Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

FANTASY - TAMAT Unnamed Inhumans 2: Einherjar

Bimabet
Kalau nando dan erna tetangga desa, dan niken sahabat kecil nando, apa erna kenal niken sebelumnya..?

Tambah seru ceritanya
 
Thx updatenya hu
Niken meninggalkan Nando karena berhadapan dengan Laras atau karena ada sesuatu di mimpi Erna?
 
Episode 45
Obat


POV Laras

Gue harap orang-orang belum ramai berkerumun sebelum Niken ini makin macam-macam. Sekarang aja udah banyak tetangga yang ngerekam sana sini. Tadi juga ada bapak-bapak dan satpam yang mau melerai gue, tapi kena hantam duluan sama Niken dan tiang besinya.

Niken gak sama sekali lemah seperti yang ditunjukkannya tadi. Dia nampak seperti hewan buas, menggeram dengan tatapan matanya yang tajam. Gue sebenernya juga gak kalah aneh dengan pakaian einherjar ini. Mirip orang yang malam-malam iseng bercosplay tepatnya.

“Pak, dia bukan manusia sembarangan, begitu juga saya. Biar saya yang hadapi ya sebelum makin parah.” Kata gue ke bapak-bapak.

Si bapak-bapak itu kayanya Pak RT atau RW sini, soalnya sibuk sendiri dari tadi. Dia juga meminta gue jangan sampai merusak lingkungan sekitar. Polisi dan ambulans juga udah ditelepon katanya. Haduh, ribet.

Niken tiba-tiba mengayun-ayunkan senjata barunya itu ke arah gue yang lagi dikerumuni sama orang-orang. Hal itu membuat gue mengusir jauh semua orang. Termasuk Rivin yang berhasil kabur dari dalam mobil.

Niken menggeram lagi.

Geraman ini sering kudengar dari kurcaci Nidavellir yang berisik-berisik itu. Atau cerita dari Rosi soal geraman para berserkernya Hela. Atau beruang grizzly yang lapar di Amerika sana.

Niken bukan lagi Niken sebagai manusia, kalau gue tebak. Rambut panjangnya tergerai acak-acakan. Kaos oblongnya kotor di sana-sini akibat bergulingan di aspal. Kedua tangannya kuat mengganggam besi rambu jalan. Tapi gimana itu bisa terjadi dalam waktu 4 menit ke belakang?

“Grrrgghhh...”

Liur Niken menetes dari mulutnya. Itu menjadikannya lebih mirip anjing rabies atau sapi antraks. Lebih bahayanya, Niken menjadi buas seperti gabungan makhluk-makhluk yang gue sebut tadi. Terlebih makin banyak warga yang berkumpul dan menjadi sok penting.

“Pak, cek rumah yang di dalam.” Gue secara harfiah memerintah Pak RT.

Setelah mewariskan informasi. Kini saatnya membawa Niken ke tempat yang lebih sepi.

Gue mengeluarkan batu rune berukir gambar gapura dari saku. Batu itu gue gesek searah dari pangkal hingga ujung pedang. Ketika pedang gue berpendar, itulah saatnya gue membuat portal.

Ke Australia. Ke Gurun Besar Victoria. Itu yang pertama terlintas di pikiran gue. Gak ada manusia yang mau tinggal di sana. Bahkan tumbuhan yang ada pun cuma yang benar-benar bisa beradaptasi dalam lingkungan kering ekstrim.

Setelah potal terbuat, gue melempar lipatan antar-ruang itu kepada Niken. Kejadiannya nampak seperti orang yang ditelan cacing besar Alaska. Candaan kartun Spongebob, you know. Lama tinggal di midgard bikin gue nonton acara tivi macam-macam.

“Liat, kan. Saya bukan manusia biasa-biasa. Ini rahasia ya pak.” Gue bilang ke Pak RT yang masih menganga melihat kejadian barusan.

“Mana yang namanya Rivin?” Gue mencari.
“S-saya..” Satu perempuan datang dari balik kerumunan.
“Cari Dani. Suruh telepon Akmal.”

Gue berpesan lagi.

Sekarang saatnya menyusul Niken.

Namun, selangkah sebelum masuk ke portal, gue menginjak sebuah botol kaca. Botol kecil yang warnanya bening itu dengan tutup karet buntu. Gue terlalu penasaran untuk gak membuka botol itu.

Di dalamnya sangat bau obat-obatan, tapi sudah gak berisi apapun. Hanya ada kertas tempel dengan tulisan dokter di luar botol itu. Tulisannya jelek namun punya tujuan mulia supaya gak bisa dibaca orang lain. Ingatlah kami bisa All-speak. Jadi, gue bisa membaca tulisan ini.

Dosis 2 mL. Cara pemakaian: disuntik.

Ini dia lah mungkin penyebabnya Niken bisa bertingkah seperti itu. Botol ini mungkin ukurannya 30 mL, namun udah habis semuanya.

Semakin logis jika Niken punya obat ini mengingat dia tangan kanan atau semacan asistennya si Jenggo, dan Jenggo adalah pemilik perusahaan Roxxon Medical Indonesia. Kami semua udah tau perusahaan itu juga memproduksi obat-obatan super untuk manusia, namun sulit untuk dibongkar modusnya.

Gue mengantungkan botol itu dalam saku celana. Kemudian kembali berjalan dengan lugas, masuk ke dalam portal untuk seketika berpindah ke Gurun Besar Victoria.

Begitu menginjakkan kaki di tanah gersang ini, gue lanusng melenyapkan portal. Semuanya mendadak gelap. Malam ini tanpa bulan, dan ini bulan Desember. Puncaknya musim panas di belahan selatan midgard. Artinya akan sangat dingin cuaca yang menjadi teman kami sekarang.

Niken sudah hilang dari posisi jatuhnya dari portal. Senjata barunya ditinggal begitu aja. Tapi gak susah mencari Niken di wilayah terbuka. Ada jejak sepatu tertinggal di tanah merah. Itu mengantarkan gue untuk menemuinya di dekat pohon akasia yang daunnya tersisa sedikit.

“Niken.” Gue memanggil.
“Grraahhh!!” Geramnya.

Efek obat itu masih ada. Niken mendadak berlari ke arah gue dan mendorong sampai kami berdua berguling di atas tanah. Dia langsung mengamankan posisi duduk di atas perut gue. Kedua tangan gue diinjaknya sehingga sulit bergerak. Sementara itu, gue dicekik kuat sekali. Yang paling jijik adalah ketika liurnya menetes dari sela rambut panjangnya dan jatuh di pipi gue.

Dengan tenaga lebih, gue berhasil merubuhkan posisinya. Cekikan Niken terlepas, lalu gue berupaya mendorongnya jauh-jauh.

Niken berkelahi dengan tangan kosong, maka gue juga gak menggunakan pedang. Niken gak menggunakan baju pelindung, maka zirah Asgard juga gue hilangkan. Kami sekarang seimbang.

Niken mengayunkan satu-dua kepalan tinjunya ke arah muka gue. Dengan sigap gue menunduk dan berbalik mengincar otot lengannya. Lalu, satu benturan berhasil gue hantam di pangkal lengan kanannya.

Niken masih kuat. Satu tendangannya justru berhasil membuat gue terjungkal. Namun, gue langsung berdiri lagi untuk menghindari serangan lanjutan.

Niken kembali mencoba menendang paha gue, tapi gue berhasil menepis, sekaligus membuat posisi tepat berada di sampingnya. Satu injakan gue lakukan ke betis kaki kanan Niken sehingga dia langsung berlutut.

Posisi Niken semakin membelakangi gue. Itu membuat gue berhasil membenturkan dua kepalan tangan gue tepat ke kedua sisi lehernya, tepat di bawah telinga.

Niken bergetar sedikit, tapi dia berhasil menebas dada gue dengan sikutnya. Sangat gak terduga. Gue terjungal dan berguling ke belakang sehingga memberi cukup waktu untuk Niken supaya berbalik badan. Dia langsung menyerang gue membabi buta.

“GRAAAAGGHH!!” Geraman Niken semakin keras.

Inilah lawan yang sebanding buat gue, setelah sekian lama.

Kami beradu tangan demi tangan. Gue pun terjatuh untuk ke sekian kalinya.

Segenggam bulir-bulir tanah merah gue raup tanpa sepengelihatan Niken, lalu gue sebarkan ke matanya. Dia seketika kelilipan. Gue menyerang balik, menghantam muka dan perutnya berkali-kali dengan kepalan tinju.

Niken mundur teratur. Dia muntah darah lagi seperti waktu di Jakarta tadi.

Kami kembali jual beli serangan. Pukulan dan tangkisan menjadi serangan cepat yang dilancarkan gue dan Niken. Sampai suatu ketika, pukulan dia masuk ke dagu gue, sedangkan pukulan gue juga berhasil masuk ke arah tulang rusuk kirinya.

Lidah gue tergigit dan otomatis mengeluarkan darah. Niken pun muntah darah lagi.

Gak terasa ternyata dari hidung kami sama-sama juga udah mengucurkan aliran darah yang gak sedikit.

Geraman Niken gak ada habisnya. Bahkan bersama darah, wajahnya tampak semakin menyeramkan untuk seorang perempuan yang manis.

Gue mengambil langkah awal untuk menghampiri Niken yang masih sibuk dengan muntahnya. Gue pukul lagi dia, satu, dua, hingga tiga kali sampai dia tergeletak di atas tanah. Gue mundur lagi untuk mengambil nafas.

Niken bangkit dengan susah payah. Dia pantang menyerah. Usaha yang serupa dicobanya kepada gue. Tapi gue berhasil menghindar, sehingga Niken tersungkur sendirian dengan muka menggesek tanah. Dia lagi-lagi muntah darah.

Akibat menghindar tadi, botol obat di saku gue terjatuh ke tanah. Gue melihat botol itu, lalu kembali melihat Niken yang masih muntah darah.

Gue kurang informasi soal obat yang dia miliki. Harusnya setiap obat punya efek samping. Berbahaya atau nggak buat dirinya, itu yang gue belum tau.

"Hufft..." Gue menarik dan menghembuskan nafas pelan-pelan.

Dalam keadaan seperti ini, dilema menghampiri gue. Apakah gue harus melawannya karena dia musuh. Ataukah gue harus menolongnya dari potensi overdosis yang tanda-tandanya mulai terjadi saat ini.

“Niken!” Gue memanggilnya lagi.

Panggilan itu gue maksudkan untuk menyadarkan diri dari efek mabuknya. Tapi itu justru seperti menjadi panggilan tantangan baginya.

Niken bangkit lagi dengan tubuh kecilnya yang semakin kuyu. Jelas obat itu menguras habis tenaganya dalam waktu singkat. Dalam keadaan begini, manusia normal mungkin masih susah melawan Niken, tapi buat gue udah bukan apa-apa.

Niken sempoyongan, jalannya seperti zombie. Wajahnya juga, ditambah lecet-lecet tergesek tanah tadi. Dia masih mencoba menyerang gue dengan tinju-tinjunya. Ini bukan Niken yang kuat saat gue lawan di Karang Tengah. Ini bukan juga Niken si manusia normal seperti sebelum mengonsumsi obat aneh tadi.

“Niken, lu bisa mati.” Kata gue.

Niken masih mecoba memukul gue. Tingkahnya kuyu dan benar-benar gak bisa melihat jelas di mana posisi gue. Pukulannya gak ada yang kena. Ini bukan lagi pertarungan yang seimbang. Gue udah menang.

Ini juga pertarungan antara hidup dan mati lagi. Niken yang sepertinya bisa mati akibat ulahnya sendiri.

“Kita udah selesai. Lu bisa mati.” Gue berusaha meyakinkan Niken.

Niken gak peduli. Dia berusaha memukul terus menerus. Jadi, gue terpaksa harus bertindak cepat sebelum semakin parah.

Gue pukul ulu hatinya sekali, sangat kuat, sampai dia pingsan. Lalu gue bawa dia pergi menggunakan portal ke tempat yang layak untuk pengobatan orang kecanduan obat. Nanti kalau udah sembuh, Niken bisa ditanyakan apapun soal obat-obatan berbahaya itu.

---

POV Hari

ami bertiga. Gue, Jamet, dan Jennifer bersembunyi di belakang lemari piring di dapur. Kami mendengar jelas suara laki-laki dan perempuan yang telanjang itu. Semua obrolannya kami dengar, soal mantra, tusuk di dada, apapun itu.

---

POV Alis

“Ayo turun ke basement.” Ajak Samuel.
“Bentar, gue haus.”

Samuel melangkah dari turun ke tangga basement, tapi gue berbelok ke dapur dulu.

“Kok lampunya nyala?” Gue mengoceh.
“Paling si Riza nyari cemilan.” Sahut Samuel.

Bible Gibborim gue taruh di meja. Sementara, gue melangkah ke lemari piring, mengambil satu gelas beling biasa. Lalu, lanjut melangkah ke dispenser. Semua kegiatan gue dan Samuel ini dilakukan sambil bertelanjang.

Kami bukan kaum nudis. Kami hanya malas memakai baju lagi karena nanti harus berganti lagi ke pakaian ritual. Itu semacam jubah dari wol bewarna merah. Gak ada yang spesial dari jubah itu selain untuk kerapihan kami saat pengorbanan nyawa.

Tertulis semua aturan dalam bible Gibborim. Tapi bukan tercetak dan bisa dibaca begitu saja, melainkan ada dalam sebuah sandi-sandi, anagram, dan sebagainya. Itulah kenapa gue tertarik dengan apa yang disembunyikan sekte Gibborim ini.

Selagi minum, pantat gue ditepuk Samuel.

“Pantat semok gini dibiarin doang kan sayang.” Katanya.
“Kok lo tiba-tiba sange sih?” Gue meledek.
“Sebentar ya hehe.”

Senyum penuh hasrat itu dilempar oleh Samuel.

“Yaudah buruan.” Kata gue.

Gue menungging dengan cuek. Biarkan aja Samuel menuntaskan hasratnya. Selangkangan gue kayanya masih cukup basah untuk bisa mengakomodasi penisnya itu untuk menari-nari.

Samuel terlalu biasa untuk hal seperti ini. Dalam satu sentakan, dia berhasil menemukan lubang kemaluan gue yang diinginkannya itu. Dia pun langsung bermain tanpa kondom, gue bisa merasakannya.

“Gak pake kondom?” Tanya gue.
“Kelamaan nyarinya.” Jawab Samuel.

Kadang gue mengkhawatirkan penyakit menular. Sayangnya, Samuel gak kepikiran itu. Gak sempat tepatnya. Dia udah asik bergoyang maju dan mundur, mengantarkan nafsunya untuk sampai ke puncak.

Gesekan penis Samuel membuat gue keenakan juga. Tapi gak seenak biasanya kalau gue sedang menikmati seks, seperti di basement sebelum mencari bible.

“Badan lo kecil gini, tapi pantatnya gede ya.” Kata Samuel.

Kelakuan, dasar Samuel. Dia sok-sok nakal. Kalau sedang menikmati, gue bisa aja meracau lebih liar dari dia.

Tapi, kayanya gue mulai menikmati.

“Cepetin.. Coba.. sshhh...” Kata gue.

Samuel menuruti kata gue. Memang dia harus menurut, karena itulah yang gue perintahkan. Semua yang gue perintahkan pasti dituruti oleh orang-orang. Hipnotis kata temen-temen gue, tapi gue gak begitu.

Gue cuma bilang sesuatu, lalu mereka nurut. Segampang itu. Terima kasih atas obat rahasia bokap yang gue temukan di lemari kamarnya. Dan yang ini berbeda, karena efeknya sangat permanen dibanding obat-obat produksi perusahaannya yang biasa.

“Shhhh... Samuel... Terus begitu...” Pinta gue.

Ini lumayan. Gue cepat sekali naiknya. Maka gue ikut menggoyangkan pinggul gue maju dan mundur.

“Ahhh, gila.. Gue cepet keluarnya kalo begini...” Samuel mengerang.

Memang itu yang diinginkan Samuel dari awal kan. Jadi, sekarang gue cukup mengantarkannya ke puncak dan mencari nikmat untuk gue sendiri sebelum itu terjadi.

Samuel tetap konstan dengan tempo dan gerakannya. Tapi badannya semakin gemetar. Tonggak kebanggannya berkedut gak beraturan di dalam perut gue.

“Keluarin aja... shhh...” Gue sambil mendesah kecil.

Samuel melepas penisnya. Kemudian dia menyuruh gue berlutut di hadapan kedua belah kakinya. Dikocok penisnya cepat-cepat, lalu dipaksakan masuk ke dalam mulut gue.

“Ngghh... Keluar gue..nnh..” Nafas Samuel tertahan.

Spermanya masuk ke dalam kerongkongan gue. Gak banyak, tapi lumayan.

DUNG! Ada suara pagar yang berdentum. Sepertinya di depan rumah.

“Apaan itu??” Samuel dan gue sama kagetnya.
“Ambil baju cepetan.” Suruh gue.

Kami mengambil langkah cepat untuk mencari baju di kamar gue, sehingga kami berdua kembali ke lantai atas. Jangan sampai perlu menganggu orang yang dibawah, karena pasti suara itu gak akan sampai ke basement. Itu belum perlu.

Selesai memakai baju sekenanya, gue dan Samuel turun kembali ke bawah. Begitu terkejutnya kami bahwa bokap gue pulang. Ini di luar dugaan, karena harusnya bokap sedang pergi jauh sampai beberapa minggu ke depan. Nyatanya, bokap ada di sini, dan dengan paniknya mencari-cari kamarnya sendiri dari kantong celana.

Kami terlanjur saling melihat.

“Pa?” Gue rekfleks.
“Alicia?” Sahut bokap.

Jelas bokap ada kekagetan ketika melihat Samuel dan gue turun dari lantai atas berduaan.

“Jenggo!” Ada suara laki-laki lain di rumah.

Suara itu datang dari dapur. Gue dan Samuel terus turun dari tangga untuk menghampiri suara itu. Kagetlah gue begitu tau ada tiga orang di dapur. Dua laki-laki dan satu perempuan. Sejak kapan? Apa mereka ngeliat gue sama Samuel...?

“Ah, pertemuan kita gak bisa dihindari ya. Haha.” Bokap gue membalas panggilan tadi dengan tawanya yang berat.

Yang dipanggil Jenggo itu bokap guekah?

“Hari! Jamet!” Ada lagi suara perempuan dari arah depan rumah.

Gue dan Samuel berbalik badan. Muncul lagi satu perempuan berkacamata dan seorang laki-laki berbaju perang dengan jubahnya. Ada apa ini? Pesta kejutan? Kami ketahuan?

BERSAMBUNG
 
Terakhir diubah:
sory om,yg komen barengan jd gambarnya kesekat komenku om :Peace:
 
Thx updatenya hu
Keknya tindakan Alis dan gank tanpa sepengetahuan Jenggo, bakal seperti apa ke depannya nih?
 
Episode 46
Sihir Benar-Benar Ada


POV Hari

Kebencian akan selalu ada dalam hati manusia yang gak jernih, gak cerdas. Itulah yang menyebabkan masyarakat Indonesia sekarang ada pada titik kritis masalah toleransi. Gak ada lagi yang kuat melindungi yang lemah. Gak ada lagi tentang yang banyak menolong yang sedikit, atau yang sedikit memahami yang banyak.

Itulah yang juga tiba-tiba gue sadari begitu bertatap-tatapan dengan si Jenggo berengek ini. Wajah tua dan perutnya yang maju itu ingin sekali gue pecahkan sekarang juga. Gak perlu ada lagi memahami yang banyak, maksudnya Jamet, Jennifer, atau pun Dani dan Pur yang mendadak datang dari luar.

Apa tugas kami pada awalnya? Menolong Eda? Ada yang lebih penting sekarang.

“Ah, kamu bocah yang di Karangtengah itu.” Jenggo mengenal gue.
“Lawan gue sekarang!” Gue menantang.

Gue tau dia terpojok. Apalagi ada anaknya sekarang yang bisa dijadikan bahan ancaman.

Jamet dab Jennifer terus menahan amarah gue yang meledak, pastinya tanpa mereka tau apa alasannya. Tapi, mau bagaimana pun, inilah kesempatan. Sulit sekali mengeluarkan Jenggo dari gua gelap perusahannya itu. Berbulan-bulan kami mencari celah, gak satu pun ketemu.

“Hari, tahan. Tahan.” Itu kata Jamet berulang.

Semua orang terpaku pada tempatnya ketika gue dan Jenggo saling melangkah, mendekat. Ruang remang-remang yang masih tersinari lampu dari arah dapur menjadi titik pertemuan kami berdua. Tatapan kami sama-sama tajam.

Gue tau, tanpa jam tangan Sokovia Accord, gue gak boleh menggunakan kekuatan. Mungkin gue masih diawasi A.T.C.U. dan sewaktu-waktu bisa ketahuan. Tapi percayalah, melawan Jenggo gak perlu menggunakan kekuatan inhuman.

“Mana bodyguard cewek itu, hah? Lo gak takut mati?” Gue mulai meledek.
“Ha.” Sahutnya singkat.

Jenggo melirik ke belakang. Hanya ada anaknya, teman anaknya, Dani, dan Pur di sana. Mereka sedang saling hadang tanpa bersuara.

“Ajudan saya sibuk sama jablay perang yang kamu bawa.” Nada bicara Jenggo memberat.

Dari perkataannya, gue paham itu yang dimaksud adalah Laras. Baguslah, artinya Jenggo sekarang tanpa pertolongan.

Gue dengan cepat mendaratkan pukulan ke wajah Jenggo. Kena! Jenggo terdorong satu-dua langkah dan terbungkuk. Itu pun cuma pukulan percobaan, berjaga-jaga siapa tau Jenggo juga menggunakan obat-obatan superhuman.

“Ha. Kamu gak tau ngelawan siapa.” Jenggo berdiri lagi.

Di sisi lain, perkelahian gue dan Jenggo dijadikan celah oleh teman anaknya Jenggo, si laki-laki yang tadi telanjang itu, untuk kabur ke tangga. Dia turun ke bawah. Sayangnya, anak Jenggo gak sempat ikut temannya itu. Dia berhasil dipukul mundur Dani.

“Jamet! Jennifer! Kalian keluar sekarang!” Dani berseru.

Jamet dan Jennifer mengambil langkah hati-hati untuk melewati gue dan Jenggo. Mereka juga berhati-hati untuk melewati anaknya Jenggo. Kemudian, loloslah mereka berdua dari tempat terutup ini.

“Gue harus nolong Eda!” Jamet bergumam keras.

Tapi, bukannya lari keluar rumah, gue bisa melihat Jamet justru lari berbelok ke tangga basement. Keputusan konyol Jamet membuat keadaan jadi lebih rumit.

“Jamet! Bego!” Dani berteriak ke arah tangga.

Dani pun jadi kebingungan, apakah dia harus tetap menahan anaknya Jenggo bersama gue di sini atau ikut turun ke bawah. Gue pun bisa melihat Dani mengeluarkan icernya dalam gelisah. Semua ini terjadi dalam sekejap, bahkan gak ada satu menit sepertinya.

“Jangan macam-macam. Anak lo gue tahan!” Dani mengacungkan icer ke anaknya Jenggo.
“Kalian yang jangan macam-macam.” Balas Jenggo.

Coba lihat apa yang dilakukan Jenggo sekarang itu. Wajahnya tiba-tiba diselubungi semacam kerangka, tulang belulang. Bagian dalam tubuhnya juga membesar dan baju yang dia kenakan menjadi pas dengan badan. Gak begitu cerah warna rangka itu, tapi gue mengenali kekuatannya. Itu kemampuan inhuman dari nyokap gue.

“MATI LOO!!” Gue gantian berserapah kepada Jenggo.

Gue menyerang dia lagi membabi buta. Tapi pukulan yang gue hempaskan hanya melukai tangan sendiri. Kerangka tulang luar itu sangat keras. Bagaimana gue bisa melawan Jenggo tanpa kekuatan kalau udah seperti sekarang.

“JENGGO! Jangan bergerak!” Dani memanggil lagi.

Kini anaknya Jenggo tepat ditodong lekat-lekat dengan icer. di kepalanya. Dani memberi tawaran negosiasi agar Jenggo menyerah saja. Sebagai gantinya, anak perempuan Jenggo itu gak Dani lukai.

Gue pun gak berkutik dengan adegan seperti ini. Meski Jenggo lengah sekali pun, benda tajam atau benda tumpul gak bisa menembus cangkang keras yang Jenggo kenakan itu. Kecuali... Ada celah di sendi-sendinya, kan.

Kebetulan pula gue dekat dapur dan gue pernah melihat di mana posisi pisau. Tinggal pilih, ada pisau roti sampai pisau daging, semuanya tersusun rapi dekat sekali dengan posisi gue.

Sekarang Jenggo dan anaknya sedang membelakangi gue. Waktunya tepat untuk mengendap-ngendap mengambil pisau itu. Gue pun berkode dengan Dani untuk mengulur waktu lebih lama.

Gue ambil dua pisau yang lumayan besar, kemudian dengan cepat gue kembali ke posisi semula. Semuanya siap dalam sekejap. Lalu, dengan penuh keyakinan gue mengincar sendi di belakang lutut kanan Jenggo.

Sesaat sebelum gue menancapkan pisau, Jenggo menyadari gerak-gerik gue. Tapi tetap aja itu terlambat. Dengan cangkangnya, gerakan Jenggo jelas menjadi lambat karena badannya jadi lebih berat. Mudah sekali serangan tunggal ini.

JLEB! Pisau itu menancap tepat di belakang tempurung lututnya! Lalu gue biarkan begitu.

“AAAAGH!” Jenggo berteriak.

Jenggo jatuh seketika. Darah mengucur dan menyiprat ke seluruh penjuru lantai. Dengan pisau yang masih menancap, pasti rasanya gak nyaman. Gue melihat itu dan rasanya senang sekali.

“Tau gak? Lebih sakit lagi kalau pisaunya dicabut.” Gue berkata dengan bangga.

Jenggo jatuh secara menyamping. Gue dengan senangnya duduk di atas dada Jenggo dan menempelkan mata pisau tepat ke sendi lehernya. Dengan nada yang sumringah, gue berucap tentang apapun yang gue mau perihal kebencian dan balas dendam.

“Sekarang anak lu bakalan sebatang kara, hah.” Kalimat penutup gue.
“Hari!” Panggil Dani.

Gue tau yang gue lakukan ini salah ketika Dani memanggil. Tapi salah dan benar itu udah gak ada batasnya lagi. Begitu pula menurut Jenggo, kayanya, karen persoalan salah dan benar bukanlah hal yang dipertimbangkan ketika dia membunuh nyokap gue. Gak ada keadilan di sini.

Maka, sebelum menyobek kulit leher Jenggo, akan lebih menyenangkan kalau mencabut pisau yang tertancap tadi dulu.

“AAAGGHH!!” Jenggo berteriak lagi.

Pisau itu gue lepas dari tempat menancapnya. Bagian besinya berlumuran darah, sama halnya dengan lantai yang ikut memerah. Genangan darah mulai mengalir pelan-pelan di antara celah ubin.

“HARI!” Dani memanggil terus.

Gue cukup mengabaikan Dani, dan ini bisa selesai dengan cepat.

“HARI! JANGAN JADI KAYA JENGGO!” Teriak Dani.
“Gue gak peduli.”

Gue berkata begitu tanpa melihat Dani. Melihat wajahnya hanya akan memudarkan keyakinan gue untuk menyelesaikan apa yang gue mulai. Apalagi suaranya mulai terisak-isak.

Jenggo gak bisa melawan dengan beratnya tulang luar yang dia gunakan. Dia juga pasti gak mau melepas cangkang itu karena cuma akan semakin membuatnya rentan tanpa pelindung. Tapi keputusan apapun menjadi percuma buat Jenggo saat mata pisau telah menempel kembali di lehernya. Itu bagian yang gak tertutup tulang luar.

Cukup satu gerakan tangan, maka gue akan menjadi penjagal.

“Berhenti!” Itu suara anaknya Jenggo.

Gue spontan melihat ke arah cewek itu. Gue jadi langsung ingin dan harus menuruti apa maunya. Apa yang terjadi ini merubah hasrat gue seketika.

“Cukup, berhenti. Kalian diam di tempat.” Katanya lagi.

Gue berhenti dan gak bersuara. Begitu pun Dani dan juga Jenggo. Bahkan gak ada lagi erangan kesakitan dan isak tangis. Semua tertahan begitu aja.

“Aku gak mau nunjukin ini ke papa, tapi kelakuan papa udah bikin kita celaka.” Katanya.

Lalu dia berjalan, lepas dari ancaman Dani. Cewek itu melangkah turun ke basement dengan gontai, tapi cepat.

---

POV Jamet

Pernah menonton film Gladiator? Kalau belum, coba tontonlah. Sensasi panggung gladiatornya kalau ditonton dengan efek 3D pasti sangat menakjubkan. Lalu setelah menonon, kamu bisa merasakan apa yang aku rasakan sekarang.

Aku bahkan bukan lagi menonton film gladiator, tapi menyaksikannya secara langsung di depan mata. Bukan dengan takjub, tapi dengan kengerian karena aku dan Jennifer terperangkap di antara pertarungan gila ini. Mereka yang bertarung adalah seeorang laki-laki sangar dengan zirah berjubah melawan sejumlah orang yang bertelanjang bulat.

“Jamet, kita harus pergi ke tempat aman.” Jennifer menggerutu.
“Kita cari Eda dulu lho.” Balasku.
“Eda ada di ujung sana. Pasti aman dia kalo ditolong sama pendekar itu.”

Jennifer menunjuk arah tepat di seberang kami. Di dalam sebuah ruangan yang lebih dalam, Eda bertelanjang bulat di atas sebuah sofa. Dia berusaha menutupi kelaminnya sendiri dengan dua tangan. Dia juga tampak ikut panik ketika barang-barang terlempar ke sana ke mari.

Aku bisa melihat bagaimana pendekar itu melawan tiga orang laki-laki dan tiga orang perempuan. Meski dia tidak menjual serangan kepada perempuan, tapi dia bisa dibilang kuat dan menyeimbangkan keadaan. Bayangkan melawan enam orang!

”Kita jemput Eda.” Itu keputusanku.
"Aku tunggu di sini aja."

Oke. Biar Jennifer diam dulu di sini. Aku yang menjemput Eda sendirian.

Aku berjalan dan berhenti sedikit demi sedikit, menempel pada tembok dan benda-benda yang masih aman pada tempatnya. Bahkan, ketika seseorang lelaki berperawakan arab mencoba menyerangku, ada si pendekar yang langsung menyekiknya menggunakan tali ajaib.

“Ngapain di sini?!” Si pendekar beseru padaku.
“Nolong temen!” Kataku.
“Yang mana??!” Tanyanya lagi.

Aku menunjuk ke sofa, mengacu kepada seseorang yang sendirian di sofa, gak ikut melawan si pendekar.

Si pendekar pun baik sekali mau membantu. Dia dengan sigap memberi jalan padaku sampai akhirnya aku sampai di posisi Eda dalam ketelanjangannya. Lalu, Eda begitu kagetnya melihatku menjemput dia.

“Ayo cabut dari sini.” Aku mengajak.
“Baju gue!” Teriak Eda.
“Baju bisa dibeli.” Aku membalas.
“Yakali gue telanjang.”

Masa bodo dia telanjang atau pakai lingerie. Nyawa lebih penting dan gak bisa dibeli lagi. Akhirnya, aku menarik paksa dia untuk ikut kembali berjalan merapat di dinding sembari dilindungi pendekar berbaju perang.

Aku bisa mendengar bagimana enam orang itu semakin gak karuan. Mereka berkomunikasi satu sama lain untuk lebih memilih menyerang kami. Itu semakin menjadi-jadi ketika Eda berhasil kuajak pergi dari tempatnya.

“Cepet bawa dia dari sini!” Seru si pendekar.

Memangnya dari tadi aku ngapain. Kalau kami berlarian kan bisa berbahaya.

“Hari sama Dani ikut ke mari?” Eda bertanya sambil kami mengendap-ngendap.
“Ada di atas.” Kataku.
“Kenapa gak ke sini?” Tanyanya lagi.

Serius. Pentingkah pertanyaan seperti itu di saat-saat sekarang. Bersyukur ada aku yang menjemput. Hari dan Dani sedang melawan orang lain yang di atas. Itulah yang harus kita temui nanti, bukan sekarang.

“Berarti lu udah tau Hari inhuman kan.” Kata Eda.
“Hah?” Gue mendadak berhenti berjalan.

Kekagetan itu menyebabkan si pendekar marah. Aku disuruh terus berjalan dan jangan ngobrol yang aneh-aneh dulu. Apalagi dia repot harus melindungi tiga orang sekaligus. Aku, Eda, dan Jennifer di ujung sana.

Aku dan Eda kembali terus berjalan hingga akhirnya kembali ke tempat Jennifer menunggu. Di saat yang sama, si pendekar terlempar ke arah kami.

“Haha. Mereka lebih kuat daripada orang-orang di Karangtengah.” Dia sambil tertawa.

Apa sih dari tadi semua orang pada bilang Karangtengah. Hari bilang Karangtengah, bapak tua tadi juga bilang Karangtengah, sekarang pendekar ini juga bilang Karangtengah. Apa yang aku lewatkan dan ada apa Karangtengah itu.

Dan Hari. Tadi Eda bilang Inhuman? Hari tadi juga bilang itu depan rumah ini sebelum kami masuk, tapi aku pikir kan dia bercanda. Apa dia benar-benar inhuman yang banyak ditakutkan orang-orang itu? Inhuman seperti setan yang kami hadapi tahun lalu? Oh Gusti, aku terjebak di antara rahasia orang-orang ini.

“Ayo pergi!” Kata Jennifer.

Dan lihat apa yang menghadang kami di tangga. Itu perempuan yang di atas tadi.

“Berhenti kalian.” Katanya.

Kami pun berhenti. Mereka yang berkelahi juga berhenti. Semuanya melihat ke arah perempuan yang baru aja mengeluarkan perintah itu. Ah, gila, semuanya makin gak masuk akal.

“Eda balik ke dalam. Yang lainnya diam.” Perempuan itu memerintah.

No! No! No! Eda menuruti perintah dia. Aku harus berusaha menahan badan Eda, tapi aku lebih ingin menuruti maunya si perempuan itu. Ini sihir! Ini sihir! Aku terjebak di antara orang-orang yang gak masuk akal, dan sekarang aku kena sihir!

“Tunggu, lu naik ke atas sama mereka. Gak usah nurutin maunya orang gila.” Si pendekar menahan Eda,
“Gak. Gue harus balik ke sofa!” Eda berontak.
“Ngapain nurutin dia sih?!”

Si pendekar terus menahan Eda yang makin berontak. Sementara itu, semua orang di sini tetap diam di posisinya masing-masing.

“Gue bilang diem!” Perempuan itu teriak ke pendekar.
“Mau lu apa, hah!” Si pendekar menantang balik.

“Kok bisa dia gak kena pengaruh?" Gumam si perempuan.
"Pengaruh apa?" Tanya pendekar.
"Masa bodo. Riza, Samuel, sama Ruly, bunuh orang yang baju perang ini.” Perintah lainnya keluar.

Ketiga lelaki itu kembali melawan si pendekar. Aku melihat si pendekar justru bergairah dengan kata bunuh-bunuhan. Oh Gusti, aku gak mau lihat pembunuhan malam ini. Sama sekali dalam hidupku aku gak mau lihat manusia meninggal karena terbunuh.

Sementara itu, Eda terlepas dari genggaman tangan si pendekar yang mendadak sibuk kembali. Dia dituntun perempuan itu untuk kembali ke tempatnya semula, tanpa gangguan.

Dan sekarang perempuan itu gelisah, lalu kami cuma bisa mengamatinya tanpa sanggup berbuat apa-apa.

---

POV Hari

Gak ada yang lebih kaget dari Jenggo. Dia adalah orang tua dari anak itu, namun ditinggal begitu aja untuk kehabisan darah. Gak ada pertolongan apapun yang dilakukan. Jenggo tetap dibiarkan kehabisan darah begitu aja.

“Alicia.. Dia...” Jenggo terengah-engah bersama lukanya.

Gue dan Dani hanya bisa melihat Jenggo.

“Ternyata dia yang ambil.. hhh.. sampel virus itu...” Katanya.

Tiba-tiba Kak Rivin datang bersama warga. Kak Rivin langsung meminta nomor Akmal pada Dani untuk dihubungi. Mereka telat menyadari bahwa kami gak bisa bergerak meski mau.

Lihatlah kami, gak bisa bergerak meski udah dicoba ditolong warga. Mau bagaimana pun gue dipaksa berdiri, gue harus kembali ke tempat semula dengan mata pisau yang tertempel di leher Jenggo.

Begitu juga Dani yang terus mengacungkan icer ke depan, ke arah yang kosong. Kami berontak dari bantuan warga. Gue dan Dani hanya ingin mewujudkan apa yang diminta oleh anaknya Jenggo barusan. Diam di tempat.

BERSAMBUNG
 
Terakhir diubah:
Persadani Putri


Jennifer


Alicia


Talia


Dwi


Rista


Rivina Azzahra
 
Terakhir diubah:
Thx updatenya hu
Sihir Alis gak mempan ke Pur ternyata, tapi percuma juga klo yang lain gak bisa gerak mah...
Mana Laras lama banget baliknya
 
Seru... tambah seru...
Alicia punya sihir yg bisa membuat orang lain nurut... apa yg bisa mematahkan sihir Alicia...

Keep up date Mr. @Robbie Reyes
 
Tambah mantap aja suhu updatenya.
Nanti bakal disambungin ke infity war kaga suhuu, kasih bocoran dong hehehe
 
Hayoo coba tebak soal sihir-virus ini ane sambungin ke mana? Bukan bener-bener sihir kaya Sigit atau Doctor Strange lho ya ini.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd