Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA RINDIANI The Series - Pelangi untukku

RINDIANI - Seri 4
Aku Yang Baru

part 1



Pasang surut dalam perjalanan hidup merupakan sesuatu yang lumrah, prosesnya akan membantu kita menjadi insan yang lebih kuat, menjadi pribadi yang lebih matang dan dewasa.

Tak bisa kupingkiri, aku sedang berada dalam pusaran ujian hidup. Mimpi untuk membangun rumah tangga yang bahagia sirna akibat perselingkuhan sumiku. Tak sampai disitu saja, ia bahkan meninggalkanku, memilih untuk hidup bersama perempuan selingkuhannya.

Aku seperti berjalan dalam lorong gelap, tanpa sinar sedikitpun. Aku bahkan tidak tahu, kemana arah langkahku. Aku putus asa.

Disaat itulah, Pram datang dengan sinarnya yang redup, menemaniku berjalan, memapahku saat langkah kakiku terasa lelah dan ingin menyerah.

Dia bukan siapa-siapa, dia bukan malaikat, atau salah satu orang suci, dia hanya seorang pemuda sederhana yang mungkin telah digariskan oleh takdir untuk hadir dalam perjalanan hidupku.

♡♡♡♡♡

“Pram, bantuin ibu bawa belanjaan ke dapur ya.”

Pram mengangguk, lantas melangkah mengikutiku menuju kedapur.

“Wah, ada ikan asin.” Gumannya saat aku mengeluarkan belanjaan yang kubeli bersama ibuku di pasar kecamatan sore tadi.

“Malam ini kamu mau makan ikan asin?”

“Iya bu. Sama sambel terasi, sama tahu goreng, sama sayur lodeh, nasinya yang masih anget.” Jawabnya panjang lebar sambil melihat deretan hasil belanjaanku.

“Pram..”

“Iya bu.”

“Itu mau makan sekabupaten apa gimana? Kok banyak banget??”

Pram tertawa sambil menatapku.

“Apa aja deh bu, yang penting ikan asin.”

“Iyaaa.. nanti ibu masakin kok. Tenang aja.” Jawabku.

“Besok ujiannya jam berapa?”

“Jam 10 bu, sampai jam 12.”

“Ya udah, kita mandi dulu, terus masak, terus makan, abis itu kamu belajar sebentar sebelum tidur.”

“Belajarnya besok aja bu. Belajar di perpustakaan. Saya kan berangkat pagi bareng ibu, jadi masih sempat belajar sebentar sebelum ujian."

“Iyaa.. walaupun besok masih ada waktu belajar, bukan berarti malam ini gak belajar kan?”

“Iya bu, nanti saya belajar.”

“Nah.. gitu dong.. ibu pingin kamu berhasil.”

Pram telah bersikap sangat baik padaku, pada Nova putri kecilku, dan aku tak tahu bagaimana cara membalas kebaikannya tersebut. Aku ingin dia berhasil, aku ingin melihat dia di wisuda, aku ingin Pram menjalani masa depan yang cerah. Setidaknya, dengan mengingatkannya untuk belajar, aku sedang membantunya untuk menapaki keberhasilannya.

“Ya udah, kita mandi yuk.” sambungku.

Aku berjalan mendahuluinya, dan ketika sampai didepan kamar tidurku, Pram berlalu pergi menuju ke arah pintu samping.

“Lhoo?? Pram ?? Mau kemana??” tanyaku heran ketika ia hampir sampai di depan pintu.

“Mandi.” jawabnya santai sambil menunjuk ke arah kamar kostnya.

Aku tersenyum sambil berjalan bak pragawati ke arahnya. Pram keheranan menatapku.

“Emang kamu tega biarin ibu mandi sendiri?” tanyaku manja sambil melingkarkan tanganku di lehernya.

Pram tertawa lepas, baru kali ini aku melihatnya tertawa seperti itu.

“Ibu gak pantes bergaya seperti itu. Gak cocok.” katanya, lalu kembali tertawa keras.

Akhirnya, aku pun tertawa geli karena tingkahku sendiri. Jika saja penghuni kost yang lain berada di kamarnya, pasti mereka akan mendengar suara tawa kami.

“Niatnya pengen godain kamu, eh malah jadi kayak badut.” Kataku, lalu tertawa lagi bersamanya.

Awalnya, aku tak berniat untuk melucu seperti yang kulakukan, aku memang berniat menggodanya, agar mau mandi bersamaku, namun ternyata bukan keromantisan yang terjadi, melainkan kelucuan yang membuat Pram tertawa keras.

Aku senang bisa membuatnya tertawa seperti itu, dan itulah pertama kalinya aku melihat dia seperti itu. Aku bahagia bisa membuatnya senang dan ceria.

“Ya udah.. saya ambil pakaian dulu ya bu, sama sikat gigi.”

“Sekalian bawa bukunya, buat belajar.” timpalku.

“Oh iya, ibu masih ada stock sikat gigi baru, pakai itu aja.” Sambungku lagi.

Pram pun berlalu menuju ke kamarnya, dan aku menunggunya dibalik pintu. Beberapa saat kemudian kembali dengan barang-barang yang ia perlukan.

Aku mengunci pintu, lalu membantu membawa pakaiannya menuju ke kamar tidurku.

“Pram, ambil sikat giginya di lemari paling pojok atas ya. Yang deket kulkas.”

Sambil menunggunya, kulucuti seluruh pakaian yang menutupi tubuhku. Baju terusan, jilbab, dan bra, sedangkan celana dalamku telah kulucuti saat dimobil, dalam perjalanan pulang bersama Pram.

Saat Pram kembali, aku telah sepenuhnya telanjang, berdiri didepan meja rias.

“Mandi yuk”

Pram mengangguk, lantas melucuti pakaiannya sendiri.

“Bentar.. ibu taruh pakaiannya di belakang dulu ya.” Kataku sambil memungut pakaian bekas yang kami kenakan sepanjang hari ini.

“Eh.. ibu gak pakai handuk dulu??” tanyanya saat aku hendak melangkah keluar kamar dalam keadaan telanjang.

“Pintunya udah ditutup kan? Udah di kunci kan?”

“Iya bu, udah.”

“Ya udah.”

Pram menggelengkan kepala saat melihatku meninggalkan kamar tidur dalam keadaan telanjang.

“Ibu makin nakal.” Gumanna saat aku kembali ke sisinya.

“Iya, gara-gara kamu sih, jadi ketagihan nakal.”

Pram tertawa, lantas mengecup keningku.

“Yuk..” kataku, mengajaknya memasuki kamar mandi.

Sambil melangkah, tiba-tiba ia meremas pantatku dengan sedikit keras.

“Eehhh.. “ seruku karena terkejut.

“Hhmmm.. kamu juga makin nakal, makin berani sama ibu.”

Pram hanya tertawa, lalu melingkarkan tangannya dipinggangku, membimbing langkahku ke kamar mandi.

Di dalam kamar mandi, Pram kembali berulah. Saat kami sedang menyikat gigi, ia memilin puting payudaraku, hingga aku merasa kegelian. Tentu saja aku tak bisa berbuat banyak untuk menghentikan kenakalannya, karena satu tanganku sedang memegang sikat gigi. Protesku dalam bahasa yang tidak jelas karena terhalang sikat gigi dimulutku pun tak dihiraukannya.

Pram malah tertawa senang dengan tingkahnya yang membuatku kerepotan. Sebagai pembalasan, aku meremas penisnya dengan sedikit keras, hingga ia merintih kesakitan.

Aku tertawa puas, senang karena bisa menghentikan kejahilannya.

Sejujurnya, aku senang dengan tingkah usilnya karena hal itu menandakan Pram sudah mulai merasa bebas dan nyaman terhadapku. Ia bisa mengekspresikan dirinya secara terbuka terhadapku. Hal itu juga menandakan perkembangan hubungan kedekatan kami, dimana keterbukaan dan kebebasan adalah hal mutlak. Pram menghilangkan dinding pembatas, dan menjadi dirinya sendiri di hadapanku. Sesuatu yang sangat berarti dalam perjalanan kedekatan kami.

Sambil berpelukan dibawah guyuran air shower yang mengalir, kami saling mengusap tubuh, saling membelai, dan berkali-kali saling melumat bibir.

Pram terlihat begitu sangat menikmatinya, begitu pun denganku. Kebersamaan kami dikamar mandi itu sangat berarti, setidaknya bagiku, karena Pram tidak menyetubuhiku, atau bahkan memintaku untuk bersetubuh. Kami hanya saling memanjakan satu sama lain, menghabiskan waktu dengan penuh kemesraan dan keromantisan yang sederhana. Dan kami sangat menikmatinya.

“Pram, nanti ibu masak, kamu belajar dulu ya.” Kataku sambil mengenakan pakaian.

“Belajarnya nanti sehabis makan aja bu. Saya mau nemenin ibu masak.” Jawabnya sambil mengenakan pakaian.

“Sayang.. kamu harus belajar. Ibu pingin lihat kamu sukses nantinya.” Balasku sambil melingkarkan tangan di lehernya.

“Iya bu.”

“Ya udah, kamu belajarnya di dapur aja ya, biar sekalian temenin ibu.”

Pram mengangguk, lantas kedua tangannya memegang pinggangku dan melumat bibirku dengan lembut. Sambil melumat bibirku, tangan Pram bergerak pelan diatas permukaan kulitku menuju ke bagian kemaluan yang belum sempat kututupi, karena belum mengenakan celana.

Dengan segera aku mencegahnya, menghentikannya sebelum kami terlanjur jauh terbuai birahi.

“Sayang.. belajar dulu ya.. ibu juga mau masak lhoo.. biar gak kemalaman.”

Pram tersenyum, dan aku yakin ia mengerti maksud dan tujuanku. Aku hanya ingin ia memusatkan perhatiannya pada kuliahnya sejenak. Adalah sebuah kesalahanku karena selama kedekatan kami, aku tak pernah mengingatkan, tak pernah memperhatikan waktu belajarnya. Aku ingin memperbaiki kesalahn itu, untuk kebaikannya. Aku yakin, Pram pasti mengerti.

Sesuai keinginanku, Pram menemaniku di dapur. Ia begitu berkonsentrasi membaca buku, sesekali membuka buku lainnya yang juga tersedia dihadapannya. Aku bangga, dan sangat bahagia melihatnya belajar dengan sungguh-sungguh. Ia mendengarkan apa yang aku katakan, dan menjalankannya.

Hampir satu jam berlalu, akhirnya menu makan malam kami pun telah siap.

“Pram, makan yuk.” Kataku sambil berdiri disampingnya.

“Waaahhhhh… beneran dikasih ikan asin!” komentarnya dengan wajah sumringah.

“Iyaaa.. tadi kan kamu bilang mau makan ikan asin.”

“Iya.. makasih bu.” Pram memelukku, dengan kepala menempel erat diperutku karena ia sedang duduk.

Aku pun membalas pelukannya, sambil mengusap lembut kepalanya.

Beberapa menit telah berlalu, namun ia maaih saja memelukku dengan sangat erat. Ia sedang menikmati moment tersebut.

“Pram, pelukannya nanti lagi ya sayang. Sekarang kita malan dulu.” Gumanku sambil terus mengusap kepalanya.

“Bentar lagi bu.. lagi enak.” Jawabnya sambil mempererat pelukannya, ia bahkan megusapkan pipinya ke perutku, seolah sedang mencari posisi yang lebih nyaman.

Aku senang melihatnya menyantap masakanku dengan lahap. Ia begitu berselera, terlihat begitu menikmati menu sederhana yang kusajikan.

“Pram.. makan sambelnya jangan banyak-banyak lhooo..”

“Iya bu. Tenang aja, gak akan sakit perut kok.”

“Bukan gitu maksud ibu. Tapi sisain ibu juga dong sambelnya itu. Ibu kan pingin juga.”

Pram tertawa, sambil menunduk malu.

“Iya bu, maaf.. habisnya enak sih.” balasnya sambil berusaha menahan tawa.”

Aku tertawa melihatnya,

“Enggak.. ibu bercanda aja kok.. kamu habisin aja sambelnya. Ibu senang kamu suka sama masakan ibu.”

Tanpa malu-malu, Pram benar-benar menghabiskan hampir semua menu makan malam kami. Sepiring lalapan, tahu dan tempe goreng, ikan asin, sambel tomat, semua nyaris bersih, ludes dilahapnya.

Aku hendak berdiri dan membereskan piring-piring didepan kami, namun Pram segera melarangku.

“Sekarang ibu duduk manis, istirahat sebentar. Saya yang bereskan semuanya.”

Dengan cekatan, Pram membereskan sejumlah piring diatas meja, lalu mencucinya, dan meletakkannya kembali ke tempatnya semula.

“Ibu mau minum teh?”

“Iya.. boleh.”

Sikapnya sangat dewasa, melebihi umurnya yang masih muda. Ia membuatku kagum dengan pribadinya yang sangat mampu mengimbangiku dalam segala hal. Apa yang dikatakan oleh bapak dan ibuku sangatlah benar, bahwa suatu saat nanti Pram akan menjadi seorang ayah yang hebat, akan menjadi suami yang hebat. Aku sependapat dengan mereka.

Sambil menunggu air yang ia rebus mendidih, Pram mendatangiku dan langsung memelukku.

Sama persis seperti sebelumnya, kini giliranku yang bermanja dalam pelukannya. Pipiku menempel erat di perutnya dan kedua tanganku melingkar di pinggangnya.

“Terima kasih udah dimasakin makan malam ya bu.” ucapnya sambil mengusap rambutku.

“Iya, sama-sama sayang.”

Ucapannya sangat berarti bagiku, membuatku bahagia. Aku tak pernah mendapatkan ucapan terima kasih untuk hal sederhana seperti ini, bahkan dari suamiku.

Pram sangat menghargaiku, membuatku merasa sangat istimewa dan berarti baginya. Hanya sebuah ucapan sederhana, namun aku yakin akan membuat wanita manapun merasa sangat bahagia. Itulah yang kurasakan.

“Kita santai-santai sambil nonton tv dulu yuk.”

“Iya, boleh bu. Masih kekenyangan, belum bisa lanjut belajar lagi.”

“Ya udah.. istirahat dulu bentar, nanti lagi belajarnya.”

Entah acara apa yang sedang kami tonton dilayar tv, aku tak memperdulikannya. Aku hanya menikmati menikmati pelukan hangat Pram, dan usapan-usapannya yang lembut dikepalaku. Tubuhnya yang hangat menjadi alas tubuhku, diatas sofa yang empuk. Pelukannya sangat erat, memanjakanku dengan penuh kasih sayang.

Memoriku berputar, mengingat awal kedekatan kami, ketika ia memberi pelukan yang menenagkan setelah kejadian di kantor polisi.

“Pram,..”

“Iya bu..”

“Kamu inget gak waktu pertama kali kita ciuman di rumah ibu?”

“Iya bu, inget.”

“Itu ciuman pertama kamu ya?”

“Iya bu.”

“Ibu beruntung, jadi first kiss kamu.”

“Terbalik bu. Yang beruntung itu saya, soalnya dapet ciuman pertama sama ibu.”

“Kok bisa?”

“Beruntung gimana?” tanyaku lagi.

“Karena ibu menganggap saya orang yang istimewa. Saya yakin, ibu gak akan dengan mudah untuk dekat dengan laki-laki lain, apalagi sampai sedekat seperti dengan saya.”

“Iya.. kamu memang orang yang istimewa buat ibu.”

Percakapan singkat tanpa saling menatap wajah itu seakan menegaskan bahwa kami menempatkan diri masing-masing didalam hati, sebuah kedekatan yang akhirnya saling mengikat secara alami.

Aku masih memanjakan diri dalam dekapannya, menikmati setiap detiknya, hingga bermenit-menit lamanya.

Sambil mengusap kepalaku, Pram meraih buku yang terletak diatas meja didepan kami.

“Mau belajar lagi?”

“Iya, baca-baca dikit lagi bu.”

“Ya udah, belajar dulu ya, ibu gak ganggu dulu.” Kataku seraya hendak turun dari atas tubuhnya.”

“Jangan. Ibu gak ganggu kok.” Katanya sambil mencegahku.

Inilah salah satu warna indah yang dibawa Pram kedalam hidupku. Sisi romantisme dalam bentuk sederhana, namun sangat bernilai.

Aku tak pernah mengalami hal seperti ini saat bersama suamiku.

Cukup sederhana, berpelukan dalam diam, membiarkan hangat tubuh saling berbagi, tanpa sedikitpun tercemari oleh hawa nafsu.

Cukup lama Pram membaca buku sambil memelukku, nyaris dua jam lamanya.

“Pram.”

“Iya bu.”

“Malam ini temenin ibu lagi ya..?”

“Iya bu.”

“Ibu pingin tidur dipeluk kamu sampai pagi.”

“Gak apa-apa kan?” tanyaku.

“Iyaaa.. gak apa-apa kok bu."

“Ya udah, kita istirahat sekarang. Udah hampir tengah malam bu.”

Malam ini, aku sedang ingin selalu bersamanya, menghabiskan waktuku sebanyak mungkin dengan merasakan kasih sayangnya. Aku bahkan memegang tangannya ketika kami melangkah ke kamar mandi untuk menyikat gigi, lantas kembali menggandengnya kembali saat keluar dari sana.

Pram berdiri dibelakangku ketika aku duduk di kursi, didepan meja riasku.

“Pram, tehnya tadi lupa diminum lhoo.” “Oh iyaaa… ya udah, taruh dikulkas aja dulu, besok sore aja baru diminum bu.”

“Iya.. terserah kamu aja Pram.”

Pram hendak melangkah keluar kamar tidurku namun aku segera mencegahnya.

“Tungguin ibu. Ibu ikut kamu.”

Pram menatapku dengan penuh keheranan.
“Saya mau ambil tehnya, terus taruh dikulkas. Gak lama kok.”

“Ibu ikut.” Jawabku seraya berdiri lalu menyusulnya.

Setelah memasukan teh kedalam kulkas dan mematikan seluruh lampu, kami kembali ke kamarku.

“Itu obat apa sih bu? Kemarin malam juga ibu minum obat itu.” tanyanya ketika aku kembali menalan pil KB.

Pram berdiri dibelakangku, memperhatikan isi laci meja rias yang terbuka.

“Ini Pil KB sayang..” jawabku lalu menelan sebutir pil itu. Pram mengerti akan hal itu, sehingga ia tak bertanya lebih jauh lagi.

“Bu, kayaknya diluar hujan rintik-rintik.” gumannya.

“Iya.. kayaknya hujan..”

Kami bisa melihat kilatan petir melalui celah kain gorden yang tak tertutup dengan sempurna.

“Kayaknya bakal hujan deras Pram.” “Iya..”

“Untung aja ibu minta kamu temenin malam ini.”

“Emang kenapa sih bu? Ibu takut?”

“Enggak sih Pram, bukan takut, cuman pingin sama-sama kamu aja sih, pingin dipeluk aja.”

“Ya udah, kita istirahat yuk.”

Pram membimbingku menuju ke tempat tidur, dan setelah merebahkan tubuh disana, ia kembali memelukku.

Udara dingin kembali menyapa ketika hujan yang turun semakin deras. Pram meraih sehelai selimut yang terletak di sisi kepalanya, kemudian menutupi tubuh kami berdua.

“Bu..”

“Yaaa..?” jawabku sambil menatap wajahnya yang begitu dekat dengan wajahku.

“Dari tadi kayaknya ibu gak mau ditinggalin, kayak jadi manja gitu. Ibu baik-baik aja kan?”

“Gak apa-apa kok, cuman lagi pingin dimanjain aja. Udah lama banget gak ngrrasain kayak gini.”

“Emang dulu sama suami ibu gak pernah kayak gini?”

“Pernah sih, pas awal-awal nikah, masih pengantin baru. Pas udah hamil ya udah enggak kayak gini.”

“Ya udah.. malam ini ibu saya peluk sampai pagi nanti.”

“Nanti, kalo kamu udah nikah, kamu harus punya waktu untuk istrimu, harus memanjakannya seperti kamu manjain ibu sekarang.”

“Iya bu. Akan saya ingat.”

“Mungkin, dulu suami ibu sibuk sama pekerjaannya kali bu.” Sambungnya.

“Kayaknya sih gitu. Sibuk sama selingkuhannya juga.”

“Udahhh.. gak perlu diinget lagi bu. Gak penting.”

“Iya.. ibu udah move on kok Pram.” Jawabku sambil memeluk erat tubuhnya.

Di umur yang hampir menginjak kepala tiga, rasanya sangat janggal jika aku masih ingin dimanjakan, diperhatilan lebih, oleh seseorang yang spesial dalam hatiku. Aku tidak tahu, apakah hal yang terjadi padaku ini, dialami juga oleh para perempuan lain diluar sana.

Aku tak bisa memungkiri bahwa kenyamana yang kurasakan karena perlakuan Pram padaku, membuatku sadar bahwa, kebahagiaan adalah sumber semangat hidup. Aku melangkah lagi, menjalani hidupku dengan sebaik mungkin setelah perselingkuhan suamiku.

Semua berkat bantuan lelaki muda yang kini sedang memelukku dengan erat.

“Sayang mau ngapain?” tanyaku setelah melihat Pram duduk diranjang dan melucuti baju yang ia kenakan.

Ia tak menjawabkku, lantas memintaku untuk duduk juga. Hal yang sama pun ia lakukan padaku, melucuti baju dan bra yang kukenakan. Ia membuatku sedikit bingung karena tak sepatah katapun ia ucapkan.

“Sayang lagi pengen?” Lagi-lagi Pram hanya diam.

Kedua tangannya dengan lembut diletakkannya di kedua belah pipiku. Ia hanya tersenyum memandangku. Lalu dengan perlahan, didekatkannya wajahnya, dan melumat bibirku dengan lembut hingga beberapa saat lamanya.

Pram mengecup keningku, sebelum akhirnya mengajakku kembali berbaring. Aku membenahi selimut untuk menutupi tubuh kami lantas berbaring memunggunginya. Aku senang jika ia memelukku dari belakang.

“Pram, kalo ibu buka celana juga, boleh?”

Pram hanya mengangguk. Dan ia pun melucuti celana yang ia kenakan. Hanya beberapa saat kemudian, aku mengubah posisiku, sehingga kami berhadap-hadapan. Wajahku terbenam didada, tepat dibawah dagunya.

“Sayang gak pengen?” tanyaku sambil memandang wajahnya, dan satu tanganku menggengam penisnya yang telah mengeras.

Lagi-lagi pram menggelengkan kepala.

“Kalo ibu yang pengen gimana?” tanyaku lagi.

Dengan lembut Pram membelai pipiku, jempolnya mengusap permukaan bibirku dengan sangat perlahan.

“Malam ini saya mau peluk ibu, mau manjain ibu sampai pagi. Itu aja.”

Mendengar jawabannya membuat hatiku berbunga-bunga. Dengan caranya yang unik, pram ingin memenuhi permintaanku, walaupun cara yang ia tempuh sangat mudah memancing birahi, dan mengubah malam ini menjadi ajang persetubuhan yang panas.

“Kita tidur ya..” sambungnya lagi, lalu mengecup keningku.

Aku membalas dengan melumat bibirnya dengan penuh perasaan hingga beberapa saat, lalu kembali membenamkan wajahku di dadanya.

Mengapa suamiku tidak pernah melakukan hal-hal yang seperti Pram lakukan padaku?

Jauh sebelumnya, aku tak pernah merasa senyaman ini, tak pernah merasakan kedamaian seperti ini. Aku merasa menjadi wanita yang paling beruntung karena mendapatkan perlakuan yang begitu romantis, begitu istimewa darinya.

Tidak pernah sekalipun aku berpikir, atau memimpikan bahwa aku akan mengalami hal ini dalam hidupku. Semua muncul begitu saja, datang bersama kehadiran Pram dalam perjalanan hidupku.

Aku tidak mempersalahkan suamiku karena selama kami bersama, ia tidak memperlakukanku seperti yang Pram lakukan. Aku memakluminya, karena aku berpikir, mungkin setiap pria berbeda karakter dan pola pikirnya. Hsuatu hal yang wajar.

Namun, Kehadiran Pram membawaku kedalam dunia yang baru. Ia membuatku merasa bahagia, ia bisa membuatku merasa menjadi wanita yang paling sempurna. Aku wanita yang sangat beruntung.

Pram memenuhi janjinya memanjakanku semalam suntuk, karena ketika aku terbangun , ia masih mendekapku erat. Tak sedikitpun ia tergoda untuk menyetubuhiku, bahkan dengan pertanyanyaan yang beraroma tawaran bercinta kuberikan padanya. Ia hanya ingin memenuhi permintaanku. Itu saja.

Dengan sangat hati-hati aku bergerak, agar tak membangunkannya. Tidurnya sangat lelap dan wajahnya terlihat begitu teduh.

Lelaki yang sedang kupandangi ini adalah malaikat yang telah membantuku melewati hari-hari kelam.

Suara adzan subuh yang berkumandang di udara akhirnya membangunkannya. Dan ketika ia membuka mata, hal pertama yang ia lakukan adalah mengusap pipiku yang tengah memandanginya.

“Selamat pagi.” Sapaku, sambil menumpangkan telapak tangan dipipinya.

“Pagi bu.” gumannya lembut.

Ia lantas menarik selimut dan kembali membenamkan diri dibawahnya. Aku tersenyum geli melihat tingkahnya yang seperti seorang anak kecil. Tak sampai disitu saja, ia kembali merapatkan tubuhnya padaku, lalu menenggelamkan wajahnya dipayudaraku.

Tentu saja aku dengan senang hati memeluknya erat, apalagi setelah ia memelukku erat semalaman.

Sunyi dan sepi berpadu dengan suara rintik hujan, melengkapi suasana romantis yang Pram ciptakan sejak semalam.

Kini, dalam pelukanku yang hangat, ia menikmati kesunyian pagi yang sangat ia sukai.

Hampi satu jam lamanya kami berdiam diri, tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

“Pramm.. sayang.. geli lhoo.. jangan digituiin..” protesku saat kurasakan ia memilin putingku.

Terdengar suara tawanya dari balik selimut yang menutupinya. Sejenak ia mengintip dari ujung selimut, hanya sedikit bagian wajahnya yang terlihat, seolah sedang mengintipku. Hanya sesaat ia memandangku, lalu kembali bersembunyi dibalik selimut.

“Sayaanggg… jangan digituuuuiinnnn…geli lhooo.” Protesku lagi.

Dan lagi-lagi ia mengintipku dari celah selimut yang menutupi tubuh kami. Pram sedang menggodaku, ia memancing birahiku ditengah bagi buta.

Ia menghentikan aksi usilnya, lalu kembali memelukku.

“Pagi-pagi udah nakalin ibu..”

“Habisnya gemesin sih.” Jawabnya, lalu tersenyum.

“Gemesin gimana sih sayanggg?? Semua nenen perempuan kan sama aja kayak gitu.”

“Iya sih, pasti sama aja..”

“Pram.. sayang.. nanti ujian lho ya.. jangan mikir yang macem2.. fokus ujian dulu ya..”

Pram hanya tersenyum, lantas bangun dari tidurnya dan duduk bersandar di kepala ranjang.

“Hujannya awet banget bu, dari semalem nggak berhenti.”

“Iya.. bikin males mau kemana-mana. Pengen malas-malasan aja dikasur.”

“Ibu harus kerja lho bu.”

“Iya sih..”

Cuaca pagi yang sedang tidak bersahabat membuat kami memilih berlama-lama dikasur. Waktu menunjukkan hampir jam setengah enam pagi, dan hujan pun belum berhenti.

“Lhoo mau kemana?” tanyaku saat ia hendak beranjak turun dari tempat tidur.

“Mau mandi bu, tuh udah hampir jam setengah enam.”

Dengan cepat aku memeluk pinggangnya, mencegahnya agar tak beranjak pergi. Dengan sedikit memaksa, aku merebahkan tubuhnya, kakinya terjuntai menapak lantai.

“Nanti dulu.. bentar lagi aja mandinya.” Kataku manja sambil mengusap dadanya.

“Iya.. tapi jangan kelamaan lho buu. Nanti ibu terlambat masuk kerja.”

Pram berbaring dengan posisi kepala berada didepan dadaku, sehingga aku bisa dengan bebas melihat tubuh telanjangnya. Aku bisa melihat penisnya yang telah mengeras. Hal yang lumrah, normal terjadi pada pria di pagi hari.

Dari arah kepalanya, perlahan aku mendekat, lalu mengecup dadanya, kujilati dan kuhisap putinggnya dengan lembut.

Pram membalasnya dengan meremas payudaraku yang berada tepat didepan wajahnya. Pram paham dengan apa yang kulakukan, ia tahu aku ingin bersetubuh dengannya.

Beberapa saat setelah puas menikmati dadanya, kuteruskan kecupan-kecupanku dengan menyusuri perutnya, dan berhenti tepat didepan kemaluannya.

Berbeda dengan Pram, ia langsung menjilati kemaluanku, saat pangkal pahaku tepat berada di depannya. Dari celah tubuh kami, aku bisa melihat ia mengerjai kemaluanku.

Pram telah terangsang oleh permainanku. Untuk mengimbanginya, perlahan, aku mulai mengocok penisnya sambil menjilati bagian ujunngnya. Hanya beberapa saat, lalu penis itu kembali mengunjunggi rongga mulutku.

Dibawah sana, Lidah Pran seolah sedang mengorek vaginaku, menelusuri belahan vertikal yang menjadi tempat beberapa titik senaitive. Ia benar-benar sedang menikmati kemaluanku dan aku sangat menyukainya.

Selama beberapa menit, kami saling berbagi kenikmatan dengan mengerjai kemaluan masing-masing, hingga akhirnya aku berhenti mengoralnya. Aku menegakkan badan, menjadikannwajahnya sebagai tempat dudukku.

Berbeda dengan Pram, ia masih terus saja mengerjai kemaluanku. Pram menghujani vaginaku dengan jilatan, hisapan, bahkan sesekali melumat bibir vaginaku. Tak butuh waktu lama baginya untuk membuat vaginaku basah dan licin. Perlahan, cairan kenikmatan akibat rangsangannya mulai keluar, dan aku yakin cairan itu langsung memasuki mulutnya.

Pinggulku bergerak pelan, maju dan mundur, seirama dengan permainan lidahnya. Gesekan antara permukaan kemaluanku dengan wajahnya menimbulkan sensasi yang luar biasa hebat. Aku sangat menikmati ketika kumisnya yang tipis karena sehabis dicukur menyentuh kemaluanku, seakan sedang digaruk karena terasa kasar dan menusuk lembut.

Sejurus kemudian, aku meraih kedua tangannya, dan menuntun kedua tangannya untuk meremas payudaraku. Aku ingin ia menjamahku, memberiku kepuasan birahi dengan merangsang seluruh bagian vital tubuhku.

Dan sesuai keinginanku, Pram mulai meremas payudaraku, keduanya. Jemarinya dengan lincah memilin kedua putingku, hingga benar-benar mengeras sempurna.

Pemandangan erotis kembali tersaji dan sangat memanjakan mataku. Aku bisa melihat wajahnya terbenam diantara pangkal pahaku, dan merasakan lidahnya menari liar menelusuri celah diantara bibir vaginaku.

Payudaraku pun mengalami hal yang sama, remasan lembut dan usapan dari tangannya tak henti-hentinya memberiku kenikmatan hebat.

Aku sedang dalam detik-detik menuju ke puncak kenikmatan, dan satu tanganku ikut terlibat dengan mempermainkan klitorisku sendiri.

Aku benar-benar melayang, terbuai dalam kubangan birahi yang dalam. Dan hanya beberapa menit kemudian, tubuhku bergetar hebat akibat orgasmeku. Pinggulku menekan kebawah, menghimpit erat wajah lelaki yang baru saja memberiku kepuasan seks.

“Saaayyaannggggg…. “ desahku panjang mengiring ledakan orgasme yang terjadi.

Hanya beberpa saat, lalu tubuhku ambruk disisi Pram. Nafasku memburu cepat, dan jantungku bedetak kencang.

Pram tersenyum memandangku, dan dengan pandangan mata sayu, aku membalas senyumnya. Dengan lembut ia mengusap mengusap kepalaku, dan memberikan sebuah kecupan yang cukup lama dikeningku.

“Makasih sayang.” Kataku sambil mengusap wajahnya.

“Ibu puas?” tanyanya.

Aku mengangguk sambil tersenyum, lalu melumat bibirnya dengan lembut. Aku tak memperdulikan sisa cairan orgasmeku yang masih menempel disekitar mulutnya.

“Pagi-pagi udah dibikin enak.. senang banget rasanya.” Kataku.

“Iya.. sesekali sarapannya harus beda.”

Aku tertawa mendengar ucapannya. “Sayang yang udah sarapan, ibu belum kok.”

“Sekarang giliran ibu..” sambungku, sambil meraih penisnya.

bersambung

part 2 akan rilis beberpa jam kedepan
 
RINDIANI - Seri 4
Aku Yang Baru

part 1



Pasang surut dalam perjalanan hidup merupakan sesuatu yang lumrah, prosesnya akan membantu kita menjadi insan yang lebih kuat, menjadi pribadi yang lebih matang dan dewasa.

Tak bisa kupingkiri, aku sedang berada dalam pusaran ujian hidup. Mimpi untuk membangun rumah tangga yang bahagia sirna akibat perselingkuhan sumiku. Tak sampai disitu saja, ia bahkan meninggalkanku, memilih untuk hidup bersama perempuan selingkuhannya.

Aku seperti berjalan dalam lorong gelap, tanpa sinar sedikitpun. Aku bahkan tidak tahu, kemana arah langkahku. Aku putus asa.

Disaat itulah, Pram datang dengan sinarnya yang redup, menemaniku berjalan, memapahku saat langkah kakiku terasa lelah dan ingin menyerah.

Dia bukan siapa-siapa, dia bukan malaikat, atau salah satu orang suci, dia hanya seorang pemuda sederhana yang mungkin telah digariskan oleh takdir untuk hadir dalam perjalanan hidupku.

♡♡♡♡♡

“Pram, bantuin ibu bawa belanjaan ke dapur ya.”

Pram mengangguk, lantas melangkah mengikutiku menuju kedapur.

“Wah, ada ikan asin.” Gumannya saat aku mengeluarkan belanjaan yang kubeli bersama ibuku di pasar kecamatan sore tadi.

“Malam ini kamu mau makan ikan asin?”

“Iya bu. Sama sambel terasi, sama tahu goreng, sama sayur lodeh, nasinya yang masih anget.” Jawabnya panjang lebar sambil melihat deretan hasil belanjaanku.

“Pram..”

“Iya bu.”

“Itu mau makan sekabupaten apa gimana? Kok banyak banget??”

Pram tertawa sambil menatapku.

“Apa aja deh bu, yang penting ikan asin.”

“Iyaaa.. nanti ibu masakin kok. Tenang aja.” Jawabku.

“Besok ujiannya jam berapa?”

“Jam 10 bu, sampai jam 12.”

“Ya udah, kita mandi dulu, terus masak, terus makan, abis itu kamu belajar sebentar sebelum tidur.”

“Belajarnya besok aja bu. Belajar di perpustakaan. Saya kan berangkat pagi bareng ibu, jadi masih sempat belajar sebentar sebelum ujian."

“Iyaa.. walaupun besok masih ada waktu belajar, bukan berarti malam ini gak belajar kan?”

“Iya bu, nanti saya belajar.”

“Nah.. gitu dong.. ibu pingin kamu berhasil.”

Pram telah bersikap sangat baik padaku, pada Nova putri kecilku, dan aku tak tahu bagaimana cara membalas kebaikannya tersebut. Aku ingin dia berhasil, aku ingin melihat dia di wisuda, aku ingin Pram menjalani masa depan yang cerah. Setidaknya, dengan mengingatkannya untuk belajar, aku sedang membantunya untuk menapaki keberhasilannya.

“Ya udah, kita mandi yuk.” sambungku.

Aku berjalan mendahuluinya, dan ketika sampai didepan kamar tidurku, Pram berlalu pergi menuju ke arah pintu samping.

“Lhoo?? Pram ?? Mau kemana??” tanyaku heran ketika ia hampir sampai di depan pintu.

“Mandi.” jawabnya santai sambil menunjuk ke arah kamar kostnya.

Aku tersenyum sambil berjalan bak pragawati ke arahnya. Pram keheranan menatapku.

“Emang kamu tega biarin ibu mandi sendiri?” tanyaku manja sambil melingkarkan tanganku di lehernya.

Pram tertawa lepas, baru kali ini aku melihatnya tertawa seperti itu.

“Ibu gak pantes bergaya seperti itu. Gak cocok.” katanya, lalu kembali tertawa keras.

Akhirnya, aku pun tertawa geli karena tingkahku sendiri. Jika saja penghuni kost yang lain berada di kamarnya, pasti mereka akan mendengar suara tawa kami.

“Niatnya pengen godain kamu, eh malah jadi kayak badut.” Kataku, lalu tertawa lagi bersamanya.

Awalnya, aku tak berniat untuk melucu seperti yang kulakukan, aku memang berniat menggodanya, agar mau mandi bersamaku, namun ternyata bukan keromantisan yang terjadi, melainkan kelucuan yang membuat Pram tertawa keras.

Aku senang bisa membuatnya tertawa seperti itu, dan itulah pertama kalinya aku melihat dia seperti itu. Aku bahagia bisa membuatnya senang dan ceria.

“Ya udah.. saya ambil pakaian dulu ya bu, sama sikat gigi.”

“Sekalian bawa bukunya, buat belajar.” timpalku.

“Oh iya, ibu masih ada stock sikat gigi baru, pakai itu aja.” Sambungku lagi.

Pram pun berlalu menuju ke kamarnya, dan aku menunggunya dibalik pintu. Beberapa saat kemudian kembali dengan barang-barang yang ia perlukan.

Aku mengunci pintu, lalu membantu membawa pakaiannya menuju ke kamar tidurku.

“Pram, ambil sikat giginya di lemari paling pojok atas ya. Yang deket kulkas.”

Sambil menunggunya, kulucuti seluruh pakaian yang menutupi tubuhku. Baju terusan, jilbab, dan bra, sedangkan celana dalamku telah kulucuti saat dimobil, dalam perjalanan pulang bersama Pram.

Saat Pram kembali, aku telah sepenuhnya telanjang, berdiri didepan meja rias.

“Mandi yuk”

Pram mengangguk, lantas melucuti pakaiannya sendiri.

“Bentar.. ibu taruh pakaiannya di belakang dulu ya.” Kataku sambil memungut pakaian bekas yang kami kenakan sepanjang hari ini.

“Eh.. ibu gak pakai handuk dulu??” tanyanya saat aku hendak melangkah keluar kamar dalam keadaan telanjang.

“Pintunya udah ditutup kan? Udah di kunci kan?”

“Iya bu, udah.”

“Ya udah.”

Pram menggelengkan kepala saat melihatku meninggalkan kamar tidur dalam keadaan telanjang.

“Ibu makin nakal.” Gumanna saat aku kembali ke sisinya.

“Iya, gara-gara kamu sih, jadi ketagihan nakal.”

Pram tertawa, lantas mengecup keningku.

“Yuk..” kataku, mengajaknya memasuki kamar mandi.

Sambil melangkah, tiba-tiba ia meremas pantatku dengan sedikit keras.

“Eehhh.. “ seruku karena terkejut.

“Hhmmm.. kamu juga makin nakal, makin berani sama ibu.”

Pram hanya tertawa, lalu melingkarkan tangannya dipinggangku, membimbing langkahku ke kamar mandi.

Di dalam kamar mandi, Pram kembali berulah. Saat kami sedang menyikat gigi, ia memilin puting payudaraku, hingga aku merasa kegelian. Tentu saja aku tak bisa berbuat banyak untuk menghentikan kenakalannya, karena satu tanganku sedang memegang sikat gigi. Protesku dalam bahasa yang tidak jelas karena terhalang sikat gigi dimulutku pun tak dihiraukannya.

Pram malah tertawa senang dengan tingkahnya yang membuatku kerepotan. Sebagai pembalasan, aku meremas penisnya dengan sedikit keras, hingga ia merintih kesakitan.

Aku tertawa puas, senang karena bisa menghentikan kejahilannya.

Sejujurnya, aku senang dengan tingkah usilnya karena hal itu menandakan Pram sudah mulai merasa bebas dan nyaman terhadapku. Ia bisa mengekspresikan dirinya secara terbuka terhadapku. Hal itu juga menandakan perkembangan hubungan kedekatan kami, dimana keterbukaan dan kebebasan adalah hal mutlak. Pram menghilangkan dinding pembatas, dan menjadi dirinya sendiri di hadapanku. Sesuatu yang sangat berarti dalam perjalanan kedekatan kami.

Sambil berpelukan dibawah guyuran air shower yang mengalir, kami saling mengusap tubuh, saling membelai, dan berkali-kali saling melumat bibir.

Pram terlihat begitu sangat menikmatinya, begitu pun denganku. Kebersamaan kami dikamar mandi itu sangat berarti, setidaknya bagiku, karena Pram tidak menyetubuhiku, atau bahkan memintaku untuk bersetubuh. Kami hanya saling memanjakan satu sama lain, menghabiskan waktu dengan penuh kemesraan dan keromantisan yang sederhana. Dan kami sangat menikmatinya.

“Pram, nanti ibu masak, kamu belajar dulu ya.” Kataku sambil mengenakan pakaian.

“Belajarnya nanti sehabis makan aja bu. Saya mau nemenin ibu masak.” Jawabnya sambil mengenakan pakaian.

“Sayang.. kamu harus belajar. Ibu pingin lihat kamu sukses nantinya.” Balasku sambil melingkarkan tangan di lehernya.

“Iya bu.”

“Ya udah, kamu belajarnya di dapur aja ya, biar sekalian temenin ibu.”

Pram mengangguk, lantas kedua tangannya memegang pinggangku dan melumat bibirku dengan lembut. Sambil melumat bibirku, tangan Pram bergerak pelan diatas permukaan kulitku menuju ke bagian kemaluan yang belum sempat kututupi, karena belum mengenakan celana.

Dengan segera aku mencegahnya, menghentikannya sebelum kami terlanjur jauh terbuai birahi.

“Sayang.. belajar dulu ya.. ibu juga mau masak lhoo.. biar gak kemalaman.”

Pram tersenyum, dan aku yakin ia mengerti maksud dan tujuanku. Aku hanya ingin ia memusatkan perhatiannya pada kuliahnya sejenak. Adalah sebuah kesalahanku karena selama kedekatan kami, aku tak pernah mengingatkan, tak pernah memperhatikan waktu belajarnya. Aku ingin memperbaiki kesalahn itu, untuk kebaikannya. Aku yakin, Pram pasti mengerti.

Sesuai keinginanku, Pram menemaniku di dapur. Ia begitu berkonsentrasi membaca buku, sesekali membuka buku lainnya yang juga tersedia dihadapannya. Aku bangga, dan sangat bahagia melihatnya belajar dengan sungguh-sungguh. Ia mendengarkan apa yang aku katakan, dan menjalankannya.

Hampir satu jam berlalu, akhirnya menu makan malam kami pun telah siap.

“Pram, makan yuk.” Kataku sambil berdiri disampingnya.

“Waaahhhhh… beneran dikasih ikan asin!” komentarnya dengan wajah sumringah.

“Iyaaa.. tadi kan kamu bilang mau makan ikan asin.”

“Iya.. makasih bu.” Pram memelukku, dengan kepala menempel erat diperutku karena ia sedang duduk.

Aku pun membalas pelukannya, sambil mengusap lembut kepalanya.

Beberapa menit telah berlalu, namun ia maaih saja memelukku dengan sangat erat. Ia sedang menikmati moment tersebut.

“Pram, pelukannya nanti lagi ya sayang. Sekarang kita malan dulu.” Gumanku sambil terus mengusap kepalanya.

“Bentar lagi bu.. lagi enak.” Jawabnya sambil mempererat pelukannya, ia bahkan megusapkan pipinya ke perutku, seolah sedang mencari posisi yang lebih nyaman.

Aku senang melihatnya menyantap masakanku dengan lahap. Ia begitu berselera, terlihat begitu menikmati menu sederhana yang kusajikan.

“Pram.. makan sambelnya jangan banyak-banyak lhooo..”

“Iya bu. Tenang aja, gak akan sakit perut kok.”

“Bukan gitu maksud ibu. Tapi sisain ibu juga dong sambelnya itu. Ibu kan pingin juga.”

Pram tertawa, sambil menunduk malu.

“Iya bu, maaf.. habisnya enak sih.” balasnya sambil berusaha menahan tawa.”

Aku tertawa melihatnya,

“Enggak.. ibu bercanda aja kok.. kamu habisin aja sambelnya. Ibu senang kamu suka sama masakan ibu.”

Tanpa malu-malu, Pram benar-benar menghabiskan hampir semua menu makan malam kami. Sepiring lalapan, tahu dan tempe goreng, ikan asin, sambel tomat, semua nyaris bersih, ludes dilahapnya.

Aku hendak berdiri dan membereskan piring-piring didepan kami, namun Pram segera melarangku.

“Sekarang ibu duduk manis, istirahat sebentar. Saya yang bereskan semuanya.”

Dengan cekatan, Pram membereskan sejumlah piring diatas meja, lalu mencucinya, dan meletakkannya kembali ke tempatnya semula.

“Ibu mau minum teh?”

“Iya.. boleh.”

Sikapnya sangat dewasa, melebihi umurnya yang masih muda. Ia membuatku kagum dengan pribadinya yang sangat mampu mengimbangiku dalam segala hal. Apa yang dikatakan oleh bapak dan ibuku sangatlah benar, bahwa suatu saat nanti Pram akan menjadi seorang ayah yang hebat, akan menjadi suami yang hebat. Aku sependapat dengan mereka.

Sambil menunggu air yang ia rebus mendidih, Pram mendatangiku dan langsung memelukku.

Sama persis seperti sebelumnya, kini giliranku yang bermanja dalam pelukannya. Pipiku menempel erat di perutnya dan kedua tanganku melingkar di pinggangnya.

“Terima kasih udah dimasakin makan malam ya bu.” ucapnya sambil mengusap rambutku.

“Iya, sama-sama sayang.”

Ucapannya sangat berarti bagiku, membuatku bahagia. Aku tak pernah mendapatkan ucapan terima kasih untuk hal sederhana seperti ini, bahkan dari suamiku.

Pram sangat menghargaiku, membuatku merasa sangat istimewa dan berarti baginya. Hanya sebuah ucapan sederhana, namun aku yakin akan membuat wanita manapun merasa sangat bahagia. Itulah yang kurasakan.

“Kita santai-santai sambil nonton tv dulu yuk.”

“Iya, boleh bu. Masih kekenyangan, belum bisa lanjut belajar lagi.”

“Ya udah.. istirahat dulu bentar, nanti lagi belajarnya.”

Entah acara apa yang sedang kami tonton dilayar tv, aku tak memperdulikannya. Aku hanya menikmati menikmati pelukan hangat Pram, dan usapan-usapannya yang lembut dikepalaku. Tubuhnya yang hangat menjadi alas tubuhku, diatas sofa yang empuk. Pelukannya sangat erat, memanjakanku dengan penuh kasih sayang.

Memoriku berputar, mengingat awal kedekatan kami, ketika ia memberi pelukan yang menenagkan setelah kejadian di kantor polisi.

“Pram,..”

“Iya bu..”

“Kamu inget gak waktu pertama kali kita ciuman di rumah ibu?”

“Iya bu, inget.”

“Itu ciuman pertama kamu ya?”

“Iya bu.”

“Ibu beruntung, jadi first kiss kamu.”

“Terbalik bu. Yang beruntung itu saya, soalnya dapet ciuman pertama sama ibu.”

“Kok bisa?”

“Beruntung gimana?” tanyaku lagi.

“Karena ibu menganggap saya orang yang istimewa. Saya yakin, ibu gak akan dengan mudah untuk dekat dengan laki-laki lain, apalagi sampai sedekat seperti dengan saya.”

“Iya.. kamu memang orang yang istimewa buat ibu.”

Percakapan singkat tanpa saling menatap wajah itu seakan menegaskan bahwa kami menempatkan diri masing-masing didalam hati, sebuah kedekatan yang akhirnya saling mengikat secara alami.

Aku masih memanjakan diri dalam dekapannya, menikmati setiap detiknya, hingga bermenit-menit lamanya.

Sambil mengusap kepalaku, Pram meraih buku yang terletak diatas meja didepan kami.

“Mau belajar lagi?”

“Iya, baca-baca dikit lagi bu.”

“Ya udah, belajar dulu ya, ibu gak ganggu dulu.” Kataku seraya hendak turun dari atas tubuhnya.”

“Jangan. Ibu gak ganggu kok.” Katanya sambil mencegahku.

Inilah salah satu warna indah yang dibawa Pram kedalam hidupku. Sisi romantisme dalam bentuk sederhana, namun sangat bernilai.

Aku tak pernah mengalami hal seperti ini saat bersama suamiku.

Cukup sederhana, berpelukan dalam diam, membiarkan hangat tubuh saling berbagi, tanpa sedikitpun tercemari oleh hawa nafsu.

Cukup lama Pram membaca buku sambil memelukku, nyaris dua jam lamanya.

“Pram.”

“Iya bu.”

“Malam ini temenin ibu lagi ya..?”

“Iya bu.”

“Ibu pingin tidur dipeluk kamu sampai pagi.”

“Gak apa-apa kan?” tanyaku.

“Iyaaa.. gak apa-apa kok bu."

“Ya udah, kita istirahat sekarang. Udah hampir tengah malam bu.”

Malam ini, aku sedang ingin selalu bersamanya, menghabiskan waktuku sebanyak mungkin dengan merasakan kasih sayangnya. Aku bahkan memegang tangannya ketika kami melangkah ke kamar mandi untuk menyikat gigi, lantas kembali menggandengnya kembali saat keluar dari sana.

Pram berdiri dibelakangku ketika aku duduk di kursi, didepan meja riasku.

“Pram, tehnya tadi lupa diminum lhoo.” “Oh iyaaa… ya udah, taruh dikulkas aja dulu, besok sore aja baru diminum bu.”

“Iya.. terserah kamu aja Pram.”

Pram hendak melangkah keluar kamar tidurku namun aku segera mencegahnya.

“Tungguin ibu. Ibu ikut kamu.”

Pram menatapku dengan penuh keheranan.
“Saya mau ambil tehnya, terus taruh dikulkas. Gak lama kok.”

“Ibu ikut.” Jawabku seraya berdiri lalu menyusulnya.

Setelah memasukan teh kedalam kulkas dan mematikan seluruh lampu, kami kembali ke kamarku.

“Itu obat apa sih bu? Kemarin malam juga ibu minum obat itu.” tanyanya ketika aku kembali menalan pil KB.

Pram berdiri dibelakangku, memperhatikan isi laci meja rias yang terbuka.

“Ini Pil KB sayang..” jawabku lalu menelan sebutir pil itu. Pram mengerti akan hal itu, sehingga ia tak bertanya lebih jauh lagi.

“Bu, kayaknya diluar hujan rintik-rintik.” gumannya.

“Iya.. kayaknya hujan..”

Kami bisa melihat kilatan petir melalui celah kain gorden yang tak tertutup dengan sempurna.

“Kayaknya bakal hujan deras Pram.” “Iya..”

“Untung aja ibu minta kamu temenin malam ini.”

“Emang kenapa sih bu? Ibu takut?”

“Enggak sih Pram, bukan takut, cuman pingin sama-sama kamu aja sih, pingin dipeluk aja.”

“Ya udah, kita istirahat yuk.”

Pram membimbingku menuju ke tempat tidur, dan setelah merebahkan tubuh disana, ia kembali memelukku.

Udara dingin kembali menyapa ketika hujan yang turun semakin deras. Pram meraih sehelai selimut yang terletak di sisi kepalanya, kemudian menutupi tubuh kami berdua.

“Bu..”

“Yaaa..?” jawabku sambil menatap wajahnya yang begitu dekat dengan wajahku.

“Dari tadi kayaknya ibu gak mau ditinggalin, kayak jadi manja gitu. Ibu baik-baik aja kan?”

“Gak apa-apa kok, cuman lagi pingin dimanjain aja. Udah lama banget gak ngrrasain kayak gini.”

“Emang dulu sama suami ibu gak pernah kayak gini?”

“Pernah sih, pas awal-awal nikah, masih pengantin baru. Pas udah hamil ya udah enggak kayak gini.”

“Ya udah.. malam ini ibu saya peluk sampai pagi nanti.”

“Nanti, kalo kamu udah nikah, kamu harus punya waktu untuk istrimu, harus memanjakannya seperti kamu manjain ibu sekarang.”

“Iya bu. Akan saya ingat.”

“Mungkin, dulu suami ibu sibuk sama pekerjaannya kali bu.” Sambungnya.

“Kayaknya sih gitu. Sibuk sama selingkuhannya juga.”

“Udahhh.. gak perlu diinget lagi bu. Gak penting.”

“Iya.. ibu udah move on kok Pram.” Jawabku sambil memeluk erat tubuhnya.

Di umur yang hampir menginjak kepala tiga, rasanya sangat janggal jika aku masih ingin dimanjakan, diperhatilan lebih, oleh seseorang yang spesial dalam hatiku. Aku tidak tahu, apakah hal yang terjadi padaku ini, dialami juga oleh para perempuan lain diluar sana.

Aku tak bisa memungkiri bahwa kenyamana yang kurasakan karena perlakuan Pram padaku, membuatku sadar bahwa, kebahagiaan adalah sumber semangat hidup. Aku melangkah lagi, menjalani hidupku dengan sebaik mungkin setelah perselingkuhan suamiku.

Semua berkat bantuan lelaki muda yang kini sedang memelukku dengan erat.

“Sayang mau ngapain?” tanyaku setelah melihat Pram duduk diranjang dan melucuti baju yang ia kenakan.

Ia tak menjawabkku, lantas memintaku untuk duduk juga. Hal yang sama pun ia lakukan padaku, melucuti baju dan bra yang kukenakan. Ia membuatku sedikit bingung karena tak sepatah katapun ia ucapkan.

“Sayang lagi pengen?” Lagi-lagi Pram hanya diam.

Kedua tangannya dengan lembut diletakkannya di kedua belah pipiku. Ia hanya tersenyum memandangku. Lalu dengan perlahan, didekatkannya wajahnya, dan melumat bibirku dengan lembut hingga beberapa saat lamanya.

Pram mengecup keningku, sebelum akhirnya mengajakku kembali berbaring. Aku membenahi selimut untuk menutupi tubuh kami lantas berbaring memunggunginya. Aku senang jika ia memelukku dari belakang.

“Pram, kalo ibu buka celana juga, boleh?”

Pram hanya mengangguk. Dan ia pun melucuti celana yang ia kenakan. Hanya beberapa saat kemudian, aku mengubah posisiku, sehingga kami berhadap-hadapan. Wajahku terbenam didada, tepat dibawah dagunya.

“Sayang gak pengen?” tanyaku sambil memandang wajahnya, dan satu tanganku menggengam penisnya yang telah mengeras.

Lagi-lagi pram menggelengkan kepala.

“Kalo ibu yang pengen gimana?” tanyaku lagi.

Dengan lembut Pram membelai pipiku, jempolnya mengusap permukaan bibirku dengan sangat perlahan.

“Malam ini saya mau peluk ibu, mau manjain ibu sampai pagi. Itu aja.”

Mendengar jawabannya membuat hatiku berbunga-bunga. Dengan caranya yang unik, pram ingin memenuhi permintaanku, walaupun cara yang ia tempuh sangat mudah memancing birahi, dan mengubah malam ini menjadi ajang persetubuhan yang panas.

“Kita tidur ya..” sambungnya lagi, lalu mengecup keningku.

Aku membalas dengan melumat bibirnya dengan penuh perasaan hingga beberapa saat, lalu kembali membenamkan wajahku di dadanya.

Mengapa suamiku tidak pernah melakukan hal-hal yang seperti Pram lakukan padaku?

Jauh sebelumnya, aku tak pernah merasa senyaman ini, tak pernah merasakan kedamaian seperti ini. Aku merasa menjadi wanita yang paling beruntung karena mendapatkan perlakuan yang begitu romantis, begitu istimewa darinya.

Tidak pernah sekalipun aku berpikir, atau memimpikan bahwa aku akan mengalami hal ini dalam hidupku. Semua muncul begitu saja, datang bersama kehadiran Pram dalam perjalanan hidupku.

Aku tidak mempersalahkan suamiku karena selama kami bersama, ia tidak memperlakukanku seperti yang Pram lakukan. Aku memakluminya, karena aku berpikir, mungkin setiap pria berbeda karakter dan pola pikirnya. Hsuatu hal yang wajar.

Namun, Kehadiran Pram membawaku kedalam dunia yang baru. Ia membuatku merasa bahagia, ia bisa membuatku merasa menjadi wanita yang paling sempurna. Aku wanita yang sangat beruntung.

Pram memenuhi janjinya memanjakanku semalam suntuk, karena ketika aku terbangun , ia masih mendekapku erat. Tak sedikitpun ia tergoda untuk menyetubuhiku, bahkan dengan pertanyanyaan yang beraroma tawaran bercinta kuberikan padanya. Ia hanya ingin memenuhi permintaanku. Itu saja.

Dengan sangat hati-hati aku bergerak, agar tak membangunkannya. Tidurnya sangat lelap dan wajahnya terlihat begitu teduh.

Lelaki yang sedang kupandangi ini adalah malaikat yang telah membantuku melewati hari-hari kelam.

Suara adzan subuh yang berkumandang di udara akhirnya membangunkannya. Dan ketika ia membuka mata, hal pertama yang ia lakukan adalah mengusap pipiku yang tengah memandanginya.

“Selamat pagi.” Sapaku, sambil menumpangkan telapak tangan dipipinya.

“Pagi bu.” gumannya lembut.

Ia lantas menarik selimut dan kembali membenamkan diri dibawahnya. Aku tersenyum geli melihat tingkahnya yang seperti seorang anak kecil. Tak sampai disitu saja, ia kembali merapatkan tubuhnya padaku, lalu menenggelamkan wajahnya dipayudaraku.

Tentu saja aku dengan senang hati memeluknya erat, apalagi setelah ia memelukku erat semalaman.

Sunyi dan sepi berpadu dengan suara rintik hujan, melengkapi suasana romantis yang Pram ciptakan sejak semalam.

Kini, dalam pelukanku yang hangat, ia menikmati kesunyian pagi yang sangat ia sukai.

Hampi satu jam lamanya kami berdiam diri, tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

“Pramm.. sayang.. geli lhoo.. jangan digituiin..” protesku saat kurasakan ia memilin putingku.

Terdengar suara tawanya dari balik selimut yang menutupinya. Sejenak ia mengintip dari ujung selimut, hanya sedikit bagian wajahnya yang terlihat, seolah sedang mengintipku. Hanya sesaat ia memandangku, lalu kembali bersembunyi dibalik selimut.

“Sayaanggg… jangan digituuuuiinnnn…geli lhooo.” Protesku lagi.

Dan lagi-lagi ia mengintipku dari celah selimut yang menutupi tubuh kami. Pram sedang menggodaku, ia memancing birahiku ditengah bagi buta.

Ia menghentikan aksi usilnya, lalu kembali memelukku.

“Pagi-pagi udah nakalin ibu..”

“Habisnya gemesin sih.” Jawabnya, lalu tersenyum.

“Gemesin gimana sih sayanggg?? Semua nenen perempuan kan sama aja kayak gitu.”

“Iya sih, pasti sama aja..”

“Pram.. sayang.. nanti ujian lho ya.. jangan mikir yang macem2.. fokus ujian dulu ya..”

Pram hanya tersenyum, lantas bangun dari tidurnya dan duduk bersandar di kepala ranjang.

“Hujannya awet banget bu, dari semalem nggak berhenti.”

“Iya.. bikin males mau kemana-mana. Pengen malas-malasan aja dikasur.”

“Ibu harus kerja lho bu.”

“Iya sih..”

Cuaca pagi yang sedang tidak bersahabat membuat kami memilih berlama-lama dikasur. Waktu menunjukkan hampir jam setengah enam pagi, dan hujan pun belum berhenti.

“Lhoo mau kemana?” tanyaku saat ia hendak beranjak turun dari tempat tidur.

“Mau mandi bu, tuh udah hampir jam setengah enam.”

Dengan cepat aku memeluk pinggangnya, mencegahnya agar tak beranjak pergi. Dengan sedikit memaksa, aku merebahkan tubuhnya, kakinya terjuntai menapak lantai.

“Nanti dulu.. bentar lagi aja mandinya.” Kataku manja sambil mengusap dadanya.

“Iya.. tapi jangan kelamaan lho buu. Nanti ibu terlambat masuk kerja.”

Pram berbaring dengan posisi kepala berada didepan dadaku, sehingga aku bisa dengan bebas melihat tubuh telanjangnya. Aku bisa melihat penisnya yang telah mengeras. Hal yang lumrah, normal terjadi pada pria di pagi hari.

Dari arah kepalanya, perlahan aku mendekat, lalu mengecup dadanya, kujilati dan kuhisap putinggnya dengan lembut.

Pram membalasnya dengan meremas payudaraku yang berada tepat didepan wajahnya. Pram paham dengan apa yang kulakukan, ia tahu aku ingin bersetubuh dengannya.

Beberapa saat setelah puas menikmati dadanya, kuteruskan kecupan-kecupanku dengan menyusuri perutnya, dan berhenti tepat didepan kemaluannya.

Berbeda dengan Pram, ia langsung menjilati kemaluanku, saat pangkal pahaku tepat berada di depannya. Dari celah tubuh kami, aku bisa melihat ia mengerjai kemaluanku.

Pram telah terangsang oleh permainanku. Untuk mengimbanginya, perlahan, aku mulai mengocok penisnya sambil menjilati bagian ujunngnya. Hanya beberapa saat, lalu penis itu kembali mengunjunggi rongga mulutku.

Dibawah sana, Lidah Pran seolah sedang mengorek vaginaku, menelusuri belahan vertikal yang menjadi tempat beberapa titik senaitive. Ia benar-benar sedang menikmati kemaluanku dan aku sangat menyukainya.

Selama beberapa menit, kami saling berbagi kenikmatan dengan mengerjai kemaluan masing-masing, hingga akhirnya aku berhenti mengoralnya. Aku menegakkan badan, menjadikannwajahnya sebagai tempat dudukku.

Berbeda dengan Pram, ia masih terus saja mengerjai kemaluanku. Pram menghujani vaginaku dengan jilatan, hisapan, bahkan sesekali melumat bibir vaginaku. Tak butuh waktu lama baginya untuk membuat vaginaku basah dan licin. Perlahan, cairan kenikmatan akibat rangsangannya mulai keluar, dan aku yakin cairan itu langsung memasuki mulutnya.

Pinggulku bergerak pelan, maju dan mundur, seirama dengan permainan lidahnya. Gesekan antara permukaan kemaluanku dengan wajahnya menimbulkan sensasi yang luar biasa hebat. Aku sangat menikmati ketika kumisnya yang tipis karena sehabis dicukur menyentuh kemaluanku, seakan sedang digaruk karena terasa kasar dan menusuk lembut.

Sejurus kemudian, aku meraih kedua tangannya, dan menuntun kedua tangannya untuk meremas payudaraku. Aku ingin ia menjamahku, memberiku kepuasan birahi dengan merangsang seluruh bagian vital tubuhku.

Dan sesuai keinginanku, Pram mulai meremas payudaraku, keduanya. Jemarinya dengan lincah memilin kedua putingku, hingga benar-benar mengeras sempurna.

Pemandangan erotis kembali tersaji dan sangat memanjakan mataku. Aku bisa melihat wajahnya terbenam diantara pangkal pahaku, dan merasakan lidahnya menari liar menelusuri celah diantara bibir vaginaku.

Payudaraku pun mengalami hal yang sama, remasan lembut dan usapan dari tangannya tak henti-hentinya memberiku kenikmatan hebat.

Aku sedang dalam detik-detik menuju ke puncak kenikmatan, dan satu tanganku ikut terlibat dengan mempermainkan klitorisku sendiri.

Aku benar-benar melayang, terbuai dalam kubangan birahi yang dalam. Dan hanya beberapa menit kemudian, tubuhku bergetar hebat akibat orgasmeku. Pinggulku menekan kebawah, menghimpit erat wajah lelaki yang baru saja memberiku kepuasan seks.

“Saaayyaannggggg…. “ desahku panjang mengiring ledakan orgasme yang terjadi.

Hanya beberpa saat, lalu tubuhku ambruk disisi Pram. Nafasku memburu cepat, dan jantungku bedetak kencang.

Pram tersenyum memandangku, dan dengan pandangan mata sayu, aku membalas senyumnya. Dengan lembut ia mengusap mengusap kepalaku, dan memberikan sebuah kecupan yang cukup lama dikeningku.

“Makasih sayang.” Kataku sambil mengusap wajahnya.

“Ibu puas?” tanyanya.

Aku mengangguk sambil tersenyum, lalu melumat bibirnya dengan lembut. Aku tak memperdulikan sisa cairan orgasmeku yang masih menempel disekitar mulutnya.

“Pagi-pagi udah dibikin enak.. senang banget rasanya.” Kataku.

“Iya.. sesekali sarapannya harus beda.”

Aku tertawa mendengar ucapannya. “Sayang yang udah sarapan, ibu belum kok.”

“Sekarang giliran ibu..” sambungku, sambil meraih penisnya.

bersambung

part 2 akan rilis beberpa jam kedepan
Terima kasih Suhu updatenya
Kami siap menunggu beberapa jam lagi
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd