Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG PENABUR BENIH (CUCKOLD INSIDE)

CHAPTER 15
PERUBAHAN RISKA



RISKA POV


Hari ini aku merasa sangat segar, tubuhku terasa ringan dan pikiranku jernih. Tadi malam, aku benar-benar merasakan pengalaman yang luar biasa. Rasanya seperti terlelap dalam mimpi yang membawa aku ke dunia yang penuh kenikmatan. Kenikmatan seks yang kuterima tadi malam sungguh membuatku sangat bahagia. Rasanya seperti mendapatkan suntikan energi yang membuat diriku bergetar dengan candu kesenangan. Sayangnya pesta seks itu selesai hari ini juga, aku harus menunggu beberapa waktu lagi sampai para tamu Burhan berkunjung lagi ke sini.

Sore ini, aku baru saja menyelesaikan ritual mandi dan berdandan dengan perasaan lega. Aku pun keluar dari kamar, namun sesampainya di ruang tengah, aku dikejutkan oleh pemandangan yang tak biasa. Ratna dan Neti, dua sahabat karibku, duduk berseberangan dengan raut wajah serius. Biasanya di sore hari seperti ini, kami isi dengan tawa dan canda, tetapi sekarang suasananya terasa berbeda. Langit senja yang memerah melalui jendela seolah-olah turut merasakan ketegangan di ruang tengah ini. Perlahan, aku melangkah mendekati mereka, penasaran dengan apa yang sedang mereka bicarakan.

“Ada apa? Kok serius banget?” Tanyaku sembari duduk di tengah-tengah Neti dan Ratna.

“Coba kamu tanya pendapat Riska?” Tiba-tiba Ratna berkata demikian sambil menatap Neti lekat-lekat.

“Em … Ris … Kalau kamu dilamar oleh seseorang yang tidak kamu cintai, tetapi kehidupanmu sangat dijamin olehnya. Apa yang akan kamu lakukan?” Tanya Neti dengan nada serius.

“Aku?” Tanyaku terkejut.

“Ya … Apa yang akan kamu lakukan?” Tanya Neti lagi.

“Kalau aku sih … Mungkin aku akan menolak lamarannya, karena aku sangat bahagia di sini.” Jawabku penuh keyakinan.

“Aku yakin semua akan menjawab seperti itu.” Neti mendesah.

“Masalahnya, Burhan akan sangat tidak senang dengan keputusan itu.” Sambar Ratna dengan suara tegas.

“Oh sebentar … Sebenarnya apa yang terjadi?” Tanyaku menjadi penasaran.

“Neti dilamar Harry … Bule yang bersama kita semalam. Neti tidak mau tapi takut sama Burhan.” Ratna yang menjawab pertanyaanku.

Aku menatap Neti yang tertunduk lesu dan berkata, “Menurutku Harry ganteng juga.”

Neti mengangkat wajahnya dan menatapku, “Aku tidak menyukainya, Ris … Sama sepertimu, aku merasa bahagia berada di sini.”

“Tapi ingat Net …! Hidupmu ada di tangan Burhan. Kamu tahu, apa yang akan terjadi kalau kehendak Burhan ditentang. Kamu akan menderita, Net …” Ujar Ratna bersungguh-sungguh.

“Apakah Burhan tahu?” Tanyaku pada Ratna.

“Burhan malah yang menyuruh Neti pergi.” Pertanyaanku langsung dijawab Ratna.

Aku terdiam, terperangkap dalam kebingungan yang sama dengan Neti. Jika aku berada di posisinya, hatiku pun akan dilanda badai keraguan. Sebagai sahabat, aku ingin membantunya keluar dari jeratan ini. Namun, aku sadar bahwa Burhan adalah penguasa di tempat ini. Kehendaknya bagaikan tembok tinggi yang membatasi kebebasan kami. Hatiku pilu melihat Neti terbelenggu dalam situasi ini. Aku ingin membebaskan dan melepaskan Neti dari cengkeraman dilema yang mencekiknya. Namun, aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Kekuatan Burhan bagaikan gunung yang tak tergoyahkan, dan aku hanyalah seekor semut kecil yang tak berdaya. Di tengah kekacauan batin ini, aku hanya bisa berharap kalau Neti bisa menemukan jalan keluarnya sendiri.

“Kenapa lagi si bule itu suka sama aku?!” Neti mendesis kesal.

“Karena kamu cantik dan menarik, Net.” Kataku.

“Aku tidak seperti itu, net … Jujur saja, kamu lebih cantik daripada aku.” Ucap Neti dengan senyum miris.

“Rasa suka terkadang gak bisa diatur ke mana jatuhnya. Dia datang begitu saja tanpa kriteria.” Jelas Ratna.

Neti menghela nafas dengan pelan lalu menyandarkan tubuhnya pada punggung kursi yang didudukinya. Kesedihan tergambar jelas di wajahnya. Aku bisa melihat keputusasaan yang menghantui pikirannya, seperti dia terjebak dalam pusaran kegelapan yang tak berujung. Rasanya hatiku ikut teriris melihatnya seperti itu, tidak tahu bagaimana cara membantu atau memberinya dukungan yang memadai.

Tiba-tiba Neti berdiri sambil berkata, “Aku pergi dulu.”

“Hei! Mau kemana?” Tanya Ratna sembari ikut berdiri.

“Ke suatu tempat. Aku ingin sendiri dulu.” Jawab Neti lalu beranjak dari tempatnya.

“Net …! Jangan melakukan hal yang bodoh. Aku mohon tetaplah di sini. Burhan akan mencarimu dan pasti akan menemukanmu!” Suara Ratna sangat tegas juga khawatir.

“Aku tidak akan kabur, Rat … Aku pasti kembali …” Ucap Neti tak bisa lagi ditahan.

“Neti …! Jangan lakukan! Jangan pergi demi kebaikanmu!” Kini Ratna menangkap tangan Neti bermaksud menahannya.

Genggaman Ratna terlepas saat Neti mengibaskan tangannya dengan kasar. Air mata mengalir di pipinya, dan tanpa aba-aba, Neti berlari keluar gedung, meninggalkan Ratna dan aku yang terpaku. Ratna mencoba mengejarnya, namun langkah kaki Neti jauh lebih kencang. Aku hanya terduduk di kursi, tak berniat untuk mengejar Neti. Pikiran ku kacau, diliputi kebingungan dan keraguan. Aku tak tahu harus bagaimana menghadapi situasi ini. Tak lama kemudian, Ratna kembali dengan wajah pucat pasi. Napasnya tersengal-sengal, dan matanya berkaca-kaca.

“Ini bahaya, Ris … Neti seharusnya sebentar lagi pergi dengan Harry. Kalau Burhan tahu Neti tak ada, aku tak tahu apa yang akan terjadi padanya.” Suara Ratna sarat dengan kekhawatiran yang luar biasa.

“Terus bagaimana?” Aku juga menjadi khawatir.

“Aku juga tidak tahu!” Pekik Ratna benar-benar panik.

Aku dan Ratna saling bertatapan, kebingungan terukir di wajah kami. Ratna mungkin sama denganku, ingin membantu Neti, tetapi tidak tahu bagaimana caranya. Keheningan menyelimuti ruangan, hanya suara isak tangis Ratna yang memecahnya. Aku merengkuhnya, mencoba memberikan sedikit ketenangan. Dalam pelukanku, Ratna terisak semakin keras, air matanya membasahi bajuku. Aku tak tahu apa yang harus dilakukan, hanya bisa berharap Neti baik-baik saja.

Tiba-tiba jantungku berdegup kencang. Tubuhku gemetar hebat, panik dan ketakutan menyelimuti diriku. Aku melihat Burhan dan Harry datang menghampiri aku dan Ratna. Ratna pun tak kalah terkejutnya. Matanya terbelalak lebar, wajahnya pucat pasi. Aku tahu, dia merasakan hal yang sama denganku. Burhan dan Harry mendekat dengan langkah santai. Senyum terukir di bibir mereka. Aku menggenggam tangan Ratna erat-erat, berusaha memberinya kekuatan.

"Dimana Neti?" Tanya Burhan dengan suara dingin.

“Dia sedang keluar sebentar. Baru saja dia pergi.” Jawab Ratna gemetar.

“Apa?! Keluar?! Aku sudah bilang, jaga dia baik-baik!” Ucap Burhan dengan wajah marah.

“Aku sudah berusaha menahannya … Tapi …” Belum sempat Ratna menyelesaikan ucapannya, telapak tangan Burhan keburu mendarat di pipi kiri Ratna.

PLAAKKK !!!

“Aku menyuruhmu untuk menjaganya. Tapi kau biarkan dia pergi! Aku sangat tidak suka pembangkangan!” Geram Burhan dengan bola mata yang seakan ingin loncat dari kelopaknya.

“Santai saja, Burhan … Aku bisa menunggu …” Ucap Harry coba menenangkan Burhan.

“Hah! Anak itu buat masalah saja!” Teriak Burhan benar-benar murka. “JULIUS! KE SINI!” Teriak Burhan cukup memekakan telingaku.

Aku melihat ajudan Burhan berlari lalu berkata, “Siap melaksanakan perintah!” Kata Julius kemudian.

“Cari si Neti … Seret dia ke sini!” Perintah Burhan keras.

“Siap Boss …!” Julius berdiri tegak sambil menghormat, kemudian pergi dengan cepat.

Burhan menatap Ratna dengan tatapan tajam, seperti bara api yang membara. Matanya dingin dan menusuk, bagaikan pisau yang siap menebas. Aku tak berani menatapnya balik, hanya bisa menunduk dalam rasa takut dan tak berdaya. Sesekali, Burhan mengalihkan pandangannya padaku. Setiap kali itu terjadi, aku merasakan hawa dingin menjalar di seluruh tubuhku. Aku tak berani membalas tatapannya, karena aku tahu apa yang ada di baliknya yaitu kemarahan dan kekecewaan.

“Ayo Burhan!” Ajak Harry pada Burhan.

Aku melirik Burhan yang mukanya merah padam. Amarahnya masih membara, dan aku tahu dia ingin melampiaskannya. Untungnya, tak lama kemudian, Burhan dan Harry meninggalkan kami. Aku lega, tapi kekhawatiran masih menyelimuti hatiku. Aku langsung memeluk Ratna yang masih menangis tersedu-sedu. Aku tak tahu apa yang harus dilakukan untuk menghiburnya. Situasi benar-benar kacau, dan aku tak tahu nasib Neti selanjutnya. Perasaanku benar-benar tak menentu. Sedih, marah, dan khawatir. Aku sedih melihat Ratna yang terluka. Aku marah pada Burhan yang telah menyakitinya. Dan aku khawatir dengan keselamatan Neti.

#########


BASTIAN POV


Kupacu motorku dengan kecepatan tinggi. Namun tak lupa doa-doa terus kupanjatkan agar aku sampai dengan selamat ke tempat tujuan. Setelah menerima telepon dari Neti, aku tak bisa menahan diri untuk tidak menemuinya. Dia menangis dan mengatakan ingin bunuh diri. Tentu saja aku tidak ingin itu terjadi. Pikiranku dipenuhi oleh bayangan-bayangan buruk tentang apa yang bisa terjadi jika aku terlambat. Dengan hati yang was-was, aku memacu motorku melewati jalan-jalan yang ramai, berharap bisa sampai ke tempat Neti berada dengan secepat mungkin.

Setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh, akhirnya aku tiba di sebuah taman kota yang sepi. Kakiku melangkah memasuki taman kota yang sepi. Udara malam terasa dingin menusuk, menusuk lebih dalam ke dalam hatiku yang penuh kekhawatiran. Aku terus meneliti setiap sudut taman, mencari sosok Neti yang sedari tadi tak kunjung kutemukan.

Di kejauhan, aku melihat sesosok tubuh yang duduk termenung di bangku taman. Semakin aku mendekat, semakin yakinlah kalau itu adalah Neti. Tubuhnya yang terbungkus jaket tebal tak mampu menyembunyikan kesedihan yang terpancar dari aura dirinya. Aku berlari kecil, menghampirinya dengan rasa lega dan haru. Napasku tertahan saat melihat wajah Neti yang berlinang air mata. Matanya yang sembab dan pipinya yang basah menunjukkan bahwa dia telah menangis cukup lama. Aku duduk di sisinya, tanpa suara, membiarkan keheningan malam menemani kami.

“Terima kasih sudah mau datang.” Ucapnya lirih.

“Ada apa? Kenapa kamu begitu sedih?” Tanyaku.

“Bas … Sebenarnya aku ingin sekali hidup bebas seperti orang lain. Hidupku yang sekarang ini dipegang oleh kekuasaan yang sama sekali aku tidak bisa melawan. Aku tidak bisa memilih kemana aku akan pergi. Aku ingin keluar dari kehidupanku, Bas. Bawalah aku kemana pun yang kamu suka. Selamatkanlah aku … Aku mohon …” Lirihnya sangat sendu.

Kata-kata Neti menggema di telingaku, bagaikan mantra yang membingungkan. Aku tertegun, tak mampu berkata-kata. Pikiran berkecamuk, berusaha mencerna apa yang baru saja kudengar. Aku tak tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Neti hanya memberikan petunjuk samar, teka-teki yang sulit dipecahkan. Aku ingin membantunya, tapi aku tak tahu bagaimana. Aku tak ingin salah langkah, yang malah memperparah situasinya.

“Aku mencintaimu, Bas … Aku hanya ingin hidup bersamamu …” Lanjut Neti.

Kata-katanya menusuk hatiku. Dalam keterbukaannya, ada kepercayaan yang dia berikan, dan itu lebih dari apapun yang bisa diungkapkan kata-kata. Keheningan menyelimuti kami. Hanya suara angin sepoi-sepoi yang menemani. Aku menatap Neti, berusaha membaca raut wajahnya. Aku ingin tahu apa yang dia inginkan, apa yang dia butuhkan. Akhirnya, lenganku bergerak sendiri, melingkupi bahunya yang sedikit bergetar. Dia tak menolak, malah semakin mencondongkan tubuhnya. Kehangatannya merambat ke dadaku, menyatu dengan debar liar yang dipicu oleh perasaan baru yang mekar tiba-tiba.

“Kita pulang ke rumahku.” Aku putuskan untuk membawanya pulang. Bukan pulang ke rumahnya, tapi ke tempatku. Bukan hanya sebagai teman yang menghibur, tapi sebagai seseorang yang mungkin bisa melindunginya lebih dari itu.

Senyum Neti merekah, secerah matahari pagi yang mulai muncul di ufuk timur. Kami pun berdiri bersama, bahu bersentuhan, melangkah menuju kendaraan kami yang terparkir di pinggir jalan. Namun, langkah kami terhenti saat sebuah mobil sedan hitam megah berhenti tepat di dekat kendaraan kami. Pintu mobil terbuka, memperlihatkan wajah-wajah asing yang menatap kami dengan tatapan tajam. Detak jantungku berdegup kencang, firasat buruk mulai menyelimuti.

Tiba-tiba, Neti menarikku dengan paksa, menjauh dari mobil yang baru datang itu. "Lari, Bas!" teriaknya panik. Aku tak perlu bertanya dua kali. Adrenalin mengalir deras di tubuhku, mendorong kakiku untuk berlari secepat kilat.

Namun, saat aku berlari, Neti malah diam di tempatnya. Rasa panik melanda. Aku tak mungkin meninggalkannya. Aku kembali ke tempatnya, berusaha meraih tangannya untuk membawanya pergi dari tempat ini. Sayangnya, orang-orang yang keluar dari mobil sudah terlalu dekat.

"Pergi, Bas! Cepat!" teriak Neti, mendorongku menjauh. Aku sempat kebingungan, terperangkap antara rasa panik dan keinginan untuk melindunginya. Namun, akhirnya aku memutuskan untuk memutar badan dan berlari, menjauh dari tempat berbahaya ini.

Baru saja beberapa langkah berlari, tiba-tiba aku merasakan sesuatu menusuk bahuku. Rasa sakit yang menusuk dan panas menjalar di seluruh tubuhku. Seketika itu juga, pandanganku mulai memburam. Dunia seakan berputar, dan kemudian … Aku tak ingat apa-apa lagi. Kegelapan menyelimutiku. Aku jatuh pingsan, tak tahu apa yang terjadi selanjutnya.

********


RISKA POV


Malam semakin larut, di kamar Ratna, aku masih setia menemani sahabatku yang tengah dirundung kesedihan. Ratna duduk termenung di sisi tempat tidurnya, sesekali menyeka air mata yang mengalir di pipinya. Keadaan Ratna sedikit membaik. Wajahnya yang pucat pasi kini mulai menunjukkan rona merah samar. Pikiran Ratna masih terpaku pada Neti yang kini entah bagaimana nasibnya. Ratna memang sangat dekat dengan Neti. Mereka bagaikan dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Sejak lama, mereka sudah bersama-sama di tempat ini, berbagi suka dan duka.

Aku memahami perasaan Ratna. Aku pun merasakan kehilangan yang sama. Neti bukan hanya sahabat kami, tapi juga bagian dari keluarga kami. Namun, aku tak ingin Ratna terus terpuruk dalam kesedihan. Aku ingin dia bangkit dan kembali menjadi Ratna yang ceria dan penuh semangat. Aku yakin Neti pun tak ingin melihatnya seperti ini.

"Ratna," ujarku pelan, berusaha menarik perhatiannya. "Neti pasti tak ingin melihatmu seperti ini. Dia pasti ingin kamu tersenyum dan bahagia."

Ratna menatapku dengan matanya yang berkaca-kaca. "Tapi, Riska, aku sangat mengkhawatirkannya. Aku tak tahu apakah dia masih hidup atau tidak."

Aku menggenggam tangannya erat-erat. "Aku yakin Neti masih hidup."

“Aku sangat takut, Ris … Pembangkangan kepada Burhan taruhannya adalah nyawa.” Ucap Ratna sembari mengusap air matanya.

“Aku yakin, Burhan tidak akan sekejam itu pada Neti. Lagi pula, Harry sangat menginginkan Neti. Aku percaya, Harry akan melindunginya.” Aku coba menentramkan hati Ratna.

“Ya … Aku berharap seperti itu …” Lirihnya.

Aku dikejutkan oleh suara pintu kamar yang terbuka tanpa diketuk. Aku dan Ratna menoleh ke arah pintu, dan di sana kami melihat Firda dan Sinta yang masuk dengan tergesa-gesa. Wajah mereka tegang, penuh dengan ekspresi yang sulit untuk digambarkan. Sinta menutup pintu kamar dengan rapat, sementara Firda langsung menghampiri kami.

Firda duduk di tepi tempat tidur Ratna, dan tanpa basa-basi langsung berkata, "Aku punya kabar tentang Neti." Jantungku berdegup kencang. Rasa penasaran dan gugup bercampur aduk di dalam hatiku. Aku menatap Firda dengan penuh harap, menanti kelanjutan kalimatnya. "Neti ditemukan," kata Firda pelan. "Dia langsung dibawa Harry ke Inggris."

Ratna tersentak, matanya terbelalak lebar. "Apa? Benarkah?"

Firda mengangguk. "Ya, benar. Tapi, pacar Neti sekarang menjadi tawanan Burhan. Dia dibawa ke pelabuhan dan akan dikirim ke Cina.”

Kini giliran aku yang dilanda rasa terkejut yang luar biasa. Kabar yang disampaikan Firda bagaikan bom yang meledak di kepalaku. Pacar Neti ikut tertangkap bersama Neti, dan itu berarti Bastian. Bastian ditangkap oleh Burhan, dan bayangan nasib mengerikan yang menimpanya langsung tergambar di pikiranku. Tubuhku terasa kaku, tak mampu bergerak. Mataku terbelalak dalam kebingungan, berusaha mencerna semua informasi yang baru saja kudengar. Aku merasa kehilangan kendali atas situasi ini. Semuanya terasa seperti mimpi buruk yang nyata. Aku tak tahu apa yang harus dilakukan. Pikiran kacau, dan aku tak bisa berpikir jernih. Aku hanya ingin membantu mereka, tapi aku tak tahu bagaimana.

“Aku yang terpenting Neti tidak apa-apa … Syukurlah kalau dia langsung dibawa Harry …” Ucap Ratna penuh kelegaan.

“Ya … Tapi yang kasihan pacarnya itu. Dia tinggal tunggu waktu saja untuk mati.” Kata Sinta yang membuatku semakin gundah.

“Oleh karena itulah, sebaiknya kita dari sekarang jangan melibatkan orang lain. Jadi begini akhirnya.” Kata Ratna.

Ratna, Firda, dan Sinta terus berbicara satu sama lain, dengan nada serius dan cemas. Aku memperhatikan mereka dan yang kudengar hanyalah pembicaraan tentang menutup mulut dan melindungi diri sendiri. Darahku berdesir dingin. Mereka malah memikirkan keselamatan mereka sendiri. Kekecewaan menusuk hatiku, tajam dan pahit. Aku menatap mereka sambil berusaha menahan air mata yang ingin keluar dari pelupuk mata. Mungkin mereka benar, ini terlalu berbahaya. Akhirnya aku merasa terjebak, bingung dan tak berdaya. Apakah ini akhir? Apakah aku harus merelakan Bastian untuk selamanya?

########


BASTIAN POV


Mataku terbuka, dan yang kulihat hanya kegelapan. Gelap gulita, tanpa setitik cahaya pun. Rasa sakit menusuk di kepalaku, berdenyut-denyut bagaikan drum yang dipukul tanpa henti. Aku mengerjap beberapa kali, mencoba menyesuaikan diri dengan kegelapan yang menyelimuti. Perlahan, indra-indrakupun mulai bekerja. Aku merasakan tubuhku terbaring di atas permukaan kayu yang kasar. Tangan dan kakiku terikat erat, tali kasar mengikat pergelangan tanganku dan kakiku dengan kuat. Aku mencoba bergerak, namun sia-sia. Ikatannya terlalu kuat, dan rasa sakit di pergelangan tanganku semakin menjadi.

Pikiranku mulai jernih. Aku harus keluar dari sini. Aku tidak tahu di mana aku berada, dan aku tidak tahu siapa yang menjebakku. Tapi satu hal yang pasti, aku harus segera keluar dari tempat ini. Dengan ingatan samar tentang trik sulap yang pernah aku pelajari, aku mulai berusaha melepaskan ikatan di tanganku. Perlahan, dengan gerakan kecil dan hati-hati, aku berhasil melonggarkan tali yang mengikat pergelangan tanganku. Rasa sakit yang luar biasa membuatku hampir menyerah, tapi tekadku untuk keluar dari tempat ini menguatkanku.

Setelah beberapa menit yang terasa seperti berjam-jam, akhirnya aku berhasil melepaskan ikatan di tanganku. Aku segera melepaskan ikatan di kakiku, dan dengan rasa lemas aku bangkit berdiri. Kakiku masih terasa lemas, dan kepalaku masih berdenyut-denyut. Tapi aku tidak punya waktu untuk beristirahat. Aku melangkah dengan hati-hati dalam kegelapan. Ruangan ini terasa begitu luas, dan aku tidak tahu ke mana harus pergi. Tiba-tiba, kakiku tersandung sesuatu, dan langsung saja terdengar suara mengaduh.

“Adduuhh …!” kudengar suara pria.

“Oh … Maaf …” Kataku sambil langsung berjongkok dan meraba-raba.

“Bukakan ikatanku!” Katanya terdengar seperti perintah.

“Baiklah … Sabar … Aku tak bisa melihat.” Kataku sambil meraba-raba.

Dengan hati-hati, aku meraba-raba tubuh yang tergeletak di depanku. Aku menemukan tali yang mengikat kakinya. Segera saja aku membukanya, kemudian tali di tangannya.

Dalam kegelapan, orang yang kubebaskan itu berbisik, "Terima kasih." Suaranya serak dan lemah.

Aku merasakan rasa kasihan dan ingin tahu yang semakin besar. "Siapa kamu?" Tanyaku pelan.

“Aku adalah musuh Burhan. Namaku Gilang. Siapa namamu?” Tanyanya kemudian.

“Namaku Bastian.” Jawabku.

“Kenapa kamu ditangkap si Burhan?” Tanya Gilang.

“Em … Aku tak tahu …” Jawabku enggan mengatakan yang sesungguhnya.

“Baiklah … Kita harus mencari jalan keluar dari sini. Aku tahu, kita berada di dalam kapal cepat si Burhan. Kita dalam perjalanan ke Batam saat ini.” Jelasnya yang sukses membuatku terkejut.

“Batam? Kita menuju ke Batam?” Gumamku tak percaya. Setelah itu, aku terdiam sejenak, mencerna informasi ini. Kami berdua diculik, dan sekarang terjebak di ruangan gelap ini.

"Kita harus keluar dari sini." Kataku dengan tekad. Gilang tidak menjawab, tapi aku merasakan gerakan di sampingku. Dia sepertinya sedang berusaha berdiri. "Aku akan membantumu." Kataku. Aku meraih tangannya dan membantunya berdiri. Gilang masih sedikit lemas, tapi dia bisa berdiri dengan tegak. "Sekarang, kita harus mencari jalan keluar." Kataku.

Aku meraba-raba dinding ruangan, mencari saklar lampu atau pintu. Tapi tidak ada apa-apa. Ruangan ini benar-benar gelap dan tanpa jalan keluar.

"Sepertinya tidak ada pintu di sini," kataku.

"Mungkin ada jendela." Kata Gilang.

Tiba-tiba, setelah sekitar setengah jam perjalanan, kami dikejutkan oleh suara benturan keras di luar kapal. Kapal oleng dengan keras, menyebabkan aku dan Gilang terguling-guling di lantai ruangan yang gelap. Rasa panik menyelimuti kami ketika menyadari bahwa kapal telah bertabrakan dengan sesuatu dan mulai terbelah. Kegelapan dan kekacauan melanda. Air mulai merembes masuk ke dalam ruangan, membuat kami semakin panik. Kami berusaha mencari jalur keluar dalam kondisi yang mencekam ini.

Aku dan Gilang bekerja sama, meraba-raba dinding dan mencari celah yang bisa kami lalui. Air semakin meninggi, dan kami merasakan keputusasaan mulai menggerogoti kami. Namun, di tengah keputusasaan itu, kami menemukan sebuah pintu darurat yang terbuka, mungkin akibat benturan tadi. Dengan sisa-sisa tenaga, kami membuka pintu dan melangkah keluar ke koridor gelap kapal yang tergenang air.

Berpegangan pada railing kapal, kami berjalan perlahan-lahan menuju dek atas. Air terus naik, dan kami nyaris terseret arus. Akhirnya, kami berhasil mencapai dek atas. Di sana, kami menemukan sebuah perahu penyelamat yang masih utuh dan siap digunakan. Tanpa ragu, kami melompat ke dalam perahu dan melaju menjauh dari kapal yang tenggelam. Di kejauhan, kami melihat sebuah pulau kecil. Dengan penuh harapan, kami mengarahkan perahu ke pulau tersebut. Namun, di depan kami, ada sebuah perahu lain yang juga sedang menuju pulau tersebut. Di dalam perahu itu, kami melihat tiga orang.

“Mereka pasti anak buah Burhan … Lebih baik kita menjauh dari mereka …” Ucap Gilang penuh keyakinan.

“Mereka mungkin memegang alat komunikasi. Kita butuh itu.” Kataku.

“Mereka juga mempunyai pistol.” Gilang memperingatiku.

Aku langsung tersadar dan segera mengarahkan perahu ke arah lain, menjauh dari perahu yang kami lihat sebelumnya. Kami berperahu tanpa tujuan yang pasti. Lautan luas terbentang di depan kami, hanya dihiasi oleh beberapa bintang di langit malam. Aku dan Gilang bergantian mendayung, sesekali berbincang-bincang untuk mengisi keheningan malam. Perlahan, Gilang mulai membuka diri. Dia menceritakan kisahnya, tentang bagaimana dia menjadi pesaing bisnis Burhan di dunia casino dan akhirnya diculik. Dia juga mengungkapkan rencana Burhan untuk mengirim kami berdua ke Singapura, kemudian ke Cina, untuk diambil organ tubuh kami dan dijual. Semakin lama aku bersama Gilang, semakin aku merasakan kedekatan dengannya. Kami saling berbagi cerita dan rasa, menciptakan ikatan yang tak terduga di tengah situasi yang mencekam ini.

“Lihat!” Teriakku sambil menunjuk sebuah pulau.

“Ya … Aku melihatnya!” Seru Gilang sangat bersemangat.

“Sini aku yang mendayung.” Kataku sambil menghampiri Gilang yang sedang mendayung.

Gilang pun memberikan tempat dan dayung padaku. Dengan cepat aku mendayung ke arah pulau yang tampak masih kecil di pandanganku.

Aku terus mendayung perahu kecil itu dengan sekuat tenaga. Pulau yang tadinya hanya terlihat seperti titik kecil di kejauhan, lama-lama mulai membesar. Semakin terlihat besar, seakan-akan tenagaku pun bertambah berlipat-lipat. Akhirnya, setelah perjuangan yang panjang dan melelahkan, kami sampai di pulau itu. Pasir putih terhampar luas di pantai, dengan jejeran pohon kelapa yang melambai-lambai tertiup angin. Aku menarik perahu ke darat, dan kami berdua tersungkur di atas pasir, kelelahan.

“Kita hanya berharap ada kapal nelayan yang akan menemukan kita.” Ucap Gilang sambil bangkit dan duduk menangkup kedua lututnya.

“Ya … Atau ada keajaiban yang bisa menolong kita.” Responku sembari bangkit mengikuti Gilang.

Kupandang hamparan laut yang membentang luas di hadapanku. Tak lama, kami mengamati sekeliling kami, berharap menemukan tanda-tanda kehidupan. Tapi, pulau ini tampak sepi. Tidak ada rumah, tidak ada orang, bahkan tidak ada suara binatang. Hanya suara ombak yang memecah kesunyian. Meskipun pulau ini tidak berpenghuni, aku merasa lega. Setidaknya kami berhasil melarikan diri dari maut. Di sini, kami memiliki kesempatan untuk memulai harapan baru.

Gigi Gilang bergemeletuk, memeluk dirinya sendiri erat-erat untuk melawan rasa dingin yang menusuk tulang. Aku tak jauh berbeda, tubuhku menggigil tak terkendali. Kedinginan menusuk sampai ke dalam relung jiwa. Terdampar di pulau kosong tanpa persiapan sama sekali, situasi ini tak pernah terbayangkan sebelumnya. Satu-satunya harapan kami adalah api. Api yang akan memberikan kehangatan, mengusir rasa dingin yang tak tertahankan. Dengan tekad kuat, kami memulai pencarian bahan bakar. Gilang menyusuri pantai, mencari kayu kering dan ranting-ranting kecil. Aku tak mau tinggal diam, membantu mencari dedaunan kering dan serpihan kayu yang mudah terbakar.

Saat bahan bakar terkumpul, aku mulai merakit api unggun. Pengetahuanku sebagai pecinta alam diuji saat ini. Teknik pembuatan api dengan gesekan kayu dengan kayu menjadi satu-satunya harapan. Kuambil dua batang kayu, satu sebagai alas dan satu untuk digesekkan. Dengan gerakan cepat dan kuat, aku menggesekkan batang kayu di atas papan alas. Awalnya, usahaku tak membuahkan hasil. Rasa frustrasi mulai menggerogoti. Tapi, aku tak mau menyerah. Ingatanku melayang pada masa-masa di alam bebas bersama teman-teman pecinta alam. Ketekunan dan kesabaran menjadi kunci utama.

Dan akhirnya, setelah perjuangan panjang, percikan api pertama muncul. Seolah sebuah keajaiban, api kecil mulai menari-nari di atas kayu. Segera, aku menyuruh Gilang untuk menambahkan daun kering dan ranting kecil. Api pun mulai membesar, memberikan kehangatan yang sangat kami butuhkan. Duduk di dekat api unggun, kami merasakan kehangatan yang tak hanya di tubuh, tapi juga di hati.

Namun, rasa haus dan lapar mulai mendera, menggerogoti perut dan membuat kami semakin lemah. Aku tak ingin berlama-lama di dekat api unggun, menunggu rasa lapar dan haus semakin menyiksa. Aku memutuskan untuk mencari buah kelapa yang mungkin terjatuh di sekitar pantai. Untungnya, pohon-pohon kelapa tumbuh subur di pulau ini. Dengan tekad dan sisa tenaga, aku menyusuri pantai. Tak lama kemudian, aku menemukan beberapa buah kelapa yang tergeletak di atas pasir. Segera, aku membawa kelapa-kelapa itu kembali ke api unggun.

Bersama Gilang, kami menggunakan batu besar untuk memecahkan kelapa. Air kelapa segar yang mengalir langsung kami teguk dengan lahap, melegakan tenggorokan yang kering dan membakar. Daging kelapa yang tak banyak tak menjadi masalah. Kami memakannya dengan penuh rasa syukur, menikmati setiap gigitan yang terasa begitu berharga. Duduk di sekitar api unggun lagi, kali ini dengan perut yang sudah terisi dan tenggorokan yang tidak lagi kering.

“Sepertinya kamu biasa hidup di tempat liar seperti ini?” Tanya Gilang sambil menambah kayu bakar.

“Dulu aku seorang pecinta alam. Waktu kuliah aku sering diuji seperti ini oleh senior-senior.” Jelasku.

“Pantas saja.” Gumam Gilang sambil tersenyum.

“Gilang … Kamu tadi bilang kalau kamu adalah musuh Burhan. Yang ingin aku tanyakan, siapa Burhan itu? Dan kenapa kamu memusuhinya?” Tanyaku ingin tahu.

Napas Gilang tercekat, matanya menerawang jauh, seolah mengingat kembali masa kelamnya. "Burhan," bisiknya pelan, "Dia adalah gembong kejahatan yang kejam. Bisnisnya tak hanya casino, tapi juga perdagangan organ manusia yang terlarang."

Aku ternganga, tak percaya dengan apa yang kudengar. "Organ manusia?" tanyaku, suara serak.

Gilang mengangguk pelan. "Ya. Dia menculik orang-orang untuk diambil organ tubuhnya, kemudian dijual kepada orang-orang yang membutuhkan dengan harga selangit."

Tubuhku bergidik ngeri. Bayangan tentang kekejaman Burhan membayangi pikiranku. "Apakah dia ingin menjual organ tubuh kita?" tanyaku lagi, berusaha memahami situasi yang rumit ini.

"Benar," jawab Gilang. "Dia ingin menyingkirkan pesaingnya, termasuk aku. Aku memiliki casino yang lebih ramai daripada miliknya, dan dia tak menyukainya. Dia menculikku untuk dilenyapkan, tapi untungnya kita berhasil lolos. Ngomong-ngomong, apa yang menyebabmu bermasalah dengan Burhan?”

Gilang bertanya seperti itu untuk kedua kalinya, “Aku tidak tahu pasti. Tapi aku menyangka kalau aku dekat dengan salah satu haremnya.”

“Hhhmm … Masuk akal …” Gilang menepuk bahuku dengan lembut. "Kita berdua adalah korban kekejaman Burhan. Sekarang, yang terpenting adalah kita harus bertahan hidup di pulau ini dan mencari cara untuk kembali ke rumah. Setelah berhasil kembali, kita harus membalasnya."

Aku terdiam, tak mampu mencerna ucapan Gilang. Pikiran masih berkecamuk, berusaha memahami situasi yang rumit ini. Burhan, gembong kejahatan, perdagangan organ manusia, casino - semua itu terasa seperti mimpi buruk. Aku tak ingin merespon ucapannya. Aku tak ingin memikirkan semua itu saat ini. Tubuhku lelah, dan pikiranku penat. Rasa kantuk pun mulai melanda.

Akhirnya, aku berbaring di atas pasir dekat api unggun. Hangatnya api menyelimuti tubuhku, membawa rasa nyaman dan aman. Kulihat langit malam yang penuh bintang, berkilauan dengan indahnya. Aku memejamkan mata, perlahan terlelap dalam tidur yang damai. Mimpi indah tentang rumah menyapa alam bawah sadarku. Dalam mimpi itu, tak ada Burhan, tak ada kekejaman, hanya ada kedamaian dan kebahagiaan.

########


RISKA POV


Sinar mentari pagi menembus jendela kamarku. Biasanya aku enggan bangun pagi, tapi hari ini, rasa penasaran dan kegundahan membangunkanku lebih awal. Segera aku mandi, berpakaian, dan berdandan seperlunya. Tak ingin berlama-lama di kamar, aku keluar dan berjalan menuju taman bunga yang terletak di belakang istana. Udara segar pagi hari menyapa wajahku, membawa aroma harum bunga-bunga yang bermekaran. Taman bunga ini selalu menjadi tempat favoritku untuk menenangkan diri.

Langkah kaki ini membawa aku ke sudut taman favoritku, di mana sebuah bangku taman putih berdiri di bawah pohon rindang. Aku duduk di sana, menikmati keindahan taman bunga yang memanjakan mata. Namun, ketenangan pagi ini tak mampu sepenuhnya menenangkan hatiku. Pikiranku masih saja tertuju pada Bastian. Nasibnya yang tak jelas membuatku gelisah. Aku memejamkan mata, mencoba merasakan kehadirannya di dekatku.

“Riska …” Tiba-tiba suara pria membangunkan lamunan.

“Eh, Gun …” Ternyata Gunawan yang sedang menghampiriku.

“Tumben, pagi-pagi sudah di sini.” Ucap Gunawan kemudian duduk di sebelahku.

“Aku sedang galau, Gun.”

“Galau kenapa?”

“Kamu harus janji gak akan membicarakan ini sama siapa pun.” Kataku pelan.

“Ya … Aku janji.” Jawab Gunawan.

“Kamu ingat sama temanku yang disukai Neti?”

“Ya … Bastian bukan?”

“Ya … Dia …” Lirihku lalu menghela napas pelan. “Semalam Bastian ditangkap Burhan dan dibuang ke Cina.” Kataku setengah berbisik.

“Oh … Dia rupanya …” Tiba-tiba Gunawan memegang tanganku. Aku pun langsung menoleh padanya. “Aku yakin Bastian selamat.” Bisik Gunawan yang sukses membuatku terperanjat.

“Kok bisa?” Hati ini seperti disiram air yang menyegarkan.

“Aku mendengar kabar kalau kapal cepat yang membawa Bastian karam di tengah laut. Si Dudi yang bawa temanmu itu mengatakan kalau tawanannya berhasil selamat. Tapi kamu jangan bilang siapa-siapa kalau tawanan Burhan selamat. Kalau ini diketahui Burhan, si Dudi dengan anak buahnya pasti dipenggal kepalanya sama Burhan.” Jelas Gunawan membuatku tersenyum lebar.

“Kamu tahu berita itu dari siapa?” Tanyaku ingin keyakinan.

“Bono … Si Dudi nelepon si Bono dan sekarang si Bono sedang menjemput si Dudi di tengah laut.” Jawab Gunawan.

“Syukurlah …” Aku sedikit lega.

“Ingat! Ini rahasia kita.” Bisik Gunawan lagi.

“Oke …” Jawabku sambil mencium pipi Gunawan lalu berdiri dan berjalan meninggalkan Gunawan.

“Hei! Kamu mau kemana?” Tanya Gunawan.

“Aku ada urusan dulu.” Jawabku dengan langkah yang semakin terburu-buru.

Aku terus berjalan kembali ke kamarku. Sesampainya di kamar, aku segera menyambar buku kecil catatan telepon. Jariku cekatan mencari buku catatan telepon, jemariku langsung mendarat di nama Lina. Dengan antusias, aku mencatat nomornya di ponselku. Kaki melangkah keluar dari kamar, menuju ruangan di mana motorku terparkir. Burhan memang menyediakan motor atau mobil untuk keperluanku. Mesin motor menderu, membawaku keluar dari gerbang istana. Pemandangan pagi yang indah menyambutku. Pepohonan hijau melambai di tepi jalan, diiringi dengan aktivitas para penduduk di sekitar.

Tak lama kemudian, sampailah aku di sebuah kafe yang nyaman. Aroma kopi yang menggoda langsung menusuk hidungku. Aku melangkah masuk, disambut oleh keramaian pengunjung dan alunan musik yang lembut. Mencari tempat duduk yang nyaman, aku memesan secangkir kopi favoritku dan beberapa makanan kecil untuk menemani. Sambil menunggu pesanan datang, aku membuka ponselku dan mengirim pesan teks kepada Lina. Aku ingin bertemu dengannya di kafe ini. Tak lupa aku memberitahu Lina nama kafe ini dan alamatnya.

Pesanan akhirnya tiba. Secangkir kopi hangat mengepul di depanku, aromanya begitu menggoda. Aku menyesapnya perlahan, menikmati setiap tegukan yang menyegarkan. Gigitan demi gigitan makanan kecil yang lezat pun menambah kenikmatan pagiku. Getaran halus dan suara dering ponsel di atas meja menandakan adanya panggilan masuk. Aku ambil alat komunikasi itu dan layarnya yang terang menampilkan nama "Lina" tertulis di atasnya. Jantungku berdetak sedikit lebih cepat. Perasaan ragu sejenak menyelimuti diriku, namun aku segera menepisnya dan menekan tombol untuk mengangkat panggilan.

"Halo, Riska …!!! OMG… Aku akan ke sana. Kamu jangan kemana-mana!" Suara Lina yang terkejut terdengar dari seberang telepon.

"Aku di kafe yang tadi aku sebutkan. Kamu dimana?" jawabku dengan suara yang berusaha tenang.

"Aku dekat dari kafe itu. Sekitar lima menit lagi aku akan tiba di sana." Kata Lina penuh semangat.

"Baiklah, aku tunggu ya."

Aku menutup telepon dan meletakkan smartphoneku kembali di atas meja. Perasaan gugup dan senang bercampur aduk di dalam hatiku. Detik-detik menjelang kedatangan Lina terasa begitu menegangkan. Jantungku berdebar kencang, perasaan gugup dan keraguan menyelimuti diriku. Apakah aku benar-benar ingin membicarakan semua ini dengan Lina? Apakah dia akan mengerti? Pandanganku kembali tertuju pada secangkir kopi di depanku. Kopi yang tadinya terasa hangat dan menyegarkan kini terasa pahit di lidahku. Rasanya, semua rasa gugup dan keraguan ini telah memengaruhi semua inderaku.

Tiba-tiba, bel pintu kafe berbunyi. Aku menoleh ke arah pintu, dan benar saja, di sana berdiri Lina dengan senyumannya yang menawan. Detik-detik selanjutnya terasa seperti mimpi. Aku melangkah maju untuk menyambutnya, dan kami pun berpelukan erat.

“OMG Riska!!! Aku sangat mengkhawatirkanmu!” Ujar Lina dengan mata berkaca-kaca.

“Aku baik-baik saja, Lin …” Jawabku sambil membawanya ke mejaku.

“Jadi, kemana saja kamu selama ini?” Tanya Lina dengan ekspresi penasarannya.

“Ceritanya begini Lin …” Kataku memulai membuka rahasia hidupku pada Lina.

Aku tarik napas panjang, bersiap untuk membuka rahasia yang selama ini aku pendam. Lina menatapku penuh perhatian, matanya yang cokelat hangat seakan menenangkanku. Aku pun mulai menceritakan semuanya, dari awal kedatangan Burhan ke rumahku, hingga saat ini. Aku ceritakan bagaimana Burhan, seorang gembong kejahatan, tiba-tiba muncul di depan pintu rumahku. Bagaimana dia memberitahukan bahwa Heri mempunyai hutang yang tidak bisa dibayaranya. Bagaimana dia perlahan-lahan masuk ke dalam kehidupanku, membawa perubahan dan kebahagiaan yang tak pernah aku duga. Setiap detil yang aku ungkapkan diharapkan dapat memberikan gambaran yang jelas kepada Lina tentang situasi yang sedang aku hadapi. Saat aku selesai bercerita, aku menatap Lina dengan harapan bahwa dia akan memaklumi pilihan hidupku.

“Aku harap kamu tidak berbohong kalau kamu benar-benar bahagia dengan kehidupanmu yang sekarang.” Ucap Lina seperti tidak percaya.

“Aku serius, Lin … Buat apa aku berbohong padamu? Gak ada gunanya aku membohongimu.” Tegasku.

"Tapi, kamu tinggal di lingkungan yang cukup berbahaya, kan?” Suara Lina masih terkesan tidak percaya.

"Ya, memang benar bahwa lingkungan di sekitarku cukup berisiko, tapi aku telah belajar untuk berdamai dengan situasinya.” Jawabku sambil tersenyum.

"Tapi kamu tidak takut atau merasa tidak nyaman?"

“Tidak sama sekali … Aku tidak takut dan merasa nyaman di rumahku yang baru. Percayalah, aku merasa bahagia dengan hidupku saat ini.”

Lina mendengarkan ceritaku dengan penuh perhatian, sesekali menyela dengan pertanyaan yang membuatku semakin semangat menceritakan kehidupan baruku. Awalnya, Lina cukup terkejut dengan pilihanku. Dia tahu aku selalu berhati-hati dan tidak mudah mengambil risiko. Tapi, seiring aku menceritakan perasaanku terhadap Burhan dan bagaimana dia mengubah hidupku, Lina mulai mengerti. Lina tersenyum padaku, dan aku tahu dia merestui pilihanku.

“Lin … Tapi sekarang punya masalah yang membutuhkan bantuanmu.” Kataku.

“Apa itu?” Tanya Lina sambil menatapku tajam.

“Bastian … Bastian sedang membutuhkan pertolongan. Dengarkan, Lin! Bastian sekarang ada di tengah laut mungkin sedang berusaha menyelamatkan diri. Aku ingin kamu mencari bantuan untuk mencarikan Bastian tapi jangan ke polisi. Semua biaya akan aku tanggung.” Kataku.

“Oh … Bastian …” Mata Lina terbelalak.

“Ini ada kaitannya dengan Burhan. Aku ingin menolong Bastian tapi juga aku gak mau Burhan kenapa-napa.”

“Tapi, bagaimana itu bisa terjadi?”

“Aku sendiri kurang jelas duduk persoalannya. Aku pikir itu tidak penting. Sekarang yang terpenting menyelamatkan Bastian yang ada di tengah laut. Aku perkirakan laut itu antara Jakarta dan Singapura.”

“Wow! Luas sekali!” Lina terhenyak dari duduknya.

“Ya … Sangat luas …” Kataku agak pesimis. “Bisakah kamu membantuku?” Tanyaku kemudian.

Lina mengerutkan keningnya beberapa saat sebelum berkata, “Sepertinya aku bisa … Bastian punya teman paranormal.”

“Oh ya?” Aku memekik kegirangan.

“Ya … Namanya Nicko. Aku akan coba meminta bantuannya.” Ucap Lina sambil mengangguk-anggukan kepalanya.

“Kalau begitu, aku sangat mengandalkanmu.” Hatiku lega karena ada sedikit harapan untuk menyelamatkan Bastian.

Aku mulai menemukan alasan untuk tetap berharap, secercah cahaya di tengah kegelapan keputusasaan. Bastian yang terkatung-katung di tengah lautan, kini memiliki peluang untuk diselamatkan. Lina memiliki jalan keluar yang menurutku patut dicoba. Dengan harapan baru ini, semangatku bangkit. Aku ingin membantu Lina sekuat tenaga. Kami berdua terus membahas cara menyelamatkan Bastian.

Waktu terus bergulir, dan akhirnya kami pun berpisah. Aku kembali ke rumah dengan perasaan yang berbeda. Rasa sedih dan cemas masih ada, tetapi kini tercampur dengan optimisme dan semangat baru. Aku yakin, dengan usaha dan kerjasama, aku dan Lina bisa menyelamatkan Bastian.

BERSAMBUNG
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd