EPISODE DUA: Mencoba Berondong? Yakin?
I
Dua minggu setelah threesome pertama kami. Aku dan Gina duduk berduaan di teras lantai dua, bersantai menikmati malam. Kami baru saja menyelesaikan makan malam, anak-anak yang sudah besar-besar, sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Jadi, kami merasa inilah waktu kami untuk berdua. Menikmatinya serileks mungkin.
Sejak kejadian malam itu, kami merasa ada yang berbeda. Setidaknya aku. Rasa sayangku pada Gina bertambah tebal. Aku sudah melihatnya melakukan apa saja untuk kebahagiaan kami berdua, aku sudah melihatnya membongkar rahasia terdalamnya, dan itu membuatku merasa semakin dekat dengannya.
Gina awalnya seperti enggan membicarakan kejadian malam itu. Aku paham, dia mungkin merasa aneh. Merasa telah menghianatiku, atau mungkin merasa malu. Kubiarkan saja, tak pernah aku berusaha menanyakan perihal malam itu. Entah kenapa aku yakin dia akan baik-baik saja. Aku memberinya ruang seluas-luasnya, namun aku tetap menunggu di ambang pintu hatinya.
Sampa akhirnya dia mengajakku ke dalam. Membicarakan apa yang sudah kami lakukan.
“Papa senang?” Tanyanya suatu malam ketika kami sudah sama-sama berada di atas ranjang.
Aku menatap matanya, mencoba menimbang-nimbang apa yang harus aku katakan. Pengalaman mengajarkanku untuk berhati-hati berbicara dengan perempuan. Salah memilih kata, bisa panjang urusannya. Beberapa detik aku hanya menatapnya, memberinya senyum lembut dan mengelus rambutnya.
“Terus terang, papa senang.” Akhirnya jawaban itu yang terlontar. Sambil berharap semoga saja aku tak salah memilih jawaban.
Gina tersenyum, alamat baik bagiku. Kutunggu kalimat apa yang akan keluar dari bibirnya karena sepertinya dia ingin mengucapkan sesuatu.
“Tapi aku udah disentuh pria lain. Papa gak masalah?” Dia membuang muka, sepertinya agak jengah. Kurasakan dia berusaha menjauh dari pelukanku, tapi dengan lembut kutahan.
“Ma,” kucoba menarik pipinya agar mukanya menghadapku. Dia menurut, kurasa mukanya bersemu merah. Malu? Entahlah. “Kita kan sudah sepakat dari awal, apapun nanti yang terjadi setelahnya, akan kita hadapi sama-sama. No regret,” sambungku.
Satu detik. Dua. Tiga. Dia mengangkat wajahnya, matanya menatap lurus ke mataku. Dia tesenyum, aku membalas. Nyesss! Tiba-tiba saja kurasakan dadaku dingin dan sejuk. Tadinya kukira ini akan menjadi pembicaraan yang berakhir dengan adu argumentasi, atau perjuanganku untuk menenangkannya. Tapi ternyata tidak serumit itu. Senyumnya kuartikan sebagai pertanda: semua baik-baik saja.
Lalu kami berciuman. Bibir kami bertemu, lidah kami berpagutan. Suara-suara pertemuan bibir kami yang basah bersahutan dengan erangan halus dari Gina. Lalu tanpa disuruh, tangan kami saling meraba, mengelus dan menyelusup ke balik pakaian. Aura seksi yang panas oleh birahi memenuhi ruangan yang dingin oleh AC.
“Ackhhh…papah,” Gina mendesah. Menggelinjang ketika ciuman kudaratkan di dadanya yang sudah terbuka. Baju tidurnya sudah tergeletak di samping kami. Dia memang tidak pernah memakai bra ketika tidur.
Lalu kami bergumul, melepaskan hasrat, bertukar desahan, saling meremas dan menggerayangi. Gina menggelinjang ketika penisku sudah masuk ke liang vaginanya yang basah dan hangat. Clep! Clep! Clep! Aku memompa dengan penuh semangat, dan dia menyambut tak kalah semangatnya. Pinggulnya bergoyang menyambut setiap sodokanku. Keringat mulai membasahi tubuh kami.
“Mah… masih ingat kontol…. si Andy?” Tanyaku sambil terus memompa.
Gina memejamkan mata, keningnya berkerut, bibirnya terbuka.
“Maa..masihh…Pah.. ouchh, yesss…”
“Masih mau…mencobanya? Arghhh..” Aku masih memompa
“Mmmmaauhh…Pahhh..” Gina masih mendesah.
Aku memompa semakin keras, Gina menyambut dengan penuh semangat. Aku membayangkan adegan percintaan segitiga kami yang pertama itu, dan kuyakin Gina juga membayangkannya. Seks kami menjadi semakin panas. Berganti-ganti gaya.
Aku telentang, Gina naik ke atasku. Orgasme dua kali sebelum lunglai di atas tubuhku. Aku melepaskan pelukannya, membiarkannya tengkurap sambil mengatur napas. Aku masih sempat membersihkan dulu vaginanya yang banjir sebelum kucoba memasukkan penisku dari belakang. Lalu pompaan itu berlanjut, sambil kubisikkan di telinganya:
“Kamu masih mau nambah kontol lain Mah?”
“Acckhhh…he’eh, iya Pah. Mauhh…ackkhhh”
Aku semakin bersemangat mendengarnya, pompaanku semakin bertenaga. Peluh membanjiri tubuhku, padahal kamar kami ber-AC. Birahi terus saja memuncak, merangkak naik hingga akhirnya tak tertahankan.
“Arghhhhh…” aku menggeram. Di dalam sana penisku memuntahkan sperma yang kental. Aku mengejang, seperti melayang beberapa detik sebelum telentang di sebelah Gina dengan napas yang masih memburu.
Suara motor terdengar di kejauhan. Malam sudah larut.
II
“Serius? Hahaha,” Aku tertawa geli. Gina pun ikut tertawa.
Malam itu di teras lantai dua rumah kami yang asri, aku dan Gina sedang membahas kemungkinan threesome berikutnya. Pengalaman pertama kemarin sempat membuat kami agak bingung menyikapinya. Masih ada perasaan tidak nyaman sehari setelahnya. Tapi kami berhasil melewatinya, menikmati sisi positifnya dan malam ini kami membincangkannya dengan santai. Cenderung seperti bercanda.
Gina baru saja mengutarakan niatnya sekali lagi mencoba threesome. Tapi kali ini dia ingin mencoba lelaki muda, sekelas berondong. Aku geli, tidak menyangka dia akan datang dengan ide seperti itu.
“Lucu kali ya Pa? Hihihi,” dia tertawa geli sambil menutup mulutnya. Matanya bersinar cerah. Mata yang selalu membuatku takluk sejak pertama kami bertemu dulu. Mata yang sipit, tapi entah kenapa tidak pernah gagal membuatku merindukannya.
“Hmmm…” aku pura-pura berpikir. “Kenapa koq tiba-tiba Mama kepikiran mau nyoba berondong?” Tanyaku.
“Pertama, aku pengen tahu apa aku masih cukup hot buat anak muda. Kedua, aku mikir pasti lucu lihat anak berondong yang jam terbangnya masih rendah ngentot. Hihihihi.” Dia masih tertawa geli.
“Lucunya di mana?”
Gina memperbaiki duduknya, “Yaaa pasti luculah. Masih kaku, mungkin grasa-gurusu, terus mungkin juga cepat crot.”
Kali ini dia tertawa lepas. Akupun ikut tertawa.
“Hmmm. Iya ya, kayaknya lucu juga. Boleh tuh,” kataku.
“Asyikkk. Papa cariin yaaa,” Gina mendadak manja. Dia memeluk lenganku, bisa kurasakan dadanya yang tidak dilapisi bra dari balik kaos itu menekan lenganku. Aku hanya tertawa lepas.
Kami lalu membicarakan strategi dan apa yang akan kami lakukan dengan rencana baru ini. Mencari seorang berondong, kalau bisa yang masih kurang pengalaman soal seks. Aku akui ini agak beresiko. Anak berondong pasti emosinya masih belum stabil. Bagaimana kalau dia ternyata baper? Bagaimana kalau ternyata dia mau lebih dari sekadar threesome? Padahal kami hanya mau sekadar having fun. Terus, bisakah dia menjaga privasi kami?
Pertanyaan itu muncul satu-satu, dan berhasil kami carikan jawabannya. Nafsu dan rasa penasaran membuat otak kami jadi encer, ide kami berloncatan dengan lincahnya. Lincah dan liar.
Kami akhirnya sepakat. Aku akan mencari kandidat partner threesome. Usianya antara 21 sampai 23. Soal privasi dan segala macam, aku sudah punya strategi yang aku yakin akan membuat si partner tidak berani macam-macam.
“Eh, tapi emang Papa yakin masih ada berondong yang mau?” Tiba-tiba Gina bertanya.
“Yakin, 1000%!” Jawabku dengan tegas. “Lah gimana nggak, Mama ini masih sexy, tante-tante sexy, panlok pula. Pasti banyak berondong yang antri. Ini semacam greatest fantasy untuk para berondong. Gratis pula, hahaha”
Gina ikut tertawa. Kurasa dia senang sekaligus penasaran dengan rencana kami itu.
Aku tidak salah memprediksi.
Begitu kubuka lowongan mencari partner threesome yang masih masuk kategori berondong di forum, inboxku langsung dibanjiri pesan dari mereka yang berminat. Kuhitung ada 12 orang yang mengaku berondong dan siap memenuhi semua syarat yang kuajukan. Gina sampai kaget ketika semua pesan itu kuperlihatkan padanya. Matanya berbinar cerah. Kuyakin dia tambah percaya diri. Mungkin juga hasratnya menggelora, membayangkan dirinya di usia seperti itu ternyata masih mengundang hasrat dari lelaki-lelaki muda.
Dari 12 orang yang menawarkan diri itu, Gina memilih 8 di antaranya. Semua urusan pemilihan memang kuserahkan padanya, aku hanya memberinya masukan. Toh nanti dia yang akan menjadi pusat perhatian, jadi dia yang berhak menentukan.
Delapan orang itu dipilih Gina karena menurut mereka dari cara mengirim pesannya kelihatan sopan dan cerdas. Empat lainnya terkesan grasa-grusu dan kurang cerdas. Namanya perempuan, perasaan dan kenyamanan tetap nomor satu. Aku menghargainya.
Proses memilih partner ini sudah kurasa sama seperti proses seleksi karyawan. Delapan orang itu kami minta mengirimkan pin BBM. Hanya empat yang kemudian memenuhinya. Empat lainnya mengaku tidak punya pin BBM dan tidak berusaha untuk menginstallnya. Tak apa, kami fokus saja pada empat orang ini.
Empat orang inilah yang kemudian aku ajak chatting, sambil tentu saja terus kuinformasikan pada Gina perkembangannya. Hari demi hari penjajakan mulai dilakukan. Gina juga terus mengikutinya meski dia tidak ikut chat langsung seperti ketika kami mencari partner pertama dulu.
“Kayaknya ini boleh juga,” kata Gina sambil menunjuk satu nama. Di BBM dia mengaku bernama Doni. Baru 22 tahun dan dari chatnya terlihat dia cukup sopan dan cerdas.
Si Doni mengaku pernah bercinta dengan pacarnya, hanya dengan satu orang meski sudah berkali-kali. Kuanggap itu sebagai gambaran kalau jam terbangnya masih rendah. Tanpa kuminta dia mengirimkan fotonya, satu badan dan tanpa sensor. Kuperlihatkan foto itu pada Gina dan dia tersenyum geli.
“Lumayan juga,” katanya masih menahan geli. Entah apa yang membuatnya geli. Tapi kurasa dia hanya mencoba menutupi rasa penasaran dan deg-degannya.
“So?” Tanyaku.
“Ya udah. Lanjuttt!” Kami tertawa berbarengan.
Oke Doni, you are the lucky one.
III
Kami duduk bersisian di sebuah café di salah satu mall di suatu sore yang mendung. Kami sedang menunggu kedatangan Doni. Hampir dua minggu sejak pertama kali mengenalnya di BBM dan Gina makin yakin, dia bisa jadi partner kami. Dia menyetujui semua syarat yang aku ajukan. Dia harus mau menggunakan kondom dan harus mau difoto. Aku menekankan di bagian terakhir itu, karena kurasa itu bisa jadi alat untuk menekannya. Kalau dia macam-macam, fotonya ada di aku. Doni menyetujui semua syaratku, dan sore itu kami janjian bertemu di kafe. Bertemu dulu, belum tentu lanjut ke threesome kalau ternyata Gina atau salah satu dari kami berubah pikiran. Doni menyetujuinya.
Selama menunggu, aku dan Gina sudah jauh lebih santai. Tidak seperti ketika pertama dulu. Sekarang kami bisa bercerita santai, bahkan bercanda membayangkan bagaimana rupa si Doni calon partner kami.
Hampir setengah jam kami menunggu ketika dari ambang café seorang pria muda dengan kaos oblong menyeruak melewati pintu. Aku segera mengenalinya sebagai Doni. Kulambaikan tangan dan dia tersenyum membalas. Gina tiba-tiba diam, detak jantungnya terasa di lenganku yang berdempetan dengan dadanya. Aku geli melihat wajahnya yang tiba-tiba tegang.
“Halo om, tante,” pria itu menyalami kami dengan sopan, lalu duduk di depan kami. Kurasa wajar dia memanggil kami om dan tante. Usia kami hampir dua kali lipat usianya.
Dia kelihatan canggung, tapi aku memahaminya. Akulah yang menjadi leader, mencoba mencairkan suasana agar kami semua tidak tegang. Pelan tapi pasti suasana menjadi semakin cair. Doni bercerita tentang keseharian dan latar kehidupannya. Aku sebenarnya tak hendak mengorek lebih dalam tentang dirinya, karena akupun tak ingin latar belakangku dikorek. Tapi justru Doni yang semangat bercerita. Jadi kubiarkan saja.
Dia ternyata baru lulus dari sebuah kampus negeri di kota ini. Bersama teman-temannya dia sedang merintis sebuah usaha desain interior sesuai latar akademisnya. Sepanjang dia bercerita kucoba menganalisa latarnya. Kuyakin dia bukan berasal dari keluarga biasa. Jam tangan dan pakaiannya bermerek. Kulitnya juga meski tidak terlalu terang tapi terlihat terlalu halus untuk ukuran orang biasa. Minimal dia pasti hidup di kompleks perumahan elit, pikirku.
Empat puluh lima menit kami bertukar cerita. Gina pun sudah sangat santai. Sesekali Doni bisa membuatnya tertawa renyah. Aku menikmati momen ini, proses yang membuatku penasaran sekaligus tertantang. Kurasa threesome memang bukan hanya soal ketika kami bertiga sudah bugil dan menikmati persetubuhan, tapi juga bagaimana menikmati proses pencarian partner dan proses mengenalnya.
Sampai kemudian Gina memberi kode untuk melanjutkan. Aku menyetujui, tapi kuminta dia yang ambil kendali. Aku ingin melihatnya menjadi lebih binal, lebih mendominasi. Gina setuju.
“Don, kamu yakin mau ML sama tante-tante?” Pertanyaannya tajam dan langsung ke sasaran. Doni tersentak agak kaget, dia menatapku sejenak seolah meminta dukungan. Aku hanya tersenyum dan berharap dia mengerti.
Dia diam sejenak, menyentuh gelasnya memberi tanda kalau dia gugup.
“Ya, Doni sih mau banget tante. Asal dikasih kesempatan,” dia menutup ucapannya dengan senyum.
Gina juga tersenyum lebar, menatapku yang juga tersenyum lebar. Lalu tiba-tiba tangan Gina menyentuh dan mengelus punggung tangan Doni. Pria muda itu kembali tersentak, tapi tidak berusaha menarik tangannya. Aku pun agak kaget melihat apa yang dilakukan Gina. Tapi, entah kenapa aku menikmati keagresifannya.
“Kalau kamu mau, kita lanjut yuk malam ini. Threesome,” katanya singkat dan padat dengan suara pelan hampir seperti orang mendesah. Sexy sekali. Tatapannya begitu menggoda, membuat Doni seperti tersipu. Pipinya memerah.
Aku geli, ternyata begitu ya penampakan seorang pria muda yang ditembak oleh tante-tante. Suasana ini sangat nyaman kurasakan. Melihat seorang perempuan setengah baya yang begitu percaya diri bertemu seorang pria muda yang malu-malu. Sungguh menyenangkan.
“Mau tante,” Doni menjawab mantap dengan tatapan lurus ke mata Gina, namun sempat melirik ke arahku. Melihat aku santai saja, dia juga santai.
Gina menyebutkan hotel tempat kami menginap dan meminta Doni menyusul ke sana. Kami masing-masing membawa kendaraan jadi tidak mungkin berangkat bersama. Doni mengiyakan. Setelah membayar semua pesanan, bertiga kami meninggalkan café.
Malam masih panjang, jalanan masih ramai. Dalam hati aku bergumam; petualangan macam apa yang akan kami lalui malam ini?