Episode 46
Sihir Benar-Benar Ada
POV Hari
Kebencian akan selalu ada dalam hati manusia yang gak jernih, gak cerdas. Itulah yang menyebabkan masyarakat Indonesia sekarang ada pada titik kritis masalah toleransi. Gak ada lagi yang kuat melindungi yang lemah. Gak ada lagi tentang yang banyak menolong yang sedikit, atau yang sedikit memahami yang banyak.
Itulah yang juga tiba-tiba gue sadari begitu bertatap-tatapan dengan si Jenggo berengek ini. Wajah tua dan perutnya yang maju itu ingin sekali gue pecahkan sekarang juga. Gak perlu ada lagi memahami yang banyak, maksudnya Jamet, Jennifer, atau pun Dani dan Pur yang mendadak datang dari luar.
Apa tugas kami pada awalnya? Menolong Eda? Ada yang lebih penting sekarang.
“Ah, kamu bocah yang di Karangtengah itu.” Jenggo mengenal gue.
“Lawan gue sekarang!” Gue menantang.
Gue tau dia terpojok. Apalagi ada anaknya sekarang yang bisa dijadikan bahan ancaman.
Jamet dab Jennifer terus menahan amarah gue yang meledak, pastinya tanpa mereka tau apa alasannya. Tapi, mau bagaimana pun, inilah kesempatan. Sulit sekali mengeluarkan Jenggo dari gua gelap perusahannya itu. Berbulan-bulan kami mencari celah, gak satu pun ketemu.
“Hari, tahan. Tahan.” Itu kata Jamet berulang.
Semua orang terpaku pada tempatnya ketika gue dan Jenggo saling melangkah, mendekat. Ruang remang-remang yang masih tersinari lampu dari arah dapur menjadi titik pertemuan kami berdua. Tatapan kami sama-sama tajam.
Gue tau, tanpa jam tangan Sokovia Accord, gue gak boleh menggunakan kekuatan. Mungkin gue masih diawasi A.T.C.U. dan sewaktu-waktu bisa ketahuan. Tapi percayalah, melawan Jenggo gak perlu menggunakan kekuatan inhuman.
“Mana bodyguard cewek itu, hah? Lo gak takut mati?” Gue mulai meledek.
“Ha.” Sahutnya singkat.
Jenggo melirik ke belakang. Hanya ada anaknya, teman anaknya, Dani, dan Pur di sana. Mereka sedang saling hadang tanpa bersuara.
“Ajudan saya sibuk sama jablay perang yang kamu bawa.” Nada bicara Jenggo memberat.
Dari perkataannya, gue paham itu yang dimaksud adalah Laras. Baguslah, artinya Jenggo sekarang tanpa pertolongan.
Gue dengan cepat mendaratkan pukulan ke wajah Jenggo. Kena! Jenggo terdorong satu-dua langkah dan terbungkuk. Itu pun cuma pukulan percobaan, berjaga-jaga siapa tau Jenggo juga menggunakan obat-obatan superhuman.
“Ha. Kamu gak tau ngelawan siapa.” Jenggo berdiri lagi.
Di sisi lain, perkelahian gue dan Jenggo dijadikan celah oleh teman anaknya Jenggo, si laki-laki yang tadi telanjang itu, untuk kabur ke tangga. Dia turun ke bawah. Sayangnya, anak Jenggo gak sempat ikut temannya itu. Dia berhasil dipukul mundur Dani.
“Jamet! Jennifer! Kalian keluar sekarang!” Dani berseru.
Jamet dan Jennifer mengambil langkah hati-hati untuk melewati gue dan Jenggo. Mereka juga berhati-hati untuk melewati anaknya Jenggo. Kemudian, loloslah mereka berdua dari tempat terutup ini.
“Gue harus nolong Eda!” Jamet bergumam keras.
Tapi, bukannya lari keluar rumah, gue bisa melihat Jamet justru lari berbelok ke tangga basement. Keputusan konyol Jamet membuat keadaan jadi lebih rumit.
“Jamet! Bego!” Dani berteriak ke arah tangga.
Dani pun jadi kebingungan, apakah dia harus tetap menahan anaknya Jenggo bersama gue di sini atau ikut turun ke bawah. Gue pun bisa melihat Dani mengeluarkan icernya dalam gelisah. Semua ini terjadi dalam sekejap, bahkan gak ada satu menit sepertinya.
“Jangan macam-macam. Anak lo gue tahan!” Dani mengacungkan icer ke anaknya Jenggo.
“Kalian yang jangan macam-macam.” Balas Jenggo.
Coba lihat apa yang dilakukan Jenggo sekarang itu. Wajahnya tiba-tiba diselubungi semacam kerangka, tulang belulang. Bagian dalam tubuhnya juga membesar dan baju yang dia kenakan menjadi pas dengan badan. Gak begitu cerah warna rangka itu, tapi gue mengenali kekuatannya. Itu kemampuan inhuman dari nyokap gue.
“MATI LOO!!” Gue gantian berserapah kepada Jenggo.
Gue menyerang dia lagi membabi buta. Tapi pukulan yang gue hempaskan hanya melukai tangan sendiri. Kerangka tulang luar itu sangat keras. Bagaimana gue bisa melawan Jenggo tanpa kekuatan kalau udah seperti sekarang.
“JENGGO! Jangan bergerak!” Dani memanggil lagi.
Kini anaknya Jenggo tepat ditodong lekat-lekat dengan icer. di kepalanya. Dani memberi tawaran negosiasi agar Jenggo menyerah saja. Sebagai gantinya, anak perempuan Jenggo itu gak Dani lukai.
Gue pun gak berkutik dengan adegan seperti ini. Meski Jenggo lengah sekali pun, benda tajam atau benda tumpul gak bisa menembus cangkang keras yang Jenggo kenakan itu. Kecuali... Ada celah di sendi-sendinya, kan.
Kebetulan pula gue dekat dapur dan gue pernah melihat di mana posisi pisau. Tinggal pilih, ada pisau roti sampai pisau daging, semuanya tersusun rapi dekat sekali dengan posisi gue.
Sekarang Jenggo dan anaknya sedang membelakangi gue. Waktunya tepat untuk mengendap-ngendap mengambil pisau itu. Gue pun berkode dengan Dani untuk mengulur waktu lebih lama.
Gue ambil dua pisau yang lumayan besar, kemudian dengan cepat gue kembali ke posisi semula. Semuanya siap dalam sekejap. Lalu, dengan penuh keyakinan gue mengincar sendi di belakang lutut kanan Jenggo.
Sesaat sebelum gue menancapkan pisau, Jenggo menyadari gerak-gerik gue. Tapi tetap aja itu terlambat. Dengan cangkangnya, gerakan Jenggo jelas menjadi lambat karena badannya jadi lebih berat. Mudah sekali serangan tunggal ini.
JLEB! Pisau itu menancap tepat di belakang tempurung lututnya! Lalu gue biarkan begitu.
“AAAAGH!” Jenggo berteriak.
Jenggo jatuh seketika. Darah mengucur dan menyiprat ke seluruh penjuru lantai. Dengan pisau yang masih menancap, pasti rasanya gak nyaman. Gue melihat itu dan rasanya senang sekali.
“Tau gak? Lebih sakit lagi kalau pisaunya dicabut.” Gue berkata dengan bangga.
Jenggo jatuh secara menyamping. Gue dengan senangnya duduk di atas dada Jenggo dan menempelkan mata pisau tepat ke sendi lehernya. Dengan nada yang sumringah, gue berucap tentang apapun yang gue mau perihal kebencian dan balas dendam.
“Sekarang anak lu bakalan sebatang kara, hah.” Kalimat penutup gue.
“Hari!” Panggil Dani.
Gue tau yang gue lakukan ini salah ketika Dani memanggil. Tapi salah dan benar itu udah gak ada batasnya lagi. Begitu pula menurut Jenggo, kayanya, karen persoalan salah dan benar bukanlah hal yang dipertimbangkan ketika dia membunuh nyokap gue. Gak ada keadilan di sini.
Maka, sebelum menyobek kulit leher Jenggo, akan lebih menyenangkan kalau mencabut pisau yang tertancap tadi dulu.
“AAAGGHH!!” Jenggo berteriak lagi.
Pisau itu gue lepas dari tempat menancapnya. Bagian besinya berlumuran darah, sama halnya dengan lantai yang ikut memerah. Genangan darah mulai mengalir pelan-pelan di antara celah ubin.
“HARI!” Dani memanggil terus.
Gue cukup mengabaikan Dani, dan ini bisa selesai dengan cepat.
“HARI! JANGAN JADI KAYA JENGGO!” Teriak Dani.
“Gue gak peduli.”
Gue berkata begitu tanpa melihat Dani. Melihat wajahnya hanya akan memudarkan keyakinan gue untuk menyelesaikan apa yang gue mulai. Apalagi suaranya mulai terisak-isak.
Jenggo gak bisa melawan dengan beratnya tulang luar yang dia gunakan. Dia juga pasti gak mau melepas cangkang itu karena cuma akan semakin membuatnya rentan tanpa pelindung. Tapi keputusan apapun menjadi percuma buat Jenggo saat mata pisau telah menempel kembali di lehernya. Itu bagian yang gak tertutup tulang luar.
Cukup satu gerakan tangan, maka gue akan menjadi penjagal.
“Berhenti!” Itu suara anaknya Jenggo.
Gue spontan melihat ke arah cewek itu. Gue jadi langsung ingin dan harus menuruti apa maunya. Apa yang terjadi ini merubah hasrat gue seketika.
“Cukup, berhenti. Kalian diam di tempat.” Katanya lagi.
Gue berhenti dan gak bersuara. Begitu pun Dani dan juga Jenggo. Bahkan gak ada lagi erangan kesakitan dan isak tangis. Semua tertahan begitu aja.
“Aku gak mau nunjukin ini ke papa, tapi kelakuan papa udah bikin kita celaka.” Katanya.
Lalu dia berjalan, lepas dari ancaman Dani. Cewek itu melangkah turun ke basement dengan gontai, tapi cepat.
---
POV Jamet
Pernah menonton film Gladiator? Kalau belum, coba tontonlah. Sensasi panggung gladiatornya kalau ditonton dengan efek 3D pasti sangat menakjubkan. Lalu setelah menonon, kamu bisa merasakan apa yang aku rasakan sekarang.
Aku bahkan bukan lagi menonton film gladiator, tapi menyaksikannya secara langsung di depan mata. Bukan dengan takjub, tapi dengan kengerian karena aku dan Jennifer terperangkap di antara pertarungan gila ini. Mereka yang bertarung adalah seeorang laki-laki sangar dengan zirah berjubah melawan sejumlah orang yang bertelanjang bulat.
“Jamet, kita harus pergi ke tempat aman.” Jennifer menggerutu.
“Kita cari Eda dulu lho.” Balasku.
“Eda ada di ujung sana. Pasti aman dia kalo ditolong sama pendekar itu.”
Jennifer menunjuk arah tepat di seberang kami. Di dalam sebuah ruangan yang lebih dalam, Eda bertelanjang bulat di atas sebuah sofa. Dia berusaha menutupi kelaminnya sendiri dengan dua tangan. Dia juga tampak ikut panik ketika barang-barang terlempar ke sana ke mari.
Aku bisa melihat bagaimana pendekar itu melawan tiga orang laki-laki dan tiga orang perempuan. Meski dia tidak menjual serangan kepada perempuan, tapi dia bisa dibilang kuat dan menyeimbangkan keadaan. Bayangkan melawan enam orang!
”Kita jemput Eda.” Itu keputusanku.
"Aku tunggu di sini aja."
Oke. Biar Jennifer diam dulu di sini. Aku yang menjemput Eda sendirian.
Aku berjalan dan berhenti sedikit demi sedikit, menempel pada tembok dan benda-benda yang masih aman pada tempatnya. Bahkan, ketika seseorang lelaki berperawakan arab mencoba menyerangku, ada si pendekar yang langsung menyekiknya menggunakan tali ajaib.
“Ngapain di sini?!” Si pendekar beseru padaku.
“Nolong temen!” Kataku.
“Yang mana??!” Tanyanya lagi.
Aku menunjuk ke sofa, mengacu kepada seseorang yang sendirian di sofa, gak ikut melawan si pendekar.
Si pendekar pun baik sekali mau membantu. Dia dengan sigap memberi jalan padaku sampai akhirnya aku sampai di posisi Eda dalam ketelanjangannya. Lalu, Eda begitu kagetnya melihatku menjemput dia.
“Ayo cabut dari sini.” Aku mengajak.
“Baju gue!” Teriak Eda.
“Baju bisa dibeli.” Aku membalas.
“Yakali gue telanjang.”
Masa bodo dia telanjang atau pakai lingerie. Nyawa lebih penting dan gak bisa dibeli lagi. Akhirnya, aku menarik paksa dia untuk ikut kembali berjalan merapat di dinding sembari dilindungi pendekar berbaju perang.
Aku bisa mendengar bagimana enam orang itu semakin gak karuan. Mereka berkomunikasi satu sama lain untuk lebih memilih menyerang kami. Itu semakin menjadi-jadi ketika Eda berhasil kuajak pergi dari tempatnya.
“Cepet bawa dia dari sini!” Seru si pendekar.
Memangnya dari tadi aku ngapain. Kalau kami berlarian kan bisa berbahaya.
“Hari sama Dani ikut ke mari?” Eda bertanya sambil kami mengendap-ngendap.
“Ada di atas.” Kataku.
“Kenapa gak ke sini?” Tanyanya lagi.
Serius. Pentingkah pertanyaan seperti itu di saat-saat sekarang. Bersyukur ada aku yang menjemput. Hari dan Dani sedang melawan orang lain yang di atas. Itulah yang harus kita temui nanti, bukan sekarang.
“Berarti lu udah tau Hari inhuman kan.” Kata Eda.
“Hah?” Gue mendadak berhenti berjalan.
Kekagetan itu menyebabkan si pendekar marah. Aku disuruh terus berjalan dan jangan ngobrol yang aneh-aneh dulu. Apalagi dia repot harus melindungi tiga orang sekaligus. Aku, Eda, dan Jennifer di ujung sana.
Aku dan Eda kembali terus berjalan hingga akhirnya kembali ke tempat Jennifer menunggu. Di saat yang sama, si pendekar terlempar ke arah kami.
“Haha. Mereka lebih kuat daripada orang-orang di Karangtengah.” Dia sambil tertawa.
Apa sih dari tadi semua orang pada bilang Karangtengah. Hari bilang Karangtengah, bapak tua tadi juga bilang Karangtengah, sekarang pendekar ini juga bilang Karangtengah. Apa yang aku lewatkan dan ada apa Karangtengah itu.
Dan Hari. Tadi Eda bilang Inhuman? Hari tadi juga bilang itu depan rumah ini sebelum kami masuk, tapi aku pikir kan dia bercanda. Apa dia benar-benar inhuman yang banyak ditakutkan orang-orang itu? Inhuman seperti setan yang kami hadapi tahun lalu? Oh Gusti, aku terjebak di antara rahasia orang-orang ini.
“Ayo pergi!” Kata Jennifer.
Dan lihat apa yang menghadang kami di tangga. Itu perempuan yang di atas tadi.
“Berhenti kalian.” Katanya.
Kami pun berhenti. Mereka yang berkelahi juga berhenti. Semuanya melihat ke arah perempuan yang baru aja mengeluarkan perintah itu. Ah, gila, semuanya makin gak masuk akal.
“Eda balik ke dalam. Yang lainnya diam.” Perempuan itu memerintah.
No! No! No! Eda menuruti perintah dia. Aku harus berusaha menahan badan Eda, tapi aku lebih ingin menuruti maunya si perempuan itu. Ini sihir! Ini sihir! Aku terjebak di antara orang-orang yang gak masuk akal, dan sekarang aku kena sihir!
“Tunggu, lu naik ke atas sama mereka. Gak usah nurutin maunya orang gila.” Si pendekar menahan Eda,
“Gak. Gue harus balik ke sofa!” Eda berontak.
“Ngapain nurutin dia sih?!”
Si pendekar terus menahan Eda yang makin berontak. Sementara itu, semua orang di sini tetap diam di posisinya masing-masing.
“Gue bilang diem!” Perempuan itu teriak ke pendekar.
“Mau lu apa, hah!” Si pendekar menantang balik.
“Kok bisa dia gak kena pengaruh?" Gumam si perempuan.
"Pengaruh apa?" Tanya pendekar.
"Masa bodo. Riza, Samuel, sama Ruly, bunuh orang yang baju perang ini.” Perintah lainnya keluar.
Ketiga lelaki itu kembali melawan si pendekar. Aku melihat si pendekar justru bergairah dengan kata bunuh-bunuhan. Oh Gusti, aku gak mau lihat pembunuhan malam ini. Sama sekali dalam hidupku aku gak mau lihat manusia meninggal karena terbunuh.
Sementara itu, Eda terlepas dari genggaman tangan si pendekar yang mendadak sibuk kembali. Dia dituntun perempuan itu untuk kembali ke tempatnya semula, tanpa gangguan.
Dan sekarang perempuan itu gelisah, lalu kami cuma bisa mengamatinya tanpa sanggup berbuat apa-apa.
---
POV Hari
Gak ada yang lebih kaget dari Jenggo. Dia adalah orang tua dari anak itu, namun ditinggal begitu aja untuk kehabisan darah. Gak ada pertolongan apapun yang dilakukan. Jenggo tetap dibiarkan kehabisan darah begitu aja.
“Alicia.. Dia...” Jenggo terengah-engah bersama lukanya.
Gue dan Dani hanya bisa melihat Jenggo.
“Ternyata dia yang ambil.. hhh.. sampel virus itu...” Katanya.
Tiba-tiba Kak Rivin datang bersama warga. Kak Rivin langsung meminta nomor Akmal pada Dani untuk dihubungi. Mereka telat menyadari bahwa kami gak bisa bergerak meski mau.
Lihatlah kami, gak bisa bergerak meski udah dicoba ditolong warga. Mau bagaimana pun gue dipaksa berdiri, gue harus kembali ke tempat semula dengan mata pisau yang tertempel di leher Jenggo.
Begitu juga Dani yang terus mengacungkan icer ke depan, ke arah yang kosong. Kami berontak dari bantuan warga. Gue dan Dani hanya ingin mewujudkan apa yang diminta oleh anaknya Jenggo barusan. Diam di tempat.
BERSAMBUNG