Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG H A G I A


Part 15
Rindu Itu Berat

Mungkin memang belum jodohnya, itu adalah kata-kata paling manjur untuk menyembuhkan patah hati. Atau lebih mantap lagi kalau disambung kalimat tausyah 'karena sesungguhnya Allah mengetahui mana yang paling baik buat kamu' sembari memberi contoh Ayu Dewi yang dahulu ditinggal Zumi Zola menjelang pernikahannya yang sekarang sang mantan malah tersandung kasus korupsi.

Tapi kok rasanya jadi mendoakan mantan bernasib buruk, atau minimal lebih jelek dari kita, yah...? Hehehehe, batin Dimi sendiri jadi geli sendiri. Lebih geli lagi kenapa tiba-tiba saja dia teringat pada si brewok yang sudah membuatnya gulana selama 11 bulan belakangan ini.

Hampir setahun sudah Dimi putus sama Zenith. Setelah berbulan-bulan galau dan ngedengerin lagunya Raisa "Usai di Sini" sambil garuk-garuk tanah. Toh, akhirnya Dimi bisa move on juga. Dan tak mau jadi seperti para demonstran yang kurang piknik itu, Dimi pun menjalani kehidupannya seperti sediakala tanpa harus memaksa agar semesta tunduk pada keinginannya.

Dan layaknya orang yang pernah mengalami patah hati untuk pertama kali, Dimi hanya bisa terus melangkah dan menapaki hari esok yang membentang di depan matanya. Karena ia tahu pasti, setiap langkah baru yang dibuatnya akan selalu menghantar Dimi pada kemungkinan-kemungkinan lain yang tak terhitung jumlahnya.

Buku Dimi udah diterbitkan. Alhamdullillah, sudah dicetak dua kali, meski review pembaca yang ngaudzubillah jahatnya di goodreads.com sempat membuat si kecil mogok nulis selama sebulan.

Ibunya tentu yang paling senang buku si bungsu berhasil diterbitkan, meski sang ayah berpendapat buku Dimi terlalu kekiri-kirian dan banyak mengutip para filsofof "buat apa repot-repot mengutip Descartes, kalau toh ujung-ujungnya yang dikaji Al-Quran..." kata sang ayah, pedas.

Menghadapi ini, Dimi hanya bisa angkat bahu. Di goodreads dirinya sudah dikata-katai titisan Dajjal dan disama-samakan dengan si penista agama, satu lagi tambahan kritik lagi tak ubahnya bagai membuang garam ke laut.

Dimi memilih duduk di ruang tamu rumahnya, sambil mengetuk-ngetukkan jari mungilnya pada tuts keyboard laptop, libur akhir semesternya yang hanya tinggal bersisa 1 minggu terlalu sayang untuk dihabiskan untuk berdebat dengan orang yang percaya bahwa gempa bumi diakibatkan oleh perilaku seks menyimpang ketimbang pergeseran lempeng tektonik.

Layaknya seorang penulis baru, Dimi mengalami sindrom buku kedua. Ia harus membuktikan pada para pembaca dan terutama pada dirinya, bahwa naskahnya memang benar-benar layak terbit, bukan karena faktor keberuntungan semata.

Tapi dihadapkan pada lembar-demi lembar draft naskah ceritanya yang sepertinya hanya berputar-putar di tempat, barulah Dimi merasakan kepingan dirinya yang tak lagi utuh.

Diam-diam Dimi rindu si brewok.


●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●


"Dimi, engkau adalah tulang rusuk ku, tapi sekarang engkau sudah menjadi jalur busway...."

"Wakakakag! Nape ente, sob? kesurupan arwahnya Vicky Prasetyo?"

Rosyid yang sedang menggenjereng-genjreng gitar tergelak-gelak melihat Zenith yang tiba-tiba berceletuk. Padahal satu jam sebelumnya anak itu masih asyik mengerjakan proyek cerita religi keduanya.

Si brewok cuma nyengir unta. Ternyata menulis cerita religi itu sulit, serius. Mau dibikin yang model gimana, Zen juga masih belum menemukan gambaran.

Mau dibikin yang model-model wahabi kaya 'Ayat-ayat Cinta', yang tokoh utama cewek dan tokoh utama cowoknya nggak mau pandang-pandangan mata? Atau dibikin gaya Islam Nusantara yang berlatar sebuah pesantren tradisional kaya 'Kambing dan Hujan'-nya Makhfud Ikhwan? Dibikin tentang pertemuan nilai-nilai luhur Islam dengan nilai-nilai barat macam '99 Cahaya di Langit Eropa'? Atau dibikin ekstrim sekalian tentang jihad melawan orang-orang kafir?

Tapi semakin dipikir, semakin pusing pula kepala Zen.

Mau dibikin tokohnya bisa pacaran, takut dibilang antek-antek Jamaah Islam Liberal. Mau dibikin ada poster Khomeini di dinding kamar tokoh utamanya, takut dibilang simpatisan Syiah.

Sampai pada halaman kelima, Zenith sadar ia hanya berputar-putar pada satu tempat yang sama. Tulisannya kehilangan ruh. Kehilangan Taksu.

Dimi adalah getar pertama yang menggerakkan gelombang arus inspirasinya. Tanpa Dimi, Zenith hanyalah butiran debu yang tenggelam dalam lautan duka dalaaaaam....

Zenith terdiam lama. Ternyata benar kata Dilan, 'Rindu itu lebih berat dari hutang negara'.
 
Part 16
Intuisi


Hari ini Dimi terlihat lebih cerah dari biasa. Entah kenapa, Dimi merasa semesta seolah-olah memberi pertanda bahwa hari ini akan terjadi hal menyenangkan.

Pagi ini cerita favoritnya di-update setelah sekian lama ditinggal sang author bertapa. Pagi ini juga ia mendapat pesan dari Mas Iyaz (editor penerbit Mijon) bahwa bukunya akan dicetak untuk ketiga kalinya. Dan Dimi tidak akan heran jika di detik berikutnya ia mendapat kabar PSS Sleman akan masuk putaran final Liga Champion.

Benar saja. Husna menelponnya pagi ini, berkata bahwa ia sedang ada di kota Dimi. Si kecil langsung membelalak tak percaya, sudah terbayang akan mengajak sahabatnya itu berjalan-jalan berkeliling kota kecilnya sembari berwisata kuliner dan mencari oleh-oleh lucu.

"Emang kak Husna ada acara apa, hayooo....? Bulan madu, yah? Cie cieeeee...," kata Dimi girang bukan kepalang.

"Bukan.... teman seangkatan ana.... menikah besok. Di kota anti."

"Siapa?" tanya Dimi sambil berharap yang menikah bukan Zenith.

"Monik," jawab Husna.

"Oh," Dimi menyahut pendek.

Monik. Tentu saja Dimi kenal nama itu. Mantan pacar Zenith yang pernah membuat si brewok gulana dan menelurkan kisah tentang patah hati terhebat berjudul 'Tersedak Nostalgia' dan 'Paradisko'.

Mantannya menikah... si brewok kira-kira datang nggak, ya? batin Dimi.

"Zenith juga datang. Teman-teman seangkatan ana semua datang," ujar Husna seolah tahu isi pikiran si kecil.

"Ih, ana nggak nanya. Wek!"

Terdengar suara terkikik-kikik dari seberang telepon. "Ya sudah. Tapi ana sampai kira-kira nanti sore. Jemput ana di Terminal, ya?"

"Mbak Husna datang sama Mas Bagas?"

"Enggak. Ana datang sendiri. Makanya nanti anti yang harus menemani ana datang ke acara walimah...."

"Eh???"

Terdengar suara terkikik untuk kedua kalinya ketika Husna membayangkan ekspresi Dimi di seberang telepon.

"Ana naik bus Sumber Kencono. Jemput ana jam 4 sore ya. Assalamualaikum."

"Wa-wa alaikum salam...."

Telepon ditutup. Ada jeda panjang antara salam dan momen ketika Dimi menyadari ekspresi wajahnya sendiri.

Huft. Dimi menggembungkan pipinya yang perlahan bersemu.

Usaha move-on setahun jadi nirfaedah.

●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●

"Mamfus ana!" umpat si brewok sambil nepok kepala begitu melihat postingan Dimi di Instagram bersama Monik dan Husna.

Bagi Zenith tidak ada yang lebih jancuk daripada datang ke acara nikahan mantan pacar. Tambah jancuk lagi mengetahui mantan yang satunya juga akan datang bernama Husna. Tapi dirinya sudah kepalang tanggung, bersama Rosyid dan teman-teman cowoknya, Zenith sudah setengah perjalanan menuju gedung pertemuan dengan menumpang mobil pribadi.

"Sekalian mampir ke rumahnya sob, bawa roti buaya," sahut si kribo yang melihat sepupunya sedang komat-kamit baca Ayat Kursi.

"Diem ente, Sid!"

Bukannya Zenith tidak ingin bertemu Dimi. Tapi apa yang terjadi di antara keduanya selama setahun ini tidak bisa begitu saja dilupakan. Siapa yang mengira 'bedebah antipornografi' dan pujaan hatinya adalah orang yang sama?

Lagipula Dimi juga sudah tahu identias rahasianya. Memangnya Dimi masih mau diajak balikan? Zenith menghela nafas panjang, terpaksa membuang jauh-jauh premis muskil mengenai maestro lendir yang bertobat dan memperistri calon bidadari surga.

"Ya salaaam... cobaan apa ini?" keluh Zenith putus asa.

●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●

Zenith menghela nafas panjang sebelum melangkahkan kaki memasuki gedung pertemuan itu. Prosesi pedang Pora sedang dilakukan ketika Zenith mengisi buku tamu. Monik dan suaminya berjalan di atas karpet merah sementara di kiri kanannya berbaris para perwira yang mengacungkan pedang membentuk terowongan.

Hal pertama yang dilakukan Zenith ketika tiba di tempat resepsi adalah mengambil makanan banyak-banyak. Memberi ucapan selamat bisa dilakukan belakangan, karena pelaminan masih penuh sesak dengan handai taulan yang ingin memberikan ucapan selamat.

Hal kedua yang dilakukan Zenith adalah menyiagakan semua inderanya, menyisir wajah-wajah yang memenuhi gedung pertemuan besar itu.

Survey membuktikan, selain bandara dan reunian, acara mantenan adalah tempat terpopuler di mana kamu bisa ketemu mantan pacar. Tapi meski sudah mengerahkan kemampuan mata 'Sharingan' milik Sasuke Uchiha, pencarian Zenith tidak membuahkan hasil. Tanpa menyadari bahwa Dimi pun melakukan hal yang sama.

Padahal sedari tadi Dimi juga melongok-longok mencoba mencari keberadaan makhluk astral itu. Sayangnya Dimi kekurangan tinggi badan.

Tamu undangan yang membeludak membuat tubuh mungil Dimi tenggelam di antara lautan manusia.

"Rekan-rekan mahasiswa Fakultas *Piiiiiii* angkatan *piiiiiiip*," dimohon untuk naik untuk berfoto.

Yang dicari Dimi muncul dari kerumunan. Cengangas-cengenges sambil garuk-garuk rambutnya yang sudah mulai memanjang sedagu. Tubuhnya yang tinggi jangkung membuatnya tampak paling mencolok di antara teman-teman seangkatannya. Sebaliknya dari posisinya di atas panggung, dengan jelas Zenith bisa melihat tubuh mungil Dimi yang tersembunyi di balik kerumunan orang-orang yang mengantri es puter.

Kali ini, Dimi tidak bisa lagi mengelak. Sosok brewok yang mengenakan setelan batik lengan panjang menyapanya lebih dulu.

"Hei."

"Eh, kak zenith."

"Datang juga?

"Diajak Mbak Husna," cepat-cepat Dimi mengalihkan pandangan pada tumpukan gelas es puter.

"Apa kabar?" tanya Zenith.

"Baik, kak Zenith?"

"Begini-begini aja... hehehe..."

"Hehehe..."

Kembali hening. Dimi mencoba menghilangkan rikuh dengan mengantri es puter, tapi yang ada tubuhnya yang mungil malah terdorong ke sana kemari.

Zenith berinisiatif mengambilkan segelas.

"Makasih," ujar Dimi sambil menundukkan kepala.

"Duduk, yuk..." kata Zenith dan menggamit lengan Dimi tanpa diminta. "Ada yang mau saya bicarakan," kata sang pemuda pelan.

Dimi hanya bisa diam. Pikirannya terasa kosong ketika Zenith mengajaknya berjalan ke arah sebuah bangku plastik kosong.

˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●

Sebenarnya sudah lama Zenith ingin mengatakan hal ini, tapi dirinya tidak tahu harus memulai dari mana. Sejak awal hubungan keduanya menyimpan rahasia. Dimi Sang Aktivis Membaca Sehat. Zenith Sang Maestro Lendir. Kandasnya hubungan mereka sudah bisa dipastikan sejak awal cerita.

"Mau ngomong apa?" tanya Dimi, dingin.

"Saya cuma mau minta maaf," kata Zenith, pelan.

"Buat?" sebelah alis Dimi terangkat.

"Sudah menuduh Dimi yang mereport cerita kedua saya."

Hening sesaat.

"Tapi memang Dimi yang nge-report cerita Si Oom yang pertama," aku Dimi.

Hening.

Ada sedikit rasa lega. Ada kejujuran yang pelan-pelan dibuka di antara keduanya.

"Kenapa ngilang? Ditungguin sama pembaca loh lanjutan cerita religinya."

"Ane sibuk....."

"Nulis skripsi?"

"Nulis cerita."

"Ih. Kirain udah tobat."

"Kagak lah. Sekarang nulisnya cerita silat-religi, cerita clean," kata si brewok, "tapi... yah.... gitu deh...," kata Zenith sambil garuk-garuk kepala.

"Kenapa?"

"Lapaknya lebih sepi dari tukang las di kuburan."

Dimi mencoba menahan tawa.

"Kak Zenith nulis apa memangnya?"

"Aneh lah pokoknya... aib."

"Makanya, kasih tahu atuh sinopsisnya," sahut Dimi antusias.

Posisi duduk Zenith menegak. Sepasang matanya ikut berubah antusias.

"Jadi ada marbot mushola di desa kecil. Nah, di desa itu penduduknya pada jadi TKW, tapi ternyata malah dijual keluar negeri jadi PSK sama agen penyalurnya. Nah, tokoh utamanya dimintain tolong sama pak kades untuk menyelidiki hilangnya para penduduk desa yang jadi TKW. Yang membawa tokoh utama terlibat perseteruan dengan mafia perdagangan manusia ilegal di Hong Kong. Seiring perjalanan cerita ternyata terkuaklah rahasia bahwa sang marbot tokoh utama ternyata adalah mantan pembunuh bayaran terhebat yang sudah bertobat."

Dimi terkikik-kikik, tak bisa lagi menahan tawa. "Kok sinopsisnya mirip kaya film Azrax-nya Aa Gatot Brajamusti?"

"Terinspirasi," sahut Zenith diplomatis, persis seperti jawaban para penulis yang ngeles ketika tulisannya ketahuan plagiat.

"Nggak dikirim ke penerbit, kak?"

"Udah, dong...," Zenith nyengir. "Udah diterbitin malah."

"Beneran?" mata Dimi membeliak tak percaya.

●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●

Cerita silat-religi Zenith diterbitin. Serius. Judulnya Joni Kopong. Covernya digambarin sama anak DKV ISI Jogja temen nongkrongnya. Ongkos cetaknya dimodalin si kribo. Dan nomor ISBN-nya: "Insyaallah Barokah".

Kalo kalian suka ngece penulis-penulis yang nerbitin cerita dengan cara Self Published, nah si brewok ini nerbitin ceritanya pake cara yang paling dasar: DIY (Do it Yourself). Nulis, nulis sendiri. Cetak, cetak sendiri. Jual, jual sendiri. Berdikari. Fantang tunduk pada kapitalisme!!! Uwoooooooh!!!

"Laku?"

Zenith cuma nyengir.

"Syukur-syukur ada yang beli. Nggak dibakar di tanggal-tanggal cantik sama anak buahnya si habib aja ane udah bersyukur," Zenith tersenyum lemas.

Dimi tergelak-gelak.

"Makanya naskahnya dikirimin ke penerbit Mijon atuh. Sama penerbit Mijon mah dibantuin banget buat promosi sama distribusinya. Buku Dimi aja sudah mau naik cetakan ketiga."

"Wah, keren! Buku Dimi gimana kabarnya?"

Kali ini giliran Dimi yang gemetar. "Oh... iya... anu... maaf Dimi belum sempat transfer...."

"Transfer apaan?"

"Royalti buku Dimi, kak... buku itu... kan setengahnya hasil karya kak Zenith."

"Aduuuuh.... Kok repot-repot sih...."

"Nggak apa, kak! Dimi juga nggak mau mengambil apa yang bukan hak Dimi." raut wajah Dimi terlihat mengeras.

Zenith garuk-garuk kepala, agak rikuh juga sebenarnya membicarakan uang di saat-saat seperti ini. Tapi mendengar nominal yang disebut Dimi, Zenith tanpa malu-malu langsung menyebut nomor rekening. (Minta ditabok emang nih anak)

"Lumayan dipakai modal nikah. Sayangnya calonnya belum ada. Ahahahaha!"

"Ih! Ngode!" Dimi menjulurkan lidahnya, sudah terbiasa dengan mulut Zenith yang tidak ada remnya.

"Hehehe...."

"Tapi beneran, loh. Dimi cuma bisa bilang terima kasih," kata Dimi tulus. "Sudah membantu Dimi menulis buku itu."

Ada perasaan lega ketika ia akhirnya mengatakan hal itu. Seolah ada beban berat yang kini terangkat dari pundak Dimi setelah sekian lama.

Hidup berjalan dalam rangkaian kejadian yang seolah acak tapi sebenarnya memiliki 'satu benang merah' tak kasat mata. Keterikatan setiap atom pada lintasannya, ketundukan sel-sel pada kromosomnya. Juga setiap potensi dan probabilitas. Semua tunduk dalam satu Maha Rahasia yang tersimpan di Langit Tak Tersentuh. Dimi tidak bisa menerka. Tidak akan pernah bisa menerka. Adakah mereka sepasang garis lurus yang berjalan seiringan tapi tak akan pernah bisa bersatu? Ataukah sepasang garis tegak lurus yang bertemu untuk sesaat sebelum melanjutkan perjalanan menuju arah yang berbeda

Tapi sedapatnya Dimi masih ingin mengikuti intuisinya, apapun itu.

"Terus cerita religi kak Zenith gimana?"

"Kayanya ane nggak berbakat nulis cerita religi...," kata Zenith lemas.

"Kalau begitu, kenapa kak Zenith nggak nulis tentang cinta-cintaan lagi? Tapi kali ini yang clean... nggak usah pakai ehem-ehem...."

"Kaya Tersedak Nostalgia dan Paradisko?"

Dimi mengangguk. "Meski banyak adegan erotisnya, tapi aku beneran nangis loh bacanya," ucapnya tulus.

Si kribo cuma bisa nyengir sambil garuk-garuk kepala. "Hehehe... sampe sebegitunya yah... maklum lah, dulu kan nulisnya pas lagi galau...."

Dimi menggembungkan pipinya yang lucu. "Huuu... emang sebegitunya sakitnya ya diputusin sama Monik sampai bisa nulis cerita kaya gitu."

"Ho-oh... sakit," jawab Zenith jujur, "....tapi lebih sakit putus sama mantan yang satunya, sih..."

"Huuuuu! Tapi kenapa yang dibikinin cerita cuma mantan yang itu?!"

"Nggak tahu, deh...," Zenith mengangkat bahu. "Soalnya buat kisah kali ini, aku mau coba bikin akhir yang bahagia, sekali saja..."
 
Part 17
Pledoi Seorang Penulis Cerita Porno



"Jadi intinya terjadi standar ganda. Orang bisa menikmati adegan seks non-consent antara cewek yang dipaksa melayani nafsu bejat cowok ganteng-kaya tapi bajingan, tapi giliran ada adegan KBB dibilangnya pornografi," orasi si brewok berapi-api.

"KBB, tuh apaan, Sid?" tanya Husna polos.

"Kisah Beauty and The Beast," sahut Rosyid sambil menjelaskan sub-genre cerita erotis di mana perempuan cantik yang berhubungan intim dengan laki-laki miskin atau buruk rupa.

Husna terkikik pelan. Tapi Dimi yang duduk di samping Husna sudah kadung merah padam wajahnya mendengar percakapan tak senonoh itu.

"Huh! Kalian ini, ya! Kenapa sih orang suka banget nulis cerita porno?!" tanya Dimi sambil memberengut sebal.

Zenith tak ingin melakukan pledoi atas kejahatannya mengotori pikiran suci dedek-dedek gemesh follower-nya. Tapi dengan diplomatis, si brewok menjawab:

"Karena ada permintaan, sih. Yang jelas suply nggak akan pernah ada kalau nggak ada demand."

Rosyid dan Husna sontak tergelak-gelak mendengar penjelasan semena-mena si-manusia-berotak lendir.

Sama seperti profesi bidan, koki, PSK, atau bidang-bidang pekerjaan lain yang bergerak dalam penyediaan jasa. Profesi penulis cerita porno sejatinya hanya mengisi celah kebutuhan yang tidak bisa dilakukan oleh orang lain. Yakni kemampuan untuk berfantasi jorok dan menuangkannya ke dalam kalimat dan paragraf.

Meski pura-pura tak mengakui, (ayo akui saja) kalian sebenarnya bosan dengan adegan seks yang itu-itu saja. Hasrat karnal yang direpresi selama bertahun-tahun atas nama norma dan etika membuat kalian memimpikan seks yang tabu: dilecehkan oleh seorang pria tampan berkuasa, bercinta dengan pilot/dokter/arsitek tampan, diikat dan dilecut dalam sebuah percintaan yang sadomasokis. Meski... ah... hanya sebatas fantasi.

"Meski ane nggak nulis cerpan. Some else will. Karena birahi manusia akan mencari jalan pemuasannya sendiri," sabda sang filsuf liberal di hadapan para jamaahnya.

"Ana nggak peduli! Pokoknya ana tetap benci cerita-cerita yang memakai adegan-adegan erotis sebagai bumbu untuk mendapatkan pembaca!" tandas Dimi kejam.

"Eh?! Siapa bilang cerita ane pakai bumbu adegan erotis?!" sengit Zenith tidak terima.

"Lah, terus?" Rosyid menaikkan sebelah alis.

"Buat ane adegan erotis itu bukan bumbu! Tapi bahan utama!" tandas Zen sungguh-sungguh.

Ledakan tawa Husna dan Rosyid tidak bisa ditahan-tahan lagi. Tawa lepas membahana memenuhi kabin mobil mungil si kribo hingga menenggelamkan suara tahrim yang sudah terdengar di kejauhan.


●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●


Ada yang berbeda dengan Ramadhan kali ini. Selain pedagang takjil yang tiap hari menenuhi jalan paving di dalam kampus yang bertambah-tambah macet dari tahun ke tahunnya. Selain jumlah jamaah Masjid Kampus yang meluber di awal-awal untuk mendengarkan ceramah dari tokoh-tokoh ternama. Kehadiran dua orang calon bidadari surga bersama sepasang pemuda berotak lendir sudah cukup untuk membuat malaikat pencatat amal geleng-geleng kepala.

Monik, anggota trio lendir sudah diboyong suaminya yang perwira ke Wamena, meninggalkan Zenith dan Rosyid, dua orang pembela kebenaran pemberantas keperawanan dengan satu visi-misi mulia di awal Ramadhan ini: kita harus lekas bertobat lalu cepat-cepat mengucap akad.

Sebenarnya, sejak lama Zenith ingin mengajak Dimi berangkat sholat tarawih bareng, tapi karena gengsi dia minta tolong Rosyid. Nah, si kribo ini (yang sekarang sudah jadi teman bisnisnya Husna) nge-SSI-in si binor manis ini buat ngajakin Dimi sholat taraweh naik mobil barunya. Dan voila. Bagai gayung bersambut, tak lama kemudian empat orang beda tingkat taqwa ini sudah meluncur membelah jalanan macet, mencari tempat parkir di pelataran samping Masjid Kampus yang dipadati oleh para jamaah.

"Dimi nggak mau tahu! Pokoknya Dimi nggak suka kak Zenith nulis cerita porno lagi!" hardik Dimi sambil membelalakkan sepasang matanya yang lucu.

"Iye... iye... ane udah tobat kok, Dim... lihat aja akun ane udah bersih," sahut Zenith pasrah demi pujaan hatinya.

"Beneran kak Rosyid? Dia nggak punya akun kloningan?" Dimi melirik sepupu si brwok yang tengah sibuk menyetir.

"Bohong, Dim. Dia masih nulis cerpan cuma nggak dipost aja!"

"Huasyemik, nggak ce-es ente, Sid!" sewot Zenith sambil mengeplak rambut kribo sepupunya dengan kopiah.

Husna tergelak-gelak melihat dua orang pemuda yang duduk di bangku depan saling pukul kopiah.

"Huuuuu... dasar tobat kagetan!" cibir Dimi.

Zenith cuma mesem-mesem. Prospek balikannya terancam kandas di tangan si kribo.

"Etapi dulu pernah sih, si brewok tobat. Yang cerita-ceritanya dihapusin itu," atas nama kesetiakawanan saudara seperlendiran Rosyid cepat meralat. "Inget nggak?"

"Beneran?" tanya Dimi setengah percaya.

"Iya, Dim. Si brewok rela tobat demi kamu. Demi apah sodarah-sodarah? Demi Dewaaaa!!!!"

"Diem ente, fantat onta!" Zenith mengeplak kepala si kribo, kali ini tanpa berniat mengurangi tenaga sedikitpun.


●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●


'Tobat itu demi Allah, bukan demi makhluk,' kata-kata itu terus terngiang-ngiang dari kedalaman batin Zenith. Hingga ceramah seorang guru besar sekaligus politisi terkenal dari partai 'biru' yang tengah berapi-api mengkritisi kebijakan pemerintah di atas mimbar pun tak didengarkannya lagi. Benak Zenith dipenuhi pertanyaan tentang Alam Raya, tentang Surga dan Neraka. Sambil berharap Allah tidak buru-buru menutup pintu tobat untuknya.

Terlepas betapa inginpun dirinya terbebas dari dosa Jariyah, di kepala Zenith selalu terbersit gagasan-gagasan sinting tentang adegan persetubuhan abnormal yang bisa membuat Enny Arrow mengucurkan air mata di alam baka saking terharunya.

Setan tak perlu disalahkan atas imajinasi liar sang maestro, sebagaimana ia tidak perlu lagi menjadi kambing hitam atas perilaku manusia yang kini bahkan lebih keji dari syaitonnirrojim, (kaum dhuafa yang dipaksa berlari-lari di acara televisi, ibu-ibu yang mengajak balitanya melakukan bom bunuh diri).

Imajinasinya terlampau jenial. Bahkan setanpun ikut angkat topi atas adegan-adegan seks yang di luar nalar. Bayangkan, penulis cerita erotis mana yang kepikiran melibatkan Shaun The Sheep, Barnie The Dinosaur, dan Teletubbies dalam sebuah pesta orgy di Istana Siluman?

Ya Salam.... Kenapa otak ane isinya lendir mulu.... keluh Zenith... kasih ane ide nulis cerita CEO, tapi yang syariah kek.... biar nggak gini mulu isi tobat ane tiap tahun...

Zenith menghela napas berat... Mungkin Ramadhan kali ini saatnya untuk benar-benar bertobat...


●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●


Orang ini cuma salah jalan. Dimi berusaha memberi tahu dirinya sendiri. Sama seperti tokoh utama wanita yang selalu dibuat tergila-gila pada lelaki bajingan, naluri keibuan Dimi berkata bahwa Zenith masih bisa diajak kembali ke jalan yang benar. Tapi bagaimana caranya?

"Makanya Zenith harus dicarikan istri. Agar libidonya tersalurkan," suara kampret si kribo memecah kesunyian batin Dimi.

"Betul," Husna mengamini sambil mengulum senyum.

"Idih! Mbak Husna ngomong apa, sih!" Dimi menyenggol Husna dengan wajah bersemu.

Karena parkir cukup jauh, Zenith mencoba menjadi gentleman dengan menawarkan diri mengambil mobil. Sementara Husna dan Dimi menunggu di pelataran masjid yang berbentuk tangga tinggi, tepat di depan patung air mancur bertulis asma Allah. Rosyid dengan baik hati menawari mengawal dua calon bidadari ini di tengah kerumunan jamaah yang baru bubar sholat witir.

Sayangnya si kribo mengajak berghibah.

"Ana serius! Anti tahu zina sama tangan itu dosanya sama dengan berzina beneran?"

"Masa?!" Dimi membeliak tak percaya.

Husna mengamini, mengutip fatwa salah seorang Syaikh. "Tapi antum salah kalau menikah niatnya hanya untuk halal ber-jima', karena dalam pernikahan itu banyaaak sekali hal yang terlibat di dalamnya. Jangan sampai antum terburu-buru menikah hanya tidak ingin pacaran dan salah pilih calon suami yang malah menimbulkan kemudhorotan karena cerai, misalnya."

"Kaya Salma dan Taqy," imbuh Rosyid yang tiap hari ngikutin Insert Pagi, Insert Siang, dan Insert Today.

"Betul-betul-betul," kompak Husna.

Hu-uh! Dimi majukan bibirnya. Dirinya aktif menyebarkan tagar #udahputusinaja yang dipopulerkan Ustaz Felix Siauw, masa sekarang ia harus pacaran lagi, sih?

"Tapi nggak usah pacaran juga, banyak mudhorotnya," ralat Husna. "Sekian lama anti kenal Zenith, masa anti belum yakin Zenith orang yang tepat?"

"Ukh." Sepasang mata Dimi membola ke kiri dan ke kanan. "Ana malah baru tahu kalau dia Oom Vijay!"

"Itu karena kalian berdua belum terbuka satu sama lain," wanita yang lebih keibuan itu mencoba menasihati.

"Hare gene masih pacaran? Makanya ta'aruf, TJOY!" si kampret ikut mengompori.

Dimi tak bisa membantah lagi. Ponselnya yang berdering pertanda sang korban ghibah sudah berada tak jauh dari pintu gerbang.


●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●˚●


Semesta memiliki kecerdasan rahasia, dan tak satupun kejadian yang berjalan dengan sia-sia. Rencana menulis cerita religinya yang pertama. Pertemuannya dengan Dimi di toko buku. Bahkan setiap pertengkaran dan sakit hati. Semua seperti jalinan takdir yang saling berkonspirasi. Diam-diam Zenith memandangi pantulan wajah Dimi dari kaca spion depan. Berusaha mencari petunjuk dari wajah manis yang terbingkai jilbab syari dan kacamata berframe tebal itu.

Husna minta diantar membeli makan sahur di daerah Gejayan, lalu diantar pulang ke kontrakannya di bilangan Baciro. Mobil melaju lambat-lambat, bukan karena arus lalu lintas yang terlampau padat, tapi Zenith yang memang sedang ingin berlama-lama memandangi sang pujaan hati yang senyumnya semanis sari kurma.

Mengingat kesucian bulan Romadhon dan demi menghindari ghibah dan percakapan tak senonoh, Dimi membuka panel diskusi, temanya 'Pluralisme'. Si kecil sendiri yang jadi moderatornya.

"Teng-teng-teng! Diskusi dimulaiiii...." ujar Dimi riang. "Silahkan dimulai dari bapak Rosyid."

Rosyid yang liberal berpendapat bahwa semua agama itu benar, tapi tentu saja Husna tak sependapat.

"Kalau begitu kenapa ada agama yang membolehkan pengikutnya minum anggur, sedang ada yang tidak. Kalau begitu kenapa ada yang membolehkan makan daging babi, sedang ada yang tidak. Tuhan tidak pernah mengeluarkan aturan yang berbeda-beda. Itu artinya cuma ada satu agama yang benar. Itu yang dinamakan Aqidah."

Dimi mengangguk setuju.

Rosyid mengemukakan pendapatnya tentang 'Kebenaran Relatif', tapi lagi-lagi Husna berada di kutub yang berseberangan. "Tidak ada yang namanya banyak versi kebenaran. Yang ada hanya satu kebenaran," tandas Husna tanpa bisa ditawar-tawar lagi.

Mendengar perdebatan yang menjurus anarkis, Si brewok yang mendapat giliran menyetir malah sibuk mengganti-ganti saluran radio, berharap ada penyiar radio yang berbaik hati memutar lagu "Kali Kedua" buat ngajakin Dimi balikan.

"Menurut kak Zenith gimana?" pancing Dimi melihat si brewok yang apatis.

"Hah? Apa?"

"Ish! Nggak dengerin orang diskusi!"

Zenith tersenyum kecil. "Yakin nanya ke ane?"

Dimi mengangguk.

"Ini kajian liberal tapi ya."

Dimi mengangguk lagi. Dua orang yang lain kompak menunggu kajian Sang Filsuf Sesat.

"Ane sependapat sama Husna, sih..." jawab Zenith kalem. "Salah satunya pasti benar. Itu yang namanya Iman. Makanya beragama itu untuk mencari kebenaran, bukan untuk menjadi benar...," Zenith berdehem, memberi jeda sebentar. Dua orang akhwat itu tampak puas mendengar bagian pertama kajiaannya yang syar'i.

Pemuda brewok itu menarik napas panjang, karena setelah ini adalah bagian liberal dari kajiannya yang bisa memicu kontroversi.

"Sayangnya dari kecil kita sudah kadung diajari untuk menjadi benar. Kita sudah kadung didoktrin kalau orang kafir bakal masuk Neraka, dan orang muslim bakal masuk Surga, tapi inti beragama bukan cuma buat masuk Surga, kan?"

"Terus kalau tujuan akhirnya bukan buat masuk Surga apa, dong?" Dimi menaikkan sebelah alisnya.

"Kalau tujuan beragama cuma buat masuk Surga, kasihan sekali orang-orang yang potong kompas masuk surga dan ngajakin anak balitanya ikut bom bunuh diri semata-mata karena keyakinan bahwa mereka syahid dan masuk Surga."

"Your point is?" Rosyid mengerutkan kening.

"There's a long road and winding to heaven, my brother. Apa gunanya Baginda Rosul berdakwah 23 tahun kalau tujuan akhir cuma mati syahid? Apa gunanya fikih dan syariat? Apa gunanya solat dan puasa kalau pintu Surga cukup dibuka dengan meledakkan isi perut di Gereja?"

"Surga bukanlah tujuan akhir," kata Zenith. "Surga adalah penunjuk arah. Agar kita tidak salah jalan."

Zenith terdiam. Lama. Karena sesungguhnya kata-kata itu ditujukan untuk dirinya sendiri.

_______________________________

Sebenarnya mau dibikin adegan Zenith ketemu sama bokap-nyokapnya Dimi, tapi ntar deh, kita kasih mereka senang-senang dulu. Terus Monik. Monik ini blunder terbesar cerita Hagia. Emang sih, awalnya niat Hagia ini plotnya mau dibikin FTV banget, dua orang yang saling sebel di awal, terus saling sayang seiring perjalanan cerita, tapi dihalangi karakter antagonis yang sejahat neneknya Tapasya. Tapi repot banget ngeberesin konflik Monik ini. Pusing pala beby. Makanya tokoh ini ane simpen dulu. Ntar konfliknya kita munculin dari sisi lain aja.

Mudah-mudahan tamat lah di episode 20-an... jangan panjang2 lha cerita kaya gini...

Afwan buat yang konservatif, soalnya cerita ana jadi liberal gini.

___________________________

-
 
"Surga bukanlah tujuan akhir," kata Zenith. "Surga adalah penunjuk arah. Agar kita tidak salah jalan."
Kajian Sorganya menambah pencerahan Suhu...
Itu memang relatif makna bagi setiap orang.

Bagi ane pribadi, setiap manusia memiliki semacam prinsip-prinsip hakiki di dalam dirinya yang membuatnya peka terhadap kebahagiaan maupun penderitaan orang lain. Dengan demikian, yang menjadi otoritas penentu bukanlah pertimbangan-pertimbangan rasional, melainkan pertama-tama adalah perasaan moral kita.

Trims buat karya Anda Suhu Jaya S
:ampun:
 
segerrrrrrrrrr,.. ane jdi pengen diskusi face to face ma si om,.. wkwkwk tp takut si om ntar malah jdi senwen klo ketemu ma ane,.. wakakakakak
 
Welcome back om! Setelah berapa tahun ini? Hehe... ane sampe lupa kisah sebelumnya. Btw, emang si brewok sempet jadian sama dimi? Erotisnya munculin lagi om!
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd