ... jangan ... kamu nggak boleh. Dia itu ...."
"Sudah lama aku nggak menemukan bocah kurang ajar sepertimu. Aku bosen setiap hari melawan tikus rumahan. Sesekali aku ingin mencoba tikus jalanan." Si kumis tipis tersenyum lebar bak psikopat. Menebar teror. Aura kematian di setiap langkahnya yang kian mendekat ke arah Bara, kontan saja bereaksi pada bulu kuduk Bara yang meremang. Lantas, saat si kumis tipis sudah berjarak kiranya dua meter dengan Bara, ia berjongkok. Mencoba beradu pandang, kemudian berkata, "Pilih kamu yang aku habisi, atau pacarmu yang akan aku siksa sampai mati."
HAHAHAHAHAHA!
Ledakan tawa Bara merusak suasana. Tawa bak gergaji mesin gagal menyala itu sungguh memekakkan telinga. Tawa seorang pria yang tak tahu situasi seperti apa kiranya yang ia hadapi, dan malah memilih jalan terjal sesuai isi hati dan logika yang menuntunnya. Mudah sekali untuk menebak jalan pikiran Bara yang terlampaui sederhana. Namun, jangan dianggap remeh bila Bara adalah tipe manusia yang cepat beradaptasi. Hanya butuh waktu dua menit untuk menganalisa musuh. Mengamati pergerakan. Dan yang terakhir, mengatasi kemungkinan terburuk bila sesuatu yang tak diinginkan terjadi.
Sesaat setelah kebekuan tercipta, ada adu tatap panas di antara Bara dan si kumis tipis. Mau tak mau, ini saatnya salah satu dari mereka untuk buka suara. Jika tidak, si pemuda gondrong di belakang si kumis tipis akan tanpa ragu melepaskan tembakan dari pistol yang ada di balik punggung.
"Jadi begini rasanya benci pada pandangan pertama," ucap Bara, tanpa beban. Ia berdiri tegak, sembari menatap tajam si kumis tipis.
"Kamu benar. Aku merasa kalau salah satu dari kita harus mati hari ini." Si kumis tipis menyahut dengan santainya.
"Aku memilih tidak. Yang aku takutkan, wanita spek lonte yang mengaku ibuku itu kesepian kalau kamu mati di tangan orang ganteng." Bara menunjuk dengan dagu angkuh sosok Ratu yang berdiri berpegangan sofa. Praktis, Ratu merasa tertusuk hatinya akan ucapan pedas Bara.
Si kumis tipis meludah di muka Bara. "Sudah cukup penghinaanmu. Kamu nggak kenal orang yang kamu bilang spek lonte, dan kamu juga nggak kenal aku."
Bara kembali tertawa. "Dia siapa? Kamu siapa? Jangankan aku, bahkan dunia aja nggak tau kalau kalian hidup."
"Aku kira kue pukis enak dimakan. Ternyata ada yang bisa bicara. Sungguh ajaib."
"Melawak!"
Bara bersiap-siap. Kali ini ia akan membalas si kumis tipis dua kali lipat. Oh, tidak. Bahkan lima kali lipat karena sudah membuat nyawa Dira terancam andai pukulan si kumis hitam yang dilepaskan sebelumnya benar-benar menghantam Dira.
Seiring Bara melepaskan jaketnya, pintu ruangan yang semula terbuka karena masuknya Dira ke dalam arena, kini tertutup. Tak lain dan tak bukan adalah sosok pemuda berambut Paquito yang Bara temui pertama kali saat tiba di kostan Rantai Hitam. Pemuda itu terlihat berbeda hari ini. Ia datang membawa koper besar berwarna hitam.
"Bara. Ini bayaran atas misimu. Sudah aku jadikan satu sama uang yang kamu keluarkan di awal. Sekarang kamu pulang. Bawa Mbak Dira dan Aura bersamamu." Sambil meletakkan koper tersebut di lantai, pemuda itu merogoh kantung jaket. Kemudian, melemparkan sebuah kunci mobil kepada Bara. "Motormu biar aku bawa ke kostan. Kamu bawa aja mobilku. Plat L. Mobil warna merah. Ada stiker Pokemon di kaca belakang."
"Aku nggak suka di perintah-"
"Aku Berto kalau kamu belum tau namaku." Berto memotong cepat, "sekarang aku yang merintah kamu. Segera turun, dan jangan pernah kembali ke sini."
Bara geram ucapannya tak digubris. "Sudah kubilang-"
"Aku akan meladenimu di atas ring kapan pun kamu mau. Sekarang, aku hanya ingin kamu melakukan apa yang aku perintah. Atau ... kamu juga ingin menjadikanku musuh?"
"Persetan. Semua orang di sini adalah musuhku. Dia ..." Bara menunjuk si kumis tipis sambil memandang Berto penuh amarah, "orang sok keras itu berani menantangku dan membuat Mbak Dira terluka."
BRAK!!!
Berto menghantam pintu ruangan dengan kepala tangan kanan bagian samping. Bunyi derit benda retak, lalu hancur, dan rusak. Serpihan kayu jati berserakan ke mana-mana. Dalam sekali gerakan, Berto sudah berada tepat di depan mata Bara. Memberi sorot tajam seorang pembunuh. Lebih menyeramkan dari seekor singa padang pasir, Karena Berto itu ... naga.
"TERUSLAH MEMBANTAH, DAN AKU AKAN MENGHAJARMU SAMPAI KAMU TAU JIKA PERBEDAAN ANTARA KAMU DAN KAMI SEMUA YANG ADA DI RUANGAN INI BEDA SATU SEMESTA!" Berto murka. Intonasi penuh penekanan syarat tak ingin lagi meneruskan perdebatan.
"Papa!" itu suara Aura. Tidak salah lagi. Sosok mungil itu berdiri di balik kaki Berto. Ada si gadis muda Rantai Hitam Crew yang turut menemani.
Melihat Aura, mau tak mau Bara harus meredam emosinya yang berkobar-kobar menolak padam.
"Cih!"
Meski Bara masih sedikit emosi, tetapi ia tak boleh egois. Ada nyawa yang jauh lebih utama ketimbang nyawanya sendiri. Berikutnya, Bara mengendurkan aura hitam pekat kemerahan yang menyelubungi tubuhnya. Untuk hari ini saja, Bara akan menjadi anak baik.
Mengambil jaket, lalu disampirkan ke pundak, Bara berbalik. Berjalan sempoyongan menghampiri Dira. Memapah si semok seraya berjalan pelan menuju Aura yang berdiri di dekat Berto. Lantas, Bara menggendong Aura yang langsung memeluk lehernya. Menangis. Jemari tangan kiri Bara menggenggam koper besar.
Sebelum meninggalkan ruangan, Bara mengultimatum si kumis tipis, "Di pertemuan kita berikutnya, aku pastikan akan menendang bokongmu. Ingat itu. Hm, siapa namamu, Pak Kumis?"
"Kamu bisa memanggilku Putra."
"Ingat, ya, Putra Duyung. Aku akan menendang bokongmu."
"Kamu sudah mengatakannya."
"Iya. Aku cuma ngingetin aja biar kamu nggak lupa kalau aku akan menendang bokongmu. Aku serius! Woi, dengarkan aku, Putra Tidur!"
"Berisik." Putra mulai jengah. Menguap lebar. Lalu, ia balik badan. Duduk di sofa. Bersandar. Nyaman. Dan tertidur.
Decakan Bara mengiringi langkahnya yang menjauh dari panggung drama memuakkan, sebelum berucap lelah, "Tempat ini isinya orang aneh semua."
***
Sepeninggal Bara, muncul satu sosok yang sedari diam menyimak. Adalah si gadis muda yang sebelumnya cosplay tour guide Bara dan dua bidadari India. Badan langsing dan bermata sipit itu menjadi ciri khas si gadis muda. Kalau aksesoris kalung hitam yang melingkar di leher berliontin permata putih ikut dihitung, gadis itu bisa dikatakan bukan sekadar tim hore. Ia punya andil penting permasalahan di antara inti Rantai Hitam.
Coba perhatikan. Si gadis muda baru saja memisahkan perseteruan antara Putra dan Berto. Sekali lagi, dua orang ini hampir tak pernah terlihat akur. Hanya dengan getokan menggunakan ujung ponsel mengenai kepala sepasang garangan yang saling tinju.
"Aku heran, deh. Abang-Abangku ini dari dulu kenapa sih nggak pernah rukun gitu?" si gadis muda mengomel layaknya emak-emak memarahi anak-anak badung. Sedangkan Putra dan Berto hanya diam dan masih memancarkan permusahan setiap kali bertatapan.
Bertetapan dengan berakhirnya drama panjang di ruangan manajer Istanbul, untuk kesekian kalinya muncul satu manusia lainnya.
Tap! Tap! Tap!
Suara langkah kaki beralaskan bakiak menggema. Semua orang mengenal sosok berwajah bajingan lendir itu hanya dari baunya. Tak ada obat. Semua orang mengakuinya tampan. Kelewat tampan nan memikat malah.
Saga. Ia masuk ke dalam ruangan sambil makan batagor full bumbu kacang. Saking pekatnya itu bumbu, orang-orang bisa melihat jika yang Saga makan adalah bumbu kacang toping batagor. Mumet.
Seperti yang sudah-sudah, Saga selalu datang mencolok dan nyentrik. Itu dibuktikan oleh dirinya yang menenteng batagor diikat dan digigit ujungnya di tangan kiri, sedang tangan kanannya membawa sebotol bir. Kepala berhias kupluk, memakai kacamata bening, dan mengunyah batagor sambil berjalan. Kalau dilihat-lihat, Saga sudah cocok jadi sutradara. Andai benar, sudah pasti Saga akan mengusung judul 'Menebar Benih Cebong'. Sungguh lelaki yang tak memiliki adab. Jangan ditiru.
"Suram banget ini suasana. Aku berasa berada di antara sekumpulan pasukan monyet. Aroma yang luar biasa seperti bakso kontol bercampur pipis kambing." Celetukan Saga sukses membuat semua mata memandangnya jengkel.
"Ck! Muwesti lak teko-teko ngejaki gegeran." (Ck!
Selalu saja kalau datang-datang mengajak ribut.) Berto menggerutu kesal.
"Ealah. Titisan Banaspati iki maneh. Coploken bakiakmu ageh. Kene, tak seleh'e diluk gawe napuki cangkemmu seng koyok gitar'e bences." (
Ealah. Titisan Banaspati ini lagi. Lepaskan bakiakmu cepat. Sini, aku pinjam sebentar buat menampar mulutmu yang seperti gitarnya banci.) Putra menyambung. Selalu sadis kalau sudah berurusan dengan Saga.
"Daripada ngurusi cangkem hamba, mending Baginda ngurus bolongan irung Baginda seng koyok knalpot Mio. Rodok ngeri hamba lek nganti kesedot. Isok-isok hamba tembus Sidrotul Muntoha." (
Daripada mengurus mulut hamba, mending Baginda mengurus lubang hidung Baginda yang seperti knalpot Mio. Agak ngeri hamba kalau sampai tersedot. Bisa-bisa hamba tembus Sidratul Muntaha.)
"Ngomong ae rek jembut silit sithok iki. Wes maem, a?" (
Ngomong mulu deh jembut pantat satu ini. Sudah makan, kah?)
"Sampun, Baginda. Njenengan sampun nopo sampun?" (
Sudah, Baginda. Anda sudah apa sudah?)
"Asu. Pegel aku nuruti kon, Ga. Wes hop. Aku tak bubuk. Kekuatanku entek." (
Anjing. Capek aku nuruti kamu, Ga. Sudah cukup. Aku mau tidur. Kekuatanku habis.)
Saga menenggak bir. Matanya santai menghadapi seluruh manusia di ruangan ini yang terang-terangan memandang tak bersahabat ke arah Saga.
"Sudah. Mari kita luruskan topik." Saga sok diplomatis.
"Kamu yang mulai, cuk!" semua orang memaki kompak.
"Iya, iya. Permohonan maaf aku ucapkan." Saga membungkuk. Setelah kembali berdiri tegak, ia menenggak bir. Sisa seperemat. Serta merta Saga menarik sebuah kursi, lalu mendudukinya. "Kita mulai dari Mas Putra. Gimana tanggapan sampeyan sama si anak baru, Mas?"
Sekali lagi Putra menguap. "Lumayan juga anaknya."
"Kamu, Ber?"
Terlebih dahulu Berto mengambil alih bir di tangan Saga. Menenggaknya barang tiga kali tegukan. Setelah itu, barulah Berto berkata, "Aku nggak tau isi otaknya Mas Putra ini sampai nge-trigger Bara dengan Mbak Dira sebagai umpan. Dan itu terbukti respon dari Bara-nya yang langsung nge-protect. Padahal kita sama-sama tau kalau Mbak Dira nggak selemah itu. Itulah mengapa pas aku masuk, aku sekalian bawa penawar buat Bara. Itu adalah anaknya Mbak Dira, si Aura. Dari sini, seharusnya kita semua tau sedikit karakter Bara."
"Dia nggak segan menyakiti siapa pun yang berani mengusik orang terdekatnya. Itu kan maksudmu, Ber?"
"Bisa jadi, Ga."
"Atau jangan-jangan melindungi Dira hanya kedok Bara untuk memastikan sesuatu?"
Berto menjentikkan jari. "Itu juga bisa jadi, Mas Put."
"Keras gak, sih, Ber?" gumam Putra, seraya mengetuk dahinya dengan telunjuk.
"Iya, Mas. Belum pernah aku liat anak yang keliatannya otak jongkok, justru sulit ditebak. Selain itu ..." Berto berhenti sebentar. Menarik nafas, lalu membuangnya kasar, kemudian melanjutkan, "aku nggak bisa bayangin andai aku gagal ngusir dia, sudah jelas salah satu dari kita akan lewat."
Semua orang diam. Memikirkan pengalaman yang baru saja terjadi. Baru ini ada yang terpancing oleh Putra dan berani mengambil langkah melawan jika memang itu diharuskan. Seumur-umur, hanya orang bodoh yang tak menghargai nyawanya sendiri mengajak Putra satu lawan satu. Dan orang bodohnya sekarang ada dua: Berto dan Bara.
"Ya ampun. Nyesel banget aku ditugasin buat ngawasin inti baru Rantai Hitam. Tau gitu-"
Dor!
Dor!
Tanpa aba-aba, dua tembakan peluru senjata api dilepaskan. Asalnya dari tangan Putra. Target yang dituju adalah kepala si gadis muda. Tanpa sempat si gadis muda menyelesaikan ucapannya, pun tanpa tahu siapa nama asli gadis dengan codename 'Seven' itu, ia sudah dinyatakan mati di tempat dalam hitungan detik.
Saga geleng kepala. "Bajingan kamu, Mas Put. Ngotor-ngotorin ruangan aja."
"Aku nggak suka bocah sombong. Kalau kuat kayak Bara sih, okelah. Nah si curut ini? Mentang-mentang orang kepercayaan Loki bisa seenaknya kalau ngomong."
"Ck. Bilang dulu dong kalau mau bunuh orang. Kalau nyerempet kepalaku gimana, babi?" protes Berto.
"Ya maaf. Habisnya aku greget sama wajahnya yang sok main rahasia-rahasiaan hanya karena menemukan hape si anak baru."
"Emang apa isinya sih sampai bikin cewek ini harus membayarnya dengan nyawa?" Saga kepo.
"Kamu nggak liat? Kan kamu sendiri yang bilang mau ngasih ke dia. Gimana, sih?"
"Aku nggak selancang itu, walaupun penasaran juga, sih."
"Nggak ada yang penting. Cuma ..." putra melirik sang manajer Istanbul, Ratu, yang masih duduk terpekur menatap kosong ke arah meja. "Bara itu ternyata punya orang tua."
"Ya, iyalah, Putra Tidur. Kalau nggak ada orang tua, mana bisa dia lahir?"
"Longor. Malah ikut-ikut anak baru manggil aku gitu. Tak bacok, lho." Putra memaki gemas.
Korek gas dilempar oleh Putra ke arah Berto, dan secepat kilat Berto menghindar, lalu menjulurkan lidah. Meledek.
Sejenak hening.
Semua laki-laki yang ada di sana membakar rokok untuk sebuah jeda waktu. Mereka hanya menatap santai ke arah si pemuda gondrong, yang tanpa di perintah lekas membereskan kekacauan. Menyeret jasad tak bernyawa si gadis muda yang mati dengan mata melotot.
"Jadi benar, Bara anak Tante?" Putra buka suara.
"Menurutmu, dia anakku apa bukan?" Ratu balik bertanya.
"Sebelumnya, aku minta maaf sama Tante. Mungkin Tante sudah dengar soal insiden dua tahun lalu di Kota Apel. Nah, raja preman di kota itu punya tiga anak. Dua anak kandung, dan satu anak angkat. Siapa yang menyangka kalau si raja preman yang dihabisi pembunuh bayaran adalah ayah angkat Bara. Sudah jelas kalau tujuan Bara datang ke Kota Anggur ini untuk mencari pelakunya. Karena itulah, kalau Bara sampai setotalitas ini, bisa jadi ikatan Bara sama keluarga angkatnya sangat kuat. Andai benar Tante itu ibu kandung Bara, Tante nggak punya tempat di hati Bara."
Ratu menatap Putra sinis. "Ngakunya anak psikolog, tapi cuma bisa menyimpulkan dari data."
"Diliat dari mata dan ekspresi wajahnya yang nggak tersentuh itu sudah jelas, Tante. Ini ... sudah berakhir."
"Belum. Ini belum sepenuhnya berakhir. Masih ada sebuah kejelasan lain." Ratu menutupi kedua wajahnya yang ayu dengan kedua telapak tangan. Terasa kesedihan saat Ratu mulai terisak.
"Sebenarnya ... apa yang ingin Tante katakan?"
Ratu menurunkan kedua tangan yang langsung terkepal di atas paha. Kebencian ada di kilat mata Ratu. Kemudian, wanita paruh baya itu menoleh ke arah Putra. "Aku nggak ingin mengatakan apa-apa. Aku hanya ingin kamu melakukan sesuatu untukku. Untuk kita "
Mata Putra terbuka lebar. Pemandangan langka melihat Putra berekspresi lain. Dari yang biasanya malas, datar, lempeng, sekarang terlihat gelisah. Batinnya sedikit tersentil ketika Ratu membisikkan rencana yang baru saja ia susun. Rencana busuk demi membawa kembali Bara ke pangkuan si manajer Istanbul, Ratu Geni!
***
Jauh sebelum insiden kematian Lele, ayah angkat Bara, ada tragedi kelam yang dialami sebuah keluarga kecil 14 tahun lalu.
Adalah keluarga Geni.
Keluarga konglomerat di Kota Nanas yang tersohor akan prestasi sang kepala keluarga yang telah menyediakan ratusan lapangan pekerjaan untuk mensejahterakan masyarakat Kota Nanas itu sendiri.
Namun, dibalik kesuksesan sang kepala keluarga, ada bayang di kegelapan yang setia mengintai. Menunggu celah untuk masuk dan melakukan aksi. Hanya masalah waktu sampai kekacauan terjadi.
Ya. Benar adanya jika penantian panjang para perusuh dan pembenci keluarga Geni telah tiba.
***
Saat malam satu suro, bulan purnama bersinar terang. Seorang bocah laki-laki yang berstatus anak sulung masih berumur 5 tahun, tengah asyik menonton podcast di YouTube sambil duduk di kursi bantal buah. Bocah laki-laki itu memiliki dua adik perempuan kembar yang berusia 3 tahun. Tak perlu ditanya si kembar ada di mana, sudah jelas sedang disuruh si kakak untuk memijit kakinya. Yang memantau aktifitas mereka hanya seorang ART muda. Masih terjaga meski waktu menunjukkan pukul 23.40.
Ada yang bertanya, di mana orang tua tiga bocil ini? Jawabannya mereka sedang bercinta di kamar. Sabda, sang kepala keluarga, mengatakan jika ia ingin memiliki anak laki-laki sekali lagi dalam rangka maksud dan tujuan Sabda adalah si bungsu nantinya akan menjadi penjaga untuk si kembar. Bahu membahu bersama sang kakak.
Ratu, sang istri, menyambutnya ikhlas. Toh, menolak pun percuma. Lagipula, mereka sudah menikah. Menambah dua sampai tiga anak lagi bukan masalah besar. Bukan karena rasa cinta Ratu kepada Sabda. Melainkan rasa bersalah dan ingin mencurahkan seluruh hidupnya kepada Sabda karena aib Ratu saat menjelang pernikahannya dulu.
Aib itu lebih dikenal dengan sebutan, 'jatah mantan'.
Bukan tanpa alasan Ratu melakukan hal itu. Rasa sayangnya jauh lebih besar untuk mantan kekasihnya yang terpaksa harus berpisah karena suatu hal.
Maka dari itu, jika diperhatikan lagi, Bara yang terlahir bukan dari benih Sabda, sedikit berbeda dengan si kembar. Si kembar mewarisi manik mata biru Sabda. Sedangkan si sulung memiliki manik mata hitam kelam seperti Ratu. Atau seperti mantan kekasih Ratu? Entahlah. Bahkan saham dari mantan kekasih Ratu yang bermanivestasi membentuk sosok bocah laki-laki tampan dijaga penuh kasih sayang oleh Ratu sendiri. Berbeda halnya dengan si kembar yang lebih diurus oleh ART.
Semburan cairan orgasme Ratu saat memikirkan wajah dan pesona sang mantan, mengantarkannya ke puncak tertinggi. Badannya bergetar hebat manakala di beberapa detik berikutnya, Sabda menumpahkan seluruh spermanya di dalam vagina Ratu.
Keduanya boleh lelah. Tapi tidak boleh lengah. Karena mereka harus segera menyelamatkan anak-anaknya dari bahaya. Ya, orang-orang jahat berhasil menyelinap ke dalam rumah. Tanpa pasutri ini sadari, si anak sulung tengah dicambuk dan dipukuli. Sedangkan si kembar disiksa dan digunduli.
Di mana sebuah teriakan panjang pecah di tengah malam ini, Sabda dan Ratu segera keluar kamar. Kedatangan mereka sudah disambut oleh bogem mentah seseorang.
Hanya bisa meratap. Hanya bisa menangis. Dan hanya bisa mengutuk diri sendiri. Ratu ... mengalami malam buruk yang panjang. Malam di mana ia menyaksikan suaminya dipenggal dan anak-anaknya dibakar sampai mati.
Selain daripada itu, Ratu menjadi mesin pemuas nafsu para pembunuh. Entah berapa batang yang silih berganti memasuki mulut, liang vagina, dan anus, hingga menyemburkan cairan kental nan menjijikkan, Ratu tak bisa menghitung. Ratu tak bisa berpikir. Ia hanya berdoa agar cepat mati dan menyusul suami serta anak-anaknya.
Namun, doa Ratu sedikit ditangguhkan. Ada pahlawan datang. Merekalah Rantai Hitam. Datang memberi pertolongan untuk keluarga Geni yang termasuk ke dalam kerabat pendiri Rantai Hitam.
Meski telat, setidaknya ada yang selamat. Karena itulah, generasi kedua Rantai Hitam segera menuntaskan misi yang langsung diberikan dari sang pendiri. Misi penyelamatan.
Orang-orang yang seharusnya menjadi pahlawan, harus menjadi sosok penjahat di mata bocah laki-laki yang menangis tanpa suara. Ia berdiri di anak tangga terowongan rahasia milik keluarga Geni. Menyaksikan orang-orang berbaju hitam yang sudah bocah itu klaim menjadi dalang kematian ayah dan kedua adik kesayangannya.
Kendati demikian, Rantai Hitam belum sadari jikalau ada satu yang mereka lewatkan. Itu adalah, di mana si anak sulung, Dan di mana si ART? Lantas, mereka baru menemukan jawabannya 10 hari setelah olah TKP dari kepolisian.
Mereka, Rantai Hitam, dalam kemelut kenestapaan. Hal yang mereka takutkan di masa depan cepat atau lambat akan terjadi. Rantai Hitam jelas akan menjadi kambing hitam atas kehancuran keluarga Geni di mata si anak laki-laki, Bara Geni.