Episode 43
Keberanian Perempuan
POV Kak Rivin
Pernah terperangkap bersama mantannya mantan dalam sebuah mobil? Sekaranglah momen itu terjadi.
---
POV Dani
Apa gunanya kami berundi kalo akhirnya Kak Rivin gak bisa ikut ke dalam rumah sasaran. Harusnya gue yang tadi ikut ke sana bareng Hari. Bukannya kaya sekarang, terjebak sama pelakor di kursi depan, di dalam mobilnya Jennifer. Gue duduk di kursi sopir dan Kak Rivin di kursi satunya.
Ngomong-ngomong, kena tuahnya juga kan Kak Rivin. Dia ditinggal Eda demi orang lain lagi. Rasain. Bukannya sisi jahat gue keluar, bukan juga karena trauma gangbang kemarin yang mungkin udah ngerusak akal sehat gue. Gue cuma ngerasa lumayan lega ngeliat kesengsaraan dia.
Cukup.
Gue jelas lagi stress. Gak seharusnya gue berpikir jahat ke Kak Rivin. Gitu-gitu, dia asisten dosen paling baik ke angkatan gue waktu kuliah dulu.
Apa jangan-jangan dia punya niat tertentu dengan sifat baiknya itu ya.
Ah, gak boleh gue labil begini.
“Ehm.. Dani.” Itu suara Kak Rivin.
“Iya, kak?” Sahut gue.
Setelah memanggil, malah diam lagi. Habis itu Kak Rivin gak bicara apa-apa lagi. Dia cuma manggil doang dan itu terjadi dua kali. Ini situasi yang canggung jadinya. Kak Rivin salah tingkah, begitu juga gue yang jadi bingung harus merespon seperti apa.
Kemudian, handphone menjadi pilihan pelarian terbaik untuk menghilangkan semua itu. Untungnya sekarang udah banyak aplikasi yang cocok untuk buang-buang waktu. Beberapa tahun lalu mungkin orang-orang cuma punya facebook dan twit**ter, tapi zaman sekarang sekarang ada juga macam-macam aplikasi baru untuk membuang waktu. Pembodohan masyarakat, tapi praktis di kala seperti ini
Jadilah sekian belas menit kami berlalu bersama media sosial kekinian di tangan masing-masing.
“Dani!” Kak Rivin bernada tinggi.
Gue kaget dengan mulut terbuka.
“Gue minta maaf. Gak seharusnya gue begitu... soal Eda!”
Kak Rivin terburu-buru dalam setiap katanya. Hampir aja gue gak bisa denger apa yang dia bilang barusan. Kalo gak ada kata Eda di akhir kalimat itu, seratus persen gue kira Kak Rivin lagi kumur-kumur atau keselek nyamuk.
Waktu berlalu sekian detik, gue masih shock dengan bentakan Kak Rivin tadi. Gue mencoba-coba menganalisis bahwa yang itu tadi bukan bentakan. Itu cuma panggilan biasa dengan power suara yang lebih kuat dibanding panggilan sebelum-sebelumnya.
“Halo? Dani?” Kak Rivin melambaikan tangannya.
“Oh, i-iya kak?” Sahut gue.
“Gue gak tau harus apa lagi. Kalo mau marah, silahkan.” Kata Kak Rivin dengan gugupnya.
Gak baik mikirin cowok di masa-masa sekarang. Khususnya ini gak baik buat gue. Sejak dari Malang, gue mencoba menghapus Eda meski masih beberapa kali bertemu muka. Tapi, lagi-lagi, mengingat-ngingat Eda itu adalah hal buruk.
Eda bukan orang yang tepat. Gue terus mengulang itu hampir setiap hari.
Lalu, sekarang Kak Rivin membahas Eda panjang lebar dari titik pandang yang paling sensitif. Ini jelas mau mencari-cari pembenaran atas alasan Rivin hingga akhirnya Eda berpindah lagi ke orang lain. Padahal, baru aja gue punya pikiran macam-macam soal Kak Rivin. Kalo diterusin, pikiran gue makin macam-macam nanti.
Damn! gue diajak melakukan drama anak SMA bareng Kak Rivin sekarang.
Terakhir gue cek, masih ada satu pistol icer di saku gue. Bisa kali gue tembak Kak Rivin supaya diem.
“Soal Eda, aku udah gak mikirin lagi. Kalo ada masalah antara kakak sama Eda, itu masalah pribadi yang aku pun gak bisa ikut campur, oke?” Gue melambaikan tangan tanda menyerah.
Itulah rasa-rasanya fase terbijak gue soal percintaan dan permantanan. Semoga juga dengan gue bilang begitu, Kak Rivin bisa diam, lebih tenang, dan kecanggungan di antara kami berdua hilang. Seenggaknya selama kami berada di dalam mobil ini.
“S-So...?” Kak Rivin mencoba mencerna.
“Eda and the problem is yours.” Jawab gue lugas.
Yes! Go Dani! Itu tiga kata terberani yang terlontar dari mulut seorang Persadani Putri.
Gue bisa melihat raut muka Kak Rivin yang belum lega. Udah pasti masih tersimpang banyak tanya soal labirin pikiran lelaki bernama Eda. Banyak juga pertanyaan yang ujung-ujungnya mengarah ke keadaan sekarang ini. Tapi, biar aja dia cari tau jawabannya sendiri nanti.
“Ngomong-ngomong, kamu sama Hari lagi sering berdua ya.” Kak Rivin menembak.
“Urusan kerjaan, kak.” Gue menyahut.
“Kalian keliatannya cocok sih.”
Kak Rivin sok-sok antusias sambil mengacungkan jari telunjuknya ke arah gue dan arah-arah lainnya. Ah, itu kan cuma pengalihan isu. Kak Rivin cuma mau menenangkan dirinya sendiri, tapi melempar isu seolah guelah yang perlu ditenangkan. Sejak kapan jadi galauan banget sih Kak Rivin ini.
“Kita harus pindah topik deh kak.” Gue berusul.
Gue gak mau ngobrolin apa-apa soal jodoh, siapa bertemu dengan siapa, dan bagaimana ceritanya, bla bla bla. Ini bukan waktunya untuk itu, baik secara momen, atau secara prinsip untuk diri gue sendiri.
Hari dan Eda buat gue memang ada di jalan cerita yang berbeda. Hari gak lebih sekedar teman. Kami saling menjaga biar di antara kami gak ada yang mati duluan akibat kena tembak atau kena angin duduk. Abaikan urusan kasur yang pernah kami berdua lakukan, maka kami berdua seperti saudara kandung.
Kak Rivin jelas kehabisan topik. Kemudian, diam kembali menjadi pilihan kami berdua.
“Aku haus, kamu punya minum, Dan?” Kak Rivin
Topik baru yang menarik. Gue juga haus. Sayangnya, gak ada cadangan air siap minum di mobilnya Jennifer.
“Waduh gak punya juga kak.” Jawab gue.
Alhasil, Kak Rivin pun berinisiatif ingin ke warung atau minimarket paling dekat supaya dahaganya terpenuhi.
“Aku beli minum dulu ya. Mau nitip gak?” Tawar Kak Rivin.
“Air putih deh kak.” Kata gue.
“Oke, kamu jaga mobil ya.”
Kak Rivin pergi berjalan ke arah jalanan di belakang mobil. Dia menjauhi arah rumah target dan berbelok ke kiri di salah satu perempatan jalan perumahan. Gue rasa gak ada warung di dekat sini, jadi Kak Rivin mungkin akan lama di jalan.
Gue kembali bermain hape, berfoto, dan berfilter di dalam mobil Jennifer, supaya di medsos nanti orang-orang tau gue masih hidup dan bahagia. Apalagi yang bisa dilakukan seorang yang menunggu, ya kan. Didukung background mobil dan daya tarik gue yang tinggi, kalau diupload sebagai foto profil di aplikasi biro jodoh pasti banyak cowok yang kepengen.
Saat sedang berfilter di dalam mobil, ada satu mobil lewat dari sisi luar mobil Jennifer. Gue gak peduli, sampai ketika mobil itu berhenti di depan rumah target kami.
Gue mendadak waspada. Lewat chatting, gue mencoba memberi pesan bersiaga kepada Hari yang sedang di dalam rumah target. Semoga mereka bisa cepat sembunyi sebelum tamu baru ini selesai memarkirkan mobilnya di garasi.
Sang sopir keluar dari mobil untuk membuka pagar. Dia berposturnya tinggi besar dan berotot. Di saat yang sama, Kak Rivin sudah kembali membawa serta belanjaannya. Bad luck for us, itu menarik perhatian sang sopir sehingga dia datang kemari.
Jendela mobil diketuk oleh sang sopir.
Gue menurunkan kaca jendela.
“Kenapa, Pak?” Gue bertanya.
“Mbak ada urusan apa ya parkir di sini?”
Mampus gue, jawab apa.
“Ini mobil temen saya pak, disuruh jaga sebentar.” Gue menjawab sopan.
Emang bener kan ini mobil temen gue, dan dia lagi pergi.
“Tolong mobilnya dipindahin ya mbak, ini bukan wilayah umum soalnya.” Kata sang sopir.
“Duh, kita gak ada yang bisa nyetir mobil nih.” Sahut gue.
Masih bener. Gue dan Kak Rivin emang gak ada yang punya sim A.
Tadi gue mulai punya kecurigaan dari kata-kata bapak sopir ini. Jalan masuk perumahan sini gak punya portal. Gak ada juga satpam yang jaga. Kenapa bisa dia bilang ini bukan wilayah umum.
“Temennya yang punya mobil ke mana ya?” Sang sopir nanya terus.
“Lagi mampir ke rumah itu.” Sahut gue lagi.
Gue menunjuk rumah bercat putih di sebelah rumah target.
Kemudian, sang sopir gak bertanya lagi. Dia beranjak pergi kembali ke mobilnya. Tapi, bukan untuk bener-bener pergi. Dia berdiskusi dengan seseorang di kursi penumpang, dan sepertinya itu hal yang buruk buat kami.
“Kamu gak salah ngomong kan?” Kak Rivin baru bicara.
“Semoga.” Nafas gue menderu.
Nyatanya gue memang salah ngomong. Sang sopir kembali lagi ke sini bersama satu orang berbadan besar lagi yang keluar dari pintu depan sebelah kursi sopir. Mereka berdua langsung merogoh celana belakangnya. Gue tau itu tipikal orang yang bersiap mengangkat pistol.
“Kak, apapun yang bakal kejadian, selalu nunduk.” Gue memerintahkan Kak Rivin.
Gue memeriksa lagi icer yang melekat di ikat pinggang. Aman. Waktunya beraksi. Gue keluar dari mobil dan berburu waktu dengan kecepatan sang sopir serta temannya yang sama-sama sedang mengangkat pistol. Bisa jadi mereka terlatih, bisa juga enggak, karena mengacungkan pistol dalam jarak dekat itu adalah perjudian.
Teori memegang pistol gue dapat bukan dari S.H.I.E.L.D. atau pun A.T.C.U., melainkan dari film-film laga. Jackie Chan dan Silvester Stalone bahkan bisa melawan balik orang-orang mengacungkan senjata dalam perkelahian jarak dekat. Dari situ, gue punya modal berani dan nekad.
Dengan teknik modal beladiri praktis, gue berusaha melawan. Gue menahan gerakan tangan sang sopir, lalu menembakkan icer ke arah dadanya. Kemudian gue berbalik badan sambil mengarahkan icer ke arah seorang lainnya menggunakan tameng manusia.
Posisi begini menunjukkan seolah gue adalah sandera si pak sopir, padahal dia sendiri sekarang udah pingsan, bersandar di bagian depan tubuh ue. Jangan pikir ini gampang, menahan badan seorang lelaki besar untuk tameng itu berat. Apalagi kini posisi berimbang, satu pistol juga turut diacungkan lawan gue ke arah jendela mobil, tempat Kak Rivin duduk di dalam sana.
“Jangan ngelawan! Atau temen lo di dalem mobil gue dor!” Katanya.
Menoleh adalah tindakan ceroboh. Gue hanya bisa melewatkan suara pintu mobil yang mereka kendarai tiba-tiba terbuka. Ada dua langkah kaki berbeda yang berlari terburu-buru. Asumsi gue, itu bos mereka yang pergi dari mobil untuk cepat masuk ke dalam rumah.
Dalam kondisi peluang 50:50, tiba-tiba sebuah tali datang menjerat leher lawan gue dari arah belakang. Sang pemegang tali dengan cepat mengencangkan jeratan tali itu supaya lawan gue tercekik. Sebentar kemudian. lawan gue gak lagi aktif bergerak. Mungkin dia pingsan atau mati.
Setelah lawan gue roboh, tampaklah siapa laki-laki itu. Purnawarman.
“Halo.” Pur menaikkan alisnya.
“Pur?” Gue terheran.
DUNG! Pagar besi tiba-tiba berdentum, mengalihkan perhatian gue dan Pur.
Pagar rumah yang tingginya dua meteran itu bengkok dari arah dalam. Luar biasa bengkoknya, karena pagar itu terbuat dari besi campuran. Suara dentuman yang tercipta bahkan terdengar seperti drum besi koson. Sebentar lagi pasti akan ramai tetangga untuk memeriksa keadaan di sini.
Kejutan lainnya datang, satu perempuan terlempar dari arah dalam rumah ke jalanan, disusul perempuan lain yang berjubah. Dia melompat tinggi melewati pagar. Begitu dia mendarat, tampaklah kalau dia itu partnernya Pur. Laras.
“Jenggo lari ke dalem, pintu rumahnya gak dikunci!” Laras berseru.
Itu adalah perintah yang diteriaki Laras kepada gue dan Pur.
“Titip Kak Rivin!” Gue balik berseru ke Laras.
Maka gue dan Pur bergegas masuk ke dalam rumah target. Situasi mendadak menegangkan di awal malam ini.
Laras barusan juga menyebut nama Jenggo. Itulah nama lelaki paruh baya yang dikejar-kejar Hari. Pur dan Laras kalo gak salah juga pernah bertemu dia sewaktu aksi di Karang Tengah. Tentu malam ini bakal jadi aksi yang bukan sembarangan karena mungkin perempuan yang dilawan Laras sekarang itulah yang bernama Niken.
Laras punya tugas yang gak gampang. Dia pernah cerita itu. Perempuan bernama Niken itu lumayan kuat. Belum lagi Laras harus ngejaga Kak Rivin supaya tetep aman di dalam mobil.
Biarlah Laras menari di luar sana. Kami harus masuk ke dalam rumah target.
“Kata Hari, kalian berdua pergi ke Vanaheim lagi?” Gue bertanya ke Pur.
“Kita gak pernah pergi dari Midgard, Dan.” Sahut Pur.
“Emangnya ada kejadian apa sih?” Gue bertanya lagi
“Lho, Hari belum cerita?”
Pur menjelaskan singkat soal pertentangan mereka dengan Nicole saat di Surabaya. Itu saat gue dan Erna dirawat di rumah sakit. Keputusan Hari waktu itu pada akhirnya ikut berdampak pada keanggotaan kami semua di A.T.C.U., dan gue barusan memastikannya karena lencana gue di dompet beneran hilang.
Hari kelewatan kali ini. Nasib orang lain dia bawa-bawa.
PRANG!!
Suara piring-piring pecah terdengar dari bagian rumah yang lebih dalam.
Suasana hati gue makin gak karuan. Semoga Hari, Jamet, sama Jennifer gak kenapa-kenapa.
---
POV Laras
“Ketemu lagi kita.” Gue tersenyum.
Di hadapan gue sekarang ada Niken, sang dokter sekaligus sang tangan kanan si Jenggo sialan itu.
“Unexpected, hah?” Ledek gue lagi.
Gue berhasil memberi serangan kejut dari balik pintu rumah. Terima kasih kepada Pur yang memberi ide membuka portal disitu saat waktunya tepat.
Serangan kepada Niken tadi sebenernya gak seberapa. Bahkan, itu tendangan yang biasa. Niken yang gue lawan waktu pertemuan pertama dibanding saat ini rasanya jauh berbeda. Gue tau dia sedang berusaha bersikap kuat, tapi gagal.
Dia sedang terjengkang di tengah jalan. Darah baru aja dimuntahkan dari mulutnya, maka itu pertanda buruk buat dia. Niken gue simpulkan langsung kalah dalam serangan pertama. Tapi. gue gak mau ngebunuh perempuan meski gue dan dia seimbang, sama-sama perempuan.
“You lose.” Gue menadah pedang ke arah leher Niken.
Wajahnya tampak lemah. Tanpa berkata-kata, gue tau dia mengaku kalah.
Gue beralih kepada Rivin, cewek titipan Dani. Gue melangkah menuju tempat sembunyinya di dalam mobil. Menjaganya kini adalah hal gampang tanpa gangguan musuh.
Gue bisa melihat kepala Rivin hilang-muncul di balik dashboard mobil. Mata gue dan mata Rivin sesekali bertemu, maka gue memberi isyarat kepadanya bahwa semua udah baik-baik aja.
Rivin malah balas melotot ke arah gue.
BUG!
Seketika punggung gue dihantam sesuatu yang besar dan berat. Badan gue terpental dan melayang lumayan jauh, lalu jatuh di tengah aspal. Begitu berbalik badan, terlihatlah Niken sudah segar kembali meski bibir hingga dagunya masih berlumur darah.
Benda yang dipakainya untuk memukul gue bahkan bukan main-main. Itu rambu jalan bertanda ada polisi tidur. Gimana mungkin gue bisa gak sesigap itu untuk mengantisipasi orang yang masih sempat mengangkat benda berat.
“Unexpected, hah?” Katanya, membalik kata-kata gue tadi.
BERSAMBUNG