Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Quest

Bimabet
asik, udah mulai kritis, bahas masalah pekerja pabrik,

dibandingin nunggu ss nya entah kenapa lbh nunggu pemilik zodiak selanjunya. hehe
 
Et dah malah ngerumpi......
 
Wahhh sekarang jadi cepet dapet cewenya ya dan normal lgi didunia nyata ga di dunia aneh"...kirain bakal di dunia apa gitu
 
Isu sosial dalam ceritapanas

Kerennnn

:kretek: sambil nongkrong di warteg depan boxindo ahh .. kali aja bisa ketemu Titik..
 
Gan.. Pernah nonton film Avatar, yg ceritanya tentang invasi planet bumi ke planet lain, Dimana di situ dikisahkan kalo mau bertemu penduduk situ di buatkan avatarnya dulu, nah bang eros kan bisa buatin boneka seandainya satria ketemu sama makhluk alien tsb....
 
--------​
Saat pergi kerja jam 22.30, aku tetap mengikuti mereka. Aku beralasan ingin tahu lokasi pabrik karton itu. Sepeda motor butut itu tetap kutinggalkan diparkir di depan rumah kost itu. Nanti akan kuambil lagi.
Melewati gang kecil di pemukiman penduduk yang walau sudah larut masih tetap ramai. Berkumpul di sudut-sudut gang atau di warung-warung.
Melewati batas perumahan, kami langsung berada di area industri yang luasnya ratusan hektar ini.
Daerah ini juga masih ramai. Ada beberapa bus antar jemput karyawan yang berseliweran. Beberapa sepeda motor juga melintas. Ojek sepeda motor nongkrong di perempatan jalan. Cukup ramai karena ini masih jam kerja di kawasan industri.
Nining menunjuk sebuah bangunan panjang yang merupakan pabrik tempatnya bekerja. Boxindo.
Luasnya sekitar 10 hektar. Ada 6 rabung atap yang bercat biru sebagai bangunan utama pabrik. Pada bagian depannya adalah kantor sebagai tempat manajemen pabrik berada. Dilingkupi pagar dari besi galvanis yang mengitari pabrik ini.
Beberapa pos security ada di tiap gerbang masuk yang dijaga beberapa orang satpam.
Puluhan orang yang menunggu giliran masuk nampak berkerumun di depan gerbang utama. Ada empat warna menyolok seragam yang terlihat. Berwarna hitam, warna biru, warna hijau dan kuning.
Belakangan Nining memberitahu kalau baju berkerah yang berwarna hitam adalah bagi staf produksi. Seperti warna baju yang sedang dikenakannya. Kaus berwarna biru adalah untuk karyawan biasa. Jumlahnya tidak terlalu banyak. Kaus yang berwarna hijau adalah untuk karyawan harian lepas (harlep). Seperti yang sedang dikenakan Sari dan Titik. Jumlahnya yang paling banyak. Nantinya aku juga aku akan memakai seragam itu. Dan kaus yang berwarna kuning adalah untuk karyawan borongan. Pemakainya kebanyakan adalah kaum wanita.
Tepat pukul 23.00, terdengar suara bel tanda berakhirnya jam kerja bagi shift 2 dan dimulainya shift 3. Shift kerja Nining, Sari dan Titik.
Berbondong-bondong para karyawan yang menunggu di luar pagar segera masuk...
“Eh... Satria... Kami masuk, ya?” pamit Nining.
“Ya... ya...” jawabku melihat mereka melangkah masuk.
“Gak pa-pa, kan ditinggal sendiri?” tanya Titik.
“Gak pa-pa... Paling nanti aku diculik orang...” candaku.
“Tau jalan pulangnya, kan? Lewat jalan yang tadi aja... Lebih dekat...” ingat Sari.
“Iya ingat... Lewat sana...” jawabku.
Mereka sudah melewati gerbang dan menjalani pemeriksaan barang bawaan. Barang-barang berbahaya tidak diijinkan masuk ke lokasi pabrik. Seperti rokok, korek api atau mancis, senjata tajam dan barang-barang berbahaya juga tidak boleh. Sehingga bagi yang membawa tas harus rela diperiksa isi bawaanya.
Tapi kadang makanan atau minuman bisa juga melewati pemeriksaan kalau main mata dengan para satpam-nya.
Bagi karyawan pria, diperiksa oleh satpan pria. (Lebih mirip terlihat digeledah) Yang wanita diperiksa satpam wanita.
Kupandangi mereka hingga menghilang masuk pabrik dan mulai bekerja.
Depan pabrik ini masih ramai oleh karyawan shift 2 yang pulang. Jumlahnya hampir sama dengan yang baru masuk itu.

Ini saatnya aku mengaktifkan kembali HP-ku. Sejak dari makan bakso bertemu Nining, aku sudah mematikannya. Tidak mungkin orang kere sepertiku ini punya HP mahal seperti ini.
Wah... Banyak sekali Miss Call dan SMS...
Dari Hellen semua...?

Mas... ada kabar ttg Wira. Dia sdg di rmh sakit. Terluka krn diserang org tak dikenal.

Wira? Sudah lama aku tidak mendapat kabar atau melihatnya. Sudah dua bulan aku tidak berkonfrontasi dengannya karena perbedaan dunia. Dari akhir Agustus saat mencari VIRGO di dunia pararel MYTHRAL sampai akhir Oktober saat bergulat di kamar Hellen di dalam dunia digital QUEST FOR LOVE, mencari LIBRA.
Apa saja yang telah dikerjakannya dan apa yang telah terjadi hingga ada orang yang sanggup melukainya?
Orang sekuat Wira dengan ratusan SHINY GEMS miliknya ternyata bisa ditaklukkan oleh orang yang tak dikenal ini.
Siapa orang itu? Dia lebih kuat dari pada Wira... Apa ia juga lebih kuat dari pada aku?
Cepat atau lambat... aku juga pasti akan bertemu dengannya...
--------​
“Hei... Kau...” seru seseorang dari kerumunan beberapa lelaki yang sedang nongkrong di samping sebuah pabrik pengolahan kelapa sawit.
Aku berhenti berjalan. Nadanya tidak enak...
Seorang lelaki maju setelah turun dari sepeda motor miliknya.
Dengan tangan dilipat di dada, ia mendekatiku...

“Kau yang bersama Nining beli nasi goreng di warung mbak Iyah, kan?” tanyanya sedikit membentak.
“Benar... ada apa?” jawabku setenang mungkin.
“Kau tau Nining itu siapa, hah?” bentaknya lagi.
“Aku baru saja kenal...” jawabku jujur.
“Nining itu cewekku! Tau?!” bentaknya. Wah... Gawat ini.
“Tapi Nining bilang cowoknya ada di kampung...” jawabku mengingat perkataan cewek pemilik ZODIAC CORE SCORPIO itu tadi sore.
“Gak ada cowoknya di kampung... Aku cowoknya!” hardiknya mendorong dadaku kasar.
“Kalau abang cowoknya... ya udah... Jangan main dorong-dorong... Aku juga baru kenal Nining tadi siang...” jelasku sengit.
“Makanya jangan coba-coba dekati dia lagi... Kuhajar nanti kau...” ancamnya.
Aku tidak pernah takut gertak sambal seperti ini. Sudah terlalu banyak pertarungan berbahaya yang sudah kulakukan hingga hal begini tidak membuatku gentar sedikitpun.
Teman-temannya yang berjumlah 4 orang itu memprovokasi supaya ia menghajarku saja.
Heh... Beraninya hanya main keroyokan... Pengecut!
“Ingat itu... Sekali lagi kau kulihat mendekati Nining... Habis kau di sini...” ancamnya menuding-nuding mukaku. Aku mengangguk saja agar ia puas.
Selesai ia mengatakan itu, aku langsung berjalan lagi seolah tak terjadi apa-apa.
“Hei... Melengos aja! Kurang ajar kau!” hardiknya lagi meraih bahuku dan menariknya...
Ia terbanting! Kakinya terpeleset...
Teman-temannya segera berhamburan menyerangku...
Terasa dingin dan sejuk... Aku pernah merasakan ini sebelumnya...
Tiba-tiba di sekitarku dalam jarak radius 10 meter, aspal jalan telah membeku oleh kristal es.
Es?
Tanganku terasa dingin... UNDINE DROP!
Aku sedang memegang kristal es yang sangat kukenal. Ini adalah inti kekuatan UNDINE, Generals of Order kedua yang kami temukan di gua UNDINE dan menyamar menjadi Blizzard Ring untuk memata-matai perjalananku.
Kenapa bisa ada di tanganku?
Dengan bingung aku pergi dari tempat yang membeku itu. Meninggalkan kelima orang yang mengaduh kesakitan karena terpeleset licinnya aspal yang tertutup kristal es.

========
QUEST#08
========​

Dari hasil pemeriksaan Hellen, ditubuhku kini ada bermacam-macam core. Dua core milikku pribadi, XOXAM dan VOXA di tengah dadaku. Satu core pinjaman, ROSE DROP di telapak tangan kananku. ARIES di betis kanan. TAURUS di lengan kanan. GEMINI di bahu kiri. CANCER di pinggang kiriku. LEO di paha kiriku. VIRGO di pangkal paha kananku. LIBRA di iga kananku. Dan dua benda aneh di pergelangan tangan kanan dan kiriku.
Kalau yang di sebelah kiri berbentuk jalinan tiga tali bergelombang itu pasti L'Blenc yang menyamar menjadi gelang berbentuk kadal bersayap. Panjang gelombangnya cukup tinggi. 4000 Hz.
Sedang yang kanan sebesar 1512 Hz... Berbentuk seperti kristal es... UNDINE DROP! Benar-benar benda itu!
Bagaimana benda itu bisa berada padaku? Ini seperti L'Blenc yang mengikuti secara diam-diam dan menempelkan dirinya pada tubuh boneka peri-ku.
Sedangkan UNDINE DROP adalah data digital. Kemana ia bisa melekatkan dirinya pada tubuh organikku.
Hellen sampai pusing memikirkannya...
--------​
Esok harinya, setelah pulang sekolah, aku pergi ke rumah sakit dimana Wira sedang dirawat.
Sebuah rumah sakit mewah dengan pasien-pasien kaya dengan berbagai penyakit anehnya...
“Kamu teman Wira?” begitu tanya Mamanya saat aku minta izin masuk menjenguk pemilik ratusan SHINY GEMS itu.
“Benar, tante... Saya mau menjenguk Wira... Katanya dia diserang orang yang tidak dikenal...” kataku.
“Iya... Wah... Ternyata Wira punya teman juga... Ayo... masuk...” katanya mempersilahkanku masuk.
Di kamar VVIP itu hanya terdapat satu ranjang perawatan yang besar. Tetapi fasilitas seperti ini tak akan pernah dinikmati oleh pasien di kamar ekonomi. AC, lemari es, TV layar lebar, mini bar, sofa dan pelayanan 24 jam.

Wira
Wira sedang terbaring di ranjang itu. Kaki kanannya di gantung karena sedang digips. Bagian-bagian tubuh lainnya juga diperban.
“Wira... Temanmu menjenguk, nih...” kata Mamanya berseri-seri. Wanita seumuran mamaku ini terlihat sangat senang.
Apa anak ini tidak punya teman, ya?
Mamanya meningalkan kami berdua saja untuk ngobrol...
--------​
“Apa maumu datang kemari?” tanya Wira ketus.
“Aku hanya mau tau... keadaanmu... Bagaimana mungkin orang sepertimu yang punya 314 SHINY GEMS bisa jadi babak belur begini?” kataku senormal mungkin agar ia tidak tersinggung.
Ia diam saja...
“Karena... cepat atau lambat ia juga pasti akan bertemu denganku... Sepertinya kompetisi kita jadi bertambah berat dengan bertambahnya satu orang ini... Atau mungkin lebih...” sambungku.
“... Gelar GEM MASTER-ku jadi sia-sia saja...” gumamnya. Bagus ia mau bicara.
“Orang itu menghancurkan banyak SHINY GEMS yang sudah kukumpulkan dengan susah payah selama ini...” katanya kembali.
“Sekuat apa orang itu?” tanyaku penasaran.
“Aku juga tidak bisa membandingkan kekuatannya dengan apapun... karena saat menghajarku hingga begini... sepertinya ia belum mengeluarkan seluruh kemampuannya...” jelas Wira.
“SHINY GEMS terkuatku pun bisa dikalahkannya dengan mudah... Sepertinya ia juga memakai SHINY GEMS... dan core sekaligus...” katanya.
“Memakai SHINY GEMS dan core sekaligus?” kagetku.
“Benar... ia menggabungkan kekuatan SHINY GEMS dan core miliknya... Aku bisa merasakannya... Aku sempat melihat mahluk mirip core itu...” sambung Wira.
Siapa orang itu? Apa maunya?
Apa orang-orang mulai menyadari potensi kekuatan core setelah melihat semua core keluar saat bentuk Lord of Mighty-ku memanggil semua core untuk membantu?
Papa memang pernah bilang kalau orang-orang di dunia mungkin saja akan mulai meneliti masalah core ini. Ini bukan masalah yang main-main.
“Seperti apa core itu? Apa bentuknya seperti core biasa?” tanyaku penasaran.
“Aku hanya melihat sekelebat saja... Bentuknya tidak biasa seperti milik manusia normal... Seperti gabungan gajah dan traktor... Atau apalah itu...” katanya.
“Gabungan gajah dan traktor?” aku membayangkan bentuk yang sangat aneh sebagai bentuk core kuat.
“Kalau kau bertemu dengannya... lebih baik kau segera menyingkir... Atau kau akan berakhir seperti aku ini...” pesannya. Lebih mirip sebuah peringatan.
“Heh... Baiklah... Kalau bisa aku akan menyingkir... Tapi setidaknya sampai semua pencarianku selesai... Kalau ia mengganggu pencarianku... Aku terpaksa menghadapinya...” jawabku.
“Terserah padamu... Tapi jangan harap kalau core-mu dapat menghadapi orang itu... Ia sangat di luar kemampuan kita...” bahkan Wira sebagai GEM MASTER sampai mengatakan itu.
“Ngomong-ngomong... kau suka bunga, ya? Banyak sekali karangan bunga di meja ini...” tanyaku mengalihkan pembicaraan. Mungkin mamanya yang meletakkannya di sini agar ruangan ini lebih ceria oleh warna.
“Seseorang mengirimnya setiap satu jam sekali... Entah siapa orangnya?” jawabnya.
Aku melihat-lihat kartu yang disertakan di tiap karangan-karangan bunga itu.

Cepat sembuh. D

“Sepertinya seorang pengagum rahasia...” gumamku.
“Pengagum rahasia?” kata Wira mengulangnya.
“Ya... Apa kau tidak pernah merasa diperhatikan? Oleh seseorang...? Ini pasti cewek...” analisaku dari tulisan tangannya. Tulisannya cewek banget. Semua kartu itu ditulis oleh orang yang sama.
“Heh?” ia terlihat sangat kaget. Wajahnya terlihat tegang.
“Kenapa? Kau ingat seseorang yang menaruh hati padamu?” tanyaku hampir tertawa. Kenapa anak ini?
“Gak... gak ada!” ia membuang mukanya ke arah jendela.
--------​
“Apa kata dokternya, tante?” tanyaku pada mama Wira.
“Ah... tidak apa-apa... Ia anak yang kuat... Lagipula ia sudah sering terluka seperti ini... Seminggu lagi pasti sudah bisa pulang...” jelasnya.
“Sudah sering terluka? Jadi Wira sering masuk rumah sakit seperti ini, tante?” kagetku. Sering terluka?
“Yah, lumayan... Tapi sepertinya ini yang paling buruk... Dua bulan lalu... kami harus memakai jasa SAR karena ia sedang terombang-ambing di laut selama 2 hari 2 malam... Juga luka-luka lainnya bulan-bulan sebelumnya...” jelasnya.
“Di laut? Apa yang dilakukannya di laut...? Ng?” aku baru ingat ketika aku berubah menjadi kucing, Wira pernah datang menyerbu rumahku dan dihadang oleh PUPPET MASTER bang Eros. MISTY DRAGON-nya luber dan ia diterbangkan oleh kak Sheila dengan Bayu Bajra hingga sampai terdampar di laut.
“O iya... Mama Tari kirim salam, tante...” kataku basa-basi.
“Tari... Tari... Oo... Jadi anaknya bu Tari...?” ingatnya. Ia lalu ngoceh minta maaf karena ia tidak bisa datang di perkumpulan penyayang binatang karena harus pergi ke Monacco saat itu dan diwakilkan oleh Wira.
“Jadi sejak saat itu kalian berteman, ya?” korek mama Wira, Tante Theresa ini.
“Sebelumnya juga kami sudah saling kenal, tante...” jawabku semanis mungkin. Aku tidak mau menjelekkan nama keluarga atau Wira sekalipun.
“Wah, tante senang sekali... Selama ini Wira tidak pernah punya teman loh... Ia senangnya sendirian saja...” cerocos wanita cantik kaya khas kaum borjuis itu.
“Tidak pernah punya teman... Trus bunga-bunga itu dari siapa, tante?” korekku. Dengan begini aku bisa tahu sedikit pribadi salah satu rivalku itu.
“Tante juga tidak tau... Suster membawakannya tiap satu jam sekali... Katanya seseorang menitipkannya agar diserahkan pada Wira...” ingatnya.
“Mungkin juga itu salah satu teman Wira, tante...” katanya. Wajahnya kembali berseri-seri senang. Ia sangat senang kalau anak semata wayangnya itu punya teman. Dua teman.
--------​
Saat turun dari lantai 8 ruang VVIP itu dengan lift...?
Dewi sedang berbicara dengan petugas resepsionis rumah sakit ini dengan seikat bunga.
Lalu ia menyerahkan bunga itu dan diterima oleh wanita resepsionis itu.
“... D?”

“Jadi elo, Wi... Pengagum Rahasia si Wira itu?” kataku saat aku berdiri di belakangnya.
“Satria...” kagetnya bukan main. Mukanya sampe pucat.
“Apa tujuanmu mengirim begitu banyak bunga? Elo suka sama anak itu?” cecarku.
“Ng... Sini...” saudara kembarku ini menarik tanganku ke lobi rumah sakit, tempat beberapa orang juga sedang duduk menunggu.
“Ayo... katakan... Apa tujuanmu...?” tanyaku.
“Aku... aku suka padanya, Satria...” kata Dewi pelan.
“Wi... Wi... Gitu aja malu... Memang kenapa kalau elo suka padanya?” kataku hampir tergelak melihat kelakuannya.
“Tapi, kan kalian musuhan... Masa’ aku bisa suka sama musuhmu...” sambungnya masih dengan nada pelan.
“Itu gak masalah... Yang musuhan, kan aku... Bukan kalian...” kataku menenangkannya. “Tapi bagaimana kau bisa suka sama anak itu? Aku penasaran...” tanyaku.
“Ng... Aku juga tidak tau... tapi sejak Perkumpulan Penyayang Binatang itu... aku selalu memikirkannya... Dia begitu cuek dan misterius... Aku jadi suka...” jelasnya menunduk.
Memang. Waktu itu, Dewi yang maju untuk mengorek keterangan saat Wira dan pemilik Leonny, Samantha sedang berbincang. Ternyata saat itulah Dewi bisa tertarik pada Wira.
“Trus... Kenapa sembunyi-sembunyi? Langsung aja datangi anak itu...” kataku.
“Ah... Masa cewek harus nembak duluan... Biar dia agak penasaran dikit... Nyari, kek... Apa, kek... Dia, kan orangnya misterius gila...” elak Dewi.
“Terserahmu-lah... Paling-paling... nanti elo sendiri yang yang nantinya penasaran... Jangan nangis kalau nanti ia mengira kalau bunga itu dikirim cewek lain... Mungkin cewek yang diam-diam disukainya... atau cewek cantik di depan rumahnya... Bisa siapa aja... Karena ia tidak mengira kalau cewek yang hanya ngobrol sebentar dengannya... elo... yang mengirim bunga...” kataku.
“Biarin...” Dewi melengos tak perduli.
“Apalagi elo pake inisial D... Itu bisa jadi nama cewek mana aja... Bisa Desy, Deona, Deborah, Dista, Dedi, Dendeng... Banyak...” ejekku. Ia melangkah pergi dan keluar dari rumah sakit ini tak perduli.
Aku melihatnya mengacungkan jari tengahnya setelah ia menggeber Corvette kuningnya dan keluar dari parkir rumah sakit.
“Kenapa lagi? Masih marah?” jawabku saat Dewi meneleponku. Terdengar musik ringan dari car audio-nya.
“Iya... Eh... Elo jangan cerita siapa-siapa! Awas!” ancamnya.
“OK... OK... Rahasiamu aman padaku...” pastiku. Kustarter mobilku untuk pulang.
Aku berencana untuk meminjam kembali sepeda motor bang Sarbini, tukang kebun di rumahku untuk melamar pekerjaan di pabrik karton Boxindo lewat bang Samiran, makelar tenaga kerja yang juga tukang bakso.
--------​
“Mas... untuk apa, sih pakai sepeda motor jelek punya abang sampai malam begitu...? Apa tidak malu?” tanya bang Sarbini ketika kuminta pinjam lagi sepeda motornya.
“Ada sedikit bisnis, bang... Kalau aku bawa Jaguar... bisa gak tembus proyeknya...” kataku.
“Proyek apa, sih, mas? Kok mesti pakai sepeda motor butut ini... Itu yang agak bagusan... punya bang Yamin... sepeda motor sport...Lebih keren...” tunjuknya pada sepeda motor milik satpam penjaga rumah ini.
“Terlalu bagus, bang... Ini sudah pas...” kataku.
“Atau mau abang carikan sepeda motor begini... tapi yang lebih bagus... lebih kinclong... mesinnya juga sudah diserpis abis...” tawarnya. Ia lalu nyerocos tentang beberapa sepeda motor klasik milik teman-temannya yang setua miliknya dan dimodifikasi sehingga terlihat menarik.
--------​
Semua syarat-syarat untuk melamar pekerjaan itu sudah kusiapkan. Termasuk sebuah foto kopi KTP palsu... Hellen yang membuatnya dari KTP milik bang Sarbini yang diganti nama, tanggal lahir, alamat dan pas foto-nya. Karena hanya foto kopi hitam putih tidak akan terlalu diperhatikan perbedaan rekayasanya.
Kuserahkan semuanya termasuk uang satu juta rupiah pada bang Samiran... Dipastikannya semua syaratnya telah kupenuhi dalam amplop coklat besar ini.
“OK... Semua udah lengkap... Nanti malam abang akan antar ini ke rumah Personalia pabrik itu... Kalau sekarang gak bisa... dia, kan sedang kerja...” jelas bang Samiran.
“Besok kau datang aja lagi tentang hasilnya... Kapan bisa mulai kerja... Sukur-sukur bisa langsung... Ya? Sekitar jam segini juga...” sambungnya.
“Baik, bang... Mudah-mudahan bisa langsung kerja...” kataku. Bagus ia tidak menanyakan hal yang macam-macam.
“Nining udah keluar, bang?” tanyaku pada abang tukang bakso yang selalu ngetem di depan rumah kost cewek itu.
“Udah... Tadi dia beli bakso tiga bungkus... Dia nanya juga apa kau sudah ngasih surat lamaran atau belum... Abang bilang... belum... Mungkin agak siang...” kisahnya.
“Mereka masih shift 3, kan, bang?” tanyaku.
“Iya... Masih... Pulang jam 7 pagi tadi... Kenapa?... Kau naksir, ya?” selidik bang Samiran.
“Ah... Abang ini... bisa aja... Cuma enak aja ngobrol sama dia, kok...” kilahku ketauan belangnya.
“Ya, kalau naksir, sih... sah-sah aja... Cuma banyak saingan... Cewek secantik dia itu banyak yang naksir... Abang dengar... mandor di pabriknya juga naksir... Entah udah berapa orang yang mau mendekati dia...” kisah bang Samiran.
“Abang aja kalau masih bujangan... juga mau, kok...” ia tertawa terkekeh.
“Tapi katanya dia udah punya cowok di kampung, bang...” kataku memancing info lebih banyak dengan tambahan pengetahuan yang kupunya.
“Gak ada itu... Biasalah perempuan suka ngomong gitu...” seru bang Samiran.
--------​
“Permisi... Selamat sore...” sapaku mengetuk pelan pintu kamar kost Nining, Sari dan Titik.
“Sore... Masuk-masuk...” terdengar suara mereka bertiga lengkap.
“Eh... Satria...” begitu sapa mereka begitu aku membuka pintu kamar yang memang tidak tertutup rapat.
Mereka bertiga sudah mandi dan berpakaian rapi...
“Bawa apaan, tuh?” begitu mata Sari tertuju pada kantong plastik yang kubawa.
“Pisang goreng... Mau, kan?” kataku membuka bungkusan itu lebar-lebar hingga aroma hangatnya merebak.
“Mau, dong...” jawab mereka senang sekali. Perempuan kalau masalah makanan paling selera.
--------​
“Udah ngasih lamarannya, Satria?” tanya Nining.
“Udah... Udah kukasih bang Samiran... Nanti malam dia mau ke rumah Personalia itu... Besok aku disuruh datang lagi... Siapa tau bisa langsung kerja...” jawabku panjang lebar.
“Nanti pilih shift kita aja... Supaya kita bisa sama-sama...” seru Titik semangat sekali.
“Shift malam?... Maunya begitu... Coba nanti aku minta shift malam...” kataku. Memang mauku begitu. Supaya aku bisa terus dekat dengan buruanku, Nining. Tapi biasanya karyawan baru akan dimasukkan pagi hari untuk melengkapi dokumen.
“Uangnya dapat dari temanmu?” tanya Nining sambil makan pisang goreng.
“Iya... minjam dari temanku...” jawabku senormal mungkin agar tidak ketahuan bohongnya. Padahal itu, kan uangku sendiri.
“Baguslah kalau begitu...” katanya terus mengunyah pisang goreng.
“Kudengar tadi malam kau berkelahi, ya, Satria?” tanya Titik. Waduh... kabar itu sudah sampai pada mereka.
“Kalian, kok tau?” jawabku biasa aja.
“Satu orang yang mengeroyokmu itu cerita ke orang-orang kalau mereka tidak menghajar satu orang karena aspalnya tiba-tiba jadi es... Mereka terpeleset dan jatuh... Rumah kost-nya gak jauh dari sini...” kata Titik.
“Itu pasti ulahnya si Masto... Dia memang paling sering mengganggu kami... Ngaku-ngaku pacar Nining lagi...” sengit Sari emosi sampe ngunyah pisang goreng dengan gemas..
Tapi Nining diam saja tak mengomentari ulah si Masto itu. Apa memang Masto itu pacar yang dimaksudnya kemarin?
“Kenapa aspalnya bisa tiba-tiba beku, ya?” heran Titik.
“Mungkin ada tukang es yang buang es-nya sembarangan...” sahut Sari.
“Mungkin ada setan es yang lewat situ... Hiihh...” sahutku.
“Mana ada setan es... Ini kan negara tropis... Yang ada itu kuntilanak, genderuwo, wewe gombel, tuyul, pocong...” tangkis Nining.
Kami tertawa-tawa geli.
--------​
Orang yang tadi malam itu bisa menjadi pengganggu yang berbahaya. Apalagi ia bisa selalu berada dekat dengan Nining.
Apa aku harus tinggal di sini juga, ya?
“Di sekitar sini... masih ada rumah kost gak, ya?” cetusku kemudian sesuai pemikiranku barusan.
“Kalau rumah kost tentu masih banyak... Satria mau kost di sini juga?” tanya Sari.
“Ya... Enggak di sini... Di sekitar sini...” kataku tersenyum.
“Kalau rumah kost itu... ada yang mahal... sedang... murah... yang murah sekalipun ada...” kata Sari menjelaskan.
“Aku mau yang murah sekali aja...” kataku antusias.
“Yang murah sekali itu... sebulannya hanya lima puluh ribu... Di kamar mandi itu...” tunjuknya ke arah kamar mandi bersama milik seluruh penghuni kost.
Mereka tertawa-tawa.
“Sori... sori... Bercandanya kelewatan, ya?” kata Sari melihat mukaku yang mesem.
“Kalau kamar kost seperti ini... biayanya Rp. 200.000 sampai Rp. 300.000 sebulan seorang... Satu kamar bisa diisi sampai 3 orang... Ada yang lebih murah... Rp. 100.000 sebulan... Tapi lebih pengap karena sekamar 5 orang... Di sana...” tunjuknya pada bangunan besar dan kumuh bertingkat 3 agak jauh di seberang rumah kost ini.
“Penghuninya semua laki-laki... Kurasa kalau Satria cocok... tinggal di sana aja...” kata Titik.
“Kalau di sini aja... Bisa gak?” candaku.
“O... bisa... Tapi ya itu... di kamar mandi itu...” jawab Nining.
Kami tertawa-tawa lagi.
--------​
Setelah mereka menghabiskan bakso makan siang mereka, bertiga mereka menemaniku melihat-lihat rumah kost yang dimaksud Sari tadi. Harus menyeberangi jalan dan berjalan kaki sebentar untuk mencapainya. Halamannya tidak luas terkesan kusam.
Memang tampak kumuh. Bangunan bertingkat 3 berwarna krem ini sudah terkelupas catnya dan berjamur. Banyak jemuran pakaian lelaki yang bergantungan di sana-sini. Bercampur baur bau yang aneh antara makanan basi dan pakaian basah yang bau apek.
Kami menemui penjaga rumah kost ini...
“Ada... Masih ada tempat di lantai paling atas... di nomor 36... Masih ada 2 tempat yang kosong... Kalau mau... bayar DP aja dulu... nanti keburu diambil orang...” seru orang tua yang terlihat sedang mabuk itu. Kebanyakan minum tuak dan bergadang.
“Bayar aja dulu DP-nya...” bisik Sari merapat padaku.
“Nih... pak... Saya bayar DP-nya... Setengah dulu...” Nining langsung menyodorkan uang kertas 50 ribu pada bapak tua itu. Segera disambarnya dengan cepat dan langsung ia membuat sebuah tanda terima di sebuah kwitansi kecil. Ia sepertinya selalu membawa benda itu beserta pulpennya. Diserahkannya kertas itu pada Nining.
Kejadian itu begitu cepat. Aku tidak bisa mencegah atau menghentikannya...
--------​
“Nah... kalau begini, kan sudah tenang... Tempat kerja dekat dari rumah kost... Tidak usah repot-repot lagi dengan tempat yang jauh...” kata Sari saat kami beriringan naik tangga terjal untuk ke lantai 3.
Beberapa orang penghuni tempat kost yang semuanya laki-laki ini memperhatikan kami. Ada beberapa yang menyapa karena kenal dengan cewek-cewek ini.
Bapak tua itu lalu menggedor sebuah kamar di lantai 3 bernomor 36 agar orang yang di dalam membuka pintu.
“Whooi! Buka! Ada yang baru masuk!” seru bapak itu. Kami berempat tidak ada yang berani dekat-dekat dengannya karena ia bau alkohol yang menyengat.
Terdengar suara grasak-grusuk di dalam kamar. Mungkin baru bangun tidur.
“Bentar...” seru seorang lelaki dari dalam.
Lalu beberapa saat pintu terbuka dan langsung saja pak tua itu ngeloyor masuk.
“Nah... Kau boleh pilih... tempat tidur atas itu... atau di bawah saja...” katanya menunjuk dua tempat. Tempat tidur kayu bertingkat dua yang masing-masingnya hanya bisa ditiduri satu orang. Dan sebuah kasur kucel dan tipis di atas lantai semen.
“Aku pilih yang di atas aja...” pilihku.
“Hei! Siapa perempuan ini?” bentak pak tua itu tak mendengar jawabanku. Memang ada seorang perempuan sedang duduk di tepi ranjang dan seorang laki-laki sedang berbaring.
“A... adikku, pak...” jawabnya sedikit gugup.
“Ngapain adikmu di sini? Mana temanmu yang lain?” tanya pak tua itu mengalahkan pertanyaan interogasi polisi.
“Aku lagi sakit, pak... Adikku sedang menjagaku... Yang lain sedang kerja, pak...” jawabnya.
“Oh... Ya sudah...” katanya puas dengan alasan lelaki itu. Jelas sekali bohongnya. Tak mungkin perempuan berpakaian kusut itu adiknya.
Paling juga pacarnya atau PSK karena aku mencium bau persetubuhan di sini. Bau semerbak vagina yang baru saja disenggamai dan sperma. Suara grasak-grusuk itu adalah suara mereka sedang membereskan pergumulan mereka sebelumnya.
Nining, Sari dan Titik tidak berani masuk kamar sumpek ini. Mereka hanya berdiri menunggu di depan pintu.

“Akhir bulan ini... kau harus melunasi yang setengahnya lagi... Ingat itu! Kapan kau akan pindah?” tanya pak tua itu saat kami menuruni tangga.
“Secepatnya, pak!” jawabku tak pasti. Aku masih belum tahu bagaimana aku bisa membagi waktuku antara kerja dan sekolahku. Juga di mana aku akan tingggal... Apa aku akan diizinkan mama untuk tinggal di luar? Di kamar kost begini?
--------​
“Serem, ya tempatnya?” kata Titik.
“Namanya juga kost cowok... Mana ada yang genah...” kata Sari mengomentari tentang tempat kost-ku itu.
“Tapi setidaknya aku bisa dekat dengan pabrik...” kataku.
“Ning... Nanti gajian... uangnya kukembalikan, ya?” kataku tentang DP uang kost yang telah dibayarkannya setengah itu.
“Gampang itu... bayar aja kalau udah ada duit...” kata Nining yang tetap berjalan kembali ke rumah kost-nya.
“Kalau gak betah di sana... main-main aja ke tempat kami...” tawar Titik.
“Iya... Nanti aku sering-sering ke tempat kalian, deh...” jawabku. Memang itu tujuanku memilih tempat kost yang dekat dari tempat kost Nining dan kawan-kawan. Agar aku bisa selalu dekat dan pada akhirnya aku bisa mengambil ZODIAC CORE SCORPIO pada tanggal 16 November nanti.
Kembali aku tetap bersama mereka sampai ketiganya pergi bekerja lagi. Aku dilarang ikut mengantar mereka karena khawatir aku bakalan dicegat orang seperti kemarin...
Aku iyakan saja permintaan mereka.
Aku lalu pergi dari rumah kost itu setelah mereka berangkat beriringan ke pabrik Boxindo.
Padahal aku mengikuti mereka dari jauh... karena aku mengharapkan untuk dicegat orang-orang kemarin. Aku mau menyelesaikan semuanya dengan cepat.
Kucari lagi ke tempat kemarin kami hampir berkelahi, di samping pabrik pengolahan kelapa sawit. Terlihat gerombolan itu. Lebih banyak dari kemarin. Sekitar 10 orang.
Kuparkir sepeda motor butut itu agak jauh dan aku mendatangi mereka...
--------​
“Kalian menungguku, ya?” kataku saat mereka telah mengepungku. Sungguh tak seimbang 10 orang lawan 1.

Masto
Orang yang kemarin mengaku sebagai pacar Nining bernama Masto itu maju. Kali ini ia memakai pakaian ormas kepemudaan. Ini yang diandalkannya...
“Kau berani sekali lewat sini lagi... sendirian lagi... Cari mati kau?” gertaknya. Bagi kebanyakan orang, ancaman seperti ini sungguh menakutkan. Dikelilingi 10 orang yang doyan berkelahi seperti mereka ini. Tapi hanya berani keroyokan...
“Ini bukan jalan kepunyaan mbahmu, Masto...” jawabku seenaknya. Aku memang ingin berkelahi sekarang.
Jawaban seperti itu memberiku hadiah sebuah bogem tangannya yang besar mengepal.
Aku tak bergeming kala rahangku dipukul. Tangannya terpental hingga ia hampir jatuh. Teman-temannya berteriak-teriak kalau aku mempunyai ilmu kebal.
Entah dimana mereka menyembunyikan balok-balok besar itu karena tiba-tiba saja bertubi-tubi pukulan kayu itu menghujaniku tanpa ampun. Beberapa batu besar juga singgah ke kepalaku.
“Sudah?” tanyaku. Aku jadi ingat puluhan... ratusan... mungkin ribuan pertarungan yang sudah kulalui di dunia digital. Ini tidak ada apa-apanya.
Kugeliatkan badanku untuk membersihkan sisa serpihan kayu dan batu yang hancur berantakan...
Aku hanya bisa melihat sekilas wajah-wajah ketakutan orang-orang itu melihat ekspresiku yang biasa-biasa saja. Tak merasa sakit. Mana bisa orang-orang ini menembus HARD SHELL SKIN TAURUS. Seluruh tubuhku menjadi sekeras Titanium! Adamantium! Logam apa yang paling kuat?
--------​
“Kau sebaiknya tidak mencampuri urusanku dengan Nining... Kau juga jangan lagi mengganggunya... Kalau tidak...” aku mengambil sebatang balok yang tersisa.
“Kepalamu bisa kuremukkan seperti ini... KRAK!” dengan sebelah tangan saja, kuremas batang balok itu hingga menjadi serpihan dan terbagi dua. Ini memakai CLAMP CANCER.
Ia mengangguk-angguk mengerti dengan roman muka sangat ketakutan. Apalagi semua teman-temannya sudah ngibrit lari kocar-kacir.
“Apa betul kau pacarnya Nining?” tanyaku kini dengan nada normal. Cengkramanku di kerah bajunya kulepas.
“Bukan... bukan... aku bukan pacarnya Nining...” jawabnya masih ketakutan.
“Aku tanya yang benar... Aku cuma mau tau... Apa betul kau pacarnya Nining...? Kalau iya... jawab iya... Kalau tidak... jawab tidak... Jujur saja...” tanyaku lagi merendahkan nada bicara.
“Tidak... Tidak... aku bukan pacarnya... Benar... Aku hanya mengaku-ngaku saja... Nining tidak pernah mau jadi pacarku walau terus kupaksa...” jawab orang bernama Masto ini.
“OK... Baiklah... Sebaiknya kita melupakan semua ini... Tapi kalau kau ikut campur lagi... sebaiknya kau ingat baik-baik balok itu...” kataku lalu melangkah pergi.
Kutepis pasir dan serpihan kayu yang masih terasa menempel di bajuku. Tercium bau pesing. Ada yang kencing rupanya...

========
QUEST#08
========​

Sepulang sekolah kembali aku ke gerobak bakso bang Samiran untuk menanyakan pekerjaan yang kulamar.
“Wah... kabar baik, Satria... Kau sudah boleh masuk nanti malam... Abang bilang kau mau masuk shift 2 atau 3 saja... Kebetulan ada posisi kosong di shift 3 di bagian Feeder... Orangnya baru keluar pindah ke pabrik lain...” jelas bang Samiran.
“Iya, bang?... Jadi nanti malam langsung masuk, bang?” senangku. Bagus rencanaku berjalan lancar. Aku bisa satu shift dengan TO-ku.
“Ya... Tapi nanti malam kau melapor dulu di Personalia... Kasih tau namamu... Nanti orang itu udah ngerti-lah kalau kau nanti kerja di bagian Feeder Flexo 6...” sambungnya.
“Feeder itu bagian apa, bang?” tanyaku baru sadar.
“Feeder itu... bagian masukkan bahan untuk dicetak di mesin... Kan bahan kartonnya masih polos... jadi nanti kau berdua sama orang satu lagi menyusun bahan untuk dicetak di bagian depan mesinnya...” jelasnya.
“Nanti juga kau diberitau cara kerjanya... Enggak susah, kok...” sambungnya lagi.
“Kerja memakai pakaian yang rapi dan sopan... Pakai sepatu juga... Kalau sekarang ini... udah pas!” katanya setelah mematut diriku.
Aku hanya memakai kaos berkerah berwarna biru tua, jeans hitam dan juga sepatu kets hitam.
“Makasih, bang...” kataku menyalami berterimakasih telah diuruskan untuk masuk ke pabrik Boxindo dengan selipan selembar duit warna biru. Pasti dia juga udah dapat komisi dari si Personalia itu.
--------​
Langsung saja aku mendatangi rumah kost Nining, Sari dan Titik untuk memberitahu mereka kabar bagus ini.
Mereka senang sekali mendengarnya. Lalu aku bertanya hal-hal seputar lingkungan pabrik seperti bagian-bagiannya dan orang-orang yang bekerja di sana.
Secara garis besar ada dua bagian atau departemen di pabrik karton itu. Pertama adalah Departemen Corrugating dan yang kedua Departemen Converting.
Bagian Corrugating adalah bagian dari sistem yang mengubah bahan mentah rol-rol kertas menjadi lembaran karton polos yang akan dikerjakan oleh bagian Converting.
Bagian Converting yang mengubah lembaran polos karton menjadi kotak lewat proses cetak, potong dan finishing.
Nantinya aku akan berada di Departemen Converting yaitu yang memasukkan bahan karton polos yang akan dicetak mesin bernama Flexo 6. Ada 8 mesin Flexo di pabrik itu. Mesin ke-7 dan 8 adalah mesin terbaru dan tercanggih. Baru beroperasi 2 bulan.
Menurut Nining, pabrik PT. Boxindo Mitra Abadi ini adalah pabrik karton terbesar di kota ini. Customer-nya banyak dari dalam dan luar kota. Menguasai pangsa pasar hingga 40% kotak karton. Bisnis yang besar.
--------​
Aku manggut-manggut membayangkan nanti malam akan mulai bekerja membanting tulang. Mengangkat bahan-bahan karton polos yang berat-berat itu.
“Kau tidak apa-apa, Satria?” tanya Nining. Suaranya pelan tapi cukup untuk kudengar.
“Ya...? Aku baik-baik saja... Kenapa?” ia tak kunjung menjawab. Duduk diam di belakang saat kubonceng untuk membeli makan malam ini.
“... Tadi pagi... Masto datang padaku... Ia kelihatan ketakutan sekali... Katanya kau mengancamnya agar jangan menggangguku lagi... Ia minta maaf karena telah menggangguku selama ini... Ia pesan agar kau tau... ia telah meminta maaf padaku...” kata Nining.
“Heh... si Masto itu... Ada-ada saja dia...” kataku sekenanya terus mengendarai motor butut ini.
“Kau bawa berapa orang untuk mengancamnya?” tanya Nining kini serius. Terdengar dari nada bicaranya.
“Aku sendirian saja... Dia aja bersepuluh dengan teman-temannya...” aku menjawabnya sungguh-sungguh kini.
“Sendirian... melawan sepuluh...?” suara Nining hampir tercekat. “Masto itu preman di kampung sini... Tidak mungkin ia bisa kalah sama satu orang?” Nining tak percaya.
“Dia tidak bilang, kan?... Berapa orang yang kubawa...? Karena aku tidak membawa siapa-siapa... Aku mendatangi mereka yang sedang menungguku di tempat kejadian es beku itu... Aku datang kesana setelah kalian pergi kerja...” jelasku.
Ia kini diam saja...
“Apa Sari dan Titik sudah tau masalah ini?” tanyaku.
“Tidak... mereka tidak tau...” jawabnya pendek.
“Bagus... Lebih baik mereka tidak tau...” kataku.
Dan setelah itu aku berusaha biasa-biasa aja dan lama-kelamaan Nining juga begitu. Di rumah kost-nya pun ia bersikap seolah tak pernah terjadi apapun.
Kami bercanda-canda lagi seperti biasa.
--------​
“Put... Malam ini aku sudah harus mulai bekerja...” kataku setelah sembunyi-sembunyi menelepon si Putri, saudaraku.
“Kerja? Jadi lo kerja di pabrik itu?” tanya Putri agak kaget mendengarnya.
“Ya, jadi...” jawabku.
“Elo... kaya’ gak pernah dikasih duit sama Papa aja... Berapa, sih gajinya...?” tanya Putri.
“Satu setengah juta sebulan...” jawabku.
“Satu setengah juta saja sebulan... Dapat apa uang segitu? Bajuku sepotong aja gak dapat...” katanya di sana. Satu juta lima ratus ribu bagi Putri sangat sedikit. Satu hari ia bisa menghabiskan lebih dari 5 juta hanya untuk shopping baju. Belum lagi yang lain.
“Ya... itu elo-lah... Pokoknya ini demi ZODIAC CORE SCORPIO... Kau pernah bilang, kan... aku harus melakukan apapun untuk mendapatkannya... Ini salah satu cara...” jelasku.
“OK... OK... Trus... Lo maunya apa?” ia mengerti juga.
“Tolong jelasin ke Mama tentang masalah ini... Kalau aku yang ngomong sendiri... takutnya Mama gak ngasih...” kataku sedikit memelas.
“Whoo... ho... ho... ho... Kalau itu aku juga nyerah, deh... Tak sanggup... Aku pernah minta izin sama Mama untuk tidak masuk satuuu hari aja sekolah untuk mendaftar Lomba Modelling... Ia marah besar... Katanya lebih baik aku tidak ikut Sekolah Modelling lagi aja... Apalagi ini... elo minta izin sekitar satu bulan, kan?” katanya.
“Abis gimana? Minggu depan... Kerjaanku akan masuk pagi... dari jam 7 sampai 3 sore...” jelasku lagi.
“Da-da... Aku gak kenal Satria... Nih ngomong sama Dewi...” katanya memberikan HP-nya pada Dewi.
“Wi?” kataku juga mohon bantuannya.
“Sori, Satria... Aku juga takut sama Mama kalau soal begituan...” tolaknya juga.
“Coba dulu... Apa perlu kusebari sama orang-orang kalau kau suka sama si Wira?” ancamku.
“Yah... elo... Jangan bawa-bawa masalah itu... Bang Eros... Bang Eros, kan yang biasanya menyamar jadi dirimu... Minta tolong dia lagi, deh...” usul Dewi.
“Bang Eros sedang persiapan ujian semester... Dia gak sempat... Aku gak sampe hati minta tolong dia terus... Coba dulu ngomong sama Mama... Awas kalau enggak... kusebarkan masalah si Wira itu...” ancamku lagi.
“Yah... elo... Eh... Batrenya udah mo habis... Tuh... tuh... sudah bunyi-bunyi... Da-da...” putusnya penuh akal bulus.
--------​
Sialan dua saudara kembarku itu. Saat penting begini tak ada yang berani menghadapi Mama.
Ini sudah hari Kamis... Jumat dan Sabtu aku akan tetap di shift 3 yang masuk jam 11 malam dan pulang jam 7 pagi... Lalu Senin-nya pindah shift 1 yaitu masuk jam 7 pagi dan pulang jam 3 sore... Gimana sekolahku?
Apa aku harus bolos sekolah aja? Memberanikan diri menghadapi hukuman Mama...
Atau...?
Membelah tubuhku dengan MULTIPLICITY?
Bukankah kekuatanku semakin besar sekarang? Mungkin saja daya tahan MULTIPLICITY sudah bertambah sekarang.
Kucoba saja...
--------​
“Eh... Sudah siap pergi kerja?” kataku melihat mereka bertiga sudah siap dengan seragam kerja mereka dan mengunci pintu kamar.
“Sudah... Ini udah jam 22.30, loh...” kata Titik dengan menunjuk arloji kecil di pergelangan tangan kirinya.
“Ayo...” ajak Nining dengan senyuman manis,
“Yuk...” kataku bangkit dan berjalan bersama mereka. Dimulai satu pengalaman berharga dalam hidupku. Bekerja. Hal yang nantinya akan menjadi bagian hidupku kelak.
Aku sadar, sebagai satu-satunya anak lelaki Papaku, aku-lah nantinya yang mendapat limpahan semua perusahaan yang saat ini sedang dipimpinnya.
Setidaknya, aku harus mempunyai pengalaman yang sebanyak-banyaknya tentang bekerja. Dan aku merasa kesempatan ini, walau hanya sebagai buruh kecil, akan sangat berguna nantinya bagi masa depanku.
--------​
Saat antre untuk digeledah barang bawaan, seorang wanita yang bekerja di sana memanggilku.
“Namamu Satria, kan?” tanya wanita cantik itu. Mungkin orang Personalia.
“Benar, bu... Saya mulai bekerja hari ini...” jawabku.
“Ya... Ayo ikut dengan saya...” katanya lalu jalan memasuki pabrik, ke ruang Personalia yang bangunannya agak menjorok keluar.
Aku duduk menunggu sebentar...
“Ini... kartu ini harus selalu kamu pakai dan bawa... Jangan sampai hilang... Karena kartu ini adalah alat absensimu... Lihat ada barcode di bagian belakangnya... Tiap masuk dan pulang... kamu gesek kartu ini di mesin itu...” katanya menunjuk antrian orang yang sedang melakukan absensi masuk bekerja pada sebuah mesin.
“Gesekan dari kanan ke kiri... artinya masuk kerja... Dari kiri ke kanan artinya keluar kerja... Gesek pelan sampai terdengar bunyi... tit...” jelasnya.
“Tadi saya sudah bantu menggeseknya untuk pertama sekali... Nanti pulangnya, kamu gesek lagi... Kalau gak ngerti... nanti tanya-tanya aja sama orang lain... Bisa, ya?” katanya.
“Bisa, bu... Sudah mengerti...” jawabku sambil menjepitkan kartu badge nama sekaligus alat absensi itu di dada kiriku. Meniru yang sedang dipakainya di dadanya yang montok...
“Tempatmu bekerja... Serti... Kemari, Ser...” panggilnya pada seorang yang sedang mengetik dengan komputer di seberang sana.
“Iya, bu?” setelah wanita bernama Serti itu mendekat
“Tolong kamu bawa anak baru ini ke Flexo 6... Dia bagian Feeder yang baru... Bilang sama mandornya... Pak Yanto untuk menjelaskan tentang pekerjaannya...” jelas ibu Dwi itu. (Aku tahu namanya dari badge nama yang dipakainya)
“Satria... kamu ikut dengan ibu Serti. Bekerja yang baik, ya?” pesannya lalu ia duduk di sebuah kursi dan menghadapi layar komputernya untuk bekerja.
--------​
“Sudah tau peraturan di sini?” tanya bu Serti ketika kami berjalan beriringan memasuki bagian dalam pabrik ini. Langit-langit bangunan ini tinggi sekali. Ada sekitar 6-7 meter.
“Masih sedikit, bu...” jawabku jujur.
“Kita mulai dari jam masuk... Tidak boleh terlambat... Shift 1 masuk jam 7 pagi dan pulang jam 3 sore... Shift 2 masuk jam 3 sore dan pulang jam 11 malam... Shift 3... Shift sekarang ini... masuk jam 11 malam dan pulang jam 7 pagi...” jelasnya.
“Kalau hari sabtu... jam 7 pagi sampai 12... jam 12 sampai 5 sore... dan jam 5 sore sampai jam 10 malam...” sambungnya
“Masalah kebersihan dan kerapian... Memakai baju yang rapi dan sopan, memakai sepatu... bukan sandal... Rambut tidak boleh gondrong atau panjang bagi laki-laki dan kalau wanita harus diikat... Bla... bla... bla...” celotehnya.
Di dalam pabrik, aku dibawa melintasi berbagai mesin besar yang berjejer rapi sepanjang lebar pabrik ini.
Orang-orang sudah sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Nampak orang-orang menarik tumpukan palet yang penuh berisi kotak yang sudah dicetak dan suara bising mesin produksi.
Ini yang ternyata namanya mesin Flexo. Ada delapan kelompok mesin itu sesuai namanya, Flexo 1 sampai Flexo 8.
Aku diperkenalkan dengan mandor Flexo 6 yang bernama pak Yanto. Bapak-bapak yang sudah berumur sekitar 50-an.
Ia memberi contoh bagaimana aku harus bekerja bersama seorang anggota Feeder lainnya.
Ia menjelaskan kalau aku dan temanku sesama Feeder itu harus memeriksa keadaan karton polos itu dengan cermat dan cepat. Jangan sampai ada terlewat bahan yang jelek atau rusak karena akan menghasilkan kotak yang jelek pula.
Juga kami harus memasukkannya dengan rapi dan lurus karena akan berpengaruh pada kestabilan kecepatan mesin.
Aku mengerti dengan cepat dan dengan cepat pula aku bisa bekerja sama dengan teman sesama Feeder yang bernama Hamid.
Kata Hamid, ia sudah 2 bulan kerja di sini dan temannya yang sudah keluar dan kugantikan ini sudah 4 bulan dan kini bekerja di pabrik keramik.
Kecepatan kami bekerja tergantung dengan kecepatan mesin. Kalau mesin bekerja dengan cepat, kami juga menumpuk karton polos itu dengan cepat. Saat pada cetakan berikutnya yang membutuhkan ketelitian tinggi, kecepatan agak diturunkan sehingga kami tidak terlalu cepat menumpuknya.
Lelah juga bekerja berat. Jam 3 pagi kami beristirahat selama 1 jam di kantin yang disediakan perusahaan. Untuk makan kami mendapat jatah satu porsi yang berbeda-beda tiap harinya. Hari ini menunya berupa sepiring nasi, ikan goreng sambal dan sayur bayam bening. Makanan buruh yang merana...
Nining, Sari dan Titik yang duduk berkelompok di sana memanggil-manggilku supaya ikut bergabung bersama mereka saat aku akan duduk bersama Hamid dan orang-orang yang bekerja di Flexo 6.
Aku memberi kode kalau nanti saja. Aku harus bersosialisasi dulu dengan teman-teman baruku ini.
Ketiga cewek itu agak kecewa...
Lezat juga makan makanan sederhana seperti ini saat habis bekerja berat. Orang-orang ini juga sepertinya begitu. Ada percakapan-percakapan ringan tentang pekerjaan dan juga masalah umum yang sedang terjadi di dunia.
“Kalian ikut, kan acara Out Bond itu? Udah daftar?” tanya Operator mesin bernama Paidi.
“Udah...” jawab hampir semua orang yang duduk di meja panjang ini.
“Kesempatan untuk refreshing... Jangan disia-siakan... Apalagi semua orang boleh ikut...” kata pak Yanto.
“Acara liburan ke puncak... Perusahaan biasanya setahun sekali membawa seluruh karyawannya untuk liburan... Katanya tahun lalu mereka ke pantai...” jelas Hamid mengetahui sebelum aku bertanya padanya.
“Semua boleh ikut?” tanyaku.
“Iya... Staf, karyawan... bahkan harlep dan borongan boleh ikut... Kan lumayan... bisa jalan-jalan gratis... Katanya nginap di hotel gitu...” jawab Hamid.
“Acaranya... kapan?” tanyaku.
“Dua minggu lagi... Pas ada tanggal merah hari Sabtu tanggal 11 November nanti... Jadi tidak terlalu lama libur yang menyebabkan produksi terhenti lama...Pergi Sabtu pagi dan Minggu sore sudah kembali...” jelas Hamid.
“Enak juga... Kau ikut, Mid?’ kataku.
“Tentu... Coba kau tanya Personalia... Mungkin yang baru masuk seperti kau bisa ikut...” usul Hamid.
Hmm... Ini kesempatan bagus. Pergi ke puncak yang dingin dan sejuk membuat semua orang bergairah dan bersemangat. Aku bisa membuat pendekatan yang lebih agresif di sana pada Nining. Siapa tahu aku bisa mendapatkannya di sana?
Selesai makan, orang-orang memanfaatkan waktu setengah jam itu untuk tidur. Tidur di meja atau mencari tempat yang nyaman bagi masing-masing orang. Hamid tidur menundukkan kepalanya di meja.
Aku pindah tempat duduk dan menuju tempat Nining, Sari dan Titik berada...
--------​
“Lancar?” tanya Nining begitu aku duduk di sampingnya.
“Yah... Lumayan...” jawabku.
“Kudengar ada acara ke puncak dua minggu lagi?” cetusku.
“Ya... Sudah tau? Satria ikut?” tanya Sari.
“Belum tau... Nanti aku mo nanya sama Personalia dulu... Apa orang baru sepertiku juga bisa ikut?” ujarku.
“Asik, loh, Satria... Tahun lalu aku ikut yang ke pantai... Kami bermain-main di laut sepuasnya...” kata Titik.
“Dua tahun lalu ke puncak juga... Hanya kudengar kali ini beda lokasi... Agar tidak bosan katanya...” kata Nining.
“Wah... Aku jadi kepingin ikut... Mudah-mudahan saja aku bisa ikut, ya?” kataku. Aku jadi teringat waktu pergi bertiga dengan Silva dan Silvi ke puncak, sebuah rumah wisata mungil di kaki bukit yang sejuk. Saat aku mencari GEMINI. Kami bercinta habis-habisan di sana.
Setelah bel tanda istirahat selesai, kami kembali bersama-sama masuk ke pabrik dan meneruskan pekerjaan hingga jam 7 pagi. Usai sudah hari ini. Hari pertamaku kerja. Hari ini sudah hari Jumat.
--------​
“Kau masuk sekolah jam berapa, Satria?” tanya Nining saat kami telah keluar dari gerbang utama pabrik, berganti shift kerja dengan shift 1.
“Jam 07.15...” jawabku.
“Ini sudah jam 07. 05... Gimana kau bisa ke sekolah dalam waktu 10 menit...?” seru Titik menunjuk arlojinya.
“Hah?... Mati aku...” kontan saja aku lari meninggalkan mereka bertiga...
Apa yang harus aku lakukan. Tadi malam sebelum berangkat kerja, aku telah membelah tubuhku dan hasil ganda tubuhku itu telah pulang duluan dengan mengendarai sepeda motor butut milik bang Sarbini, tukang kebun di rumahku.
Aku sangat panik karena lupa untuk mengendalikan diriku sendiri. Tapi aku juga masih bisa mengendalikan diri dengan tidak mempergunakan kekuatan apapun saat ini. Masih terlalu banyak orang yang bisa melihatku lari dengan jelas pagi-pagi begini.
“XOXAM... Apa yang sedang dilakukan tubuh gandaku?” tanyaku pada core hitamku itu. Ia bertindak sebagai mata jauhku sekarang.
“Ia sedang naik mobil bersama Putri dan Dewi untuk pergi ke sekolah...” jawab core andalanku yang sering kupakai cakarnya.
Kuhentikan langkah lariku...
Berhasil... eksperimenku berhasil...
Tubuhku sekarang hanya menggunakan core XOXAM sedang tubuh gandaku memakai core VOXA. Core pribadi keduaku itu bertindak sebagai tubuh penggantiku sehingga aku bisa berada di dua tempat pada waktu yang bersamaan dengan bantuan MULTIPLICITY GEMINI.
Tubuh dengan core VOXA sudah beristirahat cukup tadi malam dengan tidur nyenyak sementara aku yang bekerja di Flexo 6 merasa lelah... Aku harus istirahat... Harus jaga kondisi.
Aku pergi ke tempat kost kumuh berlantai 3 itu.
--------​
“Pak... Ini... sisa pembayaran uang kost saya yang setengah lagi...” kataku pada bapak penjaga kost kumuh itu.
Ia melihatku sebentar dan kemudian uang Rp. 50.000 itu sudah berpindah tangan. Aku mengantongi tanda bukti pembayaran berupa kwitansi kecil. Walau mabuk, ia masih cukup sigap dan nalar untuk masalah uang. Pagi-pagi begini sudah mabuk...
Kurebahkan tubuhku di tempat tidur atas bertingkat dua ini. Baunya aneh tapi aku tak perduli. Kamar ini kosong ditinggal semua penghuninya bekerja. Sehingga aku bisa tidur dengan nyenyak...
 
Gan.. Pernah nonton film Avatar, yg ceritanya tentang invasi planet bumi ke planet lain, Dimana di situ dikisahkan kalo mau bertemu penduduk situ di buatkan avatarnya dulu, nah bang eros kan bisa buatin boneka seandainya satria ketemu sama makhluk alien tsb....

kebetulan bgt tadi baru nonton hasil donlotan mkv avatar itu. mata ane mlototin dada si cewek biru itu terus berharap bisa ngeliat nipple-nya mumpung resolusi-nya bagus. tp gak keliatan. sementara yg cowok kliatan. emang ane maho? malah curcol lagi.
 
Bimabet
kebetulan bgt tadi baru nonton hasil donlotan mkv avatar itu. mata ane mlototin dada si cewek biru itu terus berharap bisa ngeliat nipple-nya mumpung resolusi-nya bagus. tp gak keliatan. sementara yg cowok kliatan. emang ane maho? malah curcol lagi.

Maksud ane, gimana kalo satria berburu zodiaknya alien :D

Tapi aliennya yg seperti di avatar itu....

Kalo menurut ane sih alien seperti itu masih bisa diterima...

:Peace:
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd