Suatu sore aku berjalan pulang dari stasiun menuju flat-ku seperti biasa, tanpa ada tanda-tanda bahwa hari itu akan berbeda dari biasanya. Kugerakkan kakiku dengan malas, membayangkan sisa pekerjaan yang masih harus kuselesaikan dari rumah nanti malam. Sampai aku tiba di depan gedung flatku, membuatku terkejut karena Nat ada disana, sedang duduk di anak tangga kecil yang menuju pintu masuk.
I’m speechless. Kakiku berhenti dengan gugup. Setelah dua bulan lebih tanpa melihatnya, kini aku ga tahu harus melakukan apa saat bertemu dengannya lagi. Perasaan dan emosi yang masih belum tuntas mulai naik ke kepalaku, teringat apa yang terjadi pada terakhir kali aku bertemu dengannya. Namun, rasa rindu dan sayang yang tak dapat kusangkal juga mulai muncul dan mendesak jantungku. Aku berpikir, berusaha menemukan apa yang harus kulakukan.
Sedangkan, Nat yang memang tampaknya sengaja menungguku disana, kini mulai bangkit saat sadar bahwa aku telah ada disana, hanya berjarak 10 meter dari tempatnya duduk tadi. Dia berjalan ke arahku, dengan ekspresi muka yang tak dapat kucerna. Sepertinya beragam perasaan dan emosi juga melanda pikirannya secara bersamaan saat melihatku.
Penampilannya hampir sama persis seperti yang kuingat, saat terakhir kali bertemu dengannya. Mukanya tetap cantik, muka seorang anak yang mewarisi darah oriental dan caucasian dari kedua orangtuanya. Rambutnya hitamnya tergerai sampai di bawah bahu, tertutup oleh beanie rajut berwarna cokelat. Dia mengenakan sebuah jaket parka yang setengah menutupi celana jeansnya, T-shirt hitam sedikit terlihat dari baliknya. Aku masih terdiam saat melihatnya, hampir seperti dulu saat pertama kali kami berjumpa.
“Eja…” katanya memanggilku, berusaha membuatku melanjutkan berjalan ke arahnya.
No. Aku ga mau berjumpa dengannya hanya untuk mendengar lebih banyak alasan dan kebohongan.
Aku lanjut berjalan, tetapi dengan dagu yang terangkat dan pandangan lurus ke arah pintu kayu besar di belakangnya. Aku berusaha tak menghiraukan dia yang menunggu di jalan di antara aku dan pintu itu.
“Ja….please, tunggu.” Katanya sedikit panik berusaha melambatkan langkahku, saat aku udah berjalan hampir melewatinya.
Dia berhasil menahan tanganku. Saat aku sadar hal itu, aku berhenti dan berbalik menatapnya dengan tajam. Terkilas lagi semua yang terjadi pada malam insiden di bar itu, saat aku melihat mukanya dengan lebih detil dari jarak sedekat ini.
“Mau apa lagi? We’re done.” Tanyaku ketus, sengaja ga mau memanggil namanya.
Nat tampak sedih sekejap sebelum menjawab. Aku berusaha mengibaskan tanganku agar lepas dari genggamannya, tapi dia menahannya dengan lebih erat. Ya ampun, momen ini betul2 penuh drama seperti yang dulu sering kulihat di sinetron2 Indonesia.
“Aku tahu…aku minta maaf, kasih aku waktu dulu…”
“…no need, gue udah maafin lu dari waktu itu kok.” Potongku. “Lepasin.” Lanjutku sambil melihat ke arah pergelangan tanganku yang masih dia genggam.
“please. Kasih aku kesempatan jelasin semuanya ke kamu. I’ll come clean.” Jawabnya dengan menatap mataku penuh harap.
Kata-katanya barusan berhasil menarik perhatianku. Aku terdiam sejenak berusaha memikirkan bagaimana untuk menjawab.
“Aku janji, biarin aku jelasin dulu semuanya. Abis itu, I’m gone.” Katanya lagi, berusaha meyakinkanku yang masih terdiam.
Aku menarik nafas dalam. Kuputuskan aku ga mau mati penasaran. Dengan memasang ekspresi terpaksa, kuberi dia isyarat untuk mengikutiku masuk ke dalam. Dia melepaskan genggamannya dari tanganku, baru kusadari saat itu bahwa aku sangat rindu dengan genggaman tangannya, masih sehangat dan sehalus yang kuingat.
Bersama-sama, kami berjalan menaiki anak tangga, ke arah pintu masuk.