Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Quest

SIDE QUEST

Side Quest adalah kumpulan kisah-kisah sampingan Satria selama melakukan Quest utama dalam mengumpulkan kedua belas ZODIAC CORE guna memanggil GOD MAESTER CORE untuk menyembuhkan ingatan Carrie.

Side Quest ini urutannya sebisa mungkin disusun
menurut waktu karena kadang kisahnya tidak berhubungan langsung dengan kisah utama Quest Satria. Kadang juga bersinggungan.

Kebanyakan Side Quest ini dilakukan oleh Satria saat melakukan MULTIPLICITY ataupun DOUBLE dengan pemakaian CORE pribadi VOXA di dalam diri penggandaanya. Ini dikarenakan Satria lebih sering melakukan dual personality agar pencarian ZODIAC CORE bisa berjalan lancar dan kehidupan normalnya sebagai seorang pelajar terus bisa berjalan seiring sejalan seperti yang telah ditegaskan oleh mamanya atau akan mendapat hukuman yang belum bisa dibayangkannya.

Bagian ini bertujuan agar semua keseharian pribadi Satria yang lainnya (yang memakai VOXA) juga tercakup sewajarnya karena bagaimanapun ia adalah bagian dari Satria juga. Satria yang membagi dua tubuhnya harus menghadapi masalah terbagi duanya tenaga dan juga staminanya. Dan juga berbagai masalah lainnya yang kadang terlalu pelik untuk dipikirkannya sendiri tanpa bantuan orang lain.


SIDE QUEST FILE #01
Saturday, 29 October
Case File : April, Jessie, Aya, Silva & Silvi



Ulang tahunku sendiri jatuh pada tanggal 29 Oktober. Jadi misalnya ada seseorang yang punya kemampuan—melakukan TRIGGENCE padaku, semua koleksi CORE istimewa-ku akan bisa diambilnya hari ini. Lewat seks tentunya.
Atau ada cara lain selain itu? Aku juga kurang paham.
Diriku yang satu lagi yang memakai CORE XOXAM, sedang bersama Nining dan teman-temannya berencana untuk menikmati hiburan malam ini di sebuah pasar malam. Traktiran makan bakso dan menikmati kemeriahan pasar malam; hiburan khas pinggiran kota.
Sedang aku yang memakai CORE VOXA dengan pengaplikasian MULTIPLICITY ini sedang di sebuah private room karaoke bersama dengan April, Jessie, Aya, Silva, dan Silvi. Ada lima wanita yang telah membantuku atau memberikanku CORE istimewanya padaku.

April-Jessie-Aya-Silva-Silvi
Mereka memaksa ingin merayakan ulang tahunku tetapi tidak mungkin kulakukan sendiri-sendiri di waktu berbeda karena murni keterbatasan waktu. Semuanya memaksa harus tepat malam ini di hari ulang tahunku ini. Tidak di hari lain. Titik.
Setelah kuberitahu kondisinya, kalau ada total 5 wanita yang meminta hal yang sama dan tak satupun yang mau mengalah, akhirnya jalan ini yang harus kuambil.
Ruang luas private room karaoke ini cukup luas karena dapat menampung 25 orang sekaligus dan bertarif Rp. 2,5 juta per jam full service tidak termasuk makanan dan minuman.
Sebuah sofa melingkar dari bahan kulit lembut nan mewah ada di depan layar raksasa di tengah ruangan. Sebuah layar LCD pemilih lagu ada di meja depan sofa. Kami semua duduk di sofa itu.
Suasana kikuk sangat terasa di ruangan sejuk ini. Ini kali pertama mereka saling bertatap muka. Selama ini hanya pernah dengar nama atau lihat fotonya dariku. Praktis hanya yang jelas saling mengenal seperti Jessie dan Aya atau Silva dan Silvi yang punya teman bicara. Sisanya yaitu April tak mengenal siapapun selain aku.
Bukannya aku tak mengerti ini akan terjadi. Tapi mereka memaksaku hingga jadi begini. Padahal aku tahu, banyak yang mereka ingin bicarakan denganku. Mereka bahkan seolah memisahkan diri dan hanya berkutat di kelompoknya sendiri.
Kalau aku mulai dengan menemani April yang sendirian, bagaimana dengan yang lain. Bisa cemburu berat mereka.
“Em-eemm...” kataku berdiri di depan layar besar dengan sebuah mic wireless. Kucoba menarik perhatian semuanya kecuali April yang sudah tahu aku berdiri di depan karena ia tidak punya aktifitas lain selain bengong.
Semua mata tertuju padaku.
“Terimakasih semuanya... sudah meluangkan waktu... untuk datang ke acara ulang tahunku ini...” kataku memulai kata sambutan. Formal sekali? “Sori kalau sambutannya kurang meriah atau topi sama balonnya kurang...” kataku coba melucu ala Stand Up Comedy. Garing memang. Beberapa dari mereka tersenyum kecil.
“Aku bawa topi kertas sama balon... Tapi belum ditiup...” kata April menunjukkan kantong plastik yang dikeluarkan dari tasnya.
“Yahh... Bagus... Nanti kita tiup sama-sama, ya? Ngomong-ngomong... Kalian belum kenal satu sama lain, kan... Aku kenalin dulu satu-satu... Yang ini... namanya April... Mahasiswi semester VII sekarang, Pril, ya?” kataku mendekati dan berdiri di samping gadis cantik berambut pendek seleher itu. Ia mengangguk membenarkan.
“Lengkapnya April Ekavria Wibowo... Dari April aku sudah mendapatkan ZODIAC CORE ARIES... ZODIAC CORE pertamaku... April sehari-harinya kuliah di Universitas Tri Satya Fakultas Hukum... Jurusan Hukum Perdata...” jelasku singkat tentang April. Semua wanita lainnya menaksir dan menilai penampilan April yang modis dan segar khas mahasiswi yang aktif. Kemeja lengan pendek berwarna gading dan rok biru tua di atas lutut dengan aksesoris sabuk lebar bergesper besar..
“Lalu... Yang ini Jessie dan adiknya Aya... Jessie bekerja di perusahaan swasta sebagai asisten manager HRD... Adiknya ini sebaya denganku... Masih kelas 3 SMA... Aku mendapatkan ZODIAC CORE TAURUS dari Jessie... ZODIAC CORE yang kedua... Selain bekerja... Jessie juga melanjutkan kuliahnya malam hari selepas kerja... Capek, ya, Jess?” jelasku memperkenalkan kakak beradik ini pada semua. Kembali mata-mata mereka menilai keadaan dan penampilan. Agar tidak kalah pamor. Jessie juga berpenampilan kasual malam ini, kaus ketat tanpa lengan berwarna hitam, rompi jeans biru dan rok pendek. Aya juga memakai kaus tanpa lengan berwarna merah dan hotpants berwarna hitam.
“Ini yang agak unik... Sori... Silva-Silvi... Mereka ini kembar... Kembar identik... Jadi ZODIAC CORE GEMINI... ZODIAC CORE ketiga ini ada pada mereka berdua... Agak bingung memang... Tapi memang begitu keadaannya... Silva Nastya Feldberg... dan Silvi Fistya Feldberg... Kalian keturunan bule, ya, Sil?” kataku baru ngeh dengan nama belakang mereka yang kebarat-baratan. Mungkin dari pihak ayahnya. Keduanya cengengesan saja menjawabku. Keduanya memakai pakaian yang hampir sama persis. Kaus ketat berwarna kuning dan celana jeans sebatas lutut.
“Aya... Mereka satu sekolah denganmu di SMA 76, loh?... Kelas 3 juga... Kau pasti kenal, kan?” kataku mengingatkan Aya pada teman satu sekolahnya. Setidaknya pernah lihat atau semacamnya walau tak satu kelas. Aya hanya melirik ke si kembar dan senyum malu-malu. Kembar itu malah bengong heran. Apa iya mereka tidak pernah melihat Aya di sekolah?
“Kamu kelas 3 berapa, Ya?” tanya Silvi ringan tanpa beban.
“Ke-kelas 3 IPA-3...” jawab Aya gugup.
“Kau pernah liat dia?” tanya Silva pada saudari kembarnya.
“Gak... Padahal kita di kelas 3 IPA-1, kan?” jawab Silvi.
“Aku sering liat kalian...” potong Aya.
“Laaa... Itu kalian aja yang songong...” kataku pada Silva dan Silvi. “Masa Aya segini gede gak pernah kalian liat di sekolah? Gimana, sih?” lanjutku.
“Sori aja, bro... Bukannya sombong... Waktu kami terlalu berharga untuk ngeliatin satu sekolahan... Kah... kah... kah...” gelak Silva–dibenarkan oleh Silvi yang ikut tertawa. “Sori, ya, Ya? Cuma bercanda...” lanjut Silva merapat ke Aya menyentuh lengannya. Ini sudah cukup baik. Suasana mulai mencair dan hangat. “Pernah denger namamu beberapa kali... Cuma gak tau orangnya yang mana... Aya tau dong gimana kami berdua...” alasan Silva.
“OK? Siapa yang mau nyanyi... Nunggu makanannya datang?” tawarku berseru agar suasana lebih semangat melanjutkan acara walaupun mereka sedang ngobrol begitu.
“Aku!” jawab April terbawa suasana semangat yang kusebabkan. Ia sudah memegang sebuah mic wireless dan menuju panggung kecil di samping TV utama untuk tampil sebagai penyanyi pertama.
“Ini lagu untuk semuanya... Salam kenal dari saya... April... Semoga kita bisa berteman dengan baik...” katanya membuka kata begitu musik lagu mulai terdengar jernih di ruangan karaoke ini.
“♪For all those time you stood by me–For all the truth that you gave to me–For all the love that you’ve brought to my life...♪” April mulai bernyanyi dengan indahnya. Aku pernah dengar lagu ini tapi entah siapa yang mempopulerkannya. Suara jernih April menghibur kami semua dengan lagu yang cukup lawas ini. Belakangan aku baru tahu kalau ini lagu milik Celine Dion yang dirilis akhir tahun 90an—Because You Love Me.
Silva dan Silvi beserta Aya yang mulai akrab mengolok-olokku yang tak mengerti dengan lagu ini. Walau kuikuti lirik lagu yang ada di layar, aku tidak tahu iramanya.
“Gak usah ikut nyanyi, deh... Rusak jadinya...” ejek Aya.
“Lu gak pantes nyanyi, Sat... Lu striptease aja di situ... Kah... kah... kah...” olok Silva mesum.
“Iya, nih... Lu pinternya cuma ngentot, doang... Kik... kik... kik...” tambah Silvi lebih mesum. Pecah tawa kami di ruangan yang luas ini. April malah ikut tertawa dan irama lagunya menjadi kacau.
Tak lama pelayan karaoke membawakan makanan dan minuman pesanan kami. Mereka terheran-heran melihat lima orang wanita bersama dengan hanya satu pria di dalam ruangan ini. Tapi kami tak perdulikan. Kue ulang tahun yang juga disertakan dalam pesanan berikut makanan dan minuman ditempatkan di meja bar.
Hanya minuman yang kami sentuh saat giliran Jessie bernyanyi. Pilihan lagunya cukup baru, tapi aku juga masih tidak kenal penyanyinya. Siapa itu Katie Perry?
Lagu ceria ini membuat kelima wanita ini semakin akrab. Mereka masing-masing memegang mic dan naik ke panggung bersama-sama melantunkan Fireworks. Aku hanya bisa mengangguk-angguk mengikuti. Iramanya sederhana dan menghibur.
Kemudian Silvi mengambil alih panggung dengan menyanyikan lagu girl band Korea bernama 2NE1 (ntah gimana cara bacanya) yang berjudul Falling in Love. Apalagi ini! Aku tambah pusing mendengarnya. Silvi yang bernyanyi sedang Silva dan Aya berperan menjadi penari latarnya. Jadilah ketiganya menari-nari centil mengikuti gerakan penampilan asli penyanyi yang juga imut.
Tak mau ketinggalan, Silva memilih lagu K-Pop lainnya, dari SNSD berjudul Mr. Taxi. Kembali ketiga remaja itu menyanyikan single itu dengan hebohnya. Apalagi K-Pop tak akan lengkap tanpa tarian pop-nya yang enerjik dan imut.
Dan seolah melengkapi deritaku akan K-Pop, Aya lanjut dengan single dari A Pink berjudul Hush. Ruangan karaoke luas ini seperti penuh dengan manusia, padahal cuma enam orang saja umatnya.
Puas bernyanyi, ketiganya duduk bersandar dengan tubuh berkeringat dan menyeruput minuman dingin mereka. Padahal ruangan ini sudah cukup sejuk.
“Sekarang giliran, elo, Sat...” senggol Silvi setelah mengelap keningnya dengan tisu. Ruangan jadi senyap karena jeda tak ada yang mengambil panggung.
“He... he... he... Aku gak bisa nyanyi...” kataku memberikan tanda V dengan dua tangan sekaligus.
“Gak bisa... Nyanyi apa, kek...” ngotot Aya mulai ketularan sifat si kembar teman barunya ini. Ia memilihkan lagu untukku. Beberapa lagu yang ditunjuknya kutolak karena aku tidak pernah dengar.
“Katanya elo maen band... Masak gak ada yang tau...” cemooh Silvi.
“Lha... Aku pemain gitar... Band-nya band rock lagi... Kalian dari tadi nyodorin lagu pop terus... Mana aku tau...” kataku beralasan. Kalau lagu rock aku lumayan tahu banyak lagu.
“Ya... kamu pilih sendiri aja, deh...” Aya mempermudah pilihan dengan menekan tombol genre ke Rock. Ada beberapa lagu yang kuketahui dan kupilih satu single.
Kelimanya mengernyitkan dahi melihat judul lagu yang kupilih yang muncul di layar besar. Avenged Sevenfold - Dear God. Entah tidak pernah dengar atau risih. Entahlah.
“♪Along the road–Crossed another cold state lane–Miles away from those I love–Purpose hard to find...♪” aku mulai melantunkan lirik single yang kutahu persis.
Aku menyanyikan lagu ini dengan sepenuh hati. Menghayati makna yang terkandung di tiap baitnya. Kesedihan dan kerinduan para personil Avenged Sevenfold yang selalu jauh dari orang terkasih karena selalu dalam kesibukan tur yang bisa memakan waktu tahunan.
Begitu lagu selesai... Krik... krik... krik...
Bahkan suara jangkrik diluar-pun bisa terdengar sampai ke dalam sini yang kedap suara sangking sunyinya.
“Kalian napa sampe terpana gitu? Bagus, ya aku nyanyiin-nya?” sapaku pada para penonton yang terkesima.
“Pale lo peyang terpana! Wuuh! Lagu apaan itu? Cuma tereak-tereak doang...” sergah Silva tak mau kalah. Kontan mereka tertawa-tawa lagi. Silva, Silva dan Aya tertawa lepas sekali. April dan Jessie juga tetapi tidak sekeras mereka bertiga.
“Dah... Nih... Pake topi ulang tahunmu...” kata Silvi menyerahkan sebuah topi kertas berbentuk mahkota padaku. Ia sendiri memakai topi kertas lainnya yang bergambar norak. Gambar Barbie. Begitu juga lainnya, ada Mickey Mouse, Donald Duck, Winnie the Pooh, Cinderella, dan Little Mermaid.
“Yahh... Kayak ulang tahun anak kecil? Beneran begini, Pril? Masa kamu beli yang beginian?” yakinku sebelum memakai topi mahkota berwarna emas itu. Sebenarnya aku enggan memakainya tetapi karena mereka sudah pakai, terpaksa deh.
“Kalau sudah pake topinya... sekalian tiupin balonnya juga... Nih...” kata April menyerahkan bungkusan balon berwarna-warni.
“Ditiup? Gak ada pompanya, Pril?” kataku bawel. Sebanyak ini ditiup? Bisa gondokan leherku.
“Kalau mau yang mudah ditiup... Ini aja...” kata Jessie mengeluarkan sebuah kotak dari tasnya. Diletakkannya kotak berwarna-warni itu di meja.
“Wah... Kondom!” seru Silva mengenali kotak pembungkus itu. Diambilnya benda itu. Kondom? Jessie membawa-bawa sekotak kondom?
“Isinya ada 12 biji... Ada aneka rasa... Warna-warni loh?” kata Silvi setelah melihatnya sekilas. Benda itu sudah berpindah tangan ke Silva.
“Rasa? Aroma yang benernya...” kata Silva setelah membaca merek dan keterangan di kotak kecil itu.
“Lebih mudah ditiup, ya?” kata Aya setelah melongok penasaran kotak yang masih di tangan Silva. “Aku belum pernah liat kondom... Liat, dong?” sambungnya.
Silva langsung membuka segel plastik yang masih melindungi kotak itu lalu menaburkan isinya di atas meja. Ada 12 sachet kecil kondom beraneka warna dan aroma di sana.
“Jadi balonku gak laku nih ceritanya?... Lebih milih kondom?” kata April pura-pura tersinggung.
“Kalo udah siap ditiup bisa dipake lagi gak ya?” kata Aya penasaran memegang satu sachet beraroma strawberry. Silva dan Silvi mengendusi semua aroma yang tersedia dan bertengkar kalau aroma mint atau pisang yang lebih enak.
“Gak dong, Aya... Jadi gombrang... Ntar kedodoran kalau dipake Satria... Hi... hi... hi...” kata Jessie.
“Lebih gawat kalau ketinggalan di dalam mekimu... Kah... kah... kah...” seru Silva merobek sachet aroma mint. Silvi malah sudah mulai meniup aroma pisang miliknya. Kondom segera melar panjang sebesar paha orang dewasa.
“Ihh... Gak lucu...” kata Aya bergidik geli membayangkan karet gombrang kedodoran keluar dari kemaluannya.
“Ih... Bagus, ya?” lalu setelah melihat hasil yang sudah ditiup dan diikat ujungnya. Mirip balon yang sering dimainkan anak-anak tetapi lebih transparan karena tipis. Ia lalu menyobek sachet aroma strawberry miliknya dan segera menemukan kalau ada sejenis gel atau lubrikan di sekujur plastik dalam sachet itu. “Apaan ini?... Ada minyak-minyaknya gitu?” tunjuknya pada jarinya yang lengket. Diendusinya jarinya dan aroma strawberry semakin kuat.
“Kalian serius mau pakai balon kondom aja?” tanyaku agak jengah melihat alat kontrasepsi dibuat jadi mainan seperti itu. Silva bahkan sudah meniup dua buah balon kondom. Mint dan durian. April dan Jessie juga sedang mulai meniup.
“Tenang, Sat... Masih ada sekotak lagi...” kata Jessie menepuk-nepuk tasnya. Masih ada sekotak lagi? Apa maksudnya? Apa yang sekotak lagi akan dipakaikan padaku?
“OK-lah...” kataku dan mengambil satu sachet yang ada di atas meja. Warnanya hitam. Buah apa yang warnanya hitam? Manggis? Kulitnya agak hitam tapi daging buahnya putih. Tulisan yang tercetak di sachet itu “Long Lasting”.
“Kok ada yang hitam?” heran Jessie saat melihatku akan menyobek sachet itu. Ia memberi kode meminta kondom itu untuknya dengan jari. Balon kondom aroma mangga-nya sudah selesai ditiup dan diikat. “Kirain tadi aroma coklat?” begitu sachet itu sudah di tangannya. “Ternyata Long Lasting... Nyasar kali, ya?” gumamnya sendiri menjawab pertanyaannya.
“Apaan, Jess?” tanya Aya tak paham.
“Yang ini harusnya tidak ada di dalam paket aroma... Ini kondom jenis lain... (Yang bikin tahan lama)” bisik Jessie menjelaskan. Mungkin saat pengepakan di pabrik, pekerja salah memasukkan sachet yang tercampur ini.
“Satria tahan lama walau gak make apa-apa... Ya kan, Satria?” sergah Silvi mengikat balon kondom aroma apel. Tak lama semua sachet kondom sudah disobek dan ditiup menjadi balon. Ada 11 balon ganjil dan mesum sekarang.
Semua mata lalu tertuju padaku. Entah apa yang sedang mereka pikirkan dan aku tidak merasa perlu untuk memakai SHADOW MIND untuk itu. Tau-lah...
“Sekarang kue ulang tahunnya...” kataku ngeloyor ke meja bar untuk mengalihkan pembicaraan dan mengambil kue ulang tahun yang sudah dibawakan pelayan karaoke beberapa waktu lalu. Jenisnya Black Forrest dengan banyak cherry dan coklat di atasnya. Yummy sekali.
Kubawa kue itu ke meja tengah. Sudah disertakan pula beberapa batang lilin dan sebuah korek api kayu serta pisau plastik. April dan Jessie bersama-sama menancapkan lilin-lilin kecil yang juga berwarna-warni itu di permukaan Black Forrest. Silva menyalakan sebatang korek api dan membakar sumbu semua lilin.
“♪Selamat ulang tahun kami ucapkan-Selamat panjang umur kita ‘kan doakan-Selamat sejahtera sehat sentosa-Selamat panjang umur dan bahagia♪.... Horeeee!” seru mereka semua bernyanyi riang merayakan ulang tahunku yang ke-17.
“Make a wish!” seru Silva dan Silvi.
“Ya... Buat permohonan sebelum meniup lilinnya, Satria...” kata Jessie. Semua tersenyum lebar ikut berbahagia denganku.
Kupejamkan mata dan membuat permohonanku... Ini permohonan yang sama yang akan kumintakan pada GOD MAESTER CORE saat sudah kukumpulkan ke-12 ZODIAC CORE. Hitung-hitung latihan.
“Semoga ingatan Carrie kembali...” kataku dalam hati.
Saat aku membuka mata pertanda aku sudah membuat permohonanku.
“♪Tiup lilinnya-Tiup lilinnya sekarang juga-Sekarang juga-Sekarang juga...♪” Silva dan Sivi beserta Aya lanjut menyanyikan lagu pendek itu. April dan Jessie hanya senyum-senyum.
Huuufff!
“Horeee!” mereka semua bertepuk tangan bergembira bersama bersamaan dengan padamnya semua lilin yang menyala di atas kue ulang tahunku.
“♪Potong kuenya-Potong kuenya sekarang juga-Sekarang juga-Sekarang juga♪...” sambung mereka dari lagu terakhir tadi. April dan Jessie juga ikut menyanyikannya dengan gembira.
Kupegang pisau plastik itu dan mulai memotong Black Forrest dari pinggirnya.
Ctak!
“Yah... Patah!” kagetku. Pisau plastik yang memang didisain untuk sekali pakai ini patah pada bagian tangkainya. Aku terlalu kuat menekannya. “Ada yang bawa pisau?” tanyaku bloon.
“Aya... kunci pintunya!” perintah Silvi pada Aya yang ada di sampingnya. Aya yang tidak paham dengan cara pikir si kembar ini bingung untuk apa malah pakai acara kunci pintu. Tapi ia bergerak juga ke arah pintu dan mengancingkan dua buah gerendel agar tidak ada yang bisa masuk dari luar.
“Ada apa?’ tanyaku pada Silvi. Aku juga tidak paham.
“Kami tidak keberatan kalau kau memakai pisaumu, Satria...” kata Silva yang malah menjawabnya.
“Pisau apa? Aku gak punya pisau...” sanggahku. Mana mungkin aku membawa-bawa pisau kemari. Untuk apa?
“Pedang juga boleh...” kata Jessie menggerakkan kepalanya. Ia menunjuk dengan dagunya ke bawah. Mata semua wanita itu menatap ke satu titik saja. Aya juga termasuk. Mungkin dia sudah mengerti kemana semua ini bermuara.
“Ah... Kalian becandanya kelewatan... Masak motong kuenya pake anuku? Emangnya anu-ku ini apaan?” kataku keberatan. Masa iya penisku digunakan untuk memotong Black Forrest.
“Yang sudah menyenangkanku selama ini...” kata April dengan senyum lebar. Waktu itu ia sampai harus bolak-balik ke dokter untuk mempercepat masa menstruasi sebelum hari ulang tahunnya.
“Yang sudah kupakaikan kondom...” kata Jessie genit dan kerlingan mata kiri. Ini pertama kali kulihat ia melakukan itu. Seingatku Jessie-lah yang pertama kali memperkenalkan kondom padaku.
“Yang sudah mengambil perawanku...” kata Aya tak kalah vulgar dengan kakaknya. Ia memainkan lidahnya di bibir atasnya. Aku bukan yang pertama dalam seks dengannya tetapi aku yang menjebol keperawanannya.
“Kah... kah... kah...” Silva hanya tertawa.
“Kik... kik... kik...” begitu juga dengan Silvi. Kedua kembar itu juga begitu. Akulah yang mengambil keperawanan mereka saat kami mulai berkenalan. Sejak itu kami sudah melakukan banyak hal bertiga. Bahkan untuk mereka berdua terpaksa aku harus memakai sebuah alat khusus.
“Sebelumnya... Terima kasih pada kalian semua... Sudah mau merayakan ulang tahunku yang ke-17 ini... Ini tidak akan terlupakan... Apalagi kalian juga sudah memberikan ZODIAC CORE yang sangat kubutuhkan ini... Aku tidak akan pernah bisa membalas semua pemberian kalian ini... Terimakasih sekali lagi...” kataku formal dan menunduk sungguh-sungguh ngikutin cara orang Jepang.
“Tapi ada yang kurang, nih... Kadonya... Kadonya mana?” candaku cepat berubah dari sikap formal tadi.
Candaanku dijawab mereka berlima dengan melepaskan semua pakaian yang mereka kenakan. Kelimanya menyerahkan tubuh telanjang mereka sebagai kado ulang tahunku.
“Aku bercanda, loh?” kataku ngenes. Ngapain juga tadi aku minta kado. Begini deh jadinya...
:ampun: para suhu, master, agan, dan bro. SS-nya ga jelas (gak ada malah). Karena memang seharusnya adegan seks di Side Quest memang diminimalisir. Namanya juga sampingan. Disini dibutuhkan imajinasi kita semua untuk membayangkan apa yang akan dilakukan Satria dalam situasi seperti ini, ada 5 cewek yang rela diapain aja. Enak banget hidupnya, yah...
 
thx suhu...bnyak bnget penjabarannya ente keren dhah
mmg keren ane. kayak keran. kah kah kah...
Makasih suhu updatenya.tp akhiranya kerasa agak gantung
btw suhu jelas bgt jabarinnya apa suhu survei ke pabriknya ya?

ini mmg harus pakai observasi langsung supaya kliatan asli. tp gak sampe harus ngejelasin spek mesin-mesin cetaknya kan? mesin flexo-nya merk TCY tahun 2014 eks Taiwan. 4PX...
 
========
QUEST#08
========​

Tubuhku terasa lelah setelah bersenang-senang ala pinggiran kota ini. Joget dangdut semalam suntuk bersama Nining, Sari dan Titik.
Karena begitu girangnya, tersenggol pinggul atau pantat maupun dada mereka sepertinya tidak menjadi masalah. Apalagi sepertinya mereka sengaja menyenggolkan tubuh mereka padaku...
Musik tiada henti-hentinya mengalunkan musik-musik dangdut. Penyanyinya pun berganti-ganti untuk menghibur pengunjung Pasar Malam ini sepuas-puasnya. Penonton juga dipersilahkan menyumbangkan suara.
Menjelang Subuh, sebelum azan, acara dihentikan sama sekali dan para pengunjung dengan tertib membubarkan diri.
--------​
“Waduh... Puas banget aku...” seru Sari. Tubuh montoknya terlihat bermandikan keringat. Keringat membuat bahan pakaiannya menjadi semi transparan. Garis-garis tubuhnya ngejeplak jelas.
“Iya... Udah lama kita gak joget sampe pagi gini, kan?” kata Titik menyeka keringat di keningnya.
“Terakhir kita sampe pagi itu... di pesta sunat anak bang Samiran... Ingat, gak? Itu sekitar 3 bulan lalu...” ingat Nining.
“Iya rasanya sudah lama sekali...” kata Titik.
“Tapi waktu itu... kita gak sampe pagi... Ada si Masto yang ngeganggu kita terus...” ingat Sari.
“Eh... Apa kabarnya tuh orang? Batang hidungnya gak kelihatan lagi beberapa hari ini...” tanya Titik.
“Pasti dia sedang ada masalah sama orang… sampe-sampe dia kabur begitu... Dia, kan orangnya pengecut!” seru Nining.
Aku senyum kecil saja mengingat pengecut yang beraninya main keroyokan itu.
“Eh... Gimana kita pulangnya? Pake cara kaya’ tadi malam juga?” tanya Nining pada teman-temannya.
“Aaa... Kau bonceng berdua aja sama Satria... Pagi-pagi begini udah ada angkot, kok... Kami berdua naik angkot aja...” jawab Sari dan dibenarkan Titik.
“Gak boleh begitu, dong... Biar aku tunggu di sini lagi aja seperti tadi malam... Nanti Satria menjemputku lagi di sini...” tolak Nining.
“Gak-gak... Da-dah...” kata Sari dan Titik yang langsung berlari-lari menyetop sebuah angkot yang kebetulan lewat.
“Da-dah Nining... Da-dah Satria... Jagain baik-baik, ya? Jangan sampe digigit semut...” seru mereka berdua dari dalam angkot yang mulai bergerak.
“Hu-uh...” kheki Nining.
“Pulang, yuk...” ajakku yang sudah menyiapkan sepeda motor-ku dari parkiran. Ia segera naik dan memeluk pinggangku.
Aku sengaja mengendarai sepeda motor ini dengan perlahan saja. Agar aku bisa menikmati saat-saat bersama Nining lebih lama. Nining pun sepertinya juga merasa begitu dan ia merapatkan pipinya di punggungku. Pelukannya terasa erat hingga gundukan empuk dadanya terasa mengganjal enak. Ojek KTP (Kena Tetek Pre=Free)
--------​
“Satria... jantungmu berdebar kencang... Apa yang kau rasakan? Grogi ya kupeluk?” tanya Nining. Tentu saja ia bisa mendengarkan deburan jantungku yang berdegup bertalu-talu mendapat dekapan hangat cewek secantik Nining.
“Kukira kau sudah terbiasa dengan cewek-cewek...” sambungnya.
“... Tapi tidak dengan cewek secantik Nining...” jawabku. (Keset banget = lebih gombal)
Ia terdengar tertawa kecil di punggungku.
“Aku masih ingat dengan ciumanmu kemarin...” kataku.
“Kapan aku mencium Satria... Ke-GR-an, deh...” elaknya sambil cekikikan.
“Kemarin... Waktu aku tidur di tempat tidur Nining... Walau samar-samar... aku tau kalo Nining menciumku...” kataku.
“Gak ada... Yee... boong... Aku cium sebelah mana?” elaknya tidak mau mengakuinya.
“Yang aku rasain... di kening... Trus di... bibir...” kataku.
“Ha... ha... ha... Gak ada... Pasti Satria sedang mimpi, deh...” elaknya tak kunjung mengaku.
“Pasti Nining cium... soalnya Nining sedang duduk di sampingku, kan? Katanya mo m’bangunin aku...” ingatku mendesak terus. Aku terus menggodanya.
“Gak ada... Ngarang, nih... Mimpi tuh...” jawabnya terus sambil tertawa-tawa.
“Kalo gitu... supaya gak mimpi lagi... Cium lagi, dong?” mintaku bercanda. Ia masih tertawa-tawa. “Yang hadiah ulang tahunnya... nyiumnya gak serius...” tambahku tentang ciuman resmi pertamanya akibat didesak teman-temannya.
Terasa dadanya semakin menekan punggungku... Dan.
Cup!
Ia mencium pelan pipiku.
“Udah, kan... Gak usah mimpi lagi, ya?” katanya biasa saja.
“Makasih...” kataku berbunga-bunga seindah ciuman pertama. Padahal tengah malam tadi ia juga sudah mencium tipis pipiku sebagai ucapan selamat ulang tahun pertama kali.
Kami masih meluncur menelusuri jalan pulang ke rumah kost kami Minggu pagi ini. Udara segar pagi ini sangat menyenangkan. Tidak dingin melainkan hangat.
--------​
“Pintu kamar kalian belum dibuka... Apa Sari dan Titik belum sampai... Padahal mereka yang duluan pergi...” kataku saat memarkir sepeda motor di depan kamar kost Nining dan teman-temannya.
“Entah kemana dulu mereka pergi... Lagian aku juga punya kunci, kok...” kata Nining beranjak akan membuka pintu dengan gemerincing sejumlah kunci di tangannya.
“Hng?” tiba-tiba langkah Nining terhenti di depan pintu dan pandangannya terpaku pada sesuatu di bawah sebelah kirinya.
“Ning...” terdengar suara seseorang dan ia mulai bangkit dari lantai yang tertutup dinding beranda.
Itu orang tadi malam. Tinto!
Rupanya ia tetap menunggu di depan kamar Nining bahkan bermalam di sana sampai sekarang. Tidur di atas lantai semen beralaskan jaket.
“Mas Tinto... Ada apa?” tanya Nining lumayan mantap. Tidak gugup seperti seharusnya. Kalau seseorang ketangkap basah tidak mungkin bersikap begitu.
“Kemana aja kau semalaman? Aku sudah menunggumu sejak tadi malam...” tanya lelaki itu emosi.
“Aku pergi dengan teman-temanku... Kami ke Pasar Malam...” jawabnya tidak berbohong.
Tinto melirik kepadaku.
“Siapa dia?” tanya orang itu tentangku.
“Temanku... Rumahnya di sana...” jawab Nining tetap tenang. Ia memang sudah bersiap ternyata.
“Tadi malam kutanya padanya... katanya dia tidak tau kau kemana...” korek Tinto.
“Tentu saja... Sari dan Titik yang mengajaknya ke Pasar Malam... Kami ketemu di sana...” jawabnya. Kali ini bohong.
“Kenapa sampe pagi begini? Mau jadi apa kau?” tanya Tinto mulai panas mendapat jawaban seperti itu.
“Apa urusanmu? Suka-sukaku mau sampe pagi... mau sampe malam lagi...” sengit Nining menjawab tunangannya itu.
“Kau...” orang itu terpancing emosinya.
“Ning...?” aku mulai ikut campur.
“Jangan...” Nining memberi kode agar aku jangan ikut campur masalahnya yang ini. Ia meyakinkanku kalau ia bisa mengatasi masalah ini sendiri.
Aku mengerti dan tak ingin melampaui wewenangku.
Orang itu memandangiku dengan pandangan yang tak mengenakkan. Seakan-akan ia ingin menelanku saja saat itu.
“Kalau begitu... aku permisi dulu, Ning... Sepeda motor-nya kutitip di sini, ya?” kataku menepuk jok kendaraan itu dan melangkah pergi.
Padahal aku menitipkan mata-mataku, XOXAM untuk terus mengawasi Nining di sepeda motor itu. Ia melekatkan dirinya di sepeda motor itu agar bisa langsung melihat apa saja yang mereka berdua perbuat.
Sedikit saja aku mendengar laporan kekerasan pada Nining, aku akan menghajar orang itu.
--------​
Aku tak jauh-jauh berada dari rumah kost Nining. Aku hanya berpindah sejauh beberapa rumah dengan tetap berkonsentrasi menunggu laporan XOXAM.
“Hei, Satria... Ngapain kau di sini?” tepuk seorang wanita pada bahuku yang ternyata adalah Sari. Ia bersama Titik juga. Ternyata mereka di rumah kost tetangga sebelah sini. Di sini juga banyak teman-teman mereka. Tempat mereka singgah kalau tidak berada di kamar kost.
“Bukannya kami sudah memberi kau kesempatan berduaan aja dengan Nining di kamar...” kata Titik cekikikan.
“Ah... Kalian... Tunangannya datang, tuh...” kataku.
“Orang gila itu datang lagi? Ngapain lagi dia? Bukannya Nining sudah gak mau bertemu dia lagi...” gumam Sari dengan dahi berkerut.
“Ah, kacau kalian... Masa gak pernah cerita padaku kalau Nining sudah punya tunangan...?” kataku lagi.
“Karena Nining sudah gak mau lagi sama orang itu... Makanya kami sodorin sama kamu...” jawab Titik.
“Lagian... Satria kok pergi? Temanin dia di sana... Takutnya dia diapa-apain lagi sama orang gila itu...” kata Sari.

... XOXAM!

Terdengar suara berdebum di sana!
Kontan kami bertiga berlari melihat apa yang terjadi.

“Apa yang diperbuatnya, XOXAM?” tanyaku pada coreku.
“Ia akan memukul perempuan itu...” jawab core hitamku itu.
“Bagus... Jaga terus sampai aku tiba di sana...” kataku lagi.
--------​
Di sana aku melihat lelaki itu sedang bersandar di dinding kamar kost, dekat pintu. Kemungkinan besar pingsan karena dihajar XOXAM-ku karena akan melukai Nining.
“Ada apa? Ada apa, Ning?” tanya Sari dan Titik terlihat panik sekali. Nining terlihat menangis.
“Apa dia memukulmu, Ning?” tanyaku menenangkannya.
“Tidak... Dia memang akan memukulku... Tapi... tapi tiba-tiba dia terjatuh seperti dipukul orang yang tak kelihatan dan membentur tembok... Aku tidak tau kenapa...” jawabnya gugup.
“Ya, udah... Tidak apa-apa... Itu salahnya sendiri... Masa mau memukul perempuan... Sudah-sudah...” kataku menenangkannya. Aku memberi kode pada Sari atau Titik untuk membuka pintu agar Nining bisa menenangkan diri di dalam kamar karena orang-orang yang juga mendengar keributan ini mulai meramaikan depan kamar ini.
Aku ikut membantu Tinto untuk segera sadar dari pingsannya itu bersama beberapa orang lainnya. Mulai dari mengurut-urut bagian tubuhnya sampai memberikan bau-bauan menyengat.
Sadar juga dia akhirnya. Ia terbengong-bengong melihat banyaknya orang yang mengerumuninya. Mungkin ia bertanya-tanya apa yang telah menimpanya barusan?
Orang-orang yang mengerti tentang apa yang telah terjadi lalu mulai menyalahkan Tinto atas tingkahnya akan memukul Nining.
Tidak pantas memukul wanita apapun alasannya. Walaupun siapa wanita itu. Pacar, tunangan, istri atau siapapun.
Ia disebut kualat dan dihukum oleh mahluk halus penjaga rumah ini atau siapapun yang tidak suka perbuatannya itu.
Tinto minta maaf pada penduduk kampung ini. Sampai-sampai Ketua RT yang sedang melintas sehabis jogging ikut campur memberikan nasehat padanya.
Ternyata Tinto khusus datang kemari dari kampung karena ada pesan dari orang tua Nining. Karena ia tunangannya, makanya Tinto yang diberi tugas menyampaikan pesan ini.
Akhir dua minggu lagi Nining diminta pulang kampung karena ada kerabatnya yang akan mengadakan resepsi pernikahan. Nining diharapkan pulang untuk menghadirinya.
Dan yang lebih penting lagi untuk menentukan tanggal pernikahan mereka. Karena jangka waktu pertunangan mereka hanyalah satu tahun dan satu tahun akan segera tercapai sebentar lagi.
Orang ini sepertinya dapat menanggung malu yang cukup besar. Ia dengan santai menjelaskan semuanya tanpa terpengaruh perbuatannya yang sebelumnya sama sekali.
--------​
“Dua minggu lagi aku tidak bisa pulang...” tegas Nining.
“Tapi Sabtu itu, kan tanggal merah... Hari libur...” kata Tinto. Karena itu resepsi itu diadakan akhir minggu ini sebab akan ada banyak waktu libur Sabtu dan Minggu.
“Tidak bisa... Ada acara di pabrikku... Semua orang harus ikut... Aku tidak bisa membatalkannya...” alasannya. Pasti tentang acara ke puncak itu.
“Coba Nining katakan sama orang pabrikmu kalau ini masalah penting...” desak Tinto.
“Tidak bisa... Aku tidak mau seenaknya mengatur mereka... Memangnya itu pabrik siapa?” jawab Nining sengit. Ia tetap bersikeras tidak mau pulang kampung dan menikah dengan orang ini.
“Pasti itu cuma alasanmu saja... Kau pasti mau berduaan dengan dia, kan?” Tinto kembali emosi dan berdiri dari duduknya dan menunjuk-nunjuk padaku.
“Tenang... tenang... Jangan emosi...” lerai pak RT.
“Maaf saja... Mas Tinto pulang saja ke kampung... dan bilang sama bapakku kalau aku... tidak bisa pulang dua minggu lagi... Titik... Permisi... Aku mau tidur...” jawab Nining menuntaskan pembicaraan ini dan masuk ke kamarnya.
Tinto melongo melihat Nining masuk ke kamar diikuti Sari dan Titik yang langsung mengunci pintu dari dalam.
“Ya, sudah... Sebaiknya kamu pulang saja... Itu sudah menjadi keputusan nak Nining sendiri, toh...” kata pak RT.
“Tapi, pak...” Tinto masih ngotot.
“Sudah... sudah... Apa kamu mau membuat keonaran lagi di sini... Kamu itu tamu... Bapak harap kamu berlaku sopan di sini... Jangan membuat keributan... Saya tidak suka itu... Lebih baik kamu pulang dan memberi tau jawaban Nining tadi pada bapaknya... Silahkan...” kata pak RT masih cukup sabar atas tingkah orang itu.
Ia disoraki orang-orang yang masih banyak mengerumuni depan rumah kost ini untuk menonton kehebohan ini.
Tinto melirikku sebentar. Seperti dendam...
Silahkan saja... Tentukan waktu dan tempatnya.
--------​
Lelaki itu lalu menaiki angkot dan segera berlalu dari tempat ini. Beserta itu bubar jugalah masyarakat yang ikut meramaikan kejadian tadi.
Aku sebaiknya juga pergi dari sini.
“Satria...”
Pintu terbuka sedikit dan Titik di sana memanggilku.
“Ada apa?” tanyaku setelah mendekat.
“Masuk... Nining mau bicara...” kata Titik membuka agak lebar untuk aku masuk.
Nining duduk di tepi ranjang bersama Sari yang sedang menghiburnya. Saat aku sudah masuk, Sari malah berdiri dan bersama Titik, mereka berdua keluar dari kamar ini.
“Tolong kunci pintunya...” kata Nining perlahan saja. Kuturuti permintaannya dan mengunci pintu dengan grendel.
“Duduk sini, Satria...” pintanya lagi. Kuturuti juga dan duduk di sampingnya di tepi ranjang.
“... Aku tau kalau Satria yang membuat Mas Tinto terbanting ke dinding tadi... Aku tau kalau Satria berniat baik... Aku juga sudah mengerti bagaimana Satria padaku...” katanya. “Terima kasih...” katanya hanya melirik sebentar padaku. Suaranya terdengar berat.
“Ning... Kenapa? Ada apa?” aku sama sekali tak mengerti apa yang sedang dipikirkan atau yang dirasakannya.
Ia tak menjawab. Hanya menutupi mukanya dengan rapat ke pahanya yang dilipat ke atas. Ia terisak.
“Apa yang kau pikirkan?” tanyaku mencoba menghiburnya.
“Aku takut...” jawabnya.
“Takut apa? Aku tak akan membiarkan orang itu melukaimu lagi... Kalau itu yang Nining takutkan...” kataku.
“Aku takut pada masa depanku...” katanya.
“Bukan masa depan yang menakutkan... Tapi bersama orang seperti itu yang menakutkan... Masa kinipun tidak akan ada artinya... Apalagi masa depan...” kataku. “Masa depan masih sangat panjang... Kita tidak akan tau apa yang akan kita hadapi... siapa yang kita temui... tempat apa yang akan kita datangi... Tidak ada alasan untuk takut...” kataku.
“Kau bisa mengatakan itu karena kau seorang laki-laki... Tapi aku ini perempuan... Apa yang bisa dilakukan perempuan dari kampung seperti aku ini?” katanya melepas dekapan pada kakinya. Matanya sembab. Lelehan air mata sudah terbentuk di pipinya yang halus.
“Beberapa hari mengenalmu... Nining punya banyak potensi yang besar... Tau kenapa Nining bisa diangkat jadi staf pengawas borongan hanya dalam waktu 2 tahun saja? Itu karena Nining punya potensi untuk jadi pemimpin...” kataku.
“Orang-orang di pabrik itu pasti menganggap begitu hingga menjadikan Nining staf pengawas... Padahal masih banyak yang pendidikannya lebih tinggi dari Nining... Tapi kenapa Nining...?”
“Itu hanya contoh kecil saja... Kalau Nining mau... Nining bisa mendapatkan yang lebih... Apa saja... Ya, pekerjaan... kehidupan... Apa saja yang Nining mau...”
“Karena Nining spesial...” simpulku.
“Spesial?” gumamnya memandangi mataku.
“Masih ingat dengan ceritaku tentang pencarian ZODIAC CORE yang sedang kulakukan ini...?” tanyaku.
Ia mengangguk.
“Semua wanita pemilik ZODIAC CORE ini adalah wanita-wanita spesial karena memiliki core spesial juga... Core kalian dikategorikan spesial karena tidak seperti core manusia biasa...” kisahku menceritakannya.
“Hanya manusia yang spesial yang bisa memiliki core spesial ini... Aku sempat bertemu seorang jenius yang sangat ahli di bidang komputer... Ia sudah mendirikan perusahaan komputer pada usia 15 tahun bersama teman-temannya... Ia memiliki core yang istimewa... Jadi orang-orang spesial seperti kalian... mempunyai satu kesamaan... core spesial itu...” jelasku.
“Apa perbedaan core spesial dengan core biasa?” tanya Nining mulai penasaran.
“Sepanjang yang kuketahui sampai sekarang... secara ilmiah... panjang gelombangnya jauh lebih tinggi dari core biasa... Selain itu core istimewa mempunyai kemampuan spesial yang luar biasa...” jelasku.
“Misalnya?” kini Nining telah benar-benar tertarik.
“Misalnya... Sebentar...” kukeluarkan HP-ku dan kuaktifkan. Aku tak perlu menjelaskan padanya bagaimana aku bisa punya alat ini karena ia sudah mengetahui diriku sebenarnya.
“Ini namanya program Coremeter... Dengan ini aku mengetahui perbedaan panjang gelombang core biasa dan core istimewa pada seseorang...” tunjukku.
“Alat ini bisa mendeteksi keberadaan core istimewa pada jarak 500 meter... Coba kita liat...” kataku mengarahkannya pada tubuh Nining.
Beep! Beep! Beep!
“Itu tanda alat ini menemukan panjang gelombang core istimewa pada Nining... Besarnya 1772 Hz... Core istimewa itu berada pada kisaran 1500 Hz keatas...” jelasku.
“Kemampuan spesial yang luar biasanya... seperti apa?” tanya Nining setelah puas dan jelas tentang panjang gelombang.
“Hmm... Sebentar... Aku belum pernah mencoba yang ini... Dinamakan sebagai THREE WARRIORS... dari ZODIAC CORE LIBRA... Yang bulan lalu kudapatkan dengan susah payah...” kataku dan mulai berkonsentrasi.
“... Satria...?” kaget Nining.
Ada tiga diriku yang membelah diri dengan tiga kostum yang berbeda-beda.
Satu dalam kostum Assasin, kedua Dragon Lord dan ketiga dalam kostum Arch-Mage.
Dengan begitu, aku mempunyai kemampuan ketiga job tertinggi dalam game QUEST. Hebat sekali. Bisa menggunakan keahlian spesialisasi Kid, Andromeda dan Cera.
--------​
“Jadi Satria benar-benar membelah dirinya untuk berada di dua tempat... sekolah dan kerja seperti tadi...?” tanya Nining setelah aku kembali normal.
“Tepatnya tidak begitu... Di dalam tubuhku sekarang ada banyak core... Tetapi core yang asli milikku ada dua... Namanya XOXAM dan VOXA... Saat ini aku memakai core XOXAM sedang tubuh keduaku memakai core VOXA... Hal ini sebenarnya hanyalah coba-coba awalnya... Tapi berhasil dan tidak banyak menimbulkan masalah... Aku baru saja menemukannya sewaktu kebingungan bagaimana bisa sekolah dan kerja pada waktu yang bersamaan... Untung saja sudah terpecahkan...” jelasku.
“Jadi begitu... Kalau begitu... core yang akan diambil dariku... namanya ZODIAC CORE SCORPIO, ya? Seperti apa kekuatannya...?” tanya Nining.
“Masalah kekuatannya... tidak akan diketahui sebelum di dapat...” kataku.
“Sebelum didapat? Hanya lewat seks, ya?” pasti Nining.
Aku mengangguk. Semoga saja dia tidak ketakutan.
Nining menghela nafas dalam. Mungkin ia belum siap untuk mengalaminya lagi. Seks pertamanya adalah lewat perkosaan yang menjadi momok baginya hingga sekarang.
“Tidak apa-apa kalau Nining tidak mau... aku bisa mengerti, kok...” kataku memecah kebisuan itu.
Nining masih menerawang jauh. Mungkin mengingat-ingat masa lalu.
“Aku masih trauma... pada kejadian itu... Hari itu padahal aku sangat senang dan hampir saja akan menerima cintanya yang tak pernah lelah... Aku kagum pada keuletannya mengejarku... Aku kagum pada ketidak perduliannya pada makianku...”
“Tapi semuanya hancur kala ia merusak semua kebahagiaanku dengan perbuatannya yang keji itu... Ia hancurkan usaha bertahun-tahunnya... hanya dalam waktu beberapa menit saja... Sia-sia sekali impian kosongku itu...” terawang Nining.
“Ia pikir... kalau telah melakukan itu... aku akan menjadi miliknya seutuhnya... Bodoh!” katanya geram.

========
QUEST#08
========​

Perih sekali...
“Akh...” keluhku memegangi bagian ulu hatiku yang sakit.
“Jangan bergerak dulu...” kata seorang wanita berpakaian putih-putih seperti perawat.
Perawat?
Kulayangkan pandanganku ke sekeliling. Tembok-tembok putih dengan gorden putih juga. Ada botol infus dan kantong darah tergantung di samping ranjangku ini.
Rumah sakit? Bagaimana aku bisa sampai di sini.
“Kau tidak apa-apa, dik Satria...” kata perawat itu lagi.

Susan
“Mbak Susan?” seruku mengenali wanita itu.
Ia tersenyum manis melihatku mengenalinya.
“Lukamu tidak terlalu berbahaya... Nanti juga sembuh, kok...” katanya menyentuh pelan ulu hatiku.
Kusingkap pakaianku yang masih bernoda darah. Ada lubang kecil di pakaianku.
Di bawah iga kananku diperban tebal dengan plester yang menutupi luka itu.
“Seseorang menikammu tepat pada hari yang terlemah dalam hidupmu, Satria...” kata mbak Susan.
“Hari yang terlemah dalam hidupku?” gumamku tak mengerti. Ada apa dengan hari ini?
“Kemarin ulang tahunmu, kan?” kata mbak Susan.
“Benar... Tapi kenapa hari kelahiranku menjadi hari yang terlemah dalam hidupku?... Kemarin aku cukup banyak memakai kekuatan...” kataku tak mengerti.
“Kemarin persis seperti hari Satria dilahirkan... Saat lahir... manusia adalah mahluk yang sangat lemah... Manusia membutuhkan bantuan dari orang lain...” jelas mbak Susan masuk akal.
“Jadi pada hari seperti itu, Satria harus lebih berhati-hati... Hanya saja mungkin orang yang melukai Satria tidak terlalu mengetahui hal ini...” lanjutnya.
Jam berapa ini? Jam 05.30! Hari Senin pagi.
Aku harus bekerja!
Aku berusaha bangkit dari ranjang rumah sakit ini.
“Lebih baik Satria tetap beristirahat saja... Biar tubuhmu yang satu lagi yang melakukan tugasmu itu...” kata mbak Susan.
“Mbak Susan tau masalah tubuh gandaku itu?...” tanyaku.
Ia hanya tersenyum saja dan permisi keluar untuk melanjutkan pekerjaannya.
--------​
“Nyi Sukma... Apa benar kalau hari ulang tahun adalah hari yang terlemah bagi manusia...?” tanyaku begitu mbak Susan keluar.
“Benar... Makanya bagi pendekar-pendekar zaman dahulu... sangat pantang dan dilarang untuk keluar rumah pada hari kelahiran mereka... Karena pada hari itu mereka akan dengan mudah dikalahkan lawan-lawan mereka... Juga pada hari itu... tingkat kewaspadaan dan kemampuan seseorang menurun dengan sangat drastis...” jelas Nyi Sukma panjang lebar.
“Begitu, ya?... Jadi hari ini aku diserang dengan sangat telak oleh orang yang lemah sekalipun...” gumamku.
“Serangan ini tidak bisa dianggap ringan... Satria yang sudah memakai Sengkolo Saga masih bisa terluka... Orang itu pasti memakai sejenis senjata pusaka yang sangat kuat... Sebentar...” kata Nyi Sukma lalu berkonsentrasi sebentar.
“Browok Menggolo... Salah satu keris pusaka hebat yang sangat langka... Hanya ada 5 buah di Nusantara ini...” jelas Nyi Sukma.
“Keris Browok Menggolo? XOXAM? Apa kau sempat melihat orang yang telah menikamku itu?” tanyaku pada core asliku yang masih setia menemaniku.
“Orang yang telah kuhajar tadi pagi itu...” jawab XOXAM.
“Tinto! Orang itu punya keris pusaka rupanya...” gumamku.
“Nyi Sukma... Apa kau bisa menemukan orang dengan keris Browok Menggolo itu sekarang?” cobaku bertanya pada ratu Swarna Dwipa yang telah menjadi temanku ini.
“Menemukan orang dengan keris Browok Menggolo?... Baik... akan kucoba... Apa yang akan kau lakukan padanya...?” tanya Nyi Sukma.
“Aku mau membalas kepengecutannya tadi siang...” kataku tenang saja.
--------​
Kini aku sudah ingat apa yang telah terjadi.
Saat aku telah selesai berbicara pada Nining siang itu. Aku permisi hendak kembali ke kost-ku yang tak jauh di seberang jalan.
Setelah aku menyeberangi jalan aspal yang tak begitu lebar ini, terdengar teriakan Sari dan Titik memanggilku. Saatku menoleh ke belakang untuk mencari tahu apa yang mereka teriakan... seorang laki-laki datang dari balik pohon di depan, menusukku dari samping.
Aku sempat mengenalinya...
Ia langsung lari begitu melihatku terkapar bersimbah darah dan terjatuh di pinggir jalan...
Ada celah yang sangat dilupakannya... kalau ada saksi yang melihat perbuatannya itu. Sari dan Titik.
--------​
“Aku sudah menemukannya... Ia sedang berada di sebuah kendaraan umum... Menuju luar kota...” kata Nyi Sukma.
Pasti Nyi Sukma menghubungkan bekas luka yang ditimbulkan keris itu di perutku dan keris yang sedang dibawa Tinto hingga ia bisa dengan cepat ditemukan.
“Ayo... L'Blenc... Kami butuh sayapmu sekarang...” kataku bangkit dari ranjang rumah sakit ini.
“Tapi lukamu...?” cegah naga Rustra itu.
“Aku tidak selemah itu... Luka begini tak akan menghambat tekadku... Lihat saja...” kataku dan membuka perban yang menutup luka bekas tusukan keris pusaka itu.
“Sudah hilang dan sembuh...” kaget kedua suami istri itu.
“Aku terlahir bukan sebagai bayi yang lemah... Mamaku bilang... waktuku lahir... aku mendorong kakakku... Putri dan menarik adikku... Dewi... Mungkin kelemahan ini karena aku telah membagi dua tubuhku hingga tingkat kewaspadaanku berkurang...” kataku menjelaskan teori tentang kesembuhan ajaib ini.
“Kali ini... aku sudah menggabungkan kembali tubuhku hingga kekuatanku kembali maksimal...” kataku yakin. Aku hanya perlu waktu sebentar untuk mengambil kembali tubuhku yang tidur di kamarku di rumah sana.
“Bisa kita pergi sekarang?” tanyaku pada mereka berdua.
Sebentar saja, kami sudah terbang di udara dengan bentuk naga Rustra. Tapi kali ini L'Blenc tidak membesarkan tubuhnya dengan maksimal. Hanya cukup untuk kami berdua, Nyi Sukma dan aku untuk duduk di punggungnya.
Di kegelapan pagi, kami bertiga terbang untuk mengejar Tinto, yang telah dengan pengecutnya menikamku kemarin siang dengan sebilah keris pusaka Browok Menggolo.
Kami sudah mencapai pinggiran kota yang ditumbuhi lebatnya hutan yang masih asri.
“Itu dia kendaraannya...” tunjuk Nyi Sukma pada sebuah bis malam yang sedang melaju di jalan lintas provinsi.
“Bagus... Dia mau main-main denganku... ASSASIN!” seruku melompat turun dari tubuh naga L'Blenc.
Walaupun tinggi, aku tak ragu melompat karena kemampuan tinggi ASSASIN bisa mengatasi segala medan berkat berbagai skill yang dimilikinya.
Tubuhku meluncur deras tetapi aku agak memperlambatnya dengan sebuah bahan kain yang berperan bak parasut penahan.
Saat hanya tinggal beberapa meter saja akan mendarat, kulentingkan tubuhku hingga mendarat dengat mulus dan melemparkan sebuah senjata rahasia. Pisau kecil!

Throw : Kunai.

Terdengar suara letusan ban pecah!
Bis malam itu perlahan menurunkan kecepatannya dan akhirnya menepi di pinggir jalan. Dengan gerakan cepat kuambil kembali kunai itu agar tak menimbulkan kericuhan akibat sabotase-ku pada ban kendaraan penumpang umum ini. Tak lama para penumpangnya turun untuk sekedar melepas penat mumpung ban bis ini diganti.
Tok! Tok! Tok!
Aku mengetuk jendela bis itu karena ternyata Tinto tidak ikut turun bersama penumpang lainnya. Aku dengan mudah bisa menemukannya duduk di tepi di samping jendela sebelah kiri.
Dari ekspresinya, ia terlihat sangat kaget melihatku sehat walafiat dan bisa mengejarnya.
Kuberi kode agar ia turun...
Ia menurut. Percaya diri juga...
Ia menjauh dari bis seperti akan mencari tempat untuk buang air kecil di balik pepohonan hutan. Kuikuti dia.
Di daerah yang pepohonannya agak jarang, ia berhenti.
“Hebat juga kau bisa sembuh dengan cepat pada hari ulang tahunmu...” kata Tinto.
“Hari ulang tahunku sudah lewat kemaren... Jadi kita bersenang-senang sekarang...” kataku lalu mengubah diriku menjadi DRAGON LORD. Kekuatan Andromeda, salah satu THREE WARRIORS.
“Ternyata kau salah satu Menggolo juga... Tapi coba kau kalahkan Browok Menggolo ini!” katanya sambil mengepalkan tangan kanannya di depan dada dan secara ghaib sebilah keris muncul di genggamannya.
“Browok Menggolo!” serunya lalu mengacungkan keris itu. Lalu memutar-mutarkannya di udara.
Terjadi angin kencang sehingga daun-daun pohon yang berguguran berkumpul di atas Tinto. Membentuk sosok...
Seekor burung gagak yang besar!
“BAYU GAGAK!” serunya bangga dengan bentuk ilmunya itu. Burung ganas itu terlihat mengepak-kepakkan sayap daunnya.

Contract : Green Dragon’s Fire Breath.

Dari bagian dada armor naga hijau ini, menyembur api yang sangat besar dan membakar gagak daun itu.
“Sekarang gagakmu sudah jadi gagak panggang!” ejekku.
Dia tidak putus asa dan kembali membentuk gagak itu lagi.
“Hati-hati Satria... Dia sudah dikuasai keris itu...” seru Nyi Sukma yang sudah ada di sekitar pertarungan kami bersama suaminya, L'Blenc.

Arch-Mage.
Sekarang memakai kekuatan Cera!

Call : Hieken, The Flaming Salamander.

Dari dalam tanah, keluar dari retakan bumi seekor salamander raksasa dalam cahaya terang api yang panas. Amphibi itu celingak-celinguk sebentar untuk mencari mangsanya.
Ia terpaku pada Tinto dan gagak daunnya yang kini berukuran lebih besar.
Salamander api itu lalu mendongakkan kepalanya untuk mengumpulkan massa api yang akan dimuntahkannya. Lalu...
FWWUUUUUUUURRRRRRR!
Ia menembakkan api dari mulutnya berbentuk gumpalan besar dan membakar gagak daun itu hingga habis tak bersisa lagi.
Sementara Tinto terlempar cukup jauh dan akhirnya membentur pohon yang besar. Bajunya agak hangus terbakar. Kerisnya terlepas dari tangannya dan menancap di tanah.
Salamander api dengan santai kembali masuk ke lubang di tanah dimana ia berasal. Lubang itu menutup kembali.
--------​
“Aku akan mengambil keris ini... Anak ini telah salah menggunakannya sehingga bisa diperdaya oleh sisi gelap keris ini...” kata Nyi Sukma memungut keris pusaka Browok Menggolo dan membalutnya dengan sehelai kain putih.
Sebaiknya kita tinggalkan saja dia di sini... Orang-orang di kendaraan itu pasti menyadari kehilangannya dan mencarinya...” kata L'Blenc.
“Kenapa Satria? Apa belum cukup kau menghajarnya seperti ini?” tanya Nyi Sukma yang menyadari emosiku. Aku berdiri memandangi tubuh pingsan Tinto dengan geram.
“Orang ini telah begitu banyak menimbulkan kesedihan bagi Nining... Juga kekerasan hatinya membuatnya sanggup melukai perempuan sekalipun...” kataku. Kalau menuruti mauku, sudah kuinjak-injak orang ini.
“Sekarang tidak akan begitu lagi... Browok Menggolo tidak cocok pada orang yang lemah mentalnya seperti dia... Semua sifat buruk itu adalah pengaruh sisi gelap Browok Menggolo yang tidak bisa dilawannya...” jelas Nyi Sukma.
“Jadi... Selama ini sifat buruknya itu karena pengaruh keris itu...?” tanyaku lagi.
Nyi Sukma mengangguk memastikannya. Selama ini sikap buruk, jahat dan tak berperasaan yang diberikannya pada Nining karena pengaruh negatif keris ini? Entah pada siapa lagi korban-korbannya. Dia aja bisa tanpa pikir panjang nekad menikamku di depan mata beberapa saksi. Bagus kalau keris ini diambil darinya.
Kami lalu pergi dari tempat dengan cara yang sama dengan kedatangan kami. Menaiki bentuk naga L'Blenc.
--------​
Nining, Sari dan Titik terkaget-kaget melihat kemunculanku di depan pintu kamar kost mereka pagi itu. Baik-baik saja tanpa kekurangan apapun.
“Satria...?” seru kaget Titik. Nining dan Sari tak bersuara.
“Sudah... sudah... Aku tidak apa-apa... hanya tergores saja... Yang seperti itu tidak akan membunuhku sama sekali...” hiburku pada mereka bertiga.
“Kupikir... kupikir kau akan mati...” tubruk Nining tak sanggup lagi menahannya. Ia memelukku erat-erat. Matanya bengkak habis kebanyakan menangis. Pelukannya semakin erat saja kala kuelus rambutnya.
Titik mengerlingkan matanya. Sementara Sari tersenyum lebar. Ia telah menutup pintu kamar ini.
Aku membiarkan Nining memelukku sepuasnya sampai ia sendiri yang melonggarkan pelukannya.
Kuseka air matanya. Kukecup keningnya yang berbatas dengan tumbuhnya rambut.
“Yuk... Kita berangkat kerja...” ajakku pada mereka bertiga. Walaupun apa yang terjadi, harus tetap kerja. Kalau gak, gak bisa makan, ya?
--------​
Suasana bekerja di pagi hari di hari Senin agak berbeda. Suasananya agak kurang nyaman karena mulai panasnya suhu udara di dalam bangunan pabrik ini. Aku yang terbiasa awal bekerja dengan suhu sejuk malam hari mulai merasakannya.
Ventilator otomatis yang ada di atap juga tidak cukup untuk menyejukkan udara di sini. Tapi sepertinya teman-teman sekerjaku telah terbiasa dengan keadaan ini dan menganggapnya biasa saja.
--------​
“Eh... Kamu kemari sebentar...” panggil seorang bapak yang berpakaian rapi dengan kemeja putih lengan panjang dan dasi. Aku sebenarnya akan mengambil air yang akan diisikan pada sebuah jerigen kecil untuk minum semua orang di Flexo 6.
“Ya, pak? Ada apa?” tanyaku mendekati dia.
“Ikut dengan saya sebentar...” ajaknya.
Ia berjalan dengan cepat ke arah sebuah pintu. Aku mengikutinya.
Di pintu ruangan tertulis Internal Auditor. Bpk. Yahya.
Ruangan ini tidak terlalu besar hanya ada dua meja di sini. Untuk bapak itu dan seorang wanita muda yang sedang mengetik.
“Ng... Selvi... Coba kamu pergi ke ruang Accounting dan minta laporan keuangan bulan lalu... Yang lengkap...” pintanya pada asistennya itu. Dengan patuh wanita cantik itu pergi untuk menjalankan tugas yang diberikan padanya itu.
“Silahkan duduk...” katanya padaku. Ada apa?
“Kamu anaknya bapak Buana Suryawan, kan?” katanya tiba-tiba setelah aku duduk di depannya. Ia terlihat serius. Sepertinya dia benar-benar mengenalku. Bukan becandaan kayak ‘Bapak kamu penggali kuburan, ya?’
“Bapak kenal saya?” tanyaku.
“Tentu kenal... Saya sering melihat foto kamu di ruangan kerja pak Buana bersama ibu dan dua saudari kamu...” jelasnya.
Aku teringat foto keluarga yang diletakkan Papa di ruangan kerjanya. Ukurannya yang besar pasti akan mudah dilihat siapapun.
“Apa hubungan bapak dengan Papa saya?” tanyaku mulai curiga. Kenapa pabrik ini bisa ada hubungan dengan Papaku.
“Terus terang saja... Apa kamu disuruh pak Buana kemari untuk ikut memata-matai perusahaan ini?” tanya bapak ini langsung.
Memata-matai? Jadi orang ini mata-mata Papa di pabrik ini.
“Tidak... Aku ke pabrik ini untuk tujuan lain... Tidak ada maksud untuk memata-matai pabrik ini... Papa-pun tidak tau kalau aku bekerja di sini...” jelasku. Lebih baik aku jujur pada orang ini karena ia sudah berani jujur padaku. Apalagi dia sepertinya orang kepercayaan Papa.
“Oh, begitu... Saya terkejut sekali melihat kamu bekerja di sini... Di bagian mesin lagi... Hanya harlep, kan?” katanya.
Aku mengangguk.
“Begini... Investasi Papamu sangat besar di perusahaan ini... Tapi sepertinya ada kecurangan-kecurangan yang dilakukan direksi perusahaan ini... Saya hanya menemukan sedikit sekali bukti-bukti penyelewengan dana itu...” jelas bapak ini.
“Saya curiga kalau penyelewengan ini hanya diketahui oleh beberapa orang saja seperti Presiden Director, Managing Director, dan General Manager saja...” sambungnya.
“Bagaimana Papa bisa tau kalau ada penyelewengan dana? Apa laporan keuangannya tidak transparan...?” tanyaku.
“Bukan begitu... Laporan keuangan sangat memuaskan... Tapi hasil yang didapat atau deviden hasil investasi tidak seperti yang diharapkan... Padahal perusahaan ini menguasai pasar kotak karton lebih dari 40% pasar... 60% sisanya dibagi 8 perusahaan kompetitor sejenis... Jadi seharusnya keuntungan investasi Papamu seharusnya ada pada kisaran 2.5% per tahun buku... Tetapi hanya mendapat 1.8% per tahun buku...” jelasnya panjang lebar.
“Ya... saya bisa mengerti kenapa Papa sampai mengirimkan orang seperti bapak... Penyelewengan keuntungan sampai 2 digit begitu pasti akan sangat merisaukan Papa... Kalau begitu... apa yang bisa kubantu?” tanyaku.
“Begini... Satria tetap bekerja seperti biasa saja... Kalau ada sesuatu yang mencurigakan... Atau yang tidak biasa... Laporkan segera ke saya... Bagaimana? Bisa?” usulnya.
“Boleh...” jawabku pendek saja karena terdengar ketukan pintu dan asistennya yang bernama Selvi itu masuk dengan laporan keuangan yang tadi diminta diambilkan di ruang Accounting.
“Kalau begitu saya permisi dulu, pak... Saya harus mengambil air minum untuk teman-teman saya di Flexo 6... Selamat siang...” kataku dan segera keluar dari sana.
--------​
Gawat juga perusahaan ini. Berani-beraninya main api dengan Papa. Aku akan berusaha membantu Papa sebisaku.
Jam 12 siang adalah jam istirahat makan siang untuk satu jam penuh. Kantin ini lebih penuh dari biasanya, karena karyawan yang hanya masuk pagi bergabung dengan karyawan yang bekerja dengan shift.
Karena meja banyak yang penuh beberapa orang yang baru kali kulihat bergabung di meja yang sering diduduki karyawan Flexo 6 ini. Sepertinya mereka sudah kenal baik dengan anggota mesin di mana aku bekerja ini.
Dari pembicaraan mereka, aku tahu kalau mereka dari bagian Design yang hanya masuk pagi. Walau mereka tergolong staf kantor tapi mereka lebih suka makan di kantin ini dari pada makan di ruangan khusus untuk para staf kantor. Tentu saja... di sini diperbolehkan merokok sedang di sana yang kebanyakan wanita tentu akan sulit menghisapnya.
Pak Yanto (mandor Flexo 6) bertanya-tanya tentang design baru yang kelak akan dicetak di mesin kami. Mereka juga menanyakan tentang kejadian menghebohkan beberapa malam lalu kala seorang mandor yang menggagahi bawahannya, kemasukan mahluk halus.
Mandor dan karyawan wanita itu kini dipecat karena berbuat asusila di tempat kerja dan jadi contoh buruk bagi karyawan lainnya.
Lalu aku mendengar cerita-cerita lain yang terjadi belakangan di pabrik ini. Masalah keuangan. Masalah ketidak puasan karyawan. Masalah pemotongan gaji karyawan. Masalah waste (sampah/limbah) produksi dan penjualannya. Dan hal-hal lainnya.
 
Waduh malah jadi ikutan audit nih.....
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd