Setelah menyelesaikan 2 jam latihan Band kami, Aku dan Bonar saat ini sedang duduk diteras studio rental musik. Faisal, Gatot dan Asep sudah lebih dulu pulang, tinggal menyisakan aku dan Bonar.
"seriusan coy mau ngamen" tanya Bonar
"iya, kayaknya seru ya. Tes mental" jawabku
"iya juga sih, biar gak demam panggung"
"iya. Tapi dimana ya? Disini gak ada lampu merah. Mau di bus takut ilang. Kalo bisa waktunya juga jangan sampe ganggu sekolah"
"gampang kalo itu. Malem aja di taman"
"bener juga Nar. Kalo malem kan taman rame ya, banyak warung tenda juga. Tapi temen-temen gak ada yang mau ngamen"
"kita berdua aja lah. Ntar saya jemput aja, pulangnya saya anterin lagi. Gimana?"
"deal! Tapi yang biasa ngamen disana gimana. Ngerasa diambil gak lapaknya, masa iya kita tau-tau dateng kesana trus ngamen. Bisa dikalungin ban kita"
"santai.. Tenang aja, gak mungkinlah kita di massa. saya kenal sama orang-orang disana, kadang kan saya juga nongkrong disana sama mereka sekalian cuci mata. Ntar kita gabung dulu ama mereka, trus ngikut-ngikut mereka pas ngamen. Baru nyoba ngamen sendiri. Jangan bawa gitar, pake gitar mereka aja. Nah hasil ngamen kita ya kita beliin kopi ama rokok aja buat bareng-bareng. Gimana, sip gak?"
"mantap coy. otak kamu memang encer, saking encernya sampe ngalir lewat kuping. malem ini ya kita mulai"
"ah kampret. gak bisa kalo malem ini, besok aja. Malem ini mau nganterin mamak saya ke Rumah sakit, nengokin tetangga kena DBD"
"okelah, besok malem ya Nar"
"iya, tapi jangan nyanyi lagu Iwan Fals sama Padi terus. Kalo nyanyi lagu laen males-malesan, waktu nyanyi lagu Iwan Fals sama Padi semangat.. "
"kalo itu sih dari jiwa coy, saya kan OI dan Sobat Padi. Hehe.."
"namanya vokalis harus menjiwai semua lagu lah.. "
"saya kan vokalis spesial coy, spesial telornya dua"
"bodo' amat lah, pulang yok" ajak Bonar kepadaku.
Aku ingin merealisasikan saran dan masukkan yang diberikan kakak ku waktu itu untuk mengamen, tujuannya sebagai wadah tes mental dan melatih rasa percaya diri. sayang teman band ku yang lain tidak setuju dengan berbagai macam alasan mereka. Tapi semua itu tidak jadi masalah karena ada Bonar yang bersedia menemaniku.
Keesokan malamnya Bonar datang menjemputku sesuai dengan janjinya. Kami lalu menuju ke taman dan berkumpul bersama teman-teman Bonar yang berprofesi sebagai pengamen. Rata-rata dari mereka adalah anak putus sekolah, tapi ada juga beberapa yang masih bersekolah. Oleh Bonar aku diperkenalkan kepada mereka semua, mereka sangat bersahabat dan menyambut baik kedatanganku. Walaupun baru kenal malam ini, tapi mereka sudah menganggap dan merasa bahwa aku teman mereka. Penampilan mereka bermacam-macam, ada yang gondrong, gimbal, botak, mowhak, tindikan, dan ada juga yang di tato.
Penampilan mereka kental sekali dengan anak jalanan, tapi bukan anak jalanan dengan motor Ninja dan kehidupan mewah. Malam pertama hanya kuhabiskan dengan mengobrol dan melihat mereka mengamen dari jauh. Aku dan Bonar belum ikut mereka turun mengamen. Survey keadaan dulu dan liat cara mereka, kata Bonar. Biasanya mereka mengamen secara bergantian. Hanya 2 atau 3 orang saja, sementara yang lain menunggu dan memberi jeda beberapa waktu baru kemudian dilanjutkan pengamen lainnya.
Suasana taman yang ramai, banyaknya warung tenda berjejer dan ramai pengunjung membuat waktu berjalan terasa cepat. Setelah berpamitan dengan teman-teman baru ku, Bonar lalu mengantarkan aku pulang. Besok malam kita mulai ngamen kata Bonar.
***
Malam ini aku dan Bonar rencananya akan mulai mengamen ke taman. Hasil pengamatan kemarin malam bisa dijadikan sebagai referensi. sebelum dijemput Bonar, aku memutuskan terlebih dahulu untuk ke rumah Jenni. Disamping untuk menceritakan rencanaku itu, aku juga 'sedikit' merasa kangen padanya. Sambil berjalan menuju rumahnya, aku mengirimkan sms.
To : Jenni
KAmu lagi NGapain jEN..
Agak lama kemudian ada sms balasan dari nya
From : Jenni
makan mangGA, tadi beli di tuKANG durEN.
To : Jenni
tuKANG durEN yang JUGA jualan kedonDONG ya
Lama tak ada balasan sms lagi darinya, sampai aku akhirnya tiba didepan gerbang rumah Jenni. Tampak didepan teras ada 2 buah motor dan satu mobil terparkir disana. Aku ingat itu adalah mobil si cowok keren penjahit dari Artomoro, tapi 2 motor itu aku tidak paham motor siapa. Jangan-jangan lagi ada acara lamaran! Jenni lagi di lamar sama keluarganya si cowok keren pikirku. Aku jadi ragu dan mengurungkan niatku untuk masuk.
"ngapain mas? " suara seorang wanita yang tiba-tiba muncul dari balik pohon mangga di dalam halaman.
"Kuntilanak!!" aku menjerit kaget sambil melompat
"ini saya mas, bukan Kuntilanak" ucapnya sambil menahan tawa.
"wah si mbak ternyata. Ngapain malem-malem di situ mbak, bikin kaget aja" ucapku sambil coba menenangkan jantungku. Ternyata dia adalah mbak asisten rumah tangga Jenni.
"mau bakar sampah mas" ucapnya masih sambil menahan tawa.
"bakar sampah kok malem-malem! Lagian ngapain pake baju putih-putih gitu, rambutnya juga gak di iket" ucapku sewot.
"yee suka-suka sayalah.. "
"saya kan kaget jadinya, saya kira tadi suzanna lagi nungguin bang bokir"
"hehehe iya iya maaf. Ngapain disitu aja, kenapa gak masuk mas. Mbak Jen ada kok di dalem" ucapnya sambil ingin membukakan pintu gerbang.
"gak usah mbak. mbak itu kok rame tamu, tamu siapa mbak"
"tamunya mbak Jen"
"bukan acara lamaran kan mbak? Atau nentuin tanggal"
"bukanlah mas. Memang sering kok mereka kesini, mas nya aja yang jarang kesini jadi gak tau"
"oh sering kesini ya mereka mbak. orang kaya semua kayaknya mbak, mobil sama motornya bagus-bagus. Orang berapa mbak"
"iya mas, ini ada 3 orang. Ya maklum aja mbak Jen kan cantik orangnya. Yang maen kesini juga pada necis, bawa kendaraan bagus"
"nyindir neh!"
"hehehe bukan gitu mas. kalo sampeyan kan orang sini, saya juga udah tau. Maksud saya yang didalem"
"kenal gak mbak sama yang didalem siapa aja"
"wah gak tau mas. Katanya sih ada yang anak dokter, anak polisi, ada juga anak yang punya toko emas di plaza"
Wah berat juga pikirku bersaing dengan mereka. Tapi aku tidak boleh menyerah, toh menurut cerita si mbak mereka semua cuma anak-anak. Tinggal di jitak atau pelototi pasti sudah nangis. Tapi anak-anak kok sudah bisa bawa motor dan mobil ya, maen malem juga apa gak di cariin mamanya pikirku.
"mau masuk gak mas.. " tanya si mbak
"gak deh mbak. gak jadi, udah terlalu rame didalem jangan sampe kapak maut naga geni 212 saya makan korban. Saya numpang duduk disini aja, nunggu jemputan temen" ucapku sambil duduk dibawah salah satu patung raksasa seram yang membawa pentungan didepan gerbang rumah Jenni.
Lebih baik aku tidak usah masuk saja. waktu malam itu hanya ada si cowok keren saja aku sudah kikuk, apalagi ketambahan 2 cowok lainnya. Aku tidak mau terlibat dalam situasi seperti itu lagi. Pantas saja Jenni tidak membalas sms ku tadi, mungkin dia repot meladeni obrolan 3 orang cowok yang mengapelinya. Tadi aku juga sudah menghubungi Bonar untuk menjemputku disini. Aku kemudian mengirimkan lagi sms kepada Bonar untuk segera menjemputku.
"jangan lama-lama ya mas, gak enak kalo diliat pacar saya" ucap si mbak.
"iya iya mbak, pelit amat. Sombong amat mentang-mentang punya pacar. Mbaknya ya gak usah disini, lanjutin aja nunggu bang bokir di bawah pohon itu"
Si mbak lalu pergi meninggalkan aku sambil ngedumel, kembali ke pohon mangga huniannya. Sambil menunggu Bonar aku merokok dan sesekali melongok kedalam rumah. Bonar lalu datang menjemputku dan kami langsung menuju taman untuk melakukan debut konser kami.
Jam menunjukkan angka 11 malam ketika tadi Bonar mengantarku pulang. Aku cukup puas dan senang debut konser pertamaku ternyata berjalan cukup sukses. Malam ini terhitung aku kebagian mengamen di 3 warung tenda. 3 warung tenda, dengan 4 lagu yang ku bawakan. satu lagu setiap warung tenda, khusus warung terakhir kuberi bonus satu lagu lagi karena kebetulan ada pengunjungnya yang cantik. Awalnya agak grogi dan malu, tapi saat warung ketiga aku mulai enjoy dan menikmati, aku bahkan tidak sabar untuk menunggu besok malam lagi. Hasil ku mengamen malam ini hanya cukup untuk membeli rokok ketengan dan segelas kopi, lumayan untuk pemula kata teman-temanku.
Sambil bersiap untuk tidur, aku melihat nokia 8250 kesayanganku. Ternyata ada pemberitahuan dilayarnya. 3 sms masuk, dan ketiga sms itu datang dari Jenni.
From : Jenni
Tadi habis pulsa, ini baru isi.
Kulihat jam terkirimnya sms itu, kuperkirakan tidak lama saat Bonar menjemputku tadi. Mungkin sms ini masuk saat kami sedang dalam perjalanan ke taman. Aku lalu membuka sms yang kedua, dari waktunya aku perkirakan sms ini masuk saat aku sedang ditaman.
From : Jenni
Kata mbak, kamu tadi kerumah ya. Kenapa gak masuk?
Kulanjutkan membuka sms ketiga yang datang 20 menit lalu.
From : Jenni
sms tadi salah kirim
Hmm alasan klasik! pasti dia galau karena aku tidak membalas sms nya hahaha. Aku lalu membalas sms darinya.
To : Jenni
baru sampe rumah. Kamu udah tidur?
Lama tidak ada balasan darinya, gantian sekarang aku yang galau. Ah sial, Kebiasaan bener neh cewek gak balas sms. karena terlalu lama menunggu sms balasan yang tidak kunjung datang aku akhirnya tertidur.
***
Saat didalam angkot perjalanan pulang sekolah tadi, aku kepikiran untuk membeli sebuah topi. Topi yang akan kupakai saat mengamen malam nanti di taman. Wah pasti keren, mirip Fadly Padi di konser yang pernah kulihat di TV. Saat ini aku sedang berjalan sendirian didalam plaza, celingukan kesana kemari mencari penjual topi. Pasar atau kami biasa menyebutnya Plaza disini cukup tertata rapi. Berupa jejeran toko yang tersusun rapi. Mirip-mirip Mall sih, tapi versi lebih sederhana dan hanya satu lantai. Bagian depan plaza berupa jejeran toko elektronik dan makanan. bagian dalam yang cukup luas berjejer toko pakaian, sepatu, tas dan lain sebagainya. Dan bagian agak kebelakang berupa toko-toko pecah belah kebutuhan rumah tangga. Sedangkan dibagian belakang luar adalah kios sayuran dan ikan.
Saat sedang celingukan mencari penjual topi, pandanganku terpaku pada satu sosok yang sedang berdiri membelakangiku. Sosok itu memakai pakaian seragam SMA dengan kaos kaki putih tinggi. Tas sekolahnya disandangkan dibahu kirinya. Badannya tinggi langsing dengan kulit kuning langsat. Rambutnya panjang dan lurus sepinggang, tampak manis dengan hiasan bando warna putih dikepalanya.
"Dian Sastro.. " gumamku.
"Cinta di film Ada Apa Dengan Cinta... Lagi ngapain ya. Apa lagi nyariin si Rangga ya"
Mungkin merasa diperhatikan atau hanya suatu kebetulan saja, sosok itu kemudian menoleh kebelakang. Dia lalu tersenyum lebar dan melambaikan tangannya. Aku bingung dan sedikit ragu lalu menoleh kebelakang, memeriksa apakah dibelakang ku ada orang atau tidak. Bisa saja dia bukan melambai padaku, tapi pada orang dibelakang ku. Tapi sepertinya tidak ada orang yang merespon lambaian tangannya, berarti itu untuk ku ya. Aku lalu melihat kedepan lagi, ternyata sosok itu sudah berjalan kearahku.
"ih kok malah bengong sih" ucapnya lembut
"eh Mala, saya kira Dian Sastro tadi. Mirip banget dari belakang" jawabku sambil menyembunyikan tanganku kebelakang, takut diperiksa kuku.
"cuma dari belakang ya. Kalo dari depan mirip siapa" tanyanya
"siluman ular putih?"
"hehehe.." Mala tertawa sambil menutup mulutnya. Hmm merdu banget sih suaranya.
"kamu sama siapa?" tanyaku
"sendirian aja"
"mau nyari apa?"
"Saya mau nyari baju bola AC Milan buat adek saya. Tapi gak tau yang kayak mana"
"oh gitu, bajunya warna strip merah item. Ada tulisan OPEL ditengahnya. Tapi bagusan juga Inter Milan" jelasku.
"adek saya sukanya AC Milan. Tapi saya gak tau tokonya. Daritadi keliling muter-muter gak ketemu" keluhnya.
"toko olahraga 4Sports, tokonya didepan. Samping toko elektronik yang besar itu. Depannya ada tukang sol sepatu" ucapku memberi arahan.
"hmm... " Mala tampak berfikir sejenak sambil meletakkan jarinya di atas bibir. Ah andai saja jari itu adalah jariku.
"jalan ini lurus aja kearah keluar, nanti belok kiri" tambahku.
"hmm disitu ya.. " ucapnya ragu-ragu. Apa arahanku kurang jelas ya.
"ayok lah saya anter, sekalian saya juga mau liat-liat sapa tau ada yang saya suka disana" ajak ku.
"yuk, makasih ya" ucapnya lembut.
Kami lalu berjalan beriringan menuju bagian depan plaza, tempat toko olahraga berada. Sampai disana keadaan toko agak ramai pengunjung, tokonya cukup besar dan lengkap. aku yang antusias melihat pajangan perlengkapan olahraga sudah lupa tujuanku semula kesana. Aku sibuk melihat pajangan sepatu bola di etalase, kaos bola, kaos kaki dan lainnya. Aku hampir lupa diri jika saja Mala tidak menyentuh pundak ku dengan jari telunjuknya.
"ehem.. " ucapnya. Aku kemudian melihat kearahnya. Wajahnya cemberut dengan bibir manyun. Imut dan manis sih. Tapi entah kenapa melihat raut wajahnya tiba-tiba saja aku teringat pada Jenni. Jenni sering sekali memasang wajah seperti itu padaku.
"saya di cuekin.." ucapnya merajuk.
"eh iya maaf, suka khilaf kalo disini. Yuk kita liat bajunya" ucapku.
"gak papa kamu liat-liat aja dulu, tapi saya jangan dicuekin"
"saya cuma liat-liat aja kok, yuk disana bajunya"
Aku lalu memilihkan baju AC Milan sesuai dengan permintaan adik Mala, kaos kandang tanpa nama dan no punggung. Mala juga membeli baju Juventus untuknya, bukan karena Juventini tapi karena suka warnanya kata Mala. Setelah mendapatkan apa yang dicari Mala lalu membawa belanjaanya dan mengantri dikasir. Sambil menunggunya mengantri di kasir, aku merokok diluar dan melihat-lihat pajangan gitar yang ada di etalase depan toko. Ada satu gitar yang aku suka, model dan warnanya sangat simple dan kalem. Aku berencana membelinya jika kakak ku sudah mengirimkan uang nanti. Akhirnya agak lama kemudian Mala keluar dari toko sambil menenteng plastik belanjaan. Sebagai ucapan terima kasih, Mala ingin mentraktirku makan. Sebenarnya aku masih sedikit trauma jika mengingat pengalamanku di kios bakso waktu itu. tapi karena lapar dan juga yang mengajakku adalah Mala maka aku menerimanya, makan somay bandung aja jangan bakso pikirku.
Saat keluar dari toko olahraga dan menuju kios somay bandung kami harus melewati sebuah toko yang didepannya ada papan pemberitahuan bahwa lantainya licin habis di pel. Awalnya kami ingin lewat sampingnya tapi karena penuh dan rapat motor yang parkir dan agak jauh jika harus memutar, maka kami terpaksa melewati lantai licin itu.
"hati-hati ya licin" ucapku pada Mala
Aku didepan berjalan lebih dulu, sedangkan Mala dibelakang mengikutiku. Entah karena kesulitan membawa plastik dan tas sekolah atau takut jatuh karena licin, Mala berjalan sangat pelan dan tampak kesulitan. Aku menoleh kebelakang, tanpa rencana dan reflek aku menjulurkan tanganku kearahnya. Mala menatapku sejenak kemudian menyambut tanganku sambil menunduk dan tersenyum malu. Dengan berpegangan tangan kami melewati rintangan lantai licin tersebut. Rintangan yang membuat kami berpegangan tangan, rintangan yang berhasil membuat hatiku bergemuruh.
Kami berjalan bersebelahan dan masih terus berpegangan tangan walaupun sudah tidak melewati jalan licin lagi. Aku serasa enggan untuk melepaskan tangannya, dan Mala pun tampaknya tidak keberatan dengan itu. Mala hanya menunduk malu tak mengucapkan sepatah katapun. Tangannya terasa sangat halus dan lembut, wajah tersipunya membuat perasaanku jadi campur aduk. Feromon dalam tubuhku rupanya mulai berulah lagi, tanpa sadar aku juga tersenyum. Tidak ada yang bisa mengganggu dan memisahkan kami saat ini, mungkin hanya angin topan dan hujan badai yang bisa memisahkan kami.
"aer panas! aer panas!" suara teriakan dari belakang kami.
Karena kaget dan refleks kami langsung menyingkir dan melepaskan pegangan tangan kami. Ternyata tidak perlu angin topan dan hujan badai untuk bisa memisahkan kami, cukup seorang kuli panggul yang berteriak-teriak sambil memanggul kardus barang saja.
"ah kampret, ganggu aja" gerutu ku pelan karena jengkel.
"hust gak boleh gitu hehe.. " ucap Mala sambil tertawa kecil, yang ternyata mendengar gerutuanku.
Aku lalu celingukan melihat ke kiri dan kanan seperti sedang mencari sesuatu.
"nyari apa? Kios somay nya kan di ujung sana" ucap Mala yang melihatku seperti orang kebingungan.
"iya saya tau kiosnya disana. Tapi saya lagi nyari lantai yang baru di pel dimana. Kalo bisa sih pengen lewat lantai yang baru di pel lagi"
"hehehe.. Gilang.. Gilang.. " jawab Mala tertawa kecil memamerkan deretan giginya yang rapi, terlihat sangat putih dan berkilau. itu gigi apa permata ya.
Aku lalu menyusul Mala yang sudah berjalan duluan sambil memandangi sosok tubuhnya dari belakang. Rambutnya rapi menawan, langkahnya sangat tenang dan anggun. Aku berjalan mengikutinya dari belakang sambil menikmati aroma parfumnya yang tertinggal. Mala kemudian masuk kedalam sebuah kios dan memilih salah satu meja kosong dekat dengan pintu masuk.
"mau pesan apa.. " tanya mbak pelayannya ramah.
"saya minum aja, jus alpukat ya" ucap Mala lembut
"gak makan?" tanya ku pada Mala
"gak, masih kenyang. Kamu aja ya, gak papa kan makan sendiri" jawabnya. Perhatikan banget sih, sampe memikirkan perasaanku jika makan sendiri.
"iya gak papa. Jus alpukatnya di blender atau dikerok pake sendok?" tanyaku
"hmm? Ya terserah aja" jawab Mala agak bingung
"gelasnya kayak mana, gak mau yang agak lebar? "
"ya yang biasa aja gelasnya" ucap Mala sambil mengerutkan alisnya.
"pipetnya gak mau yang warna ijo juga biar mecing? "
"hehe.. Kamu kenapa sih?"
"ah gak papa, nanya aja hehe" jawabku sambil nyengir kuda. Aku kira dia akan seperti Jenni juga yang cerewet dan sangat detil, tapi ternyata dugaanku salah. Syukurlah rupanya tidak semua cewek berkelakuan unik seperti Jenni. Tapi kenapa aku malah mengingat Jenni ya.
"mas pesen apa? " tanya mbaknya padaku
"somay yang kol dua, pare satu, telor 2 ya. Minumnya jus jeruk"
"somay nya pake acar mas? " tanya si mbak
"belum mbak, cuma temen. Doain aja ya" jawabku tersenyum malu melirik Mala. Si mbak cuma bengong mendengar jawabanku, sementara Mala menutup mulutnya untuk menahan tertawa.
"acar mas... acaaar... bukan pacar.. " ucap si mbak.
"oh acar.. iya iya pake" jawabku cepat. Si mbak lalu pergi meninggalkan kami, meninggalkan aku yang malu dan meninggalkan Mala yang masih berusaha menahan tawanya.
"saya kan pesen somay, kok pake acar sih? Emangnya somay pake acar ya? " tanyaku pada Mala.
"bukan acar, mungkin maksudnya timun. Timunnya kan di potong kecil-kecil kayak acar" jawab Mala agak lama setelah berusaha menahan tawa dan menghapus air matanya yang keluar karenanya.
"tetep aja beda jauh. Harusnya dia gak nyebut pake nama acar, saya kan jadi salah denger"
"emangnya kamu denger apa tadi"
"saya dengernya cacar"
"hahaha... " Mala akhirnya tertawa dan tak bisa menahannya lagi, tapi tetap dengan menutup mulutnya dengan tangan. Tak lama kemudian si mbak datang mengantarkan pesanan kami, aku berusaha untuk tidak melihat wajahnya karena masih malu.
"kok makan pake tangan kiri, kamu kan gak kidal?" tanya Mala yang heran ketika melihatku makan dengan tangan kiri.
"emang gak kidal" jawabku
"tangan kanan kamu juga kamu genggem terus kenapa? Sakit?" lanjutnya.
"gak. Sengaja aja saya pake tangan kiri. Saya gak mau pake tangan kanan, takut wanginya ilang" jawabku sambil mencium dan menghirup dalam-dalam telapak tangan kananku.
"hehehe.. " Mala hanya tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"saya gak akan mandi sebelum wanginya ilang" lanjutku. Mala hanya tersipu malu sambil memainkan pipet jus nya.
Aku baru pertama kali ini makan somay disini, biasanya hanya makan somay di gerobak keliling. Aku bahkan sampai nambah satu piring lagi. Mala hanya tersenyum melihatku makan sambil menikmati jus alpukatnya. Setelah menghabiskan piring kedua ku, aku menyalakan sebatang rokok. Habis makan gak ngerokok sama aja dengan boker tapi gak cebok menurutku. Baru juga dua hisapan rokok, aku melihat Mala menutup mulut dan hidungnya dengan tisu.
"hmmp, kamu udah lama ngerokok? " tanya Mala
"gak, baru aja dinyalain" jawabku sambil menunjukkan rokokku yang masih panjang.
"maksud saya, sejak kapan kamu mulai ngerokok.. "
"oh, dari SMP. Kenapa"
"rokok itu gak baik buat kesehatan, selain itu juga.. bla bla bla.. " Mala mulai menakuti dan menceramahiku dengan panjang lebar. Aku hanya manggut-manggut mendengarkan. Rokok yang tadi sangat nikmat jadi terasa hambar dan tidak kuhisap lagi. Kumatikan rokokku yang masih panjang, istilahnya boker tapi cebok pake air cuma segelas. Nanggung banget!.
"udah dong, jangan cemberut.. Senyum.. Ini kan demi kebaikan kamu juga" ucapnya karena melihatku manyun. Senyumnya manis sekali, sama dengan senyum Jenni. Tapi Jenni pelit senyum orangnya, padahal kalo senyum kan lesung pipinya kelihatan. Ah kok inget Jenni lagi sih!?
"emm.. ini buat kamu" ucap Mala sambil memberikan plastik putih kepadaku.
"apaan neh? " tanyaku
"sebagai ucapan terima kasih karna udah ditemenin nyari baju"
Aku lalu mengintip isi dalam plastik itu. Ternyata baju away Inter Milan berwarna putih. Aku memang belum punya sih, punyaku yang dirumah adalah baju away musim lalu.
"kan udah ditraktir somay sama jus" kataku sambil menutup kembali plastik belanjaan dan meletakkannya dimeja.
"ya gak papa, tadi saya perhatiin kamu ngeliatin baju itu terus. Baju Inter Milan kan? " ucapnya
"kok malah repot gini sih, cuma nemenin gitu aja masa' dibeliin baju. Dengan ngeliatin baju itu, belum tentu juga saya mau baju itu"
"saya gak ada maksud apa-apa. Saya beneran cuma pengen beliin kamu baju itu"
"maaf saya gak bisa nerimanya, buat adek kamu aja"
"saya minta maaf kalo kamu tersinggung, tapi beneran saya tulus pengen ngasih kamu baju itu. Gak bermaksud nyinggung kamu. Saya harap kamu mau nerima niat tulus saya. Lagian kamu bagus deh kalo pake baju warna putih" ucapnya lembut. Tatapan matanya menunjukkan ketulusan dan kesungguhan. Aku yang sebenarnya merasa keberatan menjadi luluh dan takut membuatnya kecewa akhirnya terpaksa menerimanya.
"oke saya terima. Terima kasih. Tapi lain kali jangan begini, tanya dulu ke saya" ucapku
"oke deh. janji.." jawabnya sambil tersenyum dan memiringkan kepalanya, jari kedua tangannya membentuk huruf V didekat pipi. Ah manis banget sih, imut. cowok mana yang gak akan luluh ngeliatnya.
Selesai makan aku lalu mengantarkan Mala ke depan jalan untuk naik angkot. Aku menolak dengan halus tawaran Mala yang mengajak untuk pulang bareng. aku menolaknya karena satu alasan yang pasti, aku mau ngerokok! Mulutku sudah masam sejak tadi. jika bareng Mala tidak mungkin aku merokok, bisa kena ceramah lagi nanti. Selesai menghabiskan sebatang rokok, aku lalu naik angkot untuk pulang. Setengah perjalanan aku baru ingat ada hal yang terlupa, lupa beli topi!.
***
Malam ini malam kedua kegiatan konser ku di taman. Masih sekitar satu jam lagi Bonar datang menjemputku. karena terlalu bersemangat saat ini aku sudah siap dan duduk diteras menunggunya. Penampilanku sudah ku sesuaikan semaksimal mungkin. aku memakai celana panjang jeans belel dengan robekan dilutut dan kaos oblong hitam bergambar wajah Kurt Cobain. Tadinya aku ingin berlagak seolah memakai anting tindikan dengan memakai jepitan dari kaos kaki baruku, seperti saat kecil dulu. tapi ku urungkan niatku karena gak pede.
Tit..tit..tit.. Suara sms masuk di handphone ku
From : Jenni
Kerumah, sekarang
Kira-kira ada apa ya kok Jenni sms seperti penting sekali. Apa dia kangen padaku ya? Atau dia ingin aku melamarnya malam ini? Hehe.. Berhubung Bonar yang masih lama menjemput dan juga aku yang memang ingin menceritakan kegiatan baruku pada Jenni, maka aku memutuskan untuk menuruti kemauannya.
To : Jenni
Ya tunggu
From : Jenni
Cepet!
To : Jenni
Sabar..
From : Jenni
5 menit!
To : Jenni
Cerewet!!
Aku lalu berjalan menuju rumah Jenni, sambil berdoa semoga saja tidak ada cowok lain yang sedang mengapel dirumahnya. Jarak rumah kami yang sekitar 200 tombak aku lalui dalam waktu kurang lebih 10 menit. Setibanya disana aku menjadi lesu melihat ada 3 buah motor yang sudah terparkir dihalaman. Rame amat sih, masa' iya tiap malem begini pikirku. Orangnya itu-itu aja apa ganti lagi ya. Cewek galak gitu aja kok laris amat. Terlihat mbak asisten rumah tangga Jenni yang sedang berdiri didepan gerbang.
"nunggu siapa mbak? Mie tek-tek ya? " tegurku.
"nungguin sampeyan mas, disuruh mbak Jen. Takut sampeyan kabur lagi gak jadi masuk kayak kemaren. Mana banyak nyamuk.. " gerutunya sambil membuka gerbang.
"bawa obat nyamuk bakar mbak, kalo gak pake autan" jawabku enteng sambil masuk kedalam
"Gara-gara sampeyan saya kena marah mbak Jen kemaren" ucapnya sambil kami berjalan menuju rumah.
"loh kok kena marah gara-gara saya"
"saya disuruh beliin pulsa mbak Jen. Tapi karena saya didepan jadi gak denger kalo mbak Jen nyari saya. Dia juga gak tau kalo ada sampeyan didepan tapi gak jadi masuk. Saya ceritain malah saya yang dimarah"
"salah sendiri malah cerita, coba diem aja"
"ya mana saya tau kalo bakal dimarahin"
"yaudah nanti saya bilang sama Jenni, biar mbak gak dimarahin lagi" kataku coba menenangkan si mbak
"emang berani? " tanyanya ragu.
"enggak. Haha.."
"huu.. "
"eh mbak motor siapa" tanyaku
"biasa.. " jawabnya pendek.
Sampai diteras si mbak mempersilahkan aku masuk dan dia lalu duduk dikursi teras, mungkin menunggu mie tek-tek lewat.
"Assalamu 'alaikum.." aku mengucapkan salam didepan pintu
"wa 'alaikumssalam.. " jawaban dari orang-orang dalam rumah seperti paduan suara.
Aku melihat kedalam rumah, diruang tamu tampak Jenni sedang menghadapi 3 orang tamunya.
"masuk.." ucap Jenni datar.
Aku lalu masuk kedalam rumah, kusapa ketiga tamu itu hanya dengan gerakan alis tanpa senyuman. Aku tidak ingin terlihat ramah, aku ingin memberikan kesan angker dan seram kepada mereka. Dan celana robek ku sudah mendukung itu. Tujuanku dengan begitu mereka akan segan dan takut padaku, syukur-syukur langsung pamit pulang. Aku duduk dengan kaki agak mengangkang, memamerkan celana robek ku pada mereka. Aku lalu melihat kearah Jenni, wow rambutnya dikuncir kuda lagi. Hmm sudah lama sepertinya aku tidak melihat kuncir kuda itu.
"bentar ya" ucap Jenni entah kepada siapa, mungkin kepada kami berempat. Jenni lalu lewat didepanku dan masuk kedalam. Busyet neh cewek maen lewat aja depan muka, gak ada sopan sopannya. Agak nunduk kek, biar sopan dikit. Eh tapi jangan, nanti ketiga cowok itu malah ngeliatin dada sama pantat Jenni ya.
Sepeninggal Jenni tidak ada obrolan yang keluar dari kami, bahkan sekedar basa basi atau sebagainya. Hanya batuk dan suara berdehem yang terdengar. Dari situ bisa kuambil kesimpulan bahwa mereka bertiga tidak saling mengenal. Kuperhatikan satu persatu penampilan mereka. Mereka semua berpenampilan rapi dan klimis, sangat berbeda dengan penampilanku saat ini. Saat sedang memperhatikan mereka, tiba-tiba aku merasa pipiku ditempel suatu benda yang dingin dan basah.
"kambing gembel! " aku melonjak kaget.
Aku melihat kesamping ternyata sudah ada Jenni disana berdiri sambil memegang segelas jus jeruk dingin. Ternyata benda itu yang tadi ditempelkannya ke pipiku. Jenni lalu menyodorkan gelas jus itu kepadaku. Langsung kusambut gelas itu dari tangannya, daripada ditempelkan ke pipiku lagi nanti. Jenni lalu lewat lagi didepanku tanpa membungkuk dan duduk dikursi berjarak sekitar 2 meter dariku. Masih kupegangi gelas jus itu sambil melihat kearah meja, mereka bertiga dikasih teh panas kenapa aku jus jeruk ya? Malem-malem kok malah minum jus dingin sih pikirku.
"diminum jus jeruknya, kemaren kan gak ada. Daripada berantem lagi sama mamas bakso" ucap Jenni datar.
"mas bakso nya aja yang gak sigap" jawabku sambil meminum jus itu sampai setengah gelas lalu meletakkanya diatas meja. Perjalanan 200 tombak dengan berjalan kaki cukup membuatku haus.
"tadi siang pulang sekolah kemana?" tanyanya menyelidik
"hah? Hmm.. ke Plaza.. " jawabku gugup tidak menduga Jenni bertanya seperti itu.
"ngapain?" tanyanya lagi
"beli topi"
"mana topinya"
"lupa beli"
"kenapa lupa?"
"karna gak inget"
Jenni tampak menarik nafas dalam-dalam, seolah sedang berusaha menahan emosinya. Aku melihat kearah ketiga tamu lainnya. Mereka tampak mulai serba salah dan rikuh dengan situasi saat ini.
"sama siapa?" lanjutnya bertanya sambil menatapku tajam
"sama temen" jawabku dan membalas tatapannya
"sama siapaa.. " Jenni mengulangi pertanyaannya
"sama temeen.. " jawabku kembali dengan jawaban yang sama
"sama siapaaa.. " suaranya agak meninggi
"anak IPA.. " jawabku agak melemah
"sama siapaaa.. " tatapan matanya semakin tajam
"sama Mala.." jawabku lirih tak berani menatapnya
Kemudian hening sesaat, hanya suara tarikan nafas dari seorang cewek galak pemarah yang terdengar. Dadanya tampak turun naik menahan emosi. Ah sial, niatku terlihat serem dan angker di depan tamu lainnya jadi berantakan kalo seperti ini. Tidak sesuai dengan celana robek ku. Mata itu, kenapa sih aku tidak sanggup menatapnya jika sedang seperti itu. Karena gugup dan bingung aku lalu mengeluarkan sebatang rokok dan menyalakannya.
Hanya rokok yang mengerti aku saat ini, dengan merokok mungkin bisa membuatku sedikit tenang dan rileks. Jenni lalu bangkit dari kursinya, aku yang kaget langsung siaga dan menyiapkan pukulan matahari andalanku di tangan kiriku. Ternyata Jenni hanya lewat didepanku dan masuk kedalam, aku langsung bernafas lega. Belum juga nafas legaku selesai, Jenni sudah kembali lagi keruangan. Meletakkan asbak di meja depanku dan kembali duduk ditempatnya semula.
"dibeliin apa sama dia?" tanya Jenni. Rupanya Jenni masih belum berniat ganti topik. Aku harus bersikap santai, jangan sampai terlihat gugup dan takut. Selain akan malu pada ketiga tamu itu, juga untuk mengurangi intimidasi Jenni semakin merajalela.
"traktir makan" jawabku sesantai mungkin sambil menghembuskan asap rokok.
"makan apa" tanyanya menyelidik
"makan somay. Somay nya gak enak, aci doang! " ucapku berbohong.
“oh gak enak ya.."
"he em, jangan deh kalo beli somay disana"
"gak enak tapi abis dua porsi ya?" ucapnya sinis.
Aku tersentak mendengarnya, darimana ya Jenni tau. Kalo dia tau aku ke plaza mungkin masih wajar, tapi kalo dia tau aku makan somay sampai dua porsi berarti informasinya sangat akurat. Jangan-jangan dia punya mata-mata atau kaca benggala mak lampir yang bisa melihat kemana saja.
"dibeliin apa lagi?" lanjutnya. Rupanya dia belum selesai mengintrogasi ku.
"somay aja.." aku kembali coba berbohong.
"apa lagi.. "
"baju, baju bola.." jawabku jujur. Sepertinya percuma berbohong padanya saat ini. Dia pasti lebih percaya kaca benggala nya daripada ucapanku.
"bagus bajunya?" tanyanya lagi
"jelek, tipis kayak saringan tahu. Gatel juga kalo dipake"
"bukannya yang kamu pake sore tadi? Yang kamu cium-cium waktu ngegolin? "
"hmm iya itu, tapi bukan nyium bajunya. Saya nyium logo Inter Milannya.."
"logonya kan nempel dibaju, jadi sama aja kamu nyium bajunya"
"iya aja deh.. " jawabku mengalah sambil melihat ke arah ketiga tamu lain yang hanya diam memperhatikan kami. Aku sangat berharap mereka bisa berbuat sesuatu atau berkata sesuatu untuk menyela Jenni sehingga aku bisa terselamatkan dari situasi ini.
"emangnya bayangan kamu apa waktu itu. Apa bayangan kamu waktu itu nyium orang yang beliin?"
Mendengar itu aku jadi membayangkan jika aku benar mencium Mala. Memegang tangannya saja sudah bahagia, apalagi menciumnya ya. Tanpa sadar aku tersenyum membayangkannya.
"nah kan bener, mesum otak kamu! "
"gak ah, saya gak bayangin itu"
"keliatan dari muka kamu!"
Aku kembali memandang kearah ketiga tamu lainnya mencoba mencari pembenaran dari perkataan Jenni tadi. Entah karena takut pada Jenni atau karena muka ku yang memang mesum, mereka hanya manggut-manggut seolah membenarkan perkataan Jenni. Dasar penjilat!
Jenni masih menatapku tajam, aku biarkan saja tak mau menatapnya balik. Mata itu terlalu sakti untuk ku lawan. Aku merasa saat ini seperti seorang penjahat yang di introgasi Kanit Reskrim. Ah sial, bagaimana ya keluar dari situasi ini. Berharap pada ketiga tamu itu pasti tidak mungkin, sejak tadi saja mereka hanya diam tak bersuara. Hujan badai dan angin topan mungkin? Tapi cuaca cerah malam ini. Kuli panggul yang berteriak-teriak sambil memanggul barang juga tidak ada. Apa ya? Bonar, ya Bonar yang bisa menyelamatkan ku saat ini. Tapi bagaimana ya cara menghubungi Bonar tanpa diketahui Jenni. Sangat tidak mungkin aku mengambil hape ku dibawah tatapan tajamnya saat ini. Tiba-tiba saja aku mendengar sebuah suara diteras depan, suara yang sudah kutunggu kehadirannya, suara yang akan menyelamatkan ku dari Jenni malam ini.
"permisi Jeng.. Selamat malam.. " ucapnya. Dari suara dan intonasi yang genit, aku tahu itu Bonar.
"iya mas, ada apa ya" suara mbak asisten rumah tangga Jenni.
"Jeng ini kakaknya Jenni ya" tanya Bonar
"bukan mas, saya yang kerja disini"
"oh gitu, kok cantiknya sama ya" Bonar mulai melancarkan rayuannya. Aku hanya tersenyum menggelengkan kepala.
"ah mas bisa aja. Mas nya cari siapa? Mbak Jen ada didalem"
"bukan. Saya lagi nyari seorang pemuda gagah berwajah tampan, yang kadang-kadang suka ingusan. ciri-cirinya ada panu di leher sama mukanya agak-agak cabul. terakhir terlihat sih dia make celana kolor merah sama kaos singlet cap angsa" ucap Bonar. Ah brengsek neh Bonar, bikin malu aja. Aku melirik kearah Jenni yang tampak melongokkan kepalanya mengintip kearah leherku.
"ehem, dulu... Sekarang udah sembuh" ucapku sambil menutupi leherku dan nyengir kuda.
"hah? Siapa ya mas" tanya si mbak bingung.
"nah ini! saya hapal sama sendal dekilnya ini" ucap Bonar
"oh iya mas, ada mas didalem. Masuk aja" jawab si mbak.
"iya.. Makasih lho Jeng.. " ucap Bonar
"kalo dari anehnya, pasti kawan kamu ya" ucap Jenni sinis.
"iya, saya juga heran kenapa saya di kelilingin orang-orang aneh" balasku tak kalah sinis menyindirnya. Aku lalu bangkit dari kursi untuk menemui Bonar. Tampak wajahnya yang cengar-cengir di depan pintu.
"hai kisanak! Bagaimana misi kita malam ini" tanya Bonar padaku, tapi matanya jelalatan melihat kedalam ruang tamu.
"kok tau saya disini" tanyaku berbisik.
"taulah, mau kemana lagi. Rame amat coy, ada acara apaan? Tandatangani Perjanjian Linggarjati ya?" ucap Bonar masih dengan celingukkan melihat kedalam.
"bukan. Konfrensi Meja Bundar!"
"oh pantes, saingan kamu keren-keren coy. Gak minder?"
"agak pelan dikit sih ngomongnya, kedengeran jelas sampe sana"
"saya kan orang batak coy, susah ngomong pelan. Ini udah paling pelan"
"iya iya.. Yaudahlah, ayo berangkat aja kita"
"halo Jenni.. " ucap Bonar menyapa Jenni yang tiba-tiba ada dibelakang ku.
"halo kak Bonar. kok dipintu aja, ayo masuk kedalem" jawab Jenni ramah. Hmm sama orang lain aja ramah, sama aku malah galak. Bonar lalu melihat kearahku, aku memberikan kode dengan mataku untuk jangan masuk dan segera pergi.
"makasih, tapi kita harus pergi. Ada misi dari eyang guru yang harus kami laksanakan.. " jawab Bonar yang mengerti kode dariku.
"misi apa kak.." tanya Jenni. jadi cewek kok mau tau aja!. Bonar kembali melihat kearahku, kembali kuberi kode dengan mata untuk jangan menceritakannya.
"bukan gak mau cerita tapi karena ini misi rahasia jadi memang gak bisa diceritain.. " jawab Bonar.
"paling enggak kasih tau tujuannya mau kemana, gak papa kan" tawar Jenni. Bonar kembali melihat kearahku, aku lalu kembali memberikan kode dengan mata. Saat aku memberi kode, ternyata Jenni melongokkan kepalanya kedepan melihat wajahku. Wah ketahuan neh maen kode, aku langsung tanggap dan mengucek mataku.
"hmm kok perih ya mata saya, kelilipan debu kayaknya" ucapku berpura-pura.
"kemana kak Bonar?" tanya Jenni lagi tapi dengan melihat wajahku, menghalangi aku memberi kode.
"ke taman" jawab Bonar jujur. Jenni masih melihat kepadaku. Langsung kupasang wajah polos dan memelas.
"pamit dulu ya Jen.. " ucapku. Jenni tidak langsung menjawab, dia malah menatap mataku sambil menyipitkan matanya seolah sedang membaca mataku. Aku menjadi gugup karenanya.
"Jen.. Saya pamit ya" ucapku lagi.
"hmm oke. Silahkan.. " ucapnya datar. Aku langsung lega mendengar jawabannya, langsung ku tarik tangan Bonar untuk segera beranjak dari sana sebelum Jenni berubah pikiran.
"pamit ya Jen.. Pamit ya Jeng.." ucap Bonar berpamitan pada Jenni dan si mbak yang masih setia duduk diteras menanti mamang mie tek-tek.
"iya kak Bonar, hati-hati ya.. " jawab Jenni ramah. Sedangkan si mbak hanya tersenyum saja.
Saat sedang memakai sendal, aku melihat kebelakang kearah Jenni. Dia masih berdiri didepan pintu.
"urusan kita belum selesai!" ucapnya dengan wajah galak. Aku hanya menelan ludah dan tak menjawabnya.
"urusan apa coy? Makanya kalo punya utang cepet dibayar" ucap Bonar.
"bukan utaaang! "
***
om kangen t*ketnya jenni om ,eh maksudnya galaknya jeni om 
