Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA RINDIANI The Series - Pelangi untukku

wah. pram mulai merasa dapat saingan..

tks sist. stay fit and healthy
Benarrrrr bet..
Dan bukan sekedar saingan kaleng-kaleng.. ini dosen idola, dan unggul dalam segala aspek..

Tapi...

Hhhmmmm...

Udah ah, kalo kepanjangan ngebahasnya, ntar seri berikutnya jadi garing bang... hehehehehehe...

Makasih ya bang..

Sehat selalu disana
 
Makin asik j
Semoga bsa d masukin kontol lain slain punya pram
Klo gk 3s gan
Pindah ke cerbung j suhu
3S? Hhmmmm.. jelas NO

"Main sama cowok lain?"
Sepertinya gak akan semudah itu, point2nya udah beberapa kali ditekankan oleh Rindi di seri-seri sebelumnya.

Pindah ke cerbung?
Gak deh, disini aja.. cerbung mah buat kelas berat.. sayah mah anak bawang aja.
 
Part 3



Di ujung lorong gedung kampus yang biasa kami lewati, kulihat suamiku berdiri. Entah apa yang ia lakukan disini, di sore nan mendung seperti ini. Menjemput Anita? Atau menungguku??

Aku telah melupakannya, dan telah memaafkan. Kini, memandangnya hanya seperti memandang orang lain pada umumnya, walaupun sesungguhnya ia adalah suamiku, masih secara sah adalah suamiku karena ia belum menceraikanku. Ia adalah ayah dari putriku, Nova.

“Udah.. biarin aja, gak apa-apa kok Pram.” Kataku seraya mengajak Pram kembali melangkah.

“Ibu yakin?”

“Iyaa.. ibu yakin kok.”

Semakin dekat langkah kami, semakin terlihat jelas perubahan fisik suamiku. Tubuhnya menjadi sedikit lebih kurus dari sebelumnya.

Aku tetap menggandeng Pram, tanganku menyelinap di lengannya. Suamiku berdiri membelakangi kami, sehingga ia tak menyadari kehadiran kami disitu. Dan ketika kami melangkah melewatinya, tak sedikitpun aku memandangnya.

Pram dengan tenang melangkah disisiku, seolah menegaskan tindakanku bahwa aku telah melupakannya.

“kayaknya suami ibu makin kurus ya.”

“Udah, gak usah dibahas, gak penting kok.” jawabku.

Pram tersenyum sambil menepuk tanganku yang melingkar di lengannya.

“Biar ibu yang nyetir.” Pintaku ketika kami sampai dimobil yang diparkir tak jauh dari posisi suamiku berdiri.

Pram menuruti permintaanku dan menyerahkan kunci mobil padaku. Bisa kulihat dari sudut mataku, sesekali suamiku memperhatikanku, namun aku tak memperdulikannya. Dia hanyalah orang asing bagiku. Aku tak mengenalnya.

“Pram, nanti malam mau makan apa?”

“Kita buat nasi goreng aja yuk bu, kayaknya dingin-dingin gini enak lho.”

“Bolehh..”

“Nanti kita buat Nasi Goreng ala Pram dan Rindi.” Sambgungku lagi.

Pram tertawa mendengar celotehku.

Langit mendung kembali menurunkan titik-titik air, menutup perjalanan hari sebelum malam menyapa.

Jalan raya yang kami lewati relatif sepi, dan lampu-lampu kota mulai menerangi pemandangan di sepanjang perjalanan.

“Kalo gak salah, itu rumah pak Sandi.” Kata Pram, sambil menunjuk sebuah rumah dengan disain moderen. Rumah minimalis dua lantai berwarna putih.

“Rumahnya bagus, keren.” Gumanku sambil memandang rumah tersebut.

“Iya, tapi sayang penghuninya cuman satu orang.” guman Pram.

“Lebih asik rumah ibu di kampung, kecil, sederhana, tapi dihuni oleh orang-orang yang selalu menghangatkan suasana.” Sambungnya lagi.

“Iya.. ibu juga suka dengan rumah ibu dikampung. Rumah itu selalu hidup, selalu tenang dan hangat.”

Aku bisa membayangkan betapa sepi rumahku kini jika Pram tak ada disana. Hampir setiap saat, kami selalu menghabiskan waktu disana. Kami melakukan semua aktivitas secara bersama-sama. Kami tertawa, bercanda, bahkan beberapa kali bercinta disana. Pram membuat rumah itu menjadi lebih hidup. Ia melengkapi hidupku, kala aku harus menghadapi salah satu ujian kehidupan.

“Rumah segede itu, kalo tinggal sendirian, apa gak kesepian ya?” guman Pram.

“Ya mungkin kesepian Pram, tapi udah terbiasa kali. Jadi ya gak masalah.”

Setiap orang punya caranya sendiri untuk berhadapan dengan kesendirian, entah bagaimana cara Sandi menghadapinya.

Aku mengusir sepi dengan menghabiskan waktu bersama Pram, atau Nova dan kedua orangtuaku. Bagaimana dengan Sandi? Di usianya yang telah matang, mungkin seharusnya ia telah memiliki pendamping hidup, bahkan keturunan yang bisa membuat suasana rumah menjadi lebih hidup, lebih hangat dan ceria.

“Ibu juga pasti kesepian kalo gak ada kamu Pram.” gumanku.

“Saya juga pasti kesepian kalo gak ada ibu.” timpalnya.

“Sebelum kamu dekat dengan ibu, kamu kan lebih sering mengurung diri di kamarmu aja Pram. Kamu gak bosen?”

“Kadang ya bosen bu, tapi ya bingung juga mau ngapain biar gak bosen. Mau main keluar, males. Mau jalan-jalan, kalo sendirian ya gak asik.”

“Kebanyakan ya cuman tidur aja bu, ngopi, bengong.”

“Mungkin ibu juga gitu kalik yah kalo selama ini kamu gak temenin.”

“Mungkin ibu gak akan kesepian, karena ada Nova.”

“Iya juga sih Pram. Ada Nova.”

“Tapi yang bikin repot kan kalo pas lagi pengen.” Sambungku lagi.

Pram hanya tersenyum. Ia mengerti apa yang sedang kubicarakan.

“Ya self service aja kan bisa bu.” Jawabnya.

“Waduhhh.. bahasanya.. kerennn.”

“Maksud kamu masturbasi?”

Pram mengngguk.

“Ibu gak kepikiran gitu sih Pram, apalagi kemarin-kemarin stres gitu. Jadi lupa.”

“Nah, pas udah normal lagi, sekarang kan ada kamu.” Sambungku lagi.

“Nah, kalo kamu gimana? Dulu sebelum sama ibu, kamu juga masturbasi?”

Pram tertawa, ia nampak malu menjawab pertanyaanku.

“Bahas yang lain aja sih bu, jangan yang itu.”

“Curang.. ibu udah jawab, eh kamunya gak jawab.” protesku.

Pram kembali tertawa, ia menatap wajahku dan tahu aku masih ingin mendengar jawabannya.

“Ya gitu itu bu.” Jawabnya malu-malu.

“Enakan mana? Masturbasi apa main langsung?”

Lagi-lagi Pram tertawa, ia masih belum terbiasa dengan percakapn vulgar seperti ini, belum bisa terbuka sepenuhnya terhadapku.

“Enakan main langsung bu.” jawabnya malu.

“Tapi harus tetap ingat belajar ya Pram.. ingat tugas utamamu disini. Belajar. Ibu siap kok kapanpun kalo kamu lagi pengen main sama ibu. Tapi, kamu harus bisa memfokuskan dan mengutamakan kuliahmu. Inget itu ya sayang.. inget, kapanpun kamu mau main sama ibu, ibu siap kok, selama masih memungkinkan."

“Sekarang juga bisa kok.” Sambungku lagi sambil mengusap kemaluannya.

“Bu, ibu lagi nyetir lhooo.” Balasnya.

Aku tertawa karena berhasil menggoda Pram. Ia nampak khawatir jika aku serius dengan ucapanku.

“Udah beberapa hari kamu nemenin ibu, dan ibu jadi terbiasa dengan hal itu.”

“Malam ini kamu mau temenin ibu lagi?” tanyaku.

“Kalo ibu mau ditemenin lagi, saya temenin bu.”

“Ya udah, malam ini biar ibu coba tidur sendiri dulu. Gak apa-apa kan?”

Pram tersenyum,

“Gak apa-apa kok bu.”

Aku lega mendengar jawabannya. Kekhawatiranku akan kesalahpahaman Pram terhadap permintaanku tidak terjadi. Aku yakin, ia bisa mengerti hal itu.

“Tapi nanti malam kita tetap makan bareng ya Pram, mau kan?”

“Iya.. mau kok bu..”

Gerimis yang turun, merata di seantero kota pelajar, bahkan sampai ke daerah pinggiran, ke tempat tinggalku.

“Dingin gini kamu mau mandi Pram?”

“Ya harus mandi dong bu. Masa gak mandi??”

“Dingin.” Jawabku singkat sambil melipat tanganku didepan dada.

“Saya masakin air buat ibu mandi ya?”

“Gak usah sayang.. gak perlu.. mandi sama kamu kan pasti jadi anget.” Jawabku sambil mengusap pipinya.

“Ya udah, kita mandi sekarang aja bu, biar gak keburu makin dingin.”

“Iihh sayang gak sabar.. pengen ya..??” tanyaku sambil melingkarkan tangan di lehernya.

“Nakal..” jawabnya singkat dan melingkarkan tangannya di pinggangku.

Beberapa saat aku menatap wajah Pram, wajah yang selama ini telah mengisi hari-hariku.

“Kok ibu ngeliatinnya gitu sih?” tanyanya heran.

“Gak apa-apa kok Pram.”Jawabku singkat, lalu mendekatkan wajahku dan melumat bibirnya.

Ciumanku pun berbalas. Pram melumat bibirku dengan lembut, kedua tangannya memegang erat pinggangku.

Seiring detik berjalan, tubuh kami pun akhirnya menyatu dalam sebuah pelukan.

“Kita mandi yuk.” Kataku setelah ciuman kami berakhir.

Hanya dalam waktu singkat, tubuh kami pun terbebas dari seluruh pakaian yang kami kenakan sepanjang hari ini. Walaupun aku sering melihat Pram telanjang, namun kekagumanku pada tubuhnya seolah tak pernah pudar, terutama pada penisnya yang telah beberapa kali memberiku kepuasan.

“Gemessss…” gumanku, sambil menggengam penisnya.

“Kok bisa sampe gede gini sih sayang?” tanyaku.

Pram tertawa sambil memandangku. “Ya gak tau sih bu. Emang gitu itu.” Jawabnya.

“Bikin nagih tauukk.” timpalku sambil mengocok pelan penisnya.

Kami masih berdiri diujung ranjangku, tepat di depan meja rias. Pakaian yang telah terlucuti terserak di lantai disekitar kami.

“ini juga nggemesin kok bu.” Balasnya sambil mengusap kemaluanku.

“Tembem, gak ada bulunya..” sambungnya.

Aku tak kuasa menahan hasrat untuk melahap lagi kemaluannya, aku tak akan puas jika hanya menggengam dan mengocoknya. Aku ingin penis Pram memasuki rongga mulutku lagi, memasuki vaginaku.

Sambil terus mengocok pelan, aku duduk di kursi didepan meja riasku. Sesekali aku melihat pantulan gambar kami melalui cermin besar dimeja rias itu, karena Pram berdiri disampingku.

“Boleh ya…” pintaku manja sambil menengadah, memandang wajahnya.

“Apa gak sebaiknya kita mandi dulu bu.”

“Sebentar aja kok sayang..” jawabku manja, sambil terus mengocok penisnya. Wajahku berada persis disamping penisnya yang telah mengeras.

Pram menatapku mesra, namun tak menjawab permintaanku. Satu tangannya diletakkannya diatas kepalaku, dan tangannya yang lain memegang pangkal penisnya, lalu di arahkannya tepat ke mulutku. Pram mengijinkanku untuk mengoralnya.

Itulah Pramku, lelaki yang selalu memenuhi keinginanku untuk menikmati tubuhnya, merasakan kepuasan birahi yang akhir-akhir ini selalu menghampiriku.

Aku tersenyum memandang wajahnya dan dibalas dengan senyuman seraya tangannya mengusap lembut kepalaku.

Dia selalu seperti itu, selalu bersikap romantis dan lembut terhadapku, sikap yang semakin membuatku semakin merasa bahagia dan senang melakukan hubungan seks dengannya.

Aku segera menjilati penis itu, mulai dari bagian pangkalnya hingga ke ujung.


Terdengar olehku suara deru nafasnya, ketika ujung lidahku mulai merayap perlahan mengikuti lekukan yang membatasi antara bagian batang dan kepala penisnya.

Akhirnya, Pram pun mendesah.

Rintik hujan diluar sana menyempurnakan suasana panas dikamarku. Desahan Pram membuatku semakin bersemangat mengerjai kemaluannya. Aku pun menikmati suara erotis itu, sangat menyukainya karena menunjukkan Pram suka dan menikmati permainan oral seks yang kuberikan.

Sesekali aku menghisap ujung yang berbentuk jamur itu, sementara batang penisnya kukocok perlan. Bagian zakar pun tak luput dari penjelajahan lidahku, bahkan beberapa kali kuhisap hingga Pram merintih nikmat.

Tak butuh waktu lama, sekujur kemaluan Pram basah dan licin akibat ulahku. Air liur membasahi permukaan penisnya, bahkan berceceran hingga menetes ke lantai. Sekitar bibirku pun mengalami hal yang sama, dipenuhi oleh air liurku sendiri, bahkan hingga kebagian pipiku.

Sesekali aku pun melirik ke arah cermin besar disampingku, untuk melihat kenakalanku, menikmati pemandangan erotis yang semakin membakar birahiku.

Beberapa saat berlalu, Pram memasukan Penisnya ke mulutku hingga sedikit jauh kedalam, lalu menariknya keluar dengan perlahan.

Gerakan pinggulnya seolah sedang menyetubuhi wajahku, salah satu cara yang paling aku sukai. Aku yakin, Pram akan takluk, ia akan mencapai orgasmenya jika aku melakukan deepthroat, karena dari pengalaman sebelumnya, ia selalu mencapai klimaks tak lama setelah merasakan sensasinya.

Maka, saat Pram mendorong pelan penisnya memasuki mulutku aku sedikit memaksakan pinggulnya untuk terus menekan penisnya memasuki titik terjauh sesuai ukuran panjang penisnya. Dan setelah penisnya tertanam sempurna dalam mulutku, aku kembali menahan pinggulnya untuk beberapa saat, agar ia tak menariknya keluar.

Hampir beberapa detik lamanya penis itu tertanam sempurna dalam rongga mulutku. Bahkan aku bisa merasakan denyutnya, layaknya jantung yang berdetak.

Dan ketika aku menuntun pinggulnya untuk mundur perlahan, Pram mendesah pelan. Tubuhnya bergetar, lalu memuntahkan spermanya, tepat saat hanya bagian ujung penisnya yang tersisa dalam mulutku.

Aku menatap wajahnya sambil membuka mulutku, agar ia bisa melihat sperma yang sedang ia keluarkan dalam mulutku. Bisa kurasakan cairan kental itu meluncur perlahan kedalam leherku, memasuki tubuhku.

Selama itu pula batang penisnya kukocok pelan, seolah memompa keluar seluruh spermanya sampai habis.

Hanya beberapa detik, penis Pram pun berhenti mengeluarkan cairan kenikmatannya, dan sisa sperma yang masih ada dimulutku kutelan, hingga tak bersisa. Penisnya pun kembali kujilati hingga benar-benar bersih, bahkan ujung lidahku mengorek lubang kencingnya, mencari sisa-sisa sperma yang masih ada disana.

Pram tersenyum puas, sambil mengusap kepalaku setelah aku menyelesaikan permainanku.

“Lemes..” gumannya, sambil duduk ditepian ranjang.

Aku menghampirinya, berdiri diantara pahanya yang terbuka lebar lalu memeluk tubuhnya. Wajahnya terbenam di perutku, dan kedua tangannya melingkar sempurna di pinggangku.

“Istirahat dulu ya sayang, baru kita mandi.” Kataku seraya mengusap rambutnya.

“Makasih bu..” gumannya sambil menengadah, menatapku.

“Iyaa… sama-sama sayang..” balasku, lalu menunduk dan mengecup kepalanya.

Dengan semua kelembutan dan kasih sayangnya padaku, bagaimana mungkin aku tak menyayanginya? Aku bahkan rela melakukan semua kegilaan ini untuknya, untuk kepuasannya, dan untuk kepuasanku juga.

Jika ada orang lain tahu akan semua ini, mungkin mereka akan berpikir bahwa Pram telah mencuci otakku, atau mendoktrinku hingga aku menjadi Rindiani yang tergila-gila pada seks.

Tentu saja bukan karena hal-hal tersebut. Semua yang kulakukan berdasarkan rasa yang ada di hatiku. Aku menyayanginya walaupun aku tak tahu, apakah rasa sayangku ini sebesar rasa sayang Pram padaku. Aku melakukannya dengan rela dan bahagia bisa memuaskan hasrat seksualnya, karena Pram pun melakukan hal yang sama terhadapku.

Seperti yang telah kukatakan padanya dalam percakapan kami kemarin, di halaman rumahku. Aku tahu hal ini salah, sangat salah, karena kami bukanlah pasangan suami istri. Namun sekali lagi kutegaskan pada diriku sendiri. Seks adalah bahasa utama yang kugunakan sebagai ungkapan perasaanku padanya. Aku menyayangi Pram.

Pram masih larut dalam pelukanku hingga beberapa menit lamanya. Ia tampak menikmati waktunya, dan nyaman dengan pelukanku.

“Sayang.. kita mandi yuk.” Kataku seraya kembali mengusap kepalanya. Pram kembali menatap wajahku lalu menagngguk.

Ia berdiri, memelukku dengan erat hingga beberapa saat, dan mengakhirinya dengan kecupan di keningku.

♡♡♡♡♡

Aku senang melakukan segala sesuatu bersama Pram, mungkin karena aku telah terbiasa dengan kehadirannya didekatku, termasuk hal-hal kecil dan spele. Mandi bersama adalah salah satu contohnya, salah satu kegiatan rutin yang telah kami lakukan beberapa kali.

“Dulu ibu sering mandi bareng suami ibu?” tanyanya sambil mengusapkan sabun ke punggungku.

“Pas awal-awal baru nikah aja sih Pram, abis itu ya enggak. Kalo gak salah cuman beberapa kali aja kok.”

“Waktu masih pengantin baru, lagi mesra-mesranya.” timpalnya.

“Iya pas lagi hot-hotnya.” Sambungku.

Aku senang Pram berani bertanya seputar masa laluku, karena aku ingin ia lebih mengenalku, agar bisa memahami dan lebih mengerti tentang siapa diriku. Aku tak keberatan, bahkan jika ia bertanya tentang hal-hal yang bersifat pribadi bersama suamiku pada masa lalu.

“Eh.. ibu pipis..” serunya saat menyabuni kemaluanku dan merasakan urineku yang hangat mengenai tangannya. Aku tersenyum dan menunduk malu.

“Iyaa.. maafff yaaa..” kataku sambil menahan tawa dan malu. Pram pun tertawa, lantas memelukku dari arah belakang.

“Ibu nakal..” bisiknya pelan sambil terus mengusap kemaluanku yang licin karena cairan sabun.

“iyaa.. maaf ya sayang.” Kataku sambil menjulurkan tanganku kebelakang dan memeluk pinggangnya.

“Gak apa-apa kok bu. Cuman kaget aja, soalnya airnya kok tiba-tiba keluar, anget lagi.”

Aku benar-benar malu dibuatnya, akibat kecerobohanku sendiri.

“Abisnya geli.. ibu jadi gak tahan.”

Pram kembali tertawa bersamaku. Setelah selesai membantuku menyabuni seluruh tubuh, kini giliranku menyabuninya.

“Ini kok udah keras aja sih? Padahal barusan dilemesin..” kataku seraya mengenggam penisnya dan meremasnya.

“Gak tau bu.. mungkin karena dingin kalik bu. Udah gitu mandinya bareng ibu lagi..”

“Sayang suka yang mana, dimasukin ke memek ibu atau ke mulut ibu?”

“Suka semuanya bu.. sama-sama bikin lemes.”

Aku tertawa mendengar jawabannya yang jujur. Dan aku yakin Pram tidak berbohong tentang hal itu.

Mandi bersama disertai obrolan ringan mampu mengusir hawa dingin yang menyelimuti kota pelajar senja itu. Justru sebaliknya, kami merasakan kehangatan dari moment intim tersebut. Pelukan, sesekali disertai ciuman hangat selalu terjadi, hingga selesainya mandi tersebut.

“Mau buat nasi gorengnya sekarang atau nanti?” tanyaku, ketika kami melangkah keluar dari kamar mandi.

“Nanti aja bu, belum laper kok.”

“Ya udah, sekarang Pram ganti baju dulu ya, sekalian belajar buat ujian besok.”

Pram mengangguk, lalu memeluk tubuh telanjangku dan kembali melumat bibirku. Cukup lama kami saling melumat bibir, hingga birahiku mulai perlahan bangkit. Kedua tangannya meremas lembut pantatku, dan kurasakan nafas Pram mulai memburu. Pram pun sedang dilanda birahi.

Sejurus kemudian, ia melepaskan ciuman kami dan langsung menghisap putingku. Hisapannya sedikit keras hingga membuat tubuhku tersentak. Disaat yang sama, tangannya menari liar di selangkanganku.

“Sayangggg…” gumanku sambil memegang kepalanya.

“Sayang.. udah..” kataku lagi sambil memaksa kepalanya menjauh dari payudaraku.

“Sekarang sayang ganti baju, terus belajar.. nanti kalo udah lapar, kita buat nasi gorengnya.” Kataku lagi sambil meletakkan kedua tapak tanganku di pipinya.

“Iya bu.”

"Maaf.." sambungnya.

"Kamu gak salah kok sayang.. gak perlu minta maaf.. normal kok, hal yang wajar.. tapi, ibu mau kamu belajar dulu.. fokus untuk ujian besok."

"Iya bu, makasih ya udah ingetin saya."

Aku memeluk dan mengecup keningnya.

Aku senang ia mendengarkanku dan mampu menahan hasratnya. Aku pun menginginkan persetubuhan, sama seperti Pram, namun aku harus mengingatkannya tentang kuliah, ujiannya.

Sekali lagi aku melumat bibirnya dengan penuh kelembutan. Dan seperti yang sudah-sudah, sebuah kecupan hangat dan penuh kasih dilayangkannya ke keningku.

Sepeninggal Pram, aku menyibukan diri dengan menyapu seluruh lantai dalam rumah, mencuci, pakaianku yang kotor, dan membersihkan area dapur. Aku ingin mencoba membiasakan diri dengan kesendirian, karena mungkin hal ini akan menjadi bagian erat dalam perjalanan hidupku nantinya.

Berbekal segelas teh panas, aku memandangi hujan rintik melalui jendela kamarku. Benar-benar hening dan damai.

Aku membayangkan, mungkin ada banyak wanita diluar sana yang merasakan kesepian dan sendiri, disaat-saat seperti ini, dan mungkin wanita-wanita itu bingung menghadapinya.

Aku cukup beruntung, karena Pram mengajariku bagaimana menikmati keheningan, merasakan sepi, dan berteman dengan nyanyian alam melalui germercik rintik hujan.

Memoriku pun berputar, kembali mengingat moment dimana aku melihat suamiku dikampus Pram. Entah apa yang ia rasakan ketika melihatku, apalagi aku sedang bersama Pram, lelaki yang pernah ia jumpai di dapur rumah kami. Apakah ia masih bisa merasakan cemburu? Atau mungkin benci melihatku? Entahlah.. aku sudah tidak memikirkannya, sesikitpun tidak.

Memori tentang Sandi pun mengambil sedikit bagian dalam putaran ingatanku. Dosen rupawan yang menjadi idola kaum hawa di kampus itu memang patut dinobatkan sebagai dosen favorite. Usia muda, mapan, rupawan, dan cerdas, adalah hal mutlak yang menjadi magnet bagi para mahasiswi. Percakapan kami yang hanya sekilas, dan percakapannya bersama Pram, sedilit banyak memberi sinyal bahwa ia memperhatikanku.

Apakah aku sedang berkhayal? Mungkin saja begitu. Apakah aku terlalu percaya diri? Jawabannya, IYA. Pram mengajarkanku untuk memiliki sikap itu, untuk bangga dengan siapa diriku. Ia sangat membantuku dalam hal ini, karena tak sekalipun ia berkomentar negatif atau buruk tentangku.

Aku sadar, aku bukan makhluk sempurna, namun aku berusaha untuk menjadi yang terbaik sesuai dengan karakterku, sesuai kemampuanku.

Dalam hal ini, fisikku menjadi bagian utama, dimana bentuk tubuhku yang gemuk pasca melahirkan sering kali membuatku minder.

Pram hadir, dan mengubahnya. Ia menumbuhkan pandangan positif dalam diriku, dan aku menerimanya dengan tangan terbuka.

♡♡♡♡♡

Waktu hampir menunjukkan jam 8 malam, ketika aku mulai menyibukkan diri di dapur untuk membuat menu makan malam bersama Pram. Aku yakin, sebentar lagi Pram akan kembali, sehingga aku mulai mempersiapkan bahan-bahan yang akan kami masak.

Aku sedang mengiris bawang dan beberapa bumbu lainnya, ketika akhirnya Pram menemuiku di dapur.

“Woww… ibu seksi banget.” Bisiknya sambil duduk di kursi, di belakangku. Aku menoleh ke arahnya, lalu tersenyum.




“pintunya udah dikunci?”

“Udah bu.”

“Ya udah, sini bantuin ibu dong sayang.. masa kamu tega ngelihat ibu masak sendiri?”

Pram mendekatiku, namun tidak untuk membantuku. Ia memelukku dari belakang, sambil mengecup leherku.

“Sayang.. kita masak dulu ya..pelukannya nanti abis makan aja..” kataku, lalu mengecup pipinya yang ia sandarkan di bahuku. Pram membalas mengecup pipiku, lalu mulai membantuku memasak.

“Ternyata ibu punya rok mini juga ya?”

“Iya.. ada beberapa kok.. tapi udah lama ibu gak pernah pakai.”

“Seksi banget.”

“Kamu suka kalo ibu pakai pakaian begini?”

Pram kembali mengecup pipiku dengan gemes.

“Suka banget.” Jawabnya.

“Baru kali ini saya lihat ibu pakai rok mini.”

“Iya.. kalo gak salah sih, terakhir kali ibu pakai rok ini beberapa tahun lalu, sebelum memgandung Nova.”

“Udah lama banget ya.” Katanya singkat.

Hanya dalam beberapa menit, semua bumbu telah siap. Dan kami pun melanjutkan dengan membuat nasi goreng.

“Pedes atau sedang atau gak pedes?” tanyaku sambil mengaduk nasi goreng di wajan.

“Sedang aja bu.”

“Dulu waktu belum menikah, ibu udah sering pakai rok mini?”

“Ya enggak lah sayang.. ibu belinya aja pas udah nikah. Kalo dulu, pakaian ibu ya yang biasa-biasa aja. Yang norak gitu deh.”

“Maksudnya sih buat nyenengin suami ibu. Tapi mungkin karena udah gendut gini, jadi ya dia ngelihatnya biasa aja, malah mungkin jijik kalik Pram.

“Jijik gimana? Seksi montok gini kok.” Jawabnya sambil melirik ke arah pantatku.

“Ya mungkin dia lebih senang dengan yang langsing.”

“Seperti Anita.” Sambungku lagi.

“Nanti Anita juga bakal melar kalo hamil, kalo habis melahirkan. Itu kan emang proses alamiah.” katanya.

“Ya mungkin aja begitu Pram, atau bisa jiga tetap langsing, karena gak semua wanita selalu sama keadaan fisiknya.”

“Tapi saya yakin sih bu, pasti ada laki-laki diluar sana yang suka sama ibu, yang gak peduli dengan fisik ibu.”

“Kamu ini bisaaaaa ajaaa..” jawaku lalu tertawa.

Percakapan itu berlanjut hingga ke meja makan, ketika kami mulai menyantap nasi goreng ala rumahan buatan kami.

“Lho, itu pak Sandi kayaknya suka sama ibu.”

“Hah??” tanyaku kaget sekaligus merasa lucu dengan ucapannya.

“Lho iya kok. Coba ibu pikir deh, ngapain dia nanya-nanya ke saya tentang soal antar jemput ibu kerja. Itu kan hal gak penting banget. Dan bukan urusan dia juga kan?”

“Iya juga sih Pram.”

“Udah.. gak usah dipikirin sayaanggg.. yang penting kamu fokus ujian.” Sambungku lagi.

“Iya bu..”

“Ngomong-ngomong, kalo pak Sandi beneran naksir ibu gimana?” Aku tertawa mendengar pertanyaannya. Sebuah pertanyaan yang logis, namun sungguh sulit untuk kujawab.

“Kalo dia naksir ibu, berarti dia katark.” Jawabku sekenanya.

“Kalo dia beneran suka sama ibu, gimana?” cecarnya lagi.

“Hhmmmm.. kalo emang seperti itu, dia harus berjuang sekuat tenaga untuk merebut hati Nova, hati orang tua ibu, dan hati ibu. Dan hal itu gak akan mudah.”

“Kalo ternyata dia berhasil gimana?”

“Dia masih harus membuktikan dirinya layak untuk menjadi pendamping hidup ibu. Dan hal itu juga gak akan mudah.”

Percakapan itu terhenti dengan jawabanku yang lugas dan tegas. Pram nampak memikirkan apa yang telah kuucapkan.

Setelah selesai mencuci piring dan perabot dapur lainnya, kami bersantai di ruang tengah sambil menikmati acara di televisi.

Diluar, hujan gerimis masih setia membasahi bumi kota pelajar.

♡♡♡♡♡

“Pram.., udah hampir jam 11 lho.. kita istirahat yuk.”

“Iya bu.. besok ibu juga harus kerja.”

“Iya.. kamu ujian jam berapa?”

“Jam sembilan pagi bu, sampai jam sebelas.”

“Ya udah.. istirahat ya..”

Pram pun pamit untuk kembali ke kamarnya, sesuai permintaanku dalam percakapan kami dalam perjalanan pulang, tadi sore.

Sebuah pelukan erat mengakhiri kebersamaan kami sepanjang hari itu.

“Makasih udah dimasakin makan malam ya bu.”

“Iya.. sama-sama sayang.” Balasku sambil mengusap pipinya.

Sebelum melangkah pergi, Pram mengecup keningku dan kedua belah pipiku.

♡♡♡♡♡

Kehadiran Pram dalam malam-malamku menghadirkan kenyamanan dan ketenangan. Dan ketika ia tak ada disisiku, aku merasa seperti kehilangannya.

Kamarku, ranjangku terasa aneh, terasa janggal tanpa kehadirannya. Hingga lewat tengah malam, mataku belum juga terpejam. Berkali-kali aku berganti posisi, demi mencari kenyamanan agar mataku segera terpejam, namun hal itu hanya sebuah usaha yang gagal.

Aku dilanda kegelisahan tanpa kehadiran Pram. Kuputuskan untuk keluar dari kamarku, lalu duduk di meja makan, di dapur. Hanya beberapa menit lamanya, aku pun kembali ke depan TV, dan menonton, entah acara apa yang tersaji, aku tak memperhatikannya. Akhirnya, kuputuskan untuk mendekat ke arah pintu samping dan melihat keadaan kamar Pram.

Dari celah gorden penutup jendela bisa kulihat lampu kamar Pram telah dimatikan. Pram telah terlelap dalam tidurnya, pikirku.

Aku tak bisa melawan kegelisahan dan ketidaknyamananku, dan aku yakin, aku akan terjaga sepanjang malam hingga pagi jika terus menerus dalam keadaan seperti ini.

Segera kuraih ponselku dan mencari nama Pram disana. Aku ingin menelponnya.

Hanya beberapa detik setelah telponku terhubung, Pram langsung menerimanya.

“Pram.. kamu udah tidur?”

“Belum bu.”

“Ibu juga belum tidur.” jawabku.

"Iya, kalo ibu udah tidur, ibu gak bisa menelpon saya, kecuali ibu lagi ngelindur." Gumannya.

Aku tertawa mendengar ucapannya. Komentar logis namun cukup untuk membuatku tertawa.

“Ibu baik-baik aja kan? Ibu sakit??”

“Enggak.. gak tau kenapa kok gak bisa tidur.”

“Kamu mau gak, temenin ibu tidur malam ini??” tanyaku.

“Iya bu. Ibu tunggu sebentar ya.”

“Iya.. makasih ya sayang.” Jawabku.

Hanya beberapa menit kemudian, terdengar suara pintu samping rumahku terbuka, lalu kembali tertutup dan terkunci. Lalu suara ketukan terdengar di pintu kamarku.

“Iya. Masuk.” Pram muncul didepan pintu kamar tidurku. Ia mengembalikan senyum diwajahku, dan mampu mengusir kegelisahanku. Dialah yang aku butuhkan, untuk melewati malam dingin dalam kehangatan pelukannya.

“Ibu kira kamu udah tidur.” Kataku sambil menutupi tubuh kami dengan selimut.

“Belum bu. Gak tau kenapa kok kayak gelisah, gak enak aja rasanya. Padahal lampu kamar sudah saya matikan biar gelap, biar cepet ngantuk.”

“Iya, sama kayak ibu. Dari tadi bolak balik aja dikasur, gak merem-merem.”

“Mungkin kita terbiasa tidur sama-sama kalik bu, jadi kalo tidurnya sendirian, rasanya aneh, kayak ada yang kurang.

“Kayaknya sih bener gitu Pram.” Kataku mengamini ucapannya sambil memeluk erat tubuhnya.

“Pram..”
“Iya bu?”

“Hhmmmm.. ibu minta maaf kalo selalu memonopoli waktumu, menggangu waktumu."

Pram menatapku dalam-dalam, tangannya menempel erat di pipiku.

“Ibu gak perlu minta maaf, karena gak ada yang salah. Saya gak pernah merasa direpotkan kok bu.” Katanya, lalu dengan lembut melumat bibirku.

Kami berpelukan erat, dan tangannya kembali memanjakanku dengan belaian di kepalaku.

“Sayang..”

“Iya bu..”

“Hhmmm.. anu..” gumanku ragu.

Pram kembali menatapku, dengan penuh tanda tanya.

“Iya..?”

“Hhmmm, kalo kita tidurnya seperti semalam, boleh?” tanyaku.

“Bolehh kok buuu…” jawabnya singkat lalu mencubit pipiku.

Aku tersenyum, dan senang karena Pram memenuhi keinginanku. Tanpa banyak membuang waktu, kulucuti semua pakaian yang menutupi tubuhku, begitu juga dengannya.

Aku yakin, aku telah mengalami ketergantungan terhadap kehadiran Pram dalam hidupku, begitu juga dengannya. Dan malam ini adalah bukti permulaan akan fakta tersebut. Semua ini berlangsung secara alami dan telah melalui proses kehidupan yang panjang. Butuh waktu berbulan-bulan sejak kedekatan pertama kami.

Dan kini, bahkan melewati malam yang hanya beberapa jam saja tanpa kehadirannya pun, aku tak mampu. Hatiku telah terikat padanya.


♡♡♡ SERI 4 TAMAT ♡♡♡

Kita akan bersua kembali di seri ke 5. Terima kasih :rose:
 
seri 4 selesai ya..

kritik, saran, masukan akan sangat membantu saya untuk menulis lebih baik lagi.

terima kasih untuk temen-temen semua yang meluangkan waktu untuk membaca kisah ini. :ampun:

maaf kalo gak sempet balas semua komen kalian.. :ampun:

selamat malam, selamat beriatirahat :rose:
 
Sebenernya bukan sengaja menghadirkan tokoh Sandi, tapi tokoh itu emang ada dalam perjalanan kisah ini, dan kemunculannya emang baru dimulai di seri 4 ini..

Mungkin nanti di seri selanjutnya akan ada tokoh lain yang hadir..

Begitulah relita hidup bermasyarakat.. ada banyak kenalan, bertambahnya jumlah relasi, dan sebagainya...

anyway.. makasih ya, udah mengikuti kisah ini
Kisah ini memang menarik untuk diikuti. Bahasa dan gaya penulisannya ga terlalu berat, jadi nyaman untuk di baca. Intinya menurut saya kisah ini cukup masuk akal. Ditunggu update selanjutnya ya mba.
Semangat.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd