Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

9 Bintang by Arczre

Bimabet
BAB XIII

Kenapa Harus Seperti Ini?


Agaknya kuliah tidaklah seberat yang dipikirkan oleh Ridwan. Ia bisa mengikutinya dengan baik. Sebulan, dua bulan, tiga bulan tak ada halangan. Bahkan ia sangat senang sekali bisa kuliah. Terlebih ekstrakulikulernya sangat banyak. Tentu saja, kehidupan mahasiswa sangat berbeda dengan anak-anak SMA. Semuanya serba mandiri, merasa ingin dihormati dan kebanyakan militan.

Ridwan masih menyempatkan untuk pulang ke rumah sebulan dua kali. Kadang ketika pulang itu ia menyapa Nayla, sekalipun lewat telepon. Bahkan di kampus pun dia terkadang masih suka iseng menelpon Nayla di sana. Walaupun jauh, hubungan mereka masih baik.

Dia teringat dengan nasehat ibunya, “Jangan pacaran!”

Di kampus Ridwan menjadi aktivis. Bersama dengan teman-teman Unit Kerohanian Islam, ia makin banyak belajar tentang agama. Salah satu hal yang membuat dia ingin belajar agama adalah agar ia tahu bagaimana memberikan solusi kepada persoalan yang Nayla sedang hadapi. Ia dilarang untuk memakai jilbab oleh orang tuanya. Keinginannya hanya satu apakah ada cara yang lebih baik untuk bisa menolong Nayla?

Tempat baru teman-teman baru. Di kampus dia mulai banyak teman. Baik dari seniornya maupun teman-teman seangkatan. Pergaulan Ridwan makin luas. Temannya pun beragam, dari daerah Indonesia Timur ataupun dari Indonesia Tengah. Dari ujung Indonesia pun ada. Karena tekadnya untuk kuliah agar mendapatkan nilai terbaik di kampusnya, maka setelah dua semester ia bisa mendapatkan beasiswa di kampus ini. Mempunyai IPK tertinggi, bahkan menjadi asisten dosen.

Tak terasa setahun sudah dia kuliah.

Masjid adalah salah satu tempat favoritnya. Selain sebagai tempat ibadah, Ridwan memilih tempat ini untuk memberikan ketenangan kepada pikirannya dari ketegangan sehari-hari. Masjid kampus ini tidak terlalu besar, tapi cukup untuk menampung shalat Jum'at mahasiswa kampus. Karena setiap shalat Jum'at pasti penuh. Tempat akhwat dan ikhwan dipisah oleh sebuah tabir yang terbuat dari papan yang diberi kelambu. Ridwan berpikir para akhwat ini hebat-hebat. Mereka mau memakai jilbab lebar, bahkan mungkin tak ada halangan dari orang tuanya. Tidak seperti Nayla. Sampai sekarang Ridwan masih memikirkan kejadian waktu itu. Salah satu bintang-bintang Nayla adalah agar bisa memakai jilbab.

“Nikahi saja dia!” celetuk seseorang.

Ridwan terkejut. Dia melihat kanan dan kiri. Ternyata ada dua orang yang sedang bicara di salah satu sudut masjid. Dia para senior. Ridwan tak tahu siapa mereka karena tak kenal. Yang satu memakai kemeja biru yang satunya memakai baju koko.

“Apaan sih? Mana berani aku melamar dia?” kata yang memakai kemeja biru.

“Udahlah, kamu niatnya kan ingin agar dia jadi baik kan? Sekarang siapa sih yang bisa membimbing dia? Apalagi kamu suka kan sama dia? Dari pada kamu dosa karena mikirin dia terus, maka yang lebih baik adalah kamu nikahi dia. Kalau ditolak? Ya sudah mungkin dia bukan jodohmu. Tapi niatmu kan benar-benar tulus. Untuk menyelamatkan diri, agamamu dan juga dirinya.”

“Duh, gimana ya.”

“Udah ah, jadi ikhwan koq galau melulu”

Ridwan jadi teringat apa yang diucapkan oleh ibunya. Memang ia tak boleh pacaran tapi bolehkan kalau menikah? Apakah kalau misalnya Ridwan melamar Nayla dia akan menerima? Sekarang Nayla sudah lulus dan dia pasti sudah akan kuliah. Tapi apa mau dia nikah muda?

Hari Sabtu Ridwan pun mudik. Ia sebenarnya bisa saja menelpon Nayla, tapi ia ingin bicara langsung. Namun ia sama sekali tak punya keberanian.

Benar. Satu-satunya yang bisa menyelamatkan Nayla adalah dengan cara menikahi dia. Kalau Ridwan menikahi Nayla maka dia bisa menjaga Nayla, bisa membantunya mendapatkan apa yang dia inginkan. Nayla bisa memakai jilbabnya. Tak ada cara lain. Mau adu argumen dengan orang tua Nayla? Mana mungkin. Siapa dia? Ridwan melakukan ini karena semata-mata untuk menolong Nayla. Walaupun caranya naif. Ridwan masih hijau dalam permasalahan ini. Dia tidak memikirkan bahwa pernikahan adalah suatu yang sakral yang tidak bisa diucapkan begitu saja. Karena banyak faktor-faktor yang harus diperhatikan, salah satunya adalah mencari nafkah. Ridwan sama sekali tak punya. Dia juga nantinya harus berbagi kepada istrinya, berbagi semuanya. Berbagi tempat untuk tidur, berbagai makanan, berbagi kesusahan, kesenangan. Ridwan tidak berpikir sampai di situ. Bahkan kalaupun sampai punya anak, ia juga harus memikirkan anak-anak mereka nantinya. Sekali lagi Ridwan masih hijau. Dia tidak berpikir sejauh itu, dia hanya memikirkan bagaimana cara untuk menolong Nayla. Tidak lebih dari itu. Dia hanya ingin menolongnya. Menolong sahabat yang paling dicintainya itu.

Hati pemuda ini galau. Apakah harus dengan cara seperti ini? Tapi, ia tak punya cara lain. Ia akan hadapi semuanya. Ini adalah pilihannya. Dia pun menghubungi Nayla. Tak perlu menunggu lama langsung ada suara.

“Dengan rumah keluarga Kusmoharjo di sini. Assalaamu'alaykum Mas?”

“Wa'alaykumussalam. Bagaimana kabarmu?”

“Baik. Alhamdulillah. Mas mudik ya?”

“Iya. Kamu nerusin kemana?”

“Kuliah di kota ini saja deh. Nggak mau jauh-jauh dari rumah.”

“Oh, begitu.”

Mereka lalu terdiam. Cukup lama mungkin hampir satu menit.

“Koq diem?” Nayla mulai memecah keheningan. “Ada yang ingin dibacarakan kah?”

Inilah saatnya, pikir Ridwan. Sekarang atau tidak sama sekali.

“Ada yang ingin aku bicarakan kepadamu.”

“Katakan saja!”

“Kamu selama ini sudah baik kepadaku. Berteman sudah lama. Dan kamu selalu ada disaat aku butuhkan.”

“Sama Mas. Mas juga ada saat aku butuh. Kita sudah menjadi sahabat.”

“Oh ya, ngomong-ngomong bagaimana ayahmu?”

“Orangnya baik-baik aja, kenapa?”

“Masih nggak boleh pakai jilbab?”

Nayla mendesah. “Iya.”

“Oh..maaf, sebenarnya aku juga nggak tahu apa yang bisa aku bantu. Aku hopeless. Tak bisa menolong sahabatku untuk persoalan yang satu ini.”

“Nggak usah begitu mas. Ini persoalan pribadiku. Aku nggak ingin Mas Ridwan terbebani. Sudahlah aku bisa mengurusnya sendiri.”

“Tapi tak bisa begitu dong, kau sahabatku. Kau telah menolongku dulu. Memberiku semangat ketika aku jatuh. Kau cukup mengubah hidupku.”

“Tak apa-apa Mas. Aku bisa menghadapinya seorang diri. Mas tak perlu khawatir. Aku tahu bagaimana sifat ayahku dan aku yakin bisa membujuknya.”

Ridwan kemudian terdiam agak lama.

“Koq diem lagi? Ada apa sih? Bilang dong. Lagi naksir cewek?”

“Nggak. Sebenarnya ingin menyampaikan sesuatu.”

“Apa?”

“Tapi kau tidak marah?”

Nayla berdebar-debar. Apakah Ridwan akan menembaknya? Nggak mungkin. Apa Ridwan berani melakukannya? Walaupun itu yang ia tunggu. Tapi rasanya hal itu dirasa tak mungkin. Nayla bingung. Kalau sampai Ridwan menembaknya apa yang akan terjadi setelah ini.

“Kau mau menikah denganku?”

BRAK! Saking terkejutnya Nayla ia sampai-sampai menjatuhkan ponselnya sendiri ke meja belajarnya hingga menimbulkan suara gaduh. Untungnya ponselnya tidak mati.

“Apa Mas?”

“Kau mau menikah denganku?”

“Ah, Mas ini lucu deh.”

“Aku nggak melucu beneran. Plis beneran, aku serius.”

Tidaaakk! Aku tak mau! Pikir Nayla. Apa sih yang dipikirin Mas Ridwan?

“Mas, nggak salah ngomong kan? Mas kan masih kuliah?”

“Iya.”

“Mas udah kerja?”

“Belum.”

“Mas koq bisa bilang seperti itu?? Kenapa?”

Ridwan tak ingin memberitahukan alasannya. Karena ia ingin menolong Nayla. “Ya ingin saja.”

Kenapa Mas tak bilang kalau cinta kepadaku? Kenapa?

“Jujur saja mas, katakan kenapa mas ingin menikah denganku?” tanya Nayla.

Saat itu Rita melintas di kamar Nayla dan mendengar percakapan Nayla ia pun terkejut. “Menikah??”

“Nay, aku tak ingin selalu memikirkanmu. Aku tak ingin bisa jadi orang yang tak bisa berbuat apa-apa demi dirimu. Aku ingin bisa menjadi sesuatu yang berarti untuk dirimu.”

“Itukah alasannya? Apakah Mas merasa kasihan kepadaku?”

Telak sudah apa yang dikatakan Nayla.

“Apakah Mas mengira aku bisa dikasihani? Kenapa Mas tidak menjawab? Benar bukan? Mas kasihan kepadaku? Nggak perlu dikasihani, aku kuat Mas, aku kuat. Aku akan buktikan kalau aku kuat.”

Ridwan terdiam. Ia tak tahu harus bilang apa lagi. Mereka terdiam cukup lama. Mata Nayla berkaca-kaca.

Dalam hati Nayla berkata, “Kenapa kau tidak bilang kalau kau cinta kepadaku? Katakan saja, apa susahnya? Kenapa kau tidak bilang 'Nay, aku mencintaimu aku ingin menikahimu' Apa susahnya?”

“Jawabanmu berarti tak mau?”

“Iyalah. Nikah itu butuh banyak hal Mas yang perlu dipikirkan. Terutama nafkah! Yang diperlukan juga adalah tempat tinggal. Bagaimana nanti kalau misalnya sudah punya anak? Apa Mas tidak mikirin sampai ke situ?”

Ridwan tak menjawab. Ia memang tak memikirkannya. Dan ia telalu naif.

“Baiklah kalau kau tak mau. Tak apa-apa,” kata Ridwan.

'Mas Ridwan, kenapa kau bodoh sekali? Kenapa? Bilang saja kau mencintaiku apa susahnya?' Nayla berteriak dalam hati. 'Aku benci kepada Mas, benci sekali benci!'

“Sudahlah Mas. Aku tak mau mendengarkan Mas lagi. Pergi saja. Pergi dari kehidupanku. Aku tak mau melihat Mas lagi. Jangan hubungi aku lagi! Jangan pernah lagi menemui aku. Dan lebih baik nggak usah menghubungi aku lagi!” kata Nayla. Nayla menutup teleponnya dan membantingnya di atas tempat tidurnya.

“Mas Ridwan kamu bodoh sekali! Aarrgghh!” Nayla langsung ambruk ke atas tempat tidurnya dan menutup wajahnya dengan bantal.

Ridwan tak bisa berkata apa-apa lagi. Dia bodoh. Kenapa dia seperti itu? Kenapa harus terjadi hal seperti ini padahal dia sangat mencintai Nayla. Ridwan bingung apa yang telah dilakukannya. Bahkan sekarang Ridwan tak berani untuk menghubungi Nayla lagi. Tangannya gemetar memegang ponselnya. Dia telah melakukan sebuah kesalahan yang harusnya tidak dia lakukan. Kenapa bilang kalau dia sangat mencintai Nayla susah sekali? Kenapa? Ridwan membanting ponselnya hingga hancur. Besoknya dia kembali ke Surabaya. Dia berjanji tak akan pulang untuk menemui Nayla lagi sampai waktu yang tidak ditentukan. Dia telah melepaskan Nayla begitu saja. Rasanya ia sudah tak bisa kembali lagi menemui Nayla.

“Selamat tinggal Nay, kau adalah sesuatu terindah dalam hidupku. Aku tak akan melupakanmu. Perasaanku ini...,” Ridwan memegang dadanya yang sakit. Jantungnya berdebar-debar. Wajah Nayla terbayang lagi. Seluruh syaraf-syarafnya bergetar. “Kau adalah cinta sejatiku. Andai Allah berkehendak mempertemukan kita lagi, maka kita akan ketemu. Ketahuilah perasaanku tak akan berubah.”

Kereta Api cepat Dhoho mengantarkan Ridwan kembali ke Surabaya dengan penuh penyesalan. Dia ingin membuang seluruh hal tentang Nayla. Semuanya. Ia bahkan membakar foto-foto Nayla. Kenangan-kenangan dari Nayla pun ikut ia buang. Bahkan lagu-lagu Nayla yang sempat tersimpan di ponselnya pun tidak pernah ia bisa selamatkan lagi setelah ponselnya hancur. Ia ingin melupakan Nayla. Seolah-olah Nayla adalah sebuah tempat impian yang tak akan bisa ia raih lagi.

****​
 
Terakhir diubah:
BAB XIV


Twisted


Sudah setahun setelah Ridwan benar-benar pergi dari kehidupannya bahkan mengusirnya. Nayla sebenarnya kehilangan seseorang yang sangat berarti baginya. Awalnya dia sebel kalau mengingat-ingat Ridwan, namun akhirnya ada juga rasa kerinduan di dalam dirinya. Rasa kerinduan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Dia ingin melupakan Ridwan. Ingin benar-benar melupakan Ridwan. Dia jengkel dengan tindakan Ridwan, kalau memang cinta kenapa tidak bilang saja? Nayla ingin move on.

Setahun ini ia pun mulai membuka diri kepada laki-laki lain. Sebagai contohnya adalah Toni, seorang vokalis band juga. Mereka bertemu di sebuah kesempatan saat manggung bareng. Toni memang berusaha mendekati Nayla, tapi Nayla selalu menolak untuk diajak jalan bareng. Katanya Nayla nggak mau pacaran. Kalau ingin serius ya lamaran saja. Nyatanya dengan kata-kata seperti itu sedikit orang yang mendekatinya. Bahkan cowok-cowok banyak yang lari duluan ketika ditodong seperti itu. Dia sebenarnya frustasi, karena sahabatnya yang ia cintai malah menginginkan dia. Dia bingung apakah menolaknya ini karena egonya? Ataukah karena harga dirinya? Akhirnya Nayla pun menempuh cara itu, agar berharap Ridwan datang. Tapi sudah banyak cowok yang ditolaknya. Harapannya pun sia-sia.

Setiap kali ada orang yang ingin mencarinya, dia selalu berharap itu adalah Ridwan. Tapi harapan tinggallah harapan. Ia tak pernah menyangka Ridwan benar-benar telah pergi. Nayla merasakan rasa bersalah yang luar biasa hingga ia benar-benar putus asa.

Rita yang mengetahui sesuatu terjadi dengan adiknya pun masuk ke kamarnya pada suatu malam. Nayla memandangi keluar jendela. Melihat pagar rumahnya, berharap Ridwan ada di sana. Tapi rasanya tak pernah mungkin dia akan datang lagi. Saat itu Nayla merasa dia adalah orang yang jahat. Jahat kenapa kepada sahabatnya sendiri dia berbuat seperti itu.

“Kau kenapa Nay?” tanya Rita.

“Kakak!” Nayla lalu memeluk kakaknya.


Rita agak terkejut. Tak biasanya adiknya seperti itu. Adiknya menangis dalam pelukannya. Rita mengusap rambut adiknya itu dengan lembut. Kemudian Nayla mulai bercerita tentang Ridwan. Tentang seorang sahabat yang sangat ia cintai, kini pergi meninggalkannya. Dan betapa ia sangat kehilangan Ridwan. Dan semua ini karena kesalahannya. Nayla terus menjelaskannya sambil menangis. Ia juga bercerita bagaimana ia sangat kehilangan sahabatnya itu.

“Sudah. Sudah. Yang sudah berlalu biarlah berlalu. Jadikanlah ini sebagai pengalaman hidupmu, kau nggak boleh sedih terus-terusan begini Nay,” kata Rita. “Kau punya masa depan. Tataplah ke depan. Ridwan adalah masa lalumu. Kau tak boleh memikirkannya terus.”

“Tapi,...dia sahabatku kak, dan aku telah berkata jahat kepadanya. Aku merasa berdosa,” kata Nayla.

“Nay, hidupmu cuma sekali. Kalau ia adalah sahabatmu dan kalian memang ditakdirkan bersama, maka ia akan datang suatu saat nanti. Kau tak boleh begitu, yang terjadi ya sudah. Kau tak bisa mengendalikan waktu, tak bisa kembali ke masa lalu untuk memperbaiki kesalahanmu. Tapi buatlah impian, buatlah masa depan agar masa lalumu dapat dimaafkan.”

“Tapi...kenapa harus Mas Ridwan? Kenapa harus dia?”

“Kau mencintai dia?”

“Aku tak tahu. Tapi memikirkan dia dadaku sakit, sakit sekali. Apakah ini namanya cinta, kak?”

Rita baru menyadari kalau adiknya tak pernah merasakan cinta sebelumnya. Walaupun adiknya sangat bisa membuat sya'ir-sya'ir lagu tapi nyatanya selama ini tak pernah merasakan yang namanya cinta. Rita tersenyum.

“Mungkin saja. Mau dengar nasehatku?”

Nayla mengangguk.

“Simpanlah perasaanmu itu. Buatlah perasaanmu kepada Ridwan sebagai penyemangat hidupmu. Kita tak tahu ke depannya nanti seperti apa. Tapi kau harus melihat ke depan, bukan ke belakang. Kakak bisa bilang kamu sedang jatuh cinta kepada Ridwan. Tapi kau tak menyadarinya. Mungkin saja sejak pertama kalian bertemu. Tapi mungkin juga tidak. Kau sendiri yang bilang, cinta dan persahabatan itu bedanya tipis. Kakak sendiri bingung apakah kau mencintainya atau tidak. Tapi kalau sampai kau jatuh cinta kepada Ridwan, ketahuilah kalau kamu memikirkannya sampai dadamu terasa sesak, sampai jiwamu benar-benar lumpuh olehnya, hingga rasanya nafasmu sebagian adalah berisi dirinya, maka itulah yang namanya cinta. Dan kalau kalian mempunyai perasaan yang sama, maka itu adalah cinta yang sejati. Sekarang apakah Ridwan punya perasaan yang sama kepadamu?”

Nayla menggeleng, “Aku tak tahu.”

“Itu masalahnya. Tidak tahu. Nasehatku sekarang. Kau harus move on. Biarpun kau tak sadar apakah itu cinta atau tidak, itu sudah berlalu. Kau harus hadapi kenyataan. Itu sudah berlalu. Jangan berharap lagi!”

“Andainya aku tak berbuat seperti ini.....,” kata Nayla.

“Sudah, buang perasaan bersalahmu jauh-jauh. Nay, kau ini cewek tangguh. Sudahlah, jangan sampai kamu terlena oleh hal-hal seperti ini. Kau punya masa depan!”

“Aku akan coba kak.”

“Nah, begitu dong. Itu baru namanya adik kakak.”

Nayla memaksakan senyum. Ia menghapus air matanya. Benar sekali. Inilah kenyataannya. Dan ia harus hadapi. Bahwa Ridwan tidak ada di sini. Ridwan telah pergi. Dan kini ia punya masa depan.
***​

“Nay, aku ingin melamarmu,” kata Toni.

Wajah Nay sumringah. Akhirnya apa yang diharapkannya terkabul. Toni, seorang vokalis band The Root, akhirnya mengungkapkan perasaannya setelah hubungan mereka selama kurang lebih dua tahun. Nayla masih memegang gitarnya dan ia baru saja selesai manggung. Mendengar kata-kata itu setelah pertengkaran hebat mereka kemarin, membuat hatinya leleh.

“OK, siapa takut. Kapan ke rumah?” tanya Nayla sedikit mengejek.

“Dua hari lagi aku akan bawa semua keluargaku untuk melamarmu,” jawab Toni. “Aku tak ingin kehilanganmu.”

Nayla menurunkan gitarnya lalu langsung mendekap Toni. Ia seakan tak ingin melepaskan lelaki pujaan hatinya itu. Beberapa anggota The Girls yang baru saja turun panggung melihat hal itu bersorak.

“Cieee....woi, kalau mau pacaran di mana kek, jangan di sini ngalangin orang mau turun panggung!” kata salah seorang yang melihatnya.

“Bodoh ah, ngerusak kesenangan orang aja!” kata Nay dengan suara keras.

Nayla bahagia hari itu. Ia pun akhirnya bisa mendapatkan salah satu bintang dari sembilan bintang. Dan apakah ia bisa mendapatkan bintang-bintang yang lainnya? Ia tak memikirkannya dulu. Sebab bintangnya yang ini sudah ada di tangannya.

Malam harinya, Nayla memberitahukan rencana lamaran Toni kepada keluarganya. Rita saat itu sedikit tidak suka. Hal itu sudah diperlihatkannya saat Nayla menjalin hubungan dengan Toni si anak band itu. Memang sih The Root selalu manggung dari kota ke kota bahkan termasuk band papan atas yang mengisi di mana-mana. Penghasilan Toni tak perlu dipertanyakan lagi. Hampir setiap manggung sudah ngantongin uang ratusan juta. Juga penjualan album dan beberapa bintang iklan dari produk-produk tertentu. Hanya saja Rita merasa tidak sreg dengan pilihan Nayla, hingga Nayla sekarang memberitahukan keinginan Toni.

“Nay, jujur aku nggak sreg ama pilihanmu ini. Sejak pertama kali kamu pacaran sama Toni saja aku nggak suka,” kata Rita.

“Kak, ini kan pilihanku. Hargai juga dong,” ujar Nayla. “Nay, akan terima baik dan buruknya. Dan lagipula ini adalah salah satu bintangku.”

“Halah, Nay. Nggak usah deh kamu mikirin tentang bintang-bintangmu itu. Sebagai kakak aku itu punya insting, aku takut kamu nanti tidak bahagia ama dia. Anak band apalagi cowok, pasti banyak ceweknya. Perasaanku tiap melihat dia tidak enak,” kata Rita.

“Itu cuma perasaan kakak aja, ah!” Nayla tak menghiraukan dia. Hari itu dia sibuk untuk mempersiapkan segala sesuatu untuk menyambut lamaran dari pihak laki-laki. Dan semua keluarga pun sibuk.

Rita hanya menghela nafas. Perasaannya memang tak enak dan tak suka kepada Toni. Hanya saja ini adalah kehidupan adiknya. Sepeduli apapun ia terhadap adiknya, rasanya tak akan bisa mengubah keputusan adiknya itu. Dia pun hanya berharap pernikahan Nayla dan Toni langgeng, hidup rukun sentosa mawahdah warahmah.

Nayla hari itu menjadi ratu, memerintahkan ini dan itu. Hampir seluruh persiapan lamaran ini dialah yang menggarapnya dan anggota keluarganya yang lain hanya menurut saja. Ini adalah hari bersejarah dalam kehidupannya. Maka dari itulah dia inginkan sesuatu yang spesial. Karena itulah dia ngotot banget semuanya harus sesuai yang dia inginkan.

Setelah berkutat dan mempersiapkan segala sesuatu akhirnya hari lamaran pun datang. Dengan dada yang berdebar-debar Nayla menunggu kedatangan Toni sekeluarga. Seluruh penghuni rumah sudah berpakaian yang terbaik untuk menyambut mereka. Hadiah-hadiah sudah dipersiapkan. Nayla benar-benar sudah mempersiapkan semuanya. Bahkan beberapa kali dia digoda oleh ayahnya, ibunya, maupun Mas Andri. Hanya Rita saja yang diam. Ia benar-benar tak setuju dengan pernikahan ini.

Dani pun bertanya-tanya kenapa istrinya seperti itu. “Kenapa sih? Dari kemarin cemberut diem terus?”

“Perasaanku tak enak. Sepertinya nanti akan terjadi sesuatu ama Nayla,” kata Rita.

“Perasaanmu saja itu. Wong sekarang dia serius koq mau ngelamar Nayla,” kata Dani. “Sudahlah, ini hari bahagia Nayla. Biarkan dia dan dukung dia.”

“Tapi Mas, aku tahu siapa Nayla. Dan setiap kali Nayla akan mendapatkan musibah perasaanku tak enak. Firasatku tak bisa dibohongi. Aku tak tahu bagaimana menjelaskannya. Sejak aku melihat Toni perasaanku langsung tak enak. Mas tahu sendiri bagaimana aku menghadapi dia, bukan?”

“Iya, aku tahu. Tapi kau juga harap maklum dia anak band, pasti banyak cewek-cewek yang akan mendekatinya. Itu wajar.”

“Entahlah Mas, kalau sampai nanti terjadi sesuatu dengan Nayla, aku tak tahu harus berbuat apa. Rasanya sekarang ini aku jadi kakak yang tidak berguna kalau sampai terjadi apa-apa kepadanya.”

Terdengar suara klakson mobil dari luar.

“Eh, itu sudah datang! Sudah datang!” seru Nayla.

Sesaat melihat kegembiraan di wajah Nayla Rita tersadar. Perasaan tidak enaknya pun hilang begitu saja. Dani menepuk pundak istrinya agar bangkit untuk menyambut keluarga Toni.

“Sudah jangan dipikirkan! Wajahmu harus ceria, demi Nayla.”

Rita tersenyum. “Iya, demi Nayla.”

Prosesi lamaran pun dilakukan. Keluarga Toni ada kedua orang tuanya dan beberapa saudara-saudaranya. Mereka membawa parcel, hadiah-hadiah, acara lamaran yang sakral itu pun akhirnya memutuskan bahwa lamaran Toni diterima. Mas kawin yang harus dipersiapkan Toni adalah uang sebesar tujuh juta delapan puluh dua ribu sembilan rupiah. Sesuai dengan hari pernikahan mereka. Dan setelah itu mereka pun menikah pada hari itu dengan resepsi pernikahan yang mewah.

Seluruh musisi yang dikenalnya diundang. Pada resepsi itu personel The Root dan The Girls ikut memeriahkan suasana. Bahkan kedua mempelai pun ikut mengisi dan menyanyikan lagu-lagu mereka. Acara resepsi pernikahan yang diselenggarakan di gedung itu cukup heboh, bahkan dimuat di koran. Acara resepsi pernikahan yang luar biasa.

Hanya saja, entah kenapa Nayla merasakan ada sesuatu yang hilang. Ia tak tahu apa. Hingga akhirnya dia pun bergumam sendiri, “Ridwan...kamu tak hadir ya?”

Nayla kembali merasakan kehilangan sahabatnya itu. Setelah dia bernyanyi biasanya di depan panggung dia bisa melihat wajah Ridwan ada di sana. Karena setiap pentas, Ridwan pasti ada di depan sana, berdiri dan menikmati aksi panggungnya. Walaupun ia tahu Ridwan sangat buruk selera musiknya, tapi ia tahu Ridwan adalah penggemar setia dari lagu-lagunya. Kali ini wajah Ridwan tak ada. Hanya para tamu undangan yang menyaksikan aksi mereka di depan panggung. Tak terasa air matanya meleleh.

Kenapa? Kenapa aku menangis? Bukankah ini hari kebahagiaanku? Pikirnya.

“Kamu tak apa-apa?” tanya Toni. Ia mengambil tissue dan menghapus air mata yang keluar dan meleleh di pipi Nayla.

“Nggak, nggak apa-apa. Aku cuma terharu,” katanya. Tapi ia tahu ini bukan air mata terharu. Tapi sedih, karena ia harus kehilangan seorang sahabat. Dan ia menyesalinya sekarang.

Mungkin saat itu hanya Rita saja yang mengerti apa yang dirasakan oleh Nayla. Rita pun berdo'a, “Yaa Allah, kuatkanlah Nayla.”


***​


Sementara itu Ridwan selesai mengerjakan tugas kampus di kamar kostnya. Tugas-tugasnya banyak, maklum semester-semester awal. Hingga ia pun jenuh sendiri dengan tugas-tugas kampus. Dia pun keluar menuju atap tempat kost. Di sana tak ada siapa-siapa, sepi. Padahal biasanya malam-malam begini anak-anak kost kalau nggak ada kerjaan nongkrong di atas atap. Dia pun berbaring di atas genteng. Menyaksikan bintang-bintang di langit. Sesekali melihat bintang yang jatuh.
Perjalanannya sampai kuliah ini pun cukup panjang, berbelit-belit. Tak ada lagi tempat baginya untuk bisa mencurahkan isi hatinya saat itu. Mulai dari dosen killer, tugas yang menumpuk, bahkan ia ada bersitegang dengan salah satu dosen karena beda pendapat. Hari-harinya menakjubkan, sungguh luar biasa. Sebagian dia telah tuangkan di tulisan blog. Andai ada yang bisa untuk diajak berbagi.

Dia mengambil ponselnya dan melihat daftar kontak. Terkadang Ridwan melakukannya tanpa maksud dan tujuan apapun. Hanya melihat-lihat saja. Dan kebetulan saat itu ada telepon masuk dari temannya Wisnu. Ridwan lalu mengangkatnya.

“Assalaamu'alaykum bro!” suara di teleponnya.

“Wa'alaykumusalam, ada apa?” tanya Ridwan.

“Nggak keluar? Jalan-jalan yuk?”

“Malam Minggu, males ah. Besok aja.”

“Lha? Koq males?”

“Iya, malam minggu itu waktunya nyuci baju. Besoknya setrika.”

“Oh, gitu. Aku maen ke sana boleh?”

“Ya silakan aja.”

“Oke deh, sepuluh menit lagi nyampe. Wassalaamu'alaykum”

“Wa'alaykumussalam.”

Wisnu menutup teleponnya. Mungkin sekarang ini satu-satunya temannya yang dekat adalah Wisnu. Sebab mereka selalu kemana-mana. Mereka juga ngaji bersama. Dalam kegiatan kerohanian di kampus mereka berdua juga kompak. Ridwan cukup senang dengan teman-teman barunya di ekskul Unit Kerohanian Islam ini. Rasanya anugrah bisa bertemu dengan orang-orang hebat. Seperti Akhi Novianto, Akhi Farid, Akhi Yusuf, juga yang akhwat seperti Ukhti Lilin, Ukhti Neishira, Ukhti Linda. Mereka semua ikhwan dan akhwat yang mendapatkan penghargaan khusus di mata Ridwan. Orang-orang hebat. Mengenal mereka adalah suatu anugrah bagi Ridwan.

***​
 
BAB XV

Ini adalah Pilihan

Setelah kurang lebih selama dua tahun kuliah Ridwan pun memutuskan untuk menikah. Namun ia masih bingung dengan calonnya. Sebenarnya ada banyak pilihan. Dan ia sendiri sudah melupakan Nayla. Ia pun menyambi bekerja sebagai seorang programmer di sebuah software house besar di kota tempat ia kuliah. Penghasilannya bahkan lebih bisa untuk membiayai perkuliahannya sendiri. Namun tetap saja ia belum lulus. Melihat banyak teman-temannya yang sudah menikah membuat ia juga kepingin menikah.

Dari semua teman-teman di kampusnya salah satu yang berasal dari kota yang sama dengan dirinya adalah Ukhti Neishira. Ilmu agamanya baik. Dan tentu saja sebagai seorang aktivis dengan jilbab lebarnya ia sangat disegani. Bahkan sampai sekarang pun para ikhwan-ikhwan cukup keder dengan dirinya. Hafalan Al-Qur'annya lebih banyak, bahkan ia juga bisa bahasa arab. Satu-satunya yang bisa menyamai hanyalah Ridwan. Bahkan Ridwan pun sekarang sudah menjadi ketua Unit Kerohanian Islam. Wawasannya lebih luas lagi dan pergaulannya di bidang dakwah sangat luas. Ia bahkan mengenal para ustadz yang ahli di bidang mereka.

Hingga suatu ketika Ridwan pun benar-benar serius untuk bisa menikah. Ia pun menyiapkan segalanya. Tentunya biaya pernikahan. Untuk pemuda yang masih labil seperti dia salah satu alasan dia menikah sekarang adalah karena biaya pernikahan naik dari tahun ke tahun. Dan ia juga segera ingin menyusul teman-temannya, apalagi dengan provokasi di sana sini baik dari artikel, majalah, mading, semuanya ngajak segera menikah.

Ridwan merasa cukup. Tapi apakah benar-benar cukup, ia sendiri tak yakin. Sebagai seorang yang memang butuh tantangan ia pun nekat. Pada hari sabtu, dia mengundang Neishira untuk datang ke masjid, karena ada sesuatu yang sangat penting untuk dibahas.

Hari sabtu itu sebetulnya sepi. Masjid juga nggak ada kegiatan. Ridwan sudah menunggu Neishira sejak pagi. Mereka berjanji untuk bertemu jam sembilan pagi. Apa yang disiapkan Ridwan? Secara materi tidak ada. Ia hanya mempersiapkan mental. Karena meminta seorang akhwat untuk jadi istrinya itu hal yang benar-benar terlalu berani. Terus terang Ridwan grogi. Menunggu dua jam lamanya itu sangatlah tidak mengenakkan. Ia pun berjalan mondar-mandir, kadang juga membaca Al-Qur'an, kadang juga membaca yang lain. Kadang juga melihat kontak-kontak di ponselnya.

“Assalaamu'alaykum?” sapa seorang akhwat dari balik tabir. “Apakah ada akhi Ridwan?”

“Wa'alaykumussalam. Ya, saya?” seru Ridwan.

“Ana Neishira. Ada apa ya? Koq cuma sendiri?”

Ridwan beringsut mendekat ke tabir.

“Sebenarnya ada yang ingin ana sampaikan dan ini penting. Mohon dengarkan baik-baik!” kata Ridwan.

“Iya, kenapa ya?”

“Ukhti ana punya rencana menikah. Hanya saja pilihan ana jatuh kepada anti. Apakah kira-kira kalau ana lamar anti ke orang tua, bisa?”

Neishira terdiam. Ia tentu saja terkejut mendengar ucapan Ridwan. Dia lebih muda dari dia dua tahun. Bahkan sekarang Neishira sendiri sudah ujian akhir sebentar lagi wisuda. Adanya Ridwan yang tiba-tiba mengutarakan maksud hati untuk melamarnya, tentu diluar dugaan.

“Ukhti Neishira, koq nggak ada jawaban? Bagaimana?” tanya Ridwan.

“Akhi serius?” tanya Neishira dari balik tabir.

“Aku serius. Maukah kau menikah denganku? Kalau memang ukhti nggak siap, nggak apa-apa,” kata Ridwan.

“Tapi ini terlalu mendadak. Ana sendiri nggak pernah menyangka antum mengatakan hal ini,” ujar Neishira.

“Kalau anti keberatan juga nggak apa-apa,” kata Ridwan. “Tapi ana serius. Kalau misalnya harus bertemu dengan kedua orang tua anti pun ana nggak masalah.”

“Hmm...baiklah,” kata Neishira. “Ana butuh waktu. In Syaa Allah ana akan kabari lagi. Tapi jujur ana kaget. Ana sendiri nggak tahu bagaimana antum bisa memilih ana. Apa tidak ada kandidat yang lain? Ana masih banyak kekurangan di sana-sini.”

“Kandidatnya banyak, bahkan terlalu banyak. Hanya saja ana milih anti karena sudah mantab setelah shalat berkali-kali. Kalau misalnya anti keberatan, ana nggak masalah.” kata Ridwan.

“Bukan masalah itunya, ana masih kaget. Baiklah, ana akan kabari lagi seminggu atau dua minggu,” kata Neishira.

Dua minggu ibaratnya penantian yang sangat membuat Ridwan grogi setengah hidup. Dia benar-benar kebingungan apakah maksudnya kemarin bisa diterima ataukah tidak. Kalau diurutkan, kegalauannya itu lebih kepada tidak diterima. Sebagai seorang yang baru saja mengatakan akan melamar seorang akhwat tentunya akan sangat tidak mau kalau ia sampai ditolak. Terlebih ia tak pernah pacaran sebelumnya, entah dengan Nayla bisa disebut pacaran atau tidak. Tapi yang jelas mereka tak pernah bilang cinta koq.

Hampir selama seminggu Ridwan makan saja tidak enak. Tidur saja tidak nyenyak. Ia bahkan kebayang kalau dia tidak diterima. Ia pun kemudian pulang ke rumah, mudik sehari dua hari. Kemudian mengutarakan maksudnya kepada sang ibu, bahwa ia kepingin menikah.

“Menikah? Serius Rid?” tanya ibunya.

“Begitulah bu, tolong ya boleh ya? Pliiiss,” kata Ridwan.

Sang ibu menggeleng-geleng, “Kamu itu baru kerja beberapa bulan sambil kuliah saja seolah-olah sudah mendapatkan dunia seluruhnya. Jangan dulu, selesaikan kuliahmu dulu, baru setelah itu menikah!”

“Bu, aku sebenarnya nggak ingin melihat ibu sendirian di sini. Kalau aku sudah menikah, aku janji akan lebih banyak di rumah. Lebih banyak bersama ibu. Toh nanti kalau ibu sudah punya cucu, ibu juga akan senang.”

“Bukan masalah itunya ngger. Ibu itu khawatir kamu nggak menyelesaikan kuliahmu. Jangan merasa besar dulu. Tolong itu sayapmu ditelungkupkan. Kamu itu masih seperti burung pipit, disangka terbangnya udah tinggi, tapi sadarlah ada burung elang yang terbangnya lebih tinggi dari kamu.”

Ridwan lalu menghela nafas. Ia tak ingin membantah ibunya. Baiklah kalau begitu, pikirnya. Ia akan bilang ke Neishira, nggak jadi melamarnya. Tapi tentunya juga nggak bakal semudah itu, sedangkan dia sudah benar-benar serius koq. Apalagi kalau misalnya Neishira bilang bersedia, kemudian dia katakan nggak jadi. Bukankah tambah ruwet?

Ridwan tak ingin memikirkannya lagi. Ia akan hadapi hari esok. Ia pun tertidur di kamarnya, melepaskan seluruh rasa kelelahannya. Malam itu ia tak bermimpi apapun. Bangun juga seperti biasa. Rasanya tak ada beban apapun. Dia lalu melakukan shalat Subuh di masjid dekat rumahnya. Tak ada perasaan atau firasat apapun hingga ketika ia pulang dari masjid dan membuka pintu rumah tampak ibunya menunggu dirinya.

Ridwan sedikit kaget. Wajah ibunya yang tampak tersirat sebuah rasa kelelahan tiba-tiba cerah. Ridwan tak mengerti apa yang terjadi.

“Le, ngger. Sini duduk!” kata ibunya.

Ridwan kemudian duduk di kursi di depan ibunya.

“Ada apa bu?”

“Ibu telah berpikir tadi malam. Kalau memang itu keinginanmu. Ibu tak bisa menolak. Sebenarnya hanya kamu satu-satunya yang bisa ibu harapkan. Kau tahu sendiri keadaan kita seperti apa. Dengan kamu menikah, bebanmu makin banyak. Apa kamu sudah siap? Ibu tak akan memaksamu hanya ingin menasehati. Kalau misalnya nanti misalnya ketika berkeluarga kamu mendapatkan ujian, maka jangan pernah kamu menyesalinya. Karena ini adalah pilihanmu. Kamu sanggup?”

Ridwan terdiam. Apa yang dikatakan ibunya ada benarnya. Sanggupkah dia menerima konsekuensi ini? Bukan hal yang mudah untuk membangun sebuah rumah tangga. Bukan juga hal yang mudah untuk bertahan. Tapi Ridwan harus bertindak. Akhirnya kata-kata yang keluar dari mulutnya adalah, “Saya siap ibu.”

***​
 
BAB XVI

Inilah Hidupku


Jangan pernah membayangkan pernikahan Ridwan adalah pernikahan yang mewah. Tidak. Pernikahannya sangat sederhana. Hanya dihadiri para keluarga. Mas kawinnya pun sangat sederhana. Sebuah cincin yang dibelinya dari hasil jerih payahnya sendiri. Neishira pun setelah melakukan shalat istikarah, akhirnya menerima lamaran Ridwan. Ridwan membawa keluarganya untuk melamar Neishira. Dan seminggu kemudian mereka menikah. Tentunya ketika mereka kembali ke Surabaya untuk menyelesaikan perkuliahan, mereka pun bersama. Kemudian juga mencari kontrakan untuk tinggal bersama.

Bulan-bulan awal adalah bulan-bulan yang cukup melelahkan. Karena Ridwan dan Neishira harus mengurus segala hal tentang kepindahan. Ridwan membawa barang-barangnya yang dulu ada di kostnya ke rumah kontrakannya. Begitu juga Neishira. Di kampus juga mereka pergi dan pulang bersama. Seperti orang pacaran, tapi kali ini pacaran setelah menikah. Banyak yang cemburu? Tentu saja. Neishira termasuk akhwat yang menjadi incaran para ikhwan, tapi mereka keduluan Ridwan.

Benar apa yang dikatakan oleh ibunya. Kehidupan Ridwan sangatlah berubah. Tapi ia tidak menyesalinya. Pergi pagi ke kantor, sore ke perkuliahan, malam baru bisa bersama Neishira. Itu bukan hal yang mudah. Ridwan pun mulai membangun cinta bersama Neishira. Sedikit demi sedikit mereka mulai mengenal satu sama lain. Setiap dua minggu sekali mereka pulang ke kampung halaman untuk menjenguk sang ibu. Kalau liburan panjang barulah mereka pulang lebih lama dari sebelumnya. Baru kali ini juga Ridwan merasakan bagaimana berbagi makanan, sepiring berdua. Dia juga merasakan bagaimana berbagi selimut. Bagaimana juga berbagi kesedihan, berbagi kesenangan berdua. Hingga akhirnya hatinya dipenuhi oleh cinta yang baru. Dia telah melupakan Nayla sama sekali.

Setelah setahun lamanya berumah tangga, mereka pun dikaruniai buah hati yang lucu. Seorang perempuan diberi nama Aisyah. Ridwan adalah lelaki yang paling bahagia saat itu. Ia baru kali ini menjadi ayah. Neishira juga sudah lulus kuliah. Tinggal menunggu Ridwan menyelesaikan kuliahnya karena masih menyusun tugas akhir. Tak sampai dua tahun mereka dikaruniai anak lagi dan Ridwan sudah lulus kuliah. Anak keduanya adalah laki-laki dan dinamakan Kamil.

Namun saat itulah cinta mereka diuji. Allah tidak akan membiarkan para hamba-Nya berjalan di muka bumi tanpa diuji. Semua ini berawal dari sebuah ajakan teman Ridwan, yaitu Wisnu. Setelah bekerja mereka bertemu di sebuah kafe.

“Rid, aku ada ide nih, kita bikin startup. Hanya saja, aku nggak tahu apakah kamu akan mau atau tidak. Kau tahu sendiri kan startup itu bagaimana?” kata Wisnu.


“Iya aku tahu. Emangnya startup gimana?”

“Startup ini tentang toko online yang mana di dalamnya orang-orang bisa menawar harga dan memberikan fasilitas ekspedisi untuk barang yang dibeli. Jarang ada toko online seperti itu. Nah, sekarang ini banyak sekali toko-toko online kita nampilkan sesuatu yang beda. Plus, di dalamnya ada inventory, kita bisa mengatur stock barang. Dan juga kita ada akuntansi sederhana. Bagaimana? Keren?”

“Iya sih. Itu sudah pernah aku buat semua.”

“Nah, makanya itu. Mungkin nanti yang kesulitan adalah ketika kita menggabungnya dan membuat API-nya.”

Ridwan menggaruk-garuk dagunya.

“Kalau startup model seperti ini bakalan lama lho,” kata Ridwan.

“Aku tahu. Kau silakan bekerja di perusahaanmu itu, tapi kita sering-sering aja ketemuan. Project ini bakal menghabiskan banyak waktu,” kata Wisnu.

“Bro, kalau misalnya harus bekerja full time plus ngerjain ini aku kayaknya nggak sanggup. Mendingan aku mengundurkan diri cari freelance kecil-kecilan dan fokus ngerjain ini. Baru aku sanggup.”

“Yakin?”

“In Syaa Allah aku bisa.”

“Oke, kita mulai kerja besok ya, ngerancang sistemnya.”

“Beres deh.”

Ridwan akhirnya sebulan kemudian mengundurkan diri dari perusahaannya. Dia menjadi freelance dengan penghasilan yang tidak pasti. Kadang ada penghasilan, kadang tidak, kadang ada tapi sedikit, kadang lebih. Hutangnya pun menumpuk di mana-mana. Ia bahkan berpikir keras bagaimana caranya bisa menutupi kebutuhan bulanannya. Project impiannya itu akhirnya yang menurut perkiraannya selesai dalam waktu tiga bulan harus molor lagi dan lagi.

Dalam hal ini Neishira gundah. Dialah yang merasakannya. Sebagai istri ia masih berkhusnuzhon kepada suaminya. Mungkin memang suaminya sedang merencanakan sesuatu untuk keluarganya. Sehingga ia pun membantu suaminya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan berdagang online. Alhasil, pada enam bulan kemudian toko online Neishira menghasilkan keuntungan yang sangat banyak. Sedangkan Ridwan, sama sekali belum memperoleh hasil. Namun Ridwan sama sekali tak pernah meminta kepada istrinya. Ia tetap kepada apa yang ia yakini, bahwa impiannya pasti akan ia capai. Karena project yang ia buat adalah sebuah project masa depan.

Pepatah bilang bahwa seorang istri akan ketika suaminya hanya mempunyai sedikit harta. Sedangkan seorang suami akan diuji ketika dia mempunyai banyak harta. Mungkin inilah ujian yang terjadi kepada Neishira.

Sebulan dua bulan, tiga bulan tak ada penghasilan sama sekali. Proyek freelance sedang sepi. Neishira pun akhirnya pada puncak kesabarannya.

“Abi, sudah tiga bulan Abi tidak menghasilkan apa-apa? Masa' hanya menghandalkan dari penghasilan Ummi saja?” tanya Neishira.

“Ummi, tahu sendirikan apa yang Abi kerjakan?”

“Tahu, tapi ini sudah tiga bulan. Kerja di mana gitu lho. Kerja sama orang. Kalau tetep ngotot ngejar impian tapi kalau nggak selesai-selesai ya kasihan anak istri!”

Ridwan tak bisa menjawabnya. Ia juga sebenarnya bingung.

“Ummi, Abi sedang kerja, mohon jangan ganggu dulu ya. Kita bicarakan nanti,” kata Ridwan.

“Kerja kalau ada hasilnya, ini sudah tiga bulan nggak ada hasilnya!” Neishira mengangkat suaranya kepada Ridwan. “Ummi nggak mau tahu, Ummi capek. Bulan depan harus ada hasilnya. Atau mendingan Abi pulangkan saja Ummi ke rumah orang tua Ummi.”

“Ummi, apa-apaan itu? Istighfar!”

“Tapi ingat Abi, di rumah ini Abi tidak hidup sendiri. Bersama buah hati juga. Aku bukan orang yang sanggup menahan diri.”

Ridwan menghela nafas.

“Baiklah, satu bulan. Satu bulan ini akan selesai. In Syaa Allah akan selesai.”

Neishira lalu meninggalkannya sendirian dengan wajah cemberut. Ridwan tak bisa berbuat apa-apa.

Sebulan pun berlalu, Ridwan bahkan sampai jatuh sakit. Ia mengerjakan project itu menghubungi seluruh pihak yang terlibat dan akhirnya selesai. Tapi bukan berarti dia harus langsung dapat hasilnya, karena ini adalah startup, butuh waktu. Ridwan pun terpaksa mencari pekerjaan lagi selagi menunggu projectnya mendapatkan hasil yang memuaskan. Tapi ia sudah kelelahan dan energinya sudah habis. Ia drop dan harus dirawat akhirnya. Tipus telah menyerangnya. Ridwan tahu biaya rumah sakit besar, tak mungkin ia dirawat lama-lama. Akhirnya ia pun memutuskan pulang.

Neishira makin frustasi. Seluruh uangnya habis untuk membiayai biaya perawatan Ridwan. Namun berkat rahmat Allah, Ridwan pun bisa sehat lagi. Saat itulah puncak dari kesabaran Neishira.

“Mas, aku ingin kembali ke orang tuaku,” kata Neishira.

Ridwan yang saat itu sedang ada di atas tempat tidurnya terperanjat. “Apa?”

“Abi, aku bukan orang yang sempurna. Aku tak bisa begini terus. Melihatmu tak menafkahi diriku selama ini benar-benar membuatku frustasi.”

“Ummi, sadarkah apa yang Ummi katakan itu?”

“Iya, yakin seratus persen. Ummi sudah tak sanggup lagi.”

“Astaghfirullah, kenapa? Bukankah kita telah sepakat susah senang kita akan rasakan bersama?”

“Abi, Ummi nggak kuat. Ummi sudah frustasi. Lihatlah biaya rumah sakit yang besar, bahkan project impian Abi saja tak menghasilkan apa-apa. Mau dapat uang dari mana? Ummi nasehati Abi agar bekerja bersama orang saja, kembali ke kantoran tidak mau. Hargailah perasaan istrimu ini. Tidak bisakah?”

“Ummi, ingatlah anak-anak, tegakah kamu melihat mereka yang masih kecil melihat kita berpisah?”

“Justru karena melihat anak-anak itulah aku ingin berpisah denganmu. Mau makan apa mereka nantinya melihat seorang ayah yang tak bisa memberinya makan?”

“Ummi, sebentar tolong dengarkan Abi. Mohon berpikirlah dengan pikiran jernih.”

“Tidak Bi, sudah cukup. Ummi nggak tahan lagi.”

“Ummi, apakah Ummi nggak sadar selama ini kita hidup seperti apa?”

Neishira membuka lemarinya, mengambil tas besarnya. Seluruh baju-bajunya diambil dan dimasukkan ke dalam tas itu. Ridwan berusaha mencegahnya. Ia turun dari tempat tidurnya dan memegang tangan Neishira.

“Ummi, kita bisa bicarakan ini.”

Neishira menggeleng.

“Lalu, bagaimana dengan Aisyah? Kamil?” tanya Ridwan

“Aku akan ajak mereka.”

“Kumohon Ummi, jangan!”

Neishira tidak mendengarkan suaminya. Ia mengepack seluruh barang-barangnya dan keluar kamar.

“Ummi, jangan lakukan ini. Kalau Ummi lakukan, maka baiklah. Baik...kalau itu yang Ummi inginkan aku akan kabulkan. Tapi dengarlah dulu kata-kataku. Selama ini siapakah yang kebutuhannya tinggi? Siapa? Abi ataukah Ummi? Abi tak pernah makan di luar, selalu di rumah, merasakan masakan istri tercinta. Semua itu karena cintaku. Bahkan rela tak ingin ditraktir oleh kawan-kawan hanya ingin bisa makan bersama kalian. Siapakah yang ingin barang-barang mewah di rumah ini. Abi ataukah Ummi? Abi bisa kerja di mana saja. Kapan saja. Siapa juga yang punya kartu kredit? Ummi Ataukah Abi? Dan siapakah yang selalu membayarkan semua hutang-hutang dan tagihan-tagihan itu? Kehidupan kita kebutuhannya besar, itu karena Ummi yang boros. Tapi Abi sadar, bahwa Ummi memang membutuhkan semua itu. Abi tak marah, sama sekali tidak. Selama ini juga apakah Abi memakan uang Abi sendiri? Tidak bukan? Semua gaji Abi berikan kepada Ummi. Semuanya. Tak ada sepeser pun yang luput. Uang itu hanya Abi minta untuk uang transport. Sedikit sekali. Ummilah yang mengurus semua tagihan-tagihan itu bukan? Tak ada yang bisa Abi lakukan lagi sekarang. Kalau Ummi masih berpikir Abi tak mampu lagi mencari nafkah, baiklah. Abi ijinkan Ummi pergi. Silakan pergi. Tapi ingatlah, Abi sangat mencintaimu. Aku akan berikan semuanya kepada Ummi, uang seluruh projectku nantinya. Dan Abi tak akan mengambilnya sepeser pun. Kalau Ummi inginkan itu, maka Ummi akan dapatkan tapi syaratnya satu. Jangan pernah kembali lagi memohon aku untuk kembali.”

Neishira meneteskan air mata. Kata-kata suaminya itu sangat pedih. Ia pun tak pernah lagi menoleh ke belakang. Ia tetap pergi. Ridwan serasa lumpuh. Di saat ia sedang ingin memulihkan diri dari sakit ia hanya bisa melihat Aisyah dan Kamil dibawa oleh istrinya pergi sambil berkali-kali memanggil “Abi! Abi! Ummi, kenapa Abi tidak ikut? Kenapa?”

Hati Ridwan saat itu serasa hancur berkeping-keping mendengarkan suara Aisyah dan Kamil. Ia menangis. Menyesali ucapannya tadi. Tapi semuanya sudah terjadi. Dan inilah kehidupannya yang tak bisa direset lagi semudah mereset komputer.


***​
 
BAB XVII

Kecewa


Rasa sakit adalah sesuatu yang bisa dirasakan oleh syaraf. Namun rasa sakit yang dirasakan oleh hati adalah rasa sakit yang tak akan tertahankan dan obatnya pun hampir tidak ada. Nayla selama ini hidupnya bahagia, karena dua bintangnya sudah dia dapatkan. Tinggal mendapatkan bintang-bintang yang lain. Toni tetap seperti biasa, pamit kepada istrinya untuk pergi ke studio. Dan Nayla mengurus rumah beserta anaknya.

Nayla seperti biasa melakukan kegiatan sebagai ibu rumah tangga. Dia cukup berpengalaman selama tiga tahun merawat Laila. Hari itu ia memasak dan sudah menghidangkan sayuran kesukaan Toni. Dia pun melihat Laila tampak sedang bermain sendirian di ruang keluarga. Dia sebenarnya ingin membeli beberapa bumbu masakan yang sudah habis. Perhatiannya kemudian tertuju ke sebuah ponsel yang masih terpasang kabel charger. Dia tahu itu milik suaminya. Kemudian dilihatnya, batteray sudah penuh. Dia pun mencopot kabel yang menghubungkan ponsel ke adapter.

Timbul sebuah keisengan. Sebenarnya hal ini tak patut dilakukan. Dia sendiri sudah cukup percaya kepada suaminya. Satu-satunya orang yang benar-benar membuatnya bahagia. Bahkan ketika Nayla ingin membantu suaminya untuk cari nafkah dilarangnya. Nay cukup tentram dengan keadaan ini. Tapi sampai sekarang ia tak pernah melihat isi dari ponsel suaminya. Ia tahu itu privasi, tapi sebagai istri ia perlu tahu dong, pikirnya.

Dia pun menghidupkan ponsel yang mati itu. Ponsel pun menyala. Dengan mudah Nayla kemudian menjelajah kontak-kontak suaminya. Lalu iseng melihat isi SMS. Nggak ada yang penting, semuanya tentang kontrak. Nggak ada SMS dari orang-orang yang aneh, dari cewek asing atau yang lain. BlackBerry Messengernya pun dicek. Tak ada yang aneh. Entah kenapa hari itu Nayla tertarik melihat isi folder dari ponsel suaminya. Seandainya saja tidak dilihat, seandainya saja ia tak melihatnya.

Ada beberapa file di dalam folder video. Karena penasaran Nayla pun memainkannya. Dia tersenyum. Ada video yang berisi tentang dirinya dan Laila. Tampak itu diambil suaminya beberapa waktu yang lalu. Tampak Laila sedang berbicara dengan suara yang lucu. Kemudian dia memainkan file video yang lainnya. Gelap. Kemudian terang, ada wajah suaminya. Nayla heran, kapan diambil? Dia melihat tanggal di pojok kiri atas video itu. Tanggal kemarin. Berarti ini diambil kemarin. Dan ia terkejut. Ia menutup mulutnya, tangannya pun gemetar. Ada wajah suaminya dan dia tahu itu suaminya, bertelanjang dada. Dan kemudian wajah seorang wanita tak dikenal.

“Maasss...aku kangen kamu, aku cinta kamu,” kata suara wanita itu.

Dan berkali-kali Nayla beristighfar. Matanya berkaca-kaca. Di dalam video itu ada adegan tak senonoh di mana suaminya menggauli seorang wanita. Ini video asusila! Nayla seketika itu hancur, hancur hatinya. Dia menangis. Tangisnya meledak dan Laila sempat terkejut. Dia lalu melihat video yang lainnya. Ternyata isinya juga berisi video mesum antara suaminya dengan perempuan lain. Lagi-lagi Nayla beristighfar. Dengan cekatan Nayla mencopot kabel charger ponsel suaminya.

Pikirannya kalut. Satu hal yang ia pikirkan saat itu, pergi dari rumah ini. Pergi ke rumah orang tuanya. Ia tak peduli hari sudah siang, matahari sudah terik. Dia lalu mengambil tas ia masukkan pakaian-pakaiannya, juga baju-baju Laila. Cincin pernikahan yang dipakainya pun dia taruh di meja tamu. Dia mengambil kunci sepeda motor matiknya dan mengajak Laila untuk pergi bersamanya. Laila ia gendong. Dan dia menaruh tas bawaannya di sadel belakang. Dengan mata yang terus mengucurkan air mata, dia menstarter sepeda motor matiknya dan pergi dari rumah. Dia menangis sepanjang jalan.

“Mas Toni, kenapa mas tega....tega bangeett...!” gumamnya.

Perjalanan pun menghabiskan waktu setengah jam. Melihat Nayla datang dengan sepeda motornya dan barang bawaan yang banyak bahkan sambil mengajak Laila. Ayahnya terkejut. Tak biasanya anaknya seperti itu, apalagi sambil membawa cucu kesayangannya.

“Nay? Ada apa?” tanya Pak Kusmoharjo.

“Tolong jagain Laila ya yah. Nay ingin menyendiri dulu, Plis jangan tanya dulu. Panggilkan kak Rita untuk ke sini!” kata Nayla. Ia langsung masuk kamar.

Melihat air mata di pipi putrinya Pak Kusmoharjo yakin ada masalah yang besar. Membawa barang bawaan sebanyak itu dan juga cucunya merupakan hal yang tidak biasa. Segera hari itu Pak Kusmoharjo menelpon Rita untuk pulang. Rita saat itu kebetulan sedang tak ada kegiatan dan sedang diajak ke mall bersama suaminya.

“Ada apa yah?” tanya Rita.

“Adikmu, datang ke rumah sambil bawa pakaian-pakaiannya dan juga Laila sambil menangis. Dia ingin bicara ama kamu, kamu bisa ke sini?” tanya Pak Kusmoharjo.

“Bisa yah, segera setelah ini Rita ke sana,” kata Rita.

Tak butuh waktu lama untuk Rita sampai ke rumah orang tuanya. Di rumah itu langsung dia disambut oleh kedua orang tuanya. Sementara itu Dani—suami Rita—masih sibuk dengan barang bawaan yang ada di mobil. Rita langsung menyapa keponakannya Laila yang masih lucu-lucunya itu. Pak Kusmoharjo segera menyuruh Rita masuk ke kamarnya Nayla.

Rita pun mengetuk pintu.

Nayla berkata, “Masuk!”

Suara Nayla nyaris tak terdengar. Rita pun masuk. Dia tengkurap dengan mukanya ditutupi bantal. Dia tampak menangis. Sebenarnya kalau tanpa bantal itu sebagai peredam, bisa-bisa seluruh rumah tahu dia menangis. Rita lalu mendekatinya dan duduk di ranjang. Rita melihat ponsel Nayla ada banyak panggilan misscall tapi tak diangkat. Juga sebuah ponsel yang tidak dikenalnya. Tangan Rita menyentuh pundak Nayla.

“Ada apa Nay?” tanya Rita.

Tiba-tiba Nayla bangun dan langsung memeluk kakaknya. “Aku kecewa kak, aku kecewa. Mas Toni....Mas Toni....!”

“Iya, kenapa dengan Toni?” tanya Rita.

“Lihat ini, lihat!” Nayla menyerahkan ponsel milik Toni.

Rita lalu memainkan sebuah file video. Nayla lalu memejamkan mata dan menutup telinganya rapat-rapat. Rita terbelalak tak percaya melihat video itu. Video yang dibuat dengan ponsel berisi adegan mesum antara Toni dan seorang wanita yang tidak dikenal.

“Brengsek! Aku tahu pasti ini bakal terjadi, aku tahu!” kata Rita. “Wanita ini sepertinya kakak kenal. Kamu tenang di sini, aku dan Mas Dani akan mengurus ini.”

“Tolong kak, jangan sampai Mas Toni tahu aku ada di sini. Aku tak mau melihatnya lagi, aku kecewa. Bener-bener kecewa. Aku selalu berusaha baik di rumah, mengurus semuanya dan sekarang apa yang dia lakukan membuatku sakit, sakit sekali,” kata Nayla. “Aku sudah jijik melihatnya, jijik sekali.”

“Aku tahu Nay, aku tahu. Aku akan buat perhitungan dengan wanita ini,” Rita segera keluar kamar adiknya. Di ruang keluarga tampak ayah dan ibunya kebingungan melihat raut wajah Rita yang marah. Dani juga kebingungan. “Mas, coba lihat ini!”

Dani menerima ponsel milik Toni yang diserahkan oleh istrinya. Dani pun melihatnya. Pak Kusmoharjo tampak nimbrung. Dan mereka semua lalu beristighfar melihat isi dari video itu.

“Apa-apaan ini?” tampak wajah Pak Kusmoharjo tak bisa disembunyikan kemarahannya.

“Brengsek! Berani-beraninya Toni berbuat seperti ini,” kata Dani.

“Kalau dia datang ke sini jangan sampai dia masuk ke rumah, aku tahu siapa wanita itu. Aku aka labrak dia. Tolong semuanya jangan sampai Toni menemui adikku atau sampai bicara dengan dia. Adikku sudah jijik melihatnya,” kata Rita. Dia lalu pergi mengambil sepeda motor matik milik adiknya.

“Rita, hati-hati!” seru Dani.

Rita setelah itu ngebut ia tak mempedulikan lagi rambu-rambu berhenti. Dia terobos apapun yang ada di depannya. Jiwa ngebutnya semasa SMA kembali lagi. Walaupun dia pernah jatuh dari sepeda motor karena ngebut, tapi sepertinya hal ini tak akan terulang lagi. Dan ia tak takut kalau pun harus jatuh dari motor.

Wanita yang ada di dalam rekaman video ponsel milik Toni adalah seorang yang berprofesi sebagai seorang produsen rekaman di salah satu studio di kota ini. Rita kenal sekali dengannya karena dialah yang menerbitkan lagu-lagu group band The Girls milik adiknya itu. Jadi dia tahu persis apa yang dilakukan si wanita itu sampai membuat nama band adiknya terkenal.

Begitu sampai rumah produksi. Rita memarkirkan sepeda motor matiknya sembarangan. Ia tak peduli kepada tukang parkir yang memanggil-manggilnya karena kuncinya masih nempel. Wajah marah Rita yang merah padam tak bisa disembunyikan. Siapa pun yang melihatnya bakal mengambil jarak. Dari meja resepsionis Rita langsung nyelonong masuk ke meja manajer.

“Mbak? Mbak Rita? Cari siapa?” tanya sang resepsionis.

“Cari pelacur di studio ini,” ujar Rita.

Melihat Rita yang sudah dalam kondisi panas, semua orang tak berani mendekat. Rita sampai di ruangan Manajer Produksi. Dia lalu mendobrak pintu itu dengan kasar. Sang wanita yang sedang duduk wajahnya sangat mirip dengan wanita yang ada di video itu dengan Toni tampak kaget. Ia kebingungan dengan kehadiran Rita.

“Ada apa ya mbak?” tanya sang wanita. Dia adalah Ester manajer produksi.

“Hei, pelacur! Perusak rumah tangga orang. Kau benar-benar brengsek!” kata Rita. Dia lalu segera maju dan menampar wanita itu.

“Apa-apaan ini mbak?” Ester tak mengerti.

“Nggak usah tanya ada apa, dasar pelacur. Aku sudah lihat video mesummu dengan Toni, kau sudah tak bisa mengelak lagi. Aku sudah tahu semua. Dasar wanita murahan, merebut suami orang,” cela Rita.

“Nggak mungkin mbak, saya nggak mungkin melakukannya itu fitnah. Itu bohong!” bela Ester.

Rita lalu menunjukkan ponsel milik Toni. Ester sepertinya mengenali ponsel itu. Ponsel yang selalu dibawa oleh Toni. Dan Rita membuka satu file video dan memainkannya. Tampaklah sebuah adegan yang sangat dikenali oleh Ester. Saat dia bersama Toni dalam sebuah kamar hotel. Ia tak menyangka Toni masih belum menghapus video itu.

“Itu..itu cuma rekayasa mbak. Saya nggak mungkin melakukannya!” kata Ester.

“Kamu nggak usah membela diri. Kamu bisa ceritakan bagaimana wajahmu ada di video ini? Oh, soal hotelnya? Aku sepertinya tahu ini hotelnya di mana. Aku bisa tanya kepada resepsionis apakah mengenali dirimu. Dengar Ester, aku sudah muak melihatmu. Kau boleh saja berjasa karena telah melejitkan group band adikku, tapi berselingkuh dengan suami orang itu adalah perbuatan yang biadab. Sebenarnya aku ingin menghajarmu habis-habisan di sini tapi aku tidak ingin mengotori tanganku,” kata Rita. Dia mengambil papan nama di meja Ester yang terbuat dari batu marmer itu. Lalu dilemparkannya ke kaca. Kaca studio pun hancur saat itu juga terkena lemparan Rita.

Rita lalu keluar dari ruangan Ester. Kemarahannya tak berhenti sampai di situ saja. Dia lalu berteriak dengan lantang, “Hai kalian semua, mau tahu video mesum terbaru? Ini dia video mesum dari bos kalian!”

Ester yang mengetahui tindakan Rita itu segera mencegahnya ia lalu berusaha merebut ponsel milik Toni yang ada di tangan Rita itu.

“Hentikan Rit, hentikan! Aku mohon maaf, jangan Rit kumohon!” kata Ester memohon. Bahkan sekarang pun Ester berlutut sambil memegangi kaki Rita. Semua orang yang melihat peristiwa itu hanya bisa melongo melihatnya. Mereka sama sekali tak berani untuk mencegah Rita atau melerai keduanya.

“Minggir kau dasar lonte! Pelacur!” Rita menendang Ester hingga Ester tersungkur. Dia memainkan video mesum itu dan dikeraskan suaranya. Hingga semua orang yang ada di ruangan itu mendengarnya.

Ester menutup wajahnya. Dia memohon-mohon agar jangan dimainkan lagi. Dia benar-benar malu.

“Kenapa kamu sekarang malu? Kenapa kamu tidak malu ketika berhubungan ama suami orang, hah?” Rita lalu keluar dari studio itu meninggalkan Ester yang bersimpuh. Dia masih belum puas sebenarnya, apalagi ia ingin sekali menonjok Toni.

Toni kala itu kebingungan karena dia kehilangan ponselnya. Lalu ia baru ingat bahwa ponselnya ketinggalan di rumah. Karena yakin ada di rumah, maka ia tak menghiraukannya. Dia masih sibuk mendata pemasukan dari penghasilan kursus musik tempat dia mengajar. Hingga dia ditelpon oleh seseorang di meja kerjanya.

“Halo, dengan Studio Musika di sini,” kata Toni.

“Mas Toni,” sebuah suara terisak.

“Ester?” Toni langsung mengenali suaranya.

“Video itu mas, video itu mas belum menghapusnya?” tanya Ester sambil terisak. “Dia sudah tahu mas, dia sudah tahu.”

DEG! Bagai tersambar petir Toni ingat bahwa ia belum menghapus video itu.

“Apa yang terjadi, kenapa kamu menangis?”

“Tadi Rita ke sini dan marah-marah. Aku dipermalukan, aku dianggap pelacur. Mas, sebaiknya kita tak usah ketemu lagi. Aku malu mas, malu!” kata Ester setelah itu menutup teleponnya.

Toni gusar. Ia tak menyangka akan seperti ini. Dia segera menghubungi istrinya. Tapi tak diangkat. Ia mencoba menghubungi lagi tapi tak diangkat. Dia pun mencoba untuk pulang ke rumah. Maka dengan cepat ia melajukan mobilnya sampai ke rumah. Rumahnya terlihat pagarnya terbuka. Toni segera masuk ke rumah untuk mencari istrinya. Rumah tak dikunci, pagar dibuka. Tak ada sepeda motornya. Apa maling masuk rumah? Ia lalu masuk ke kamar, dia mencari ponselnya ternyata tak ada. Yang ada hanya chargernya. Kemana istri dan anaknya?

Toni kemudian melihat ke kamarnya dan memeriksa lemari. Hampir seluruh baju istrinya sudah tidak ada. Lutut Toni pun lemas. Ini pertanda yang tidak baik. Pasti istriya telah melihat video itu. Ia tahu pasti perasaannya hancur melihatnya. Toni memukul-mukul keningnya.

“Bodoh, bodoh, bodoh!” katanya.

Sekarang ia tahu tujuannya kemana. Ke rumah mertuanya. Dia pun pergi begitu saja, meninggalkan pagar rumahnya terbuka seperti tadi. Dan dia pun ngebut untuk sampai ke rumah mertuanya. Karena ia yakin Nayla dan Laila ada di rumah itu. Ia memang bodoh, kenapa harus bermain-main dengan cinta. Sebagai seorang anggota musisi band dan juga pimpinan les musik privat di sebuah studio musik, bukankan sudah cukup baginya. Terlebih ia punya istri yang setia, juga sudah punya seorang putri yang cantik? Tapi ternyata tidak, setan telah menguasai dia. Sehingga dia ingin lebih. Sayangnya ia melakukan dengan cara yang salah. Dia pun mencoba beristighfar, semoga persoalan ini bisa selesai.

Tak berapa lama kemudian dia pun sampai di rumah Keluarga Kusmoharjo. Sedannya di parkir di belakang mobil Dani. Tak perlu berlama-lama dia pun segera menuju ke pagar. Baru saja dia membuka pagar Toni pun didorong keluar. Dia tak melihat ada orang di pagar itu. Tentu saja dia kenal siapa lelaki yang mendorongnya, Dani—kakak iparnya.

“Aku tidak pernah menyangka kamu seperti ini, tapi sebenarnya aku sudah menyangkanya koq,” kata Dani. “Dari sejak pertama kali kamu menikahi Nayla, aku sudah mencium gelagat yang buruk. Engkau suka main perempuan. Aku pernah melihatmu sebenarnya beberapa waktu lalu di sebuah kafe bersama seorang wanita, tapi aku tepis anggapan itu karena aku melihat kebahagiaan di mata Nayla. Ternyata sekarang terbukti bukan?”

“Tunggu dulu mas, aku bisa jelaskan!” kata Toni. “Tolonglah dengarkan aku bisa jelaskan.”

“Aku di sini bertugas agar engkau tak masuk ke rumah ini. Nayla tak mau lagi bertemu denganmu. Dia jijik,” kata Dani.

“Tapi, please ini demi Laila. Kumohon biarkan aku bicara kepadanya!” kata Toni.

“Demi Laila? Kamu sekarang memikirkan Laila? Kenapa ketika satu ranjang dengan perempuan lain kamu tidak ingat kepada Laila? Mikir kamu Ton, mikir!” Dani menunjuk keningnya. Dia benar-benar menahan diri agar tak sampai menonjok wajah Toni. Sekarang ini dia benar-benar tak suka kepada suami Nayla itu.

“Mas, kumohon. Aku ingin bicara ama Nayla. Ijinkan aku. Aku masih suaminya!” kata Toni.

“Emangnya ketika kamu seranjang dengan perempuan lain itu kamu masih menganggap dia istri?”

“Mas, aku khilaf mas, kumohon. Biarkan aku minta maaf kepada istriku. Kumohon!”

“Kamu sendiri tahu watak Nayla. Sekali ia tidak memaafkan seseorang maka ia tak akan memaafkannya. Dosamu terlalu besar. Sebaiknya kamu pergi saja dari tempat ini sebelum kutonjok!” Dani sudah mengepalkan tangannya ingin segera menghajar Toni saat itu juga.

Toni pun mendorong Dani agar menyingkir, tapi tenaga Dani lebih kuat. Dia dorong lagi dan Dani mendaratkan sebuah bogem mentah ke wajah Toni. Toni kembali lagi bangkit, kini mencoba membalas tapi kalah cepat. Dani menendang perutnya hingga terkena ulu hatinya. Toni pun ambruk sambil memegangi perutnya.

“Denger! Segera pergi atau aku akan suruh satu kampung menghajarmu!” kata Dani.

Toni masih terbaring di tanah. Dia lalu duduk. Dia yakin istrinya ada di dalam sana. Dia pun memanggil-manggilnya. “Naaayy! Keluarlah! Maafkan aku Nay!”

Di kamar, Nayla menutup telinganya rapat-rapat. Tak ingin mendengar suara Toni lagi. Air matanya mengalir. Dia terus terisak. Entah kenapa saat itu dia menyesal memilih Toni menjadi pendamping hidupnya. Gosip-gosip yang selama ini dia dengar bahwa suaminya sering jalan dengan wanita lain. Apalagi ketika kakak iparnya beberapa waktu lalu mengatakan bahwa melihat Toni di kafe bersama wanita lain. Dia tidak percaya, tapi semuanya sekarang terang benderang.

“Yaa Allah, berikanlah aku kekuatan. Kalau memang dia bukan jodohku, tolong jangan pertemukan aku dengannya lagi. Tunjukanlah kepadaku jodohku yang sesungguhnya, yang akan menjagaku dan setia kepadaku selamanya. Yaa Allah, aku menyesal tidak mendengarkan kata-kata kakakku. Padahal dia orang yang paling sayang kepadaku,” kata Nayla.

Toni pun akhirnya pergi. Rasanya sudah tidak mungkin lagi bagi dirinya untuk menjelaskan semuanya kepada keluarga Nayla. Di dalam mobil yang melaju itu ia memukul-mukul dashboard mobilnya. Dia pun langsung menuju ke rumahnya. Perasaannya berkecamuk. Dadanya bergemuruh ketika dia mengingat kembali wajah Nayla dan Laila.

“Apa yang sudah aku perbuat?”

Berkali-kali dia mengulangi kata-kata itu. Dia tahu sikap Nayla. Dan dia tak akan dimaafkan lagi oleh istrinya. Hubungan mereka pun diambang kehancuran. Rumah tangga yang sudah dibina selama hampir empat tahun itu pun mulai kandas. Hanya karena ketololan dirinya. Padahal dulu dia sudah berjanji kepada dirinya, “Nayla adalah yang terakhir. Aku sudah bertaubat.”


***​


Ridwan tampak sedang berada di taman bermain bersama anak-anaknya. Hari ini adalah waktu dia bersama anak-anaknya selama dua hari. Karena setelah itu ia harus mengembalikan kedua anaknya kepada ibunya. Sambil mengamati kedua buah hatinya bermain di taman. Dia duduk di sebuah bangku di taman yang kosong. Dia pun mengambil nafas dalam-dalam. Agaknya dua buah hatinya itu telah membuat dirinya merasa rileks dan melupakan segala bentuk stress yang melandanya tiap hari.

Dari kejauhan terdengar sayup-sayup suara dari pengeras suara. Pengeras suara itu merelay salah satu radio yang biasanya memutar musik-musik lokal. Dan lagu itu dia ingat.

“Nayla?!” Ridwan tiba-tiba teringat kepada Nayla. Sebuah lagu yang ia ingat beberapa tahun lalu. Sebuah lagu yang akan terus ia ingat. Lagu dengan judul Sembilan Bintang dari group band The Girls. Suara Nayla terdengar di lagu itu. Tiba-tiba saja air matanya mengalir.

Ridwan tentu saja ingat siapa yang menyanyikan lagu ini. Sahabat yang ia cintai ketika masa putih abu-abu. Mengingat-ingat kembali semua kenangan itu membuat dadanya sesak. Dia teringat kepada Nayla.dan terus bergumam sendiri, “Nayla.”

“Ayah, kenapa menangis?” tanya Aisyah. Putri kecilnya itu ada di hadapannya.

Ridwan pun bergumam, “Apa yang terjadi? Kenapa aku menangis? Kenapa?”


***​
 
BAB XVIII

Kenangan Lama


“Abi ada telepon!” seru Aisyah ketika mendengar ponsel Ridwan berbunyi.

Ridwan saat itu sedang di ruang kerjanya langsung keluar karena tadi ponselnya dibawa oleh Aisyah dan Kamil untuk mainan. Ridwan mengangkat ponselnya. Aisyah dan Kamil bermain yang lain. Dari mantan istrinya, Neishira.

“Assalaamu'alaykum?” sapa Ridwan.

“Wa'alaykumussalam, Mas Ridwan. Maaf, aku baru baca SMS-nya. Aku nggak bisa nganter anak-anak,” kata Neishira.

“Lho, Shira. Aku juga sibuk, besok aku harus ketemu klien,” kata Ridwan.

“Aku soalnya sekarang ada di luar kota, nggak bisa hari ini langsung pulang,” kata Neishira.

“Aduh,” Ridwan memijit-mijit kepalanya. Ia tahu pasti tak akan pernah klop kalau urusan masalah anak dengan mantan istrinya itu. Dari mulai mereka bersama sampai berpisah.

“Bagaimana? Jelas aku lebih tidak mungkin. Kalau aku masih di sana mungkin aku bisa saja,” ujar Neishira.

“Ya sudah, baiklah,” kata Ridwan.

“Maaf ya. Sekali lagi maaf,” kata Neishira.

“Iya, nggak apa-apa,” kata Ridwan.

“Boleh dong aku bicara ama anak-anak?!”

“Iya. Aisyah?! Kamil?! Ini dari Ummi.”

Kedua anaknya langsung berhamburan menyerbu ke arah Ridwan. Ridwan memasang loud speaker karena mereka memang belum bisa memegang ponsel.

“Ummi, Assalaamu'alaykum!” seru Aisyah

“Ummi, Assalaamu'alaykum! Ini Kamil,” seru Kamil.

“Wa'alaykumussalam. Bagaimana kabar kalian?”

“Baik ummi,” kata Aisyah. “Aisyah sama Kamil besok mau ke tempat wisata. Ummi nggak ikut ya?”

“Maaf ya sayang, ummi nggak bisa. Ummi sedang di luar kota. Besok saja ya lain kali sama abi jalan-jalan.”

“Ummi, ummi Kamil bisa gambar kodok!” kata Kamil.

“Masyaa Allah beneran itu?”

“Iya, tapi kodoknya kakinya cuma tiga,” kata Aisyah. “Aisyah bisa bikin pesawat terbang, tapi kecil.”

Mendengarkan kedua anaknya mengoceh membuat Ridwan sedikit melupakan pekerjaannya yang penuh tekanan. Suara mereka lucu-lucu dan ibu mereka benar-benar meladeni mereka dengan baik. Ah, seandainya istrinya ada di sini, pasti keadaannya tak seberat ini. Tapi perpisahan itu tak pernah disesali oleh Ridwan. Mereka bertemu dengan baik-baik dan berpisah dengan baik-baik.

Setelah berbicara panjang akhirnya Neishira menutup teleponnya. Ridwan tahu bahwa mantan istrinya itu pasti sekarang sangat merindukan kedua buah hatinya. Ridwan pun kembali ke meja kerjanya. Ia kembali membiarkan anak-anak mereka bermain di ruang keluarga, seluruh mainannya berantakan. Tipikal anak-anak. Ridwan langsung mengirim email ke para kliennya untuk membatalkan pertemuan mereka.

Ridwan telah memenuhi janjinya. Ia punya perusahaan sendiri sekarang. Dan sesuai janjinya keuntungan project impiannya dulu itu semuanya untuk mantan istrinya. Ia sepeser pun tak pernah memakan hasilnya. Ridwan mendirikan perusahaan IT yang sekarang masih berkembang, tapi sekali pun begitu ia sudah cukup sukses. Punya rumah sendiri, punya mobil sendiri. Dan kedua buah hatinya mengunjunginya dua kali dalam seminggu. Kadang juga lebih, tergantung Neishira yang memberikan ijin.

Neishira pun sebenarnya menyesali apa yang telah menimpanya. Ia tidak sabar. Sekarang ia hanya bisa melihat Ridwan dari jauh. Ridwan sudah tidak ada di hatinya lagi. Percakapan mereka pun serasa hambar. Sudah tak semenarik dulu lagi. Dan Neishira berharap ada lelaki yang bisa mendekatinya lagi seperti mantan suaminya itu. Tapi sampai sekarang tak pernah ada. Dia pun sekarang hanya pasrah. Bukan masalah dia bisa mendapatkan penghasilan pasif dari Ridwan. Tapi saat-saat kebersamaannya dengan Ridwan sangat dia rindukan, meskipun itu sekarang sudah tidak mungkin lagi.


***​


Hari darmawisata pun datang. Ridwan pun harus mendampingi anak-anaknya. Dengan baju santai T-shirt dan celana jeans dia mendampingi anak-anaknya naik bus. Acara darmawisata itu ternyata tidak hanya dari sekolahnya saja, beberapa sekolah lain pun ikut satu rombongan. Tujuan mereka adalah ke Jawa Timur Park, Batu. Bus-bus itu berangkat. Aisyah dan Kamil sangat senang sekali. Terlebih selama perjalanan mereka sepertinya tak pernah berhenti untuk bergerak. Selalu bernyanyi, bercanda. Ridwan bahkan sampai kewalahan. Begitu mereka sampai semua rombongan pun berkumpul. Ternyata mereka semua dikumpulkan untuk sebuah acara produk tertentu. Dan itu melibatkan beberapa sekolah taman kanak-kanak. Oleh panitia, orang tua diwajibkan untuk terus mendampingi anak-anaknya. Mereka dibagi menjadi sepuluh kelompok dan memasuki berbagai wahana dan nantinya ditutup untuk masuk ke Batu Secret Zoo.

Ridwan dan anak-anaknya mendapatkan kelompok sembilan. Akhirnya dia pun mengikuti anak-anaknya berjalan di belakang mereka dari jauh. Setelah oleh panitia diberikan gelang untuk masuk mereka pun bisa masuk ke dalam Jatim Park. Ada Jatim Park I dan Jatim Park II, yang mana di Jatim Park II ada Batu Secret Zoo. Itu tujuan mereka terakhir nantinya.

Saat itu Ridwan bersebelahan dengan ibu-ibu yang juga bersama anaknya. Mereka mengamati anaknya dari kejauhan. Melihat keceriaan di wajah anak-anak mereka tampaknya rasanya senang sekali.

“Senang ya melihat mereka,” kata ibu-ibu di sebelah Ridwan.

“Iya, rasanya senang sekali,” kata Ridwan.

Ridwan menoleh ke wanita di sebelahnya. Seorang ibu-ibu memakai kacamata dan berhijab. Sekilas Ridwan agak mengenali wanita itu. Wanita ini menoleh ke arah Ridwan. Kedua mata mereka beradu. Jantung Ridwan berdebar-debar. Hampir saja jantungnya copot. Dia tahu siapa wanita ini. Mereka pun mematung, entah kenapa tak ada satupun kata yang terucap dari keduanya. Wanita itu adalah Nayla. Pertemuan yang tidak pernah disangka-sangka.

“Nayla?”

“Ridwan?”

Keduanya lalu berpaling. Siapa sangka mereka bisa bertemu di kesempatan yang tidak pernah disangka-sangka sebelumnya. Bahkan tak pernah terpikirkan oleh Nayla juga bakal bertemu Ridwan dalam kondisi seperti itu.

“K..kamu ikut juga?” tanya Ridwan.

“I...i-iya,” jawab Nayla.

Kenapa bisa bertemu Ridwan di sini? Kenapa juga aku koq jadi kikuk? pikir Nayla.

Mereka lalu diam seribu bahasa. Bingung mau berkata apa. Terlebih seluruh memory masa lalu mereka pun tiba-tiba saja kembali. Ridwan yang menjadi sahabatnya dulu kini bertemu kembali. Nayla masih ingat bagaimana kata-kata dia kepada Ridwan ketika terakhir kali bertemu. Nayla sangat malu sekali kalau mengingat itu.

Setelah bermain di wahana selesai. Aisyah dan Kamil menghampiri Ridwan. Demikian juga Laila anaknya Nayla.

“Abi, seru Abi!” kata Aisyah.

“Iya, seru banget!” kata Kamil.

“Ya sudah, sana ikuti ibu guru biar bisa main lagi!” kata Ridwan.

“Ayo Mil, ke sana Mil!” ujar Aisyah sambil menunjuk ke rombongannya yang sudah berjalan lagi.

Laila langsung memeluk bundanya. “Bunda, seru banget bunda!”

“Iya, ayo sana itu udah jalan lagi!” kata Nayla.

“Horeee!” Laila kembali berlari ke rombongan teman-temannya lagi.

Sementara itu Ridwan dan Nayla berjalan beriringan dengan para orang tua lainnya. Memory mereka ketika berjalan bersama sepulang sekolah pun kembali lagi terlintas.

“Anak-anakmu?” tanya Nayla.

“Iya, Aisyah dan Kamil,” jawab Ridwan.

“Lucu-lucu ya.”

“Kalau anakmu, tak usah dijawab. Aku sudah tahu namanya. Pasti Laila.”

“Koq tahu?”

“Sebab salah satu bintangmu adalah kau ingin menamakan anak perempuanmu dengan nama Laila.”

Nayla tertawa. “Kamu masih ingat saja.”

“Iyalah, aku masih ingat semuanya.”

Ingat semuanya? Nayla menundukkan wajahnya. Tiba-tiba mukanya memerah. Ia ingat bagaimana kata-katanya terhadap Ridwan dulu. Harusnya dia minta maaf kepada Ridwan sekarang. Mumpung ada orangnya di sini.

“Berarti kamu bahagia ya sekarang, aku juga turut bahagia,” kata Ridwan.

“Bahagia bagaimana?”

“Sudah berkeluarga, sudah punya anak.”

“Oh itu. Aku sudah bercerai koq setahun yang lalu.”

Ridwan terkejut.

“Oh, maaf.”

“Nggak apa-apa, aku sudah terbiasa ditanyai hal seperti itu. Dan aku sudah menerima statusku sebagai janda, tak perlu dipikirkan. Kamu sendiri? Pasti bahagia ya, anaknya sudah dua.”

“Aku juga bercerai koq.”

“Eh? Maaf.”

“Nggak apa-apa. Sama aku juga sudah menerima statusku sebagai duda beranak dua. Mengasuh mereka adalah sebuah tantangan. Dan aku sebenarnya lebih senang mengasuh mereka daripada pekerjaanku.”

“Sama.”

Mereka berdua tertawa.

“Pekerjaanmu apa Mas?”

“Aku punya perusahaan sendiri. Perusahaan yang bergerak di bidang IT. Baru berdiri beberapa tahun lalu. Sekarang sih sedang berkembang. Kalau kamu?”

“Aku yah, jadi guru musik.”

“Guru musik? Yah, sebagaimana profesimu ya. Bagaimana The Girls? Masih eksis? Kan sekarang para personelnya udah bukan gadis-gadis lagi.”

Nayla ketawa lagi. “Kamu ini, sok tahu aja. Iya, sudah bukan gadis-gadis lagi. Jadi The Ladies.”

“Serius?”

“Bercanda.”

Ridwan dan Nayla tertawa. Mereka bisa tertawa lepas lagi.

“Masih ingat lagu-lagumu?” tanya Ridwan.

“Masih dong. Kenapa?”

“Aku tak pernah lupa dengan lagu-lagumu. Semuanya sya'irnya aku ingat. Beberapa waktu lalu radio lokal juga memutar lagumu lagi. Sembilan bintang. Memory masa lalu jadi teringat lagi.”

Nayla dan Ridwan mengamati anak-anak mereka yang sedang berada di wahana kereta-keretaan. Tampak keceriaan di wajah anak-anak itu. Sesekali Ridwan melambai-lambaikan tangannya ke arah anak-anaknya dan mengabadikan mereka di ponsel.

“Kau tinggal di rumahmu dulu berarti?” tanya Ridwan.

“Iya. Masih seperti dulu. Kenapa?” tanya Nayla.

“Oh, aku kira ada pembagian harta gono-gini gitu dari perceraian.”

“Nggak, aku nggak mikirin itu. Aku tak mau bertemu dengan mantan suamiku lagi. Walaupun ia selalu berusaha bertemu dengan putrinya. Ia hanya boleh bertemu putrinya satu bulan sekali. Dan itu pun dengan ijinku.”

“Memangnya masalahnya apa?”

“Aku nggak mau membicarakannya Mas, kuharap engkau mengerti. Maaf.”

“OK, aku tak memaksa.”

“Yang penting Laila sekarang bahagia. Mas sendiri kenapa bisa sampai pisah dari istrinya?”

“Aku juga tak mau cerita. Terlalu sedih kalau diceritakan.”

“Ih, balas dendam nih ye. Karena aku tak mau cerita.”

“Beneran koq. Aku nggak mau cerita.”

Mereka hening sejenak.

“Kalau tak keberatan, boleh aku ngundang kamu makan malam? Terus terang aku tak pernah mengajak seseorang wanita pun sebelumnya. Bahkan mantan istriku sendiri tak pernah aku undang seperti ini.”

“Emangnya ada acara apa?”

“Kebetulan kami baru saja mendirikan divisi baru yang bekerja sama dengan salah satu perusahaan maskapai penerbangan ternama. Proyeknya bernilai milyaran. Moga aja deal.”

“Wah, yang datang orang-orang penting dong. Malu ah, koq aku ikut segala.”

“Nggak apa-apa. Kau kan sahabatku. Aku tak keberatan koq.”

“Tapi aku keberatan Rid, nggak enak.”

“Hari Sabtu, aku jemput ya?”

“Tapi Rid..?”

“Udahlah, please. Aku sudah lama tak bertemu denganmu. Kalau kau takut aku apa-apain, kau boleh deh bawa siapa gitu.”

“Ngapa-ngapain aku? Kamu aja takut koq sama aku.”

Ridwan tertawa.

“OK, gimana? Mau ya? Aku nggak pernah ngajak kamu lho, sekali ini kuharap kamu mau.”

“Hari Sabtu? Dijemput?”

“Iya, aku akan menjemputmu.”

“OK.”


***​


Hari Sabtu. Pukul tujuh malam Ridwan menjemput Nayla. Melihat Nayla berhijab hal itu membuat Ridwan makin senang. Ridwanlah yang membukakan pintu mobil bagian belakang. Nayla pun masuk. Segera setelah itu mereka melaju ke hotel tempat acara berlangsung. Acara itu berlangsung resmi, dihadiri oleh orang-orang konglomerat. Nayla menjadi canggung di acara itu ia bukan apa-apanya Ridwan. Sampai-sampai ada yang menganggap dia istrinya Ridwan. Setelah acara inti selesai, mereka pun mengakhirinya dengan makan malam.

Makanannya pun luar biasa enak-enak dan pasti mahal. Nayla seumur hidup tak pernah memakan makanan seperti itu. Malam itu dia melihat perubahan pada diri Ridwan namun entah apa.

Setelah acara itu selesai, Ridwan pun mengantarkan Nayla pulang. Namun Ridwan mengajak Nayla jalan-jalan ke taman dulu.

“Kau tak keberatan?” tanya Ridwan.

“Nggak, aku sudah nitipin Laila koq. Ibu juga tahu aku akan pulang malam,” jawab Nayla.

“Kau masih ingat taman ini?”

“Iyalah, kita sering jalan-jalan di sini mirip orang pacaran.”

Ridwan memberikan jasnya kepada Nayla yang sepertinya kedinginan. Ditelungkupkan ke punggungnya.

“Makasih Mas,” kata Nayla.

“Kau sudah berubah ya,” kata Ridwan.

“Apanya?”

“Semuanya. Kau lebih dewasa sekarang.”

“Betulkah?”

Ridwan mengangguk.

“Mungkin,” Nayla tersenyum.

“Kadang seseorang itu dewasa karena telah mengenyam pelajaran hidup yang sangat berarti bagi dirinya. Terus terang aku sangat terkejut kembali bertemu denganmu.”

“Aku juga koq.”

Ridwan dan Nayla ngobrol sampai jam sepuluh. Mereka bicara mengenai banyak hal seputar pengalaman hidup mereka. Dari mulai pengalaman kuliah mereka, hingga kemudian pengalaman mengasuh anak. Tapi Nayla sama sekali tak ingin membicarakan tentang mantan mereka bagaimana mereka bisa bercerai dan segala hal yang menyertainya. Ridwan tahu Nayla mungkin trauma dan ia tak mau mengusiknya. Ada sebuah perasaan nyaman yang melintas di benak Nayla. Sesuatu yang dulu hilang kini datang lagi. Demikian juga Ridwan. Ada sesuatu yang hilang kini datang lagi. Ada bangunan di dalam ruang hatinya yang belum terisi tiba-tiba kini terisi. Ridwan pun berkata dalam hatinya, 'Aku tak mau kehilangan kamu lagi Nayla. Aku tak mau. Aku akan jujur kepadamu. Tentang segala perasaanku selama ini. Kuharap kau menerimaku.'

***​
 
BAB XIX

Kejujuran


Agaknya selama ini terjawab sudah seluruh kegalauan di dalam hati Nayla. Begitu juga Ridwan. Bukan persoalan yang mudah untuk bisa menyadarinya dengan jiwa mereka yang sering labil. Masa-masa muda yang sering disilaukan oleh hal-hal yang tidak penting. Keegoisan, darah muda yang mendidih, dan ketidak bijakan ketika mengambil keputusan sebuah persoalan. Dan itu bukanlah sesuatu yang mudah yang harus dicapai oleh seorang Ridwan. Ia harus berjuang mengarungi kehidupannya. Berusaha bersikap bijak dalam memahami segala sesuatu. Menyusun berbagai kotak-kotak fragmen kehidupan sehingga menghasilkan sebuah cerita yang bagus.

Di dalam mobil itu Ridwan dan Nayla membisu. Perasaan mereka berkecamuk. Nayla membuang mukanya ke pinggir jalan. Ridwan pun tak berani sama sekali melirik ke arah Nayla yang ada di kursi belakang walaupun hal itu bisa dilakukannya dari kaca spion. Hari ini aku harus melakukannya, pikir Ridwan. Aku tak mau kehilangan dia untuk yang kedua kali.

Mobil pun mulai pelan ketika hampir sampai di rumah Nayla.

“Hampir sampai,” Ridwan memulai kata-katanya.

Nayla tak berkata apapun. Dia membetulkan kacamatanya lagi lalu menoleh ke arah Ridwan. Kakak seniornya itu sekarang sudah dewasa. Tak pernah ia sangka sebelumnya akan bertemu dengan dirinya lagi dalam kondisi seperti ini, tapi memang inilah kehidupan. Setelah sampai mobil pun berhenti dan Nayla keluar disusul oleh Ridwan.

Nayla berdiri di depan pagar rumahnya. Dia membelakangi Ridwan. Entah rasanya waktu saat itu berhenti. Sebuah kejujuran yang seharusnya Ridwan ucapkan bertahun-tahun yang lalu, hari ini terucapkan. “Nayla, aku mencintaimu dan aku ingin menikah denganmu.”

Berbeda tentunya dengan apa yang Ridwan ucapkan dulu. Ridwan dulu sekali hanya memandang Nayla sebagai seorang gadis yang dikasihani. Sebagai seorang gadis yang membuat dia bersemangat untuk bisa berubah menjadi seorang yang baik. Dan dia tanpa melihat ke dalam hati Nayla saat itu langsung bilang bahwa dia hendak melamar Nayla, tentu saja dia belum siap pada saat itu. Kata-katanya itulah yang mengakibatkan persahabatan mereka kandas. Namun kata-kata yang sedikit berbeda hari ini keluar dari mulut Ridwan. Sebuah kata yang ditunggu Nayla bertahun-tahun yang lalu. Namun sebenarnya dia sudah tahu apa isi hati Ridwan. Ia ingin Ridwan mengatakannya sendiri sejak dulu. Tangan Nayla memegang pagar rumahnya.

“Nayla, aku minta maaf atas apa yang aku lakukan dulu. Aku tahu aku orang yang bodoh. Mengatakan kepadamu ingin menikahimu waktu itu, waktu aku sebenarnya juga belum siap. Aku masih hijau, masih belum belajar tentang kehidupan, tentang dunia, tentang segala hal. Aku masih perlu banyak belajar. Dan semua pengetahuan yang aku dapat ini, semua hal yang aku perjuangkan ini, semuanya kembali di sini. Di dekatmu. Aku tahu, mungkin saat itu kau benar-benar menganggap aku orang yang tidak waras. Seenaknya bicara, orang yang sinting. Tapi, kali ini aku ingin mengatakan kejujuran hatiku.

“Aku telah lama berpisah denganmu. Aku bahkan mulai melupakanmu. Sejujurnya aku sama sekali tak ingat denganmu. Namun hidupku ada yang kurang. Di antara relung hatiku ada yang kurang. Aku pun mencari apa yang kurang. Setelah kita berpisah aku pun merasa engkau bukan jodohku, engkau tidak ditakdirkan untukku. Aku tak mengerti kenapa setelah berpisah denganmu selalu saja ada yang kurang. Di sini, di hatiku. Ada bagian-bagian yang lepas, yang aku tak bisa jelaskan mengapa. Aku telah mengarungi bahtera rumah tangga dengan orang yang sama sekali tak kukenal, dan aku pun juga mencintainya. Namun ternyata hal itu tak berlangsung lama. Kebahagiaan itu singkat. Bukan karena aku sudah tak mencintainya lagi, tetapi tetap saja ada yang kurang. Tapi aku tak bisa menjawabnya. Aku tak bisa menjawabnya hingga kemudian aku pun teringat kembali tentang sesuatu yang aku lupa. Kita bertemu lagi.

“Nay, pertemuan kita kemarin itu mengingatkanku akan dirimu. Akan alasan-alasan kenapa aku ada di sini. Akan alasan-alasan kenapa aku belajar agama ini. Semua alasan kenapa aku harus berjuang sampai di sini. Engkaulah bagian hatiku yang hilang itu. Sebab aku telah menyerahkannya separuh hatiku untukmu. Dan aku belum mengambilnya lagi. Saat aku bertemu denganmu lagi. Saat itulah aku menyadarinya. Aku sadari engkaulah cinta pertamaku. Engkaulah cinta sejatiku. Dan di sini aku berdiri dengan keberanian yang mantab sekali lagi. Dengan cinta, aku ingin meminangmu untuk menjadi bidadari surgaku.”

Nayla berdiri tak bergerak. Ia hampir saja pingsan mendengar kata-kata Ridwan kalau saja tidak berpegangan kepada pagar rumahnya. Air matanya pun keluar. Tangannya gemetar. Kata-kata Ridwan itu menggetarkan seluruh syaraf yang ada di dalam tubuhnya. Bahkan jiwanya pun hampir saja melayang ke langit. Sayang dia tidak ditakdirkan untuk meninggal hari itu.

“Kenapa dulu kau pergi?” tanya Nayla.

“Aku....,” mulut Ridwan tiba-tiba tercekat.

“Kenapa kau dulu pergi?” Nayla berbalik. Ridwan terkejut melihat air mata Nayla. Dia tak menyangka Nayla menangis. “Kenapa kau dulu pergi? Kenapa kau menuruti kata-kataku untuk pergi? Kenapa?”

Ridwan diam. Ia juga tak punya jawaban untuk itu.

“Aku juga kehilangan dirimu Mas. Aku sangat kehilangan dirimu. Saat kau pergi aku sangat kehilangan dirimu. Tapi kenapa kau menurutiku? Aku bisa berbicara seenaknya, semua orang selalu menurutiku, tapi kenapa kau juga harus menurutiku? Kau bisa nekad membawaku pergi. Kau bisa datang ke rumahku dan meyakinkan aku waktu itu. Bahwa kau mencintaiku. Kenapa Mas?”

Air mata Ridwan pun keluar. Ia memejamkan mata tak berani melihat mata Nayla yang menatap matanya. Ia tak punya jawaban untuk itu dan Nayla pun tahu.

“Maafkan aku yang dulu egois. Hanya karena ingin memuaskan hatiku, aku pun melupakanmu. Padahal engkau selalu ada di saat aku butuh. Engkau selalu menemaniku di saat aku sendiri. Engkau selalu ada dan aku buta. Engkau sahabatku dan aku tahu engkau mencintaku. Tapi aku terlalu egois. Maafkan aku Mas.”

“Akulah yang bersalah Nay. Akulah yang bersalah. Aku baru bisa jujur kepadamu,” Ridwan menghapus air matanya.

“Kita semua salah. Kita punya ego kita masing-masing. Kepala kita keras seperti batu. Aku, engkau, semuanya. Harusnya kita tak seperti ini.”

Mereka berdua menyadari kesalahannya masing-masing. Sebuah keegoisan yang meruntuhkan persahabatan. Sebuah keegoisan yang membuat Nayla dan Ridwan kehilangan cinta sejati mereka. Ridwan pun menghapus air matanya. Ia menarik nafas dalam-dalam. Mereka berdua menyesali perpisahan mereka selama ini.

Ridwan mengambil sapu tangan di sakunya. Lalu menghampiri Nayla. Dia kemudian melepas kacamata Nayla. Dihapusnya air mata Nayla dengan sapu tangan itu. Nayla memegang tangan Ridwan. Perasaan mereka sekarang menyatu. Jantung mereka berdebar-debar kencang. Bahkan Ridwan pun bisa mendengar jelas detak jantung Nayla. Dada mereka sama-sama sesak, syaraf-syaraf mereka seolah-olah sudah tak berfungsi lagi. Keduanya telah kembali menemukan cinta sejati mereka.

“Aku juga mencintaimu Mas. Lamarlah aku kepada kedua orang tuaku. Aku siap. Aku akan tunggu dirimu di sini.”

“Aku akan datang, wahai calon bidadari surgaku,” ujar Ridwan.

Ridwan menaruh sapu tangannya di tangan Nayla. Ia lalu berbalik menuju ke mobilnya. Sesaat sebelum masuk ke mobilnya ia pun berkata lagi, “Seminggu lagi aku akan datang. Persiapkan segalanya. Aku tak akan membawa hadiah apa-apa dan jangan memberikanku hadiah apa-apa. Karena aku akan datang hanya untuk mengutarakan maksudku kepada keluargamu, sebab kalau mereka menerimaku maka engkau adalah hadiah yang paling indah yang akan aku terima.”

“Iya, aku mengerti,” kata Nayla. “Aku juga tak ingin hadiah apapun, karena Mas adalah hadiah terbaik untuk diriku.”

Ridwan membuka pintu mobilnya dan ia masuk. Tak berapa lama kemudian mobil sedan itu melaju meninggalkan Nayla yang terus menatapnya hingga menghilang dari pandangan. Di dalam mobil Ridwan pun berseru. “ALHAMDULILLAH! Aku akan kawin!”

Nayla sambil tersenyum ia berkata dalam hati, “Aku akan menunggumu pangeranku. Aku akan menunggumu.”

Sapu tangan Ridwan digenggamnya erat. Dan dia segera masuk rumah dengan wajah tersipu-sipu. Ibunya melihat dia masuk rumah, ternyata sedari tadi ibunya mendengarkan segalanya. Nayla makin malu dan masuk ke kamarnya.

Pak Kusmoharjo kebingungan. “Ada apa bune?”

“Anakmu lagi kasmaran. Sebentar lagi kita akan ngunduh mantu lagi,” kata istrinya.

“Hah? Yang bener?”

“Iya, aku tadi sudah dengar semuanya. Seminggu lagi dia akan melamar Nayla.”

“Siapa bune?”

“Nggak tahu, tapi orangnya ganteng, bawa mobil. Katanya mereka dulu sahabatan.”

“Oh, begitu. Nayla?! Nayla!?”

“Bapak ih, biarin! Dia lagi kasmaran koq diganggu!” istrinya menepuk bahu Pak Kusmoharjo. “Aku nggak pernah melihat Nayla seperti ini sebelumnya. Mungkin sudah saatnya Nayla mendapatkan kebahagiaan yang dia impikan selama ini.”

Di dalam kamarnya, Nayla menciumi pipi anaknya. Malam itu dia tidur sambil memeluk anaknya. Perasaannya bahagia, tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Bahkan ia akan memberikan apapun di dunia ini untuk mendapatkannya. Mungkin inilah yang dicarinya selama ini. Cinta yang sejati.

***​
 
BAB XX

Di Jemput Pangeran Pujaan Hati


Ridwan mencium tangan ibunya yang masih tergolek tak berdaya di atas ranjang. Di sampingnya ada Budhe Har istri dari Pak Dhe Ronggo. Mata ibunya yang sayu menatapnya itu seolah-olah mengatakan “selamat berjuang nak” semoga kamu berhasil. Lik Gatot sudah menunggu di luar dan sudah siap berangkat. Ridwan kemudian keluar kamar ibunya.

Di ruang keluarga ia menyaksikan Pak Dhe Ronggo, juga sepupu-sepupunya. Entah kenapa ia seperti akan berangkat menuju medan perang. Melihat perabot-perabot yang ada, dia pun teringat tentang dulu ia sama sekali tak mempunyai ini. Sofa yang empuk saja ia tak punya. Rumah ngontrak tanpa perabotan apapun. Meja saja tak ada. Hanya sebuah kasur dan itu pun ia harus berbagi. Kini semuanya bisa ia beli. Di pojok ruangan ada sebuah jam dinding yang berdetak dan kalau pas dengan jam tertentu pasti berdentang seperti lonceng. Ridwan tak pernah menyangka bisa memiliki jam seperti itu.

“Lik Gatot, ayo berangkat!” kata Ridwan.

Dia memakai baju batik berwarna coklat. Benar-benar necis. Dia dan Lik Gatot keluar dan menuju ke sebuah mobil sedan berwarna biru. Ridwan yang akan mengendarainya. Dia sudah memberi tahu Nayla bahwa akan melamarnya pada hari ini. Siap atau tidak siap dia akan datang. Dia juga memberi tahu Nayla tak akan membawa apapun, sebab urusannya hanya melamarnya bukan untuk memberi hadiah bukan untuk unjuk kekayaan sebab kekayaannya pun akan menjadi miliknya suatu saat nanti kalau dia telah menjadi istrinya. Nayla juga diberi tahu tak perlu pakai acara adat-adat segala, karena memang tujuannya hanya untuk lamaran, simple dan tak neko-neko. Roda mobil sedan itu berdecit. Meninggalkan rumah. Ridwan mengambil nafas dalam-dalam. Kini ia siap untuk menjemput salah satu bintangnya.

***​


Nayla sudah berdandan. Sebenarnya ini bukan kali pertamanya ia memakai jilbab. Hanya saja rasanya lain. Sebentar lagi akan ada orang yang akan melamarnya. Sebenarnya dia pernah mengalami hal ini, dulu ketika Toni mantan suaminya melamarnya dulu. Tapi rasanya lain. Kalau Toni datang dengan anggota keluarganya lengkap dengan mobil mewah dan berbagai hadiah serta parcel, tapi kali ini Ridwan datang sendirian. Ada alasannya kenapa Ridwan datang sendirian hanya ditemani oleh seorang pamannya, yaitu Lik Gatot. Salah satu alasannya adalah dia tak bisa mengajak ibunya. Karena ibunya sedang berada di rumah dalam kondisi sakit. Ridwan tak membawa apapun, karena tujuannya ke rumahnya Nayla hanya satu, yaitu ingin meminang janda itu.

Ridwan mengendarai mobilnya dan sudah terparkir di luar pagar rumah Nayla. Langsung saja beberapa anggota keluarga Nayla menyambut mereka. Tampak Ridwan keluar dengan baju batik. Pakaiannya sangat rapi dan santun. Memang ada yang berubah dengan Ridwan. Ia lebih dewasa sekarang. Dari mata Ridwan saja sudah tersiat kewibaannya. Apalagi telah diketahui semua orang bahwa Ridwan sekarang sudah mempunyai perusahaan sendiri. Kalau dulu dia kesulitan dalam hal finansial, sekarang dia sudah bisa membeli apapun.

Yang pertama kali menyambut Ridwan adalah suami dari Rita—Dani. Mereka berjabat tangan dan Ridwan dipersilakan masuk. Sebelum masuk rumah Ridwan mengucapkan salam. Di dalam rumah sudah berkumpul beberapa keluarga dari Nayla. Ada ayahnya Bapak Kusmoharjo. Ridwan dulu pernah bertemu dengannya sekali. Sekarang ia bertemu lagi. Mereka berdua berjabat tangan. Disusul Lik Gatot. Kemudian Ridwan dan Lik Gatot dipersilakan duduk.

“Ini yang namanya Ridwan?” tanya Pak Kusmoharjo.

“Iya, saya Ridwan ini paman saya, Lik Gatot,” jawab Ridwan sambil menunjuk ke Lik Gatot.

“Oh begitu,” kata Pak Kusmoharjo.

Saat itu dari dalam kamar tampak seorang wanita berjilbab dan memakai kacamata minusnya. Sesekali ia betulkan kacamata minus itu. Ridwan pun hampir saja melayang waktu itu, kalau Lik Gatot tidak memeganginya. Seorang wanita yang dulu ketika masa-masa sekolah pernah ia sukai dan merupakan salah satu alasan dia terjun ke medan dakwah sekarang ada di hadapannya. Nayla lalu duduk di dekat ayahnya.

“Saya kurang lebih sudah mengetahui maksud kedatangan Nak Ridwan ke rumah ini, maka dari itu kami sekeluarga hanya bisa menyerahkan semuanya kepada anak saya saja. Dialah yang memutuskan, apalagi sudah sama-sama dewasa. Janda ketemu duda, kan ya pas,” kata Pak Kusmoharjo. Seluruh ruangan tertawa mendengarnya. “Nah, cah ayu. Sekarang terserah kepadamu!”

Entah kenapa waktu itu Nayla tak berani menatap ke arah Ridwan. Ia sama sekali tak berani. Dia menunduk memandangi kakinya. Semua orang tak tahu kalau sekarang ini ia berdebar-debar. Antara takut, bingung, galau, semuanya jadi satu. Ridwan menatap ke arah Nayla yang mana tahu bagaimana perasaan sang wanita ketika sedang dilamar.

“Saya boleh bicara bapak?” tanya Ridwan.

“Silakan!” kata Pak Kusmoharjo.

“Saya ke sini memang sudah memberitahukan maksud saya beberapa hari yang lalu. Saya sudah kenal baik dengan Nayla, karena memang dulu teman sekolah saya. Dan sekarang saya ke sini bukan untuk meminta dia menjadi teman saya lagi, tapi lebih dari itu, saya ingin dialah yang bisa mengisi kehidupan saya kelak. Saya kemari tak membawa hadiah apapun, juga tak membawa ibu saya yang sekarang sedang sakit. Tapi saya yakin kalau Nayla akan diterima dengan senang hati di keluarga kami,” kata Ridwan.

Semua mata tertuju kepada Ridwan. Ridwan pun melanjutkan.

“Nay, sekarang aku datang lagi. Aku sudah penuhi janjiku dan aku tak akan lari lagi. Apakah kau bersedia dengan lamaran ini?” tanya Ridwan.

Rita lalu menggeser tempat duduknya dan mencubit Nayla. Nayla memukul tangan kakaknya. Semuanya tertawa. Ibunya Nayla—Herdiyani—tersenyum, “Kayaknya anaknya masih malu.”

Lagi-lagi terdengar tawa dari seluruh orang.

Nayla menaikkan dagunya. Diliriknya Ridwan. Langsung hatinya serasa cess....wajah Ridwan tiba-tiba sudah tak bisa dia lupakan saat itu juga. Nayla tak bisa bicara, hanya mengangguk.

“Koq mengangguk? Bicara dong!” kata Rita.

“Iya, aku terima lamarannya mas,” kata Nayla spontan.

“Alhamdulillah,” kata Ridwan. Disusul yang lainnya pun berkata demikian. “Trus, kamu ingin mas kawin apa?”

“Mas beri apapun aku akan terima, katanya wanita yang paling baik adalah yang paling sedikit maharnya,” kata Nayla.

“Masyaa Allah, Alhamdulillah. Baiklah aku akan persiapkan,” kata Ridwan.

Setelah itu acara dilanjutkan dengan ramah tamah. Perasaan Nayla hari itu berbeda. Sangat berbeda dari sebelumnya. Hatinya berbunga-bunga. Seandainya taman bunga mungkin sekarang seluruh bunga yang ada di sana bermekaran. Entah kenapa hari itu ia malu sekali dan menghindari bertemu mata dengan Ridwan. Dulu acara lamaran Toni tak seperti ini. Waktu itu dia seolah menguasai panggung. Tapi kini dia bahkan ingin berkata apapun tak bisa. Dia digoda oleh kakaknya pun tetap diam. Ada sesuatu yang tak bisa diungkapkan olehnya. Sesuatu yang melebihi apa yang dia rasakan dulu. Namun kehadiran sesuatu itu membuat hidupnya lebih hidup. Membuat dirinya kuat. Inilah yang disebut dengan cinta.


***​
 
Terakhir diubah:
BAB XXI

Hari-hari Kebahagiaan


“Saya terima nikahnya Nayla Kusuma Ningrum binti Kusmoharjo dengan mas kawin sebuah Al-Qur'an dibayar tunai,” kata Ridwan sambil menjabat tangan penghulu.

“Bagaimana saksi?” tanya penghulu.

“Saah!” seru beberapa orang.

“Alhamdulillah, barakallahu lakuma wa baraka 'alaikuma wajama'a bainakuma fii khair,” kata penghulu.

Setelah itu Ridwan menyalami saksi-saksi dan juga ayah mertuanya. Mertuanya itu memeluk dengan erat tubuh Ridwan sampai hampir saja Ridwan susah bernafas. Ada sebuah makna yang tersirat dari situ. Baru kali ini Ridwan mendapatkan restu seperti ini. Pak Kusmoharjo teringat tentang apa yang dikatakan oleh putrinya pada malam hari sebelum akan nikah ini.

Malam itu Pak Kusmoharjo masuk ke kamar putrinya. Nayla waktu itu melihat ke cermin rias. Dia sebelumnya tak pernah melihat cermin rias ini, kecuali sekedarnya. Nayla menoleh ke arah pintu melihat ayahnya yang masuk ke kamar.

“Cah ayu, gimana perasaanmu nduk?” tanya Pak Kusmoharjo sambil menghampiri putrinya.

“Aku senang sekali ayah,” jawab Nayla. “Aku tidak pernah mendapatkan kebahagiaan seperti ini sebelumnya. Entah kenapa aku merasakan rasa yang lain ayah. Rasanya itu di sini. Di dada ini, kesejukan, ketentraman, dan aku tak ingin melepaskan perasaan ini. Seolah-olah perasaan ini adalah sebuah nyawa dan ruh. Ayah, apakah pernah merasakannya?”

“Itu namanya kebahagiaan, nduk. Ayahmu ini pernah merasakannya juga,” kata Pak Kusmoharjo. “Apakah kamu mengira ada perbedaan antara yang sekarang dengan yang dulu?”

Nayla menatap dirinya di cermin. Ayahnya meletakkan kedua tangannya di pundak putrinya.

“Berbeda sekali ayah. Yang ini, dulu kami pernah jadi teman, pernah jadi sahabat. Dan mungkin orang yang sangat peduli kepadaku. Mungkin kalau dulu aku menikah dengan Toni adalah karena egoku, sekarang ini sepertinya lain. Aku tak pernah merasakan perasaan seperti ini sebelumnya. Aku dulu berusaha pura-pura untuk bahagia, sehingga kebahagiaan itu terasa di luar, tapi tidak di dada. Sekarang berbeda. Setiap detik demi detik, rasa itu datang terus-menerus. Ayah, sebetulnya dulu sebelum Toni datang ke sini melamarku. Dia ingin melamarku waktu itu, hanya saja entah mengapa aku menolaknya. Aku merasa bersalah, tapi aku juga tak tahu mengapa. Hanya karena sebuah ke-egoisan, aku menghancurkan sebuah persahabatan. Dan sekarang aku diberi kesempatan itu lagi. Dan aku menerimanya.”

Pak Kusmoharjo teringat kata-kata putrinya itu. Matanya berkaca-kaca. Dia lalu berbisik kepada Ridwan, “Engkaulah yang seharusnya sejak dulu bersama putriku. Engkaulah yang sejak dulu dicarinya selama ini.”

Ridwan hanya bisa menepuk-nepuk punggung ayah mertuanya ini.

Setelah acara akad nikah Ridwan menerima tamu-tamu. Hari itu ia dan anggota keluarga dari kedua mempelai sangat sibuk. Nayla memakai hijab berwarna putih, dengan gaun panjang dan kerudung bermotif bunga. Dari sejak akad nikah sampai saat itu Ridwan belum melihat Nayla dan ketika Nayla keluar ke ruang tengah, Ridwan terkejut. Ia seperti baru saja melihat seorang bidadari. Nayla tersenyum kepadanya. Wajah Ridwan tak bisa menyembunyikan dari rasa gembiranya. Nayla menghampiri Ridwan.

“Kamu ini bidadari atau apa? Cantik sekali,” bisik Ridwan ke telinga Nayla.

“Hush, ada tamu yang lihat!” kata Nayla sambil mencubit pinggang Ridwan.

Ridwan geli ketika dicubit. “Kamu tahu, kamu sama sekali tak pernah mencubitku seperti ini. Dan aku pun tak pernah memegang tanganmu seperti ini.”

Tak terasa kedua tangan pengantin itu pun saling berpegangan erat, seolah-olah tak ingin lepas lagi. Dan entah kenapa Nayla merasa nyaman dengan perlakuan suaminya itu. Mereka berdua pun menyambut para tamu. Menghabiskan hari itu dengan menerima para undangan. Semuanya berlalu begitu cepat. Hingga tak terasa sudah seminggu setelah acara pernikahan itu.

Sang pengantin pun diboyong ke rumah Ridwan.

“Kamu tahu Dinda, aku dulu ketika SMA sering curhat ke ibuku tentang dirimu. Aku sangat berharap ibuku bisa melihatmu. Dia ingin tahu bidadari mana yang telah menaklukkan hatiku,” kata Ridwan.

“Aku agak gimana gitu dipanggil dinda. Apa nggak ada panggilan lain seperti orang Jawa gitu dipanggil dik atau gimana?” kata Nayla sambil cemberut.

“Justru panggilan Dinda itu adalah panggilan sayang. Kau bukan adikku, maka dari itu aku tak mau memanggilmu dengan sebutan Dik, tapi Dinda. Kuharap kau tak keberatan,” kata Ridwan.

Nayla menghela nafas, “Terserah deh kata Kanda.”

Ridwan tersenyum. Nayla membalas senyumannya. Mereka sudah sampai di rumah Ridwan. Laila agak canggung tentunya masuk ke rumah Ridwan. Orang yang baru saja menjadi ayah tirinya. Nayla pun disambut oleh semua keluarga Ridwan. Ayah Ridwan pun ikut hadir. Ridwan tambah gembira. Ridwan memperkenalkan satu per satu anggota keluarganya. Kemudian yang terakhir Ridwan mengantarkan Nayla ke sebuah kamar. Di dalam kamar itu ada ibunya Ridwan.

“Ini ibuku,” kata Ridwan kepada Nayla.

Wanita itu dengan lemah melihat kehadiran menantunya. Tangan Nayla dengan lembut mencium tangan sang mertua. Ibunya Ridwan mencoba tersenyum walaupun lemah.

“Ini menantu ibu ya? Cantiknya. Persis seperti yang digambarkan anakku,” kata Ibunya Ridwan. “Namanya siapa? Nayla?”

“Iya, bu,” kata Nayla. “Nama saya Nayla Kusuma Ningrum.”

Sang ibu kemudian membelai kepala Nayla. Wajahnya sudah menunjukkan kelelahan. Ridwan mencium kening ibunya.

“Ibu sebaiknya istirahat ya, nanti kalau butuh apa-apa panggil saja,” kata Ridwan. Sang ibu pun mengangguk.

Nayla dan Ridwan kemudian pergi meninggalkan kamar itu. Ibunya Ridwan merasa puas melihat anak satu-satunya itu. Akhirnya semua cita-citanya selama ini terkabul. Anaknya telah menjadi orang sukses dan menikah dengan wanita yang dicintainya. Dia juga sudah punya cucu. Hanya satu yang belum kesampaian, dia ingin melihat Ka'bah. Tapi dengan kondisi seperti itu rasanya tidak mungkin.


***​


Malam hari Nayla terbangun. Ternyata suara petir yang membangunkannya. Di luar sedang turun hujan. Cukup deras. Ia agak terkejut ketika tangannya dipegang oleh seseorang. Dilihatnya wajah Ridwan yang masih tertidur pulas. Ia pun menghela nafas lega. Ternyata ia sudah menikah lagi. Lelaki inilah yang menjadi suaminya sekarang. Agaknya Ridwan tak ingin ia pergi kemana-mana. Ridwan benar-benar melampiaskan rasa rindu yang selama ini dia rasakan. Kemesraan yang selalu menyertai mereka seakan-akan tak pernah habis walaupun sudah dua bulan ini mereka bersama. Bahkan mereka benar-benar seperti orang yang baru pertama kali mengenal cinta. Nayla pun kembali merebahkan diri. Dibelai wajah suaminya itu hingga ia pun tertidur lagi.

Sebuah goyangan lembut menyentuh Nayla. Dan suara lembut menyentuh telinganya, “Dinda, bangun! Sudah subuh.”

Nayla membuka matanya. Dia terbangun. Seperti biasa di subuh ini suaminya sudah memakai baju gamis dan memakai parfum untuk jama'ah ke masjid. Dia selalu dibangunkan suaminya untuk bersama-sama ke masjid. Hal yang jarang dilakukan oleh mantan suaminya dulu. Jangankan bangun subuh, mereka selalu bangun hampir kesiangan. Nayla dengan langkah sedikit gontai pergi ke kamar mandi mengambil air wudhu', membersihkan diri, bersiwak. Kemudian setelah itu bersama suaminya pergi ke masjid.

“Boleh aku tanya sesuatu?” tanya Nayla.

“Silakan!”

“Kenapa kau tak pernah bertanya kepadaku tentang kenapa aku bercerai dengan suamiku?”

“Emangnya harus? Kamu sendiri tak ingin bercerita tentang hal itu.”

“Sejujurnya, aku tak ingin kamu nantinya emosi mendengarkan ceritanya. Melihat kamu begitu sangat mencintaiku, aku takut engkau akan melakukan sesuatu yang tidak semestinya. Besok dia akan bertemu dengan Laila. Bulan kemarin dia tidak ketemu. Maka dari itu ini pertama kalinya kalian akan bertemu.”

“Oh iya? Aku tak sadar kalau kita sudah menikah dua bulan ini. Rasanya baru kemarin.”

Nayla mencubit suaminya. “Ih, bicara apa jawabnya apa.”

“Sorry, sorry, lanjutkan!”

“Menurutmu gimana?”

“Yah, menurutku sih yang lalu biarlah berlalu. Tak perlu diungkit-ungkit lagi. Kalau itu adalah aib jangan sampai tersebar. Cukup engkau saja yang mengetahuinya. Jangan ceritakan ke diriku. Engkau adalah engkau. Dia adalah dia. Aku adalah aku. Tak perlu engkau ungkit-ungkit lagi persoalan lama. Aku akan menemuinya besok. Dan kamu juga hari ini akan ketemu dengan mantan istriku. Bagaimana perasaanmu ketika bertemu dengan mantan istriku untuk pertama kali dulu sewaktu aku ajak Aisyah dan Kamil ke rumahnya?”

“Aku cukup takjub kepadanya. Wanita yang luar biasa. Aku sampai heran kenapa kalian bisa pisah? Bukankah agamanya baik? Dia juga berhijab lebar. Ilmu agamanya juga tinggi.”

“Itulah, aku tak mau membuka aib siapapun. Persoalan di antara kami biarlah hanya kami yang tahu. Aku tak mau karena aku buka aibnya, itu akan mengakibatkan nama baiknya tercemar. Demikian juga aku. Sehingga dengan ini, kalian bisa jadi teman, bisa jadi sahabat. Aku sangat setuju kalau kamu memang ingin belajar agama kepada Neishira.”

“Oh, kalau boleh ya baiklah. Aku juga rasanya cocok berteman dengan Mbak Neishira.”

Beberapa meter lagi mereka udah sampai di masjid. Adzan subuh pun berkumandang. Ridwan berhenti sejenak.

“Sebentar, sepertinya ada yang aneh,” kata Ridwan.

“Kenapa?”

“Kamu koq tidak haidh ya? Harusnya hari ini kamu haidh. Jangan-jangan?”

Nayla tersipu-sipu. Dia mengangguk.

“Wah, beneran? Udah berapa lama?”

“Baru dua minggu.”

“Alhamdulillah, cepet ya. Tok cer. Hihihi.”

Nayla mencubit perut Ridwan.

“Aduh!”

Ia lalu menggandeng istrinya ke masjid untuk bersama-sama melaksanakan shalat subuh berjama'ah.

***​

Toni berdiri di depan rumah Ridwan ketika itu Laila langsung menyerbu keluar. Mereka berdua memang sudah dua bulan ini tidak ketemu.

“Ayaah!” seru Laila.

Ridwan berdiri di pintu. Dia melihat Laila langsung digendong ayahnya. Tampak kebahagiaan jelas terpancar dari wajah Toni. Dan sepertinya ia sudah banyak berubah. Ridwan tahu bagaimana perasaan tulus seorang ayah yang rindu akan buah hatinya. Dia pun menghampiri Toni.

“Nggak masuk?” tanya Ridwan.

“Terima kasih,” kata Toni. “Tapi, aku nggak sabar ingin mengajak Laila jalan-jalan.”

“Aku ingin bicara sebentar denganmu. Laila, barang-barangnya disiapkan dulu ya?” kata Ridwan.

“Oke, Ayah Ridwan,” Laila turun dari gendongan Toni lalu masuk ke rumah lagi.

Toni tersenyum melihat Laila melambai-lambaikan tangan ke arahnya. Toni membalasnya.

“Sebenarnya aku sudah bicara kepada Nayla. Aku ingin agar engkau bebas menemui Laila kapan pun. Tak perlu seperti ini. Kalau kau ingin ketemu silakan saja. Awalnya dia tidak suka, tapi setelah aku bujuk dia pun luluh,” kata Ridwan.

Toni agak kaget mendengarnya, “Tapi, itu keputusan pengadilan, bagaimana bisa aku melakukannya?”

“Mas Toni, aku bisa mengurusnya,” kata Ridwan. Dia menepuk bahu Toni.

Toni langsung memeluk Ridwan. “Makasih, makasih. Betapa ini sangat berarti bagiku.”

Tampak Toni terharu mendengar perkataan Ridwan. Ridwan pun menepuk-nepuk punggungnya. Toni lalu melepaskan pelukannya. Ia menghapus air matanya yang keluar.

“Aku sekarang mengerti,” kata Toni.

“Mengerti apa?” tanya Ridwan..

“Bahwa, Nayla seharusnya bersamamu sejak dulu. Engkau memberikan kebahagiaan yang tak pernah aku berikan. Dan aku menyesalinya. Kau memang orang yang pantas mendampingi dia. Hanya sebuah kesalahan dia tak akan pernah memaafkanku sampai sekarang. Hidupku hancur setelah itu, jauh dari Laila, jauh dari dia. Bahkan usaha yang aku rintis pun jatuh bangun setelahnya. Namun sekarang aku mulai membangun lagi dari nol. Kuharap dengan hal ini, akan menjadi sebuah penyemangat bagiku. Laila adalah kehidupanku. Sungguh ironis, kaulah orang yang telah memberikan kehidupanku kembali. Sekali lagi terima kasih, Ridwan.”

Toni memeluk Ridwan lagi. Ia sangat terharu akhirnya bisa bersama dengan Laila, putri kesayangannya, kapanpun ia inginkan. Dari kaca jendela Nayla mengamati mereka berdua. Matanya pun berkaca-kaca. Sebuah pemandangan yang jarang pernah terjadi sebelumnya.


***​


Satu per satu impian Ridwan bisa diraihnya. Demikian juga impian Nayla. Dia melanjutkan kuliahnya lagi yang terputus. Satu hal yang tak akan dilupakan oleh Nayla adalah ketika mereka sama-sama berada di depan Ka'bah. Sesuatu yang sangat disyukuri oleh Nayla bisa berada di tempat yang suci itu bersama orang yang dicintainya. Semenjak itu Nayla tak lagi bekerja. Ia konsentrasi mendidik anak-anaknya.

Bagaimana dengan Shinta teman sekelas Ridwan yang dulu pernah mengutarakan cinta kepadanya? Ada sebuah peristiwa yang unik. Ridwan saat itu melihat televisi bersama Nayla. Saat itu ada sebuah acara talkshow. Talkshow itu menghadirkan seseorang yang berkiprah menolong anak-anak yang mendapatkan bullying di sekolah. Ridwan melihat wajah Shinta di sana.

“Mbak Shinta bisa diceritakan awal mula mbak Shinta mendirikan komunitas ini?” tanya pembawa acaranya.

“Sebenarnya sejujurnya saya dulu suka ama seorang anak yang dibully. Bahkan saya termasuk orang yang membully-nya,” jawab Shinta.

“Oh ya?”

“Iya. Hanya saja dia kemudian melawan. Entah dapat kekuatan dari mana akhirnya dia melawan dan keadaan berubah. Saat itulah saya jatuh cinta kepadanya. Bahkan sampai nembak dia.”

“Lho, cewek yang nembak?”

“Iya, pas hari perpisahan pula.”

“Trus? Setelah itu, diterima?”

“Sayangnya nggak. Dia sudah ada orang yang disukainya. Jadinya patah hati deh. Hehehehe.”

“Oh, begitu. Wah, nggak nyangka ya mbak. Trus, setelah itu mbak ketemu lagi sama si dia?”

“Sayangnya nggak. Tapi saya mulai dapat pelajaran tentang cinta sejati dari dia. Jujur suami saya sekarang ini adalah cinta sejati saya walaupun bukan yang pertama tapi dia adalah yang terakhir.”

“Luar biasa ya....,” pembawa acara kemudian bertanya-tanya lagi seputar isi dari komunitas yang dibentuk oleh Shinta.

“Dinda, tahu nggak siapa dia?” tanya Ridwan kepada Nayla yang saat itu bersandar di kakinya.

“Siapa? Aku nggak kenal,” jawab Nayla.

“Dia ini, dulu teman sekelasku,” kata Ridwan.

Nayla menoleh ke arah Ridwan. Wajah Ridwan tampak tersenyum.

“Jadi, lelaki yang dimaksudkannya itu....??”

Ridwan mengangguk.

“Setelah aku menolaknya kita kemudian berjalan-jalan di taman. Kau tentu masih ingat kita berpisah di taman itu.”

“Iya, aku masih ingat. Mas koq tidak kembali sih waktu itu?”

“Aku kembali koq. Sebenarnya aku mau bilang kalau aku cinta ama kamu waktu itu. Tapi kamunya udah nggak ada lagi di tempat itu.”

“Bohong ah, yang bener?”

“Beneran. Waktu kamu kulihat sudah tidak ada lagi, aku pun akhirnya pulang. Aku tak pernah menyangka perjalanan cinta kita akan sepanjang ini.”

Nayla lalu memeluk kaki suaminya. “Kalau misalnya aku tidak pergi waktu itu. Mungkin sekarang keadaannya berubah ya?”

“Nggak juga. Semuanya adalah proses. Mungkin Allah memang menginginkan cinta kita ditempuh dengan cara seperti ini. Karena dengan cara seperti ini, akhirnya kita bisa menjadi dewasa. Sifat egois kita pun akhirnya hilang dengan sendirinya. Kalau kita tidak bisa belajar dari pengalaman hidup, maka dari mana lagi?”

Nayla tersenyum. “Iya, mas benar. Dan aku sama sekali tak menyesali pertemuan kita.”


***​
 
BAB XXII

Terima Kasih Cinta

“Begitulah akhir dari cerita ini. Walaupun perjumpaan aku dan ayah kalian singkat tapi dia telah memberikan kebahagiaan yang tak ternilai dan tak akan aku sesali seumur hidupku,” kata Nayla. Wajah Nayla sudah keriput, tangannya memegang tangan Laila dan Ahmad.

“Itukah sebabnya bunda tidak menikah lagi sampai sekarang?” tanya Ahmad.

“Bagi bunda, cinta sejati bunda adalah ayahmu. Ridwan, sesosok lelaki yang telah memberikan apa yang bunda inginkan sejak dulu. Cintanya mengubah kehidupan bunda. Memberikan arti yang luar biasa. Bukan masalah apakah bunda yang begitu mencintainya, tapi dialah yang sangat mencintai bunda. Hingga bunda rasanya tak sanggup untuk membalasnya,” air mata Nayla meleleh memikirkan Ridwan yang sudah tiada.

“Alasan bunda tidak menikah lagi adalah agar nanti semoga di surga kelak bunda bisa menjadi istri ayahmu, bersama para bidadari lainnya. Itulah yang diinginkan oleh ayah kalian. Agar bunda menjadi bidadari surganya.”

Tiga puluh tahun berlalu. Nayla tergolek di atas ranjang. Laila, Ahmad, Aisyah dan Kamil ada di ruangan itu. Mereka mendengarkan cerita dari Nayla tentang masa mudanya. Sebuah foto keluarga dan kenangan masa lalu Nayla terpampang di meja buffet. Kenangan-kenangan yang tak akan terlupakan. Foto ketika Nayla dan Ridwan masih muda, ketika mereka sedang berlibur ke pantai. Bersama-sama dengan semua keluarganya.

Ridwan telah meninggal setelah lima tahun menikah dengan Nayla karena kecelakaan yang menimpanya. Singkat memang. Namun cintanya tak akan pernah habis untuk Nayla. Bahkan Nayla sama sekali tak kehilangan Ridwan, karena Ridwan akan selalu ada di hatinya. Kini tinggal anak-anaknya sajalah yang menemani hari tuanya. Dia terkena kanker paru-paru dan harus dirawat. Cerita masa lalu Nayla pun kembali mengingatkan akan memory-memory yang tak akan pernah terlupakan.

Aisyah lalu mengajak Kamil keluar kamar. Di luar sudah ada ibu mereka. Neishira duduk di kursi dan menyambut mereka dengan senyuman.

“Ummi, inikah yang ummi ceritakan?” tanya Aisyah.

Neishira tersenyum kepada anak-anak mereka.

“Iya, Ummi sebenarnya sangat menyesal karena telah berpisah dengan Abi kalian. Tapi, itu adalah pilihan hidup. Kadang kala, memang dalam rumah tangga ada fase di mana kita harus menentukan pilihan-pilihan kita. Cinta yang Abi kalian berikan kepada Ummi malah Ummi tolak. Memang itu suatu kesalahan, namun Ummi jadikan itu sebagai pelajaran. Hingga Ummi pun tahu Bunda Nayla adalah yang paling pantas bersanding dengan Abi kalian. Ummi salut kepada Bunda Nayla. Tirulah Bunda Nayla. Berikan cinta kalian kepada suami dan istri kalian. Aisyah, Kamil, kalian jangan pernah berharap untuk mendapatkan balasan dari cinta kalian, tapi kalianlah yang harus memberikan cinta kalian kepada orang yang kalian cintai. Agar kalian jangan seperti Ummi. Kalian sudah dewasa sekarang. Ummi hanya bisa melihat kalian dari jauh,” kata Neishira.

Aisyah dan Kamil lalu memeluk ibu mereka.

“Ohh..sayangku semuanya. Semoga Allah menjaga kalian semua,” kata Neishira.

Sayup-sayup dari televisi terdengar sebuah lagu yang tidak asing di telinga mereka semua. Sebuah lagu yang menjadikan awal pertemuan Nayla dan Ridwan. Lagu Sembilan Bintang yang diaransemen ulang oleh penyanyi baru papan atas saat ini. Sembilan Bintang yang diinginkan Nayla sudah tercapai semuanya. Sembilan bintang Ridwan pun sudah dicapai semuanya. Kini tinggal anak-anak merekalah yang menentukan bintang-bintang mereka sendiri.

Nayla melirik ke sebuah buku agenda berwarna coklat. Buku agenda itu terbuka. Buku yang dulu digunakan oleh Ridwan untuk menuliskan cita-citanya. Setelah Ridwan meninggal ia baru tahu salah satu bintang Ridwan adalah agar Ridwan bisa menikahinya. Tak pernah disangka Ridwan telah menjadikannya satu dari sembilan bintang yang ingin diraihnya.

“Mas Ridwan, terima kasih atas cinta yang engkau berikan kepadaku. Terima kasih telah menjadikanku sebagai salah satu bintang-bintangmu. Sekarang aku bisa tidur dengan tenang.”


***The End***

Thank You

Cerita ini terinspirasi dari seorang teman, sahabat dan saudara. Semoga kamu baik-baik di sana ya bro. Kejarlah dia.

 
sma x :bingung:

sejak kapan kediri ada sma x :bingung:
 
dirahasiakan mas bro :)
 
oalah kirain :huh:

tapi dari ciri sekolahnya sih tau :):)
 
Hahaha, gampang ditebak emang :D
satu-satunya sekolah yang punya lapangan sepak bola ya mana lagi? :p
 
iyalah hehe :p

kan sekripsiku ngambil data di kota itu :p

jadinya apal hehe :)

=

udah setengah 10 kembali ke kerjaan dulu ah :ngacir:
 
udah selesai bacaaa.... :haha:

kisah pertemuannya mirip faiz dengan iskha... sangat mirip...
jadi inspirasinya dari sini ya bro...

bikinin aku lagi cerita lagi yah... :p

good job brada..
 
@adheyu:
True, dari sinilah ane kemudian garap itu AN2.
 
Bimabet
Wah ini cerita dalem banget, full pelajaran kehidupan diramu dengan kata2 yang pas untuk menggambarkannya. Sampe2 ga bisa disambi ngecek email atau update web sekolahan sekalipun saking ga mau ketinggalan cerita ini (biar momentnya ga lari2). Bang Arczre boleh izin copas ga buat dibaca2 lagi di rumah?
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd