***
8
Panas
Di luar kamar mandi, ada Bara yang merokok di balkon. Mencoba menghilangkan pikiran mesum yang hinggap di kepala. Semakin sulit saat samar-samar Bara mendengar gema suara Dira yang mendesah. Tidak perlu dijelaskan, lelaki dewasa mana pun sudah paham apa yang sedang Dira lakukan.
Hembusan nafas kasar Bara keluar. Kemudian, ia menghidupkan ponsel untuk mengalihkan perhatian. Bara tidak ingin gegabah. Terlebih, Bara mengutamakan kenyamanan Dira. Dan yang menjadi prioritas perhatian Bara adalah Aura. Bocah itu ... siapa yang mengajarinya memanggil orang lain yang baru dikenal dengan panggilan 'papa'? Apa Aura kurang kasih sayang seorang ayah, sampai-sampai alam bawah sadar bocah itu telah memberi alarm kenyamanan jika di dekat Bara hingga memanggil Bara demikian?
Berbagai macam pertanyaan lainnya terus berputar di otak Bara. Namun, Bara mencoba berpikir jernih. Ia pilah satu persatu pertanyaan yang paling mudah dijawab. Syukur-syukur pertanyaan itu tidak bercabang. Jika iya, Bara akan semakin terjebak di tempat yang sama.
Seiring data ponsel dihidupkan, berbagai notifikasi mulai masuk. Hanya ada dua sosial media di ponsel Bara: WhatsApp dan Instagram. Jangan salah. Bara termasuk tipe manusia simpel. Asal ponselnya bisa dibuat komunikasi dan sedikit hiburan menyimak berita bola di beranda Instagram, Bara tidak peduli kata orang yang menyebutnya kudet. Terserah. Whatever. Jancok.
Satu pesan WhatsApp dari nama kontak yang Bara beri nama Abner tertera di layar notifikasi. Ada 5 pesan belum terbaca.
Abner
Bar, mama masuk rumah sakit
Sorry, Bar, aku cuma ngabarin aja. Kamu nggak perlu pulang. Kamu fokus aja di sana
Bar, kamu kok centang?
Bar, mama nyariin kamu. Kalau ada waktu, kabarin
P
Tanpa membalas pesan Abner, Bara langsung menekan tombol telepon. Memanggil, lalu berdering. Lama tak diangkat, hingga si penerima telepon di seberang sana mulai tersambung.
"Halo, Ner. Gimana mama?" nafas Bara memburu. Jantungnya berdegup keras. Ia tahan sekuat tenaga agar air matanya tidak tumpah.
"
Halo. Kalem, Bar. Rileks. Santuy. Tarik nafas. Tahan lima menit."
"Mati aku, ndeng!"
"
Hahaha. Itu dia Ksatria Batang Hitam kita. Aku benar-benar kangen makiannya."
"Hm. Gimana mama, Ner?"
"
Alhamdulillah udah membaik, Bar. Kamu yang tenang, ya."
"Temenan, ta? Gak ngedrabus?" (
Beneran, kah? Bukan omong kosong?)
"
Tak panah gegermu, lho." (
Aku panah punggungmu, lho.)
"Cuk. Bolong lakan. Asu kon." (
Cuk. Berlubang dong nanti. Anjing kamu.)
"
Ngomong-ngomong, udah dapat tempat di sana?"
"Udah. Aku ngekost di belakang kampus. Rantai Hitam."
"
Bahahahaha. Takdir emang lucu, ya, Bar."
"Begitulah kehidupan."
"
Aku jadi nggak sabar kamu bawa pulang kepala orang yang bertanggung jawab atas kematian papa."
"Jangan khawatir. Gabung di Rantai Hitam memudahkanku untuk mencari informasi siapa pelakunya. Jaringan mereka luas."
"
Ya, iyalah. Siapa yang nggak kenal Rantai Hitam? Kita berdua sama-sama taulah sepak terjang kelompok sinting itu."
"Hm. Di sana aman, Ner?"
"
Gak aman. Mama kepikiran kamu yang jauh dari rumah, makanya sampai ngedrop gini. Teman-teman yang nggak kamu pamitin ngambek semua. Emang kamu belum baca WA mereka?"
"Waduh, bajingan. Belum, Ner. Nggak sempet buka hape sama sekali aku dari kemarin. Repot banget, sih. Nanti deh aku cek."
"
Ya sudah. Sehat-sehat di sana, bro. Fokus. Jangan kebanyakan main perempuan."
"Ini malah udah dapet nenen aku, Ner, hehehe."
"
Oh, ancene anakan tapir!" (
Oh, dasar anak tapir!)
Hahahahahaha!
Terjadi hening. Hanya suara angin yang menyamarkan percakapan Abner di seberang sana entah dengan siapa.
"Berisik banget, Ner. Lagi di luar?"
"
Di rumah sakit. Abis beresin administrasi perawatan mama."
"Mama di mana sekarang? Kasih ke mama hapemu."
"
Nanti aja. Mama lagi bedrest ditemenin Dysis. Adekmu yang tepos itu, lho."
"Ya adekmu juga, lah, gubluk."
"
Hehehe. Ya wes ya, nanti disambung lagi. Aku mau beli makan."
"Siap, bro."
Tut!
Sambungan telepon dimatikan. Bara menghela nafas panjang. Menengadah ke arah langit. Menyeka sedikit air mata yang terkumpul di sudut mata. Wajahnya sendu membayangkan mama angkatnya sakit karena memikirkan Bara. Oleh sebab itu, Bara akan membuktikan kepada keluarga angkatnya -mama, kakak, dan adik- supaya tidak khawatir kepadanya. Bara akan menjadi pribadi kuat dan dewasa. Bara sudah menyiapkan mental setebal baja guna menghadapi kerasnya Kota Anggur. Bahkan lebih keras dari Kota Apel.
"Bara."
Tanpa balik badan, Bara menoleh. Mendapati sosok cantik menawan dalam balutan midi dress warna hijau toska. Belahan dadanya cukup rendah. Membusung menantang ke depan. Sudah barang tentu the power off bra dan spon pengganjal.
Bara baru sadar jika Dira sudah memoles wajah cantik nan manisnya. Pantas saja lama sekali di kamar mandi. Di samping itu, yang menarik perhatian Bara adalah hidung kelewat mancung Dira sedikit membuat Bara ngeri. Takut kesedot ke dalam blackhole. Bajingan.
Rambut Dira yang sengaja dibagi menjadi dua bagian: yang satu di gerai di depan pundak kanan, dan yang satu digerai di belakang pundak kiri. Semakin menambah daya tarik si wanita dewasa berdarah India.
"A-aku menganggu?" kembali Dira menegur. Ia seperti seorang gadis yang malu-malu di hadapan kekasihnya.
Bara tersadar. Mengerjap sebentar, lalu sepenuhnya balik badan. Memberi senyum hangat menyambut Dira. "Nggak."
Bara berjalan mendekat. Sedang Dira sendiri membeku di tempat. Matanya masih belum lepas dari hipnotis sorot mata tajam Bara. Biar memiliki tatapan bak penjahat, Dira bisa merasakan kasih sayang serta besarnya cinta pemuda itu.
Saat Bara tiba di hadapan Dira, tercium semerbak wangi cologne vanilla, yang rasanya menggugah selera. "Mbak cantik banget." Baritone berat Bara membuat Dira merinding. Seketika Dira merasakan badan Bara kian mendekat. Aroma maskulin lelaki jantan tercium jelas. Hawa panas tubuh Bara terasa membakar Dira sampai ke ubun-ubun.
"Ehm. Ki-kita jadi pulang jam berapa?" Dira bertanya, guna mengurangi tegangan tinggi yang mulai menerpa.
"Kenapa buru-buru, Mbak?" Bara memeluk tubuh Dira. Mendekatkan bibir di area telinga Dira agak ke bawah. "Bukannya Mbak sengaja lama-lamain buat tetap sama aku di sini?" bisiknya, seraya memberi kecupan dan jilatin kecil di belakang telinga Dira.
"Ah! Bar ...." Dira mendesah. Memejamkan mata saat Bara memberi kissmark di lehernya.
"Mbak udah bangunin megalodon yang lagi tidur. Tanggung jawab."
Cup!
Dira menyerah saat Bara nyosor duluan. Sekuat apa pun Dira menahan, pesona Bara tak lagi bisa dilawan. Ini dia Dira yang sesungguhnya. Dira yang menawan bak bangsawan.
Dira membalas serangan, tentunya. Kini, ciuman keduanya berubah menjadi lumatan. Dari yang awalnya lembut, menjadi penuh kuat. Nafas Dira kian memburu.
Bara yang mulai terbakar, langsung berinisiatif menjulurkan lidah. Merangsek masuk membetot lidah Dira.
Dua lidah beradu, disambung hisapan dan jilatan lidah penuh nafsu liar nan buas.
"Ahhhh! Hmmm! Mmmm! Ahhhh! Ahhhhh!" tidak pula ketinggalan desahan-desahan kecil keluar dari mulut Dira saat dirinya dan Bara tengah saling lumat dan bersilat lidah.
Semakin lama, semakin intens. Keduanya menunjukkan kebolehannya tanpa lagi bertanya, 'kok bisa?'. Bara bergerak mendorong Dira ke tembok tanpa melepaskan pagutan.
Saat posisi Bara menghimpit Dira, tangan kanannya bergerak menuju ke arah payudara mengkal Dira. Meremas lembut. Sedikit menguat saat Dira tak sengaja mengigit bibir Bara.
Tak dibiarkan pasif, tangan kiri Bara bergerilya menuju bongkahan pantat montok si wanita berdarah India. Membelainya. Mengelusnya. Pantat berbalut midi dress hijau toska selutut agak panjang sedikit itu terasa padat dan kenyal.
Jamahan Bara berubah menjadi remasan. Bara singkap gaun bagian bawah Dira hingga mempertontonkan bongkahan pantatnya yang masih tertutupi celana dalam hitam berenda. Gemas, Bara daratkan tamparan-tamparan ringan pada satu buah pantat Dira, dan tindak tanduk Bara membuat batang kejantanannya menegang kaku.
Dira pasrah. Ia menerima perlakuan Bara tanpa drama. Dira biarkan pemuda sableng itu melakukan apa pun yang ia inginkan. Untuk kali ini saja, Dira ingin memberikan yang terbaik. Banyak faktor yang mendasari Dira rela menyerahkan mahkota kehormatannya, yang notabene seorang wanita baik-baik. Namun, hanya satu yang pasti. Adalah kenyamanan.
Kiranya beberapa menit telah berlalu adegan saling lumat, saling jilat, dan saling hisap antara dua insan yang sedang birahi.
Sejurus, Dira mendorong Bara untuk rebah di sofa panjang yang ada di dalam kamar tersebut, lalu duduk di antara selangkangan Bara. "Hm. Pantesan kayak ada yang nyucuk-nyucuk perutku. Aku kira apa, ternyata ini tho, hihihi." Dira membeo, seraya membelai penis Bara yang sudah dalam kondisi tegak sempurna dibalik celana kolor tanpa celana dalam.
Lekas Bara ikut duduk hingga keduanya kini dalam posisi Bara memangku Dira. Saling berhadapan. Wajah sayu Dira nampak bernafsu sekali. Bara hanya tersenyum membalas tatapan mupeng si janda muda. Bara dekati wajah Dira. "Gara-gara Mbak Dira sih cantiknya kelewatan," bisiknya, parau.
"Ih! Dasar genit!" serak suara Dira agak manja.
Tanpa babibu, Bara cium dan jilati leher Dira yang sudah ada bekas kissmark peninggalan Bara semalam sampai ke belakang telinganya.
"Ahhhhh! Terusss! Ssshhh! Barrr! Ahhhhh! Ahhhhhh!" desah Dira, agak keras.
Takut Aura terbangun karena suara mamanya dan membuat suasana jadi suram, Bara lumat lagi bibir Dira, lalu dibalasnya dengan lumatan yang lebih gila.
Kedua tangan Bara aktif meremas-remas payudara Dira dari luar midi dress. Berasa kurang puas, Bara hentikan sejenak pagutan di bibir Dira, lantas mengangkat gaun hijau toska yang menjadi penghalang. Meloloskannya hingga menyisakan bra hitam berenda, dan celana dalam senada.
Kini, terpampang jelas kulit coklat eksotis nan mulus yang dipadukan dalaman seksi menggoda. Bara meneguk ludah susah payah. Sosok wanita berdarah India ini sungguh mampu membuat Bara belingsatan.
"Mbak Dira." Bara memanggil. Namun, tidak ada sahutan dari bibir sensual Dira. Yang ada malah Dira mengalungkan kedua tangannya di leher Bara.
"Kita nggak boleh begini, Bara." Dira mendesah serak, "tapi aku mau. Aku sange."
"Nggak boleh begini, tapi Mbak manut aja aku telanjangin."
"Ih! Bodoh!"
Bara melepaskan pengait bra yang Dira kenakan.
Boing-boing!
Di bawah cahaya pagi yang sedikit mengintip dari celah awan hitam, terpampang dengan jelas buah dada berukuran besar menantang super mulus, setelah semalam sempat bersilaturahmi. Areola hitam bertahtakan puting coklat agak bengkak berwarna kehitaman tegak mengacung. Mengundang untuk dimanja.
"Suka nggak, Bar?" Dira bertanya, malu-malu.
Mata Bara berbinar memandang takjub gunung kembar Dira yang menggoda, kemudian menyahut, "Suka banget, Mbak."
"Sekarang ini punya kamu. Ayo, Bar, nenen lagi kayak semalem. Susuku gatel." Begitu binal ucapan Dira. Praktis membuat Bara terpecut nafsunya.
Mula-mula tangan kiri Bara meremas-remas payudara kanan Dira. Ugh! Sungguh payudara besar yang padat dan empuk sekali. Aliran deras ASI gurih masuk ke dalam tenggorokan Bara saat Bara melumat puting Dira. Lahap dan penuh nafsu. Bergantian kiri dan kanan. Lidah Bara bermain nakal. Kadang menarik-narik. Menggigit. Kadang pula dihisap kuat sampai membuat si empunya susu merengek manja.
"Ahhhhh! Sssshhh! Iyaaaa! Terus, Bar! Ahhhhh!" desah Sira, menikmati rangsangan yang Bara berikan.
Dan hanya butuh tujuh menit untuk mengisi perut dengan asupan ASI berprotein tinggi, Bara telah meneguk habis isi di dalam kedua susu Dira. Sambil tetap menjilati dengan lidah, mulut Bara terbuka lebar. Mencoba melahap payudara Bara ke mulutnya. Hanya sebagian kecil.
Hal itu Bara lakukan berulang-ulang, yang kontan mengalirkan energi mahadahsyat di vagina Dira hingga menyemburkan cairan orgasme!
"Ahhhh! Barrrr! Shitttt! Ahhhh! Aku metu, Bar! Aduhhh! Gendeng kon, Bar!" (
Ahhhh! Barrrr! Shitttt! Ahhhh! Aku keluar, Bar! Aduhhh! Gila kamu, Bar!) Dira kelojotan sambil memeluk Bara erat.
Ya, Dira sendiri sampai terkejut dengan dirinya sendiri. Bagaimana bisa ia orgasme hanya karena dirangsang area dadanya saja? Ini Dira yang memang sange tingkat tinggi atau Bara-nya saja yang kelewat jago? Entahlah. Yang jelas Dira kembali bersiap menerima serangan lanjutan saat merasakan tangan Bara bergerilya menelusuri perut, dan hingga di area kewanitaan Dira.
Semakin turun, tangan Bara bergerak lebih ke bawah untuk memastikan sesuatu. Bara menyusuri paha Dira sambil mengelus-elus kulit mulus Dira. Bara angkat sedikit tubuh Dia untuk melepaskan celana dalam yang wanita itu kenakan.
Setelah terlepas, Bara terhentak. Tidak ada pembalut di sana. Pantas saja Bara tidak mencium aroma menyengat saat wanita yang tengah haid orgasme.
"Katanya haid?" Bara bertanya. Terdengar dari nadanya jika Bara kesal.
Dira gelagapan. Sebenarnya, Dira memang haid satu minggu ini, dan baru bersih kemarin. Alasan itu Dira gunakan spontan saja saat semalam Bara ingin mengajak bercinta.
"A-aku baru bersih kemarin malem, Bar." Takut-takut Dira menjawab.
"Kenapa bohong?" tak ada lagi wajah penuh nafsu di mimik Bara. Kembali datar dan lempeng. "Aku lebih suka mendengar kejujuran walaupun menyakitkan, ketimbang kebohongan manis."
"Ma-maaf."
Bara tak menjawab. Ia kehilangan mood sektika. Gairah panas menggebu lenyap entah ke mana. Tergantikan perasaan dongkol bin jengkel di dada.
"Aku belum siap kalau semalem, Bar. Aku malu. Kamu harus paham perasaan perempuan."
"Iya."
Dira semakin kalut. Nafsunya sudah di ubun-ubun. Ia langsung mendekati Bara. Tanpa kata, Dira memeluk Bara. Mendekatkan bibir, lalu mencium Bara duluan. Bara? Pemuda itu masih belum ada feel. Ia pasif, diam saja.
Kali ini, Dira yang mengambil alih. Ia bagai wanita jalang. Melepaskan pagutan sejenka. Dira meluruskan pandang menatap binal tepat ke arah bola mata. Kemudian, ia bergerak turun ke bawah menuju leher Bara. Menjilat dan menciuminya.
Sedikit banyak Bara mulai terbakar. Terlebih dahulu memberikan ruang untuk Dira mengekspresikan perasaannya. Dilihat dari wajah Dira yang nampak bernafsu, dapat dipastikan wanita itu ingin dituntaskan saat ini juga.
"Bara sayang, jangan ngambek lagi, ya. Hari ini aku punya kamu. Ayo, kamu katanya pengen ngajak aku ngentot? Nih, aku udah kamu bugilin, masa kamu anggurin, sih, Sayang?" Dira berkata serak-serak basah. Genit sekali.
Mood Bara kembali naik saat Dira mengatakan itu. Masih dalam posisi Dira di atas tubuh Bara, mulutnya kembali menerkam payudara serta puting kanan Dira. Gemas. Tangannya ikut-ikutan meremas kuat-kuat buah dada Dira hingga si empunya menjerit manja.
Sampai beberapa saat, Bara telah membuat puting itu kian membesar dan panjang. Maklum ibu menyusui. Warnanya pun hitam gelap, yang entah mengapa membuat Bara kian bernafsu. Hal itu ditenggarai oleh tangan Bara yang bergerak turun ke area kewanitaan Dira. Belai lembut Bara layangkan menggunakan tangan kiri, yang ternyata vagina tembem dan berwarna kehitaman milik Dira sudah basah sekali. Sejenak, Bara diam mengamati bentuk vagina Dira yang beda dari wanita pada umumnya. Serta merta Bara mainkan jemari tangan di celah vagina Dira. Vagina yang ditumbuhi bulu-bulu halus rapi, bersih, serta bebauan khas kewanitaan menguar keluar. Sudah jelas bau basreng, dong!
Bara menghentikan aktivitas mulut di payudara Dira, lalu memandang Dira jahil. "Kok wes teles kebes ngene kimpetmu, Mbak? Hehehe." (
Kok sudah basah kuyup gini vaginamu, mbak? Hehehe.)
"Kamu jahat," jawab Dira, lirih.
Bara terkekeh. Kemudian, Bara merebahkan Dira di atas sofa putih empuk. Bara melanjutkan tugas jarinya di vagina Dira. Pun, Bara kembali meneruskan lumatan di puting Dira.
"Awww! Ahhhh! Sayanggg! Hmm! Terusss! Ahhhh! Ahhhh!" Dira mendesah-desah tertahan karena satu jari Bara mulai merobos dan mengocok vaginanya.
Bara akhiri lumatan di puting Dira, lantas pindah posisi duduk hingga berada di antara selangkangan Dira.
Bara dekatkan wajahnya ke Vagina Dira. Bara buka lebar-lebar liang menggoda yang telah basah itu. Seiring santer tercium pula aroma khas kewanitaan yang membuat Bara semakin berdebar.
"Sayang," panggil Dira parau, karena heran akan tindak tanduk Bara. Dan detik itu juga, Dira langsung tersentak bagai tersengat listrik bertegangan tinggi saat di mana Bara menjilat liang vagina Dira yang telah terbuka lebar. "Ughhhhhhhh!" lenguh Dira. Kepalanya mendongak ke atas. Kedua tangannya meremas dan menjambak-jambak rambut Bara.
Lick! Lick! Lick!
Bara mainkan lidahnya di dalam vagina Dira. Terlebih dahulu ia cari klirotisnya. Setelah ketemu, segera Bara jilat dan kulum klitoris sebesar biji kacang itu. Satu jari tengah Bara kembali mengocok vagina Dira dengan tempo pelan agar Dira bisa menikmati dan merasa nyaman.
"Ahhhhh! Sayanggg! Iyaaa! Ahhhhh! Enakkk! Di situuuu! Ahhhhhh!" desah Dira, meracau tak karuan sambil meletakkan kedua kaki di pundak Bara. Tak peduli jika kakinya menekan perban di badan Bara.
Dan sedetik ...
"Sssshhhhh! Asuuu! Aku mau keluarrrr! Ahhhh! Sayanggg! AHHHHHHHH!!!" erang Dira, tersendat-sendat.
Mendengar itu, aku mempercepat gerakan tangan dan lidahku.
Hingga …
Serrrrr!
"UGHHHHHH! BARAAAAA!!!"
Bara merasakan semburan cairan cinta dari dalam vagina Dira, berikut iringan panjang lenguhan Dira. Badan Dira menegang. Kedua kakinya turun dari pundak Bara, dan kini terbuka lebar sambil bergetar. Kepalanya mendongak ke atas. Mulutnya menganga mengiringi puncak orgasme yang mengakibatkan vaginanya banjir.
Pasca orgasme reda, Dira lemah telentang dengan tetap membuka lebar kedua kaki.
Bara dekati wajah Dira yang layu dan tengah mengambil nafas sebanyak mungkin.
Cup!
Kecupan Bara di dahi membuat Dira memandang Bara, lalu tersenyum lemas.
"Gimana? Enak?" tanya Bara.
Dira tersenyum dan mengangguk kecil sebagai jawaban atas pertanyaan Bara.
Bara rebahan miring di samping Dira sambil tangannya meremas-remas lembut payudara. "Susu Mbak enak banget. Makan apa sih kok bisa besar kayak gini?" pujinya, berbisik di samping telinga Dira.
Dira mengulum senyum. "Emang besar, ya?"
"Iya, dong. Mbak nggak merasa bangga gitu punya aset mantep gini? Aku yang baru kenal Mbak beruntung banget lho bisa dapet jackpot," ucap Bara, sambil masih meremas-remas payudara Dira.
"Hehehe. Ya udah nih kalau suka. Ini buat kamu, kok." Dira menarik kepala Bara, lalu diarahkan ke lembah payudara mengkalnya yang sedang diremas-remas oleh tangan Bara.
Bara kembali melumat dan menjilati buah dada Dira dengan lembut dan penuh perasaan.
Sejurus, Dira bangun dari tidurnya, lalu duduk dan langsung meremas-remas penis Bara yang masih berada di dalam kolor. "Aduh! Ini titid apa pentungan, sih? Gede banget, ih!" nafas Dira tersengal mengatakan itu. Ia belai dan naik-turunkan penis Bara tanpa melepaskan celana kolor si pemuda.
"Ayo, Mbak, gantian. Isepin punyaku."
"Siap, Sayang." Dira mencium pipi Bara. Lantas membuka celana kolor pemuda itu.
Tuing!
Batang besar nan panjang terpampang jelas di hadapan Dira. Kekaguman bercampur kengerian terukir jelas di ekspresi Dira. Mulutnya menganga. Matanya membola.
"Duh, Gusti! Titidmu koyok jaran, cik! Ya ampun! Isok melbu tak gak iki ndek kimpetku, Sayang?" (
Duh, Gusti! Penismu seperti kuda, cik! Ya ampun! Bisa masuk apa tidak ini di vaginaku, Sayang?) Dira nyerocos sendiri. Matanya tak melepaskan pandangan dari penis Bara barang sedikit pun.
"Ojok lebay po'o, seh. Yo isok lah pastine. Nek gak isok berarti fiks Mbak Dira bakal tak hapus tekan wanita idamanku." (Jangan lebay kenapa, sih.
Ya bisalah pastinya. Kalau tidak bisa berarti fiks Mbak Dira bakal aku hapus dari wanita idamanku.)
"Waduh. Ojok, rek. Aku mek kaget tok Iki maeng, hihihi." (
Waduh. Jangan. Aku cuma kaget aja, lho, hihihi.) Dira membeo centil. "Aku seneng seng gede ndlondeng koyok tekmu Iki, Sayang." (
Aku suka yang besar panjang seperti punyamu ini, Sayang.)
"Seng biyen opo gak gede?" (
Yang dulu apa tidak besar?)
"Alah. Jelas sek gedean tekmu. Dowoan tekmu sisan, seh. Terus iki lho ... hmmm! Kepala titidmu koyok jamur mushroom. Guemes pol!" (
Alah. Jelas masih besaran punyamu. Panjangan punyamu juga, sih. Terus ini lho ... hmmm! Kepala penismu seperti jamur mushroom. Gemas sekali!)
"Asu, jamur mushroom jare." (
Anjing, jamur mushroom katanya.)
"Hahahahaha." Keduanya tertawa bersama.
Kemudian, Dira mulai merebahkan Bara. Tangannya yang halus membelai penis Bara dengan lenbut. Tak ingin berlama-lama, Dira menjulurkan lidah, dan mulai menjilati penis Bara secara perlahan. Dari kepala penis hingga buah zakar disesapi tanpa ada yang terlewat.
Dira melahap batang coklat panjang nan tebal itu ke dalam mulut. Hanya kepala dan sebagian badan penis Bara yang sanggup Dira masukkan. Masih menyisakan setengah, dan itu adalah usaha terbaik yang bisa Dira berikan.
Glok! Glok! Glok!
Lalu, kepalan Dira bergerak naik-turun. Membuat Bata merasakan kenikmatan luar biasa atas kuluman Dira, yang kadang menyedot-nyedot kuat.
Sedang enak-enaknya Bara menikmati sepongan Dira, tiba-tiba Dira berhenti.
"Ssshhh! Kenapa, Mbak? Lagi enak, nih!" Bara protes.
Sedangkan Dira duduk sambil menatap Bara dengan pandangan mupeng. "Bar, lebokno ae kerismu nang kimpetku. Aku wes gak kuat. Ayo!" (
Bar, masukkan saja penismu ke vaginaku. Aku sudah tidak kuat. Ayo!)
Bara tersenyum dan mengangguk. "Mbak yang di atas, ya."
Karena nafsu sudah di ubun-ubun, yang ada di otak Dira hanyalah Bara seorang. Ya, hanya Bara yang ada di depan mata Dira saat ini yang harus memuaskan dan menuntaskan nafsu keduanya yang sudah terlanjur tinggi.
Akhirnya, Dira naik ke atas selangkangan Bara, kemudian menggenggam kuat serta mengarahkan batang coklat besar itu hingga tepat di pintu masuk vagina Dira.
Slebbbb!
Kepala penis Bara masuk lebih dahulu. Memberi sapaan hangat kepada tuan rumah, yang langsung disambut siraman pelumas.
Slebbbb!
Dira memejamkan mata. Menurunkan pinggul secara perlahan sambil meringis menahan ngilu dan sesak di dalam vaginanya. Benda tumpul yang sekarang tengah ia tuntun untuk memasuki lubang surgawinya sendiri, kini mulai tenggelam sedikit demi sedikit.
"Ughhhhhh!" lenguh mereka bersamaan, setelah pertama kalinya tidak perempat dari batang Bara yang berukuran besar itu memasuki lorong sempit senggama Dira. Masih butuh sedikit usaha lagi untuk memasukkan penis ke dalam vagina seutuhnya.
Dan terakhir ...
BLESSSS!
Bara yang sudah tidak tahan dan penasaran karena semakin lama vagina Dira semakin meremas, menghujamkan sendiri sisa penisnya yang masih belum tertelan.
"Ahhhhhhh!" Dira ambruk di atas tubuh Bara. Badannya bergetar. Bergerak tak karuan hingga penis bara terlepas dari vagina Dira. Dan ternyata ...
Crats! Crats! Crats!
Semburan air mancur bernama squirt memancar bagai air kencing. Membasahi penis sampai ke paha Bara.
"Hahaha. Astaga. Belum apa-apa udah mancur aja, Mbak." Bara meledek.
"Hhhh ... hhhh ... mmmm ... dibilangin aku sange, kok. Gampang muncrat, ih! Duh, malunya aku." Dira menenggelamkan wajah di ceruk leher Bara.
"Udah?"
"Hmm ... kamu yang masukkin, Sayang."
"Iya, Sayang."
Bara memegang batang kejantanannya dengan tangan kanan. Dira ikut membantu dengan sedikit mengangkat badan.
Blesssss!
Setelah penis Bara kembali masuk, Bara berdiam diri dulu sambil mengamati mata Dira yang terpejam, dan tengah menggigit bibir bawah, menahan desahan.
Sempit nan menjempit. Berikut remasan-remasan kuat dari dinding vagina Dira membuat Bara menahan nafas. Terpejam beberapa saat menikmati sensasi lorong panjang hingga kepala penis Bara menyentuh bagian terdalam lorong sempit, serviks. Bagian antara vagina dan mulut rahim. Sungguh, Bara merasakan nikmat luar biasa.
"Ayo, Mbak, goyang." Bara menginterupsi, seraya memainkan kedua payudara dan mencubit-cubit puting Dira.
Mengangguk kecil, badan Dira yang semula rebahan di atas tubuh Bara, kini mulai bangun. Namun, tetap condong ke Bara, sehingga Bara bisa melihat dengan jelas ekspresi wajah mupeng Dira yang menahan ngilu campur enak.
Sedetik, Dira meletakkan kedua tangan di atas dada Bara. Ia mulai menggoyangkan pinggulnya maju mundur. Air muka Dira kian binal. Ia menikmati goyangannya sendiri di atas selangkangan Bara. Batang penis Bara membuat Dira makin menggila. Apalagi saat Bara mulai mencaplok puting kiri Dira dan kembali menetek, Dira semakin meracau dan mendesah tak karuan. Hantaman rangsangan tak terperi. Dira tak lagi terkendali. Secepat kilat Dira mengubah posisi. Dari yang awalnya condong, kini duduk tegak denfan kedua telapak tangannya di perut Bara.
Plok! Plok! Plok!
Kembali Dira menaik-turunkan pinggulnya sambil terus mendesah tertahan. Bara sedikit toleransi. Ia tak ingin Dira kelelahan. Permainan masih panjang. Sedetik, Bara mengangkat kedua paha Dira, lalu Bara genjot dari bawah batang penisnya menggempur vagina sempit Dira.
"Sayanggg! Awww! Ahhhhhh! Gilakkk! Ahhh! Ahhhh! Enak, Sayang! Ohhhhh! Terussss! Sssshhh! Syaanggg! Sayang Baraaaa! Ohhhhhh!" begitu berisik desahan Dira. Untunglah ia refleks menutupi mulutnya dengan telapak tangan kiri kalau tak ingin membangunkan Aura dan menganggu aktifitas mereka yang sedang panas-panasnya.
Posisi ini nyaman tapi kurang leluasa, akhirnya Bara bangun, dan menuntun Dira untuk nungging. Doggy style, tentu saja. Bara arahkan lagi kontolku ke memeknya dari belakang.
BLESSSS!!!
Batang panjang Bara kembali masuk ke liang surgawi Dira yang sudah sangat basah. Lubang hangat itu terasa lebih sempit ketika Bara tusuk dari belakang.
Plok! Plok! Plok!
Bara mulai menggenjot dengan tempo pelan. Kedua tsngannya memegang dan meremasi bongkahan besar pantat Dira. Seiring berjalannya waktu, pompaan Bara makin lama makin cepat. Bertenaga dan stabil. Maju-mundur. Tusukan setengah batang penis tiga kali, tusukan penuh batang penis satu kali.
Praktis, ulah Bara yang demikian membuat Dira kelojotan. Pahanya mulai bergetar lagi. Sepertinya gelombang kedua akan segera datang.
"Ahhhhh! Sayanggg! Ohhhhh! Sssshhh! Sssshhh! Genjottt! Genjot terus kimpetku, Sayanggg! Enak bangettt! Ohhhhh! Ohhhh! Terusss! Sayanggg!” Dira makin meracau setelah menerima sodokan kuat dari Bara. Begitu luar biasanya posisi doggy style. Bahkan kebanyakan wanita suka sekali posisi ini karena lebih mudah mencapai puncak.
Tak lama, Bara merasakan remasan-remasan dinding vagina Dira. Pun tangan Dira yang mencengkeram kuat lengan Bara. Dira geleng-geleng sambil menoleh. Pinggulnya ikut maju-mundur tak stabil.
“Ahhhhh! Sayanggg! Aku keluar lagiiii! Ohhhhhh!" Dira menegang, disertai getaran-getaran hebat di pinggulnya. Di saat itulah, Bara mencabut penisnya, dan ...
Serrrrrr! Serrrrrrr!
Crats! Crats! Crats!
"Ughhhhhhhh!" lenguhan panjang Dira mengiringi semprotan orgasme bercampur squirt kali ini. Tubuh montoknya lemah, tengkurap di atas sofa putih yang basah keringat.
Bara balikkan tubuh Dira hingga si wanita berdarah India itu telentang. Terlihat Dira ngos-ngosan setelah menerima orgasmenya.
Wajah Dira yang biasanya terlihat dewasa, kalau sehabis mencapai puncak begini berubah jadi innocent. Bara beri jeda istirahat sambil membelai-belai vagina Dira yang basah kuyup.
"Gimana? Dilanjut, Mbak?" Bara bertanya, dibarengi senyum iblis.
"Ayo, masukkin, Sayang, jangan lama-lama."
Bara menekuk kedua kaki Dira, lalu Bara arahkan penisnya untuk memasuki liang senggama Dira.
Terlebih dahulu Bara gesek-gesekkan di tengah-tengah vagina hingga klitorisnya agar nafsu Dira kembali menyala.
"Baraaaa!" Dira merengek.
Slebbb ...
blessss!
Penis panjang berurat Bara kembali mengisi liang surgawi Dira. Sambil berciuman, Bara memompa dengan tempo sedang, karena vagina Dira sudah terlampaui becek
Plok! Plok! Plok!
Crep! Crep! Crep!
Bunyi khas dua insan yang tengah bersenggama santer terdengar saat Bara menggoyang penuh irama. Memaju-mundurkan pinggulnya secara cepat dan dalam porsi yang stabil. Begitu perkasa.
"Ahhhh ... ahhhhh ... ahhhhh ... Sayanggg ... ahhhhh ... ngilu, Sayang, ughhhh!" Dira mendesah serak.
Bara percepat untuk segera menyelesaikan permainan ini. Lagipula, Bara sudah merasakan lonjakan sperma yang sedikit demi sedikit mulai terkumpul di moncong penisnya. Selain itu, Bara tak ingin berlama-lama karena tidak tega melihat Dira yang sudah lemas tapi masih tetap dengan desahan nafsunya. Semua itu demi menegaskan jika Dira ingin memberikan yang terbaik untuk Bara.
Beberapa menit berlalu.
Bara sudah merasakan laharnya yang hampir mencapai titik maksimal meronta-ronta ingin dikeluarkan dari dalam penisnya.
"Ughhh! Mbakkk! Aku mau keluar! Ohhhh! Ohhhh!" Bara mendengus-dengus. Ia mempercepat genjotan. Sangat cepat. Hingga membuat kedua payudara Dira bergoyang-goyang tak tentu arah.
"Ahhhh! Jangan dicepetin! Ahhhhh! Aku nanti keluar lagiiiii! Ahhhh! Sayangggg! Keluar, kan! Ahhhhhh! Keluarrr! Ahhhhh! Bara sayang!!" Dira balas mengerang dan mendesah-desah. Seperti sebelumnya, badan Dira kembali menegang. Matanya memutih dan mulutnya menganga. Nafasnya tertahan. Sampai ...
Serrrrrr! Serrrrrrr!
Crats! Crats! Crats!
Air mancur deras keluar menyemprot kuat sampai ke lantai saat sedetik Bara mencabut penisnya dari dalam vagina Dira.
Yang kemudian, dilanjutkan Bara yang bergerak cepat mengarahkan moncong torpedonya ke mulut Dira. Memasukkannya sendiri, dan langsung mendapat respon dari Dira. Dilahap dan dikulum kuat, dibarengi tangan Dira yang mengocok penis Bara dengan cepat.
Sedetik ...
Crot! Crot! Crot! Crot!
Sperma putih kental bau pandan milik Bara muncrat memenuhi rongga mulut Dira. Dan tanpa disuruh, Dira menelan semua sperma Bara, lantas tersenyum ke arah si sableng dengan ekspresi nakal. "Manis, hihihi."