Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.
Status
Please reply by conversation.
***

Ronde Kedua

Udara di luar semakin dingin. Alih-alih memakai baju untuk menghangatkan diri, Bara dan Dira memilih telanjang bulat tanpa sehelai benang sambil berpelukan. Mereka cudle ringan menikmati sensasi luar biasa pasca sama-sama menggapai puncak kenikmatan persenggamaan.

Dira meletakkan telapak tangan di rahang Bara. Ia elus-elus lembut. Setelah itu, Dira merangkak naik untuk mensejajarkan wajahnya dengan wajah Bara.

"Kimpetku berasa sobek tau, Bar." Dira pura-pura merajuk.

"Tinggal di lem, apa susahnya?" Bara menjawab santai.

Cubitan manja di pipi Bara, Dira daratkan. "Kamu kira pipa, bisa di lem segala? Huh!"

"Hehehe. Mbak tambah cantik kalau udah keluar tsundere-nya."

"Hmm." Dira kembali rebah di dada Bara. Ia tak mau Bara melihat pipinya yang semerah lobster hanya karena dipuji. Yang kemudian, Dira iseng memilin-milin puting kecil Bara. Sontak Bara menggeliat. Kegelian. "Hihihi. Kamu lucu banget, sih, Bar."

"Gak jelas. Awas, baper." Bara mengingatkan, sambil mengelus pucuk kepala Dira.

"Mana ada? Kamu tuh yang baper kali," elak Dira.

"Kalau nggak baper, mana mungkin aku masukkin burungku ke dalam sangkarmu, Sayang," balas Bara dengan suara berat.

"Ah! Diem, ah. Suaramu itu lho bikin panas dingin."

"Lagi, ya, Sayang?" Bara terus menggoda dengan memanggil Dira 'sayang'. Semakin menegaskan jika Bara sungguh menginginkan si wanita India.

"Nggak mau. Masih ngilu." Dira cemberut.

Bara diam. Kembali membalai punggung Dira. Hanya saling belai yang keduanya lakukan. Berikut hembusan nafas lelah keduanya yang aktif. Mulut mereka seakan tidak perlu digunakan jika bahasa tubuh sudah cukup menjelaskan jika mereka saling memanjakan satu sama lain. Bara yang suka meremasi pantat montok Dira, dan Dira yang ketagihan menetek di puting kecil Bara.

"Bar." Dira mendongak. Mendapati yang sedang terpejam. Elusan di pantat pun melemah. "Ih! Kok malah tidur, sih, Bar?"

Bara memeluk tubuh Dira. "Berisik lho Mbak ini."

"Laper aku. Nyari makan, yuk!"

"Tak tidur bentar. Ngantuk."

"Ihhhh! Nanti aja tidurnya abis makan!" Dira merengek. Meronta untuk bangun, lalu menarik Bara untuk bangun. "Dasar kebooo! Buruan!"

"Haduh."

Mau tak mau Bara bangun. Mengekori Dira belakang, yang sebelumnya melihat dan memastikan Aura aman. Keduanya pun berjalan menuju kamar mandi.

Ketika berjalan, gerlihat jelas di mata Bara perpaduan pinggul padat berisi beserta dua pantat lebar super montok Dira melenggak-lenggok, seolah menggoda Bara untuk meremasnya. Ngomong-ngomong soal jalan, kedua kaki Dira nampak lebar seperti pinguin saat melangkah. Bara yang gemas lekas mempercepat jalan. Menepuk dan meremas pantat Dira gemas.

"Ih! Iseng banget, deh." Dira membeo manja. Mempercepat jalan, lalu berlari sambil tertawa cekikikan.

Bara tersenyum. Mengejar Dira yang sudah lebih dulu masuk ke dalam kamar mandi.

Dengan bantuan cahaya lampu kamar mandi yang terang benderang, tubuh Dira dapat Bara telisik lebih jelas. Begitu sempurnanya ciptaan Sang Esa yang diturunkan ke muka bumi. Seolah wanita berdarah India ini terlahir dari pecahan bidadari bidadari surga. Tinggi berisi. Wajah cantik natural. Alis tebal. Mata lebar nan tajam. Bulu mata yang lentik. Bibir atas tipis, bibir bawah tebal. Kemudian, onderdil kebanggaan yang melekat di tubuhnya dari buah dada, pinggul, pantat, hingga liang vagina kelewat indah. Sungguh proporsional.

Merasa ditelanjangi oleh mata cabul Bara, Dira yang berada di depan wastefel dan tengah bercemin, cepat menoleh. Senyum jenaka melengkung di bibirnya. "Gitu amat ngelihatinnya sampai melotot? Kayak nggak pernah liat cewek cantik aja."

Bara tergelak. "Apaan, sih? Aku kan lagi menikmati keindahan ciptaan Tuhan."

"Hush, jangan bawa-bawa Tuhan kalau masih ada nafsu di antara kita."

Bara mendekat. Memegang pinggang Dira, lalu membalikkan badan wanita itu. Keduanya bertatapan. "Kalau nggak ada nafsu, bukan manusia namanya."

"Apa? Kodok zuma?"

"Ngawur. Kerang ajaib, tau."

"Hei, kerang ajaib. Bisa nggak manusia di depanku ini kamu jadikan koci-koci?"

"Cuk. Kenapa ya cewek suka hubung-hubungin segala sesuatu ke makanan? Nggak bisa apa kalau otaknya di isi apa gitu? Yakult misalnya."

"Kalau nggak makan bisa mati, dong."

"Hm talah. Ngomong ae, tak jejeli manuk, lho." (Hm talah. Bicara mulu, aku masuki penis, lho.) Bara menarik kedua pipi chubby Dira sampai merah.

"Mau, dong!" Dira melumat bibir Bara buas. Agresif sekali. Lalu, ia cekikikan saat merasakan batang penis Bara mulai menegang. "Cieee! Ngaceng lagi dia, hihihi."

"Cuk, deh. Ayo cepet bersih-bersih, Mbak." Bara menarik Dira yang tertawa-tawa sinting untuk menuju shower glass room. Sedikit melirik ke bawah.

Keduanya pun mulai saling meraba tubuh satu satu sama lain di bawah guyuran water heater yang di setting hangat. Bara puas-puaskan mengerayangi setiap tubuh Dira berkedok menyabuni. Demikian pula dengan Dira yang bodohnya, ia baru sadar jika sosok Bara terlihat seksi di matanya. Wajah tampan beraura kuat. Tatapan tajam, buas, dan ganas. Tinggi menjulang bak tiang bendera. Pundak lebar nan kokoh. Dada bidang. Juga roti sobek berjumlah enam yang begitu menggoda. Dan yang paling utama, batang penis yang mulia layu namun terlihat besar meski dalam mode tidur, tak diragukan lagi mampu membuat menjerit-jerit keenakan.

Mata Dira kembali menelusuri tubuh berotot Bara. Bodohnya, Dira baru menyadari sesuatu yang terlewat. Yaitu tato Bara.

"Ya ampun! Aku baru sadar kamu punya tato sebanyak ini, Bar!" pekik Dira.

Sejenak aktifitas Bara meratakan sabun cair di buah dada Dira terhenti. Ia memandang heran wanita di depannya ini. "Kok baru sekarang ngomongin tatoku? Wah, fiks kamu mabuk kecubung."

"Ih, bercanda mulu, deh. Tapi serius nih kamu udah tatoan di umurmu yang dua puluh aja belum?"

"Seperti yang Mbak liat." Bara menjawab, dan kembali melanjutkan aktivitas terlarang.

"Ini tato asli, kan? Bukan temporer, kan?"

"Iya."

Dira kian terpukau. Sudah jelas kehidupan keras telah banyak dilalui Bara. Bahkan Dira sangat yakin jika berbagai model tato di tubuh Bara memiliki arti mendalam. Inginnya bertanya lebih jauh perihal arti tato Bara, tapi Dira sadar jika Bara pasti tak nyaman kalau diusik masa lalunya.

Seakan paham pikiran Dira hanya melalaui tatapan, Bara kembali berkata, "nanti aku ceritain kalau Mbak penasaran."

"Boleh, Bar?"

"Buat wanita pertama yang menjadi teman tidurku di kota ini, boleh-boleh aja."

"Entah aku harus senang atau pingin menghajarmu sekarang."

"Justru aku yang akan menghajar Mbak." Bara mengusap-usap vagina Dira dengan jemari tangan kanan. Yang anehnya, Dira melebarkan kedua paha. Seakan mempersilahkan pria penuh misteri di hadapannya ini untuk kembali mengeksplor dirinya. Kemudian, Bara memojokkan Dira di bawah shower. Air mengalir deras dari atas kepala mereka, sebelum Bara menambahkan, "Aku hajar pakai kontol maksudnya."

Dira mencubit puting Bara. "Ih, jorok omongannya. Nggak suka."

"Beneran nggak suka?" Bara memasukkan satu jari. Mengobel-obel vagina Dira yang mulai basah. Dikocok-kocok barang sebentar, Bara berhenti. Ia pandangi Dira yang matanya kembali sayu sambil menggigit bibir bawah. "Nungging, Sayang."

Bagai kerbau dicucuk hidungnya, Dira mengikuti perintah Bara. Ia balik badan. Punggungnya sedikit melengkung. Kepalanya menoleh ke belakang sambil memandangi wajah Bara, kemudian turun ke arah penis kekar yang entah sejak kapan sudah berubah menjadi mode tempur.

Slebbbb ... blessss!

"Ahhhhhh!" keduanya mendesah kencang, saat di mana penis Bara kembali menerobos celah sempit milik Dira sampai mentok. Untuk kedua kalinya, Dira benar-benar takluk di bawah kendali nafsu penuh dosa. Dosa ternikmat.

Plok! Plok! Plok!

Bara mulai memompa. Sedang dan cepat. Kali ini bara gunakan teknik 2-1. Masalahnya mereka sedang doggy style. Hal yang paling disukai semua orang. Tak terkecuali Bara. Dengan posisi ini, Bara bisa leluasa menikmati setiap jepitan hangat nan menggigit dari vagina Dira. Pun, Bara bisa melakukan berbagai variasi rangsangan lagi untuk Dira.

Plak! Plak! Plak!

Dimulai dari telapak tangan kanan Bara yang menampari bokong semok Dira. Tiga kali tamparan sudah cukup meninggalkan bekas merah di sana. Dilanjutkan tangan kiri Bara menuju ke arah vagina Dira. Mencari klitoris wanira itu, lalu memilin dan menggosoknya ke kanan-kiri. Cepat. Secepat pinggul Bara menyodok vagina Dira yang semakin becek.

"Ahhhhh ... ahhhh ... sssshhh ... ohhhhh ... ohhhhhh ... Sayanggg ... jangan cepet-cepet ... ahhhh ... ahhhhh ... nanti aku keluar lagiiiii ...." Suara serak Dira terputus-putus. Desahannya manja terdengar.

Bara mendengar, tapi tak berniat membalas ucapan Dira. Bara kian mempercepat pompaan. Hanya desah dan dengus nafas berat yang keluar dari mulut jahanam Bara.

"Ugh, Mbak! Hmmm! Kimpetmu anget banget, Mbak! Kontolku berasa masuk ke kimpet perawan, nih! Ohhhhh! Ohhhhhh!"

"Sayanggg ... ahhhhh ... ahhhhh ... dalem banget masuknyaaaa ... ahhhhh ... sayangggg ... aku nggak kuatttt ... minggirrrr ... udahhhh ... aku muncrattt! BARAAAAA!"

CRATS! CRATS! CRATS!

Ada kiranya sebelas pompaan, badan Dira mulai merinding. Panas dingin. Vaginanya berkontraksi. Sebentar lagi. Ya, sebentar lagi Dira akan sampai. Saking nikmatnya genjotan batang besar Bara di vagina Dira, tangan wanita itu sampai tidak sadar mencakar-cakar tangan Bara. Wajahnya terdongak ke atas, seiring tsunami squirt super dahsyat menyemprot keluar.

Penis Bara berasa diremas kuat sebuah cakram. Sedetik, Bara hentakkan kuat batangnya, lalu mencabutnya cepat.

Semburan squirt Dira langsung menguar deras bagai tsunami kecil di tepi pantai. Cairan bening itu berhamburan ke mana-mana. Lantai basah kamar mandi menyamarkan air squirt Dira.

Dira terkejang-kejang. Bergetar. Lenguhan Dira tertahan saat Bara kembali menjejalkan penisnya ke dalam vagina becek Dira.

Nikmat. Ngilu. Lemas.

Badan Dira hampir terjatuh. Namun, secepat capung Bara memegangi perutnya. Sekali lagi Bara memompa. Kali ini dua kali lebih cepat. Cairan squirt kembali keluar dari celah sempit vagina Dira, yang setiap Bara menarik panjang penis menyisakan kepalanya saja, cairan itu keluar. Bening. Bau bayclin.

Dira mengalami multi-squirt. Rasa-rasanya seluruh persendian Dira kendur. Tulangnya berasa lunak.

"Bara sayang ... ohhhhh ... kamu jahattt ... aku kok diginiin ... ahhhh ... ahhhhhh ... ini nggak boleh ... ahhhhh ... kamu nggak boleh ngentotin aku kayak ... giniiii!" racauan Dira berubah melengking saat mendapati salah satu tangan Bara bergerak menyusuri buah dadanya. Memelintir puting dan menarik-nariknya. "Sayangggg ... aku muncrat lagiiii ... enakkkk ... ahhhh ... ahhhhh ... aku lemes, Sayang, ahhhhh!" sambung desahan Dira. Pahanya terus-terusan bergetar. Berikut liang surgawi wanita berdarah India ini mengeluarkan caira cintanya.

"Hhhh ... hhhhh ... Mbak ... ohhhhh ... becek banget kimpetmu, Mbak, sssshhhhh ... ahhhh ...." Bara mengerang-erang. Ia sendiri sudah sangat bernafsu dalam menggenjot dan memainkan kedua susu Dira bergantian.

Menyerah. Dira hanya bisa pasrah sekarang. Desahannya pelan. Kadang diam sekadar menikmati perlakuan yang Bara berikan. Tak lagi Dira mampu berkata-kata. Persenggamaan ini tak bisa dilukiskan di kanvas putih. Sebab, warna yang ditorehkan terlampaui banyak. Tak hanya hitam dan putih, namun pelangi. Pelangi yang sesungguhnya.

"Ughhh ... Mbak ... ssshhh ... aku mau keluar, Mbak, sssshhh ... ahhhh ... kimpetmu enak ... ohhhhh ...."

"Hmm ... keluarin aja, Sayang, ayo ya ... ahhhhh ... ngilu, Sayang, ahhhh ... ahhhhh ...." Dira membalas lemah.

"Dikeluarin di mana, Mbak? Ahhhh ... ahhhh ... Mbakkk ... aduhhhh ...."

"Di dalem aja ... aku pengen ... ahhhhhh ... ngerasain pejumu ... ayo, Sayang, nanti aku ... ahhhhh ... ahhhhh ... nanti aku keluar lagi ... ohhhhh ... Baraaa ...."

Secepat kilat, Bara merotasi tubuh Dira untuk ia gendong tanpa melepaskan ular liarnya dari dalam sangkar Dira. Memegangi kedua paha Dira agar wanita itu tidak terjatuh.

Gelagapan Dira dengan apa yang Bara lakukan, ia memeluk Bara sambil kedua tangannya dikalungkan ke leher Bara. Berikut kedua kaki yang melingkar di pantat si sableng.

Plok! Plok! Plok!

Tanpa babibu, segera Bara memompa batang panjangnya, yang semakin mantap menusuk jauh ke dalam. Naik-turun. Bunyi peraduan antar kedua selangkangan santer terdengar merdu. Gelora nafsu tak lagi bisa terbendung. Baik Bara mau pun Dira sama-sama bergetar.

"Sayang ... hhhhh ... ahhhh ... ahhhhh ... kamu ngapain? Ahhhh ... aku ojok dingenekno ... ahhhhh ... matek aku, Sayang, ahhhh ... tambah jeru kontolmu nang kimpetku ... ahhhhhhh!" (Sayang ... hhhhh ... ahhhh ... ahhhhh ... kamu ngapain? Ahhhh ... aku jangan diginikan ... ahhhhh ... mati aku, Sayang, ahhhh ... tambah dalam penismu di vaginaku ... ahhhhhhh!) Dira meraung-raung. Ikut berkontribusi dengan bergerak naik-turun berkolaborasi bersama sodokan maut batangan panjang yang mulai mengencang berkedut-kedut.

"Mbakkk ... Aku metu, Mbak, ahhhh ... aku metu Nang kimpetmu, Mbakkk! Tak semprot kimpetmu ambek pejukuuu! Ahhhhh! Enakkk!" (Mbakkk ... Aku keluar, Mbak, ahhhh ... aku keluar di vaginamu, Mbakkk! Aku semprot vaginamu dengan spermakuuuu! Ahhhhh! Enakkk!) Bara mendesah-desah. Nafasnya kian memburu.

"Ssshhh ... Bara bajingannn ... ahhhhh ... aduhhhh ... enaknyaaa ... ahhhh dasar kamu bajingan!" balas Dira dengan nafas tersengal-sengal. Lantas, Dira mencari bibir Bara. Setelah ketemu, Dira memagut dan melumatnya buas. Lidahnya liar mencari-cari lisah Bara.

Tanpa mengendurkan tempo kocokan penis, Bara ikut membalas. Lebih ganas. Bahkan Bara lebih dulu menghisap lidah Dira.

Dan sedetik ...

"AHHHHHHHHH!!!"

SERRRRRRR! SERRRRRRRR!

CROT! CROT! CROT! CROT!


Desah panjang itu mengakhiri sesi ronde kedua. Dua cairan bertemu. Bersatu padu saat Bara menancap dan menghentak kuat penisnya di liang surgawi Dira. Begitu banyak semburan magma yang Bara keluarkan di dalam sana hingga mencapai rahim. Demikian pula multi-orgasme yang Dira dapatkan. Jantungnya berhenti berdetak untuk beberapa detik saat merasakan vaginanya tak berhenti mengeluarkan cairan cinta. Seolah menyambut ramah sperma kental nan panas yang datang untuk bersilaturahmi.

Beberapa saat kemudian, keheningan tercipta. Hanya gemericik air yang berisik. Bara dan Dira masih meresapi sensasi bercinta di bawah guyuran shower hangat. Nafas mereka masih memburu. Nafsu mereka mulai reda. Tapi tidak dengan benda panjang yang rasanya masih tetap keras bagai kayu, serta vagina Dira yang menyedot-nyedot penis Bara.

Lalu, setelah nafas keduanya mulai teratur ... plop! Bara mencabut keris saktinya, yang kemudian ia lanjutkan untuk menurunkan tubuh Dira. Secara hati-hati, pastinya. Praktis, Dira langsung terduduk lemas. Ia pandangi ke arah kewanitaannya. Sperma Bara meleleh keluar dari celah vaginanya. Juga terlihat lubang vaginanya menganga lebar. Tak bisa Dira bayangkan jika Bara menjadi pasangannya kelak, ia harus merelakan vagina yang ia rawat dengan baik agar selalu sempit. Berhubung lawannya Bara, sudah jelas vaginanya akan melar. Bahkan jika beruntung, vagina Dira tak akan mengalami haid lagi. Yang justru benih-benih subur milik Bara bertemu selu telur menghasilkan mahakarya berupa janin.

"Baraaa ...." Dira merengek. Cemberut baik anak kecil. Kedua tangannya terulur ke depan.

Bara paham. Segera Bara membantu Dira untuk bangun. Bara memeluk Dira sambil menggelus-elus punggung wanita itu. "Maaf, ya."

"Nggak pa-pa, kok."

"Eh, kok nggak pa-pa? Aku minta maaf itu karena ngeluarin sperma di dalam kimpetmu yang becek itu."

"Ih, masih aja mesum." Dira menguatkan pelukan.

"Kalau jadi gimana?"

"Kalau jadi ya kamu jadi bapak, dong."

"Waduh! Bahaya ini."

"Bahaya gimana? Mau enaknya, tapi nggak mau susahnya. Dasar semua cowok sama aja." Dira ngambek. Ia berniat melepaskan pelukan, namun tertahan karena Bara mengencangkan pelukan.

"Maksudku, bahaya kalau emang jadi beneran. Aku harus mengurus tiga bidadari sekaligus."

Pipi Dira merah merona. Ucapan Bara membuatnya meleyot. Bagaimana bisa si sableng ini mengatakan seolah-olah ia ingin Dira hamil dan melahirkan bayi perempuan? Bara sudah bilang sendiri kalau akan mengurus tiga bidadari. Yang dua sudah jelas Dira dan Aura. Dan yang satu adalah anak hasil kenakalan remaja di kamar mandi.

"Don't worry. Aku bakal tanggung jawab kalau memang itu terjadi." Bara merenggangkan pelukan. Menatap dalam penuh kasih tepat di mata Dira yang tengah salah tingkah. Lantas, Bara tanpa permisi mendaratkan kecupan di dahi Dira, lalu berucap, "Indira Gandhi Divariyadi. Namamu seindah parasmu. Walaupun kamu baru saja mengalami hal buruk, aku nggak mau kamu bersedih. Karena sekarang, aku, Bara Geni, akan menjadi penjagamu. Penjaga Aura. Maka dari itu ...." Bara menjeda. Itu karena badan Dira tiba-tiba bergetar. Matanya berkaca-kaca. Ia menahan tangis. Masih diam, sekaan menanti Bara melanjutkan ucapannya. Bara tersenyum manis. Ketulusan ada di matanya. Ya, ini adalah senyum terindah seorang laki-laki yang pernah Dira lihat. Bara ... pria misterius ini membuatnya gila!

"Dira." Bara menyatukan keningnya dan kening Dira.

"Y-ya?" Dira gugup. Jantungnya berdebar-debar. Ia menanti dengan tefang ucapan yang akan terlontar dari mulut Bara kalau pemuda ini sudah memanggilnya nama tanpa embel-embel 'mbak'.

"Meskipun kita baru kenal, dan tentu saja belum saling memahami satu sama lain, izinkan aku berada di sampingmu dan Aura."

Dira terisak. Ia memejamkan mata sebentar, lalu memandang Bara. Tak ada raut konyol atau pun bercanda di sana. Entah apa maksud dari ucapan Bara, yang jelas Dira menangkap satu sinyal: mulai sekarang, Bara akan menjadi pelindungnya dan si tuan putri Aura.

"Kamu tau jawabanku." Dira menguatkan pelukan. Senyaman ini Dira dengan lelaki yang baru dikenalnya. Feeling Dira saat pertama kali Bara datang di Rantai Hitam tak meleset. Bara memiliki jiwa ksatria di dalam dirinya, terlepas dari wajahnya yang seperti penjahat.

"Terima kasih. Kalau gitu, aku katakan satu hal dari awal untuk kamu ingat."

"Apa itu?"

"Jangan melihat lelaki lain kecuali aku kalau nggak mau aku mencabut kedua bola matamu."

"Kamu cowok gila." Dira terkekeh. Ucapan Bara sungguh the next level bucin tingkat hardcore. Dan melihat ketangguhan dan tidak segan-segan dalam melukai bahkan membunuh orang lain, tak perlu lagi Dira pertanyakan kesungguhan pemuda itu.

"Aku sayang kamu, Dira."

Ah, shit! Ini dia kalimat yang paling Dira benci. Bukan benci dalam arti sesungguhnya, tapi benci karena ucapan ini bisa membuatnya pingsan. Terlebih yang mengatakannya lelaki setampan dan seperkasa Bara.

"Bajingan. Aku juga sayang kamu."

Bara mencubit pelan pipi Dira. "Bisa nggak kata-kata joroknya dibuang dulu? Suka banget merusak momen."

"Hihihi." Dira cekikikan. Senang rasanya membuat kesal. "Iya, Bara sayang, Dira juga sayang Bara. Jagain Dira sama Aura. Jangan buat kita nangis, ya."

"Kalau buat menjerit, boleh?"

"Tuh, kan! Ih! Bara mah yang suka ngerusak momen." Dira membeo manja.

Bara tertawa saja melihat Dira yang begitu menggemaskan kalau sudah manja. Sisi lain wanita yang sudah lama tak Bara lihat.

"Ehm ... Bara." Dira memanggil, malu-malu.

"Kenapa, Sayang?"

"Bo-boleh nggak Dira minta digituin lagi?"

Alis Bara terangkat satu. "Digituin?"

"Ih! Bara sengaja mancing Dira buat ngomong yang jorok-jorok, ya?" todong Dira.

"Bukan gitu. Maksud kata 'digituin' itu kan banyak. Kamu minta dicium bibirnya, atau diisep nenennya, atau jangan-jangan kamu minta dientotin memeknya?" goda Bara, menohok.

"Ih! Tuh, kan! Kok Bara ngomong memek, sih? Dira nggak suka pakai kata itu, ah. Terlalu vulgar, tau."

"Pussy, gimana?"

Dira menimang-nimang, lalu mengangguk lucu. "Tidak buruk."

"Oke. Ronde ketiga?"

Dira menaik-turunkan kedua alis sambil kedua bibirnya membentuk senyum tertahan. "Kalau kamu masih kuat, sih."

"Bersiaplah nggak bisa jalan seminggu, Sayangku!"
 
Terakhir diubah:
***

Siapa Ratu?

Masih di Istanbul. Ditemani Dira dan Aura, Bara bagaikan lelaki paling bahagia di dunia karena dikelilingi dua keimutan nyata di depannya. Senyum Dira yang semanis madu ketika menyuapi Aura. Demikian tawa ceria si tuan putri Aura yang menerima suapan dari sang mama sambil menonton tayangan kartun anak-anak: Masha and the Bear.

Berbicara soal makan, saat ini Bara berada di lantai bawah Istanbul. Tepatnya restoran di belakang lobby. Gedung basecamp ini laksana hotel bintang lima. Dilengkapi berbagai macam fasilitas terbaiknya. Tak hanya itu, menurut pengakuan seorang gadis muda Rantai Hitam Crew yang bertugas menjadi tour guide, tempat ini merangkap menjadi rumah singgah tamu kehormatan inti Rantai Hitam. Termasuk Dira dan Aura yang notabene adik tingkat Tiga Serangkai, yang dua orangnya sudah Bara kenal. Yaitu Loki dan Rio. Sedang yang satu masih belum menunjukkan batang hidungnya.

Siang ini ... iya, siang. Mengapa sarapan hari ini sedikit terlambat? Itu karena Bara kembali memadu kelamin bersama si semok Dira dengan durasi lama. Tak heran jika di ronde ketiga Bara begitu mendominasi. Di samping kantung zakarnya sedang proses pengisian ulang, Bara suka sekali melihat Dira terkencing-kencing. Tak terhitung berapa kali Dira memancarkan squirt dari vagina sambil Bara mengisi tenaga dengan asupan gizi dari ASI Dira.

Sembari mengamati interaksi ibu dan anak di depannya, Bara menghabiskan segala macam menu hidangan di meja. Dari nasi steak, king crab, curry udon dicambur beef jumbo, dan yang terakhir hidangan yang wajib diberi keju balok: tokpoki pedas level 4.

Semua itu tandas dalam waktu 30 menit. Disambung Bara yang langsung menenggak habis Jasmine Ice Tea. Menyeka mulut dengan tisu, Bara menyandarkan punggung ke kursi. Bersendawa sambil menutupi mulut dengan tangan. Sederhana dan terlihat sopan. Bara memang bisa menempatkan diri di mana pun ia berada.

Baru saja hendak mengambil rokok, deheman keras mengagetkan Bara. Asalnya dari si wanita beranak satu, yang siang ini menggenakan outfit bak pekerja kantoran. Dimulai dari kepala Dira yang terbungkus hijab segi empat polos warna abu-abu bahan voal. Lalu, pakaiannya menggenakan kemaja putih dan long outer motif polka dot. Berikut perpaduan serasi celana jeans abu-abu ketat. Satu kata: elegan.

Sebenarnya, Dira tidak berhijab. Ia lakukan ini untuk meminimalisir kecurigaan orang-orang akan bekas merah bernama kissmark di leher. Tak hanya satu, mungkin jika dihitung ada enam. Ulah Bara, siapa lagi? Dasar lelaki nakal.

"Jangan rokokan. Aura masih makan," tegur Dira, seraya memberikan sideeyes mautnya.

Bara tersenyum kecut, dan secara otomatis menarik tangan dari benda kotak berisikan lima batang rokok Surya. Agak kurang rasanya kalau setelah makan tidak diimbangi membakar rokok. Tapi apalah daya, saat ini Bara sedang bersama orang lain. Orang lain yang spesial, pastinya. Untuk itu, Bara mengalihkan fokus ke arah Aura yang masih setia cosplay Nana Gajah. Duduk dengan menggoyang-goyangkan kaki pendeknya ke kanan-kiri, maju-mundur. Gemas, Bara menowel pipi bocah itu yang masih mengunyah makanan.

Aura mendongak. Mengatakan sesuatu yang tidak bisa dipahami. Bahkan Bara sampai harus mengatakan 'apa' sebanyak tiga kali.

"Aura bilang, dia minta dipangku sama Papa. Gitu." Dira sang translator dadakan menejermahan.

"Oh. Sini, sini, cantiknya Papa. Anak Papa pasti pengen disuapin makan sama Papa, kan?" Bara merentangkan tangan. Mengangkat Aura agak tinggi, lalu mendudukkan si mungil di pangkuan.

Setelah itu, Aura menelan makanan di mulut, lantas menggeleng-geleng sambil melipat tangan di depan dada. Kedua pipinya digelembungkan. Bibirnya maju lima centi, kemudian berkata, "Uap Mama. Ndak mau cama Papa. Aula mauna dielus-elus aja cama Papa." (Disuapi Mama. Tidak mau sama Papa. Aura maunya dielus-elus aja sama Papa.)

Tingkah lucu Aura mengundang geleng dan senyum bersamaan Bara dan Dira. Kedua manusia dewasa itu melakukan permintaan Aura.

Interaksi keduanya mengundang iri si gadis Rantai Hitam Crew akan suasana harmonis yang diciptakan tamunya. Lebih dari itu, ia salut akan kesabaran Bara, yang notabene tak memiliki pengalaman mengatasi anak kecil. Namun kenyataannya, si anak kecil justru menempel bak pranko. Mau heran tapi ini Aura. Aura yang sudah menganggap Bara seperti papanya.

Sampai sepiring spaghetti sosis sapi terakhir tertelan di perut Aura, datanglah seorang pemuda berambut gondrong sebahu yang juga menggenakan outfit sama seperti yang dikenakan oleh si gadis muda. Bedanya, si pemuda gondrong ini memakai kacamata. Kesan culun sekaligus sangar menjadi kesan pertama Bara saat melihatnya.

"Amit, Mas Bara." (Permisi, Mas Bara.) Si pemuda gondrong menyapa sopan.

"Ya?"

"Sampeyan disuruh nemuin manajer Istanbul untuk melapor perihal misi tempo hari. Oleh sebab itu, mari saya temani."

"Oke." Bara menoleh kepada si gadis muda, lalu berucap, "Kamu jagain Mbak Dira sama bocil ini, ya."

Si gadis muda mengangguk patuh. "Siap, Mas."

Terlebih dahulu Bara meletakkan Aura di tempat semula. Mata Aura seperti akan menangis, tapi buru-buru Bara menghiburnya. "Aura di sini dulu, oke? Papa mau ke toilet."

"Papa!" Aura mulai menangis. Meronta-ronta untuk turun, tak mau ditinggal.

Dira segera tanggap. Ia menggendong Aura sambil mengelus-elus punggung Aura. Dira berkata kepada Bara dengan gerakan bibir dan lirikan mata untuk Bara segera pergi dari sana.

Bara sempatkan mengelus pucuk kepala Aura. "Aku akan segera kembali."

***

Ruangan tempat manajer Istanbul terletak di lantai 2. Cukup memakai tangga sebelah kanan, Bara telah tiba di depan ruangan berpintu ganda. Kayu jati yang diukir membentuk bunga Wijayakusuma meninggalkan kesan estetik, syarat akan keindahan setiap mata yang memandang.

Si pemuda gondrong mengetuk pintu, sambil bersuara, "Permisi, Bu Ratu. Saya datang sama Mas Bara."

"Masuk!"

Satu pintu didorong, si pemuda gondrong mempersilahkan Bara masuk terlebih dahulu. Langkah Bara sedikit ragu. Ia merasakan sedikit bahaya. Insting kejantanannya mengatakan jika Bara harus pergi dari sana. Tetapi, sungguh terlambat.

Wush!

Sambutan yang pertama Bara dapat adalah seekor kucing yang tiba-tiba menerjang ke arahnya. Kucing gembul berbulu putih bersih. Menempel di muka Bara sambil mengeong.

"MBOKNE ANCOK! ENGGERNO SETAN IKI TEKAN RAIKU, COK!" (BEDEBAH! SINGKIRKAN SETAN INI DARI WAJAHKU, COK!) Bara berteriak seperti wanita. Semua orang melongo saat melihat Bara yang bergerak layaknya seekor banci. Ia menggibas-gibaskan si kucing putih sambil meronta-ronta. Ada ketakutan setiap suaranya melengking minta tolong.

Sontak, orang-orang yang di sana ikut panik. Tak terkecuali seorang lelaki yang sedang tertidur di atas sofa bantalan boneka Spongebob langsung duduk. Mengerjap-ngerjapkan matanya yang layu, lalu memandang ke sumber keributan.

Berdiri malas, lelaki berkumis tipis itu menghampiri Bara yang dilanda musibah. Si kucing putih dielus perlahan, lalu berubah haluan berhambur ke pelukan si lelaki yang mengelus bulu lembutnya.

"He, arek congok." (He, anak bodoh.) Si kumis tipis menegur. Menampar-nampar pipi Bara yang masih merasa kegelian. Si lelaki hampir kehabisan kata-kata. Baru ini ia dapati seorang pria phobia kucing. Sungguh, baru ini. Bajingan.

"Gatheli ... huh ... huh ... asu ...." (Menjengkelkan ... huh ... huh ... anjing ....) Bara ngos-ngosan. Sudah seperti dipaksa lari maraton 10 km.

"Lapo seh awakmu iku, blok? Lanang kok wedi kucing? Lucu." (Kenapa sih kamu itu, blok? Laki kok takut kucing? Lucu.)

"Gak terimo wedi tok. Nek aku wes muntap, tak kerangkeng setan iku nang Segitiga Bermuda. He! Sek! Iku ingon-ingonmu, a?" (Tidak terima takut lagi. Kalau aku sudah emosi, aku kurung setan itu di Segitiga Bermuda. He! Sebentar! Itu peliharanmu, kah?)

"Nek iyo, awakmu kate lapo?" (Kalau iya, kamu mau apa?)

Wajah Bara masam. Tanpa disuruh, ia berjalan ke arah sofa bekas tempat tidur si lelaki berwajah ngantuk. Ada teko yang terbuat dari kaca bening dan berbagai bentuk gelas di atas meja kayu jati. Segera Bara menuang air ke dalam gelas model red and white glass. Air berwarna coklat cerah. Saat gelas sedikit berbusa, Bara bisa menebak ini bir. Tapi, bir kok diletakkan ke dalam teko? Kenapa?

Bara menciumnya sedikit. Menyengat. Sepertinya ada campuran lain, yang masih asing di hidung Bara. Segera Bara coba minum. Sedikit demi sedikit, lama-lama menjadi mabuk. Ya! Cottonwood Whisky dicambur bir Anker langsung membakar tenggorokan Bara. Rasanya kuat dan nendang. Kepala Bara berat. Pandangan ngeblur. Kedua pipi terasa tebal.

Sejenak Bara menatap setiap eksistensi di ruangan ini. Cukup besar, 9x9. Bara amati ada tiga manusia, dan satu binatang sialan.

Kemudian, si pemuda gondrong berjalan mendekati Bara yang wajahnya merah padam. Ia bertanya, "Mas, sampeyan gak po-po, a?" (Mas, kamu tidak apa-apa, kah?)

"Hehehe. Minuman apa ini? Enak banget. Hahhhh! Segerrr!" Bara menjawab ngawur. Tidak sesuai pertanyaan. Yang berikutnya ia lakukan adalah menenggak langsung air di dalam teko yang sisa setengah. Jika dihitung, kiranya masih ada 200 ml.

Glek! Glek! Glek!

"Hahhhhh!"

Bara menyeka tetesan di sudut bibir akibat alkohol campuran yang kelewat nikmat. Satu teko ia habiskan sendiri tanpa dosa. Tanpa memperhatikan jika si kumis tipis susah ada di hadapannya. Menatap datar seraya mengeluarkan rokok. Membakarnya, lalu menghembuskannya ke atas.

"Anak ini jauh lebih gila dari dua curut itu." Sarkas si kumis tipis sambil menghisap lagi rokoknya. "Harusnya aku menghabisi anak ini sekarang juga. Tapi sepertinya aku kehilangan gairah kalau orang yang katanya berbahaya, justru phobia kucing anggora."

"Hyuk! Jangan ngawur kamu kalau ngomong. Justru aku yang menghabisimu, bajingan. Hewan sialanmu sudah mengotori wajahku. Hyuk!" Bara sendawa. Ucapannya masih jelas, namun pikirannya melayang entah ke mana. Ia sandarkan punggung, lalu mengulurkan tangan. "Bagi rokokmu, ndeng, gendeng." (Bagi rokokmu, la, gila.)

Si kumis tipis melempar rokok beserta korek gas ke atas meja. Secepat kilat Bara menyambar. Saat hendak membakar, si pemuda gondrong menegur dan membenarkan letak filternya yang terbalik.

Bara menepis kasar. "Asu. Menengo drijimu, jancok. Aku kate rokokan, ndeng." (Anjing. Diam jarimu, jancok. Aku mau rokokan, gila.)

"Sek talah, Mas. Tak benakno sek rokok'e sampeyan seng kuwolak-walik construction iku." (Sebentar dulu, Mas. Aku benarkan dulu rokoknya kamu yang kebolak-balik konstruksi itu.) Si pemuda gondrong cukup sabar. Masih cukup telaten mengurus Bara yang mulai tak terkendali omongannya.

Setelah dibantu membakar rokok, Bara memejamkan mata. Menikmati aroma lembut rokok Mild. Meresap masuk ke dalam jiwa. Perpaduan antara campuran alkohol entah apa itu dan tarikan panjang pada batang rokok hingga sisa setengah.

Semua orang di dalam ruangan mendiamkan. Hanya mengamati. Satu orang yang sedari diam duduk di balik meja masih belum melepaskan pandangan. Bahkan saat orang itu berdiri, berjalan anggun, dan berdiri sama tinggi dengan si lelaki berkumis tipis, terlihat matanya berkaca-kaca. Bara, pemuda jangkung yang tengah melawan mabuknya itu masih belum sadar jikalau si orang ketiga, yang tak lain wanita paruh baya, sudah duduk di sampingnya. Mengelus rahang kokoh si sableng.

"Akhirnya kamu datang. Putraku, Bara Geni."
 
Terakhir diubah:
Kayanya prefixnya salah deh sama salah lapak juga, soalnya ga muncul di tempat cerbung" yg biasanya.
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd