========
QUEST#03
========
Ngantuk... Hoaammm... Udah jam 23.27... Tidur, ah...
Triiiiittt...trrriiiiiiiiiittt... Siapa yang nelepon malam-malam begini? Silva?
Halo...? Ada apa? tanyaku.
Halo... Kamu belum tidur, kan? kata cewek ini. Ngapain dia nelpon jam segini?
Ng? Ada apa, Va? tanyaku heran. Mengganggu aja.
Nggak ada apa-apa... Aku cuma mau ngobrol aja... katanya. Ngobrol aja? Ada kemajuan ini anak.
Oh... Silvi mana? Dia juga belum tidur? tanyaku.
Dia ada di luar... Mungkin sedang makan... jawabnya.
Silva sedang dimana, nih? tanyaku lagi.
Di kamar... Kamu biasanya tidur jam berapa? tanya Silva.
Ya... kalau gak ada PR atau kerjaan lain... jam segini sih udah mimpi... Tapi aku nggak pernah buat PR di rumah... Paling aku minta nyalin sama temanku di sekolah... jawabku.
Kami selalu mengerjakan PR sebelum keluar rumah... Seperti tadi... kami selesaikan dulu semua tugas... lalu keluar rumah... kata Silva. Tumben dia mau cerita tentang masalah begini.
Wah... rajin sekali, ya? Kalian pasti pintar di sekolah, ya? pujiku. Biar dia jadi GR.
Tidak juga... Biasa-biasa saja... katanya. Dia pasti sedang tersipu di sana.
O iya... Aku baru ingat... Aku ada kenalan anak SMA 76 juga... Cewek... namanya Aya... Kelas dua juga... Silva kenal? ingatku. Kenapa aku baru ingat sekarang. Aya kan juga di SMA 76. Dia bisa jadi referensi untuk masalah ini.
Aya?... Gak kenal... Pernah dengar namanya tapi gak tau orangnya... Kamu kenal dia dari mana? tanya Silvi lagi.
Mm... Kakaknya punya ZODIAC CORE juga... Makanya aku juga kenal adiknya... jelasku sesingkat mungkin.
Jadi... Kamu ada main dengan Aya juga, kan? tebaknya. Bah! Jitu tebakannya.
Eng... Iya... Silva kok bisa tau, sih? kagetku. Bisa bisa menang togel banyak nih.
Kamu sendiri yang bilang, kan... Kalau untuk mengambil ZODIAC CORE itu dengan seks... Walaupun aku tidak tau persis yang mana yang namanya Aya... aku pernah dengar rumor kalo ia cerita ke teman-temannya kalau ia lagi dekat dengan cowok... Orang itu pasti kamu, kan? jelas Silva.
Iya... Dia maksa aku untuk jadi pacarnya... Padahal dia sendiri tau kalau aku sudah punya pacar. Katanya dia mau walau jadi nomor yang keberapa... Dia memang rada aneh... jelasku. Aku jadi teringat kejadian bersama Aya dan kakaknya, Jessie.
Sampai begitu... Wah... Seru juga, ya? kata Silva. Apa dia suka gosip, ya? Sampe berita begitu detil dia tau.
Va... Lo jangan sebarin gosip, ya? Nanti jadi gak enak sama Aya-nya, ya? kataku memintanya untuk tidak menyebar-luaskan berita itu.
Iya-iya... Eh, udah, ya...? Ada Silvi... Tut...tut... putus Silva tiba-tiba. Ada Silvi? Masa karena Silvi muncul harus memutuskan pembicaraan.
Aku tidur lagi, ah... Triiiit... triiiiit... Siapa lagi ini? Apa si Silva lagi? Nomornya beda... Mirip dengan nomor Silva tadi tapi bukan. Ini gak ada namanya yang artinya belum kudaftar. Ini pasti Silvi.
Halo...? Siapa? tanyaku sambil meluk guling.
Ini Silvi... Kamu belum tidur, kan? tanyanya. Ada apa ini? Kenapa mereka harus bergantian meneleponku?
Belum, kok... Ada apa? tanyaku.
Cuma mau ngobrol aja... Tadi kucoba telepon... nadanya sibuk terus... Ini baru bisa masuk... katanya. Lha iya. Tadi kan karena aku sedang telponan dengan Silva.
Silva kemana? Nggak kedengaran... coba kutanya.
Dia di kamar... sedang nelepon juga... Mungkin nelepon Mama di Singapur... Aku sedang di ruang tamu, nih... katanya. Wah... Silvi lebih cepat mendekatkan diri dari pada Silva, nih.
Kalian ngapain aja jam segini belum tidur? Gak ada kerjaan lain? tanyaku.
Iya... kami memang susah tidur... jawabnya.
Oo... Member SUTIMA juga...
Apa itu SUTIMA?[/i] tanya Silvi sedikit heran.
SUsah TIdur MAlam... jawabku seenaknya. Aku tidak termasuk. Aku sudah mau tidur, kok.
Kalian berdua tidur sekamar, kan? tanyaku lagi.
Iya... Satu tempat tidur... Dari kecil sudah begini... sampe sekarang... jawabnya.
Eh... Silvi tau, gak... kalau aku juga anak kembar? tanyaku mencoba pengetahuannya tentang aku. Katanya kan mereka sudah meneliti aku.
Masa? kagetnya. Tidak tahu rupanya.
Kami kembar tiga... Aku nomer 2... Yang pertama dan ketiga cewek... Aku sendiri yang cowok... Tapi kami tidak kembar identik seperti kalian berdua... Cuma mirip-mirip begitu aja... Kayak saudara kandung biasa gitu... jelasku.
Eh... ada, ya yang seperti itu...? Kirain juga kalian cuma bersaudara gitu aja... sahut Silvi disana.
Ada lagi yang lebih banyak... Sepupuku... malah kembar lima... Tidak identik juga... Tapi lima... banyak banget, kan? kataku.
Lima? Gimana waktu Mamanya mengandungnya, ya? tanya Silvi membayangkan.
Gak tau juga... Abis waktu itu aku masih umur dua tahun, sih... Tapi fotonya pernah kulihat... Perutnya mblendung gede... besar banget... Sampai Tante Dara gak bisa kerja... libur terus... jelasku.
Wah... Kalau begitu di keluargamu ada keturunan keluarga kembar, dong? tebaknya.
Mungkin juga... Sebab... Papaku dan Papa sepupuku itu juga kembar... Identik seperti kalian... Mirip sekali... Mereka juga kompak seperti kalian... kataku. Benar. Kekompakan Silva-Silvi persis sama seperti Papa dan Oom Ron.
O iya aku baru ingat... bosnya BSCA memang kembar... Aku ingat... aku pernah lihat foto Papaku sedang bersama bos kembar BSCA... Iya... Ingat.. ingat... sahutnya.
Kami terus ngobrol sampai aku tambah ngantuk. Karena gak tahan aku minta berhenti. Udah gak kuat lagi...
Keesokan paginya, aku menemukan banyak sekali SMS di HP-ku. Keduanya dari si kembar Silva dan Silvi. Rajin sekali mereka mengirimi aku pesan.
BANGUN CPT!. AKU MO BICARA LG!
INI UDAH SIANG! MANDI SANA!
SARAPANMU APA?
HI! CPT TEL AKU!
MANA? KOK G TEL2 AKU?
Ada-ada aja. Masa mereka mengirim ini sejak subuh tadi. Apa mereka gak tidur, ya?
Aku harus telepon siapa, ya? Dua-duanya minta ditelepon. Lebih baik aku telepon si Silva dulu.
Alo... Silva? Ada apa, sih? Pagi-pagi udah ngirim SMS sebanyak itu? tanyaku.
Gak apa-apa... Aku cuma mo bilang... Nanti siang... Pulang sekolah... Kita ketemuan lagi di tempat kemarin... OK? ajaknya.
OK, deh... Pulang sekolah, ya? setujuku. Sekarang giliran Silvi.
Alo... Silvi? Ada apa minta ditelepon? tanyaku.
Nanti... pulang sekolah... kita ketemuan lagi di tempat kemarin... Di gang itu... katanya.
Boleh... Pulang sekolah, kan? setujuku. Heh? Bukannya mereka selalu pergi berdua. Silva yang mengendarai mobil. Rasanya tidak mungkin kalau mereka sendirian aja.
Masa bodoh...
Aku pergi sekolah seperti biasa. Dengan mobil bekas itu.
Aku tetap menerima beberapa SMS lagi dari kedua gadis kembar itu.
Di kelas juga masih juga masuk beberapa SMS baru hingga aku harus mematikan nada dering dan hanya menggunakan getaran saja. Apa mereka sudah
kena, ya?
Andrew, Odi dan Edward, ketiganya tidak masuk sekolah karena sedang babak belur karena perkelahian kemarin. Tidak sampai diopname, sih. Cuma rawat jalan saja. Mereka yang mulai, kan? Ditambah lagi ledakan yang kusebabkan itu. Ada sedikit kehebohan yang terjadi implikasi tawuran kemaren dengan anak SMA 76 itu. Kabarnya akan ada serangan balasan gitu dari teman-teman yang tidak terima ketiga nama di atas luka-luka. Aku gak ikut-ikutan lagi. Ampun, kanjeng DJ.
Sepulang sekolahtak memperdulikan ajakan bertempur serangan counter ke SMA 76, aku langsung cabut menuju ke gang kebun di pinggir kota tempat kami janjian bertemu.
Alo Aya, cantik? Apa kabar? teleponku pada Aya. Untuk amannya, mobil kupinggirin dulu.
Baik, sayang... Lagi dimana, nih? Gak ikut tawuran? jawabnya di sana. Dari suara latarnya masih keriuhan sekolahnya yang semakin rame karena ada ancaman tawuran dengan sekolahku.
Gak... Anak mami kayak aku mana mungkin ikut tawuran... Bisa gak dikasih jajan nanti... candaku yang dijawabnya dengan tertawa lepas di sana.
Trus ada apa, nih? Ngajak jalan, ya? tanya Aya. Teriakan perang terdengar sahut menyahut di latar belakang. Heboh bener. Bisa-bisanya Aya nelpon sambil ketawa-ketiwi begitu.
Bukan, Aya cantik... Aya manis... Aya baik hati... Ada yang mau kutanyakan dikit... Nyari informasi intel penting, nih... Masalah GEMINI... rayuku dengan hashtag GEMINI. Pasti ia akan paham kodenya.
GEMINI, ya? Kok nanya ke Aya, ih? Apa Aya kenal orangnya? tanya Aya tanggap. Di belakangnya semakin seru. Ada suara sirene mobil polisi dan letusan senjata api.
Seratus untuk Aya... Anak 76 juga... Kembar identik Silva dan Silvi... Kenal, kan? jawabku.
Kenal, dong... Cuma mereka berdua yang kembar di 76 sini... Apalagi mereka itu terkenal pinter-pinter, loh... jelas Aya tentang deskripsi awal kedua TO-ku.
Orangnya gimana, Ya? Bentaran lagi kami mo ketemuan di tempat pilihan mereka... korekku.
Mm... Gini loh, yayang Satria... Mereka berdua itu walau pinter-pinter tapi suka menutup diri... Gak suka gaul sama sesama siswa... Bukannya kuper tapi sepertinya menjaga jarak gitu... Sepertinya kehidupan cuma ada disekitar mereka berdua, thok... jelas Aya seperti tak perduli dengan suara baling-baling helikopter, desing peluru dan ledakan di belakangnya. Wah! Asik tawuran kali ini. Ancur-ancuran. Tunggu dulu?
Ya? Aya? Ini lagi dimana, sih? Suara background-nya seru abis, tuh! penasaranku.
Lagi nonton bioskop, yang... Pilem perang... jawabnya.
Ternyata eh ternyata. Karena ada ancaman tawuran, sekolah Aya dipulangkan dini. Makanya dia bisa jalan-jalan dan berakhir nonton bareng geng ceweknya. Biar tambah greget, nonton film action.
Ternyata Silva dan Silvi sudah sampai duluan. Terlebih lagi sekolahnya diliburkan mendadak. Mereka merokok.
Hai... ada apa kita janjian di sini lagi? tanyaku setelah aku turun. Mereka juga langsung turun dari kap mobil mereka.
Kesana aja... tunjuk Silva ke dalam gang.
Disana teduh... kata Silvi.
Aku mengikuti langkah-langkah mereka memasuki kebun buah ini. Cukup luas karena ditumbuhi pohon rambutan, pepaya dan singkong. Sekarang tidak musim rambutan sehingga kebun ini tidak ada yang menjaga.
Silva dan Silvi duduk di pondok yang ada di bawah sebuah pohon rambutan yang paling besar.
Jangan takut... Kami kenal sama yang punya kebon ini... kata Silva menenangkanku.
Kami sering nongkrong di sini kalau gak ada kerjaan... kata Silvi menambahi.
Tempat ini asik juga... Tidak ada nyamuknya... Teduh... Anginnya asik... kataku melihat sekeliling. Coba kalo ada musim rambutan. Lebih asik, nih. Rambutan Binjai terkenal lekang dan manis.
Kembali kedua gadis kembar itu menyalakan rokok baru.
Silva menyodorkan bungkus rokok itu padaku.
Gak... aku gak ngerokok... tolakku. Aku merebahkan badanku ke lantai papan yang beralaskan tikar pandan lusuh ini. Kenapa? Kenapa kalian melihatku seperti itu? Ada yang aneh? Aku gak aneh karena gak ngerokok, kan?
Kamu tidak seperti yang lain... kata Silva.
Kamu berbeda sekali... kata Silvi.
Apa maksudnya...? Aku gak mengerti... tanyaku. Apa maksud kata-kata itu? Rasanya aku ini masih laki-laki normal.
Gak ikut tawuran nyerbu sekolah kami? tanya Silva.
Sekolah kami jadi dalam keadaan darurat gitu... kata Silvi.
Gak-ah... Gak asik... Nanti banyak korban kalo aku ikut... jawabku. Beneran itu. Gimana kalau aku lepas kendali dan nampol kepala anak SMA 76 pake kekuatan penghancur aspal kemaren itu. Gak kebayang jadinya.
Mereka melemparkan rokok itu ke tanah dan mendekat padaku. Kedua-duanya sekaligus. Wajah merapat padaku. Padahal aku tidak memakai CHARM.
Eh?
Detik berikutnya aku sudah merasakan aroma tembakau plus menthol dari mulut mereka di mulutku yang diperebutkan. Masing-masing kakiku dikait oleh kaki Silva dan Silvi. Aku tidak bisa bergerak kemana-mana.
Satria... aku mau kamu... kata Silva.
Satria... liat aku... kata Silvi.
Mau? Menginginkanku? Baru kali ini aku mendengar kata aku saat mereka bersama dari keduanya... Meninggalkan kebersamaan dan mengungkapkan keinginan pribadi.
Walaupun bau rokok, biar sajalah...
Yakin? tanyaku memastikan keinginan mereka. Keduanya mengangguk. Ternyata tidak sesulit yang kubayangkan. Kesombongan mereka selama ini ternyata hanya topeng untuk menutupi diri asli mereka yang sebenarnya menginginkan hal-hal seperti ini. Hal yang membuat penasaran jiwa-jiwa muda seperti kami. Mengenal lawan jenis lebih intens. Mereka tak tau caranya dan tak tau juga cara memulainya. Walau tak bergaul dengan teman-teman sebayanya di sekolah, mereka ikut mencari tau tawuran awal kami kemaren dan cukup tau rumor tentang Aya. Entah dari mana mereka mendapatkan semua kabar itu.
Tetapi mereka berdua langsung? Berat juga. Pastinya mereka tidak mau dibeda-bedakan. Harus mendapat hal yang sama dan serupa. Tidak lebih dan tidak kurang. Aku harus adil.
Sebisa mungkin aku melayani bibir mereka dengan intensitas yang sama. Lama lumatan yang sama. Sehingga perlakuanku pada Silva juga kulakukan pada Silvi. Sudah mirip cermin. Apa aku bisa adil?
Rabaan tanganku pada rambut, leher, punggung, pinggang dan bokong juga sama dan mirip. Gerakan berputar, remasan dan cubitan di sekujur tubuh mereka berdua membuat keduanya melenguh keenakan.
Lalu mereka satu persatu membuka kancing bajuku dan saat terbuka, mereka juga melakukan hal yang sama pada tubuhku. Meraba dan meremas tubuh bagian depanku. Enak sekali. Apa mereka pernah melakukan hal ini sebelumnya?
Apa kalian sudah pernah begini...? tanyaku.
Belum pernah... Kami belum pernah punya pacar... jawab Silva.
Kami belum pernah menemukan orang yang tepat... jawab Silvi.
Orang yang kami berdua sama-sama suka... kata mereka serempak. Mereka sudah bersama lagi.
Yang sama-sama mereka suka...? Apa mereka berdua juga harus berbagi laki-laki yang sama? Aku? Tidak lagi...
Aku memasuki tahap selanjutnya dari percumbuan ini. Kedua tanganku sudah menelusup dari bawah seragam sekolah mereka mengusap perut perlahan hingga menemukan dada mereka yang terbungkus bra mungil.
Gundukan payudara mereka tidak besar, hanya seukuran telapak tanganku sudah dapat mencengkram dada kanan mereka berdua dari luar bra.
Mereka menikmati sekali saat aku meremas-remas dada itu dengan perlahan. Lalu lebih berani lagi memainkan putingnya setelah melewati penutup dada itu. Keduanya mengerang-ngerang di kupingku. Seksi sekali.
Ohhh... Ohhh...
Kedua dada, kanan dan kiri, kini bergantian kuremas dan kupilin putingnya membuat baik aku dan mereka puas. Tapi ini belum berakhir...
Kembali mereka memandangiku dengan mata sayu. Lalu berebutan menciumi muka dan mulutku. Tanganku sudah berpindah ke pantat mereka. Bongkahan yang padat itu kuremas. Maksud sebenarnya adalah menarik rok abu-abu itu agar tertarik keatas.
Segera aku bisa melihat paha jenjang mereka yang putih mulus karena rok sekolah itu dengan tidak sadar mereka naikkan. Pengalamanku sudah cukup banyak dalam merangsang wanita. Kalau dibeginiin, akan begini jadinya. Kalau digituin, akan begitu jadinya.
Paha bagian dalam sebelah kiri Silva dan kanan Silvi kuelus. Pasti akan sangat geli sekali dan sekarang akan sangat menggetarkan mereka. Aku mendengar mereka mengeluh di depan mukaku.
Secara bersamaan, mereka malah mengangkat kaki itu. Mungkin agar lebih banyak lagi yang kuelus. Tentu saja. Akan ada banyak bagian tubuh sana yang akan mendapat perhatian
kasih sayangku.
Entah siapa yang pertama sekali melihat, tetapi Silva dan Silvi bergantian melihat wajahku dan celanaku yang depannya sudah menggembung. Tentu saja. Dia sudah dari tadi menggeliat. Gak bisa dikendaliin banget nih satu anggota tubuh. Bertindak semaunya aja. Dasar kontol!
Akhirnya tanganku sudah berada di pangkal paha mereka berdua. Terasa panas! Kalau kusentuh sekarang, aku pasti dapat menyentuh sumber panas itu. Daging lembut yang sudah sering sekali kusentuh dari berbagai wanita.
Aahhh... Lembut sekali... Walau aku tak dapat melihat celana dalam mereka (yang pastinya sama), bahannya pasti katun karena dari baliknya aku dapat merasakan kelembutan dan sensasi sensual yang sangat memabukkan.
Silva...? Silvi...? tanyaku. Aku minta persetujuan dulu.
Mereka hanya merapatkan kepala mereka di dadaku. Bagus... mereka mau. Nafas berat dan hangat.
Masih dari luar kain tipis itu, dua jariku, jari telunjuk dan tengahku sudah mengelus-elus gundukan gemuk itu. Montok dan lembut, euy. Terutama pada bagian tengah yang terbelah dua itu. Panas sekali bagian itu dan juga lembab.
Jariku terus bermain-main disana. Mengitari dan mengorek isi dalam belahan vagina mereka dari luar CD yang permukaannya sudah basah kuyup. Silva dan Silvi kadang menekankan tanganku pada selangkangan mereka dengan tangan mereka sendiri.
Hingga pada akhirnya, mereka bahkan membantu agar tanganku masuk menelusupi CD itu. Seluruh telapak tanganku menggenggam keseluruhan gundukan vagina itu. Aku sudah menguasai mereka sekarang.
Dengan hanya jari tengah, aku mengorek-orek isi belahan itu dengan perlahan. Tubuh mereka berdua bergetar dan bergelinjang di atas tubuhku.
Tangan-tangan mereka sudah liar menggosok-gosok gembungan depan celana sekolahku. Dan pada akhirnya mereka mengikuti caraku dan juga memasukkan tangan mereka untuk menemukan penghuni celanaku.
Hampir bersamaan mereka menggenggam batang penisku yang tertekan di dalam CD-ku. Di dalam sana mereka mengurut-urut untuk merasakan berapa besar dan teksturnya.
Kupikir mereka jadi penasaran karena hanya bisa merasakannya dengan tangan saja. Silva membuka kancing dan Silvi menurunkan restleting celanaku. Dari dua sisi, mereka menurunkan celana abu-abu-ku.
Yang tertinggal hanya CD yang telah menggembung tak muat lagi menampung isinya. Lagi-lagi dari dua sisi, Silva dan Silvi menurunkan CD berwarna putihku ini sampai sebatas paha.
Batang penisku yang sudah memerah tegang itu melompat dan mengacung dengan gagahnya menunjuk langit.
Aku memperhatikan ekspresi kedua gadis kembar ini menyaksikan besarnya penisku hanya berjarak beberapa senti saja dari selangkangan mereka yang sedang kupermainkan.
Aku tidak tahu itu ekspresi takut, takjub atau apa karena aku melihat liur menetes dari sisi mulut mereka berdua. Mata keduanya yang sedikit sipit membelalak kaget dan mulut terbuka.
Lalu saat berikutnya, hebatnya mereka kembali memegangi batangku tanpa ragu. Dua telapak tangan mereka yang mungil di satu batangku. Mudah bagi mereka mengatasi rasa takut dan keraguan.
Secara berirama, mereka memutar dan menarik penisku ke segala arah. Atau lebih tepat lagi mengocoknya. Rasanya memang enak sekali kalau tangan wanita yang melakukan ini. Kulit tangan mereka yang halus dengan lincah bermain di kulit penisku yang memerah. Kadang sakit juga, loh. Lha, dua tangan berebut satu tongkat saktiku. Ngantri, dong neng.
Aku juga tak mau kalah mempermainkan vagina mereka. Konsentrasi jariku adalah mempermainkan daging kecil di bagian atas. Yang paling sensitif karena tempat berkumpulnya semua urat syaraf, klitoris.
Jari telunjukku menyentil-nyentilnya dan jari tengahku mengitari dan terkadang menusuk pintu liang uterus juga lubang kencing. Bibir kemaluan tebal ini terasa sangat menggemaskan. Kalau aku bisa melihat tubuh telanjang keduanya, itu akan menjadi pemandangan paling indah. Tubuh tinggi langsing dengan kemaluan tebal.
Mendapat serangan begitu mereka mungkin tak sadar semakin bersemangat mengocok penisku. Suara desahan keenakan mereka memenuhi pondok kebun sunyi ini.
OOOUUuuuuuuggghhhh... seru mereka berdua.
Aku merasakan kejutan tubuh mereka. Sepertinya orgasme.
Kepala mereka kembali dibenamkan di dadaku. Nafas hangat memburu menerpaku. Apa ini pertama bagi mereka?
Silva...? Silvi...? Bagaimana? Enak, kan? tanyaku.
Ya... Enak sekali... jawab Silva.
Itu tadi orgasme...? tanya Silvi.
Ya... itu tadi orgasme... Puncak kenikmatan... Kalian sudah merasakannya... Ini pertama kali, ya? tanyaku balik.
Mereka mengangguk masih di dadaku.
Sementara itu, tangan mereka berdua masih menggenggam batangku, walau tidak erat lagi. Batangku itu masih tegang dan berdenyut. Dicuekin. Joystick tidak ada yang maenin. Nganggur dia.
Kalau kamu... orgasmenya bagaimana? tanya Silva. Dagunya yang runcing ditekankan ke dadaku.
Katanya seperti muncrat begitu? tanya Silvi. Sepertinya mereka baru sadar apa yang kurang. Ia juga menopangkan dagunya ke dadaku.
Kalian mau lihat? tawarku. Mereka mengangguk antusias.
Silva dan Silvi agak bergeser kesamping karena aku akan mengocok sendiri penisku. Masih dalam keadaan berbaring.
Aku mengocok batang joystick-ku ini dengan cepat sementara kedua kembar ini memperhatikan perbuatanku ini dengan seksama. Enggak banget, deh.
Memang agak memalukan juga dilihatin dua cewek seperti ini sementara aku sedang masturbasi. Kayak nggak ada tempat penyaluran aja. Biar sajalah. Hitung-hitung membuat mereka mengerti tentang seks lebih banyak. Udah pada gede harusnya harus lebih banyak pengalaman. Sepertinya mereka ingin melakukan banyak hal sampai pada taraf penasaran begini. Ada kesempatan tentang seks, mereka sambar dengan cepat. Ada kesempatan terbang keluar angkasa, pasti juga akan mereka sambar.
Begini, nih jadinya kalau kurang stimulasi. Aku sulit terangsang kalau hanya begini sehingga lama sekali aku baru bisa ejakulasi. Cuma tolah-toleh ngeliat toket keduanya yang masih terbungkus bra dengan tidak sempurna.
Lama banget kamunya? tanya Silva.
Apa selalu begini? tanya Silvi. Mereka sepertinya tidak sabar menunggu.
Ya... Kalau aku coli memang selalu begini... Lama.. Makanya aku jarang banget begini... jawabku.
Supaya cepat... bagaimana caranya? tanya Silva.
Apa bisa kami bantu? tanya Silvi.
Kalian mau? tanyaku balik. Triing!
Mereka mengangguk.
Aku ada ide demi melihat bekas noda cairan di CD mereka berdua.
Keduanya kusuruh berlutut di samping kepalaku dan CD mereka dibuka. Aku bisa melihat dengan jelas isi dalam belahan vagina itu dengan jelas. Berwarna pink basah. Klitorisnya masih bengkak sangat kontras dengan bulu-bulu halus yang hampir pirang di permukaan gundukan gemuk itu. Sama persis keduanya.
Karena kuminta agak membuka kaki sedikit sehingga terkangkang, aku bergantian menjilati vagina mereka berdua. Dari bagian luar hingga bagian dalam. Aku melakukannya dengan sedikit mengangkat badanku dari posisi berbaring ini. Agak susah memang. Tapi disitu letak kepuasannya.
Aku tetap mengocok penisku dengan cepat merasakan gemuknya, rasa asin gurih vagina Silva dan Silvi dan ekspresi nikmat dan keenakan kembar identik ini. Sangat enak dan hot sekali. Aku akan segera nembak, nih! Udah kerasa geli-geli.
Mmm.... Mmm...
Silva dan Silvi makin merapatkan perut mereka padaku dan aku bergantian mengulum, menjilat dan menghisap vagina mereka. Mereka kadang tak sabar menunggu giliran karena gilirannya hanya bisa satu-satu. Dengan begitu, jariku yang mengambil alih.
Memasukkan satu vagina gemuk-empuk dan lembut ke dalam mulut terasa nyaman banget. Apalagi aromanya juga enak. Tidak bau atau anyir. Bersih banget dua cewek ini. Lidahku tak bosan-bosan menggelomoh dua daging empuk itu bergantian.
Silvaaa... Silviii... Ini diaa! Lihaaat! seruku. Udah gak tahan lagi. Harus segera disemprotkan.
Spermaku meluncur kencang keluar. Mengarah ke tanah di depan pondok ini. Banyak juga.
Haaahh... keluhku. Akhirnya keluar juga. Bukannya capek karena nembak tapi perut dan leherku pegal karena berbaring sambil mencapai kemaluan Silva dan Silvi tadi. Kini aku berbaring telentang.
Begitu... kalau laki-laki ngecrot, ya? kata Silva.
Yang keluar tadi itu yang disebut sperma, ya? kata Silvi.
He-eh... jawabku pendek.
--------
Silva dan Silvi kembali merapikan pakaian mereka, aku juga begitu. Kami tetap berada di pondok itu. Mereka berdua memandangi spermaku yang bercecer di tanah.
Jadi kalau cairan ini masuk ke kami... kami bisa hamil? tanya Silva tunjuknya pada selangkangannya.
Apa kau pernah membuat orang hamil? tanya Silvi.
Hamil? Belum pernah... jawabku. Benar juga pertanyaan mereka. Selama ini, kebanyakan sewaktu aku bercinta dengan wanita-wanita itu aku selalunya mengeluarkan spermaku di dalam vagina mereka. Hanya Jessie yang pernah memakaikan kondom padaku. Selain itu tidak ada lagi.
Belum ada yang pernah hamil karena main denganku... kataku lagi. Ceceran spermaku mulai dirubungi semut. Protein berlebih sebanyak itu hanya untuk dikonsumsi serangga. Apes.
Belum ada? Kamu sudah ML dengan berapa orang? tanya Silva.
Apa kamu subur? tanya Silvi.
??
Iya juga... Sudah begitu banyak wanita yang sudah bercinta denganku. Tak seorangpun yang melapor padaku kalau hamil atau paling tidak terlambat datang bulan.
Putri, Dewi, Diva, Athena, Venus, Aphrodite, Hellen, Nicole bahkan Carrie sendiri. Bu Karen, April, Lisa, Jessie dan Aya tak pernah memberitahu kalau mereka hamil atau keluhan apapun. Apa aku memang mengalami masalah kesuburan. Hal yang sangat mengerikan... Mandul!
Tunggu dulu... Aku tidak pernah tanya apa mereka memakai kontrasepsi. Minum pil atau sejenisnya?
Banyak juga sih... Tapi tidak ada yang hamil, kok... Mungkin mereka minum pil KB... jawabku setelah beberapa saat. Ada sekitar 12-15 orang... aku juga sudah lupa jumlah pastinya... lanjutku setelah ngitung-ngitung seingatnya.
Keduanya kembali menatapku lagi. Entah apa yang mereka pikirkan. Entah takut atau kagum atau apa lagi.
--------
Waktu menunjukkan jam 4 sore dan kami masih di pondok ini. Kebanyakan hanya ngobrol-ngobrol tentang diriku dan mereka berdua. Memang mereka masih sedikit kaku. Masih ada nada sombong dan rahasia. Tapi mereka mulai bisa bercanda denganku. Satu hal lagi, mereka tidak lagi memanggilku kamu. Sudah memanggil nama.
Gimana kalau kita ke rumah kami...? kata Silva.
Rumah kami sedang sepi... kata Silvi.
Orang tuamu memangnya sedang kemana? tanyaku sambil meregangkan otot yang sedikit kaku dan pegel. Gerak-gerakin leher dan bahu. Ok sip.
Sedang keluar negeri... jawab Silva.
Biasa, deh... bisnis... jawab Silvi.
Oo... OK... Bolehlah... setujuku. Lagian di sini terus juga tidak ada perkembangan baru. Mungkin di rumah mereka, bisa lanjut lagi. Lumayan dapat dua tumpuk daging segar baru.
Kami lalu beriringan meninggalkan kebun buah ini menuju mobil kami yang diparkir di gang depan. Aku mengikuti langkah mereka. Kini mereka tidak berjalan cepat seperti biasa. Perlahan saja. Apa karena CD mereka lengket, ya?
Mobil itu juga tidak ngebut lagi sehingga aku tidak perlu susah payah lagi mengikuti mereka dengan jantung deg-degan terus sepanjang jalan karena takut kecelakaan. Mungkin mereka berdua sedang membahasku di jalan. Sayangnya aku tidak ada di sana jadi gak ngeh apa yang mereka bicarakan.
Rumah mereka di Grand International Village ini memang sangat bagus. Aku langsung dibawa ke kamar mereka di lantai 2. Kamar yang besar karena harus bisa menampung dua orang gadis remaja seperti mereka. Ini lebih besar dari kamar milik Putri dan Dewi.