Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA RAHASIA SEBUAH HATI (NO SARA)

BAGIAN 19



Denta Pov

Di tengah situasi yang tidak mudah, sadar atau tidak, senang atau tidak, suka atau tidak, aku seperti digiring untuk lebih mendalam merenungi kehidupan untuk menemukan hakikat dari nilai-nilai di baliknya. Selama lebih dari dua tahun ketika waktu terasa menyesatkan, dan aku mengalami keadaan yang tak menentu, seolah kegalauan berjarak sebutir beras di depan mata. Dalam hidup yang berisik oleh persoalan-persoalan yang tak pernah aku duga kapan dan dimana datangnya, mungkin kisah-kisah tentang hidup itu sendiri bisa menjadi penawarannya - mungkin saja, agar aku bisa tertawa sampai menangis, atau bahkan menangis sampai tertawa. Sebab hidup memang begini, dan cuma begini, terus mau bagaimana lagi?

Hari ini kupelajari satu hal lagi tentang kehidupan. Bahwa banyak misteri dan hal-hal serba tidak pasti yang harus aku hadapi dalam hidup ini. Detik ini aku bahagia, belum pasti detik berikutnya bahagia itu berlanjut. Kadang-kadang, ada duka yang menunggu di ujung rasa bahagia yang aku rasa. Bagiku ada sesuatu yang paling berharga dan hakiki dalam kehidupan, dapat mencintai, dapat iba hati, dapat merasai kedukaan. Tanpa itu semua maka kita tidak lebih dari benda. Berbahagialah orang yang masih mempunyai rasa cinta, yang belum sampai kehilangan benda yang paling bernilai itu. Kalau kita telah kehilangan itu maka absurd lah hidup kita.

Pikiranku terus menimbang. Bagaimana perasaan ini agar seimbang, agar keputusanku tidak sembarang dan penuh dengan pertimbangan. Akhirnya, setelah pergulatan batin yang cukup hebat, aku putuskan untuk membangun kempali puing-puing rumah tanggaku yang hancur lebur berantakan. Aku yakin kami masih bisa saling menyayangi, terlebih kepentingan anak adalah hal yang paling utama. Anak-anak tidak boleh menjadi korban atas masalah yang sedang kami alami.

Ya memang menjalani pernikahan di mana pasangan pernah maksiat, tentu berat. Dibutuhkan kebesaran hati untuk menerimanya kembali. Apapun yang telah terjadi tidak perlu lagi saling menyalahkan atau mencari kambing hitam pada siapapun juga. Kenyataan itu harus dimaklumi dengan kebesaran hati dan diserahkan pada Yang Maha Kuasa. Dan aku akan menata kembali dan memperbaiki yang salah, membangun lagi keluarga bahagia seperti dulu.

“Om … Sudah jam lima lebih. Toko sudah ditutup. Apa om masih mau di sini?” Tanya Uci lalu duduk di pangkuanku. Aku langsung peluk pinggangnya dan kami pun berciuman untuk beberapa detik.

Setelah melepas ciuman, aku menatapnya dan berkata, “Uci … Bagaimana pendapatmu kalau om ingin kembali lagi dengan tantemu?”

Kedua alis Uci terlonjak dan matanya agak membulat, “Om yakin?”

“Sebenarnya om kurang yakin, tetapi tantemu meminta agar kami membangun lagi rumah tangga demi anak-anak.” Jawabku agak kutambah sedikit supaya Uci mengerti.

Uci pun kemudian tersenyum manis, “Uci sangat mendukung keputusan om. Mudah-mudahan om bisa membangun lagi rumah tangga sama tante, dan itu artinya hubungan kita sampai di sini. Uci gak mau mengganggu lagi tante dan om.”

“Kamu gak marah kan?” Tanyaku.

“Ya nggak lah om … Uci malah senang karena om dan tante bersatu lagi.” Jawab Uci sangat melegakan.

“Terima kasih … Sebaiknya kamu mulai mencari pacar, biar kamu gak kesepian.” Kataku setengah bercanda.

“Pastilah om … Udah ada beberapa kandidat kok …” Sahut Uci genit.

“Bagus … Jadikan semua pacarmu para kandidatmu itu.” Candaku lagi.

“Ikh! Mana bisa?!” Uci mencubit hidungku dan kami tertawa bersama-sama.

“Oh ya Uci … Mulai besok kamu harus keluar dari rumah. Sebaiknya kamu mencari kontrakan.” Kataku.

“Itu juga yang Uci pikirkan om.” Jawab Uci sembari bangkit dari pangkuanku.

“Di dekat sini ada perumahan bagus. Banyak rumah yang dikontrakan di sana. Kamu carilah ke sana.” Kataku.

“Iya om … Sekarang juga Uci mau cari rumah kontrakan di sana. Dan malam ini Uci akan tidur di penginapan dulu.” Jawabnya lagi yang kujawab dengan anggukan kepala.

Aku dan Uci kemudian keluar toko sama-sama dan tak lupa mengunci pintu dan menyapa para karyawanku. Langsung saja aku pulang ke rumah dengan kendaraanku, sementara Uci dengan motornya pergi ke kompleks yang aku sarankan tadi. Sore ini jalanan cukup sepi tak seramai tadi siang, jadi aku dapat lebih cepat sampai ke rumah. Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih 30 menit, aku pun sampai di rumah. Istriku belum pulang dari kerjanya. Aku merebahkan tubuh ke atas sofa panjang di ruang tengah. Mencoba untuk memejamkan mata dan mengistirahatkan tubuh yang sudah lelah, sampai tak terasa aku tertidur.

Entah sudah berapa lama aku tertidur sampai aku merasakan ada yang menepuk-nepuk bahuku. Aku pun terbangun dan melihat Wida sudah berdiri di sisi sofa. Aku bangkit dari posisi tidurku lalu duduk sambil mengumpulkan nyawa yang masih setengah. Wida duduk anggun di sampingku sambil menatap lembut. Setelah kesadaranku kembali, aku menoleh ke arahnya.

“Mama sudah makan?” Tanyaku.

“Mama sudah makan, pa. Untuk makan malam papa, mama beliin sate untuk papa.” Jawabnya dengan wajah yang sungguh manis.

“Oh ya. Kalau begitu papa mandi dulu.” Sahutku lantas berdiri.

Aku berjalan ke kamar tidur, lalu membersihkan badan di kamar mandi. Setelah selesai mandi dan berpakaian, aku langsung menuju ruang makan untuk makan malam, di ruang makan aku melihat Wida yang sedang duduk di kursi menungguku. Aku duduk di kursi berhadapan dengan Wida di mana makananku sudah tersaji. Dengan cepat kulahap makanan yang baru dihidangkan Wida. Maklum, aku memang sangat lapar. Selain itu satenya juga patut diacungi jempol.

“Mama gak melihat Uci. Apakah Uci akan pulang malam?” Tanyanya setelah aku menghabiskan makananku.

“Uci tidak akan tinggal di rumah ini lagi. Dia akan tinggal di rumah kontrakannya.” Ucapku dan langsung saja Wida tersenyum yang bibirnya melengkung seperti bulan sabit.

“Itu artinya?” Ujar Wida dengan tatapan penuh arti.

“Kita akan membangun lagi rumah tangga kita dari awal. Papa ingin rumah tangga kita seperti dulu lagi. Kita kembalikan kebahagiaan rumah tangga kita seperti dulu.” Jawabku.

Senyuman Wida semakin melebar lalu berkata, “Mama senang mendengarnya. Jadi mama tidak perlu menunggu lama. Mama juga ingin sekali kita seperti dulu lagi, saling mengasihi satu sama lain. Memang seharusnya kita seperi dulu lagi untuk anak-anak kita.”

“Ya … Mungkin hari sabtu depan papa akan menjemput anak-anak ke Cianjur.” Kataku.

“Sayang sekali mama tidak bisa ikut. Mama sudah tidak punya muka di sana.” Ucap Wida mendesah.

“Gak apa-apa … Biar papa yang menjemput anak-anak.” Aku coba membesarkan hatinya.

Malam ini merupakan malam yang bersejarah buat kami, karena inilah pertama kalinya kami berbincang-bincang mesra setelah prahara yang melanda kami berdua. Kami seperti sepasang kekasih yang tengah merayakan hari pertama kami jadian. Kami berpegangan tangan, bercanda dan tertawa bersama. Hari ini aku akan berdamai dengan masa lalu, memaafkan segalanya dan mengikhlaskan semuannya. Hari ini aku berdamai dengan hati, berdamai dengan luka, berdamai dengan dendam. Aku menyadari bahwa semua tak ada yang kebetulan melainkan semua rencana-NYA. Ya, aku mengikhlaskan yang telah terjadi. Aku merelakan segalanya. Semua akan aku anggap indah.

“Sudah malam … Ayo kita tidur …” Ajakku.

“Iya …” Jawab Wida.

Kami pun berdiri dari sofa. Saat Wida hendak melangkah, aku tarik tangannya untuk mengikutiku ke kamarku. Memang, selama dua tahun terakhir aku dan Wida pisah ranjang. Aku tidur di kamar utama, sedangkan Wida tidur di kamar lain yang letaknya di lantai dua. Selama dua tahun itu juga, aku tidak pernah menyentuhnya. Tak lama kami sudah berada di dalam kamar. Kami naik ke atas ranjang dengan sedikit kekakuan, seakan kami adalah pasangan yang baru saling kenal.

“Terima kasih sudah mau mengajakku ke ranjangmu.” Ujar Wida setelah kami berbaring di atas kasur berhadap-hadapan.

“Ini tempat tidurmu.” Katamu sambil membelai wajahnya yang cantik.

Wida hanya tersenyum dan menatapku lekat-lekat. Perlahan-lahan, Wida dekatkan bibirnya ke bibirku. Bibir kami bersentuhan lama sebelum kemudiannya Wida menarik semula kecupan itu. Kami saling menatap penuh dengan kekosongan. Hingga akhirnya kedua mata kami terpejam, membiarkan bibir kami bertemu untuk menyampaikan perasaan masing-masing. Perasaanku hampir kosong, tak ada cinta di situ. Namun aku harus memupuknya agar cinta itu tumbuh bersemi kembali.

Perlahan kendali dalam diriku hilang dan ciuman kami semakin lama serta dalam. Wida juga terbawa arus permainanku, bahkan dia membiarkan tanganku mulai menjelajahi setiap jengkal tubuhnya. Tangannya pun tidak tinggal diam karena jari tangannya juga mulai bermain di atas permukaan perutku. Dengan pelan aku merangkak ke atasnya dengan ciuman kami yang masih berlangsung. Aku membuka seluruh kancing bajunya, melepasnya perlahan, meninggalkan bra polos berwarna merah muda. Tanganku menelusup ke dalam sana, meremasnya dengan sedikit menekan-nekannya. Kulihat putingnya sudah mengeras, dengan cepat aku menarik tali bra yang menutupi pemandangan indah selama ini. Lidahku bermain di sana, memberi aksen basah nikmat di sana, aku melihat Wida sudah bergerak tidak karuan. Matanya terpejam dengan menggigit bibir bawahnya. Lidahku mengarah ke atas menuju leher jenjeng putih miliknya. Menghisap nikmat di sana, hingga meninggalkan bekas merah kehitam-hitaman. Wida semakin tidak terkontrol, desahan demi desahan keluar dari bibir manisnya.

“Aaaaahhhhh, paaaa udaah. Aku geli.” Kata-kata itu yang terucap dari bibir mungilnya, tapi aku tidak perduli, aku semakin membuatnya menggila saat satu jariku menerobos ke dalam bagian intim miliknya.​


“Aaaaaaahhhh.”

Wida memejamkan matanya kembali, menikmati satu jariku yang sedang menari-nari di bawah sana. Selang beberapa menit, Wida mengejang nikmat dengan keluarnya cairan bening dari dalam vaginanya. Wida tampak tergulai lemah, tapi aku tidak peduli. Juniorku sudah mengacung sempurna dan meminta masuk ke sarangnya. Dengan pelan dan hati-hati aku mulai memasukkan juniorku ke dalam vaginanya, sedikit basah tapi terasa sangat nikmat. Desahan kami keluar kala punyaku seluruhnya sudah memasuki ke dalam vaginanya.​

Aaahhh sempit, masih saja sempit. Tapi aku suka!” Kataku dalam hati.


Aktifitas kami masih berlanjut, bantal dan seprei yang tadinya rapi sekarang sudah tidak beraturan. Kamar yang tadinya dingin, mendadak menjadi gerah dan panas. Hingga keringat kami keluar begitu saja. Wida semakin menggeliat-liat akibat hujamanku di bagian intinya. Akhirnya aku menambah kecepatan gerakan keluar masuk milikku dan tentu saja lebih cepat dan lebih dalam. Hingga aku sudah merasakan puncaknya, kami mengerang bersamaan saat aku memuntahkan madu putih hangatku di dalam vaginanya.

Baru saja aku mencapai puncak kenikmatan, namun hasratku belum terpuaskan. Gairahku malam ini sungguh luar biasa dan Wida juga sangat bisa mengimbanginya. Wida menikmati hentakan-hentakan lembut yang aku lakukan dengan terengah-engah. Kami berdua mengerang bersahutan mengisi sunyinya malam, dengan aroma kulit yang saling menukar peluh menjalar memenuhi seantero ruangan. Wida memelukku dengan erat, memasrahkan dirinya untuk dibawa kemanapun malam ini aku akan membawanya. Hasratku seperti tak berkesudahan, gerakanku begitu panjang dan dalam. Aku mempercepat laju gerakku, menggoda Wida untuk melenguh sekencang-kencangnya. Aku ingin mendengar jeritan, desahan, dan erangan Wida selamanya.

"Pa..pa..." Lirih Wida lembut dengan tersengal.

Mendengar ia memanggil namaku dengan penuh kasih membuatku semakin tak karuan. Hingga saat aku merasakan akan mencapai puncak, aku memutar dan mengangkat tubuh Wida untuk berada di atas mendudukiku. Aku ingin Wida merasakan puncak kenikmatannya juga, aku membutuhkan Wida untuk meraih klimaks bersama. Wida dengan sigap menyambut posisi kami dan mulai menggerakkan tubuhnya naik turun dengan cepat. Wida menangkup wajahku dengan kedua tangannya, sedangkan aku mendekapnya erat dan mencumbu setiap sudut tubuh Wida dengan sayang sembari mengharmonisasikan gerakan Wida seirama. Wida pun memejamkan matanya, menikmati sensasi yang diciptakan oleh ujung kejantananku yang memenuhi setiap sudut ruang feminimnya. Gerakan Wida melambat namun lebih dalam, membuatku yang berada di bawahnya menggelinjang bergetar. Aku menarik Wida ke dalam dekapan yang menuntut, memaksa Wida untuk tidak berhenti. Kami berdua akhirnya klimaks bersama-sama. Wida menatapku dan tersenyum kepadaku. Aku membalas senyumannya. Wida tak lama tidur di sebelahku dan memelukku.​

-----ooo-----​

Suasana pagi yang cukup mendukung untuk memulai hari. Semilir angin yang berhembus menyapu jalanan yang padat akan kendaraan beroda yang hilir mudik kesana-kemari. Beberapa aktivitas mulai dilakukan. Termasuk diriku yang sudah memulai rutinitas. Membuka toko dan melayani pelanggan. Karena aku tak pernah menunda-nunda pekerjaan, maka load pekerjaanku lumayan berkurang. Hal ini berimbas dengan waktu luangku yang lebih banyak untuk hari ini.

Tepat pukul 10.15 pagi, aku menerima pesan whatsapp dari seseorang tanpa identitas, hanya sederatan nomor tak kukenal, tetapi sepertinya itu nomor rumah atau kantor dengan nomor awal untuk daerah Jakarta. Aku mengernyitkan alis saat melihat nomor tidak dikenal, namun aku tetap menggeser icon berwarna hijau di layar smartphoneku.

“Hallo.” Sapaku dibuat seramah mungkin.

“Hallo … Apakah saya sedang berbicara dengan Bapak Denta?” Penelepon yang bersuara seorang wanita langsung bertanya tentang identitasku.

“Benar. Maaf, saya berbicara dengan siapa ya?” Aku balik bertanya.

“Saya sekretaris Pak Soemitro. Maaf mengganggu waktunya.” Jawabnya membuatku lumayan terkejut. Aku pun mengerutkan dahi, mereasa heran karena sang konglomerat itu tiba-tiba mengubungiku. Ada perlu apa Pak Soemitro meneleponku? Apa ada hal penting yang ingin ia sampaikan.

“Oh ya … Ada apa ya?” Lantas aku bertanya lagi.

“Pak Soemitro mengundang bapak ke rumahnya. Ada sesuatu yang ingin dibicarakan.” Jawabnya.

“Begitu ya … Kira-kira masalah apa ya mbak?” Aku yang masih terkejut bercampur penasaran akhirnya menanyakan hal yang sebenarnya kurang pantas dipertanyakan.

“Pak Soemitro bilang kalau beliau ingin langsung mengatakannya pada bapak. Beliau berpesan padaku untuk tidak memberitahukan masalah yang akan dibicarakan di telepon. Tapi yang jelas sangat penting dan rahasia. Bila bapak berkenan, datang lah ke rumah beliau.” Jawab sang sekretaris sangat diplomatis.

“Baiklah. Saya akan segera berangkat. Mungkin siang atau sore ini saya sudah berada di rumahnya.” Kataku menyanggupi permintaan Pak Soemitro.

“Terima kasih sebelumnya. Kedatangan bapak sangat diharapkan beliau.” Katanya sangat ramah.

“Sama-sama.” Kataku dan sambungan telepon pun terputus.

Penting dan rahasia. Itulah kalimat yang terpatri di otakku sekarang. Orang sekelas Pak Soemitro ingin berbicara denganku tentang hal yang sangat penting dan rahasia. Sungguh suatu kehormatan besar bisa berbicara lagi dengan beliau. Mungkin saja Pak Soemitro akan memberiku pekerjaan dengan upah uang besar, seperti beberapa waktu yang lalu. Segera saja aku memburu mobilku setelah memberikan beberapa instruksi pada para karyawanku. Kini aku lajukan mobilku menuju jalan raya.

Mobilku meluncur dengan kecepatan sedang menuju Jakarta. Tentu hal itu tak berlangsung lama, karena begitu memasuki jalan tol aku langsung menginjak pedal gas lebih dalam sehingga laju sedan putihku lebih kencang, membelah udara yang mulai memanas. Sepanjang perjalanan aku hanya sekali memasuki rest area untuk mengisi bahan bakar. Dan akhirnya setelah menempuh dua jam perjalanan, aku sampai juga di kota yang terkenal dengan kemacetannya. Di dalam kota kendaraanku harus merayap bersama kendaraan-kendaraan lain. Aku terjebak dalam kemacetan di beberapa titik. Sekitar pukul 15.05 sore, aku pun sampai di sebuah rumah megah bernuansa putih hitam, dengan kolam kecil di depannya, belum lagi beberapa tumbuhan hijau yang tertata rapi.

"Selamat siang." Seorang pelayan dengan ramah menyambutku di depan pintu utama.

“Saya ingin bertemu Pak Soemitro.” Kataku.

“Mari … Ikuti saya!” Jawabnya tanpa bertanya lagi. Aku rasa si pelayan itu sudah tahu dan menunggu kedatanganku.

Aku pun mengikuti langkah sang pelayan memasuki rumah megah milik Pak Soemitro lebih dalam. Selanjutnya, tidak ada lagi suara yang terdengar, yang ada hanya suara-suara gema langkah kaki kami. Sekitar dua menit berselang, aku dan si pelayan sampai di sebuah pintu besar yang menjulang tinggi, yang sepertinya merupakan ruangan tempat Pak Soemitro berada. Perlahan sang pelayan mendorong pintu kayu tebal berwarna gelap itu, aku pun dipersilahkan masuk.

“Oh … Pak Denta … Silahkan masuk!” Suara Pak Soemitro begitu ramah menyambut kedatanganku.

“Terima kasih.” Aku membungkukan badan sebelum melangkah mendekati meja kerjanya.

“Bagaimana perjalanannya?” Tanya Pak Soemitro sambil berdiri dari kursi kebesaran yang ia duduki.

“Lumayan macet, pak.” Jawabku lalu menjabat tangannya. Kami bersalaman dengan genggaman erat.

“Ya, seperti itulah kota Jakarta.” Sahutnya lalu mempersilahkan aku duduk di kursi depan meja kerjanya.

“Terima kasih.” Kataku sembari duduk di kursi yang tersedia.

“Kita langsung saja.” Suara Pak Soemitro langsung terdengar sangat serius. “Saya ingin Pak Denta menyelidiki uang saya yang hilang tanpa bisa saya lacak. Ada beberapa penarikan uang di bank yang cukup besar oleh Robby. Semuanya mencapai 875 milyar. Tapi, uang itu seakan raib begitu saja, tidak tahu kemana uang itu dialirkan. Saya sudah mengecek semua transaksi yang Robby lakukan, tetapi uang itu tak terdeteksi.”

“Aneh juga.” Gumamku pelan dengan hati yang lumayan terkejut atas permintaan Pak Soemitro untuk menyelidiki uangnya yang hilang.

“Perkiraan sementara saya adalah uang itu ditimbun oleh seseorang dan tidak disimpan di bank. Jika uang itu disimpan di bank, saya pasti bisa menemukannya walaupun menggunakan nama orang lain yang tidak dikenal sekali pun. Saya bisa mengecek dari nomor seri uang yang dikeluarkan bank saat penarikan uang itu. Siapa pun yang melakukannya pasti bisa saya ketahui. Tapi kenyataannya, saya tidak menemukan uang-uang itu masuk kembali ke bank. Jadi kesimpulannya uang itu ditimbun di suatu tempat.” Jelas Pak Soemitro masuk akal juga.

“Apakah bapak mencurigai seseorang?” Tanyaku ingin tahu.

“Ya … Orang yang pernah dekat dengan Robby. Orang ini pakar dalam bidang keuangan dan perbankan. Dia juga pebisnis handal, dan mahir menyusun secara rinci strategi yang akan dia jalankan.” Jawabnya sembari menatapku lekat-lekat.

“Maaf pak … Siapa orang itu?” Tanyaku penasaran.

“Siska ...” Jawab Pak Soemitro yang membuatku terhenyak hebat.

“Ba..bagaimana bi..bisa?” Aku tergagap saking tak percayanya.

“Dugaan pertama, Robby telah memberi Siska perusahaan untuk menampung uang-uang jarahan. Memang benar kalau Siska yang membuka kebusukan Robby padaku saat itu, tapi yang dia buka hanya sebagian saja. Mungkin, uang besarnya masih dia sembunyikan. Dugaan kedua, berdasarkan hasil penyelidikan diketahui perusahaan Siska mengalami lost profit yang cukup signifikan, yang jumlahnya hampir mencapai 50 milyar. Wajar, tahun ini adalah tahun sulit untuk berbisnis. Sebagai perusahaan yang gagal usaha, biasanya pengusaha akan melakukan peminjaman modal pada pihak ketiga. Tapi Siska tidak melakukannya, dan itu berarti Siska mempunyai cadangan modal yang sangat tinggi. Mungkin dari uang yang raib itulah dia bisa menutupi kegagalan usahanya. Dugaan ketiga, cadangan modal yang Siska gunakan tidak didapat dari transaksi keuangan, seakan-akan dia mempunyai setumpuk uang yang dia simpan dalam bentuk cash.” Jelas Pak Soemitro yang rupa-rupanya telah menyelidiki Siska begitu mendalam.

“Pak … Bapak telah berhasil menemukan fakta-fakta itu dan artinya bapak sudah setengah jalan menyelidiki kecurigaan bapak pada Siska. Lalu, kenapa bapak tidak melanjutkannya? Apakah ada kendala?” Tanyaku kemudian.

“Seperti yang saya katakan tadi kalau Siska sangat mahir berstrategi. Tim yang saya buat untuk menyelidikinya tidak berhasil menyusuri keberadaan uang itu. Saya malah curiga kalau tim saya itu tutup mulut dan berbohong pada saya. Mungkin Siska berhasil mempengaruhi mereka agar mereka membuat laporan palsu untuk saya. Maka dari itu, saya akhirnya memutuskan untuk memanggil bapak, karena saya yakin bapak adalah orang yang tepat untuk melaksanakan pengungkapan uang itu untuk saya.” Jawabnya dan aku hanya bisa melongo untuk beberapa saat.

“Ke..kenapa bapak begitu percaya pada saya?” Tanyaku lagi dan lagi.

Pak Soemitro menyandarkan punggungnya di sandaran kursi. Wajahnya tampak menerawang dengan tatapan yang ia arahkan agak ke atas. Beberapa detik berselang ia pun berkata, “Saya mendapatkan informasi kalau Pak Denta orang yang bisa membantu saya dari mimpi. Dalam mimpi itu, saya bertemu dengan seorang wanita cantik yang mengatakan bapak lah yang bisa menyelesaikan masalah ini. Jika saja mimpi itu hanya sekali mungkin saya tidak akan mempercayainya. Tapi mimpi serupa terjadi sebanyak empat kali. Berkali-kali wanita cantik itu meyakinkan saya untuk menghubungi bapak.”

Kini mataku terbelalak mendengar perkataan Pak Soemitro dan kini aku tak bergeming dibuatnya. Dan langsung saja pikiranku tertuju pada Eyang Ratih Pramewasari. Tapi, apakah benar leluhurku itu yang datang pada mimpi Pak Soemitro? Tiba-tiba aku merasa berdosa karena sudah sangat lama aku tidak mengunjungi ke petilasannya. Dan entah kenapa, tiba-tiba aku sangat merindukan leluhurku itu.

“Saya terpaksa mempercayai tahayul. Sebenarnya saya ingin tidak percaya.” Lanjut Pak Soemitro setelah beberapa saat hening.

“Baiklah, pak … Saya akan coba membantu bapak untuk menemukan uang itu. Tapi, jika saya tidak berhasil, saya harap bapak tidak kecewa, karena orang yang sedang kita hadapi bukan orang sembarangan. Selain keahlian yang bapak katakan tadi, Siska mempunyai kemampuan yang sangat luar biasa. Sehingga sangat sulit untuk mendekati dan menyelidikinya.” Ujarku.

“Hhhmm … Kemampuan apa yang dia punya?” Kini Pak Soemitro yang bertanya dengan nada penasaran.

“Siska mempunyai kemampuan membaca pikiran dan hati orang. Saya menduga kalau tim yang bapak bentuk untuk menyelidikinya berhasil Siska ketahui dari membaca pikiran orang-orang suruhan bapak. Jadi menurut saya wajar jika tim bapak mengalami kegagalan karena rencana-rencana mereka sudah diketahui Siska tanpa disadari oleh tim bapak.” Jelasku.

“Hah! Jadi seperti itu?!” Pak Soemitro benar-benar terkejut lalu menegakan posisi duduknya.

“Ya …” Sahutku sangat singkat.

“Apakah kamu yakin bahwa Siska bisa mendengar pikiran dan hati orang lain?” Tanya Pak Soemitro seakan tidak percaya.

“Ya, pak … Siska bisa melakukan itu.” Jawabku.

“Jangan-jangan Siska tahu kalau saya sedang menyelidiknya? Masalahnya Siska masih sering menemui saya.” Dengan nada terkejut Pak Soemitro memandangku dengan raut khawatir.

“Kemungkinan besar Siska sudah mengetahui semua rencana bapak.” Sahutku sedikit sendu.

“Pantas saja dia begitu licin.” Gumam Pak Soemitro dan kini menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Karena bapak masih sering bertemu, sudah sangat bisa dipastikan kalau Siska tahu semuanya.” Tegasku.

“Kurang ajar! Saya ingin sekali melenyapkannya tapi saya masih berpikir ingin menyelamatkan uang yang disembunyikannya. Baiklah! Sekarang saya serahkan semuanya kepada Pak Denta. Jika Pak Denta berhasil membongkar keburukannya, saya akan memberi fee 10% dari uang yang terselamatkan.” Ucap Pak Soemitro bersungguh-sungguh.

Aku pun tersenyum dan berkata, “Kalau begitu, saya harus undur diri. Saya akan berusaha melakukan yang terbaik buat bapak.”

“Terima kasih atas waktunya. Saya berharap Pak Denta bisa menyelesaikan pekerjaan ini dengan baik. Kalau bisa, komunikasikan perkembangan pekerjaan bapak pada saya sesering mungkin.” Katanya sembari berdiri.

“Baik pak. Saya akan berusaha sekuat tenaga.” Jawabku lalu berjabatan tangan perpisahan.

Aku kemudian keluar dari ruangan sang konglomerat dan keluar dari rumah megahnya. Kulajukan mobilku keluar dari pekarangan rumah Pak Soemitro dan kembali ke Bandung. Sepanjang perjalanan aku berpikir, rasanya aku akan mendapat kesulitan untuk menyelesaikan kasus ini karena yang aku hadapi adalah orang yang bisa membaca pikiran dan hati orang lain. Namun ada suatu harapan kalau apa yang dicurigai Pak Soemitro tidak benar adanya. Aku masih berharap kalau Siska memang ‘bersih’ dari penggelapan uang hasil jarahan Robby. Ya, bagaimana pun juga aku harus tetap menyelidikinya untuk mendapatkan kebenaran itu.​

-----ooo-----​


Wida Pov

Sore ini, aku dan Siska berada di sebuah cafe di bilangan pusat kota. Cafe dengan penampilan elegan dan tatanan super mewah. Aku tahu pasti hanya segelintir orang yang mampu membayar hidangan di cafe ini mengingat harga yang sangat mahal. Maka menjadi maklum hanya ada beberapa orang yang berkunjung di cafe ini. Aku dan Siska duduk di kursi yang letaknya sangat privasi. Berbicara dengan suara agak keras pun, orang-orang tak akan mendengarnya, ditambah lagi dengan alunan musik romatis membuat pengunjung yang beberapa orang itu akan fokus pada lawan bicara mereka masing-masing.

“Sis … Malam tadi Denta menyentuhku lagi.” Kataku seraya tersenyum malu.

“Hhhhmm … Pantas kamu kelihatan bahagia seharian ini.” Ujar Siska menanggapiku datar-datar saja.

“Dia luar biasa, Sis … Aku terlena dibuatnya.” Kataku lagi.

“Wid … Apakah dengan sentuhannya kamu jadi melupakan penderitaanmu yang telah dia perbuat?” Ujar Siska yang tiba-tiba seperti tidak menyukai kenyataan kalau aku disentuh lagi oleh Denta setelah sekian lama.

“Tentu saja aku belum bisa melupakannya.” Lirihku dan memang rasa sakit itu masih ada.

“Bukan apa-apa Wid … Aku juga perempuan. Aku juga merasakan penderitaanmu. Bagiku, Denta sudah sangat keterlaluan. Oke, memang kamu yang menyebabkan semua itu terjadi, tapi apa yang telah diperbuat Denta sudah keluar dari batas peri-kemanusiaan. Bahkan aku gak respek lagi padanya.” Ujar Siska dengan wajah serius.

“Kamu kelihatannya begitu marah sama Denta.” Ucapku sambil menatapnya lekat.

Siska pun tersenyum dan berkata, “Aku hanya kasihan padamu, Wid. Lebih baik tetap pada rencana kita. Setelah dia benar-benar jatuh cinta dan menyayangimu lagi, tinggalkan dia. Biar dia merasakan bagaimana ditinggal oleh orang yang dia cintai dan sayangi. Aku yakin dia akan hancur dan itu adalah pelajaran yang baik untuknya agar tidak memperlakukan wanita seenaknya.”

“Ya … Aku akan meninggalkannya.” Lirihku setengah ragu.

“Denta itu kecil, Wid … Masih banyak laki-laki yang lebih baik darinya. Coba kamu lihat ini.” Ujar Siska sembari membuka smartphonenya.

Tangannya kemudian sibuk mengutak-atik layar alat komunikasinya itu. Setelah menyelesaikan kegiatannya, Siska memberikan smartphone miliknya padaku. Saat melihat layar, mataku membola tatkala melihat foto seorang pria tampan. Demi apa pun foto pria di layar smartphone ini benar-benar tampan, walau sedikit blur tetapi ketampanannya sungguh terpancar. Ketampanannya sungguh maksimal, ditambah alisnya yang tebal, bulu matanya yang lentik, bibir merah mudanya yang menggoda, dan gaya rambutnya super model dunia. Jujur, aku memuji ketampanannya di situasi dan kondisi seperti ini.

“Wow!” Hanya itu yang keluar dari mulutku karena tak tahu lagi dengan bahasa apa aku harus memuji ketampanan pria dalam foto itu.

“Tak hanya dia, Wid … Masih banyak laki-laki ganteng semodel dia. Itu bisa kamu miliki semuanya. Dan saatnya kamu mendominasi mereka. Jadi, apalah artinya Denta? Buang saja dia. Dia tak berarti apa-apa buatmu.” Ucap Siska sambil tersenyum manis.

“Kamu ternyata banyak stok pria keren seperti ini.” Pujiku pada Siska.

“Itulah dunia kita, Wid. Jangan pernah ragu lagi dengan dunia kita.” Katanya semakin lebar saja senyumnya.

“Em … Dia orang mana Sis?” Tanyaku.

“Orang sini. Rumahnya pun hanya beberapa menit dari sini.” Jawabnya.

“Oh ya?” Aku memekik kaget bercampur senang.

“Kamu mau bersenang-senang dengannya sekarang? Kalau mau aku telpon dia.” Tawar Siska yang sangat sulit aku tolak.

“Telepon lah …” Lirihku malu-malu.

Lagi-lagi Siska tersenyum, lalu mengambil smartphone miliknya dari tanganku. Terlihat Siska mencari-cari nomor kontak dan tak lama Siska berhasil menghubungi pria itu. Tanpa banyak basa basi, Siska mengatakan kalau aku ingin berkenalan dan bersenang-senang dengannya. Sebenarnya aku agak risih dengan ucapan Siska itu, tetapi memang itu gayanya kalau mengajak seorang pria untuk bersenang-senang.

“Dia akan ke sini sebentar lagi.” Ujar Siska sembari meletakkan alat komunikasinya di atas meja.

“Kamu belum memberitahu namanya.” Kataku.

“Oh ya aku lupa … Namanya Jackie atau Jack. Umurnya sekitar 32 tahunan. Dia masih single, maksudku dia belum pernah menikah. Kalau kamu mau serius, rasanya kamu cocok dengan Jack. Ya, dia juga lagi mencari wanita untuk dijadikan istrinya. Dia mulai ingin serius berumah tangga. Yang terpenting, kalian satu aliran. Kalian menyenangi dunia kebebasan. Benar-benar cocok.” Ucap Siska antusias menjodohkanku.

Aku pun tertawa dengan usaha Siska yang menjodohkanku dengan Jack. Kemudian Siska menceritakan sedikit latar belakang kehidupan Jack. Ternyata Jack adalah pengusaha rotan yang sukses. Omsetnya sampai ratusan juta perbulan. Rumah dengan segala perlengkapannya dia punya. Menurut Siska, pria itu tipe laki-laki penyayang dan penyabar. Siska pun menegaskan bahwa Jack adalah sosok pria idaman untuk dijadikan pasangan hidup selamanya.

Benar saja, hanya sekitar lima menit, Jack pun datang. Sungguh di luar dugaan, ternyata sosok Jack yang sedang aku hadapi saat ini lebih tampan daripada foto yang kulihat tadi. Aku sampai tersedak air liurku saat melihat senyuman manisnya yang mempertambah beribu kali lipat ketampanannya. Aku membeku dan balas tersenyum padanya. Wajahku pasti sudah merona saat dengan lembut Jack mencium tanganku. Eh sebentar, nampaknya Jack lebih tua dariku. Ah, masa bodoh dengan umur, yang pasti dia sangat tampan dan aku senang mengenalnya.

“Senang berkenalan denganmu.” Ucap Jack setelah duduk di salah satu kursi sambil memandangku.

“Terima kasih. Aku juga senang mengenalmu.” Jawabku.

“Hi hi hi … Kalian benar-benar cocok. Pas untuk menjadi suami-istri.” Celoteh Siska.

“Ihk! Siska!!!” Aku mendelik ke arahnya.

“Ah, sudahlah. Kalian nanti bisa lebih saling kenal lagi. Sekarang perutku sangat lapar. Sebaiknya kita memesan makanan.” Ujar Siska seraya melambaikan tangannya pada pelayan cafe.

Tak lama pelayan pun datang ke meja kami, dan mencatat menu makanan yang kami pilih. Sambil menunggu kami bertiga ngobrol. Jack ternyata orangnya asik. Obrolan kami langsung nyambung. Sepuluh menit kemudian makanan kami datang. Kami pun menyantap makanan dan minuman dengan saling melempar lelucon. Mungkin benar kata Siska kalau aku dan Jack memiliki kecocokan karena aku langsung akrab saja dengannya bahkan tak berhenti berbicara seperti bertemu kakak dari planet lain. Perbincangan genit dan mesra terjalin seolah kami sudah bertemu lama padahal baru hitungan menit.

Setelah makan malam selesai, kami pun berpisah. Aku pulang bersama Jack dengan menggunakan mobilku, sebab Jack datang ke cafe dengan menggunakan ojek online. Namun ini bukan jalan pulang ke rumahku, dan memang tidak mungkin ke rumahku.

"Kita mau kemana?" Tanyaku.

"Kau akan tau." Jawab Jack sembari tersenyum.

Sekitar satu jam berselang kami sampai di sebuah rumah bergaya minimalis modern dekat danau. Rumah yang sederhana namun justru menyuguhkan pemandangan indah yang memiliki akses langsung ke bagian luar, yang bisa memberi pemandangan langsung ke sebuah danau.

"Ayo turun." Ujar Jack yang kini telah membukakan pintu mobil untukku.

Aku pun turun, Jack menggenggam tanganku lalu membawaku masuk ke rumah itu. Rumah yang cukup luas dengan dominan putih. Rumah ini akan sangat indah bila di siang hari, sinar matahari akan masuk dengan leluasa karena dinding kaca yang hampir memenuhi bagian rumah yang menghadap ke danau. Aku mendekati pintu kaca yang menghubungkan teras menghadap ke danau. Kubuka hingga terdengarlah suara riak air danau dan angin malam yang menerpaku. Jack datang memelukku dari belakang, melingkarkan kedua tangannya di perutku dan menyandarkan kepalanya di pundakku.

"Bagaimana?" Tanya Jack.

"Rumah ini indah." Jawabku.

"Syukurlah kau suka, ini bisa menjadi milikmu." Kata Jack.

Aku putar sedikit kepalaku menoleh ke arah Jack, wajahnya sangat dekat denganku. "Apa maksudmu?"

"Rumah ini adalah akan menjadi milikmu kalau kamu mau menjadi istriku." Ujar Jack yang lumayan membuatku terkejut.

"Kamu berlebihan, Jack. Kita baru saja kenal." Kataku.

Jack memutar tubuhku hingga menghadap padanya dengan tangannya yang masih di pinggangku, "Tidak ada yang berlebihan untukmu." Kata Jack sembari menatap wajahku yang hanya beberapa senti saja dari wajahnya.

Mata kami saling memandang, perlahan wajah kami mendekat, tak terasa jemarinya pun sudah menggenggam jemari-jemariku yang mungil ini. Semakin dekat, kami berdua pandang-pandangan. Napas kami saling berhembus menerpa wajah di hadapannya. Sebuah ciuman hangat tercipta dan aku tersenyum bahagia di sela-sela ciuman itu. Jack menekan tengkukku memperdalam ciuman kami, saling menghisap bibir dengan lidah yang bermain di dalam sana saling bertukar saliva, hingga kami membutuhkan udara.

"Wida ..." Lirih Jack sambil menatapku sayu, tergambar jelas dia telah dipenuhi nafsu. Aku tahu kalau dia ingin seks.

Aku tersenyum dan mengangguk. Jack tiba-tiba menggendongku dengan kakiku melingkar di pinggangnya. Dibawanya aku ke kamar, menurunkanku, menutup pintu lalu mencium bibirku kembali. Ciuman yang penuh gairah. Jack membuka jasnya membuangnya asal lalu memelukku dan menciumku kembali. Kubuka kancing kemeja Jack lalu dilepasnya asal terjatuh di lantai. Satu tangan Jack meraba dadaku yang masih tertutup pakaian dan tangan yang lainnya mengelus naik pahaku menyusup ke dalam rokku. Bibirnya kini menjelajahi leherku dengan sesekali membuat kissmark di sana. Aku melenguh, napasku memburu, menikmati sentuhan Jack pada tubuhku. Tak lama, Jack berdiri tegak kembali menatapku.

"Apa kamu yakin?" Tanya Jack penuh harap.

"Ya, aku ingin melakukannya bersamamu, Jack.” Jawabku tanpa ragu.

Jack tersenyum, jemarinya membukai pakaian dan rokku hingga semua kain yang kukenakan meluncur mulus ke lantai yang tersisa hanya celana dalamku. Di tatapnya kedua dadaku yang polos, lalu mengelusnya dengan sesekali memelintir putingku.

"Aaaahh..." Aku langsung mendesah karena gairahku sudah menyala-nyala.

Jack menghentikan desahanku dengan ciuman di bibir. Dari dada, tangannya turun ke bawah membelai lembut perutku, lalu menyentuh kewanitaanku yang masih tertutup celana dalam, menggosok gosoknya pelan, kemudian melorotkan celana dalamku ke bawah hingga terlepas dari kakiku. Jarinya kini bermain main di sana, membelai inti kewanitaank. Kukalungkan tanganku ke pundaknya menahan kakiku yang sudah bergetar akibat sentuhannya.

Jack kemudian mendudukkanku di tepi kasur. Ia melepas celana panjangnya lalu celana dalamnya, terpampang miliknya yang tegak telah mengeras tepat di depan wajahku. Kejantanannya hampir sama dengan milik Denta, besar dan panjang. Aku mengerti posisi ini. Segera saja kuraih miliknya, mengelus pelan lalu mengocoknya. Kukecup kepala miliknya lalu perlahan kumasukkan ke dalam mulutku.

"Sshh…hhh." Desah Jack ketika aku mulai mengeluar masukkan miliknya di dalam mulutku.​

Jack mengikat rambutku dengan tangannya, lalu membantu kepalaku maju mundur memainkan miliknya yang sedang kukulum cepat dengan sesekali mengisap buah zakarnya. Kurasakan miliknya berdenyut. Jack menekan kepalaku hingga miliknya terus berada di dalam mulutku. Kemudian mengocok miliknya sesaat dan ia pun meledak.

"Aaargghh…" Jack mencapai orgasmenya dan tanpa ragu aku menelan seluruh susu kentalnya hingga tak bersisa.

Setelah klimaksnya mereda, Jack membaringkan tubuhku, lalu mengangkat kedua kakiku terlipat di sisi kanan kiriku. Jack membuka lebar kedua pahaku menunduk lalu mengecup kewanitaanku.

“Hhhhmmm …”

Bibirnya mengisap dinding kewanitaanku, kemudian lidahnya menjelajahi tiap bagian kewanitaanku di bawah sana. Aku menggeliat tidak karuan ketika dua jarinya masuk ke dalam lubang kewanitaanku, keluar masuk hingga mengocoknya di dalam sana, ikut pula lidahnya yang bermain main pada inti kewanitaanku. Cukup lama Jack mempermainkan kewanitaanku dengan lidah dan jari-jarinya hingga aku menengang, mencapai orgasmeku. Tak tunggu lama, Jack mengarahkan miliknya di bawahku, menepuk pelan kewanitaanku dengan miliknya lalu memasukkannya.

“Hhhhhmm …”

Terasa penuh. Aku mendesah keenakan saat Jack berhasil melakukan penyatuan itu. Jack pun mulai memainkan ritmenya memompaku. Desahan-desahan keluar dari kedua mulut kami, diikuti suara kulit yang saling bertabrakan. Kami bergerak bersama memburu kenikmatan diantara geraman dan desahan yang saling bersahutan, keringat pun mulai membasahi tubuh panas kami.

"Punyamu sempit seperti perawan." Racau Jack.

Jack memutar tubuhku membelakanginya dengam posisi menungging, dimasukkannya kembali miliknya, memompa seakan gairah menjadi bahan bakar yang membuatnya tidak letih dengan alunan desahanku yang menikmati hentakannya. Dilepaskannya penyatuan kami kemudian dibaringkan kembali tubuhku, mencium keningku lalu memasukkan kembali miliknya, menghentak dalam dan cepat. Jack menciumi leher kemudian dadaku, menyusu dengan lahap dengan sesekali memainkan lidahnya ke putingku.

"Jaaacckk..." Lirihku menahan nikmat.

"Ah, kamu sungguh nikmat…" Balas Jack.

"Ah… Jaaacckk…." Kucengkram pundak Jack ketika akan mencapai orgasmeku kembali.

"Bersama… Sayang…" Jack semakin cepat dan kuat memompaku.​

Jack akhirnya mendongak dan memejamkan matanya hingga kurasakan cairan kenikmatannya menyembur di dalamku bersamaan denganku yang mencapai orgasme. Kupejamkan mataku merasakan sisa-sisa semburan milik Jack di dalamku. Jack mencium keningku lalu melepas penyatuan kami, menarik selimut menutupi tubuh polos kami lalu memelukku merapat ke dadanya yang berdebar akibat pergumulan kami tadi.

"Terima kasih … " Ucap Jack seraya mengelus-elus punggungku.

Kutatap wajahnya, lalu mencium lembut pipinya, “Sama-sama, Jack.”

Akhirnya kami melebur dalam obrolan yang tiada henti, sampai aku tersadar waktu sudah larut malam. Aku pun memutuskan untuk pulang. Setelah membersihkan badan dan berpakaian, aku dan Jack segera turun ke kota. Aku antar Jack terlebih dahulu ke rumahnya, kemudian aku lanjutkan perjalananku ke rumah. Sekitar pukul 23.00 malam, aku sampai di rumah. Aku lumayan terkejut karena Denta belum tidur. Dia duduk di sofa ruang tengah menghadapkan wajahnya ke arahku. Jujur aku gugup saat melihat cara dia memandangku. Pandangannya begitu dingin, begitu pun dengan ekspresinya.​

“Dari mana?” Suaranya begitu kaku dan menghunus ke hati. Membuatku menengguk saliva.

“Aku makan malam dengan relasi.” Jawabku berbohong.

“Setelah itu?” Tanyanya sungguh tajam.

“Maksudnya?” Aku balik bertanya dengan menaikan volume suara.

“Lihat Wida! Ini jam berapa? Apakah acara makan malam sampai menghabiskan waktu hampir tengah malam?” Ucapan Denta sengit menyerangku.

“Aku membicarakan prospek bisnis, wajar kalau lama. Sudah ah! Aku tidak ingin berdebat! Aku lelah!” Kataku keras seraya meninggalkannya begitu saja.​

Karena situasinya kurang kondusif, aku pun memilih untuk tidur di kamarku sendiri di lantai dua. Dengan langkah cepat aku meninggalkan Denta yang masih terdiam sembari menatapku tajam. Aku tidak peduli dengan tatapannya, aku sudah tidak peduli dengan dia lagi, aku fokus dengan kekuatanku. Sesampainya di kamar, aku mengunci pintu kemudian merebahkan tubuh di atas kasur. Kini pilihanku semakin nyata, aku ingin meninggalkannya, aku akan meninggalkannya, aku tidak bisa hidup dengannya lagi. Benar kata Siska, ternyata aku masih menginginkan dunia kebebasanku. Itu artinya aku harus menjadi wanita bebas yang tak terikat oleh suatu hubungan dalam bentuk apa pun, termasuk pernikahanku.

Bersambung
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd