Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Wild love????

beh.... mantap.. bacanya sampai ber ulang... sory klo terkesan memaksa, gan! please ..... update dong ceritanyaa.....
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
baru 4 hari dah kangen berat ma mbak dian.....
up
up
up
 
Pagi menyapaku dengan sangat ramah, tampak sedikit sinar sang surya masuk ke dalam kamarku. Aku beranjak dari tempat tidurku dan kemudian bangkit, kudapati kepalaku penuh dengan perban yang di balutkan oleh tante malam tadi. Aku duduk di tepi ranjang, meliuk-liukkan tubuhku hingga berbunyi kretek kretek. Kusapu ruangan kamarku, pandanganku arah pada sebuah tumpukan kertas di meja komputerku.

“TA!... Bu Dian... bodoh bodoh bodoh!” teriak bathinku

Segera aku bangkit dan melepas celana panjangku dan kuganti dengan celana pendek. Aku turun ke lantai bawah, mencoba menemukan kehangatan akan senyum Ibu setelah semalam aku hanya mampu memandang seorang wanita yang menangisi kekasihnya. Wajahnya selalu terbayang di pikiranku saat ini. aku menuruni tangga kamar menuju lantai bawah.

“Mandi sayang...” ucap Ibu yang tampak terlihat kepalanya saja dengan senyuman manis di bibirnya yang kemudian masuk lagi

“Kok ndak ditutup?” ucapku ketika di depan pintu kamar mandi, kulihat tubuh telanjanng Ibu dari bagian belakang

“Ya Sudah Ibu tutup...” ucap Ibu sembari tanganya menarik daun pintu kamar mandi, tubuh telanjangnya sangat indah. Dengan cepat aku mencegahnya.

“he he he ndak usah Bu...” ucapku sambil tertawa cengengesan, Ibu kemudian tersenyum kepadaku dan membelakangiku lagi. Aku lepas kaos dan celana pendekkeku beserta celana dalamku. Aku kemudian masuk ke dalam dan langsung kupeluk Ibu. Ibu kemudian mematikan showernya.

“Kok Dimatikan?” ucapku

“Lukamu belum kering sayang”

“eh.. itu yang dibawah apa sich? Kok ndorong-ndorong pantat Ibu?” ucap Ibu. Aku tetap memeluk Ibu, kuletakan kepalaku di bahu kanannya. Terasa hangat dan aku terlupa akan semua rasa sakit yang aku rasakan.

“Mau mandi dulu atau...” ucap Ibu

“Ingin peluk Ibu...” ucapku pelan

“Hmmm... beneran Cuma peluk saja?” ucap Ibu

“He’em...” ucapku

Ibu kemudian menoleh kebelakang, tangan kanannya kemudian mendorong bagian belakang kepalaku dengan lembut. Kami berciuman dengan sangat lembut, tanganku semakin erat memeluknya. Tangan kiri Ibu kemudian mengarahkan tangan kiriku ke susu kiri Ibu. Lalu ke gerakan jari-jari dan telapak tanganku meremas susu kirinya itu.

“Jangan pikirkan dia, apa kamu tidak kasihan dengan Ibu?”

“kamu berpelukan dengan seorang wanita tapi pikiran kamu ke wanita lain” ucap Ibu

“Eh... maaf bu, kenapa Ibu bisa tahu?” ucapku

“Hi hi hi, aku Ibumu nak, aku tahu segalanya”

“Sekarang, Ibu dan kamu disini, dan tak boleh ada orang lain” ucap Ibu

“Iya hmmm slurpp....” ucapku kemudian melanjutkan kembali ciuman kami. Wajah Bu Dian kini semakin lama semakin menghilang, kehangatan dan kasih sayang Ibu membuatku kembali di masa aku tidak pernah mengenalnya. Tangan kananku mulai bergerak ke arah susu kananya dan memainkan puting susu Ibu. Tangan kanan Ibu masih di kepalaku dan tangan kirinya memegangi tangan kiriku dan kadang memberika isyarat untuk menekan lebih keras pada susu kirinya. Tangan kananku kemudian bergerak ke selangkangan ibu, kucari klitorisnya dan kumainkan secara perlahan.

“Ergghhhh... sayanghhh... owghh... terusshhhh shhhhh arghhhhh ahhhhh” desahnya. Kuciumi leher Ibu dengan dan kujilati dengan lembut. Remasan susu kirinya terus aku lakukan, ciumanku semakin turun dan semakin turun. Hingga pada bongkahan pantatnta kedua tanganku meremasnya.

“Ergghhhh... sayang... mau di apain?” ucap Ibu yang menoleh ke belakang. Ku arahkan tanganku dan sedikit aku tekan punggungnya, Ibu yang mengerti maksudku kemudian menungging dan bertumpu pada bak mandi. Aku membuka bongkahan pantat itu dan ku masukan lidahkuke dalam vagina Ibu. Kujilati dengan lembut dan terkadang kasar, klitorisnya menjadi sasaran lidahku.

“Arghhhh.. sayang.... Arya.... itil Ibu owghhh... rasanya enakhh orghhh....”

“terushhh sssshhhhh terushhhh jilati sedot sayangkuhhh owghhhh... mainkan itil Ibu owghhhhh” racaunya

Dengan memiringkan kepalaku aku menjilati klitorisnya dan jariku masuk dan mulai mengocok vagina Ibu. Vagina Ibu pertama terasa keset tapi lama kelamaan sedikit licin. Membuat jariku dapat keluar masuk dengan lebih mudah lagi.

“Aryaaaaaaaaaaaaaaaaaa.... arghhhhh... nakal kamuwhhh erghhhhh...aishhhh arghhh ofthhh...”

“Terussshhh nakkh buat Ibu keluarhhhh owghhhh... nikmath sayanghhh... erghhhh....”

“jilati itil ibu nakhhhh sedothh arghhhh lebiiiih erghhhh kencenghhhhh erghhhhh....”racaunya kembali. Aku semakin cepat mengocok dan jilatan serta sedotanku semakin liar. Tubuh Ibu bergoyang dan melengking bahkan kadang Ibu mengapit kan pahanya. Tapi dengan tangan kiriku aku bisa menahan paha Ibu agar tidak mengapit.

“Aryaaaa.... IBU KELUAAAAAAAAAR ARHHHHHHH” teriak Ibu. Kepalanya disandarkan pada tangannya, lututnya menjadi rapuh dan jatuh kelantai secara perlahan. Lalu aku beranjak di samping Ibu dan memluknya dari belakang. Kuciumi punggungnya dengan sangat lembut.

“Ayo sayang, kamu sudah kepengen kan? “ ucap Ibu

“He’em...” ucapku yang kemudian memposisikan diriku di belakang Ibu

Dengan posisi Ibu yang masih sama dengan sebelumnya, aku mencoba memasukan batang dede arya ke dalam vagina Ibu. Perlahan tapi pasti dengan bantuan sisa cairan yang masih berada di dalam vaginanya, dedek Arya bisa masuk dengan lancar. Kubenamkan sejenak dedek arya di dalam vagina Ibu.

“Erghhh... sayaaaangghhhh emmmmmmhhh... tambah besar ya sayang?” ucap Ibu

“Punyah Ibu ehmmmm yang tambah sempit” jawabku. Aku mulai menggoyang pinggulku perlahan, kunikmati setiap sensasi dari jepitan vagina dan dinding dalam vaginanya.

“emmmmh... pelan-pelan saja sayang... Ibu ingin lama sama kamuwhhh...”

“kangenhh... erghhhh... emmmmmhhhhh” ucap Ibu

“Arya juga pengeh lama sama Ibu, kangen Ibu banget...” ucapku kepada Ibu

Pelan aku menggoyang dengan kedua tangan ini memegang pada pinggang Ibu kadang kedua tanganku meremas bongkahan indah pantat Ibu. Aku terus menggoyangnya pelan tapi perasaan kalut dalam diriku membuat aku semakin bernafsu. Aku teringat akan semua kejadian itu, hatiku terasa sakit. Aku tidak ingin kehilangan wanita untuk kedua kalinya, aku tidak ingin kehilangan ibu.

“Ibu, aku menyayangimu arghhhh.... aku ingin selalu bermasamh Ibu owghhh.... aku ingin slalu bersamamu bu hiks hiks...” racauku dengan tersu menggoyang semakin cepat pinggulku, kupeluk Ibu dan denga erat dan terus menggoyang pinggulku

“Argh... nak... Ibu akan selaluh bersmamuwh owghh... emmmmmhhh.... luapkan emosimuwh...”

“Masukan lebih dalamhhh owghhh... kontol hebathhh erghhhh.... terusssshhhh...” racau Ibu

“Aku arghhhh aku mau Ibu... selalu bersamamuwh owgh.... aku suka ibu owghhhh... kontolkuwh enakhhh di dalam ahhh tempikh ibu owghhh...”

“arghhh... ibu aku ingin Ibu selaluwhhhhh arghhhhhhhhhh” racauku

“ahhhhhhhhhhhhhhhhh....” desah keras Ibu

Crooot crooot crooot crooot crooot crooot crooot crooot crooot

Kurasakan cairan hangat Ibu bersatu dengan cairan hangat dari dedek arya. Kupeluk manja Ibu dengan sangat erat. Air mataku melelh di pipiku. Ibu kemudian melepaskan diri dari pelukanku, membalikan badan dan duduk dihadapanku, dipeluknya aku sangat erat.

“Sudah, ndak perlu nangis gitu to” ucap Ibu

“hiks hiks hiks pokoknya Arya sama Ibu tersu saja...” ucapku

“Iya... iya, Ibu bersihkan dulu dedek arya kamu ini” ucap Ibu, kepalanya kemudian turun kebawah mengulum dan menjilati dedek arya dengan lembut. Terasa hangat dan lembut, mulut dan lidah Ibu.

“Bu,erghhhh... aku pengen peluk Ibu mmmmmhhh” ucapku. Ibu kemudian bangkit dan memandangku, membuka luas kedua tanganya. Kupeluk dengan lembut tubuhnya.

“Dengan Ibu aku tidak pernah merasakan pedih” ucapku

“Karena aku Ibumu”

“Sudah, kamu jangan khawatir dengan Ibu” ucapnya lembut

Ibu kemudian membasuh semua tubuhku, diguyurnya tubuhku dengan air. Aku dan Ibu mandi bersama, teringat masa kecilku ketika itu. Sentuhan-sentuhan halus dan hangat pada tubuhku menghilangkan dinginya air yang membasahi tubuhku. Selesai mandi aku kemudian makan bersama Ibu, benar-benar suasana romantis, terkadang aku sudah tidak dapat membedakan dia Ibuku atau pacarku.

Didepan televisi, setelah kami makan bersama, aku hanya termangu melihat layar hitam televisi yang tidak menampakan gambar. Ibu kemudian membawakan aku teh hangat dan duduk disebelahku. Disandarkannya kepala Ibu di bahu kiriku.

“semakin bertambah umur seseorang akan semakin tua dan semakin dewasa dirinya, pahit manisnya kehidupan akan berjalan seiring dengan bertambahnya umur”

“Semua yang kamu alami adalah sebuah awal pendewasaan kamu nak, tak ada cinta yang tidak membawa sakit hati, karena semua cinta pasti membawa sedikit benih rasa sakit agar kamu tahu makna cinta yang sebenarnya” ucap Ibu

“Apa harus sakit dahulu agar mengerti cinta?” ucapku

“orang yang pernah merasakan sakit pasti bisa lebih menata hatinya” ucap Ibu. Ibu kemudian bangkit dan memegang kepalaku dipandangnya kedua mataku

“Kamu mencintai Ibu dan Ibu juga mncintai kamu nak, tapi hubungan ini tidak dapat berlangsung lama, Ibu sudah pernah mengatakannya kepadamu dan kamu tahu bahwa ini harus berakhir” ucap Ibu

“Hmmm...” gumamku yang tak bisa melanjutkan kata-kata, kupandangi senyuman Ibu yang dilemparnya kearahku. Kusatukan keningku dengan kening Ibu.

“Kita akan kembali ke tatanan seharusnya bu, tapi bukan dalam waktu sekarang dan Arya harap Ibu tidak membahas ini lagi sebelum waktu itu semakin dekat”

“Ibu boleh memberiku nasehat tapi bukan yang berkaitan dengan kita berdua, Arya ingin semuanya sesuai dengan waktu yang akan datang tersebut” ucapku. Ibu memandangku dengan tatapan mata yang teduh

“nak, Ibu akan selalu mencintaimu, hingga ada waktu yang tepat untuk kembali menjadi seperti dulu lagi dan kamu harus berjanji untuk tetap melindungi Ibu” ucap Ibu

“Arya janji” ucapku. Kami kemudian berciuman mesra, saling melumat dan menyedot bibir masing-masing.

“Bu, Arya masih bisa bobo sama Ibu kan?” ucapku cengengesan

“ini anak iiiiiiiiiiiiiiih nakal amat, ntar malam kalau dia belum pulang” ucap Ibu dengan nada bercanda sambil mebetet hidungku

“Ibu tidak ingin kamu kehilangan masa mudamu seperti Ibu, maka Ibu akan tetap bersamamu sampai ada seorang wanita mau menggantikan posisi ibu...”

“As your lover” ucap Ibu lembut

“And i will let you go, till that girl come to you...”ucapku mengiyakan. Dalam hening kami berpelukan, kurasakan lembut wangi tubuhnya dalam dekapanku.

“Kamu ndak jenguk pak felix?” ucap Ibu. Selepas kami berpelukan.

“Ndak, males...” ucapku

“Dian ya?” ucap Ibu yang tahu alasan kenapa aku malas menjenguk pak felix

“tuh sudah tahu” ucap Ibu

“Ya ndak gitu to ya, katanya dulu pengen jadi ksatria pelindung, masa ksatria gampang sakit hati?” ucap Ibu

“Yang namanya ksatria, harus punya hati yang kuat dan lapang, okay?” ucap Ibu, aku hanya tersenyum aku kemudian bangkit dan ke kamar untuk berganti pakaian. Segera aku sambar perlengkapan tempurku. Segera aku turun dan pamit dengan Ibu.

“Ingat, wanita itu inginnya dimengerti kalau kamu tidak menginginkan wanita itu ya tidak usah kamu mengerti keinginannya, tapi kalau kamu menginginkan dia kamu harus mencoba mengerti keinginannya dan bersikaplah sewajarnya jangan terlalu dingin sama wanita, okay?” ucap Ibu sembari memberikan ciuman hangat pada bibirku kubalas ciumannya, lalu Ibu meberikan aku buah tangan untuk pak felix dan segera aku berangkat menuju rumah sakit.

Laju motor REVIA bergerak dengan sangat cepat, gas kutarikhingga maksimal. Saking cepatnya sebuah motor SATRIYA dapat menyalipku dengan sangat mudah bahkan motor TOSYA roda tiga pun dapat dengan mudah melewatiku. Dan sampailah aku di depan sebuah RS terkenal di daerahku. Aku berhenti untuk menunggu sebuah keajaiban seperti halnya motor yang didepanku tadi.

“Mas, cepetan! Woi panas ini! malah berhenti” ucap seseorang pengendara di belakangku

“Bentar pak, ini palangnya ndak mau naik” ucapku santai

“Lha ****** banget to mas, itu tombol ijo-nya dipencet mas, sampai kucing bertelur ndak bakalan mbuka mas kalau ndak dipencet!” teriak pengendara itu lagi

“Ndak tahu pak he he he, maklum wong ndeso” ucapku, segera ku pencet tombol hijau itu dan terbukalah palang pintu parkir. Segera aku parkir motorku di tempat yang teduh agar kulit recia tetap kinclong dan mempesona

“Mas!” ucap seseorang di belakangku sambil mennepuk bahuku, dan ternyata itu adalah pengendara yang tadi dibelakangku

“Ada apa ya pak?” ucapku

“Ini karcisnya tadi ndak kamu ambil, gimana to mas-nya itu, ndeso-ndeso mas tapi jangan malu-maluin” ucap bapaknya sambil menyerahkan karcis itu, akupun berterima kasih kepada bapaknya walau sedikit ada rasa malu

“Sialan! Untuk ndak ada orang coba kalau di sini banyak orang bisa-bisa jadi bahan tertawaan, itu juga mau masuk parkir saja ada mesin yang otomatis segala” ucapku, kalau diingat-ingat sewaktu aku ke gramedia dan bertemu budhe waktu itu ada tukang parkirnya di dalam box. Dasar aku-nya saja yang ndeso mungkin. Segera aku berjalan ke arah pintu masuk utama rumah sakit dan kutanyakan kepada bagian administrasi mengenai pasien bernama Felix yang masuk tadi malam.

“Ruang Hati nomor C-1-N-7-4” ucap mbaknya yang jaga

“kok aneh” bathinku

“Ini dimana ya mbak, ada petunjuknya” ucapku kepada mbaknya yang memakai kerudung putih dengan senyum yang manis

“Petunjuknya di hati saya mas, mas-nya ke hati saya saja bagaimana?” ucap mbaknya. Glodak, sial ternyata aku kena gombal

“Waduh...” ucapku sambil tepuk jidat mbaknya hanya tersenyum

“hi hi hi... ruang lavender mas nomor.... nomor mas berapa?” ucap mbaknya lagi

“nomor apa mbak? Kalau nomor pacar saya, saya punya mbak, gimana?” ucapku, seketika wajah mbaknya sedikit cemberut ke arahku. Walau secara de jure aku memang tidak mempunyai pacar tapi secara de facto aku punya pacar, Ibu.

“nomor 69 mas, tuh ada petunjuknya” ucap mbaknya jadi ketus. Langsung aku sodorkan tanganku ke arah mbaknya

“Arya, Arya Mahesa Wicaksono, maaf jika membuat mbak marah, hanya saja saya bukan tipe orang yang suka bohong, tapi saya suka ketika mempunyai banyak teman atau sahabat” ucapku dengan senyuman, disambutnya tanganku denga lembut

“Erlina, Erlina Eka Pangestuti, memang kelihatannya mas lebih cocok jadi sahabat daripada pacar ehem” ucapnya dengan senyum, ditariknya tanganku dan ditulisnya sebuah angka dan huruf di telapak tanganku

“Invite ya mas hi hi hi” ucapnya

“Mbak, aku invite tapi janji dulu...” ucapku

“janji apa mas?” tanyanya

“sahabat selamanya, okay? No Love” ucapku dengan santai

“Okay, bestfriend with no love” ucapnya. Aku kemudian beranjak dari tempat itu, sambil berjalan aku menginvite erlina di BBM-ku. Sial kenapa juga aku harus memperkenalkan diriku kepada erlin, arghhh masa bodoh yang penting aku sudah bilang sama dia kalau aku hanya ingin jadi sahabatnya. Tapi aneh juga ya kenapa dia tiba-tiba ngegombal ke aku? Ah masa bodoh! Ku ikuti petunjuk arah keruang lavender, mungkin karena ndesonya aku jadi aku tidak memanfaatkan lift yang tersedia, hanya mengikuti petunjuk ke kanan ke kiri naik tangga dan lain sebagainya. Terdengan sebuah bunyi pukulan pada sematponku, kubuka. Erlina. Sambil berjalan mengikuti petunjuk arah, aku memainkan sematponku.

From : Erlina
PING!

To : Erlina
Ya mbak

From : Erlina
Cuma ngecek beneran kamu ndak yang invite aku

To : Erlina
Fotonya dilihat tuh mbak, foto siapa, masa aku bohong

From : Erlina
Hi hi... iya dech percaya

To : Erlina
Hadeeeeh...
From : Erlina
Met jalan-jalan muter-muter ya

To : Erlina
Owh aku dikerjai nich ceritanya?

From : Erlina
Salah sendiri ndak pake lift he he he

To : Erlina
Awas kalau ketemu

From : Erlina
Hi hi... :p

Braaakkkkk.....

“Aaaa.....” teriak seorang wanita memakai jas putih yang hampir terjatuh. Dengan cepat aku raih punggungnya dengan tangan kananku, buah tangan dan sematpon sementara aku tidurn di lantai alias jatuh. Wajah nan Ayu rambut panjang terurai dengan kaca mata menghiasi wajah manisnya. Segera aku bangkitkan tubuhnya.

“Maaf... maaf mbak... maaf....” ucapku sambil membungkuk-bungkuk di hadapannya

“Masnya itu kalau jalan hati-hati kenapa?” ucap wanita tersebut. Aku hanya tersenyum memandangnya dengan senyum cengengesanku

“Ndak ada yang kurang kan mbak?” ucapku

“Kalau kurang memangnya mau ganti rugi?” ucap wanita tersebut

“Ya ndak juga mbak, saya minta maaf sebesar-besarnya jika pakaian mbak kotor atau apa saya siap menanggung resikonya” ucapku dengan tersenyum dengan sedikit cengengesan

“Okay, ganti rugi makan siang , bagaimana?” ucap mbaknya. Kulihat sepintas pakaiannya, jas lab putih dengan celana kain hitam panjang dihiasi sepatu hitam berhak tidaj terlalu tinggi.

“Waduh...”

“Masa, saya yang orang biasa seperti ini harus ganti rugi makan siang mbak, yang ada mbak dokter yang traktir saya” ucapku

“hi hi hi... sudah mas tenag saja”

“Emmm.... mas-nya itu tadi yang bikin gara-gara di pintu masuk parkir ya?” ucap mbaknya dokter, yang kemudian membuat suasana semakin akrab

“gara-gara ditempat parkir? Bukan mbak, mbaknya salah lihat mungkin” ucapku, mau garuk-garuk kepala juga susah masih ada perbannya.

“Lha tadi bikin antrian panjang, ya kan? yang ndak mencet tombol hij...” ucap mbaknya dokter terpotong. Langsung saja aku mendekat dan menyilangkan jariku di bibirnya, entah keberanian dari mana tapi itu hanya sekedar reflek

“Sssssttt... jangan keras-keras mbak ntar saya bisa jadi komedian disini” ucapku

“ini tangan ngapain sich nyampe sini” ucapnya

“eh... maaf maaf reflek mbak, mbaknya dokter sich keras-keras” ucapku

“mbaknya dokter-mbaknya dokter, apa ndak bisa baca name text-ku?” ucapnya

“AS-MA-RA ME-DI-TA”

“iya mbak asmara, maaf kalau saya lancang, maaf maaf” ucapku

“Panggil saja aku Ara, kamu mau kemana?” ucap Ara

“Mau ke ruang lavender nomor 69 mbak, mbak dokterkan disini? Pasti tahu dong” ucapnya

“Iya masih di lantai atas, kenapa kamu ndak naik lift saja dari bawah kan malah cepet” ucap mbak Asra

“Dikerjai sama mbaknya yang dibawah owk, jadi ya jalan kaki saja mbak biar sehat he he he” ucapku

“Pantes!” ucapnya

“Pantes kenapa mbak?” ucapku

“Pantes kalau kamu itu ndeso, ada lift kok ndak dipake, ada tombol kok ya ndak dipencet” ucap mbak Asra

“Sudah dech mbak jangan di ingatkan lagi, saya jadi malu, lagian mbak Ara kok tahu kalau saya tadi bikin huru-hara di tempat parkir?” ucapku

“Aku tadi yang membonceng bapaknya, yang neriaki kamu... eh ngomong-ngomong siapa nama kamu?” ucapmbaknya

“Arya mbak” ucapku sembari menyodorkan tanganku dan disambut olehnya

“ya sudah mbak kalau begitu, sebelumnya saya minta maaf, saya mau melanjutkan perjalanan dulu”

“tapi mbaknya ndak bohongkan kalau levender diruang atas?” ucapku

“kalau bohong cari aku, nanti aku akan traktir makan siang sepuasnya” ucapnya

“eh.. gimana cara nyari mbak?” ucapku lugu

“ni kartu namaku” ucapnya sembari menyodorkan kartu namanya, kenapa hari ini aku dapat kenalan cewek? Double lagi? Bodoh ah!

“wah kalau berobat sama mbak gratis ya he he he” ucapku

“iya dech, di awal ya tapi nanti kebelakangnya bayar dobel” ucapnya dengan senyum mengejekku

“sama aja mbak, mending aku berobat ke dokter lain” ucapku

“Hi hi hi kamu lucu juga, itu kenapa kepala pakai perban?” tanya mbak Ara

“Biasa mbak, cowok, ber... an... tem” ucapku semakin pelan dan mengeja karena mabak ara tiba-tiba dia mendekat dan membenarkan perban di atas kepalaku. Aroma wangi parfum semerbak masuk kehidungku

“Besok lagi ndak usah berkelahi lagi Ar” ucapnya

“Eh... iya mbak, terima kasih” ucapku

“Ya sudah, cepat sana ke lavender, kasihan yang nungguin kamu entar” ucapnya

“Oke, mbak, duluan ya mbak” ucapku, segera aku melangkah kembali menuju tangga padahal dan kemudian menaikinya, memang lebih enak menaiki tubuh wanita ketimbang menaiki tangga eh... kenapa aku punya pikiran kotor? He he he... sampailah aku pada ruang lavender no 69.

“bener-bener gila ini yang buat rumah sakit, luas banget, bikin pegel saja” bathinku berkeluh kesah. Kubuka kartu nama mbak ara, dan aku kemudian sms mbak ara.

To : Ara
Mbak, terima kasih, mbaknya dokter bener

From : Ara
Iyalah Aryaaaa,
Oia, besok-besok lagi kalau sudah dikasih tahu sama yang lebih tahu
Naik lift, sudah dibilangin lantai atas masih saja naik tangga, ndeso!

To : Ara
Iya iya, aku Ndeso....

From : Ara
Marah nih ya?

To : Ara
Ndak juga, kalau marah sama mbak bisa di tikam sama pacar mbak

From : Ara
Paling pacarku ndak berani sama kamu ar
Dia ndak jago berkelahi kaya kamu yang doyan berkelahi

To : Ara
KDL he hehe
From : Ara
Apaan tuh?
To : Ara
Kasihan Dech Loe ha ha ha :D
Gimana nanti kalau ada preman yang ngegodain mbak coba?
Masa pacar mbak diem aja? :p
From : Ara
Awas kamu kalau ketemu lagi!
To : Ara
Tenang saja mbak, mbak ndak bakal ketemu sama aku lagi kok :p
From : Ara
Oh ya?!
AWAS KAMU POKOKNYA!
To : Ara
Serem he he he
Met aktifitas mbak :)
From : Ara
Okay, sama-sama Ar :)
Setelah bersms ria dengan mbak ara, segera aku membuka pintu kamar itu, tak ada seorang pun disitu kecuali pak felix yang berbaring dan sedang asyik main game di sematponya.

“Pak Felix...” ucapku

“Oh... Hai Ar, apa kabar? Bagaimana keadaanmu? Baik-baik saja?” ucap pak felix

“seharusnya yang tanya begitu kan saya pak, kan saya yang jenguk bapak” ucapku, sambil meletakan buah tangan dari Ibu

“Oh iya, ya beginilah Ar, ada beberapa tulangku yang patah sewaktu di injak-injak kemarin, kamu bagaiman? Makasih buat buah tanganya” ucap pak felix

“Sudah biasa pak, tenang saja. Iya pak sama-sama” ucap pak felix, tak kulihat Bu Dian disana, tampak sepi namun aku enggan menanyakan keberadaanya. Aku kemudian duduk di kursi di sebelah kiri pak felix, membelakangi pintu masuk. Lama kami bercakap mengenai kejadian semalam dan juga perkuliahan di semester depan. Canda dan gurau menghiasi pembicaraan kami berdua.

Bugh... pukulah ringan dibahuku

“Ngapain kamu disini Ar?” ucap seorang laki-laki di belakangku, aku menoleh

“Lho, Om Heri? Bukanya om heri ada di luar kota? ” ucapku kepada Om heri, adik tante asih

“Aku pindah dinas” ucap om heri

“Kata tante asih, di luar kota” ucapku

“Ya Tantemu itu belum tahu, Seharusnya bulan depan aku pindahnya tapi karena sudah kangen rumah, om mendesak pihak kedinasan untuk mempercepat kepindahanku, jadi tante asih kaget tadi waktu om her disini” ucap om heri

“Bagaimana keadaanmu Lix?” ucap Om Her ke pak felix

“Ya beginilah mas, kalau tidak ada Arya sama teman-temannya mungkin sudah lebih parah lagi mas” ucap pak felix

“Arya ini hadeeeeeh... kakak kelasnya saja sampe nangis-nangis dikerjai sama dia, nakal memang anak ini” ucap Om Heri

“Lho kalian sudah saling kenal?” ucapku

“Felix itu adik kelas SMA om her, jadi ya kenal”

“Dan jangan berkelahi lagi!” ucap om her sedikit membentak, aku hanya tersenyum cengengesan di hadapannya.

“Sudah mas, ndak papa, ponakanmu ini orang hebat mas” bela pak felix

“tuh denger kata pak felix om he he he” ucapku dengan sedikit sombong

Kami kemudian melanjutkan percakapan kami. Om her menceritakan mengenai rumah sakit luar kota dan betapa kangennya dirinya dengan rumah. Akhirnya dia pindah dinas agar bisa lebih dekat denhi gan Ayah Ibunya atau adik dari kakekku. Lama kami mengobrol akhirnya waktu menunjukan pukul 11:30. Aku kemudian keluar sebentar untuk menyulut rokok.

“Di atap gedung saja Ar, di sana smoking areanya” ucap Om Her, aku hanya mengangguk mengiyakan, aku keluar menuju tangga ke atap gedung. Baru beberapa langkah menuju tangga tersebut muncul wanita yang sudah tidak asing lagi dengannya, Tante Asih dan juga Dosen judes, Bu Dian yang membawa air mineral. Walau di awal perkuliahanku dia tampak judes, setelah banyak yang dilalui dan melibatkan aku dan dia pandangannya menjadi pandangan yang teduh kepadaku. Bodoh Ah!

“Tan... te.... he he he” ucapku ketika berhadapan dengan mereka berdua

“APA!” bentaknya

“ndak papa tante...” ucapku lirih

“Sekarang bersihkan lantai ini dan harus bersih!” ucap tante tiba-tiba menghukumku

“Lho tan, kan ada tukang bersih-bersih disini, dan mereka dibayar untuk itu, kenapa harus aku?” ucapku

“Membantah? Berani membantah sekarang?” ucap tante asih

“ndak tan, Arya ndak berani membantah tante” ucapku

“Hi hi hi...” Bu Dian mengejekku

“Iya Ar, kamu bersihkan , lagian tante kamu tadi sudah minta ijin ke Pak Dhe, kalau nanti Arya kesini suruh ngepel lantai, gitu” ucap lelaki yang berada dibelakang tante asih dan bu dian. Pak Dhe Anas, sahabat dari Pak Dhe Andi merupakan kepala rumah sakit ini atau bisa dibilang direktur utama rumah sakit.

“Pak Dhe Anas, memang beneran begitu pak dhe?” ucapku

“Iya...!” bentak tante asih

“Ya ndak juga, tapi kalau hukuman karena berkelahi diijinkan kok” ucap pak dhe Anas yang langsung berjalan meninggalkan kami bertiga. Jelaslah Pak Dhe Anas tahu kelakuanku, dia sahabat pakdhe andi sejak kecil dan tahu bagaimana kecilku hingga besarku.

“Argghhh... Hmmmm....” gerutuku

“Dah, mulai dibersihkan, Dian, kamu jaga Arya, kalau nanti dia tidak serius membersihkannya kasih tahu mbak, biar seluruh rumah sakit dia yang mengepel, aku akan periksa Felix dulu” ucap tante yang kemudian meninggalkan kami berdua.

“iya mbak” ucap Bu Dian. Di hadapanku berdiri seorang wanita yang pernah membuatku terbang tinggi walau akhirnya sayapku patah dan terjatuh dihadapanya.

“selamat siang bu...” ucapku

“siang Arya ehem...” ucapnya dengan senyuman lembut. Aku pamit melangkah menuju ruang tukang bersih-bersih atau lebih kerennya dipanggil OB. Setelah menjelaskan kepada OB-OB disana aku diambilkan alat pembersih. Aku kemudian kembali ke tempat Bu Dian berada, Bu Dian hanya duduk manis menatapku yang sedang membungkuk membersihkan lantai. Entah mimpi apa semalam aku hingga bisa menjadi seorang OB di rumah sakit. Tapi anehnya kenapa Bu Dian sekarang tampak dekat dengan tante asih?

“Yang itu belum Ar...” ucap Bu Dian sambil menunjuk lantai dibawah kursi

“iya Bu...” ucapku pelan dan datar

Aku segera memmbersihkan yang ditunjuk oleh Bu Dian, dengan cepat aku bersihkan. Tubuh yang masih terasa sakit tapi tak aku hiraukan dan tetap mebersihkan lantai hingga sudut-sudut sempit yang tidak terjangkau. Mungkin aku memang mempunyai keahlian tukang bersih-bersih. Saat aku membersihkan lantai, sedikit aku melirik ke arah bu dian. Dia sedang membuka air mineralnya kemudian dituangkan sedikit ke alas sepatunya. Di injakannya sepatu itu di depannya agak jauh, dan jelas akan terstempel sebuah tanda sesuai dengan bentuk alas kakinya.

“Ar... ini masih kotor...” ucap Bu Dian. Dengan diam aku membersihkan lantai di depannya, ketika sudah bersih aku kembali ke lantai lain yang belum dibersihkan.

“Ar, ini juga masih kotor...” ucap Bu Dian menunjukan sebuah stempel alas sepatunya lagi didepannya yang baru saja aku bersihkan dengan jarak yang lebih dekat dengan bu dian dari sebelumnya.

Aku tidak menjawab atau apapun aku kembali ke tempat itu, dan membersihkannya lagi. Aku kemudian mebersihkan lantai yang lainnya lagi. Tapi Bu Dian sekali lagi melakukan hal yang sama dengan stempel alas kakinya semakin dekat dengannya. Ketika aku memandangnya, dia membuang muka dan bergaya sambil bersiul-siul walau tidak ada bunyi yang keluar dari siulannya itu. Kejadian itu berulang hingga tujuh kali dan yang ketujuh, stempel alas kakinya itu berada tepat didepannya. Aku berdiri di depannya dan menatapnya, kini Bu Dian menatapku dengan lembut

“Ndak boleh marah lho Ar, nanti dimarahi sama tantemu” ucap Bu Dian santai. Aku sudah tidak dapat berbuat apa-apa lagi jika nama itu disebutkan. Aku bersihkan sebersih-bersihnya dan ketika aku berbalik ke tempat lain aku sedikit melirik ke arah Bu Dian, kulihat Bu Dian akan melakukan hal itu lagi. Dengan cepat aku bergerak mendekatinya dan mencegahnya. Ku sandarkan lap pel itu dan aku pegang kedua sepatunya itu dengan kedua tanganku. Hingga kedua tanganku terinjak kakinya, dengan segera aku lepas sepatu di kakinya.

“Kaki Ibu sakit ya? Arya pijat” ucapku dengan nada datar tanpa memandangnya sama sekali. Entah darimana ide ini muncul yang jelas aku tidak mau dikerjai terus-terusan. Aku kemudian memijat-mijat ringan pada kakinya yang sebenarnya tidak terluka ataupun sakit. Sedikit aku melirik ke atas, wajahnya tampak sekali sumringah dan tidak ada penolakan.

“Eh...” dia terkejut dengan pijatan-pijatan kecilku

“Mbak Diah beruntung ya punya pacar kamu, baik dan tidak gampang jengkel walau dikerjai habis-habisan” ucap Bu Dian tiba-tiba

“Iya...” ucapku datar

“Kalau boleh tahu, ketemu dimana?” ucap Bu Dian

“Di rumah” ucapku

“Deket rumah ya, wah asyik dong kalau ngapel ndak perlu jauh-jauh”

“Apa dia benar pacarmu Ar?” ucapnya dengan nada penasarannya

“Setiap hari saya bisa ngapel kok Bu”

“Seandainya iya, ada yang salah? Dan seandainya tidak, kenapa Bu?” ucapku

“Eh.. tidak apa-apa, hanya ingin tahu saja apa dia benar pacarmu atau tidak” ucapnya, kemudian tatapan kami beradu

“karena dia terlihat lebih tua darimu” ucap Bu Dian

“Kan Cinta tidak memandang usia” ucapku dengan santai, dan aku kembali memijit kakinya

“I... iya... 28 ya umurnya?” ucap Bu Dian, mencoba menebak umur Ibu

“Eh... muda banget ternyata Ibu dimata orang lain” bathinku

“Tidak tahu...” ucapku yang kemudian memasangkan sepatunya kembali pada kakinya lalu bangkit

“Sudah, kaki Ibu kalau sakit dipijitkan langsung saja tidak usah diinjak-injakan kelantai kasihan nanti yang membersihkan bu” ucapku sambil memandang wajahnya yang menengadah memandangku. Ku angkat kakiku dan melangkah mengambil lap pel.

“Apa dia benar pacarmu Ar?” ucap Bu Dian

“Apakah pada saat ujian skripsi nanti, ada pertanyaan seperti itu bu?”

“Seandainya dia bukan pacarku ataupun iya, itu juga tidak menguntungkan atau bahkan merugikan Ibu kan?” ucapku sambil membalikan badan dan tersenyum kepadanya

“eh... iya” ucapnya sambil menunduk dan aku berjalan ke arah ruang OB

“Tapi aku yakin dia bukan pacarmu... Ar” ucap Bu Dian. Membuatku sedikit kaget, tertegun dan berhenti lalu kembali melangkah menuju ruang OB. Aku masuk dan di dalam ruang OB tidak ada seorang pun. Aku bersandar kemudian pada pintu tersebut hingga tubuh ini melorot jatuh ke bawah hingga kedua siku tanganku bertumpu pada lututku

“Kenapa kamu sangat peduli padaku bu? Tapi setelah malam itu sikapmu memperlihatkan aku bukan orang yang pantas kamu pedulikan” bathinku

Aku kemudian bangkit dan keluar dari ruangan tak kulihat lagi Bu Dian di tempat duduk itu. Kuangkat kakiku menuju ke atap gedung. Kurogoh sakuku dan kupandangi pemandangan kota dari atas gedung. Tampak semua bangunan terlihat sangat kecil dan mungil.

“Kamu itu harusnya jujur pada dirimu sendiri, bukannya malah bersikap aneh seperti itu!” ucap tante asih dari belakangku, aku menoleh sebentar kemudian membuang pandanganku ke pemandangan itu lagi

“Tante tahu kamu sukakan sama Dian?” ucap Tante Asih

“Jujurlah Ar, tidak ada salahnya” ucap tante asih

“Tante, dia terlalu tua untukku dan tentunya tante masih ingat kejadian yang menimpa om heri?” ucapku

“Eh...”

“Iya aku masih ingat” ucap tante Asih

“Om heri sudah bertunangan dengan kekasihnya, dan tante tahu sendiri mereka harus berpisah karena ada lelaki lain yang menyatakan cintanya kepada kekasih om heri”

“Jika tante memaksaku, berarti tante senang dengan apa yang dialami oleh om heri” ucapku

“Beda, saaaaangat berbeda...”

“Kekasihnya bukan wanita baik-baik, dan tante sudah tahu itu, tante pernah mengingatkan om kamu namun dia tetap bersikeras, ketika itu semua terjadi, tante dan keluarga cukup senang walau kami semua tahu Om kamu merasakan patah hati yang mendalam. Tapi lihat sisi baiknya, dia kemudian tahu siapa kekasihnya dan mendapat istri yang lebih, lebih baik dari kekasihnya yang dulu”

“Dan perlu kamu ketahui, kekasihnya yang dulu itu pernah minta balikan lho, tapi om heri tidak mau karena istrinya lebih dari mantannya itu” ucap tante Asih

“Kasus Dian berbeda, di dalam hatinya...” ucap tante asih terpotong

“di dalam hatinya apa tante?” ucapku penasaran

“ehem...” tante tersenyum kepadaku

“di dalam hatinya ada cinta yang hanya bisa di temukan oleh orang yang benar-benar dia harapkan” ucap tante asih seakan-akan mengalihkan kata-katanya

“Semua juga tahu itu tante, dan orang itu adalah pak felix”

“Arya tidak perlu ikut campur urusan mereka merusak hubungan dengan orang lain adalah salah, titik, ” lanjutku

“Eh...” tante terkejut dengan ucapanku

“Terserah kamu Ar, tapi yang jelas, cinta itu tidak bisa dipaksakan dan harus jujur, cinta harus mencari wadah yang sesuai” ucap tante, aku hanya memandangnya dan kembali memandang pemandangan itu lagi

“Erghhh... Ibu? Ah kenapa aku teringat Ibu, cinta kita, wadah kita? Aaargghhhhhh... tidak sesuai tapi untuk saat ini aku tidak ingin pergi dari Ibu. Bu Dian? Bodoh Ah!” bathinku

“Bagaimana semalam? Apakah dian terlihat sangat cemburu ketika Ibu kamu mengaku pacar kamu” ucapnya

“Heeeh... ternyata itu taktik Ibu dan tante? Ndak tahu tan” ucapku

“Kalau dari penuturan Ibu kamu, Dian tampaknya sangat cemburu” ucapnya

“kenapa harus cemburu, lha wong dia sudah punya pak felix” ucapku santai

“AAAAAAAAAAAAAAAAUUUWWWWW!” teriakku karena mendapat cubitan dari ante

“DASAR LELAKI EGOIS! TIDAK PEKA!”

“tante mau turun lagi huh” ucap tante judes meninggalkan aku

“Eh tan. Kabar ilman, paijo dan lucas, gimana?” ucapku mengehntikan langkahnya. Tante kemudian berbalik memandangku

“Banyak tulang yang patah dan dapat dipastikan dia tidak akan bisa bergerak senormal mungkin seperti sekarang ini, polisi akan menahan mereka setelah keluar dari RS karena ada beberapa kasus kekerasan yang melibatkan mereka bertiga” ucap tante

“Lho memangnya mereka satu komplotan? Setahuku hanya ilman dan paijo yang saru hati” ucapku

“Dari penuturan polisi, mereka itu komplotan dan sudah melakukan beberapa kejahatan, lha kalian itu koplak masa ndak tahu mengenai ini?”ucap tante

“Yeee... kita kan udah berhenti ugal-ugalan didaerah, kan pada sibuk sama kesibukan masing-masing, ditambah lagi satpam dari rumah sakit selalu mengawasi kita semua he he he” ucapku

“ya iyalah, kalau kalian tidak tante awasi bisa-bisa kalian tambah urakan, ya sudah tante turun” ucap tante yang kini menghilang dari pandanganku

Ilman da paijo serta lucas, aku tidak pernah tahu mengenai sepak terjang mereka. Bu Dian? Memang benar apa kata tante mengenai wajah cemburu Bu Dian. Apalagi tadi selama kami mengobrol Bu Dian selalu menanyakan tentang pacarku yang tidak lain adalah Ibu. Memang aneh ketika seorang wanita yang sudah dilamar menanyakan hubungan lelaki lain dengan pacarnya. Apa aku memang kurang peka? Tapi aku tidak mungkin mengungkapkan apa yang seharusnya aku ungkapkan, bisa perang dunia ke 3, ditambah lagi pak felix kenal baik dengan Om Heri. Bodoh Ah! Pulang.

Ketika aku berada di tempat parkir, tepatnya di dalam tempat parkir. Aku berjalan seorang diri menju motorku. Aku sedikit terhenyak dan berdiam diri sejenak manakala di samping motorku, duduk dan bersandar seorang wanita, Bu Dian. Dia hanya tersenyum kepadaku, kedua tangannya memgang helm SNI. Kulanjutkan langkahku ke arah motorku, mau bagaimana lagi, seandainya aku menghindar pun juga tidak bisa. Ketika aku sudah berada tepat disampingh motorku.
 
“Kenapa?” ucap Bu Dian

“Kenapa Ibu disini?” ucapku

“Tadi aku minta ijin untuk pulang sama tante kamu, dia menyuruhku untuk minta tolong kamu mengantarkan aku, kalau bisa?” ucapnya kepadaku dengan sedikit senyuman

“Lha mobil Ibu?” ucapku

“Itu mobil Felix, jadi aku diantar kamu saja?” ucapnya berubah menjadi datar

“saya masih ada urusan Bu” ucapku

“Sebenarnya tadi aku mau pulang pakai mobil felix tapi kepalaku pusing belum tidur semalaman, ya sudah ndak papa kalau tidak boleh” ucapnya sambil beranjak dari motorku

“Hmmm... mungkin sebentar lagi aku akan di opname di Rumah sakit ini” ucapnya kembali membuat aku terhenyak. Bu Dian menakutiku jika ketika dia mengendarai mobil itu dia akan tertidur dan begitulah

“Kenapa ndak pakai taksi saja bu? Daripada nanti opname, aku punya kenalan taksi” ucapku. Bu Dian berbalik degan wajahnya berubah menjadi wajah jengkel karena aku selalu bisa membalik pernyataan-pernyataannya. Bu Dian memakai helmnya dan berjalan ke arahku, lalu langsung naik di jok belakang motorku. Aku yang malah jadi kebingungan karena sikapnya, kedua pipinya kemudian menggelembung seakan sangat jengkel kepadaku.

“Bu, bisa turun saya itu ada urusan” ucapku walau sebenarnya tidak ada. Bu Dian ya diam saja dan memandang ke arah depannya tanpa menghiarukanku. Arghhhh..... ini wanita bikin kesal saja. Aku kemudian menaiki si motok REVIA kesayanganku untuk ketiga kalinya bersama Bu Dian

Segera aku nyalakan mesin motor kesayanganku ini. aku mundurkan secara perlahan karena berat motorku menjadi bertambah dengan kehadiran Dosen Judesku ini. segera kutarik gas motorku, baru beberapa meter keluar dari tempat parkit dan hegh... pelukan erat dari Bu Dian mendekap tubuhku sangat erat. aku tak mempedulikannya karena jika aku membuat perkara di RS bisa-bisa jadi bahan makian orang-orang. Dalam perjalanan menuju tempat Bu Dian.

“Ndak usah cepat-cepat” ucap Bu Dian. Segera aku berhenti di pinggir jalan.

“Bu, tolong ndak usah peluk saya Bu, bagaimana kalau ketahuan sama pak felix?”ucapku

“Bagaimana kalau ketahuan sama mbak diah?” ucap Bu Dian

Erghhhhh.... ditanya malah kembali nanya, segera aku tancap gas kembali. Semakin aku meningkatkan laju REVIA semakin erat pula Bu Dian memelukku. Akhirnya aku mengalah, motorku pun melaju dengan kecepatan lambat kurang lebih 40Km/jam. Kurasakan pelukan Bu Dian tetap erat seperti sebelumnya, bibirnya digesek-gesekan pada bahu kananku.

“Bu... Sudah... jangan...” ucapku

“Aku ngantuk, aku mau tidur, jika tidak pegangan nanti kalau jatuh bagaimana?” ucap Bu Dian dengan seribu alasannya

“tinggal opname saja bu...” ucapku

“Kenapa ndak pukulin sekalian saja aku disini? Biar cepet opname dan kamu tidak perlu susah-susah mengantarkan aku” ucapnya

“Huft... iya iya, boleh peluk Bu Dosenku yang manis dan cantik, yang erat ya, biar ndak jatuh” ucapku

“nah, gitukan lebih baik” ucapnya

Entah mengapa pelukan Dosenku ini membuatku merasa nyaman, pelukan darinya berbeda dengan pelukan wanita lain. Dikecupnya bahu kananku dengan lembut membuatku semakin merasa nyaman, walau sebenarnya ada sebuah kegundahan dalam hatiku. Bagaimana dengan pak felix? Masa bodoh ah! Apa Bu Dian tidak sadar? Seandainya saja dia bersamaku pun belum tentu dia bisa menerima kenyataan yang sudah aku alami. Belum hilang kesemrawautan dalam pikiranku, tiba-tiba pelukannya menjadi melemah, kurasakan tubuhnya menjadi sedikit terdorong kebelakang. Kuhentikan laju REVIA, sejenak kutengok kebelakang.

“Dia benar-benar tertidur” ucapku pelan

Kujalankan REVIA sayang dengan lebih pelan, tangan kiriku kuposisikan ke belakang tubuhnya. Untuk berjaga-jaga seandainya dia terjengkang. Kedua tangannya sudah tidak bisa memelukku erat. Namun kembali kurasakan kedua tangannya memeluk tubuhku dengan eratnya

“Terima kasih...” ucapnya lembut

“Sama-sama...” balasku

“Dasar manja...” ucapku pelan yang ternyata di dengar olehku dan mencubit sedikit perutku

Selama perjalanan tak ada percakapan dari kami berdua. Hanya kekhawtiranku jika saja dia terjatuh. Semakin rasa khawatirku bertambah semakin Kupeluk tubuhnya dengan tangan kirku dengan eratnya. Perjalan masih sangat jauh, namun aku perasaan nayaman ini tidak membuatku lelah. Sesampainya di depan pintu gerbang Perumahan ELITE, seorang satpam mengacungkan jempolnya ke arahku entah apa maksudnya. Aku anggukan kepalaku dan hanya tersenyum kepada pak satpam,dengan tetap pada kecepatan yang sama sampailah aku di depan rumah Bu Dian. Belum aku mengatakan apa-apa, slah satu tanganya lepas dari pelukanku.

“Aku ngantuk” ucapnya sambil menengadahkan tangannya yang dengan kunci diatasnya

“Maksudnya?” ucapku

“Bukakan” ucapnya

“huft...iya Bu Dosen” ucapku kemudian men-standar-kan REVIA, mengambil kunci dan membukakan pintu gerbang. Bu Dian masih duduk di jok motorku dengan kepala di letakan diatas tumpukan tangannya yang bersandar pada kepala REVIA. Helmnya ditaruhnya di spion kanan REVIA.

“Sudah Bu” ucapku berjalan kearah Bu Dian sembari membawa kunci itu kembali, Bu Dian kemudian bangkit dan tetap duduk di jok REVIA

“Aku capek ndak bisa jalan” ucapnya santai

“terus?” ucapku

“capeeeek ndak kuaaaaaaaat jalan aryaaaaaa” ucapnya bernada sok manja. Iiih...

Aku hanya bisa jongkok di samping REVIA, bingung dengan sikap Bu Dian. Kenapa juga ini Dosen judes jadi manja di hadapanku? Bikin orang susah saja huft... daripada aku kelamaan di tempat ini mungkin aku harus segera mengambil tindakan, lagian aku sudah mulai kesal dengan sikapnya. Segera aku bangkit dan duduk di depannya, kulepas helmku, aku tarik kedua tangannya ke bahuku. Kemudian kedua tanganku meraih kedua pahanya dengan perlahan aku gendong Bu Dian di punggungku.

“Ughhh... berathhh...” ucapku

“aku ndak gendut-gendut amat kali hoaaam” ucapnya pelan

“Iya langsing...” ucapku sambil membopongnya menuju kursi depan pintu masuk rumahnya. Sesampainya di kursi tersebut, aku dudukan Bu Dian dan aku kemudian duduk sebentar di lantai tepat dibawahnya.

“Terima kasih Ar Hoaaaam...” ucapnya

“Sama-sama Bu” ucapku sambil menoleh kebelakang

“Ar...” ucapnya

“Iya Bu...” balasku

“Aku ingin kita jalan-jalan lagi” ucapnya

“Besok Bu Setelah PKL” jawabku sekenanya

“Janji ya?” ucapnya

“Ya... kalau ingat Bu” ucapku

“Aku akan mengingatkanmu Ar” ucapnya

“Iya Bu iya...” ucapku dengan nada jengkel

“Ar...” ucapnya

“Iya Ada apa lagi Bu?” ucapnya

“Aku yakin Mbak Diah bukan pacarmu” ucapnya

“Huft... kenapa dibahas lagi bu?” ucapku.

“Saya mau pulang dulu Bu sudah sore?” ucapku sembari aku berdiri sambil membalikan badanku ke arahnya untuk pamit kepadanya. Kan ndak enak masa pamit ke seseorang ndak menatap mukanya. Ketika posisiku sedang dalam posisi membungkuk. Cup... sebuah kecupan di pipi kananku membuatku sedikit bengong, namun langsung ku raih kesadaranku dan wajahku tetap aku buat datar.

“Seharusnya Bu Dian tahu posisi Bu Dian, Tolong pikirkan perasaan pak felix bu” ucapku

“Itu hanya ucapan terima kasih apa salah?” ucap Bu Dian santai menanggapi pernyataanku

“Eh... hmmm... saya pamit pulang dulu Bu” ucapku, seakan-akan tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Bu Dian

“Hati-hati ya Ar” ucapnya

“Iya Bu...” ucapku, sambil meninggalkannya

Ku tunggangi motorku kembali menuju jalan pulang, kulihat Bu Dian berdiri dan Men-dadahi-ku dengan tangan kananya. Senyuman indah itu dilemparkannya untukku namun urung aku untuk menangkap senyuman itu. Aku hanya menganggukan kepalaku dan kemudian mempercepat laju motorku.

Sesampainya dirumah kudapati Ayahku sudah berada di rumah, bagiku ini adalah suasana yang suram. Ayah hanya menanyaiku mengenai perban dikepalaku, kujawab sekenanya dan dia tidak begitu menghiraukannya. Ayah kemudian menuju ke pekarangan rumah dengan memawa segelas minuman di tangan kirinya. Segera aku menghampiri Ibu di dapur dan aku sedikit bercerita kepadanya, dia hanya tersenyum mendengar ceritaku. Kukecup bibirnya dan aku kemudian berlari ke kamarku.

Hari-hari berikutnya aku isi dengan berangkat kekampus untuk mengurusi PKL. Membuat surat permohonan PKL ke industri yang terkait dengan jurusanku. Semua teman-temanku pun sama, setelah aku mendapatkan tempat PKL aku mengajukan DPL (Dosen Pembimbing Lapangan) untuk PKL-ku. Setiap mahasiswa yang mengajukan PKL tidak langsung mendapatkan DPL, ini semua tergantung pada perusahaan/ instansi memberikan jawaban. Ada yang berkelompok ada juga yang individu, dan aku memilih untuk individu karena kebanyakan teman-teman kelasku memilih untuk PKL sendiri. Ketika setiap mahasiswa sudah mendapatkan jawaban maka akan langsung diberikan DPL keesokan harinya.

Hari berikutnya aku ke kampus untuk mengetahui DPL-ku. Segera aku berlari dari tempat parkir menuju ke gedung jurusan untuk menemui Tata Usaha meminta surat pengantar dari jurusan yang nantinya aku serahkan ke perusahaan tempakku PKL. Pegawi TU kemudian memberikan dua buah amplop yang ditumpuk

“Mas, itu yang atas perusahaan dan yang bawah untuk DPL-nya ya” ucap pegawai TU

“Iya Bu” ucapku sembari meninggalkan TU, aku melangkah ke ruanng Dosen. Kulihat amplop yang berisi surat pengantar untuk perusahaan, tercantum nama sebuah PT dan tertluis benar. Ku balik dan ku baca nama DPL,

Yth. Dian Rahmawati
Selaku Dosen Pembimbin Lapangan

Arghhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh.... Kenapa Nama itu lagi!
 
Mohon maaf telah mengecewakan para agan dan suhu readers
tapi jujur saya kekurangan inspirasi ketika bulan puasa ini, cz biasanya ngetik pas RL longgar,
sekarang RL lumayan padat dan penuh ditambah lagi sudah ada rencana setelah bulan puasa nanti RL semakin penuh

kalau nubie menggunakan tokoh ilman dan paijo saya mohon maaf karena agak sedikit he he he

mohon kritik dan sarannya agan dan suhu
untuk indeks menyusul :)
 
ahhhh...lumayan penyegaran....

walaupun SSnya nggak banyak, tapi kayanya makin jadi nih konfliknya pas di PKL nanti...

jangan melenceng kejauhan dari misi arya menghancurkan bapaknya ya suhu...
 
Mohon maaf telah mengecewakan para agan dan suhu readers
tapi jujur saya kekurangan inspirasi ketika bulan puasa ini, cz biasanya ngetik pas RL longgar,
sekarang RL lumayan padat dan penuh ditambah lagi sudah ada rencana setelah bulan puasa nanti RL semakin penuh

kalau nubie menggunakan tokoh ilman dan paijo saya mohon maaf karena agak sedikit he he he

mohon kritik dan sarannya agan dan suhu
untuk indeks menyusul :)

Saran ane, kalau agan emang serius untuk update, sisihkan waktu tiap hari satu sampai dua jam untuk menulis. Tulis saja dulu di word atau di editor mana pun.

Mungkin waktu yang tepat sebelum tidur kali ye. Dengan begitu ente akan tetep bisa konsisten update. Jadi tidak pas ingin posting baru update.

Yang penting juga siapin kerangka biar nggak macet di tengah jalan ceritanya. Kalau ada kerangka maka ente nanti bakal bisa mengeluarkan semua imajinasi.
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd