Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA RINDIANI The Series - Pelangi untukku

part 2




Pram menggelengkan kepalanya.

“Kita mandi ya.. trus sarapan.. ibu harus kerja lhoo.” katanya dengan lembut.

Aku menatap jam dinding yang tergantung tepat diatas pintu. Hampir jam enam, hanya kurang beberapa menit.

“Ibu punya utang sama kamu.. ibu belum puasin kamu.” Kataku seraya kembali memelukknya.

“Enggak kok bu.. semalam ibu udah puasin saya pas di mobil.”

“Ya beda dong sayang.. itu kan kemarin..hari ini ya lain lagi..”

“Emang ibu gak bosen?”

“Enggak.” Jawabku singkat sambil mengecup pipinya.

“Ibu malah pengen tiap hari kayak gini.” Sambungku lagi.

“Kita kayak pengantin baru.” Kata pram lalu tertawa.

“Iyaa.. abisnya kamu pinter sih.. ibu ketagihan jadinya.”

Pram kembali melumat bibirku, sementara tangannya dengan lembut meremas payudaraku, lagi.

“Kita mandi yuk.” katanya.

Pram berdiri, lalu menarik lenganku untuk bangkit dari tempat tidur.

“Hayuukkk.”

Tak butuh waktu lama bagi kami untuk membasuh tubuh. Dinginnya air shower yang mengalir terasa menusuk hingga tulang.

“Dingin banget.” Gumanku, bibirku gemetar menahan dingin, begitu juga dengan Pram.

“Sini..” katanya sambil menarik lenganku, mengajakku ke depan meja rias. Di olesinya punggungku dengan minyak kayu putih, begitu juga dengan perut, dan sekitar pinggangku.

“Makasih sayang.” “Kamu juga mau pakai minyak kayu putih?” tanyaku.

“Enggak bu.. gak terlalu dingin kok.”

“Ya udah, sekarang ibu pakai baju. Saya mau ke kamar dulu, ganti pakaian.”

“Iya.. makasih ya.”

Sekali lagi kami berpelukan, lalu saling berciuman hingga beberapa saat.

♡♡♡♡♡

Hingga pukul tujuh pagi, hujan rintik-rintik belum menandakan akan reda, karena mendung tebal masih menghiasi langit kota pelajar.

“Pram, nanti selesai ujian jam 12 kan? Terus rencanya mau ngapain?”

“Mau ke perpustakaan bu, belajar disana sambil nungguin ibu pulang.”

“Ya udah kalo gitu, ibu kira kamu mau pulang ke rumah. Kalo mau duluan pulang gak apa-apa lho Pram, kamu bawa mobil ibu aja, nanti ibu naik ojek atau naik taksi aja gak apa kok.”

“Enggak bu. Kita pulangnya sama-sama aja. Gak apa-apa kok. Sekalian belajar juga buat ujian besok.”

Pram mengantarkanku tepat didepan pendopo gedung universitas, sehingga aku tak terkena hujan, lalu ia memarkirkan mobil, tak jauh dari tempat ia menurunkanku.

Seperti biasanya, wajah-wajah familiar telah berkumpul disana, tertawa, lalu saling mencubit lalu tertawa lagi. Entah apa yang mereka perbincangkan. Dan ketika melihat kedatangan kami, mereka pun bersorak. Suasanya sungguh riuh, hingga menarik perhatian mahasiswa mahasiswi lainnya yang kebetulan sedang berada disitu.

Pram dan aku pun bergabung bersama mereka, namun Rita mendekatiku lalu menarikku sedikit kebelakang Pram, menjauh dari kerumunan itu. Tatapan usilnya telah terlihat sejak aku dan Pram tiba. Aku yakin, sebentar lagi ia akan mengerjaiku.

“Eh mbak, gimana..? semalam hujan lhoo.” Bisiknya sambil memainkan alisnya. Wajahnya semakin terlihat jahil dan usil.

“Iya, semalam hujan.” Jawabku singkat.

“Trus..??” tanyanya.

“Terus apanyaaa??” tanyaku.

Lagi-lagi ia memainkan alisnya. Aku yakin pertanyaannya sedang mengarah ke perbincangan yang panas, seks.

“Terus tidur nyenyak.” Jawabku.

“Sendiri?”

“Ya iyalahhh Ritaaaa”

“Beneran..???” tanyanya lagi sambil memainkan alisnya.

Aku yakin, jika Rita tidak mendapatkan jawaban yang ia inginkan, maka keusilannya tidak akan berhenti.

“Semalam sih gak ada apa-apa.”

“Tapi pagi tadi dapet serangan fajar. Sampe lemes. Tau gak?? Sampe muncrat kayak air mancur.. ini aja masih ngilu rasanya.” Jawabku sambil berbisik.

“Astaagaaaaa…. Iiiiiiiihhhhhh…” gumannya sambil mengigit ujung kukunya.

“Pasti enak banget..!” bisiknya.

Aku tertawa, puas melihat wajahnya yang nampak takjub dengan jawabanku.

Tiba-tiba ia mendekati Pram dan langsung memegang lengannya.

“Praammmm…. Aku juga pengen dibuatin air mancur.” Katanya dengan manja.

“Hahh.. apa?? Air mancur??” tanya Pram heran.

“Iyaaa… masa mbak Rindi aja yang dikasih air mancur??”

Galang, Topan, Nina, dan Deva tercengang dengan kelakuan Rita. Mereka bingung dengan apa yang dibicarakan oleh Rita.

“EEHHHHH… GGAAAKKKKKKK BISAAAAA..! GAK BOLEHH…!!” protesku sambil memegang lengan Pram yang lain.

“Air mancur???” Air mancur apaannn sih??” tanya Pram bingung.

Aku tertawa melihat kebingungan mereka, sedangkan Rita masih saja terus memegang lengan Pram. Ia merengek manja.

“Pram bisa bikin air mancur?”

"Aku juga mau dong dibuatin.” Kata Nina.

Aku dan Rita sedikit terkejut karena Nina yang terkenal pendiam itu angkat bicara, apalagi ia tak tahu perihal sebenarnya yang ia ucapkan.

Teman-teman Pram yang lain semakin bingung, melihat kebingungan Pram. Tatapan mereka tertuju pada Pram. Pram menggelengkan kepalanya.

“Kalian aneh” gumannya.

“Gue cabut genk, ujian jam delapan.” Kata Topan.

Kami pun membubarkan diri, lalu berjalan bergerombolan memasuki gedung kampus itu.

Aku dan Rita berjalan bersisian, dibelakang mereka.

“Jadi pengen..” gumannya pelan.

Aku tertawa melihat tingkahnya yang seolah menjadi gadis manja.

“Eehhh.. gak boleh dong.. enak aja..!”

“Huhhh.. pelit..”

“Biarin..”

Sebelum kami berpisah karena Rita telah sampai didepan ruamg ujiannya, ia kembali berulah.

“Lain kali ajakin aku dong..?!” bisiknya.

“Hah??.. main bertiga?? Thrersome??? Tanyaku kaget.

“Iya dong.. siapa takut??!” jawabnya.

“GAAAKKKKK MAUUU.” Jawabku dengan sedikit keras.

Pram, dan teman-yeman lainnya menengok kebelakang, ke arah kami.

“Benar-Benar aneh.” Guman Galang sambil menggelengkan kepala.

Seperti biasanya, Pram masih setia mengantarkanku hingga kedepan warung.

“Tadi sama Rita bicarain apaan sih bu?”

“Biasaaa Pram.. temenmu yang satu itu kalo gak usil sehari aja, kayaknya bakal kiamat dunia.”

Pram tertawa mendengar jawabanku.

“Ya udah, selamat bekerja ya bu..”

“Iya.. makasih ya Pram.” Jawabku sambil mencubit pipinya.

“Jangan lupa, payungnya disimpen baik-baik ya, jangan sampe hilang.” Pesanku.

Aku sedang bersiap-siap dibelakang, ketika kudengar si ibu pemilik warung memanggilku.

“Mbak, tolong buatin teh panas satu ya.”

“Iya bu.”

Setelah membuat pesanan si ibu, aku mengantarkannya kedepan.

“Ini mas, minumnya.”

“Iya, makasih mbak.”

Aku hendak kembali ke dapur, namun si pelanggan pertama kami itu mengajakku berbicara.

“Mbak baru kerja disini ya?”

“Iya mas.”

“Nama mbak siapa?” tanyanya.

“Rindi mas.”

“Oke.. makasih mbak Rindi”

Si ibu pemilik warung tersenyum melihat ke arah pria tersebut, lalu menyusulku ke dapur.

“Itu mas Sandi, dosen di kampus Pram.”

“Udah lama dia gak makan disini, sekarang dateng lagi.” Lanjut si ibu.

“Ganteng..” gumanku.

“Iyaa.. itu dosen idola kampus disini. Masih bujang lho mbak.”

“Belum punya pacar juga.” Sambung si ibu.

“Kok ibu tau?” tanyaku heran.

“Ya tau dong mbak, banyak cewek-cewek kampus yang sering ngerumpi sambil makan disini, jadi ibu denger.”

“Ooo gitu.. berarti mas Sandi terkenal banget dong.”

“Kayaknya sih gitu mbak, soalnya cakep gitu, dosen lagi.” jawab si ibu.

Sekilas, wajah Sandi mirip dengan wajah seorang artis yang sering tampil di film-film. Kulitnya kecoklatan, layaknya kulit mayoritas masyarakat lokal. Rambutnya terpotong rapi, melengkapi kesempurnaan kemeja lengan panjang dan celana berbahan kain yang ia kenakan. Mungkin usianya tak jauh berbeda denganku, atau mungkin seusia dengan suamiku.

Hampir limabelas menit kemudian, si ibu kembali memanggilku.

“Mbak Rin, mejanya tolong dibersiin.”

Aku segera kembali ke depan, mengambil piring yang telah digunakan oleh Sandi.

“Mbak Rindi, tolong minta air putih segelas ya.” pintanya.

“Iya mas, sebentar ya.”

Setelah mengantarkan piring kedapur, aku kembali membawakan segelas air putih pesanannya.

“Silahkan mas.” Kataku.

“Kayaknya saya sering lihat mbak dijalan. Mbak tinggal dimana?”

“Saya tinggal di Bantul mas.”

“Oh iya, pantesan. Saya juga di Bantul mbak.”

“Oalahh.. berati tetangaan mas.”

“Iya mbak.”

“Saya tinggal dulu ya mas, mau ke dapur dulu. Permisi.”

Layaknya seorang dosen, Sandi terlihat rapi dan bersih. Wajar saja jika menjadi idola para mahasiswi dikampus, apalagi ia terlihat masih muda, dan sopan. Tentu saja kecerdasannya tak diragukan lagi, apalagi bekerja sebagai tenaga pengajar di kampus ternama seperti kampus Pram, kampus yang menjadi incaran berbagai pemburu ilmu dari seantero negri ini.

“Denger-denger, dulu mas sandi itu udah tunangan mbak, tapi trus tunangannya kabur sama laki-laki lain.” Kata si ibu pemilik warung. Ia menemaniku bersantai di dapur.

“Kok ibu bisa tau?” tanyaku heran.

“Iya tau mbak, soalnya tunangannya yang kabur itu pernah kost dideket sini mbak, .”

“Ooo gitu.. saya kira ibu denger dari gosip anak kampus.”

“Ya ada juga yang gosipin masalah itu sih mbak.”

Ada-ada saja ujian hidup yang menghampiri manusia. Cerita tentang Sandi mirip dengan kisahku, dimana orang yang kami cintai, pergi meninggalkan kami, dan memilih orang lain sebagai cintanya.

Pengkhianatan adalah kejahatan terhadap cinta yang menimbulkan luka, dan rasa sakitnya akan selalu membekas. Bagi mereka yang memiliki mental kuat, tentu akan mampu melewati cobaan itu dengan ketegaran. Namun bagi yang lemah, pengkhianatan itu akan menimbulkan efek yang sangat buruk, dan butuh waktu lama untuk menyembuhkan luka di hati.

Aku sangat beruntung, walaupun tak sekuat perempuan lainnya yang pernah menjadi korban pengkhianatan suami. Aku terpuruk, jatuh kedalam kubangan nestapa, namun orang-orang disekelilingku berupaya untuk menolongku.

Kedua orangtuaku, Nova, dan Pram. Mereka adalah para pelecut semangatku, memberiku kekuatan untuk segera bangkit dan menata hidup. Dan kini aku mampu berjalan, melanjutkan hidupku tanpa menengok kebelakang. Aku telah melupakan masa suram itu.

“Mungkin mas Sandi trauma mbak, makanya sampai sekarang belum menikah.” Sambung si ibu.

“Padahal umurnya udah matang, hidupnya udah mapan, kerjaan bagus. Ya udah siap nikah gitu.” Katanya lagi.

“Mungkin masih belum ketemu yang cocok kali bu. Atau mungkin masih ingin sendiri dulu.”

“Ya mungkin aja gitu sih mbak.” Sahut si ibu.

“Ya udah, ibu kedepan dulu ya..” kata si ibu, lalu meninggalkanku.

Mungkin garis takdir telah terlukis bagi setiap insan dimuka bumi ini, namun terkadang manusia tak memahami makna dibalik takdir tersebut. Terlalu sulit, bahkan tak mungkin untuk memahami setiap kejadian dalam hidup, terutama jika mengalami hal yang menyakitkan.

Berpikiran positif, dan mengambil hikmah dibalik setiap kejadian akan membantu memahami makannyang tersembunyi dari setiap peristiwa.

Dalam masalah yang menimpaku, pengkhianatan suamiku menunjukkan bahwa ia bukanlah pria sejati, karena telah meninggalkanku, meninggalkan Nova anaknya demi wanita lain. Suamiku berprilaku baik didepanku, didepan keluarga besar kami, namun menjadi pencoreng nama baik keluarga karena mengkhianati pernikahan kami.

Aku telah melupakan masalah itu, bahkan memaafkannya. Itulah caraku untuk mendapatkan kedamaian dalam hatiku, karena aku yakin, tak mungkin mendapatkan ketenangan jika masih menyimpan amarah, masih menyimpan dendam padanya.


Hampir menjelang tengah hari, hujan telah berhenti walaupun mendung masih menutupi langit kota pelajar.

Nina, Deva, dan Galang telah menampakkan batang hidungnya di warung tempatku bekerja.

“Yang lain kemana?” tanyaku.

“Cieeeee… yang lain? Atau maksudnya Pram?” sahut Nina.

“Eh.. Ninaaaa, hhmmm kamu ini ketularan Rita. Mulai jahil juga, usil.” protesku.

“Mbak belum tau aja sih.” Jawab Galang.

“Rita gak ada, Nina biang rusuh. Nina ini sama aja kayak Rita mbak.” Sambungnya lagi.

“Ehhh.. enggak kok… jangan percaya mbak.. Galang otaknya lagi panas, abis ujiannya soalnya.”

“Ya udah.. kalian makan dulu ya, mbak mau lanjut kerja.”

Pengunjung mulai berdatangan memenuhi setiap kursi yang tersedia. Dan Sandi adalah salah satu diantaranya.

“Mbak, teh panas satu, sama air putih satu ya.”

“Iya mas, bentar ya.”

Sandi memang dosen idola, wajahnya yang rupawan menjadi magnet bagi sebagian besar mahasiswi yang sedang menikmati makan siang. Banyak diantara mereka yang sesekali melirik ke arahnya.

“Ini mas minumamnya.”

Didepan Pintu, Pram, Rita dan Topan akhirnya datang menyusul ketiga temannya yang lain, yang telah terlebih dahulu tiba.

“Mbak Rin.. tuh yang dicari udah dateng.” celetuk Deva.

“Cieeeee ciiieee.. Mbak Rin senyum-senyum..” timpal Rita.

“Permisi ya mas, saya tinggal dulu.” Kataku pada Sandi, lalu mendekat ke arah Pram dan teman-temannya.

Rita kembali menggodaku, tatapan matanya yang usil kembali menghantuiku.

“Baru beberapa jam ditinggal, udah nanyain Pram.” Celetuk Rita.

Candaan Rita sukses membuat banyak pasang mata tertuju pada kami. Seperti biasanya, Pram hanya membalasnya dengan senyuman.

“Udah-udah.. kalian mau minum apa?” tanyaku.

Dan mereka pun menyebutkan minuman mereka satu persatu.

“Pram mau minum apa?” tanyaku.

“Susu yang kenyal.” Jawab Rita sambil berbisik ditelingaku.

Sontak saja aku langsung mencubit pinggangnya dengan sedikit keras sehingga ia menjerit. Dan sekali lagi-lagi, kami menjadi pusat peehatian seluruh pengunjung warung.

“Saya minum es teh bu.” Jawab Pram.

Pram melihat Sandi dan menyapanya dengan sedikit menundukkan kepala. Begitu juga dengan Sandi.

“Ya sudah, mbak tinggal dulu ya.” Kataku pada mereka.

Sambil menikmati makan siang, mereka kembali berbincang-bincang, mereka membuat suasan warung semakin ramai karena canda tawa. Aku dan ibu pemilik warung ikut tersenyum melihat tingkah mereka.

“Tumben mas Sandi makan siang disini.” Kata si ibu.

“Iya bu, baru kali ini saya lihat dia makan siang disini.”

“Iya.. udah lama banget lho gak kelihatan disini.” timpal si ibu.

Sandi telah selesai menyantap makan siangnya, dan ketika membayar pada ibu pemilik warung, ia juga menyapaku.

“Mbak kenal dengan mereka?” tanyanya sambil melirik ke arah Pram dan teman-temannya.

“Iya, Kenal.”

“Ooo gitu.. mereka emang terkenal paling ribut kalo udah pada ngumpul Mbak. Dimaklumin aja.” Sambungnya lagi.

“Mbak kalo kerja naik apa? Naik angkot atau??”

“Saya bareng sama Pram, Mas.”

“Oo gitu.. ya udah.. kalo mbak naik angkot, atau gak ada kendaraan, sama saya aja gak apa-apa kok.. rumah kita kan searah mbak.”

“Iya mas, makasih ya.. lain kali aja mas. Saya selalu diantar dan dijemput kok mas.”

“Iya mbak.”

"Ya udah, saya permisi dulu ya mbak. Mari buu..." katanya padaku dan ibu pemilik warung.

Selama perbincangan singkat itu, sesekali kulihat Pram melirik ke arahku, namun aku berpura-pura tidak memperhatikannya.

“Udah ganteng, baik hati lagi.” Guman si ibu pemilik warung yang ikut mendengarkan perbincanganku dengan Sandi.

Aku hanya tersenyum mendengarnya, lalu kembali memulai pekerjaanku.

Satu persatu pengunjung mulai meninggalkan warung, begitu juga dengan teman-teman Pram. Hanya ada beberapa pengunjung lain yang tersisa, dan Pram.

“Nanti jadi belajar di perpustakaan?”

“Iya bu, jadi kok. Sekalian nungguin ibu.”

“Makasih ya Pram.”

“Nanti kalo kamu selesai ujian, kita main ke malioboro yuk.. mau gak?”

“Iyaaa.. boleh bu. Sekalian refreshing.”

“Ngomong-Ngomong, tadi Pak Sandi kayaknya ngobrol sama Ibu, ibu kenal beliau?”

“Enggak kenal sih Pram, ibu juga baru dua hari ini lihat dia makan disini.”

“Ooo, saya kira ibu kenal.”

“Dia dosen favorite lho bu, idola cewek-cewek kampus sini.” Sambungnya lagi.

“Iya, katanya sih juga masih lajang. Kalo ganteng gitu ya wajar aja jadi idola Pram.”

“Dia dosen kamu?” tanyaku.

“Bukan bu, beliau dosen fakultas sastra.”

“Ooo.. kirain dosen kamu. Soalnya dia juga tau kamu lho.. tau temen-temenmu juga.”

“Pasti karena kami paling ribut di kampus ini.” jawab Pram.

“Iya bener..” jawabku lalu tertawa.

“Ya udah, ibu lanjut kerja dulu ya,”

“Iya bu.”

Sisa hari yang kulewati nyaris tanpa pekerjaan yang berarti, karena warung telah sepi pengunjung. Aku bisa bersantai, mengistirahatkan kakiku yang capek.

Langit kota pelajar benar-benar sedang tidak bersahabat. Awan yang menggantung telah melenyapkan sinar matahari sejak pagi, praktis suasana sore menjadi sedikit gelap dan hawa dingin terasa menusuk.

Tak seperti biasanya, Pram telat menjemputku, karena hampir sepuluh menit aku menunggu, ia tak kunjung datang.

Saat aku hendak melangkah pergi, kulihat Pram berlari menuju ke arahku.

“Maaf bu, saya telat.” Katanya sambil berusaha mengatur nafas.

“Gak apa-apa kok Pram. Lagian kamu kan belajar, ibu ngerti kok.” kataku seraya menggandeng tanggannya sambil berjalan.

“Sebenernya gak telat bu, tapi tadi pas di depan pintu perpus, ketemu pak Sandi, trus kita ngobrol bentar.”

“Kamu juga kenal dekat dengan mas Sandi?”

“Enggak juga sih bu. Cuman kenal gitu aja, tau nama aja sama dosen fakultas mana.”

“Ooo.. ibu kira kamu kenal dekat.”

“Enggak kok bu..tadi itu beliau nanya, kok saya yang anter jemput ibu kerja.”

“Trus kamu jawab gimana?” tanyaku.

“Ya saya bilang aja kalo saya kebetulan kost di tempat ibu.”

“Aneh.. kok nanyanya gitu sih?”

“Iya.. aneh..mungkin naksir ibu kali.” Jawabnya singkat.

Aku telah mengenal Pram, sedikit banyak mengerti sifat dan karakternya, namun kali ini ada hal baru yang muncul dari sikapnya, dari caranya berbicara denganku. Pram cemburu?

“Mana mungkin dia naksir ibu. Daripada pilih ibu, mending pilih cewek-cewek kampus. Lebih bening, lebih segar, muda lagi.”

“Iya sih bu, tapi kan kita gak tau, mungkin dia ngerasa sesuatu terhadap ibu. Lagian, bukan melulu soal fisik kan? Yang jadi pertimbangan.”

“Iya sih, kamu benar Pram.”

Tiba-tiba Pram berhenti melangkah,

“Bu..” katanya seraya melihat jauh kedepan.

♡♡♡

Part 3 akan rilis dalam beberapa jam kedepan ya.. mohon bersabar :rose:
 
part 2




Pram menggelengkan kepalanya.

“Kita mandi ya.. trus sarapan.. ibu harus kerja lhoo.” katanya dengan lembut.

Aku menatap jam dinding yang tergantung tepat diatas pintu. Hampir jam enam, hanya kurang beberapa menit.

“Ibu punya utang sama kamu.. ibu belum puasin kamu.” Kataku seraya kembali memelukknya.

“Enggak kok bu.. semalam ibu udah puasin saya pas di mobil.”

“Ya beda dong sayang.. itu kan kemarin..hari ini ya lain lagi..”

“Emang ibu gak bosen?”

“Enggak.” Jawabku singkat sambil mengecup pipinya.

“Ibu malah pengen tiap hari kayak gini.” Sambungku lagi.

“Kita kayak pengantin baru.” Kata pram lalu tertawa.

“Iyaa.. abisnya kamu pinter sih.. ibu ketagihan jadinya.”

Pram kembali melumat bibirku, sementara tangannya dengan lembut meremas payudaraku, lagi.

“Kita mandi yuk.” katanya.

Pram berdiri, lalu menarik lenganku untuk bangkit dari tempat tidur.

“Hayuukkk.”

Tak butuh waktu lama bagi kami untuk membasuh tubuh. Dinginnya air shower yang mengalir terasa menusuk hingga tulang.

“Dingin banget.” Gumanku, bibirku gemetar menahan dingin, begitu juga dengan Pram.

“Sini..” katanya sambil menarik lenganku, mengajakku ke depan meja rias. Di olesinya punggungku dengan minyak kayu putih, begitu juga dengan perut, dan sekitar pinggangku.

“Makasih sayang.” “Kamu juga mau pakai minyak kayu putih?” tanyaku.

“Enggak bu.. gak terlalu dingin kok.”

“Ya udah, sekarang ibu pakai baju. Saya mau ke kamar dulu, ganti pakaian.”

“Iya.. makasih ya.”

Sekali lagi kami berpelukan, lalu saling berciuman hingga beberapa saat.

♡♡♡♡♡

Hingga pukul tujuh pagi, hujan rintik-rintik belum menandakan akan reda, karena mendung tebal masih menghiasi langit kota pelajar.

“Pram, nanti selesai ujian jam 12 kan? Terus rencanya mau ngapain?”

“Mau ke perpustakaan bu, belajar disana sambil nungguin ibu pulang.”

“Ya udah kalo gitu, ibu kira kamu mau pulang ke rumah. Kalo mau duluan pulang gak apa-apa lho Pram, kamu bawa mobil ibu aja, nanti ibu naik ojek atau naik taksi aja gak apa kok.”

“Enggak bu. Kita pulangnya sama-sama aja. Gak apa-apa kok. Sekalian belajar juga buat ujian besok.”

Pram mengantarkanku tepat didepan pendopo gedung universitas, sehingga aku tak terkena hujan, lalu ia memarkirkan mobil, tak jauh dari tempat ia menurunkanku.

Seperti biasanya, wajah-wajah familiar telah berkumpul disana, tertawa, lalu saling mencubit lalu tertawa lagi. Entah apa yang mereka perbincangkan. Dan ketika melihat kedatangan kami, mereka pun bersorak. Suasanya sungguh riuh, hingga menarik perhatian mahasiswa mahasiswi lainnya yang kebetulan sedang berada disitu.

Pram dan aku pun bergabung bersama mereka, namun Rita mendekatiku lalu menarikku sedikit kebelakang Pram, menjauh dari kerumunan itu. Tatapan usilnya telah terlihat sejak aku dan Pram tiba. Aku yakin, sebentar lagi ia akan mengerjaiku.

“Eh mbak, gimana..? semalam hujan lhoo.” Bisiknya sambil memainkan alisnya. Wajahnya semakin terlihat jahil dan usil.

“Iya, semalam hujan.” Jawabku singkat.

“Trus..??” tanyanya.

“Terus apanyaaa??” tanyaku.

Lagi-lagi ia memainkan alisnya. Aku yakin pertanyaannya sedang mengarah ke perbincangan yang panas, seks.

“Terus tidur nyenyak.” Jawabku.

“Sendiri?”

“Ya iyalahhh Ritaaaa”

“Beneran..???” tanyanya lagi sambil memainkan alisnya.

Aku yakin, jika Rita tidak mendapatkan jawaban yang ia inginkan, maka keusilannya tidak akan berhenti.

“Semalam sih gak ada apa-apa.”

“Tapi pagi tadi dapet serangan fajar. Sampe lemes. Tau gak?? Sampe muncrat kayak air mancur.. ini aja masih ngilu rasanya.” Jawabku sambil berbisik.

“Astaagaaaaa…. Iiiiiiiihhhhhh…” gumannya sambil mengigit ujung kukunya.

“Pasti enak banget..!” bisiknya.

Aku tertawa, puas melihat wajahnya yang nampak takjub dengan jawabanku.

Tiba-tiba ia mendekati Pram dan langsung memegang lengannya.

“Praammmm…. Aku juga pengen dibuatin air mancur.” Katanya dengan manja.

“Hahh.. apa?? Air mancur??” tanya Pram heran.

“Iyaaa… masa mbak Rindi aja yang dikasih air mancur??”

Galang, Topan, Nina, dan Deva tercengang dengan kelakuan Rita. Mereka bingung dengan apa yang dibicarakan oleh Rita.

“EEHHHHH… GGAAAKKKKKKK BISAAAAA..! GAK BOLEHH…!!” protesku sambil memegang lengan Pram yang lain.

“Air mancur???” Air mancur apaannn sih??” tanya Pram bingung.

Aku tertawa melihat kebingungan mereka, sedangkan Rita masih saja terus memegang lengan Pram. Ia merengek manja.

“Pram bisa bikin air mancur?”

"Aku juga mau dong dibuatin.” Kata Nina.

Aku dan Rita sedikit terkejut karena Nina yang terkenal pendiam itu angkat bicara, apalagi ia tak tahu perihal sebenarnya yang ia ucapkan.

Teman-teman Pram yang lain semakin bingung, melihat kebingungan Pram. Tatapan mereka tertuju pada Pram. Pram menggelengkan kepalanya.

“Kalian aneh” gumannya.

“Gue cabut genk, ujian jam delapan.” Kata Topan.

Kami pun membubarkan diri, lalu berjalan bergerombolan memasuki gedung kampus itu.

Aku dan Rita berjalan bersisian, dibelakang mereka.

“Jadi pengen..” gumannya pelan.

Aku tertawa melihat tingkahnya yang seolah menjadi gadis manja.

“Eehhh.. gak boleh dong.. enak aja..!”

“Huhhh.. pelit..”

“Biarin..”

Sebelum kami berpisah karena Rita telah sampai didepan ruamg ujiannya, ia kembali berulah.

“Lain kali ajakin aku dong..?!” bisiknya.

“Hah??.. main bertiga?? Thrersome??? Tanyaku kaget.

“Iya dong.. siapa takut??!” jawabnya.

“GAAAKKKKK MAUUU.” Jawabku dengan sedikit keras.

Pram, dan teman-yeman lainnya menengok kebelakang, ke arah kami.

“Benar-Benar aneh.” Guman Galang sambil menggelengkan kepala.

Seperti biasanya, Pram masih setia mengantarkanku hingga kedepan warung.

“Tadi sama Rita bicarain apaan sih bu?”

“Biasaaa Pram.. temenmu yang satu itu kalo gak usil sehari aja, kayaknya bakal kiamat dunia.”

Pram tertawa mendengar jawabanku.

“Ya udah, selamat bekerja ya bu..”

“Iya.. makasih ya Pram.” Jawabku sambil mencubit pipinya.

“Jangan lupa, payungnya disimpen baik-baik ya, jangan sampe hilang.” Pesanku.

Aku sedang bersiap-siap dibelakang, ketika kudengar si ibu pemilik warung memanggilku.

“Mbak, tolong buatin teh panas satu ya.”

“Iya bu.”

Setelah membuat pesanan si ibu, aku mengantarkannya kedepan.

“Ini mas, minumnya.”

“Iya, makasih mbak.”

Aku hendak kembali ke dapur, namun si pelanggan pertama kami itu mengajakku berbicara.

“Mbak baru kerja disini ya?”

“Iya mas.”

“Nama mbak siapa?” tanyanya.

“Rindi mas.”

“Oke.. makasih mbak Rindi”

Si ibu pemilik warung tersenyum melihat ke arah pria tersebut, lalu menyusulku ke dapur.

“Itu mas Sandi, dosen di kampus Pram.”

“Udah lama dia gak makan disini, sekarang dateng lagi.” Lanjut si ibu.

“Ganteng..” gumanku.

“Iyaa.. itu dosen idola kampus disini. Masih bujang lho mbak.”

“Belum punya pacar juga.” Sambung si ibu.

“Kok ibu tau?” tanyaku heran.

“Ya tau dong mbak, banyak cewek-cewek kampus yang sering ngerumpi sambil makan disini, jadi ibu denger.”

“Ooo gitu.. berarti mas Sandi terkenal banget dong.”

“Kayaknya sih gitu mbak, soalnya cakep gitu, dosen lagi.” jawab si ibu.

Sekilas, wajah Sandi mirip dengan wajah seorang artis yang sering tampil di film-film. Kulitnya kecoklatan, layaknya kulit mayoritas masyarakat lokal. Rambutnya terpotong rapi, melengkapi kesempurnaan kemeja lengan panjang dan celana berbahan kain yang ia kenakan. Mungkin usianya tak jauh berbeda denganku, atau mungkin seusia dengan suamiku.

Hampir limabelas menit kemudian, si ibu kembali memanggilku.

“Mbak Rin, mejanya tolong dibersiin.”

Aku segera kembali ke depan, mengambil piring yang telah digunakan oleh Sandi.

“Mbak Rindi, tolong minta air putih segelas ya.” pintanya.

“Iya mas, sebentar ya.”

Setelah mengantarkan piring kedapur, aku kembali membawakan segelas air putih pesanannya.

“Silahkan mas.” Kataku.

“Kayaknya saya sering lihat mbak dijalan. Mbak tinggal dimana?”

“Saya tinggal di Bantul mas.”

“Oh iya, pantesan. Saya juga di Bantul mbak.”

“Oalahh.. berati tetangaan mas.”

“Iya mbak.”

“Saya tinggal dulu ya mas, mau ke dapur dulu. Permisi.”

Layaknya seorang dosen, Sandi terlihat rapi dan bersih. Wajar saja jika menjadi idola para mahasiswi dikampus, apalagi ia terlihat masih muda, dan sopan. Tentu saja kecerdasannya tak diragukan lagi, apalagi bekerja sebagai tenaga pengajar di kampus ternama seperti kampus Pram, kampus yang menjadi incaran berbagai pemburu ilmu dari seantero negri ini.

“Denger-denger, dulu mas sandi itu udah tunangan mbak, tapi trus tunangannya kabur sama laki-laki lain.” Kata si ibu pemilik warung. Ia menemaniku bersantai di dapur.

“Kok ibu bisa tau?” tanyaku heran.

“Iya tau mbak, soalnya tunangannya yang kabur itu pernah kost dideket sini mbak, .”

“Ooo gitu.. saya kira ibu denger dari gosip anak kampus.”

“Ya ada juga yang gosipin masalah itu sih mbak.”

Ada-ada saja ujian hidup yang menghampiri manusia. Cerita tentang Sandi mirip dengan kisahku, dimana orang yang kami cintai, pergi meninggalkan kami, dan memilih orang lain sebagai cintanya.

Pengkhianatan adalah kejahatan terhadap cinta yang menimbulkan luka, dan rasa sakitnya akan selalu membekas. Bagi mereka yang memiliki mental kuat, tentu akan mampu melewati cobaan itu dengan ketegaran. Namun bagi yang lemah, pengkhianatan itu akan menimbulkan efek yang sangat buruk, dan butuh waktu lama untuk menyembuhkan luka di hati.

Aku sangat beruntung, walaupun tak sekuat perempuan lainnya yang pernah menjadi korban pengkhianatan suami. Aku terpuruk, jatuh kedalam kubangan nestapa, namun orang-orang disekelilingku berupaya untuk menolongku.

Kedua orangtuaku, Nova, dan Pram. Mereka adalah para pelecut semangatku, memberiku kekuatan untuk segera bangkit dan menata hidup. Dan kini aku mampu berjalan, melanjutkan hidupku tanpa menengok kebelakang. Aku telah melupakan masa suram itu.

“Mungkin mas Sandi trauma mbak, makanya sampai sekarang belum menikah.” Sambung si ibu.

“Padahal umurnya udah matang, hidupnya udah mapan, kerjaan bagus. Ya udah siap nikah gitu.” Katanya lagi.

“Mungkin masih belum ketemu yang cocok kali bu. Atau mungkin masih ingin sendiri dulu.”

“Ya mungkin aja gitu sih mbak.” Sahut si ibu.

“Ya udah, ibu kedepan dulu ya..” kata si ibu, lalu meninggalkanku.

Mungkin garis takdir telah terlukis bagi setiap insan dimuka bumi ini, namun terkadang manusia tak memahami makna dibalik takdir tersebut. Terlalu sulit, bahkan tak mungkin untuk memahami setiap kejadian dalam hidup, terutama jika mengalami hal yang menyakitkan.

Berpikiran positif, dan mengambil hikmah dibalik setiap kejadian akan membantu memahami makannyang tersembunyi dari setiap peristiwa.

Dalam masalah yang menimpaku, pengkhianatan suamiku menunjukkan bahwa ia bukanlah pria sejati, karena telah meninggalkanku, meninggalkan Nova anaknya demi wanita lain. Suamiku berprilaku baik didepanku, didepan keluarga besar kami, namun menjadi pencoreng nama baik keluarga karena mengkhianati pernikahan kami.

Aku telah melupakan masalah itu, bahkan memaafkannya. Itulah caraku untuk mendapatkan kedamaian dalam hatiku, karena aku yakin, tak mungkin mendapatkan ketenangan jika masih menyimpan amarah, masih menyimpan dendam padanya.


Hampir menjelang tengah hari, hujan telah berhenti walaupun mendung masih menutupi langit kota pelajar.

Nina, Deva, dan Galang telah menampakkan batang hidungnya di warung tempatku bekerja.

“Yang lain kemana?” tanyaku.

“Cieeeee… yang lain? Atau maksudnya Pram?” sahut Nina.

“Eh.. Ninaaaa, hhmmm kamu ini ketularan Rita. Mulai jahil juga, usil.” protesku.

“Mbak belum tau aja sih.” Jawab Galang.

“Rita gak ada, Nina biang rusuh. Nina ini sama aja kayak Rita mbak.” Sambungnya lagi.

“Ehhh.. enggak kok… jangan percaya mbak.. Galang otaknya lagi panas, abis ujiannya soalnya.”

“Ya udah.. kalian makan dulu ya, mbak mau lanjut kerja.”

Pengunjung mulai berdatangan memenuhi setiap kursi yang tersedia. Dan Sandi adalah salah satu diantaranya.

“Mbak, teh panas satu, sama air putih satu ya.”

“Iya mas, bentar ya.”

Sandi memang dosen idola, wajahnya yang rupawan menjadi magnet bagi sebagian besar mahasiswi yang sedang menikmati makan siang. Banyak diantara mereka yang sesekali melirik ke arahnya.

“Ini mas minumamnya.”

Didepan Pintu, Pram, Rita dan Topan akhirnya datang menyusul ketiga temannya yang lain, yang telah terlebih dahulu tiba.

“Mbak Rin.. tuh yang dicari udah dateng.” celetuk Deva.

“Cieeeee ciiieee.. Mbak Rin senyum-senyum..” timpal Rita.

“Permisi ya mas, saya tinggal dulu.” Kataku pada Sandi, lalu mendekat ke arah Pram dan teman-temannya.

Rita kembali menggodaku, tatapan matanya yang usil kembali menghantuiku.

“Baru beberapa jam ditinggal, udah nanyain Pram.” Celetuk Rita.

Candaan Rita sukses membuat banyak pasang mata tertuju pada kami. Seperti biasanya, Pram hanya membalasnya dengan senyuman.

“Udah-udah.. kalian mau minum apa?” tanyaku.

Dan mereka pun menyebutkan minuman mereka satu persatu.

“Pram mau minum apa?” tanyaku.

“Susu yang kenyal.” Jawab Rita sambil berbisik ditelingaku.

Sontak saja aku langsung mencubit pinggangnya dengan sedikit keras sehingga ia menjerit. Dan sekali lagi-lagi, kami menjadi pusat peehatian seluruh pengunjung warung.

“Saya minum es teh bu.” Jawab Pram.

Pram melihat Sandi dan menyapanya dengan sedikit menundukkan kepala. Begitu juga dengan Sandi.

“Ya sudah, mbak tinggal dulu ya.” Kataku pada mereka.

Sambil menikmati makan siang, mereka kembali berbincang-bincang, mereka membuat suasan warung semakin ramai karena canda tawa. Aku dan ibu pemilik warung ikut tersenyum melihat tingkah mereka.

“Tumben mas Sandi makan siang disini.” Kata si ibu.

“Iya bu, baru kali ini saya lihat dia makan siang disini.”

“Iya.. udah lama banget lho gak kelihatan disini.” timpal si ibu.

Sandi telah selesai menyantap makan siangnya, dan ketika membayar pada ibu pemilik warung, ia juga menyapaku.

“Mbak kenal dengan mereka?” tanyanya sambil melirik ke arah Pram dan teman-temannya.

“Iya, Kenal.”

“Ooo gitu.. mereka emang terkenal paling ribut kalo udah pada ngumpul Mbak. Dimaklumin aja.” Sambungnya lagi.

“Mbak kalo kerja naik apa? Naik angkot atau??”

“Saya bareng sama Pram, Mas.”

“Oo gitu.. ya udah.. kalo mbak naik angkot, atau gak ada kendaraan, sama saya aja gak apa-apa kok.. rumah kita kan searah mbak.”

“Iya mas, makasih ya.. lain kali aja mas. Saya selalu diantar dan dijemput kok mas.”

“Iya mbak.”

"Ya udah, saya permisi dulu ya mbak. Mari buu..." katanya padaku dan ibu pemilik warung.

Selama perbincangan singkat itu, sesekali kulihat Pram melirik ke arahku, namun aku berpura-pura tidak memperhatikannya.

“Udah ganteng, baik hati lagi.” Guman si ibu pemilik warung yang ikut mendengarkan perbincanganku dengan Sandi.

Aku hanya tersenyum mendengarnya, lalu kembali memulai pekerjaanku.

Satu persatu pengunjung mulai meninggalkan warung, begitu juga dengan teman-teman Pram. Hanya ada beberapa pengunjung lain yang tersisa, dan Pram.

“Nanti jadi belajar di perpustakaan?”

“Iya bu, jadi kok. Sekalian nungguin ibu.”

“Makasih ya Pram.”

“Nanti kalo kamu selesai ujian, kita main ke malioboro yuk.. mau gak?”

“Iyaaa.. boleh bu. Sekalian refreshing.”

“Ngomong-Ngomong, tadi Pak Sandi kayaknya ngobrol sama Ibu, ibu kenal beliau?”

“Enggak kenal sih Pram, ibu juga baru dua hari ini lihat dia makan disini.”

“Ooo, saya kira ibu kenal.”

“Dia dosen favorite lho bu, idola cewek-cewek kampus sini.” Sambungnya lagi.

“Iya, katanya sih juga masih lajang. Kalo ganteng gitu ya wajar aja jadi idola Pram.”

“Dia dosen kamu?” tanyaku.

“Bukan bu, beliau dosen fakultas sastra.”

“Ooo.. kirain dosen kamu. Soalnya dia juga tau kamu lho.. tau temen-temenmu juga.”

“Pasti karena kami paling ribut di kampus ini.” jawab Pram.

“Iya bener..” jawabku lalu tertawa.

“Ya udah, ibu lanjut kerja dulu ya,”

“Iya bu.”

Sisa hari yang kulewati nyaris tanpa pekerjaan yang berarti, karena warung telah sepi pengunjung. Aku bisa bersantai, mengistirahatkan kakiku yang capek.

Langit kota pelajar benar-benar sedang tidak bersahabat. Awan yang menggantung telah melenyapkan sinar matahari sejak pagi, praktis suasana sore menjadi sedikit gelap dan hawa dingin terasa menusuk.

Tak seperti biasanya, Pram telat menjemputku, karena hampir sepuluh menit aku menunggu, ia tak kunjung datang.

Saat aku hendak melangkah pergi, kulihat Pram berlari menuju ke arahku.

“Maaf bu, saya telat.” Katanya sambil berusaha mengatur nafas.

“Gak apa-apa kok Pram. Lagian kamu kan belajar, ibu ngerti kok.” kataku seraya menggandeng tanggannya sambil berjalan.

“Sebenernya gak telat bu, tapi tadi pas di depan pintu perpus, ketemu pak Sandi, trus kita ngobrol bentar.”

“Kamu juga kenal dekat dengan mas Sandi?”

“Enggak juga sih bu. Cuman kenal gitu aja, tau nama aja sama dosen fakultas mana.”

“Ooo.. ibu kira kamu kenal dekat.”

“Enggak kok bu..tadi itu beliau nanya, kok saya yang anter jemput ibu kerja.”

“Trus kamu jawab gimana?” tanyaku.

“Ya saya bilang aja kalo saya kebetulan kost di tempat ibu.”

“Aneh.. kok nanyanya gitu sih?”

“Iya.. aneh..mungkin naksir ibu kali.” Jawabnya singkat.

Aku telah mengenal Pram, sedikit banyak mengerti sifat dan karakternya, namun kali ini ada hal baru yang muncul dari sikapnya, dari caranya berbicara denganku. Pram cemburu?

“Mana mungkin dia naksir ibu. Daripada pilih ibu, mending pilih cewek-cewek kampus. Lebih bening, lebih segar, muda lagi.”

“Iya sih bu, tapi kan kita gak tau, mungkin dia ngerasa sesuatu terhadap ibu. Lagian, bukan melulu soal fisik kan? Yang jadi pertimbangan.”

“Iya sih, kamu benar Pram.”

Tiba-tiba Pram berhenti melangkah,

“Bu..” katanya seraya melihat jauh kedepan.

♡♡♡

Part 3 akan rilis dalam beberapa jam kedepan ya.. mohon bersabar
Sandi ganggu aja nih
 
selamat membaca kisah ala kadarnya..

part 3 akan rilis beberapa jam kedepan ya.

semoga kita semua selalu sehat dan bahagia :rose:
Waahh, tulisan dramanya sista ini selalu luar biasa... Dan yg lebih luar biasanya lagi, update next part nya cuma dalam hitungan jam... Wkwkwk

Aku suka banget ama tulisan sista ini... Semangat sista, Semoga sampai tamat dan happy ending... Happy ending antara Pram dan ibu kos
:semangat: :semangat: :semangat:
 
Waahh, tulisan dramanya sista ini selalu luar biasa... Dan yg lebih luar biasanya lagi, update next part nya cuma dalam hitungan jam... Wkwkwk

Aku suka banget ama tulisan sista ini... Semangat sista, Semoga sampai tamat dan happy ending... Happy ending antara Pram dan ibu kos
:semangat: :semangat: :semangat:
Nah, kalo ini rumit.. happy ending? Mungk8n bisa terjadi.

Bad ending? Ada kemungkinan juga..

Tergantung bagaimana kita menilai akhir kisah Rindi ini..

Semoga saja endingnya sesuai dengan harapan...
 
Matur suwun update kanjuuutttanne non @merah_delima
Pram mulai ono roso cemburu
Karo sandi
Saya juga berasumsi yang sama, ada rasa cemburu walaupun mungkin gak parah2 banget.. perasaan cemburu ini menunjukan satu hal, bahwa Pram mulai mencintai Rindi, bukan hanya sekedar rasa sayang.

Point yang menarik.. makasih ya
 
Kenapa ya TS menghadirkan tokoh Sandi ?
Sepertinya Pram akan jadi kenangan bagi Rindi.
Sebenernya bukan sengaja menghadirkan tokoh Sandi, tapi tokoh itu emang ada dalam perjalanan kisah ini, dan kemunculannya emang baru dimulai di seri 4 ini..

Mungkin nanti di seri selanjutnya akan ada tokoh lain yang hadir..

Begitulah relita hidup bermasyarakat.. ada banyak kenalan, bertambahnya jumlah relasi, dan sebagainya...

anyway.. makasih ya, udah mengikuti kisah ini
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd