Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA RAHASIA SEBUAH HATI (NO SARA)

Ekdanta

Semprot Kecil
Daftar
16 Feb 2023
Post
86
Like diterima
1.467
Bimabet
Prakata

Selamat pagi, siang dan malam untuk admin, para suhu dan sesepuh penghuni forum tercinta ini. Izinkan nubie untuk meramaikan khazanah cerita bersambung di sini. Sebagai pemula tentunya nubie sadar kalau cerita nubie ini hanya akan berstatus ‘penggembira’ dari sekian banyak cerita fenomenal dari para sesepuh di forum ini. Cerita ini murni fiksi, hanya khayalan dari nubie semata, terinspirasi dari buku-buku maupun tulisan yang pernah nubie baca. Jika ada kesamaan nama tokoh, waktu, alur, lokasi, semua itu hanyalah ketidaksengajaan, dan tidak ada maksud tertentu di belakang itu.

Cerita ini beralur sangat pelan dan rawan macet, karena nubie juga memiliki kehidupan RL. Update berkala dan akan diusahakan seminggu sekali. Dan sangat diusahakan akan mendapatkan “Tag Tamat”. Dan Akhirnya, dengan kerendahan hati nubie mempersembahkan cerita pertama dari nubie ini, semoga berkenan di hati. Dipersilahkan untuk merusuh, mengacau, mengkritik, memberikan saran atau apapun, nubie akan dengan senang hati untuk menerimanya.​

-----ooo-----

BAGIAN 1

Pagi yang cerah ketika matahari memancarkan sinarnya dari timur dunia, pohon-pohon rindang dengan daun-daun hijaunya yang masih basah oleh embun semalam. Tampak riang berceloteh sekelompok burung pipit yang terbang, melompat dan hinggap di dahan ranting pohon. Mereka asyik berdiskusi membicarakan satu tempat dengan hamparan sari-sari bunga dan biji-biji buah yang telah matang untuk di santap sebagai sarapan pagi mereka.

Masih pukul 6.30 pagi. Pria itu telah bersiap melakukan kegiatan rutin harinya. Pria yang memiliki nama Denta itu adalah seorang pengusaha bahan bangunan yang sukses. Di usianya yang masih 36 tahun, Denta memiliki empat toko bahan bangunan yang membuatnya sibuk bahkan terlalu sibuk. Denta membangun usahanya sejak ia masih bujangan. Karena kegigihan dan keuletannya, akhirnya kerja keras Denta membuahkan hasil. Denta pun sukses mendirikan toko bangunan yang tidak pernah sepi pembeli, hingga bisa mendirikan empat buah toko bangunan lain yang tersebar di penjuru kota kelahirannya.

Dari segi materi, kehidupan Denta dan istrinya yang bernama Wida (29 tahun) sangat berkecukupan. Istrinya merupakan Aparat Sipil Negara yang juga posisinya sudah lumayan. Dengan posisi ini, mereka dianugerahi materi yang lebih dari cukup. Masing-masing dari mereka mempunyai mobil sendiri. Mereka memutuskan membeli mobil untuk masing-masing dengan pertimbangan tempat bekerja mereka sangat berjauhan, dan akan merepotkan jika harus saling mengantar atau menjemput.

Denta dan Wida tinggal di sebuah perumahan yang asri di bagian Selatan Kota Bandung. Rumah mereka bercorak minimalis dengan dua lantai. Mereka dianugerahi juga oleh Sang Pencipta dua orang anak yang lucu-lucu dan sehat, masing-masing berusia empat dan dua tahun. Usia pernikahan mereka memang baru lima tahun.

Wida adalah wanita yang memiliki paras yang cantik ditunjang dengan tubuh yang semampai namun berisi. Denta sangat beruntung bisa mempersuntingnya. Wida berasal dari keluarga baik-baik, yang sejak kecil menanamkan akhlak dan moral yang tinggi padanya. Karena keluarganya sangat taat beribadah, Wida juga merupakan istri dan ibu yang saleh dan taat beribadah. Wida lah yang sering kali mengingatkan Denta agar menjalankan ibadah, terutama pada waktu yang ‘menantang’, seperti subuh.

Karena Wida dididik dalam keluarga yang menjunjung norma kesusilaan, maka ia juga merupakan perempuan yang sangat mementingkan kesopanan. Dia sengaja membatasi diri ketika bergaul dengan para lelaki, baik di kompleks perumahan maupun di tempat kerjanya. Sejak kecil Wida sudah mengenakan jilbab dan baju lebar yang menutupi tubuhnya. Busana yang selalu dibelinya pun yang serba tertutup. Ketika membeli busana, Wida lebih mementingkan fungsi dan juga keindahan, dan tidak melulu soal harga. Ada kalanya dia membeli busana yang harganya murah, namun sangat pas ketika dipakai.

“Ma … Papa pergi dulu ya …” Ucap Denta sambil melajukan mobilnya perlahan.

“Hati-hati di jalan pa … Jangan pulang terlalu malam!” Sahut Wida penuh kasih sayang.

Denta pun tersenyum dan pergi meninggalkan rumahnya. Sosok Wida dalam keluarga pria itu, sebagai istri dan ibu, membuat hidup Denta terasa sangat lengkap. Apalagi perangai Wida yang memang selalu mencerminkan perilaku yang sesuai dengan norma kesusilaan. Gaya bicaranya lembut. Jika bicara dengan orang lain, terutama dengan sesama ibu-ibu, Wida selalu menatap penuh perhatian dan menimpali dengan ungkapan yang simpatik. Kondisi berbeda ketika Wida berbicara dengan laki-laki, Wida lebih memilih bersikap pasif dan tertutup. Bahkan pada level tertentu, sikapnya agak judes.

Dengan sikap dan akhlaknya yang Wida perlihatkan setiap hari, Denta sama sekali tidak pernah meragukan kesetiaan istrinya itu. Apalagi Wida orangnya sangat terbuka. Wida tak keberatan memperlihatkan ponselnya pada Denta, dan tenang-tenang saja saat Denda melihat WA atau pesan singkatnya. Wida tenang-tenang saja karena memang tak ada yang perlu disembunyikan.

Dalam urusan hubungan suami istri, terutama di atas ranjang, Wida tergolong konvensional. Dalam arti, dia tidak terlalu menggebu-gebu, namun juga tidak pasif. Biasanya mereka bercinta sekali dalam seminggu, atau setidaknya sekali dalam dua minggu, tergantung kesiapan Denta. Jika Denta terlalu capek bekerja dan tidak terlalu memprioritaskan bercinta, Wida terlihat tenang-tenang saja.​

-----ooo-----​



Wida Pov

Waktu sudah menunjuk pukul 16.50, suasana kantor mulai lengang, karena para pegawai sudah banyak yang pulang. Beberapa orang masih berkumpul di ruang depan sambil nonton televisi. Di ruang kerjaku, tinggal aku dan seorang office boy sedang membersihkan ruangan, sementara di ruangan bersebelahan dengan tempatku, tampak Abdi masih sibuk di depan komputer. Aku baru menyadari wajahnya lumayan tampan. Kulitnya bersih dan giginya tampak putih di balik senyuman.

Aku mengenalnya sudah dua tahun. Awalnya, hubunganku dengan Abdi hanya sebatas hubungan profesional yang biasa-biasa saja. Sebab kendati kami sekantor, tetapi berlainan divisi. Abdi (29 tahun), ayah dua anak ini baru sekitar dua tahun bergabung kerja di tempatku, sebelumnya ia bertugas di salah kantor pemerintahan yang ada di daerah. Berawal mendapat tugas bersamaan, disitulah aku mulai mengenal Abdi. Sejak hari itu, kedekatan kami semakin bertambah bahkan menjadi sebuah ikatan persahabatan. Abdi memiliki sifat yang sangat lembut dan penuh perhatian.

Denting jam lima kali mengagetkan lamunanku. Waktu menunjukkan pukul 17.00 sore. Dan aku masih duduk manis larut dalam petualangan anganku. Ada apa dengan diriku? Pertemuan dengan Abdi memberikan nuansa yang berbeda dalam kehidupanku saat ini. Memang aku dan Abdi sudah saling mengetahui perasaan masing-masing. Bahkan, aku melayaninya saat pria itu menciumku. Ya, kami sudah melangkah sampai berciuman namun kami masih bisa menahan untuk sesuatu yang lebih jauh. Meski aku tak tahu seperti apa dan bagaimana. Namun sepertinya bara api itu mulai menyulutku. Perlahan, mulai membakarku. Hatiku selalu bergemuruh. Dan kekhawatiran mulai menyelinap dalam dada. Aku mulai takut terbawa suasana. Rindu yang selalu datang menghampiri, mulai terasa menyesakkan dada.

Tuhan ... Aku tahu, semua adalah anugerah. Tapi aku sadar ... Walau bagaimanapun, semua ini adalah sebuah kesalahan.” Batinku memberontak.

Telah berhari hari, aku mencoba untuk melapangkan hati, untuk sebuah rasa yang terlanjur terurai. Berusaha untuk menghapus segala ingin, membuang segala rasa dan menekan rindu yang menghantui jiwa. Bertanya-tanya dalam diri, mengapa aku harus mengalami hal ini. Mengapa muncul perasaan yang tidak seharusnya terjadi. Pergulatan demi pergulatan dalam batin, seolah membawaku pada kebimbangan. Antara mengikuti kata hati atau memakai akal sehatku. Hari ini aku berniat untuk bicara dengan Abdi. Berterus-terang dengan segala yang aku rasakan. Kuambil smartphoneku. Dengan tangan gemetar aku mulai menulis pesan.

“Masih sibuk?” Tulisku dalam aplikasi WA lalu mengirimnya.

Tak lama, kulihat Abdi membereskan mejanya. Sekitar satu menit kemudian pria itu menghampiriku dan berkata, “Maaf … Menunggu …”

Aku hanya tersenyum dan memberikan kunci mobilku padanya. Sebelumnya memang kami telah bersepakat untuk ‘ngopi’ bareng di sebuah cafe selepas jam kerja. Kami pun keluar kantor dan Abdi mengendarai mobilku. Hanya 15 menit, kami sudah sampai di cafe yang kami tuju. Kami memilih bangku di pojokan. Kami pun mulai memilih makanan dan minuman. Setelah memesan makanan dan minuman kami sama-sama terdiam. Ini pertemuan kami yang kesekian kalinya. Tapi kali ini rasanya ada yang berbeda.

Aku, berusaha menata hati, mengendalikan gemuruh. Sejak tadi, aku merasakan jantungku berdebar kencang. Tanganku berkeringat, dingin sekali. Aku tidak berani menatap mata Abdi. Berbeda dengan pertemuan kami sebelum-sebelumnya. Kulihat, Abdi juga kikuk. Entahlah, namun yang pasti kami sudah tahu apa yang akan kami bicarakan.

“Wida … Kita kan ingin membicarakan tentang obrolan kita di WA. Untuk apa kamu ingin menjauh dariku? Kamu tahu, betapa aku kecewa dengan apa yang kamu sampaikan!” Akhirnya Abdi membuka pembicaraan. Tetapi aku diam seribu bahasa. Beberapa detik kemudian Abdi melanjutkan kata-katanya, “Wida, apa yang kamu rasakan, aku juga merasakannya. Apa yang kamu takutkan aku juga merasa takut. Kamu takut kalau kamu jatuh cinta padaku bukan? Mengapa kita harus mengingkari? Bukan kah itu semua adalah anugerah dari Tuhan … Bisakah kita menghindarinya?”

“Tapi ini salah Abdi … Tidak seharusnya seperti ini. Ada orang yang tersakiti dengan perasaan kita yaitu istri kamu dan anak-anak kamu. Juga suami dan anak-anakku. Jika kita bisa menghindarinya kenapa kita membiarkannya? Jangan mengatas-namakan anugerah untuk menyatakan pembenaran terhadap apa yang salah." Kataku.

Tiba tiba Abdi memegang tanganku dan berkata, “Ayo kita jalani semua ini Wida ... Bersama-sama kita saling mengisi. Aku merasakan damai jika bersamamu. Kita mempunyai perasaan yang sama. Jangan mengingkari itu. Sekarang kita jalani saja hubungan ini. Bukankah kita tidak tahu apa yang terjadi nanti?”

Akhirnya kami beradu argumen tentang sesuatu yang tak kami sepakati. Aku menegaskan pada Abdi bahwa tak pernah ada yang bisa baik-baik saja saat terjebak dalam hubungan yang beracun. Baik dalam hubungan keluarga, kerja, pertemanan, hingga hubungan cinta, terjebak dengan seseorang yang akan memberi orang lain luka. Dan aku tegaskan bahwa selalu ada cara dan celah untuk bisa lepas dari hubungan yang beracun ini yaitu dengan perpisahan.

Abdi tampak menghela napas berat dan berkata, “Saat ini, aku ingin memastikan perasaanku agar kamu tahu. Aku tidak ingin hubungan kita berkahir. Terlalu banyak cerita indah yang pernah kita lewati. Wida, aku kecewa. Kecewa pada diriku yang tak bisa mempertahankan hubungan ini. Jika mengakhiri hubungan adalah pilihanmu, aku bisa apa? Jika menurutmu berpisah denganku adalah keputusan yang terbaik, aku hanya berharap kamu bahagia.”

“Maafkan aku …” Lirihku sambil menitikan air mata.

“Kamu tidak perlu meminta maaf karena kamu tidak bersalah apa-apa. Lebih baik kita pulang dan melupakan semua yang pernah kita alami bersama.” Suara itu sendu, sarat kesedihan, dan juga kekecewaan yang amat sangat besar.

Kami pun pulang ke rumah masing-masing. Abdi menolak ajakanku untuk diantar ke rumahnya. Abdi memilih naik taksi. Sepanjang perjalanan, aku menangis. Perasaan ini sungguh menyiksaku. Batin ini terasa sangat sakit. Aku benar-benar tertekan dengan perasaan ini. Sungguh aku tidak bisa melupakan dirinya. Abdi telah mengisi hatiku. Andai saja dulu aku lebih dewasa dengan perasaanku dan aku tak mengambil keputusan bodoh itu, mungkin tidak akan seperti ini. Ya, kurasa keputusan itu adalah keputusan terbodoh, menyakiti perasaan sendiri dan juga perasaannya.

Saat aku masuk ke dalam rumah, aku disambut anak-anakku. Aku peluk mereka dengan hangat. Merekalah yang membuatku mengambil keputusan untuk mengakhiri hubungan terlarangku dengan Abdi. Aku tidak ingin mereka menderita karena perbuatanku. Segera kubersihkan diriku. Mandi. Setelah itu, aku bermain dengan anak-anakku. Rasa lelah dan gundah sejenak punah. Anugerah yang tak ternilai bagi manusia adalah keturunannya. Bagiku, anak-anakku adalah sumber inspirasi dan kebahagiaan yang tiada putus-purusnya.

Matahari tergelincir ke arah Barat, terbitnya dari Timur. Utara dan Selatan poros bumi. Mata angin tak dapat bersatu kecuali di satu titik tak ada jarak. Ia adalah nol, netral, tawar, tak berasa, tak berwarna. Tapi dunia tak mungkin hanya itu.

-----ooo-----​

"Engh …" Aku terbangun saat merasakan ada tangan seseorang membelai wajahku. Ternyata Denta, suamiku. Dia pulang kemalaman lagi dan aku sudah bosan memperingatinya. Sebelum aku memberinya komentar, tiba-tiba bibirnya sudah menempel di bibirku. Bibir kami pun akhirnya saling melumat dengan lembut. Aku yang sudah beberapa hari tidak disentuh oleh Denta tiba-tiba menjadi naik birahiku. Badanku mulai bereaksi, tanganku semakin tak tenang sehingga bergerak-gerak mengelusi punggungnya, sementara dia benar-benar tenang, bahkan nafasnya pun masih begitu teratur sedangkan nafasku mulai memburu. Nafsuku yang semakin naik membuatku tak sadar menjulurkan lidahku masuk ke dalam mulutnya, mencari dan kemudian mengait lidahnya. Akhirnya Denta meladeni permainan lidahku. Ciuman kami semakin panas, nafasku semakin memburu dan kurasakan nafasnya perlahan juga mulai memburu. Badan kami semakin erat berpelukan hingga aku merasakan kejantannya sudah sangat tegang.

Entah sejak kapan, seluruh pakaian kami sudah terlepas dari tubuh masing-masing. Aku tersenyum saat menyadari sedang diamati. Rangkulannya yang erat, membuat tubuh kami semakin berdekatan. Jari-jari tangannya mulai membelai. Saat saling memandang, ia mengecup bibirku. Kami pun mulai bercinta, meski hanya dengan seprai yang menutupi. Udara di sekitarku mendadak panas kurasakan, karena gesekan tubuhku dengannya yang tiada henti. Denta melakukan gerakan memutar-mutar di dalamku. Ooh, ini sangat membuatku terpancing untuk merasakan gelombang-gelombang kenikmatan. Gesekan memutarnya yang teratur mampu menyentuh titik intiku, dan membuatku mulai merasa penuh kenikmatan lagi dan lagi, pinggulku pun mengikuti iramanya terus mencari dan mencari. Ketika dia terus memutar makin cepat dan aku hendak butuh pelepasan, seperti memahami keinginanku, dia mulai mengubah alurnya dengan memaju mundurkan kejantanannya.

"Aacccchhh...aku...aachh..aku akan...." Disela-sela desahanku aku memohon padanya untuk pelepasan. Denta pun makin menajamkan tusukan-tusukannya. Terus dan terus.

"Keluarlah untukku sayang!" Bersamaan dengan ucapannya itu aku pun melepaskan orgasmeku yang datang dengan kedhasyatan "Aaaacccccgggghhhh!!!!" Aku memekik nikmat.

Tak lama berselang, spermanya memenuhi rongga milikku, bercampur menjadi satu dengan cairan kenikmatanku. Beberapa saat kami saling terdiam menikmati sisa-sisa kenikmatan dari tubuh masing-masing. Sebelum akhirnya kami berpelukan di dalam selimut.

“Papa pulang malam lagi.” Aku mulai melancarkan protesku.

“Maaf ma … Papa harus menunggu kiriman pasir. Truk pengantar pasirnya mogok di tengah jalan. Ya, mau apa lagi? Terpaksa papa harus menunggu truk pasir datang.” Jawab suamiku dengan nada bersalahnya.

“Tapi papa jangan memorsir kerjaan sendirian. Sudah saatnya papa mempunyai anak buah yang bisa menghandle kerjaan papa. Papa tuh sudah waktunya duduk dan menerima laporan saja.” Kataku memberinya saran.

“Papa belum menemukan orang yang pas, ma … Orang yang bisa memegang uang yang besar tanpa diselewengkan. Mama juga pasti ingat waktu papa mengangkat Nicko sebagai tangan kanan papa. Buktinya banyak uang papa yang hilang.” Jawab suamiku.

“Mama punya orang yang bisa dipercaya.” Kataku sambil tersenyum.

“Siapa?” Tanyanya dengan kedua alis terangkat.

“Uci … Uci keponakan kita.” Jawabku. Wajah suamiku semakin menekuk seperti ada yang ia sedang pikirkan.

“Bukannya Uci masih sekolah?” Tanya Denta heran, tetapi aku senang karena suamiku ingat dengan anak kakakku yang tertua itu.

“Dia baru saja selesai SMK pa … Kemarin dia menelepon mama. Katanya ia butuh kerjaan. Mama sangat tahu kalau Uci itu orangnya sangat jujur. Disuruh berbohong saja dia nggak mau. Dan yang perlu papa tau, kalau Uci itu atlet kempo. Jadi mama yakin kalau dia bisa mengatur anak buah papa yang laki-laki.” Kataku yang membuat Denta terkekeh.

“Hhhmm … Boleh juga ide mama … Ya sudah, suruh Uci datang ke sini.” Akhirnya Denta menyetujui usulanku.

Setelah ngobrol beberapa saat, aku dan suamiku tertidur pulas. Malam itu aku bermimpi bertemu Abdi. Dalam mimpiku, Abdi tersenyum manis padaku yang tengah berdiri terpaku sambil menatapnya. Ia melangkah menghampiriku dan langsung menggenggam jari-jariku. Aku hanya diam, ia menuntunku dan aku mengikuti langkah kecilnya. Ternyata, Abdi membawaku ke taman yang luas dan indah. Entah bagaimana ceritanya, kami berciuman sangat mesra. Sialnya, aku berusaha mengisi lagi perasaanku dengan hasrat yang selalu Abdi berikan kepadaku. Aku jatuh dalam pelukannya, jatuh dalam setiap sentuhannya dan jatuh akan cintanya yang setia menunggu sampai aku benar-benar terjatuh dalam cinta ini. Aku cium dia seolah aku tidak ingin kehilangan dirinya. Bibirku bertemu bibirnya dengan perasaan nyata yang aku sebut kini aku mencitainya.

Seketika aku terbangun dengan napas yang terengah-engah. Aku pejamkan mata dan menggeleng berusaha menghalau ingatan itu untuk masuk lebih jauh. Namun seberapa kerasnya aku mengusir bayangannya, dia tidak beranjak dari pikiranku. Sekarang aku sadar bahwa masa-masa indah itu tak akan lagi terulang tetapi terus menerus menari dalam otakku dan membuatnya makin sulit untuk kudepak dari hatiku. Mungkin saat itu aku tak menyadari kalau ia sudah mengambil tempat dalam hatiku. Dan sialnya pada bagian dimana wajahnya terus membayang dan namanya terukir jelas di sana. Aku benar-benar tidak bisa melupakannya.

Aku tatap wajah suamiku yang tertidur pulas di sebelahku. Aku menghela nafas saat memandangi wajahnya yang tengah tertidur. Saat tertidur pulas seperti ini, dia tampak seperti malaikat. Aku mengamati wajahnya yang tampan. Matanya terpejam dan bibirnya sedikit terbuka, ekspresi mukanya yang tampak tidak berdosa itu membuatku tidak sanggup menahan senyumku. Aku ingin sekali menyentuhnya namun aku tidak ingin membuatnya terbangun. Saat tengah memandangi wajah suamiku itu, aku teringat akan mimpiku itu lagi. Abdi menciumku dengan lembut.

Kalau saja Denta menciumku seperti itu.” Gumamku dalam hati.

Aku pun kembali tidur dan berharap mimpi tadi datang lagi. Sayangnya itu tidak terjadi sampai aku terbangun. Kulihat Denta sudah tidak berada di sisiku. Aku melihat jam dinding di kamarku menunjukan pukul 05.10 pagi. Segera saja aku ke kamar mandi untuk membersihkan badan lalu mengambil air wudhu. Setelahnya, aku beribadah dan memanjatkan doa pada Yang Maha Kuasa agar aku dikuatkan dalam menghadapi cobaan yang sedang aku alami ini.​

-----ooo-----​

Denta Pov

Beberapa hari belakangan ini aku memang cukup disibukkan oleh pekerjaanku. Entah kenapa, tiba-tiba saja toko bangunanku seperti dibanjiri pembeli. Toko bangunanku biasa buka mulai pukul 08.00 pagi. Sedangkan waktu tutup standarnya pukul 17.00 sore, namun akhir-akhir ini harus buka sampai malam karena banyak order yang tidak bisa ditunda dan harus segera diselesaikan. Seperti hari ini, pembeli berdatangan silih berganti dari pagi hingga sore hari. Aku merasa sangat lelah saat melayani pembeli yang begitu ramai.

Sudah pukul 20.00 malam dan pembeli pun sudah tak terlihat lagi. Segera saja aku suruh karyawanku untuk menutup toko. Aku pun bergegas keluar dan mendekati mobilku yang terparkir di halaman toko. Kulajukan mobilku dengan kecepatan tak lebih dari 50 kilometer per jam. Perjalanan pulangku memakan waktu kurang dari 20 menit karena jalanan lengang, tidak ada macet, yang terlihat hanya beberapa kendaraan roda dua dan roda empat yang sesekali melintasi jalan yang sedang aku lewati. Sesampainya di rumah, seperti biasa aku disambut anak-anak yang belum tidur. Dan aku sedikit terkejut, ternyata keponakanku yang bernama Uci sudah berada di rumahku.

“Bagaimana keadaan keluarga di Cianjur?” Tanyaku pada Uci sambil menyalami tangannya.

“Baik om … Ayah dan ibu sehat walafiat.” Jawab Uci.

“Oh syukurlah … Maafkan om dan tantemu yang jarang berkunjung ke sana, karena terlalu sibuk dengan pekerjaan.” Kataku.

“Gak apa-apa om … Keluarga di Cianjur maklum dengan kesibukan om dan tante.” Jawab Uci dengan senyumannya.

“Uci … Tolong tidurin anak-anak. Tante mau nemenin om makan malam. Om kamu itu pasti lupa makan karena terlalu sibuk dengan pekerjaannya.” Istriku mengambil anak-anak dari gendonganku lalu memberikan mereka pada Uci.

“Ya tante.” Sahut Uci.

Aku dan Wida kemudian berjalan ke arah dapur. Di sana sudah tersedia makanan juga minuman untuk makan malamku. Makanan yang sederhana, tetapi sangat beraroma. Isteriku memang pandai memasak. Kalau dia mencoba resep-resep baru, akulah yang menjadi kelinci percobaannya. Jadi jika isteriku memasak, sebagai suami tentu aku bahagia. Tidak ada lagi masakan paling lezat di dunia kecuali masakan isteriku. Aku dengan lahap memakan hasil masukan Wida. Masakannya terasa pas di lidah. Sop ikannya benar benar terasa tektur ikannya.

“Pa … Tadi mama bicara banyak dengan Uci. Ternyata Uci ingin kuliah di sini. Dia bilang akan bekerja sebagai karyawan papa tetapi upahnya diganti dengan mengkuliahkan dia. Bagaimana menurut papa?” Ucap Wida dengan lemah lembut.

“Hhhmm … Papa sih gak keberatan. Bahkan menurut papa itu pilihan yang sangat baik.” Aku menyetujui keinginan Uci yang ingin melanjutkan studinya.

“Mama juga punya pemikiran yang sama. Lagi pula gak mungkin juga Uci terus-terusan menjadi karyawan papa. Masa depannya masih sangat panjang. Kalau begitu, mama akan mendaftarkan Uci ke kampus mama dulu. Mama punya kenalan di sana.” Wida tampak sangat bahagia.

“Wow … Kampus mahal tuh …” Celotehku.

“Tapi berkelas pa … Lulusannya banyak yang menjadi pejabat dan pengusaha sukses.” Wida tersenyum simpul.

“Papa ikut saja …” Kataku sambil membalas senyumannya.

Setelah selesai makan aku langsung mandi dan memutuskan untuk segera tidur. Tubuhku terasa capek dan sangat mengantuk, karena hari ini banyak kerjaan yang aku lakukan. Kurebahkan tubuh dan kutatap langit-langit kamar. Kelelahan yang kurasakan membuat rasa kantukku seperti semakin menguasaiku. Tak lama, aku pun tertidur lelap.​

-----ooo-----​

Wida Pov

Setelah suamiku selesai makan malamnya, aku membersihkan piring-piring kotor dan membawanya ke wastafel untuk dibersihkan. Usai membersihkan semua yang ada di dapur, aku langsung beranjak ke kamar tidur dan melihat suamiku sudah terlelap pulas dengan damainya. Sebenarnya aku agak kecewa mendapati suamiku sudah tertidur, tadinya aku ingin dia ‘meniduriku’ dulu sebelum tidur untuk dirinya sendiri. Entah kenapa, akhir-akhir ini libidoku sangat cepat naik. Tapi aku tidak pernah mengeluh kepada suamiku untuk urusan ini.

Aku matikan lampu kamar, semua jendela dan pintu kukunci rapat. Kemudian aku rebahkan tubuhku di sisi suamiku. Saat menatap langit-langit kamar, selintas bayangan wajah Abdi terpampang di atas sana. Berkali-kali aku kedipkan mata berharap hilang dari kelopak mataku. Tapi sepertinya aku salah, wajah itu tak akan pernah hilang dari pandanganku. Bayangan wajahnya selalu ada di pikiranku. Ia yang bahkan tak aku temui hari ini, wajahnya tergambar jelas di dalam kepalaku.

Abdi datang ke Bandung untuk mencari suasana baru. Itulah katanya, tapi menurutku alasannya lebih dari itu. Dia orang yang baik, menyenangkan, dan bisa diandalkan. Perlahan-lahan, mungkin sejak malam itu, aku mulai memandangnya dengan cara yang berbeda. Dan sejak itu pula rasanya sulit membayangkan hidup tanpa dia. Sejak awal aku sudah merasa ada sesuatu yang menarik dari Abdi. Segalanya terasa menyenangkan bila dia ada. Segalanya terasa baik bila dia ada. Tiba-tiba aku teringat kejadian indah di malam itu yang mungkin tidak akan pernah aku lupakan.​

-----ooo-----​

Flashback

Dengan bantuan suamiku, aku diterima kerja di satu instansi pemerintahan yang menangani banyak proyek di beberapa daerah. Awalnya, aku hanya kerja paruh waktu, tapi karirku terus menanjak hingga dipercaya menangani beberapa proyek. Sejak terlibat menangani proyek, waktu kerjaku pun bertambah, 10-14 jam sehari, dan 5 hari dalam seminggu. Dua tahun lalu aku ditugaskan menangani proyek besar bersama pegawai baru, yaitu Abdi. Karena ia baru di instansi ini, aku pun diminta meluangkan waktu lebih banyak untuk mengajarinya.

Kuakui proyek yang kami tangani cukup rumit, bahkan sempat membuat kami stress. Untuk beberapa malam, aku dan Abdi terpaksa harus bekerja sampai larut malam di kantor. Bahkan diakhir pekan dan hari libur nasional sekali pun terpaksa kami berada di kantor. “Tak kenal, maka tak sayang.” Aku sudah hafal peribahasa itu. Namun baru saat itu, aku paham maknanya. Semakin lama aku semakin mengenal Abdi, terutama karakter dan sifatnya. Abdi mempunyai sifat yang sangat aku suka yaitu pengorbanan diri, empati, perhatian memberikan kasih sayang, membantu, menuruti perkataan, mengikuti patuh, sopan, beretika dan mau melakukan apapun yang aku inginkan.

Di suatu malam, ketika sedang mendekati frustrasi karena rumitnya pekerjaan, kami pergi ke suatu cafe di bilangan pusat kota. Ya, sekedar minum dan melepas lelah. Aku duduk di kursi yang berdampingan dengan Abdi. Sambil menyeruput minuman segar, kami menikmati alunan musik berirama slow. Suasana terasa romantis. Tanpa sadar, kulingkarkan lenganku pada Abdi, lalu aku senderkan kepalaku di bahunya. Dengan sedikit menarik napas aku katakan padanya, “Proyek ini paling berat yang pernah aku hadapi selama kerja di instansi ini. Untungnya, aku bekerja dengan kamu.” Erwin juga merasakan hal yang sama. Sambil menggenggam tanganku, ia terus memberikan motivasi untuk menguatkanku. Tiba-tiba, aku ingin memeluk dan menciumnya, meski kami menyadari masing-masing telah menikah. Bagai keinginan seseorang yang lapar terhadap makanan, tentu saja semua perasaanku itu muncul begitu saja di luar kekuasaanku.

Malam itu, pukul 22.00 malam, Abdi mengantarku pulang dengan mobilnya. Ketika aku hendak keluar dari mobilnya, ia memegang lenganku dan mencondongkan tubuhnya ke arahku. Dengan lembut ia membisikkan ke telingaku, “selamat tidur, kasihku, sampai jumpa.” Ia pun spontan mencium bibirku. Kuakui, aku tak kuasa menahan godaan, lalu membalas ciumannya. Sementara, kuurungkan niatku turun dari mobil. Kami hampir selama 10 menit berada dalam mobil, hanya untuk berpelukan. Suamiku dan dua anak kesayangku pasti sudah tidur.

Ketika melangkah ke dalam rumah, ada rasa bersalah karena mencium Abdi. Tapi aku mencoba menghibur diri dengan meyakinkan diri sendiri, bahwa yang terjadi hanyalah karena ingin bersikap ramah kepada rekan sejawat. Namun, kuakui, aku tak berdaya melawan ketertarikanku padanya.

Kebersamaan kami yang semakin sering, membuat kami semakin dekat. Kelanjutannya, kami saling kirim pesan singkat, memberi kado, dan sedapat mungkin mencari waktu untuk berdua. Beban kerja kami semakin banyak, namun kami tak mengeluh karena ingin selalu bersama-sama. Beberapa minggu, setelah ciuman pertama, aku dan Abdi pun mulai saling berbuka hati, bahwa kami memang saling mencinta. Namun kami berkomitmen kalau kami tidak akan melakukan hal-hal yang melebihi ciuman dan pelukan.

Hubunganku dengan Abdi semakin erat. Sejatinya, aku senang ke kantor karena ada dirinya. Aku tidak yakin rekan-rekan kerja maupun atasan menyadari adanya ‘udang di balik batu’ dalam kedekatanku dengan Abdi. Kami memang sangat berhati-hati agar tidak menjadi bahan gunjingan. Di depan mereka, kami berusaha bersikap wajar dan terlihat sangat profesional. Di balik semua itu aku ragu, apakah hubungan ini bisa terjadi jika bukan karena sering kami bekerja bersama. Abdi memperlakukanku benar-benar seperti isteri walau tanpa seks. Ia selalu menyediakan diri untuk aku. Saat aku kesal karena pekerjaan, ia menenangkanku, dan ia melakukan berbagai hal yang dapat menyenangkan diriku seperti mengajak makan siang.

Hingga kini, aku sudah memutuskan untuk menghentikan hubungan terlarangku dengan Abdi. Sayangnya, dalam hati kecilku, aku tidak ingin kebersamaanku dengan Abdi berakhir. Tapi, aku benar-benar merasa bersalah. Takut suamiku dan isteri Abdi mengetahui kenyataan yang sedang terjadi pada diri kami berdua. Dalam hati kecilku, aku tidak ingin menciderai perasaan siapa-siapa. Terlebih lagi, aku sangat menyayangi suami dan anak-anakku.

Flashback End

-----ooo-----​

Aku menghela napas, berusaha mengerti kekalutan hatiku. Sungguh berat menahan rasa yang semakin terasa ini. Karena aku terus memikirkan dirinya, akhirnya malam itu pun aku tidak bisa tidur dengan nyenyak. Dan sekitar pukul 01.00 dini hari aku bangkit dari tempat tidur. Lalu menuju ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu, kemudian melakukan sembahyang malam. Malam itu aku menjerit pada penguasa bumi dan langit agar aku ditetapkan hati yang sedang goyah ini.​

-----ooo-----​


Banyak cara yang bisa dilakukan agar kita tidak menyia-nyiakan waktu. Terlebih lagi waktu terus berjalan dan tak bisa diulang kembali. Seiring berjalannya waktu, aku masih berusaha menjalani hidupku dengan sebaik-baiknya, walaupun masih ada ganjalan yang belum bisa aku kubur sepenuhnya. Karena urusan pekerjaan, aku masih berhubungan dengan Abdi tetapi hubungan kami hanya sebatas hubungan kerja saja. Dan tak terasa, sudah satu bulan aku bisa membatasi diri untuk tidak dekat dengan Abdi. Perlahan perasaanku pada pria itu memag berubah. Aku sudah bisa menerima kenyataan bahwa dia bukan apa-apaku lagi.

Namun, tetap saja masih ada sedikit ganjalan di hatiku. Entah kenapa aku merasa cemburu ketika Abdi didekati wanita-wanita lain. Salah satu wanita yang intens mendekatinya adalah Rina. Aku bisa melihat kalau wanita itu menyukai Abdi. Hubungan mereka, semakin hari, semakin romantis saja. Terutama Rina yang tak segan memperlihatkan keromantisannya di depan umum. Maklum saja Rina bertingkah seperti itu, karena dia berstatus janda anak satu. Akhirnya aku mengambil hikmah dari keadaan ini hingga aku bisa dengan cepat sembuh dari penyakit hatiku.

Jam menunjukkan tepat pukul 16.30 siang. Itu artinya waktu kerja telah usai. Setelah kupastikan semua hal beres, sambil mematikan laptop, aku pun bergegas merapikan meja kerjaku. Memasukkan barang-barang yang kubawa sebelumnya dari rumah ke dalam tas, memasukkan laptop beserta kabelnya dan membersihkan sampah-sampah bekas makan atau minum. Barulah aku keluar kantor untuk pulang. Baru saja aku hendak membuka pintu mobil, retinaku menangkap sosok wanita yang sedang menghampiriku dari arah kanan. Roman wajahnya menunjukkan sedikit emosi.

“Wida … Sorry … Aku ingin ngobrol sebentar saja.” Kata si wanita yang ternyata Rina. Aku bisa melihat gurat keseriusan di wajahnya.

“Oh … Ada apa ya Rin?” Tanyaku yang mulai merasa tak enak hati. Aku mulai menduga-duga arah obrolannya itu.

“Maaf ya Wid … Aku ingin Tanya. Apakah kamu punya hubungan dengan Abdi?” Tanya Rina to the point yang membuat jantungku seakan mau copot.

“Hu..hubungan a..apa maksudmu?” Aku tergagap saking terkejutnya.

“Maksudku hubungan pribadi.” Jawab Rina dengan nada kurang sukanya.

“Oh … Nggak … Aku gak punya hubungan pribadi dengan Abdi. Kami hanya berteman saja dan rekan kerja.” Kataku sambil berusaha menenangkan diri.

“Serius?” Raut wajah Rina melunak, sepasang alisnya terangkat.

“Sangat serius. Lagian, kenapa kamu menanyakan hal yang konyol seperti itu?” Aku balik bertanya dengan penuh penekanan agar Rina percaya dengan kata-kataku.

“Hufff … Aku suka sama si Abdi dan sedang mendekatinya.” Rina pun mengaku tapi kini wajahnya mendung. Aku yakin Rina punya masalah dengan Abdi.

“Terus, apa hubungannya dengan aku?” Tanyaku lagi dengan rasa penasaran yang tiba-tiba membuncah.

“Abdi terlalu sering memuji-mujimu … Seolah tidak ada perempuan sebaik dan sesempurna kamu. Makanya aku curiga kalau kamu mempunyai hubungan special dengan Abdi.” Papar Rina yang membuatku terkejut lagi. Aku hanya bisa melongo mendengar cerita Rina. Tak lama, Rina berkata lagi, “Ya sudah. Maaf udah ganggu waktumu.”

“I..iya …” Jawabku sambil memandang Rina yang berjalan ke arah mobilnya. Aku memegang dadaku, jantungku sedari tadi tak bisa berhenti berdebar cepat.

Aku masih berdiri kaku di tempat ini, masih tak percaya dengan apa yang baru saja aku alami. Sungguh, apa yang dikatakan Rina tadi berhasil membentur dinding pertahanan hatiku cukup keras dan meretakkannya. Detik berikutnya aku tidak sanggup lagi menutupi perasaan, kalau jauh di lubuk hatiku, Abdi masih berkuasa. Kelabu pikiran dan juga beribu kebimbangan mulai lagi menelisik ke dalam ruang hidupku. Akhirnya aku pulang dengan membawa kegundahan yang sangat menguras pikiranku.

Sebelum sampai di rumah, aku singgah dulu di rumah pengasuh anakku lalu membawa kedua anakku pulang ke rumah. Sesampainya di rumah aku langsung memasak sambil memperhatikan kedua anakku yang sedang asik bermain dan bercanda di lantai dapur. “Aku punya suami dan anak-anak,” kata-kata itulah yang terus kutanamkan dalam pikiran dan hatiku. Sayangnya, mantera itu tidak cukup sakti untuk menghalau kegundahan hatiku. Perasaanku benar-benar diliputi kegalauan yang sulit kuungkapkan dengan kata-kata.

Tiba-tiba terdengar suara mesin mobil suamiku. Segera saja aku memasang muka sumringah, aku tidak mau suamiku tahu kalau aku sedang galau. Seperti kebiasaannya, suamiku selalu mencium keningku saat pergi atau pulang kerja. Kuraih tangannya dan kukecup seperti biasa. Tak berselang lama, suamiku itu membawa kedua anak kami ke ruang tengah dan terdengar senda gurau mereka di sana. Seharusnya aku bahagia, tetapi sebaliknya, malah kesedihan yang bertambah. Aku bersedih karena tidak bisa mempertahankan kesucian hati ini.

Setelah selesai masak, aku memandikan kedua anakku. Setelahnya, aku yang mandi. Seperti biasa, kalau suamiku ada di rumah, kami sembahyang berjamaah kemudian makan malam bersama. Aku benar-benar terkejut saat suamiku menanyakan keadaanku yang katanya kelihatan lesu dan tak bersemangat. Langsung saja aku jawab kalau aku stress dengan pekerjaanku. Ternyata kegundahan hatiku kali ini terbaca oleh suamiku, mungkin saking besarnya rasa gelisahku saat ini. Untungnya, suamiku tidak memperpanjang keheranannya itu.

Setelah selesai makan malam, suamiku dan anak-anak ke ruang tengah untuk menonton televisi, sementara aku membereskan meja makan lalu mencuci piring. Hatiku terus bergejolak dan bertanya-tanya pada diri sendiri. Dalam rangkaian ingatanku tentang kisahku dengan Abdi, hanya dia yang selalu hadir dalam kenangan. Semua peristiwa itu seakan-akan menjadi rekaman yang didokumentasikan dalam memori, dan sekarang kuputar rekaman itu hingga membuatku tak mengerti dengan perasaanku saat ini. Pikiranku menggebu dalam kebimbangan tak tentu arah.

Huuufftt … Kenapa harus dia, dia dan dia yang harus hadir? Kenapa dia lagi? Kenapa harus dia?” Hatiku terus bergejolak dan bertanya-tanya pada diri sendiri.

Aku seperti hilang jati diri. Tidak hidup demi diri sendiri. Seperti hidup dalam bayang-bayang lelaki itu. Aku berusaha menguatkan hati dan mengenyahkan perasaan yang berkecamuk ini. Namun rasanya sia-sia. Kegelisahanku semakin tidak terkontrol.

Kenapa perasaanku menjadi kacau begini? Kenapa setelah tau kalau dia masih memikirkanku, hati ini menjadi resah. Oh Tuhan, aku tak mengerti dengan kondisiku saat ini. Ingat Wida! Dia hanyalah sosok semu dari masa lalu!” Ujarku dalam benak terdalam.

Aku menarik napas dalam-dalam sambil menatap hati dan bersiap menghadapi skenario terburuk yang selama ini kutakutkan. Aku menyerah! Aku tidak sanggup lagi menahan gejolak hati ini. Dan untuk hari ini hasratku terlalu kuat untuk kubendung, aku ingin merasakan keindahan itu dengan cinta kasih yang sama-sama tulus. Aku tahu resikonya kalau aku tidak akan menjadi diri sendiri lagi. Tapi aku akan ambil resiko itu. Aku sudah benar-benar tidak mempedulikan itu semua, karena jelas, kesucian hatiku sudah terlanjur rusak, dan kerusakannya sudah terbang berhamburan dituip angin kegelisahan. Aku akan mencintai keduanya, dengan jenis cinta dan cara mencintai yang berbeda.

Selesai mencuci piring, aku bergabung dengan suami dan anak-anakku di ruang tengah. Kami pun bercengkrama walau yang kulakukan sedikit drama karena pikiranku terpecah antara keluarga dan Abdi. Setelah pukul 20.00 malam, aku menidurkan anak-anak di kamar mereka sementara suamiku pergi ke kamar tidur. Hanya butuh 10 menit, kedua anakku sudah tertidur, kemudian aku ke kamarku. Kulihat suamiku sudah memeluk gulingnya, tapi aku yakin dia belum tidur. Aku segera mengambil air wudhu dan melaksanakan sembahyang. Setelahnya, aku naik ke tempat tidur.

Baru saja aku berbaring di sisi suamiku, tiba-tiba dia memelukku setengah menindih. Bibirnya langsung menempel di bibirku. Kalau sudah begini aku tahu apa yang dia mau. Lalu kubalas ciumannya dengan pelukan hangat. Kami berciuman dengan pelan dan lembut. Antara sadar dan tidak, aku membayangkan laki-laki yang sedang memeluk dan menciumku itu adalah Abdi. Dan entah kenapa, libidoku langsung memuncak dan nyaris tak terbendung. Fantasiku itu membuat gairah dan hasrat di diriku berkobar-kobar.

Saat permainan inti dimulai, aku membayangkan kalau Abdi lah yang sedang memasuki tubuhku. Aku merasakan sesuatu yang sangat berbeda saat ini. Aku mendapatkan rasa yang sangat nikmat dari tekanan pada organ intimku. Sebuah rasa menjadi terbentang dan diisi. Aku benar-benar dalam keadaan yang sangat nikmat, desahan sudah berubah menjadi erangan dan erangan sudah berubah menjadi pekikan. Bercinta di malam ini sungguh terasa menyenangkan dan menggairahkan.

Bersambung
 
Terakhir diubah:
Lanjutkan karya mu maestro...
Semoga tidak seperti lainnya putus ditengah jalan..
 
Aih... Baru diangkat dari penggorengan nih...
Ijin meninggalkan jejak ya hu...
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd