Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Quest

========
QUEST#03
========​

“Catat, ya?... Nama lengkap mereka berdua Silva Nastya Feldberg dan... Silvi Fistya Feldberg... Nampaknya ada keturunan asingnya... Ulang tahun bersama... tanggal 14 Juni... Cukup lama... 3 minggu lagi... Alamatnya di kompleks Grand International Village... Blok HL No. 32... Perumahan paling elit di kota ini... Yang paling asik lagi... orang tuanya ada kerja sama bisnis dengan kantor Oom Buana, lo...” jelas Hellen tentang data-data yang didapatnya tentang kedua gadis kembar itu.
“Saat ini aku mau berusaha sendiri aja... Tidak usah membawa-bawa nama keluarga... Berat nanti... Eh, thanks ya, Len atas informasinya... Dengan begini mas bisa... Eh... Len ada telepon masuk... Thanks ya?” kataku buru-buru. Ada Call Waiting.
“Halo...? Saya Satria...” kataku. Ini nomor yang tak kukenal sama sekali.
“Ini Silva... Kita bisa ketemu? Ada yang ingin kami bicarakan denganmu...”
Bagus sekali. Tidak lama begini mereka sudah memutuskan sesuatu. Cepat juga. Padahal tadi katanya tunggu beberapa hari.
“Bisa... Kita bertemu di mana?” tanyaku cepat.
“Di tempat yang Sabtu kemarin... Jam 4.. OK?” putusnya.
“OK... Aku akan kesana jam 4...” jawabku.
Dengan cepat Silva menutup teleponnya. Aku segera menyimpan nomor HP yang baru saja mereka pakai.

Aku sampai di tempat itu 5 menit sebelum jam 4. Mereka belum sampai. Bagus lebih baik cepat dari pada terlambat.
Jam 4 tepat, aku mendengar deru mobil itu dari kejauhan. Lalu dengan kecepatan tinggi, kendaraan itu memasuki gang dan sudah sampai di depanku setelah sebelumnya berputar ngedrift. Cekatan sekali. Kalah gaya deh. Mobilku bisa jalan di jalan raya dengan lancar aja uda sukur banget. Kadang masih ketuker pedal gas sama kopling. Lompat-lompat deh tuh mobil City.
Mereka berdua serentak keluar dari mobil itu. Kompak sekali. Putri ama Dewi aja gak pernah kompak. Yang satu rambut sebahu—yang satunya rambut sepunggung. Yang satu susah makan—yang satunya hobi ngemil. Yang sama cuma sama-sama cewek aja, ada toket sama meki.
Kini penampilan mereka casual saja dengan kaus ketat yang menonjolkan dada yang tidak begitu besar dan lengan yang langsing. Celana jeans gantung sampai sebatas betis juga sneaker motif batik.
Secara keseluruhan mereka terlihat menarik dengan tubuh tinggi yang proporsional. Rambut kecoklatan panjang sampai menghiasi bagian depan dada. Poni panjang belah agak kekiri.
Kembali mereka duduk di kap mobil mereka dengan gaya yang khas sekali. Aku harus berdiri tepat di depan mereka.
“Mm... Apa kalian sudah memutuskan sesuatu...?” tanyaku jadi tidak sabaran.
“Sebelumnya kami mau menanyakan beberapa hal terlebih dahulu...” kata Silva.
“...Sebelum kami mengatakan apa yang kami putuskan..” kata Silvi.
“Boleh... Kalian boleh menanyakan apa saja...” kataku.
“Kami sudah melakukan sedikit penelitian tentang siapa dirimu...” kata Silva. Penelitian?
“Tetapi data tentang core tidak ada sama sekali...” kata Silvi.
“Kalau masalah itu... tidak banyak orang yang tau... Hanya ada beberapa orang saja yang tau... karena ini masalah yang sangat rahasia dan tidak masuk akal...” jawabku.
“Jelaskan pada kami... yang tidak masuk akal itu... bagaimana kau bisa menyembuhkan pacarmu itu?” tanya Silva.
“Juga bagaimana caramu mengambil core ini dari kami...” pertanyaan kedua dari Silvi.
“... Perlu kalian ketahui... bahwa penjelasan dan jawabanku ini akan sangat tidak masuk akal dan juga sangat mengejutkan...” kataku memulai.
“...Caraku menyembuhkannya... adalah... dengan cara memanggil GOD MAESTER CORE... Ia adalah core penjaga semua core yang ada di bumi ini... Ia dapat mengabulkan satu permintaan pemanggilnya. Untuk memanggilnya dibutuhkan 12 ZODIAC CORE... Aku sudah berhasil mengumpulkan 2 core... ARIES dan TAURUS... Pada kalian berdua adalah core ketiga... GEMINI... ZODIAC CORE ini termasuk dalam jenis core istimewa... “ jelasku.
“... Cara untuk mengambil ZODIAC CORE dari kalian adalah dengan menggunakan TRIGGENCE yang dilakukan oleh bentuk VIOLENCE, CHARM-ku... Ini bagian yang aku agak sulit mengatakannya... karena semua itu dilakukan lewat seks...” lanjutku. Lancar juga presentasiku. Udah kayak jualan panci kaleng yang diakui sebagai teflon. Bolehlah.
Untuk beberapa lama, kedua gadis kembar itu memandangiku dengan tajam. Aku sama sekali tak bisa menebak apa yang ada dipikiran mereka berdua.
Hening sekali. Yang ada hanya bunyi desiran angin dan kicauan burung yang sesekali meningkahi bunyi deru kendaraan di kejauhan sana. Lalu ada bunyi *gdebuk* durian jatoh.
“Apa maksudmu dengan seks itu?” tanya Silva tiba-tiba.
“Seks seperti yang dilakukan orang dewasa?” Silvi juga.
?​
Seks yang dilakukan orang dewasa? Apa ada yang namanya seks yang dilakukan oleh orang yang belum dewasa? Seberapa mengerti mereka tentang seks? Apa yang mereka ketahui?
“Seks... ya.. seks... Dewasa atau tidak... seks itu tidak pernah memandang kedewasaan itu... Seks adalah sesuatu yang dilakukan saat kita ingin mengungkap perasaan kita...” kataku. Dari mana datang kata-kata itu?Terlalu luas arti kata seks, kan? Kalau di bahasa Inggris, sex bisa berarti jenis kelamin. Di pengertian lain adalah bagian dari penciptaan itu sendiri. Manusia berkembang biak lewat seks.
“Aku masih belum mengerti...” ujar Silva.
“Apa maksud semua itu...?” Silvi juga.

Bagaimana kalau langsung saja kulakukan di sini? Disini, kan lumayan sepi. Tidak ada orang atau rumah penduduk di sekitar sini...
“Kalian mau lihat contohnya?” tanyaku mundur beberapa langkah untuk mencari posisi yang pas agar mereka bisa melihat dengan jelas.

CHARM... Mengingat pertama sekali aku jalan berdua dengan Carrie... Menonton festival band... Kami bersenang-senang saat itu. Saling tawa dan berpegangan tangan erat—takut terpisah oleh keramaian.

Aku sudah berubah... Aku merasakan perbedaan yang sangat besar saat aku menjadi CHARM. Tubuhku terasa lebih ringan tetapi penuh dengan energi.
Seperti yang telah pasti, kedua gadis kembar didepanku ini sudah terpengaruh oleh pesona CHARM.
Masih dengan insting kebersamaan mereka, nafas keduanya menjadi berat. Aku tau mereka sudah ingin mendekatiku tetapi masih ada sisi kesombongan yang belum tersentuh oleh pesona ini. Aku akan melakukan sesuatu...
Aku mendekati mereka beberapa langkah, lalu berhenti. Bergerak ke samping kanan... lalu ke kiri. Kemanapun aku bergerak, keduanya tetap memandangiku dengan penuh nafsu.
Aku akan menggoda mereka...
Aku sudah satu langkah di depan keduanya dan aku tau kalau mereka sudah bersiap untuk melompat dari kap mobil itu. Lalu aku merubah diriku kembali menjadi normal.
Hohhh...
Keduanya bersamaan menarik tanganku hingga aku menubruk dan menimpa tubuh mereka berdua.
Aku sempat merasakan beberapa kali Silva dan Silvi berebutan menciumi mulutku yang hanya satu ini setelah mereka berdua membalikkan badanku dan ganti menghimpitku. Tak perduli kalau kap ini bisa penyok oleh beban tubuh kami bertiga.
Untung saja mereka berdua tidak terlalu berat jadi aku tidak sesak nafas dihimpit dua orang sekaligus seperti ini.
Aku hanya menunggu sampai efek CHARM tadi habis mempengaruhi perasaan mereka.

Saat mereka berebut untuk menciumi mulutku lagi, tiba-tiba keduanya menarik kepala mereka menjauh dariku dan dengan cepat turun dari kap mobil.
“Apa yang tadi kami lakukan?” tanya Silva bingung. Memegangi mulutnya yang basah.
“Apa yang kau lakukan pada kami?” Silvi juga tak kalah bingungnya.
“Kalian lihat... Itu yang tadi dinamakan nafsu... Kalian sangat bernafsu tadinya... Tentunya kalian belum pernah melakukan hal yang seperti tadi, kan?” ujarku sambil merapikan rambutku yang acak-acakan. Ganas juga mereka kalau lagi sange. Untung bajuku gak pada robek.
“Aku merasakan panas yang tak tak bisa kujelaskan...” ujar Silvi memandangi tapak tanganya.
“Keringatku bercucuran. Banyak sekali...” kata Silvi memegangi lehernya.
“Aku akan mengambil ZODIAC CORE GEMINI dengan cara yang seperti tadi... Tetapi itu hanya akan kulakukan pada hari ulang tahun kalian... 14 Juni depan...” kataku tetap duduk di kap mobil mereka.
“14 Juni depan...?” heran Silva.
“Bagaimana kau tau tanggal itu?” tanya Silvi.
“Kau juga sudah meneliti kami, ya?” kata mereka serempak.
Aku mengangguk saja.
Untuk beberapa lama mereka terdiam. Apa pikiran mereka bisa sama, ya? Apa ada semacam kontak batin antar kembar identik ini hingga mereka bisa saling bertukar pikiran? Semacam telepati gitu.
Aku menunggu untuk beberapa lama untuk mendengarkan jawaban mereka atas permintaan tolongku. Kuharap mereka tertarik dengan pengalaman baru dan merasa tertantang sehingga menyetujui tawaranku. Tantangan yang coba kutawarkan kali ini. Apa bisa berhasil.
“Keuntungan yang kami dapat?” tanya Silva.
“Apa yang bisa kau tawarkan?” tanya Silvi.
“... Aku sendiri kurang begitu paham... Keuntungan apa yang bisa didapat oleh orang-orang yang core-nya sudah kuambil... Tapi kalian bisa meminta apapun yang aku sanggup berikan...” janjiku.
Benar juga... Aku belum melihat perubahan berarti dari dua orang yang ZODIAC CORE-nya kuambil, April dan Jessie. Kalau core itu tetap ada pada mereka apa akibatnya dan setelah mereka hanya memiliki core biasa, apa pula akibatnya.
Masih banyak pertanyaan yang tidak terjawab dari masalah core yang penuh dengan misteri ini.
“Barang-barang yang kau punya... kami juga punya...” kata Silva.
“Kita ini memiliki keluarga yang hampir setara, kan?” kata Silvi.
Benar juga. Benda apa yang kumiliki tetapi mereka tidak? Keluarganya kan seperti juga keluargaku. Pasti segala kebutuhannya bisa terpenuhi dengan berlimpah. Kalau kutawari duit yang banyak (minta Papaku pastinya), keluarga mereka berdua juga banyak duit.
“Kami pada dasarnya mau menolongmu...” kata Silva.
“Tapi kami masih perlu sesuatu darimu...” kata Silvi.
“Sesuatu itu akan kami beritahukan nanti...” kata mereka berdua serempak.
“Sekarang kami pergi...” kata Silva.
“Ikuti kami...” kata Silvi.
Dengan cepat juga mereka kembali memasuki mobil lalu tancap gas keluar dari gang sepi ini. Aku harus bisa mengimbangi mereka. Padahal aku belum begitu bisa mengendarai mobil sambil ngebut seperti yang mereka lakukan.
Kami sudah kembali menuju kota. Aku dengan susah payah mengikuti kemana mobil mereka bergerak. Meliuk-liuk lincah di antara keramaian jalan sore ini. Ini kan jam pulang kantor sehingga jalan menjadi ramai oleh kendaraan bermotor.
Hari telah gelap ketika mereka berhenti di depan sebuah gedung Amusement Park. Konsepnya adalah One Stop Fun karena segala jenis hiburan ada di sini. Mulai dari permainan video games, bilyard, bowling, permainan anak-anak dan lain-lain.
“Mau main apa?” tanyaku basa-basi. Jantungku masih deg-degan abis kebut-kebutan menyeramkan barusan. Kalo maen game balap, sih nabrak gak pa-pa. Ini nabrak beneran sakit tau. Disuruh ganti rugi pula, biaya perobatan, ♪perdamaian-perdamaian-banyak yang cinta damai♪.
Mereka berdua diam saja dan melangkah masuk. Aku terpaksa mengikuti mereka sampai lantai 2. Pada bagian bilyard mereka masuk dan mencari meja kosong.
Penjaga tempat ini sepertinya telah mengenal mereka berdua dengan baik karena mereka dilayani dengan menyiapkan bola di atas meja untuk memulai permainan.
“Nih...” Silva melemparkan sebuah stik billyard padaku.
“Kamu mulai...” kata Silvi meletakkan bola putih di titik netral.
“OK...” sahutku. Ini mah maenanku kalo lagi bolos. Letakkan tangan kiri di depan bola putih, letakkan stik cue di antara ibu jari dan jari telunjuk. Arahkan ujung cue di bola putih dan pukulkan dengan kuat. PAK!
Susunan bola 9 yang berbentuk segitiga itu buyar kemana-mana. Bola 6 dan 13 masuk. Kebetulan sekali. Keberuntungan pemain bilyard.
Berikutnya aku harus memasukkan bola 1 yang tersembunyi di balik bola 8 dan 5. Aku mengira akan masuk ke sisi kanan meja dengan memantul sisi meja tapi gagal.
Silva melanjutkan permainan. Ia berhasil memasukkan 3 bola dan disambung Silvi yang hanya dapat memasukkan 1 bola.
Begitu terus sampai bola habis dan dari perhitungan nilai aku diurutan ketiga. Menyedihkan. Rupanya mereka berdua lebih jago maen beginian.
Kami menghabiskan malam dengan terus bermain bilyard. Aku bisa menang 2 kali dan memang lebih sering mereka yang menang, sih.
Kalau terus berlatih, aku rasa aku bisa mengalahkan mereka. Abisnya mereka sudah sering main ini. *Alasan*

“Apa kalian senang?” tanyaku dengan nada ceria.
Mereka masih diam tanpa ekspresi.
“Apa kalian tidak lelah dengan muka seperti itu... Jelek, tau!” kataku mencoba lebih akrab dengan mereka.
“Biar saja...” jawab Silva.
“Pulang sana...!” sahut Silvi.
Waduh... Diusir pulang. Dasar... Sudah mau kutemani sampai malam begini. Memang selama permainan tadi aku banyak membuat suara-suara heboh apabila aku berhasil atau gagal. Aku juga mengomentari kalau hal itu terjadi pada mereka berdua. Aku malahan disuruh tutup mulut saja.
Kalau diam saja... dimana letak kesenangannya. Maksud permainan ini, kan untuk bergembira.
 
========
QUEST#03
========​

Ngantuk... Hoaammm... Udah jam 23.27... Tidur, ah...
Triiiiittt...trrriiiiiiiiiittt... Siapa yang nelepon malam-malam begini? Silva?
“Halo...? Ada apa?” tanyaku.
“Halo... Kamu belum tidur, kan?” kata cewek ini. Ngapain dia nelpon jam segini?
“Ng? Ada apa, Va?” tanyaku heran. Mengganggu aja.
“Nggak ada apa-apa... Aku cuma mau ngobrol aja...” katanya. Ngobrol aja? Ada kemajuan ini anak.
“Oh... Silvi mana? Dia juga belum tidur?” tanyaku.
“Dia ada di luar... Mungkin sedang makan...” jawabnya.
“Silva sedang dimana, nih?” tanyaku lagi.
“Di kamar... Kamu biasanya tidur jam berapa?” tanya Silva.
“Ya... kalau gak ada PR atau kerjaan lain... jam segini sih udah mimpi... Tapi aku nggak pernah buat PR di rumah... Paling aku minta ‘nyalin sama temanku di sekolah...” jawabku.
“Kami selalu mengerjakan PR sebelum keluar rumah... Seperti tadi... kami selesaikan dulu semua tugas... lalu keluar rumah...” kata Silva. Tumben dia mau cerita tentang masalah begini.
“Wah... rajin sekali, ya? Kalian pasti pintar di sekolah, ya?” pujiku. Biar dia jadi GR.
“Tidak juga... Biasa-biasa saja...” katanya. Dia pasti sedang tersipu di sana.
“O iya... Aku baru ingat... Aku ada kenalan anak SMA 76 juga... Cewek... namanya Aya... Kelas dua juga... Silva kenal?” ingatku. Kenapa aku baru ingat sekarang. Aya kan juga di SMA 76. Dia bisa jadi referensi untuk masalah ini.
“Aya?... Gak kenal... Pernah dengar namanya tapi gak tau orangnya... Kamu kenal dia dari mana?” tanya Silvi lagi.
“Mm... Kakaknya punya ZODIAC CORE juga... Makanya aku juga kenal adiknya...” jelasku sesingkat mungkin.
“Jadi... Kamu ada main dengan Aya juga, kan?” tebaknya. Bah! Jitu tebakannya.
“Eng... Iya... Silva kok bisa tau, sih?” kagetku. Bisa bisa menang togel banyak nih.
“Kamu sendiri yang bilang, kan... Kalau untuk mengambil ZODIAC CORE itu dengan seks... Walaupun aku tidak tau persis yang mana yang namanya Aya... aku pernah dengar rumor kalo ia cerita ke teman-temannya kalau ia lagi dekat dengan cowok... Orang itu pasti kamu, kan?” jelas Silva.
“Iya... Dia maksa aku untuk jadi pacarnya... Padahal dia sendiri tau kalau aku sudah punya pacar. Katanya dia mau walau jadi nomor yang keberapa... Dia memang rada aneh...” jelasku. Aku jadi teringat kejadian bersama Aya dan kakaknya, Jessie.
“Sampai begitu... Wah... Seru juga, ya?” kata Silva. Apa dia suka gosip, ya? Sampe berita begitu detil dia tau.
“Va... Lo jangan sebarin gosip, ya? Nanti jadi gak enak sama Aya-nya, ya?” kataku memintanya untuk tidak menyebar-luaskan berita itu.
“Iya-iya... Eh, udah, ya...? Ada Silvi... Tut...tut...” putus Silva tiba-tiba. Ada Silvi? Masa karena Silvi muncul harus memutuskan pembicaraan.
Aku tidur lagi, ah... Triiiit... triiiiit... Siapa lagi ini? Apa si Silva lagi? Nomornya beda... Mirip dengan nomor Silva tadi tapi bukan. Ini gak ada namanya yang artinya belum kudaftar. Ini pasti Silvi.
“Halo...? Siapa?” tanyaku sambil meluk guling.
“Ini Silvi... Kamu belum tidur, kan?” tanyanya. Ada apa ini? Kenapa mereka harus bergantian meneleponku?
“Belum, kok... Ada apa?” tanyaku.
“Cuma mau ngobrol aja... Tadi kucoba telepon... nadanya sibuk terus... Ini baru bisa masuk...” katanya. Lha iya. Tadi kan karena aku sedang telponan dengan Silva.
“Silva kemana? Nggak kedengaran...” coba kutanya.
“Dia di kamar... sedang nelepon juga... Mungkin nelepon Mama di Singapur... Aku sedang di ruang tamu, nih...” katanya. Wah... Silvi lebih cepat mendekatkan diri dari pada Silva, nih.
“Kalian ngapain aja jam segini belum tidur? Gak ada kerjaan lain?” tanyaku.
“Iya... kami memang susah tidur...” jawabnya.
“Oo... Member SUTIMA juga...”
“Apa itu SUTIMA?”[/i] tanya Silvi sedikit heran.
“SUsah TIdur MAlam...” jawabku seenaknya. Aku tidak termasuk. Aku sudah mau tidur, kok.
“Kalian berdua tidur sekamar, kan?” tanyaku lagi.
“Iya... Satu tempat tidur... Dari kecil sudah begini... sampe sekarang...” jawabnya.
“Eh... Silvi tau, gak... kalau aku juga anak kembar?” tanyaku mencoba pengetahuannya tentang aku. Katanya kan mereka sudah meneliti aku.
“Masa?” kagetnya. Tidak tahu rupanya.
“Kami kembar tiga... Aku nomer 2... Yang pertama dan ketiga cewek... Aku sendiri yang cowok... Tapi kami tidak kembar identik seperti kalian berdua... Cuma mirip-mirip begitu aja... Kayak saudara kandung biasa gitu...” jelasku.
“Eh... ada, ya yang seperti itu...? Kirain juga kalian cuma bersaudara gitu aja...” sahut Silvi disana.
“Ada lagi yang lebih banyak... Sepupuku... malah kembar lima... Tidak identik juga... Tapi lima... banyak banget, kan?” kataku.
“Lima? Gimana waktu Mamanya mengandungnya, ya?” tanya Silvi membayangkan.
“Gak tau juga... Abis waktu itu aku masih umur dua tahun, sih... Tapi fotonya pernah kulihat... Perutnya mblendung gede... besar banget... Sampai Tante Dara gak bisa kerja... libur terus...” jelasku.
“Wah... Kalau begitu di keluargamu ada keturunan keluarga kembar, dong?” tebaknya.
“Mungkin juga... Sebab... Papaku dan Papa sepupuku itu juga kembar... Identik seperti kalian... Mirip sekali... Mereka juga kompak seperti kalian...” kataku. Benar. Kekompakan Silva-Silvi persis sama seperti Papa dan Oom Ron.
“O iya aku baru ingat... bosnya BSCA memang kembar... Aku ingat... aku pernah lihat foto Papaku sedang bersama bos kembar BSCA... Iya... Ingat.. ingat...” sahutnya.
Kami terus ngobrol sampai aku tambah ngantuk. Karena gak tahan aku minta berhenti. Udah gak kuat lagi...

Keesokan paginya, aku menemukan banyak sekali SMS di HP-ku. Keduanya dari si kembar Silva dan Silvi. Rajin sekali mereka mengirimi aku pesan.

BANGUN CPT!. AKU MO BICARA LG!

INI UDAH SIANG! MANDI SANA!

SARAPANMU APA?

HI! CPT TEL AKU!

MANA? KOK G TEL2 AKU?​

Ada-ada aja. Masa mereka mengirim ini sejak subuh tadi. Apa mereka gak tidur, ya?
Aku harus telepon siapa, ya? Dua-duanya minta ditelepon. Lebih baik aku telepon si Silva dulu.
“Alo... Silva? Ada apa, sih? Pagi-pagi udah ngirim SMS sebanyak itu?” tanyaku.
“Gak apa-apa... Aku cuma mo bilang... Nanti siang... Pulang sekolah... Kita ketemuan lagi di tempat kemarin... OK?” ajaknya.
“OK, deh... Pulang sekolah, ya?” setujuku. Sekarang giliran Silvi.
“Alo... Silvi? Ada apa minta ditelepon?” tanyaku.
“Nanti... pulang sekolah... kita ketemuan lagi di tempat kemarin... Di gang itu...” katanya.
“Boleh... Pulang sekolah, kan?” setujuku. Heh? Bukannya mereka selalu pergi berdua. Silva yang mengendarai mobil. Rasanya tidak mungkin kalau mereka sendirian aja.
Masa bodoh...

Aku pergi sekolah seperti biasa. Dengan mobil bekas itu.
Aku tetap menerima beberapa SMS lagi dari kedua gadis kembar itu.
Di kelas juga masih juga masuk beberapa SMS baru hingga aku harus mematikan nada dering dan hanya menggunakan getaran saja. Apa mereka sudah kena, ya?
Andrew, Odi dan Edward, ketiganya tidak masuk sekolah karena sedang babak belur karena perkelahian kemarin. Tidak sampai diopname, sih. Cuma rawat jalan saja. Mereka yang mulai, kan? Ditambah lagi ledakan yang kusebabkan itu. Ada sedikit kehebohan yang terjadi implikasi tawuran kemaren dengan anak SMA 76 itu. Kabarnya akan ada serangan balasan gitu dari teman-teman yang tidak terima ketiga nama di atas luka-luka. Aku gak ikut-ikutan lagi. Ampun, kanjeng DJ.
Sepulang sekolah—tak memperdulikan ajakan bertempur serangan counter ke SMA 76, aku langsung cabut menuju ke gang kebun di pinggir kota tempat kami janjian bertemu.
“Alo Aya, cantik? Apa kabar?” teleponku pada Aya. Untuk amannya, mobil kupinggirin dulu.
“Baik, sayang... Lagi dimana, nih? Gak ikut tawuran?” jawabnya di sana. Dari suara latarnya masih keriuhan sekolahnya yang semakin rame karena ada ancaman tawuran dengan sekolahku.
“Gak... Anak mami kayak aku mana mungkin ikut tawuran... Bisa gak dikasih jajan nanti...” candaku yang dijawabnya dengan tertawa lepas di sana.
“Trus ada apa, nih? Ngajak jalan, ya?” tanya Aya. Teriakan perang terdengar sahut menyahut di latar belakang. Heboh bener. Bisa-bisanya Aya nelpon sambil ketawa-ketiwi begitu.
“Bukan, Aya cantik... Aya manis... Aya baik hati... Ada yang mau kutanyakan dikit... Nyari informasi intel penting, nih... Masalah GEMINI...” rayuku dengan hashtag GEMINI. Pasti ia akan paham kodenya.
“GEMINI, ya? Kok nanya ke Aya, ih? Apa Aya kenal orangnya?” tanya Aya tanggap. Di belakangnya semakin seru. Ada suara sirene mobil polisi dan letusan senjata api.
“Seratus untuk Aya... Anak 76 juga... Kembar identik Silva dan Silvi... Kenal, kan?” jawabku.
“Kenal, dong... Cuma mereka berdua yang kembar di 76 sini... Apalagi mereka itu terkenal pinter-pinter, loh...” jelas Aya tentang deskripsi awal kedua TO-ku.
“Orangnya gimana, Ya? Bentaran lagi kami mo ketemuan di tempat pilihan mereka...” korekku.
“Mm... Gini loh, yayang Satria... Mereka berdua itu walau pinter-pinter tapi suka menutup diri... Gak suka gaul sama sesama siswa... Bukannya kuper tapi sepertinya menjaga jarak gitu... Sepertinya kehidupan cuma ada disekitar mereka berdua, thok...” jelas Aya seperti tak perduli dengan suara baling-baling helikopter, desing peluru dan ledakan di belakangnya. Wah! Asik tawuran kali ini. Ancur-ancuran. Tunggu dulu?
“Ya? Aya? Ini lagi dimana, sih? Suara background-nya seru abis, tuh!” penasaranku.
“Lagi nonton bioskop, yang... Pilem perang...” jawabnya.
Ternyata eh ternyata. Karena ada ancaman tawuran, sekolah Aya dipulangkan dini. Makanya dia bisa jalan-jalan dan berakhir nonton bareng geng ceweknya. Biar tambah greget, nonton film action.

Ternyata Silva dan Silvi sudah sampai duluan. Terlebih lagi sekolahnya diliburkan mendadak. Mereka merokok.
“Hai... ada apa kita janjian di sini lagi?” tanyaku setelah aku turun. Mereka juga langsung turun dari kap mobil mereka.
“Kesana aja...” tunjuk Silva ke dalam gang.
“Disana teduh...” kata Silvi.
Aku mengikuti langkah-langkah mereka memasuki kebun buah ini. Cukup luas karena ditumbuhi pohon rambutan, pepaya dan singkong. Sekarang tidak musim rambutan sehingga kebun ini tidak ada yang menjaga.
Silva dan Silvi duduk di pondok yang ada di bawah sebuah pohon rambutan yang paling besar.
“Jangan takut... Kami kenal sama yang punya kebon ini...” kata Silva menenangkanku.
“Kami sering nongkrong di sini kalau gak ada kerjaan...” kata Silvi menambahi.
“Tempat ini asik juga... Tidak ada nyamuknya... Teduh... Anginnya asik...” kataku melihat sekeliling. Coba kalo ada musim rambutan. Lebih asik, nih. Rambutan Binjai terkenal lekang dan manis.
Kembali kedua gadis kembar itu menyalakan rokok baru.
Silva menyodorkan bungkus rokok itu padaku.
“Gak... aku gak ngerokok...” tolakku. Aku merebahkan badanku ke lantai papan yang beralaskan tikar pandan lusuh ini. “Kenapa? Kenapa kalian melihatku seperti itu? Ada yang aneh? Aku gak aneh karena gak ngerokok, kan?”
“Kamu tidak seperti yang lain...” kata Silva.
“Kamu berbeda sekali...” kata Silvi.
“Apa maksudnya...? Aku gak mengerti...” tanyaku. Apa maksud kata-kata itu? Rasanya aku ini masih laki-laki normal.
“Gak ikut tawuran nyerbu sekolah kami?” tanya Silva.
“Sekolah kami jadi dalam keadaan darurat gitu...” kata Silvi.
“Gak-ah... Gak asik... Nanti banyak korban kalo aku ikut...” jawabku. Beneran itu. Gimana kalau aku lepas kendali dan nampol kepala anak SMA 76 pake kekuatan penghancur aspal kemaren itu. Gak kebayang jadinya.
Mereka melemparkan rokok itu ke tanah dan mendekat padaku. Kedua-duanya sekaligus. Wajah merapat padaku. Padahal aku tidak memakai CHARM.
“Eh?”
Detik berikutnya aku sudah merasakan aroma tembakau plus menthol dari mulut mereka di mulutku yang diperebutkan. Masing-masing kakiku dikait oleh kaki Silva dan Silvi. Aku tidak bisa bergerak kemana-mana.
“Satria... aku mau kamu...” kata Silva.
“Satria... liat aku...” kata Silvi.
Mau? Menginginkanku? Baru kali ini aku mendengar kata ‘aku’ saat mereka bersama dari keduanya... Meninggalkan kebersamaan dan mengungkapkan keinginan pribadi.
Walaupun bau rokok, biar sajalah...
“Yakin?” tanyaku memastikan keinginan mereka. Keduanya mengangguk. Ternyata tidak sesulit yang kubayangkan. Kesombongan mereka selama ini ternyata hanya topeng untuk menutupi diri asli mereka yang sebenarnya menginginkan hal-hal seperti ini. Hal yang membuat penasaran jiwa-jiwa muda seperti kami. Mengenal lawan jenis lebih intens. Mereka tak tau caranya dan tak tau juga cara memulainya. Walau tak bergaul dengan teman-teman sebayanya di sekolah, mereka ikut mencari tau tawuran awal kami kemaren dan cukup tau rumor tentang Aya. Entah dari mana mereka mendapatkan semua kabar itu.
Tetapi mereka berdua langsung? Berat juga. Pastinya mereka tidak mau dibeda-bedakan. Harus mendapat hal yang sama dan serupa. Tidak lebih dan tidak kurang. Aku harus adil.
Sebisa mungkin aku melayani bibir mereka dengan intensitas yang sama. Lama lumatan yang sama. Sehingga perlakuanku pada Silva juga kulakukan pada Silvi. Sudah mirip cermin. Apa aku bisa adil?
Rabaan tanganku pada rambut, leher, punggung, pinggang dan bokong juga sama dan mirip. Gerakan berputar, remasan dan cubitan di sekujur tubuh mereka berdua membuat keduanya melenguh keenakan.
Lalu mereka satu persatu membuka kancing bajuku dan saat terbuka, mereka juga melakukan hal yang sama pada tubuhku. Meraba dan meremas tubuh bagian depanku. Enak sekali. Apa mereka pernah melakukan hal ini sebelumnya?
“Apa kalian sudah pernah begini...?” tanyaku.
“Belum pernah... Kami belum pernah punya pacar...” jawab Silva.
“Kami belum pernah menemukan orang yang tepat...” jawab Silvi.
“Orang yang kami berdua sama-sama suka...” kata mereka serempak. Mereka sudah bersama lagi.
Yang sama-sama mereka suka...? Apa mereka berdua juga harus berbagi laki-laki yang sama? Aku? Tidak lagi...
Aku memasuki tahap selanjutnya dari percumbuan ini. Kedua tanganku sudah menelusup dari bawah seragam sekolah mereka mengusap perut perlahan hingga menemukan dada mereka yang terbungkus bra mungil.
Gundukan payudara mereka tidak besar, hanya seukuran telapak tanganku sudah dapat mencengkram dada kanan mereka berdua dari luar bra.
Mereka menikmati sekali saat aku meremas-remas dada itu dengan perlahan. Lalu lebih berani lagi memainkan putingnya setelah melewati penutup dada itu. Keduanya mengerang-ngerang di kupingku. Seksi sekali.
“Ohhh... Ohhh...”
Kedua dada, kanan dan kiri, kini bergantian kuremas dan kupilin putingnya membuat baik aku dan mereka puas. Tapi ini belum berakhir...
Kembali mereka memandangiku dengan mata sayu. Lalu berebutan menciumi muka dan mulutku. Tanganku sudah berpindah ke pantat mereka. Bongkahan yang padat itu kuremas. Maksud sebenarnya adalah menarik rok abu-abu itu agar tertarik keatas.
Segera aku bisa melihat paha jenjang mereka yang putih mulus karena rok sekolah itu dengan tidak sadar mereka naikkan. Pengalamanku sudah cukup banyak dalam merangsang wanita. Kalau dibeginiin, akan begini jadinya. Kalau digituin, akan begitu jadinya.
Paha bagian dalam sebelah kiri Silva dan kanan Silvi kuelus. Pasti akan sangat geli sekali dan sekarang akan sangat menggetarkan mereka. Aku mendengar mereka mengeluh di depan mukaku.
Secara bersamaan, mereka malah mengangkat kaki itu. Mungkin agar lebih banyak lagi yang kuelus. Tentu saja. Akan ada banyak bagian tubuh sana yang akan mendapat perhatian kasih sayangku.
Entah siapa yang pertama sekali melihat, tetapi Silva dan Silvi bergantian melihat wajahku dan celanaku yang depannya sudah menggembung. Tentu saja. Dia sudah dari tadi menggeliat. Gak bisa dikendaliin banget nih satu anggota tubuh. Bertindak semaunya aja. Dasar kontol!
Akhirnya tanganku sudah berada di pangkal paha mereka berdua. Terasa panas! Kalau kusentuh sekarang, aku pasti dapat menyentuh sumber panas itu. Daging lembut yang sudah sering sekali kusentuh dari berbagai wanita.
Aahhh... Lembut sekali... Walau aku tak dapat melihat celana dalam mereka (yang pastinya sama), bahannya pasti katun karena dari baliknya aku dapat merasakan kelembutan dan sensasi sensual yang sangat memabukkan.
“Silva...? Silvi...?” tanyaku. Aku minta persetujuan dulu.
Mereka hanya merapatkan kepala mereka di dadaku. Bagus... mereka mau. Nafas berat dan hangat.
Masih dari luar kain tipis itu, dua jariku, jari telunjuk dan tengahku sudah mengelus-elus gundukan gemuk itu. Montok dan lembut, euy. Terutama pada bagian tengah yang terbelah dua itu. Panas sekali bagian itu dan juga lembab.
Jariku terus bermain-main disana. Mengitari dan mengorek isi dalam belahan vagina mereka dari luar CD yang permukaannya sudah basah kuyup. Silva dan Silvi kadang menekankan tanganku pada selangkangan mereka dengan tangan mereka sendiri.
Hingga pada akhirnya, mereka bahkan membantu agar tanganku masuk menelusupi CD itu. Seluruh telapak tanganku menggenggam keseluruhan gundukan vagina itu. Aku sudah menguasai mereka sekarang.
Dengan hanya jari tengah, aku mengorek-orek isi belahan itu dengan perlahan. Tubuh mereka berdua bergetar dan bergelinjang di atas tubuhku.
Tangan-tangan mereka sudah liar menggosok-gosok gembungan depan celana sekolahku. Dan pada akhirnya mereka mengikuti caraku dan juga memasukkan tangan mereka untuk menemukan penghuni celanaku.
Hampir bersamaan mereka menggenggam batang penisku yang tertekan di dalam CD-ku. Di dalam sana mereka mengurut-urut untuk merasakan berapa besar dan teksturnya.
Kupikir mereka jadi penasaran karena hanya bisa merasakannya dengan tangan saja. Silva membuka kancing dan Silvi menurunkan restleting celanaku. Dari dua sisi, mereka menurunkan celana abu-abu-ku.
Yang tertinggal hanya CD yang telah menggembung tak muat lagi menampung isinya. Lagi-lagi dari dua sisi, Silva dan Silvi menurunkan CD berwarna putihku ini sampai sebatas paha.
Batang penisku yang sudah memerah tegang itu melompat dan mengacung dengan gagahnya menunjuk langit.
Aku memperhatikan ekspresi kedua gadis kembar ini menyaksikan besarnya penisku hanya berjarak beberapa senti saja dari selangkangan mereka yang sedang kupermainkan.
Aku tidak tahu itu ekspresi takut, takjub atau apa karena aku melihat liur menetes dari sisi mulut mereka berdua. Mata keduanya yang sedikit sipit membelalak kaget dan mulut terbuka.
Lalu saat berikutnya, hebatnya mereka kembali memegangi batangku tanpa ragu. Dua telapak tangan mereka yang mungil di satu batangku. Mudah bagi mereka mengatasi rasa takut dan keraguan.
Secara berirama, mereka memutar dan menarik penisku ke segala arah. Atau lebih tepat lagi mengocoknya. Rasanya memang enak sekali kalau tangan wanita yang melakukan ini. Kulit tangan mereka yang halus dengan lincah bermain di kulit penisku yang memerah. Kadang sakit juga, loh. Lha, dua tangan berebut satu tongkat saktiku. Ngantri, dong neng.
Aku juga tak mau kalah mempermainkan vagina mereka. Konsentrasi jariku adalah mempermainkan daging kecil di bagian atas. Yang paling sensitif karena tempat berkumpulnya semua urat syaraf, klitoris.
Jari telunjukku menyentil-nyentilnya dan jari tengahku mengitari dan terkadang menusuk pintu liang uterus juga lubang kencing. Bibir kemaluan tebal ini terasa sangat menggemaskan. Kalau aku bisa melihat tubuh telanjang keduanya, itu akan menjadi pemandangan paling indah. Tubuh tinggi langsing dengan kemaluan tebal.
Mendapat serangan begitu mereka mungkin tak sadar semakin bersemangat mengocok penisku. Suara desahan keenakan mereka memenuhi pondok kebun sunyi ini.
“OOOUUuuuuuuggghhhh...” seru mereka berdua.
Aku merasakan kejutan tubuh mereka. Sepertinya orgasme.
Kepala mereka kembali dibenamkan di dadaku. Nafas hangat memburu menerpaku. Apa ini pertama bagi mereka?
“Silva...? Silvi...? Bagaimana? Enak, kan?” tanyaku.
“Ya... Enak sekali...” jawab Silva.
“Itu tadi orgasme...?” tanya Silvi.
“Ya... itu tadi orgasme... Puncak kenikmatan... Kalian sudah merasakannya... Ini pertama kali, ya?” tanyaku balik.
Mereka mengangguk masih di dadaku.
Sementara itu, tangan mereka berdua masih menggenggam batangku, walau tidak erat lagi. Batangku itu masih tegang dan berdenyut. Dicuekin. Joystick tidak ada yang maenin. Nganggur dia.
“Kalau kamu... orgasmenya bagaimana?” tanya Silva. Dagunya yang runcing ditekankan ke dadaku.
“Katanya seperti muncrat begitu?” tanya Silvi. Sepertinya mereka baru sadar apa yang kurang. Ia juga menopangkan dagunya ke dadaku.
“Kalian mau lihat?” tawarku. Mereka mengangguk antusias.
Silva dan Silvi agak bergeser kesamping karena aku akan mengocok sendiri penisku. Masih dalam keadaan berbaring.
Aku mengocok batang joystick-ku ini dengan cepat sementara kedua kembar ini memperhatikan perbuatanku ini dengan seksama. Enggak banget, deh.
Memang agak memalukan juga dilihatin dua cewek seperti ini sementara aku sedang masturbasi. Kayak nggak ada tempat penyaluran aja. Biar sajalah. Hitung-hitung membuat mereka mengerti tentang seks lebih banyak. Udah pada gede harusnya harus lebih banyak pengalaman. Sepertinya mereka ingin melakukan banyak hal sampai pada taraf penasaran begini. Ada kesempatan tentang seks, mereka sambar dengan cepat. Ada kesempatan terbang keluar angkasa, pasti juga akan mereka sambar.
Begini, nih jadinya kalau kurang stimulasi. Aku sulit terangsang kalau hanya begini sehingga lama sekali aku baru bisa ejakulasi. Cuma tolah-toleh ngeliat toket keduanya yang masih terbungkus bra dengan tidak sempurna.
“Lama banget kamunya?” tanya Silva.
“Apa selalu begini?” tanya Silvi. Mereka sepertinya tidak sabar menunggu.
“Ya... Kalau aku coli memang selalu begini... Lama.. Makanya aku jarang banget begini...” jawabku.
“Supaya cepat... bagaimana caranya?” tanya Silva.
“Apa bisa kami bantu?” tanya Silvi.
“Kalian mau?” tanyaku balik. Triing!
Mereka mengangguk.
Aku ada ide demi melihat bekas noda cairan di CD mereka berdua.
Keduanya kusuruh berlutut di samping kepalaku dan CD mereka dibuka. Aku bisa melihat dengan jelas isi dalam belahan vagina itu dengan jelas. Berwarna pink basah. Klitorisnya masih bengkak sangat kontras dengan bulu-bulu halus yang hampir pirang di permukaan gundukan gemuk itu. Sama persis keduanya.
Karena kuminta agak membuka kaki sedikit sehingga terkangkang, aku bergantian menjilati vagina mereka berdua. Dari bagian luar hingga bagian dalam. Aku melakukannya dengan sedikit mengangkat badanku dari posisi berbaring ini. Agak susah memang. Tapi disitu letak kepuasannya.
Aku tetap mengocok penisku dengan cepat merasakan gemuknya, rasa asin gurih vagina Silva dan Silvi dan ekspresi nikmat dan keenakan kembar identik ini. Sangat enak dan hot sekali. Aku akan segera nembak, nih! Udah kerasa geli-geli.
“Mmm.... Mmm...”
Silva dan Silvi makin merapatkan perut mereka padaku dan aku bergantian mengulum, menjilat dan menghisap vagina mereka. Mereka kadang tak sabar menunggu giliran karena gilirannya hanya bisa satu-satu. Dengan begitu, jariku yang mengambil alih.
Memasukkan satu vagina gemuk-empuk dan lembut ke dalam mulut terasa nyaman banget. Apalagi aromanya juga enak. Tidak bau atau anyir. Bersih banget dua cewek ini. Lidahku tak bosan-bosan menggelomoh dua daging empuk itu bergantian.
“Silvaaa... Silviii... Ini diaa! Lihaaat!” seruku. Udah gak tahan lagi. Harus segera disemprotkan.
Spermaku meluncur kencang keluar. Mengarah ke tanah di depan pondok ini. Banyak juga.
“Haaahh...” keluhku. Akhirnya keluar juga. Bukannya capek karena nembak tapi perut dan leherku pegal karena berbaring sambil mencapai kemaluan Silva dan Silvi tadi. Kini aku berbaring telentang.
“Begitu... kalau laki-laki ngecrot, ya?” kata Silva.
“Yang keluar tadi itu yang disebut sperma, ya?” kata Silvi.
“He-eh...” jawabku pendek.
--------​
Silva dan Silvi kembali merapikan pakaian mereka, aku juga begitu. Kami tetap berada di pondok itu. Mereka berdua memandangi spermaku yang bercecer di tanah.
“Jadi kalau cairan ini masuk ke kami... kami bisa hamil?” tanya Silva tunjuknya pada selangkangannya.
“Apa kau pernah membuat orang hamil?” tanya Silvi.
“Hamil? Belum pernah...” jawabku. Benar juga pertanyaan mereka. Selama ini, kebanyakan sewaktu aku bercinta dengan wanita-wanita itu aku selalunya mengeluarkan spermaku di dalam vagina mereka. Hanya Jessie yang pernah memakaikan kondom padaku. Selain itu tidak ada lagi.
“Belum ada yang pernah hamil karena main denganku...” kataku lagi. Ceceran spermaku mulai dirubungi semut. Protein berlebih sebanyak itu hanya untuk dikonsumsi serangga. Apes.
“Belum ada? Kamu sudah ML dengan berapa orang?” tanya Silva.
“Apa kamu subur?” tanya Silvi.
??​
Iya juga... Sudah begitu banyak wanita yang sudah bercinta denganku. Tak seorangpun yang melapor padaku kalau hamil atau paling tidak terlambat datang bulan.
Putri, Dewi, Diva, Athena, Venus, Aphrodite, Hellen, Nicole bahkan Carrie sendiri. Bu Karen, April, Lisa, Jessie dan Aya tak pernah memberitahu kalau mereka hamil atau keluhan apapun. Apa aku memang mengalami masalah kesuburan. Hal yang sangat mengerikan... Mandul!
Tunggu dulu... Aku tidak pernah tanya apa mereka memakai kontrasepsi. Minum pil atau sejenisnya?
“Banyak juga sih... Tapi tidak ada yang hamil, kok... Mungkin mereka minum pil KB...” jawabku setelah beberapa saat. “Ada sekitar 12-15 orang... aku juga sudah lupa jumlah pastinya...” lanjutku setelah ngitung-ngitung seingatnya.
Keduanya kembali menatapku lagi. Entah apa yang mereka pikirkan. Entah takut atau kagum atau apa lagi.
--------​
Waktu menunjukkan jam 4 sore dan kami masih di pondok ini. Kebanyakan hanya ngobrol-ngobrol tentang diriku dan mereka berdua. Memang mereka masih sedikit kaku. Masih ada nada sombong dan rahasia. Tapi mereka mulai bisa bercanda denganku. Satu hal lagi, mereka tidak lagi memanggilku ‘kamu’. Sudah memanggil nama.
“Gimana kalau kita ke rumah kami...?” kata Silva.
“Rumah kami sedang sepi...” kata Silvi.
“Orang tuamu memangnya sedang kemana?” tanyaku sambil meregangkan otot yang sedikit kaku dan pegel. Gerak-gerakin leher dan bahu. Ok sip.
“Sedang keluar negeri...” jawab Silva.
“Biasa, deh... bisnis...” jawab Silvi.
“Oo... OK... Bolehlah...” setujuku. Lagian di sini terus juga tidak ada perkembangan baru. Mungkin di rumah mereka, bisa lanjut lagi. Lumayan dapat dua tumpuk daging segar baru.
Kami lalu beriringan meninggalkan kebun buah ini menuju mobil kami yang diparkir di gang depan. Aku mengikuti langkah mereka. Kini mereka tidak berjalan cepat seperti biasa. Perlahan saja. Apa karena CD mereka lengket, ya?
Mobil itu juga tidak ngebut lagi sehingga aku tidak perlu susah payah lagi mengikuti mereka dengan jantung deg-degan terus sepanjang jalan karena takut kecelakaan. Mungkin mereka berdua sedang membahasku di jalan. Sayangnya aku tidak ada di sana jadi gak ngeh apa yang mereka bicarakan.
Rumah mereka di Grand International Village ini memang sangat bagus. Aku langsung dibawa ke kamar mereka di lantai 2. Kamar yang besar karena harus bisa menampung dua orang gadis remaja seperti mereka. Ini lebih besar dari kamar milik Putri dan Dewi.
 
Wow :mantap: dapet kembar

ciee yg dapat cewek kembar.

:mantap: lanjut execusi suhu, walpn yg d cr belm watny, main threesome susah bwt d jabrin dg kt2 yah, tetp smangat aja deh,

penulsan dah oke, g nemu typo

kl belum waktunya jg masih bisa di exe tp belum bisa di triggence aja. kl itu bahaya sebelum ultah. tq atas atensinya.
 
“Kami kemarin malam nonton film ini...” kata Silva menunjukkan sebuah kotak DVD.
“Kami nonton sampai pagi, loh...” kata Silvi. Dari judul dan gambar-gambar di kedua sisinya, aku bisa menebak kalau ini film porno.
“Kalian nonton film bokep? Kalian belajar dari sini?” tanyaku. Aku jadi ingat aksi mereka saat mulai menyerangku tadi.
Mereka tidak menjawab. Silva menghidupkan TV dan DVD playernya sedang Silvi menarik tanganku ke tempat tidur. Keduanya lalu mengapit aku ditengah mereka berdua. Filmnya diputar.
Benar. Ini film bokep. Adegannya awalnya memang seperti kejadian di kebun tadi.
Waks!
Aku tak sadar kalau dari tadi mereka berdua menatapku dengan lekat sekali. Penuh nafsu. Kebetulan.
Aku memulai dengan menyentuh wajah mereka. Kutarik agar mendekat padaku. Mereka mendekat dan mulai mencium pipiku.
Kembali adegan seperti di kebun tadi terjadi lagi. Keduanya; Silva di kanan, Silvi di kiri. Pengulangan?
Kini mereka langsung saja melucuti bajuku dan mereka menciumi mukaku. Seragam sekolah berupa kemeja dan celana panjangku sudah bertumpuk di lantai bersama pakaian mereka berdua juga. Kini kami hanya memakai pakaian dalam saja.
Kini aku bergulingan, berciuman di ranjang besar ini. Aku bisa merasakan semua nafsu kedua kembar identik ini dari rabaan, remasan, desakan dada, jepitan kaki dan hembusan berat nafas.
Mereka juga sudah mulai menyentuh penisku lagi yang masih terlindung di balik CD-ku. Terkadang dengan tergesa-gesa menyentuhkan gundukan gemuk selangkangan mereka pada gembungan CD-ku. Membuat batangku menggeliat bangun dipancing begitu.
Pertama sekali aku berhasil melepaskan kait bra Silvi lalu bisa kujangkau kait bra milik Silva. Keduanya kulemparkan ke kedua sisi ranjang dan segera sepasang dada kembar mungil tetapi bulat ini kuremas dan kupilin putingnya.
“Aahhhh...”
Keduanya semakin bergelinjang geli. Aku jadi semakin gemas mempermainkan bagian tubuh mereka berdua. Lalu dengan tergesa-gesa aku menelusupkan tanganku ke dalam CD mereka berdua dan menemukan kelembaban yang hangat.
Aku mempermainkan klitoris mereka yang sudah bengkak juga irisan-irisan daging sensitif yang berada di sekitar bukaan liang vagina yang tebal lagi lembut.
“Aww!”
Silva menjerit kaget kala untuk pertama kalinya lidahku menjamah satu putingnya. Ia berpandangan sesaat dengan Silvi seolah mengatakan pada kembarannya, ‘enak banget’. Keduanya saling mengerjabkan mata. Begitu juga yang dilakukan Silvi, menjerit kaget saat lidahku menyentil sebelah putingnya. Tubuh keduanya merinding dan nagih.
Karena merasa enak yang tak terperikan sampai menjerit kaget begitu, keduanya menjejalkan masing-masing dada mereka padaku. Jadi, deh dua payudara yang tidak terlalu gede itu ndusel-dusel mulutku minta jatah jilatan lagi. Tenang, girls. Ambil nomor antrian, ya? Lidah profesional akan mulai bekerja.
Mulutku sudah bermain secara bergantian mengulum dan menghisapi puting payudara mereka berdua. Liurku sudah berlumuran sampai menetes seperti juga keadaan vagina mereka yang basah kuyup.
Keduanya mengerang-erang seksi abis kala puting payudaranya kujilat, sedot dan kenyot. Saat puting Silva kuemut, dada Silvi kupilin. Dan begitu juga kebalikannya. Ada kalanya jilatan kulakukan lebar untuk menjangkau dua puting sekaligus. Kayak ngejilat es krim anyep gitu.
Seperti kejadian di pondok tadi siang, mereka kembali bersamaan mengeluarkan penisku dari pembungkus terakhirnya. Batangku yang sudah tegang sekali itu mereka kocok dengan cepat. Terasa licin karena mereka menggunakan cairan yang keluar dari kelamin mereka sendiri. Penisku sendiri juga sedikit mengeluarkan cairan bening di ujungnya.
Karena sudah gemas dengan vagina mereka yang kupermainkan dengan jari, aku mencondongkan pinggangku ke arah selangkangan Silva dan menyentuh sedikit perutnya.
Silva yang sedang mengocok batangku bersama Silvi lalu menariknya hingga mengarah pada bagian gemuk CD-nya. Terasa tebal dan empuk sekali.
Silva menekan-nekankan kepala penisku hingga aku bisa merasakan belahannya yang basah. Kemudian berputar-putar kecil lalu kembali ditekan-tekankan.
Mungkin mereka berdua mempunyai semacam kode etik giliran karena saat itu Silvi membantunya memainkan penisku di vagina Silva dan kini berganti pada milik Silvi.
Aku mencondongkan badanku ke arah Silvi karena batangku di tarik ke sana. Sama seperti tadi, ujung penisku bermain-main di daging gemuk dan empuk milik Silvi. Sama lembab dan panasnya. Enak sekali saat batangku ditekan dan diputar disekitar belahan vagina itu.
Kuharap mereka memang masih perawan...
Secara tiba-tiba, tanpa mereka bisa cegah, aku bangkit dari posisi rebah ini. Mereka hanya bisa memandangi muka dan penisku yang mengacung saat aku merenggut kedua pakaian pelindung terakhir yang mereka kenakan. Masih belum sadar.
Sepertinya giliran pertama adalah Silva...
Dengan cepat aku membuka kaki Silva hingga terkangkang dan pinggangku kuarahkan kesana. Tepat ke belahan berwarna pink yang terbuka. Tanpa pembatas CD lagi.
Hmp?
Ternyata Silvi menahanku dengan bangkit dan menghalangi dengan tubuhnya.
“Kami maunya barengan...” kata Silva.
“Kami mau merasakannya bareng...” kata Silvi.
“Tapi bagaimana bisa? Aku hanya punya satu...” kataku mengacungkan penisku yang kugenggam. “Aku bisa muasin kalian bergantian... Suer, deh...” kataku malah jadi penasaran. Udah kentang begini. Keduanya menggeleng bersikeras gak mau.
“Pokoknya kalian berdua ngerasa enak aja...” desakku.
“Kami gak mau tau...“ kata Silva.
“Pokoknya barengan...” kata Silvi.
Gadis kembar ini bikin pusing saja. Penisku kan cuma satu. Bagaimana bisa aku bisa memuaskan keduanya sekaligus dalam waktu yang bersamaan.
“Apa kau tidak punya ide...?” tanya Silva.
“Pakai tanganmu saja...” kata Silvi.
Pakai tangan? Apa mereka mau kalau pakai jariku saja. Jari tengahku yang terpanjang aja cuma 9-10cm. Masa mau ngeseks cuma pake jari? Apa bedanya sama coli?
Aku lalu berjongkok di depan mereka yang berbaring berhadapan. Kaki mereka dibuka saling bersilangan. Aku bisa melihat kedua vagina kembar ini dengan sangat jelas. Lalu kulirik ke bawah, pada si otong yang mengangguk-angguk protes segera diberdaya gunakan. *sori bos*
Pertama sekali aku menjilati keduanya bergantian. Mereka membantu dengan membukakan bibir vagina masing-masing dengan jari sendiri. Kalau masih cara oral begini, mereka masih mau giliran. Dasar keras kepala.
Gimana kalau aku memanfaatkan CHARM? Apa bisa mereka melawan pesona CHARM? Hajar satu-satu... Tunggu dulu. Itu ide buruk. Setelah pengaruh CHARM hilang pasti mereka akan menyadarinya belakangan. Gimana kalo abis itu keduanya marah-marah. Bisa berabe semua. Ini dua orang paling nyebelin kalau masalah kekeras kepalaan. Prinsipnya teguh bener. Sekeras batu akik yang gak laku lagi. Arrrhhh!
Setelah beberapa lama pembukaan liang uterus mereka semakin besar. Aku sudah bisa melihat selaput dara mereka samar-samar dari posisiku sekarang ini.
Sebenarnya sayang sekali kalau selaput hymen ini harus robek dicoblos hanya dengan jari doang. Seharusnya batangku yang perkasa ini yang bekerja. Tapi apa boleh buat. Keadaannya memang harus begini. *sori lagi bos*
Perlahan, aku memasukkan kedua ujung jari tengahku ke liang itu. Keduanya bergidik geli. Terasa hangat. Sempit banget. Kesat dan bergerinjal. Untung kuku jariku rajin dibersihin. Gak sampe medi-pedi, sih. Sedapatnya aja. Dapat tusuk gigi, ya pake tusuk gigi. Dapat lidi, ya pake lidi.
Ujung jariku yang masuk, kutekuk hingga menyentuh pinggiran uterusnya yang berkontraksi. Aku sedang berusaha untuk membuat liang mungil mereka ini terbiasa dengan besar jariku.
Terkadang aku menyentuh selaput fleksibel itu lalu kembali mundur dan bermain-main disekitar minora lagi.
Fun Fact​
(Selaput dara pada wanita perawan tidak sepenuhnya utuh. Ada beberapa celah dimana cairan seperti darah haid dan stimulan bisa melewatinya. Juga karena fleksibilitasan dan ketebalan selaput, ada kemungkinan bahwa ia tidak mudah robek pada penetrasi pertama. Fakta menyatakan bahwa untuk melakukan coitus minimal seorang pria harus mempunyai penis sepanjang 8 cm. Karena itu, ada kemungkinan bahwa selaput hymen ini tidak robek. Bahkan pada beberapa laporan menyatakan, seorang wanita baru kehilangan keperawanannya pada saat melahirkan.)
--------​
Beberapa lama aku begitu sampai mereka berdua tidak sabar dan memaksakan jariku masuk dengan tangan mereka. Kedua tangan mereka memegangi pergelangan tanganku—mendesak tanganku hingga hasilnya, seluruh jari tengahku yang sepanjang kurang dari 10 cm itu terbenam seluruhnya.
Sepertinya aku merobek selaput dara itu!
Aku mengetahui itu karena aku bisa merasakan katupan kecil seperti menembus lapisan tipis di jariku. Semoga aku tidak mengenai pembuluh darah.
Aku hanya bisa memandangi wajah mereka berdua yang meringis perih sementara aku diam dengan jariku di vagina mereka.
Silva dan Silvi mengapit tanganku saat kedua kaki mereka dirapatkan dengan erat karena perih. Kedua jariku masih didalam. Tak rela mereka lepaskan. Tubuh keduanya bergoyang-goyang sebentar.
Apa? Orgasme? Bagaimana mungkin mereka bisa mendapatkannya saat merasa perih?
Terasa basah... Mungkin karena ini. Karena tidak tahan dengan pedihnya, mereka berdua jadi kelepasan dan tak sanggup menahan berbagai ekspresi perasaan ini. Jadi orgasme. Mungkin kali, ya?
Jariku jadi basah di dua liang ini. Saatnya kembali bekerja dengan apa yang aku paling bisa. Membuat mereka puas.
Awalnya memang perlahan dan lembut. Tetapi semakin lama mereka semakin keras melenguh keenakan karena permainan jariku di liang mereka berdua. Aku merojokkan jari tengahku dengan cepat sekarang.
Lalu terasa kalau mereka menginginkan yang lebih. Aku menambahkan satu jari hingga jari telunjukku kini ikut masuk dan bergerak maju mundur.
Rasanya aku sudah merobek semua selaput dara mereka berdua karena aku tidak bisa mengendalikan dengan pasti jariku yang bergerak cepat di tempat yang sama. Tapi mereka sama sekali tak merasakan sakit lagi.
Hanya ada suara senang kedua gadis kembar ini. Sangat menyenangkan sekali mendengar suara yang terdengar kompak. Bersahut-sahutan mengiringi dorongan masuk keluar dua jariku.
Tapi akan lebih sangat menyenangkan kalau aku bisa memasukkan penisku... Tapi mereka hanya mau kalau aku bisa melakukannya sekaligus pada mereka berdua.
Bagaimana kalau pada saat begini, saat mereka sedang keenakan dengan jariku, aku memasukkan penisku. Harus dengan gerakan yang cepat supaya salah satu dari mereka tidak bisa menghindar atau menghalangi.
Perlahan aku bangkit dari posisi jongkokku. Penisku sudah berdenyut-denyut ingin minta dimasukkan. Sudah ngaceng banget-banget. *sabar bos*
Silva sasaranku... Dengan cepat aku mencabut kedua jariku di vagina Silva (pada Silvi tetap) dan langsung kutempelkan kepala penisku di bukaan daging gemuk itu.
“AWW!” jerit keduanya serentak.
Aku sendiri jadi kaget dan urung meneruskannya.
Keduanya beringsut mundur dan menutupi vagina mereka yang memerah. Beringsut mundur dengan ekspresi marah. Jariku yang seharusnya masih di vagina Silvi terlepas.
“Kami udah bilang!...” kata Silva.
“Kami mau barengan!...” kata Silvi.
“Maaf... maaf... Tapi aku sudah gak tahan lagi... Aku harus memasukkan anuku ini... Rasanya aku bisa gila kalau dikentangin terus...” sesalku.
“Gila aja sana ndiri... Pokoknya kami gak mau...” kata Silva.
“Gak mau kalau gak bareng-bareng...” kata Silvi.
--------​
Kedua gadis kembar ini benar-benar membuatku kesal. Aku bisa meledak kalau gak bisa memasukkan penisku yang sudah berdenyut-denyut minta masuk liang vagina ini. Kalau mereka bisa egois seperti ini, aku juga bisa.
“Kalau kalian gak mau... Kalian akan menyesal...” kataku pelan. Ancaman. Kalian gak tau apa yang bisa dilakukan pemuda kentang seperti aku ini. Nekad adalah intinya.
“Apa maksudmu?” tanya Silva.
“Apa yang kau bicarakan...” tanya Silvi.
--------​
“MARVELOCITY!” gumamku.
Dengan kecepatan yang tidak bisa diikuti mata biasa aku menghambur kearah Silva. Aku menepiskan tangan yang menutupi vaginanya dan memasukkan penisku dengan cepat ke liangnya.
Dengan cepat aku mengocokkannya sebanyak dua puluh kali lalu beralih pada Silvi.
Sama seperti Silva, aku menepiskan tangan yang menutupi daging gemuk itu dan masuk dengan cepat. Lalu dikocokkan sebanyak dua puluh kali juga.
Setelah itu aku kembali ke posisi berdiriku semula.
Dari aku aku mulai bergerak sampai kembali berdiri di tempat semula, hanya memakan waktu 4 detik saja.

Mereka berdua hanya bisa terbengong melihatku dalam gerakan cepat ARIES itu. Kalau dengan mata biasa, tadi aku terlihat hanya sebagai sekelebatan bayangan yang bergerak sangat cepat.
“Apa yang kau lakukan?” tanya Silva masih ternganga.
“Kau sangat cepat...” kata Silvi juga ternganga.
“Kalian lihat sekarang... meki kalian...” tunjukku pada selangkangan mereka yang terbentang setelah kumasuki dengan cepat tadi.
Kami bertiga melihat dengan jelas bagaimana lubang yang tadinya sangat sempit bahkan dengan dua jariku, menganga membentuk liang seukuran diameter penisku lalu perlahan menutup rapat kembali.
“Apa!” kaget mereka serentak.
Cuuuuusshhhhhhh!
Pinggang keduanya mengejang seiring dengan datangnya lagi orgasme. Orgasme ini sungguh mengejutkan karena datang setelah beberapa saat disentuh. Bahkan tanpa benda apapun di dalamnya.
Keduanya terengah-engah menikmati sisa orgasme itu sementara aku masih berdiri tepat didepan mereka dengan penis mengacung tegang.
“Kalian bisa merasakannya hampir bersamaan kalau kulakukan dengan sangat-sangat cepat... Bagaimana menurut kalian?” usulku.
“Bersamaan?” pikir Silva.
“Benarkah?” tanya Silvi.
“Ini salah satu kekuatanku... Kecepatan tinggi dari ZODIAC CORE pertama yang kudapat, ARIES...” jelasku.
“Dengan ini aku bisa melakukan banyak hal dengan sangat cepat... Bahkan dalam ngeseks... Kalian lihat, kan?” sambungku.
“OK... Teruskan...” kata Silva membuka kembali kakinya yang tertutup. Bagus ia terpancing.
“Tapi kalau tidak terasa bersama... kami berhenti...” kata Silvi juga membuka kakinya. Yang ini juga kena strike.
--------​
Bagus... mereka, kan tidak bisa melihat dengan jelas aku bila bergerak dengan cepat...
Aku lalu kembali menggunakan kekuatan ARIES dalam menyetubuhi Silva. Kali ini dengan kecepatan yang lebih cepat dari yang tadi hingga dalam 2 detik aku melakukan 50 kali kocokan di liang Silva.
Di sini keuntungan menggunakan MARVELOCITY ARIES. Tubuhku yang mengabur karena gerak cepat yang tidak akan bisa ditangkap oleh mata biasa. Jadi saat aku sedang memuaskan diri di liang Silva, aku menggunakan tiga jari tangan di liang vagina Silvi.
Karena cepatnya mereka berdua tidak akan mengetahui perbedaan penis atau jariku yang sama besar. Mungkin berbeda panjang. Tapi mereka tidak mengeluh, kok.
Dengan begitu aku bergantian dengan cepat memasukkan penisku tiap 50 kali genjotan.
Yang hebatnya dalam kecepatan super tinggi ini, aku melihat semua gerakan di sekitarku seperti melambat. Sehingga aku bahkan sempat mengira bahwa semuanya yang melambat bukan aku yang bertambah cepat.
Aku jadi bisa melakukan 50 kali kocokanku di liang masing-masing cewek kembar ini. Dengan lambat aku bisa melihat mereka bergerak, bergelinjang dan mengaduh keenakan.
Sudah berapa kali aku melakukan giliran pada mereka berdua? Kalau dihitung dengan benar saja, tiap orang satu giliran mendapat 50 kali kocokan. Bila sampai sekarang aku sudah melakukan 10 kali giliran pada masing-masing mereka berarti 10 x 50 x 2 = 1000! 1000 kali kocokan!
Gila! Sudah 1000 kali kocokan aku belum merasakan apa-apa? Terasa geli akan nembak aja belum. Apa ini pengaruh kekuatan kecepatan ARIES yang juga mempengaruhi rangsangan?
“Hh... hh... Kenapa berhenti?” tanya Silva.
“Teruskan...hh... kami suka begini...” kata Silvi.
“Aku harus berhenti menggunakan MARVELOCITY waktu beginian... Aku akan lama sekali nembaknya...” kataku.
“Ini, kan baru sebentar...” kata Silva.
“Kami baru aja merasa enak...” kata Silvi.
“Iya... bagi kalian sebentar... Tapi aku sudah 1000 kali goyang, tau?” kataku.
“1000 kali goyang?” tanya Silva.
“Mana kami tau itu..” kata Silvi.
“Makanya aku mau berhenti pake MARVELOCITY... Kalau kalian gak mau aku masuk satu-satu... Ya udah... Aku mau coli sendiri aja...” kataku. Capek, kan?
--------​
Didepan mereka aku berdiri dan mulai mengocok penisku sambil menutup mata. Masih ada sisa cairan pelumas dari mereka berdua hingga terasa licin dan sedikit enak.
Mereka memandangiku. Terutama penisku. Aku tak perduli apa yang mereka pikirkan sekarang. Yang penting aku harus nembak secepat mungkin. Kentang gini...
Ini dia... Mm?
Aku bermaksud menembakkannya ke arah mereka saja. Ke tubuh, muka, dada, kalau beruntung kena vagina mereka. Tapi sesaat aku akan memuntahkan cairan kental yang banyak itu, aku melihat keduanya berjongkok di depanku. Mulut terbuka...
Langsung saja aku menembakkannya dengan menyebar ala Shotgun hingga keduanya bisa menampung spermaku yang meluncur kencang dari ujung kepala penisku di mulut mereka.
Nyam... nyam... Keduanya menikmati dan menelan semua rasa spermaku yang putih kekuningan.
“Rasanya enak juga...” kata Silva.
“Asin dan gurih...” kata Silvi.
Keduanya membersihkan sisa yang menempel di pipi sendiri dan ujung penisku dengan tisu. Bersih. Kuhempaskan tubuhku di ranjang si kembar ini. Nyaman dan empuk
 
Bimabet
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd