Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

FANTASY - TAMAT Unnamed Inhumans 2: Einherjar

Episode 43
Keberanian Perempuan


POV Kak Rivin

Pernah terperangkap bersama mantannya mantan dalam sebuah mobil? Sekaranglah momen itu terjadi.

---

POV Dani

Apa gunanya kami berundi kalo akhirnya Kak Rivin gak bisa ikut ke dalam rumah sasaran. Harusnya gue yang tadi ikut ke sana bareng Hari. Bukannya kaya sekarang, terjebak sama pelakor di kursi depan, di dalam mobilnya Jennifer. Gue duduk di kursi sopir dan Kak Rivin di kursi satunya.

Ngomong-ngomong, kena tuahnya juga kan Kak Rivin. Dia ditinggal Eda demi orang lain lagi. Rasain. Bukannya sisi jahat gue keluar, bukan juga karena trauma gangbang kemarin yang mungkin udah ngerusak akal sehat gue. Gue cuma ngerasa lumayan lega ngeliat kesengsaraan dia.

Cukup.

Gue jelas lagi stress. Gak seharusnya gue berpikir jahat ke Kak Rivin. Gitu-gitu, dia asisten dosen paling baik ke angkatan gue waktu kuliah dulu.

Apa jangan-jangan dia punya niat tertentu dengan sifat baiknya itu ya.

Ah, gak boleh gue labil begini.

“Ehm.. Dani.” Itu suara Kak Rivin.
“Iya, kak?” Sahut gue.

Setelah memanggil, malah diam lagi. Habis itu Kak Rivin gak bicara apa-apa lagi. Dia cuma manggil doang dan itu terjadi dua kali. Ini situasi yang canggung jadinya. Kak Rivin salah tingkah, begitu juga gue yang jadi bingung harus merespon seperti apa.

Kemudian, handphone menjadi pilihan pelarian terbaik untuk menghilangkan semua itu. Untungnya sekarang udah banyak aplikasi yang cocok untuk buang-buang waktu. Beberapa tahun lalu mungkin orang-orang cuma punya facebook dan twit**ter, tapi zaman sekarang sekarang ada juga macam-macam aplikasi baru untuk membuang waktu. Pembodohan masyarakat, tapi praktis di kala seperti ini

Jadilah sekian belas menit kami berlalu bersama media sosial kekinian di tangan masing-masing.

“Dani!” Kak Rivin bernada tinggi.

Gue kaget dengan mulut terbuka.

“Gue minta maaf. Gak seharusnya gue begitu... soal Eda!”

Kak Rivin terburu-buru dalam setiap katanya. Hampir aja gue gak bisa denger apa yang dia bilang barusan. Kalo gak ada kata Eda di akhir kalimat itu, seratus persen gue kira Kak Rivin lagi kumur-kumur atau keselek nyamuk.

Waktu berlalu sekian detik, gue masih shock dengan bentakan Kak Rivin tadi. Gue mencoba-coba menganalisis bahwa yang itu tadi bukan bentakan. Itu cuma panggilan biasa dengan power suara yang lebih kuat dibanding panggilan sebelum-sebelumnya.

“Halo? Dani?” Kak Rivin melambaikan tangannya.
“Oh, i-iya kak?” Sahut gue.
“Gue gak tau harus apa lagi. Kalo mau marah, silahkan.” Kata Kak Rivin dengan gugupnya.

Gak baik mikirin cowok di masa-masa sekarang. Khususnya ini gak baik buat gue. Sejak dari Malang, gue mencoba menghapus Eda meski masih beberapa kali bertemu muka. Tapi, lagi-lagi, mengingat-ngingat Eda itu adalah hal buruk.

Eda bukan orang yang tepat. Gue terus mengulang itu hampir setiap hari.

Lalu, sekarang Kak Rivin membahas Eda panjang lebar dari titik pandang yang paling sensitif. Ini jelas mau mencari-cari pembenaran atas alasan Rivin hingga akhirnya Eda berpindah lagi ke orang lain. Padahal, baru aja gue punya pikiran macam-macam soal Kak Rivin. Kalo diterusin, pikiran gue makin macam-macam nanti.

Damn! gue diajak melakukan drama anak SMA bareng Kak Rivin sekarang.

Terakhir gue cek, masih ada satu pistol icer di saku gue. Bisa kali gue tembak Kak Rivin supaya diem.

“Soal Eda, aku udah gak mikirin lagi. Kalo ada masalah antara kakak sama Eda, itu masalah pribadi yang aku pun gak bisa ikut campur, oke?” Gue melambaikan tangan tanda menyerah.

Itulah rasa-rasanya fase terbijak gue soal percintaan dan permantanan. Semoga juga dengan gue bilang begitu, Kak Rivin bisa diam, lebih tenang, dan kecanggungan di antara kami berdua hilang. Seenggaknya selama kami berada di dalam mobil ini.

“S-So...?” Kak Rivin mencoba mencerna.
“Eda and the problem is yours.” Jawab gue lugas.

Yes! Go Dani! Itu tiga kata terberani yang terlontar dari mulut seorang Persadani Putri.

Gue bisa melihat raut muka Kak Rivin yang belum lega. Udah pasti masih tersimpang banyak tanya soal labirin pikiran lelaki bernama Eda. Banyak juga pertanyaan yang ujung-ujungnya mengarah ke keadaan sekarang ini. Tapi, biar aja dia cari tau jawabannya sendiri nanti.

“Ngomong-ngomong, kamu sama Hari lagi sering berdua ya.” Kak Rivin menembak.
“Urusan kerjaan, kak.” Gue menyahut.
“Kalian keliatannya cocok sih.”

Kak Rivin sok-sok antusias sambil mengacungkan jari telunjuknya ke arah gue dan arah-arah lainnya. Ah, itu kan cuma pengalihan isu. Kak Rivin cuma mau menenangkan dirinya sendiri, tapi melempar isu seolah guelah yang perlu ditenangkan. Sejak kapan jadi galauan banget sih Kak Rivin ini.

“Kita harus pindah topik deh kak.” Gue berusul.

Gue gak mau ngobrolin apa-apa soal jodoh, siapa bertemu dengan siapa, dan bagaimana ceritanya, bla bla bla. Ini bukan waktunya untuk itu, baik secara momen, atau secara prinsip untuk diri gue sendiri.

Hari dan Eda buat gue memang ada di jalan cerita yang berbeda. Hari gak lebih sekedar teman. Kami saling menjaga biar di antara kami gak ada yang mati duluan akibat kena tembak atau kena angin duduk. Abaikan urusan kasur yang pernah kami berdua lakukan, maka kami berdua seperti saudara kandung.

Kak Rivin jelas kehabisan topik. Kemudian, diam kembali menjadi pilihan kami berdua.

“Aku haus, kamu punya minum, Dan?” Kak Rivin

Topik baru yang menarik. Gue juga haus. Sayangnya, gak ada cadangan air siap minum di mobilnya Jennifer.

“Waduh gak punya juga kak.” Jawab gue.

Alhasil, Kak Rivin pun berinisiatif ingin ke warung atau minimarket paling dekat supaya dahaganya terpenuhi.

“Aku beli minum dulu ya. Mau nitip gak?” Tawar Kak Rivin.
“Air putih deh kak.” Kata gue.
“Oke, kamu jaga mobil ya.”

Kak Rivin pergi berjalan ke arah jalanan di belakang mobil. Dia menjauhi arah rumah target dan berbelok ke kiri di salah satu perempatan jalan perumahan. Gue rasa gak ada warung di dekat sini, jadi Kak Rivin mungkin akan lama di jalan.

Gue kembali bermain hape, berfoto, dan berfilter di dalam mobil Jennifer, supaya di medsos nanti orang-orang tau gue masih hidup dan bahagia. Apalagi yang bisa dilakukan seorang yang menunggu, ya kan. Didukung background mobil dan daya tarik gue yang tinggi, kalau diupload sebagai foto profil di aplikasi biro jodoh pasti banyak cowok yang kepengen.

Saat sedang berfilter di dalam mobil, ada satu mobil lewat dari sisi luar mobil Jennifer. Gue gak peduli, sampai ketika mobil itu berhenti di depan rumah target kami.

Gue mendadak waspada. Lewat chatting, gue mencoba memberi pesan bersiaga kepada Hari yang sedang di dalam rumah target. Semoga mereka bisa cepat sembunyi sebelum tamu baru ini selesai memarkirkan mobilnya di garasi.

Sang sopir keluar dari mobil untuk membuka pagar. Dia berposturnya tinggi besar dan berotot. Di saat yang sama, Kak Rivin sudah kembali membawa serta belanjaannya. Bad luck for us, itu menarik perhatian sang sopir sehingga dia datang kemari.

Jendela mobil diketuk oleh sang sopir.

Gue menurunkan kaca jendela.

“Kenapa, Pak?” Gue bertanya.
“Mbak ada urusan apa ya parkir di sini?”

Mampus gue, jawab apa.

“Ini mobil temen saya pak, disuruh jaga sebentar.” Gue menjawab sopan.

Emang bener kan ini mobil temen gue, dan dia lagi pergi.

“Tolong mobilnya dipindahin ya mbak, ini bukan wilayah umum soalnya.” Kata sang sopir.
“Duh, kita gak ada yang bisa nyetir mobil nih.” Sahut gue.

Masih bener. Gue dan Kak Rivin emang gak ada yang punya sim A.

Tadi gue mulai punya kecurigaan dari kata-kata bapak sopir ini. Jalan masuk perumahan sini gak punya portal. Gak ada juga satpam yang jaga. Kenapa bisa dia bilang ini bukan wilayah umum.

“Temennya yang punya mobil ke mana ya?” Sang sopir nanya terus.
“Lagi mampir ke rumah itu.” Sahut gue lagi.

Gue menunjuk rumah bercat putih di sebelah rumah target.

Kemudian, sang sopir gak bertanya lagi. Dia beranjak pergi kembali ke mobilnya. Tapi, bukan untuk bener-bener pergi. Dia berdiskusi dengan seseorang di kursi penumpang, dan sepertinya itu hal yang buruk buat kami.

“Kamu gak salah ngomong kan?” Kak Rivin baru bicara.
“Semoga.” Nafas gue menderu.

Nyatanya gue memang salah ngomong. Sang sopir kembali lagi ke sini bersama satu orang berbadan besar lagi yang keluar dari pintu depan sebelah kursi sopir. Mereka berdua langsung merogoh celana belakangnya. Gue tau itu tipikal orang yang bersiap mengangkat pistol.

“Kak, apapun yang bakal kejadian, selalu nunduk.” Gue memerintahkan Kak Rivin.

Gue memeriksa lagi icer yang melekat di ikat pinggang. Aman. Waktunya beraksi. Gue keluar dari mobil dan berburu waktu dengan kecepatan sang sopir serta temannya yang sama-sama sedang mengangkat pistol. Bisa jadi mereka terlatih, bisa juga enggak, karena mengacungkan pistol dalam jarak dekat itu adalah perjudian.

Teori memegang pistol gue dapat bukan dari S.H.I.E.L.D. atau pun A.T.C.U., melainkan dari film-film laga. Jackie Chan dan Silvester Stalone bahkan bisa melawan balik orang-orang mengacungkan senjata dalam perkelahian jarak dekat. Dari situ, gue punya modal berani dan nekad.

Dengan teknik modal beladiri praktis, gue berusaha melawan. Gue menahan gerakan tangan sang sopir, lalu menembakkan icer ke arah dadanya. Kemudian gue berbalik badan sambil mengarahkan icer ke arah seorang lainnya menggunakan tameng manusia.

Posisi begini menunjukkan seolah gue adalah sandera si pak sopir, padahal dia sendiri sekarang udah pingsan, bersandar di bagian depan tubuh ue. Jangan pikir ini gampang, menahan badan seorang lelaki besar untuk tameng itu berat. Apalagi kini posisi berimbang, satu pistol juga turut diacungkan lawan gue ke arah jendela mobil, tempat Kak Rivin duduk di dalam sana.

“Jangan ngelawan! Atau temen lo di dalem mobil gue dor!” Katanya.

Menoleh adalah tindakan ceroboh. Gue hanya bisa melewatkan suara pintu mobil yang mereka kendarai tiba-tiba terbuka. Ada dua langkah kaki berbeda yang berlari terburu-buru. Asumsi gue, itu bos mereka yang pergi dari mobil untuk cepat masuk ke dalam rumah.

Dalam kondisi peluang 50:50, tiba-tiba sebuah tali datang menjerat leher lawan gue dari arah belakang. Sang pemegang tali dengan cepat mengencangkan jeratan tali itu supaya lawan gue tercekik. Sebentar kemudian. lawan gue gak lagi aktif bergerak. Mungkin dia pingsan atau mati.

Setelah lawan gue roboh, tampaklah siapa laki-laki itu. Purnawarman.

“Halo.” Pur menaikkan alisnya.
“Pur?” Gue terheran.

DUNG! Pagar besi tiba-tiba berdentum, mengalihkan perhatian gue dan Pur.

Pagar rumah yang tingginya dua meteran itu bengkok dari arah dalam. Luar biasa bengkoknya, karena pagar itu terbuat dari besi campuran. Suara dentuman yang tercipta bahkan terdengar seperti drum besi koson. Sebentar lagi pasti akan ramai tetangga untuk memeriksa keadaan di sini.

Kejutan lainnya datang, satu perempuan terlempar dari arah dalam rumah ke jalanan, disusul perempuan lain yang berjubah. Dia melompat tinggi melewati pagar. Begitu dia mendarat, tampaklah kalau dia itu partnernya Pur. Laras.

“Jenggo lari ke dalem, pintu rumahnya gak dikunci!” Laras berseru.

Itu adalah perintah yang diteriaki Laras kepada gue dan Pur.

“Titip Kak Rivin!” Gue balik berseru ke Laras.

Maka gue dan Pur bergegas masuk ke dalam rumah target. Situasi mendadak menegangkan di awal malam ini.

Laras barusan juga menyebut nama Jenggo. Itulah nama lelaki paruh baya yang dikejar-kejar Hari. Pur dan Laras kalo gak salah juga pernah bertemu dia sewaktu aksi di Karang Tengah. Tentu malam ini bakal jadi aksi yang bukan sembarangan karena mungkin perempuan yang dilawan Laras sekarang itulah yang bernama Niken.

Laras punya tugas yang gak gampang. Dia pernah cerita itu. Perempuan bernama Niken itu lumayan kuat. Belum lagi Laras harus ngejaga Kak Rivin supaya tetep aman di dalam mobil.

Biarlah Laras menari di luar sana. Kami harus masuk ke dalam rumah target.

“Kata Hari, kalian berdua pergi ke Vanaheim lagi?” Gue bertanya ke Pur.
“Kita gak pernah pergi dari Midgard, Dan.” Sahut Pur.
“Emangnya ada kejadian apa sih?” Gue bertanya lagi
“Lho, Hari belum cerita?”

Pur menjelaskan singkat soal pertentangan mereka dengan Nicole saat di Surabaya. Itu saat gue dan Erna dirawat di rumah sakit. Keputusan Hari waktu itu pada akhirnya ikut berdampak pada keanggotaan kami semua di A.T.C.U., dan gue barusan memastikannya karena lencana gue di dompet beneran hilang.

Hari kelewatan kali ini. Nasib orang lain dia bawa-bawa.

PRANG!!

Suara piring-piring pecah terdengar dari bagian rumah yang lebih dalam.

Suasana hati gue makin gak karuan. Semoga Hari, Jamet, sama Jennifer gak kenapa-kenapa.

---

POV Laras

“Ketemu lagi kita.” Gue tersenyum.

Di hadapan gue sekarang ada Niken, sang dokter sekaligus sang tangan kanan si Jenggo sialan itu.

“Unexpected, hah?” Ledek gue lagi.

Gue berhasil memberi serangan kejut dari balik pintu rumah. Terima kasih kepada Pur yang memberi ide membuka portal disitu saat waktunya tepat.

Serangan kepada Niken tadi sebenernya gak seberapa. Bahkan, itu tendangan yang biasa. Niken yang gue lawan waktu pertemuan pertama dibanding saat ini rasanya jauh berbeda. Gue tau dia sedang berusaha bersikap kuat, tapi gagal.

Dia sedang terjengkang di tengah jalan. Darah baru aja dimuntahkan dari mulutnya, maka itu pertanda buruk buat dia. Niken gue simpulkan langsung kalah dalam serangan pertama. Tapi. gue gak mau ngebunuh perempuan meski gue dan dia seimbang, sama-sama perempuan.

“You lose.” Gue menadah pedang ke arah leher Niken.

Wajahnya tampak lemah. Tanpa berkata-kata, gue tau dia mengaku kalah.

Gue beralih kepada Rivin, cewek titipan Dani. Gue melangkah menuju tempat sembunyinya di dalam mobil. Menjaganya kini adalah hal gampang tanpa gangguan musuh.

Gue bisa melihat kepala Rivin hilang-muncul di balik dashboard mobil. Mata gue dan mata Rivin sesekali bertemu, maka gue memberi isyarat kepadanya bahwa semua udah baik-baik aja.

Rivin malah balas melotot ke arah gue.

BUG!

Seketika punggung gue dihantam sesuatu yang besar dan berat. Badan gue terpental dan melayang lumayan jauh, lalu jatuh di tengah aspal. Begitu berbalik badan, terlihatlah Niken sudah segar kembali meski bibir hingga dagunya masih berlumur darah.

Benda yang dipakainya untuk memukul gue bahkan bukan main-main. Itu rambu jalan bertanda ada polisi tidur. Gimana mungkin gue bisa gak sesigap itu untuk mengantisipasi orang yang masih sempat mengangkat benda berat.

“Unexpected, hah?” Katanya, membalik kata-kata gue tadi.

BERSAMBUNG
 
Terakhir diubah:
Bakalan seru nih... penyerbuan yg akhirnya diketahui musuh...

Lanjuutttt....
 
Episode 44
Dimensi Mimpi


POV Laras

Pagi.

Bukan pagi rupanya. Udah jam sebelas.

Di luar jendela sana ada yang mengetuk-ngetuk. Siapa itu.

Ini lantai 3 apartemen.

Pur masih tergolek meneteskan liur ke atas bantalnya. Di sebelah gue.

Gue putuskan untuk bangun saja dari kasur. Meski Cuma baju kemeja longgar, polos, dan tipis yang gue pakai. Cuma melirik jendela. Kalau nanti ternyata kurcaci Nidavellir yang datang, tinggal tebas aja pakai pedang.

Korden jendela yang tebal dan putih tipis itu gue geser. Nampaklah burung dara bergantung di pagar balkon. Di kakinya ada surat, pesan, balasan dari Vaneheim sepertinya.

Biarkan Pur tidur dulu, dia kebanyakan menunggangi gue semalam suntuk. Ini juga bukan ancaman.

Pintu balkon gue buka. Selangkah gue hampiri burung dara itu yang gak takut ada makhluk selain spesiesnya di sana. Gue ambil surat dari kakinya. Ketika tugasnya selesai, pergilah burung dara itu, terbang dengan kepakan sayapnya yang langsung naik ke atas hingga tak terlihat.

Penulis pesan burung ini si Rosi. Orang baik yang kami kira jahat pada awalnya.

Dia masih mencari Raja Frey, tapi bukan itu yang mau diceritakannya. Rosi mau merinci lagi soal hancurnya Asgard. Ada anak pertama Odin yang berpengaruh di sana, waktu itu. Hela si Dewi Kematian. Gue gak pernah liat dan Odin juga menyembunyikan fakta sejarah itu nampaknya.

Tapi akhir dari Asgard tetaplah sesuai nubuat yang ada sejak dulu. Surtur pelakunya. Asgard udah menjadi masing-masing puing yang terbang di kosmos, mencari orbitnya sendiri atau tetap melayang tanpa arah hingga suatu saat nanti.

Odin belum tau kabarnya. Thor belum tau kabarnya. Loki belum tau kabarnya. Lady Sif dan Wariors Three juga belum tau kabarnya. Dalam insiden itu Vanaheim bahkan kehilangan satu warganya, kata surat yang ditulis Rosi.

“Apa itu?” Suara Pur mengangetkan.
“Surat dari Rosi.” Jawab gue sekenanya.
“Soal?”
“Asgard.”

Pur mengejap-ngejapkan matanya. Lama kemudian, dia bangkit untuk pergi ke kamar mandi. Aktivitas yang biasa-biasa aja kami lakukan untuk menyiapkan diri keluar dari kamar. Mencari makan siang ini.

Siapa bilang kami pergi dari bumi. Hari terlalu sentimentil sama Nicole waktu itu. Ada janji yang harus kami tepati, dan orang Asgard selalu tepat janji. So, hari ini, setelah makan, kami akan keliling-keliling melihat Hari, Erna, dan Dani dari jauh. Malamnya mungkin gue mau pergi ke Mall Ambassador untuk lihat-lihat.

Portal dibuka. Batu rune udah kembali ke tangan gue setelah disita Pur.

“Lho? Hari ke mana?” Pur mengintip dari portal yang dibuka sebesar jempol.

Gue dan Pur sama-sama terkejutnya ketika Hari gak ada di kamar apartemen. Ketika gak ada Hari, maka otomatis juga gak ada Dani.

Rumahnya yang di Tanah Abang juga kosong. Di kampusnya juga gak ada, lagian kurang kerjaan juga udah lulus lama masih main gak jelas ke kampus. Tempat-tempat yang biasa di ceritakan Hari dan Dani untuk nongkrong juga udah kami hampiri. Gak ada mereka.

“Cek ke mana lagi nih?” Gue bertanya
“Liat Erna dulu deh.” Usul Pur.

Kami tau rumah Erna. Alamatnya udah tercatat. Datanglah kami ke sana diam-diam.

Lho? Apa ini ada ramai-ramai di rumah Erna?

Pur lalu mencoba menyamar sebagai salah satu anggota keluarga besar Erna. Penyamaran biasa, ilmu penyihir khas Ratu Frigga dan Loki. Dia jadi kakek-kakek ceritanya. Sementara itu, gue menunggu di suatu warung pinggir jalan sambil minum teh botol.

Setengah jam kemudian Pur kembali. Dia mendapat info yang tidak baik karena rupanya bapak Erna meninggal akibat sakitnya yang udah lama itu. Ada Hari dan Dani di sana. Banyak juga teman-teman kampus mereka yang datang. Tapi, yang menjadi pusat kekhawatiran kami adalah Erna. Dia gak mau keluar dari kamar.

Tiba-tiba Hari lewat dengan di hadapan kami bersama motornya. Dani duduk di kursi penumpang. Mereka nampak terburu-buru memacu motornya, dan bagusnya mereka gak melihat kami.

“Ikutin! Ikutin!” Seru gue.

Jadilah kami main kucing-kucingan hari ini. Kayanya bakal lama. Gagal rencana gue main ke Mall Ambassador.

Hingga menjelang maghrib, kami mengekori Hari sampai ke perumahan besar. Di sana dia bertemu teman lainnya. Orang terakhir yang datang ke dalam gerombolan mereka adalah perempuan berambut panjang yang menumpang ojek online. Kami mengamati dari kejauhan sini dengan penuh kehati-hatian.

Kami mengamati sampai lapar, dan kebetulan lewat tukang siomay.

“Mereka mau ngapain?” Pur tersedak siomaynya.

Siapa yang pernah menyangka mereka akan lompat pagar untuk bisa masuk ke dalam suatu rumah. Sementara itu, perempuan berambut panjang yang tadinya ingin ikut, justru kembali ke dalam mobil.

Ada Dani juga di dalam mobil, dia gak ikut lompat pagar.

Beberapa waktu kemudian, si perempuan berambut panjang lewat itu di depan kami. Kami sempat sapa-menyapa sebelum dia melanjutkan jalannya. Gak lama kemudian, dia balik lagi dengan sekantong plastik jajanan.

Amat-mengamati menjadi menegangkan ketika Dani tiba-tiba terlibat perkelahian dengan dua orang bodyguard pemilik rumah. Saat itulah kami muncul seperti pahlawan super yang tipikal telat datang. Bala bantuan seperti ini nampaknya keren seperti adegan klimaks dalam film Star Wars, Narnia, atau Lord of the Ring. Padahal biasa aja.

Itulah bagaimana gue bisa berhadapan kembali dengan Niken sekarang, setelah di Karang Tengah.

---

POV Nando

Gue telah melanglang buana bertemu orang yang bermacam-macam. Ada yang baik dan ada yang jahat. Ada orang eksak, di mana itu termasuk relung gue, ada juga orang-orang humaniora yang pandai bicara. Gue bertemu dengan mereka dengan pola pikirnya masing-masing.

Gue sering menemui berbagai kasus traumatik yang pada akhirnya gue dimintai tolong untuk melakukan konseling. Itu dulu, ketika gue terlalu muda untuk menjadi dewasa. Ketika gue masih SMA di Payakumbuh, dan orang-orang di sana masih percaya mitos. Padahal kalo flu sedikit udah minum obat generik.

Ini semua karena sindrom di otak gue yang dianggap mereka sebagai karomah. Karomah melihat mimpi-mimpi dan menerjemahkannya. Bukan untuk hal buruk macam togel, tapi memberi saran hidup dan konseling.

Konseling tetangga ini, tetangga itu. Orang curhat, orang stress, orang kehilangan arah hidup.

“Waang jan bapindah galo ka Jakarta, urang kito paralu nasihat ni.”

Gue gak boleh pindah ke Jakarta, kata orang-orang dusun di sana waktu itu. Waktu gue dapat beasiswa untuk melanjutkan kuliah. Cuma almarhum bapak yang setuju gue pergi jauh dari kampung. Itu supaya gue gak berakhir menjadi dukun kampung sampai tua.

Gak ada yang tau kondisi gue selain keluarga dan orang kampung, dan semuanya udah gak bisa menjangkau gue sama sekali. Mamak meninggal waktu gue kecil, dan bapak menyusul mamak waktu gue merantau di Jakarta. Gak ada saudara dan orang kampung juga di ibu kota, karena semuanya punya pemikiran yang terlalu kecil dan Jawa terlalu besar. Karena itulah kampung kami menjadi anomalinya orang minang yang harusnya suka merantau.

Jadilah gue sendirian di Jakarta selama 5 tahun ke belakang.

Selama tinggal di Jakarta, semua kenalan gue yang ada di Jakarta dan daerah-daerah lainnya gak ada yang pernah tau tentang karomah gue. Kecuali dokter konseling gue selama di ibukota. Gak juga Erna yang sedang gue masuki mimpinya sekarang.

Hal kejam yang dimimpikan Erna sekarang, meski gue pernah melihat yang lebih kejam.

Gue sedang tidur. Gue sedang dalam mimpinya Erna.

Ini adalah menit-menit akhir. Tiga orang masuk ke dalam ruangan yang pencahayaannya remang-remang ini. Erna di sana udah gak mampu bersuara, mulutnya bahkan gak sama sekali menutup. Dari pinggir bibirnya mengering sperma-sperma dari berbagai rupa orang-orang itu.

Tatapan mata Erna kosong. Gue bahkan melihat pupil matanya membesar dan gak bergerak sama sekali. Dia jelas udah shock dengan kejadian yang dialaminya itu.

Gak adanya respon melawan dari Erna membuat dua dari tiga lelaki pemburu nafsu syahwat dengan mudah menggerayangi dia. Tangan Erna gak lagi terikat, melainkan dipaksa memegang batang-batang kemaluan yang jelek itu.

Gue menghela nafas.

Kalau saja gue baru pertama kali melihat kejadian ini, gue bisa aja pingsan. Tapi ini udah kesekian kalinya gue mengintip isi kepala seseorang. Ini yang gue intip bukanlah berupa angan-angan, tapi pengalaman mereka. Kadang hal baik, tapi seringnya hal buruk. Akhirnya gue terbiasa dengan ini di usia yang terlampau belia. Panjang ceritanya.

Tapi gue masih mencoba memahami Erna. Dia yang dipaksa berjongkok di antara selangkangan dua lelaki. Dia yang dipaksa mengulum dua kemaluan itu bersama kedua tangannya yang mungil. Hijab yang seharusnya menutup rambutnya bahkan sudah mengerak dengan ceceran sperma di sudut lantai sana.

“Uhh.. Ini yang gue demen, men.” Kata si lelaki.

Kata-kata itu diaminkan oleh rekannya. Mereka berdua udah dibutakan nafsu.

Harusnya di sebelah kiri Erna ada Dani. Tapi Dani udah menghilang dari ingatan Erna selang beberapa jam lalu, di masa-masa itu. Biarkanlah, kehilangan beberapa detail ingatan itu wajar. Untuk momen seperti ini, justru lebih baik dilupakan semuanya.

Gue gak mau melihat, tapi gue harus. Apa yang dialami Erna sangat mungkin disembuhkan. Ini masalah psikologi biasa yang sering dialami banyak orang. Meski, gue bukan sarjana psikologi.

Dan sekarang adalah main couse buat dua lelaki itu. Erna dipaksa menungging, wajahnya menghadap ke atas. Seorang menyusup ke bawah tubuh Erna, sedangkan seorang lagi berdiri dihadapan kedua kakinya. Itu yang mereka mau lakukan sangatlah kejam.

Dua hujaman di dua lubang yang berbeda harus dirasakan Erna. Dia menjerit, tapi gak sanggup lagi dengan suara yang melengking. Tapi dia juga punya fisik terlalu kuat untuk bisa pingsan. Kombinasi hal-hal itu merupakan derita yang luar biasa karena otak masih bisa bekerja menerjemahkan apa yang dirasakan syaraf-syaraf reseptor.

Gue harap Erna pingsan aja. Tapi percuma, karena hal ini telah kejadian.

Lihat itu, ketika satu lelaki yang sepertinya tadi mengerjai Dani kini ikut ingin mengerjai Erna. Mulutnya bertambah dijejali satu batang kemaluan lagi dengan hujamannya yang dipaksakan begitu dalam. Batuk dan tersedak udah pasti dialami Erna berkali-kali.

Baru juga sebentar, Erna dihujani lagi guyuran sperma di wajahnya. Sementara, dua lubang di bawahnya masih dipermainkan secara liar. Sangat liar dan tanpa belas kasihan.

Gue mengiba. Cowok normal mana pula yang bisa terangsang melihat kejadian ini. Apalagi si korban adalah teman gue. Yang ada, gue menahan amarah dari tadi kepada kelompok ini. Tapi, biarkanlah, mereka telah menerima balasannya kan.

“Mesum.” Suara perempuan tiba-tiba muncul.

Sesosok perempuan berbaju kaos oblong putih datang sambil menyelipkan kedua tangannya di saku celana jeans.

“Lama gak ada kabar, tiba-tiba masuk ke mimpi orang gak permisi.” Gue misuh-misuh.
“Permisi.”
“Terserah.” Gue menyunggingkan senyum yang ditahan.

Cewek ini tiba-tiba muncul, sahabat kecil gue, sesama pemilik penyakit otak. Sebenernya posisi aslinya dia sekarang entah ada di mana. Lama gak bertemu. Tapi dia terikat sama gue, sehingga bisa menyusup ke alam bawah sadar gue dan alam bawah sadar orang yang sedang gue jelajahi.

Sebenernya gue juga bisa menyusup ke dalam alam bawah sadar dia. Tapi semakin dewasa, semakin gue tau tata krama. Apalagi dia cewek. Gak baik mengintip isi kepala cewek.

Dia jugalah yang merekomendasikan tempat konsultasi penyakit otak gue ini di Jakarta.

“Dia anaknya Pak Mursala yang kamu ceritain itu?” Tanya dia.
“Seratus.” Gue menanggapi.
“Temen kampus?”
“Seratus lagi.”

Cewek ini ikut memberi opini tentang beberapa detail ingatan yang hilang dari Erna. Dia berceloteh tentang di mana posisi Dani sebenarnya dalam ruangan ini, dan sedang apa Dani dalam kondisi aslinya. Dari situ gue bisa tau rupanya Dani punya mental yang lebih kuat dibanding Erna di hari itu. Well, pantas Dani sikapnya biasa aja waktu ketemu tadi siang.

Gue dan dia berujung dalam diskusi aktif. Tentang sains otak, tentang trauma, tentang mimpi lucid, hingga tentang kabar masing-masing

Erna dan semua kegiatannya bahkan mendadak bergerak sangat lambat saat kami bicara banyak, malah hampir gak bergerak. Momen diskusi kami pun nampak seperti efek nan indah, bermain dalam relativitas waktu yang bukan sebenarnya.

Selamat datang di Dimensi Mimpi.

Dimensi inilah yang mempertemukan gue dengan Pak Mursala beberapa bulan lalu. Dia bermain dalam masa-masa indahnya. Gue tertarik sejak awal sama Pak Mursala karena kampung halaman kami bertetangga. Sama-sama punya kisah orang Minang. Bahkan, penggambaran Danau Singkarak, tingginya Gunung Singgalang, Rumah Gadang, semuanya sempurna di masa-masa lampau itu.

Gue suka langsung tidur setelah pulang bekerja, mencari Pak Mursala di dimensi mimpi. Kami mulai banyak bercerita tentang indahnya Negeri Minangkabau. Gue sangat suka latar ketika dia senam pagi di depan rumahnya, berlatar Gunung Singgalang yang menjulang tinggi dengan erupsi kecilnya. Gue suka latar dia dan teman-temannya menjelajahi sungai yang masih beriak airnya. Itu sangat indah diceritakan saat dunia belum serusak dan sekacau sekarang.

Si cewek temen gue ini, meski sering masuk dalam batas mimpi gue, sayangnya gak sekalipun sempat ketemu Pak Mursala. Pak Mursala suka banget melompat-lompat dalam relativitas waktu. Tapi, karena hal itulah lama-lama gue curiga dia bukan personifikasi dimensi mimpi, melainkan manusia nyata.

Rupanya benar. Itu terbongkar saat gue berusaha bertanya-tanya mengenai kisah hidupnya. Pak Mursala rupa-rupanya adalah bapak dari Erna, temen kampus gue sendiri. Coba lihat ekspresi gue waktu kaget setengah mampus itu.

“Pak Mursala, bapak harus pulang sekarang. Terlalu lama di sini, bapak bisa meninggal karena duka, karena kenangan. Tubuh bapak juga kan gak pernah makan.”

Itu kata-kata yang selalu berulang gue bilang ke Pak Mursala. Tapi dia terlalu naif daripada umurnya yang berkepala lima itu. Akhirnya dia harus lenyap begitu aja sebelum gue sempat menelepon Erna. Di saat-saat terakhirnya, gue dipaksa berjanji menjaga Erna. What the...!

Tapi karena Pak Mursala keburu meninggal, gue paksakan resign dari kerjaan di Pekanbaru dan balik ke Jakarta, ke Depok. Di sini keadaan Erna juga sama parahnya dari yang gue kira.

“Mereka keluar.. Mereka keluar..” Sahabat gue menepuk lengan gue.

Yap, mereka mengeluarkan sperma-sperma mereka di kedua belah bokong Erna. Jijik.

Gue menggelengkan kepala. Lalu gue Kaget!

Gue kira inilah akhir ceritanya. Tapi rupanya ronde selanjutnya masih ada. Aneh. Dari ruang yang tercipta dalam mimpinya Erna, ini bukanlah ingatan berdasar pengalaman lagi.

“Ooooh, keren!” Kata sahabat gue.
“Ingatan buatan, ini gak bagus ya.” Gue mendelik.

Lihat kesedihan Erna itu. Lihat yang dibuatnya ini. Semuanya terkomposisi seperti apa yang dikhayal Erna. Ini gak baik karena dia mulai mengkhayal hal-hal yang lebih buruk. Traumanya kuat, terlalu kuat.

“I have to go. See ya.” Kata temen gue itu, terburu-buru.
“Ken? Niken?” Panggil gue.

Belum selesai gue bicara dan menoleh, Niken udah menghilang. Selalu begitu.

BERSAMBUNG
 
Terakhir diubah:
skr jadwal update kembali sprt biasa / ganti jadwal om @Robbie_Reyes
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd